Alkitab Perjanjian Lama Pdf

1 view
Skip to first unread message

Marketta Carucci

unread,
Aug 5, 2024, 5:12:05 AM8/5/24
to zimcidisby
PerjanjianLama adalah bagian pertama dari Alkitab Kristen, yang utamanya berdasarkan pada Alkitab Ibrani, berisikan suatu kumpulan tulisan keagamaan karya bangsa Israel kuno.[1] Bagian ini merupakan pasangan dari Perjanjian Baru, bagian kedua dari Alkitab Kristen. Terdapat variasi kanon Perjanjian Lama di antara Gereja-gereja Kristen; kalangan Protestan dan Orang Suci Zaman Akhir hanya menerima kitab-kitab yang terdapat dalam kanon Alkitab Ibrani, yang mana terbagi dalam 39 kitab, sedangkan kalangan Katolik Roma, Ortodoks Timur, dan Ortodoks Oriental menerima sekumpulan tulisan dengan jumlah yang sedikit lebih banyak.[2]

Perjanjian Lama terdiri dari banyak kitab berbeda yang ditulis, disusun, dan disunting oleh berbagai penulis[3] selama kurun waktu berabad-abad. Alkitab Ibrani merupakan dasar dari Perjanjian Lama Kristen, namun tidak ada kejelasan sepenuhnya pada titik mana parameter-parameter dari Alkitab tersebut ditetapkan. Beberapa akademisi mengajukan pendapat bahwa kanon Alkitab Ibrani ditetapkan pada sekitar abad ke-3 M,[4][5] atau bahkan setelahnya.[6]


Tabel di bawah ini menggunakan pengejaan dan penamaan dalam edisi-edisi modern Alkitab saat ini, seperti misalnya New American Bible Revised Edition, Revised Standard Version, dan English Standardisasi Version, untuk edisi-edisi bahasa Inggris, atau Alkitab Terjemahan Baru LAI dan Alkitab Deuterokanonika (LAI-LBI) untuk edisi-edisi bahasa Indonesia. Pengejaan dan penamaan baik dalam Perjanjian Lama Douay-Rheims 1609 (dan dalam Perjanjian Baru Douay-Rheims 1582) serta revisinya tahun 1749 oleh Uskup Challoner (DRC, edisi cetak saat ini yang digunakan banyak umat Katolik dan sebagai sumber pengejaan Katolik tradisional dalam bahasa Inggris) maupun dalam Septuaginta (LXX) berbeda dengan penamaan dan pengejaan dalam edisi-edisi modern yang berasal dari Naskah Masorah Ibrani.[a]


Untuk kanon Ortodoks, judul-judul Septuaginta dituliskan dalam tanda kurung apabila berbeda dari edisi-edisi tersebut. Untuk kanon Katolik, judul-judul dari Douay-Rheims dituliskan dalam tanda kurung apabila berbeda dengan edisi-edisi tersebut. Demikian juga King James Version mereferensikan beberapa dari kitab-kitab ini dengan pengejaan tradisional ketika merujuknya dalam Perjanjian Baru, seperti "Esaias" untuk Isaiah (Yesaya).


Talmud (komentari Yahudi tentang kitab suci) dalam Baba Batra 14b menyajikan suatu urutan yang berbeda untuk kitab-kitab dalam Nevi'im dan Ketuvim. Pengurutan ini juga dikutip dalam Mishneh Torah Hilchot Sefer Torah 7:15. Urutan kitab-kitab Torah/Taurat bersifat universal dalam semua denominasi agama Yahudi dan Kekristenan.


Kitab-kitab yang diperdebatkan, yang termasuk dalam suatu kanon namun tidak terdapat dalam yang lainnya, sering kali disebut apokrifa Alkitab, suatu istilah yang kadang-kadang digunakan secara khusus untuk mendeskripsikan kitab-kitab dalam kanon Ortodoks dan Katolik yang tidak ada dalam Naskah Masorah Yahudi dan kebanyakan Alkitab Protestan modern.


Kalangan Katolik, mengikuti Kanon Trente (1546), mendeskripsikan kitab-kitab ini sebagai deuterokanonika, sedangkan kalangan Ortodoks Yunani, mengikuti Sinode Yerusalem (1672), menggunakan nama tradisional anagignoskomena (artinya "yang harus dibaca"). Kitab-kitab tersebut terdapat dalam versi-versi Protestan historis; Alkitab Luther berbahasa Jerman menyertakan kitab-kitab tersebut, sebagaimana juga Alkitab Raja James tahun 1611 yang berbahasa Inggris.[b]


Kemudian Yosua, Hakim-hakim, Samuel, dan Raja-raja, memuat sejarah Israel sejak dari Penaklukan Kanaan sampai dengan Pengepungan Yerusalem (587 SM). Ada suatu konsensus luas di kalangan akademisi bahwa kitab-kitab ini asalnya adalah sebuah karya tunggal (yang dikenal sebagai "sejarah Deuteronomistik") selama masa pembuangan Babel pada abad ke-6 SM.[18] Kedua Kitab Tawarikh meliputi banyak materi yang sama seperti dalam Taurat dan sejarah Deuteronomistik, dan mungkin berasal dari abad ke-4 SM.[19]


Kitab-kitab Tawarikh berkaitan dengan kitab-kitab Ezra dan Nehemia, yang mungkin terselesaikan pada abad ke-3 SM.[20] Perjanjian Lama Ortodoks dan Katolik memuat dua (Katolik) sampai empat (Ortodoks) Kitab Makabe, yang ditulis pada abad ke-2 dan ke-1 SM.


Allah secara konsisten digambarkan sebagai suatu sosok yang menciptakan atau mengadakan keteraturan dunia ini dan memandu sejarahnya. Meskipun Allah dalam Perjanjian Lama tidak secara konsisten ditampilkan sebagai satu-satunya Allah yang ada, Ia selalu digambarkan sebagai satu-satunya Allah yang disembah bangsa Israel; baik umat Yahudi maupun Kristen selalu menafsirkan Alkitab sebagai suatu penegasan akan akan keesaan Allah yang Mahakuasa.[23]


Perjanjian Lama menekankan hubungan khusus antara Allah dengan bangsa pilihan-Nya, Israel, namun mencakup petunjuk-petunjuk bagi kaum proselit juga. Hubungan ini diungkapkan dalam perjanjian antara keduanya, yang mana diterima oleh Musa. Hukum-hukum dalam kitab seperti Keluaran dan terutama Ulangan merupakan istilah-istilah dari perjanjian itu sendiri: bangsa Israel bersumpah setia kepada Allah, dan Allah bersumpah untuk menjadi pendukung dan pelindung khusus bangsa Israel.[23]


Tema-tema berikutnya dalam Perjanjian Lama meliputi keselamatan, penebusan, penghakiman ilahi, ketaatan dan ketidaktaatan, iman dan kesetiaan, dan lainnya. Dalam kesemuanya itu terdapat suatu penekanan kuat pada etika dan kemurnian ritual, yang mana keduanya merupakan tuntutan Allah, meskipun beberapa penulis hikmah dan nabi tampaknya mempertanyakan hal ini, dengan alasan bahwa Allah lebih menekankan keadilan sosial daripada kemurnian, dan mungkin dipandang tidak peduli sama sekali mengenai kemurnian. Hukum moral Perjanjian Lama memerintahkan keadilan, campur tangan demi mereka yang lemah, dan kewajiban dari mereka yang berkuasa untuk menegakkan keadilan dengan benar. Hukum tersebut melarang pembunuhan, penyuapan dan korupsi, perdagangan yang tidak adil, dan banyak pelanggaran seksual. Semua moralitas ditelusuri kembali sumbernya kepada Allah, yang mana merupakan sumber segala kebaikan.[24]


Masalah kejahatan banyak berperan dalam keseluruhan bagian Perjanjian Lama. Masalah yang dihadapi para penulis Perjanjian Lama adalah bahwa sosok Allah yang baik harus memiliki alasan yang adil dan tepat untuk mengizinkan terjadinya bencana (yang terutama, tetapi tidak hanya, berarti pembuangan Babel) atas umat-Nya. Tema tersebut diperlihatkan, dengan banyak variasi, dalam kitab-kitab yang berbeda seperti Raja-raja dan Tawarikh, para nabi seperti Yehezkiel dan Yeremia, dan dalam kitab-kitab hikmat seperti Ayub dan Pengkhotbah.[24]


Proses pemilihan kitab-kitab yang membentuk suatu kanon dan Alkitab merupakan suatu proses yang panjang, dan kompleksitasnya dapat menjelaskan banyaknya Perjanjian Lama yang berlainan pada saat ini. Timothy H. Lim, seorang profesor Alkitab Ibrani dan Yudaisme Bait Kedua di Universitas Edinburgh, mengidentifikasi Perjanjian Lama sebagai "suatu kumpulan teks-teks otoritatif yang kiranya dari sumber ilahi, yang melalui suatu proses insani penulisan dan penyuntingan."[3] Ia menyatakan bahwa kitab tersebut bukanlah suatu buku ajaib yang ditulis secara harfiah oleh Allah dan diteruskan ke manusia. Pada sekitar abad ke-5 SM, kaum Yahudi memandang kelima kitab Taurat (Pentateukh Perjanjian Lama) memiliki status otoritatif atau berwibawa; pada abad ke-2 SM kitab-kitab para nabi memiliki suatu status yang sama, walaupun tidak pada tingkat penghormatan yang setara dengan Taurat; selain semua kitab tersebut, kitab-kitab suci Yahudi tidak tetap, karena masing-masing kelompok yang berbeda melihat kewibawaan dalam kitab-kitab yang berbeda.[25]


Septuaginta awalnya digunakan oleh kaum Yahudi dalam periode Helenisasi secara menyeluruh, sehingga pengetahuan mereka tentang bahasa Yunani menjadi lebih baik dibandingkan dengan bahasa Ibrani mereka. Makin meningkatnya jumlah orang non Yahudi yang memeluk Kekristenan menciptakan suatu kebutuhan akan penerjemahan Kitab Suci Ibrani ke dalam bahasa Yunani dan Latin. Tiga penerjemah awal yang paling diakui adalah Akwila dari Sinope, Symmakus, dan Theodotion; dalam Heksapla karyanya, Origen menempatkan edisi teks Ibrani di sebelah salinannya dalam alfabet Yunani dan empat terjemahan paralel: karya-karya Akwila, Symmakus, Theodotion, dan Septuaginta. Yang disebut "edisi kelima" dan "keenam" merupakan dua terjemahan Yunani lainnya yang diduga secara ajaib ditemukan oleh para pelajar di luar kota Yerikho dan Nikopolis: keduanya ini lalu ditambahkan ke dalam Oktapla karya Origen.[29]


Dalam Kekristenan Barat atau Kekristenan di bagian barat Kekaisaran Romawi, bahasa Latin menggantikan bahasa Yunani sebagai bahasa umum dari umat Kristen awal, dan sekitar tahun 400 M Paus Damasus I menugaskan Hieronimus, seorang cendekiawan terkemuka saat itu, untuk memperbarui Alkitab Latin untuk menggantikan Vetus Latina. Karya Hieronimus disebut Vulgata (artinya: bahasa umum), dan ia menerjemahkan sebagian besar Perjanjian Lama dari teks Ibrani, sebab ia berpendapat bahwa teks Ibrani lebih unggul untuk mengoreksi Septuaginta baik dalam hal teologis maupun filologis.[33] Vulgata karyanya kemudian menjadi Alkitab standar yang digunakan dalam Gereja Barat, terutama sebagai Vulgata Sixto-Clementina, sedangkan Gereja-gereja Timur masih terus menggunakan Septuaginta hingga sekarang.[34]


Namun Hieronimus, dalam prolog-prolog Vulgata, mendeskripsikan beberapa bagian dari kitab-kitab dalam Septuaginta yang tidak gunakan oleh kaum Ibrani sebagai non kanonik (ia menyebutnya apokrifa);[35] untuk Kitab Barukh, ia menyebutnya dalam Prologue to Jeremiah dan mencatat bahwa kitab tersebut tidak dibaca ataupun dimiliki oleh orang-orang Ibrani, tetapi tidak secara eksplisit menyebutnya apokrif atau "tidak terdapat dalam kanon".[36] Sinode Hippo (tahun 393), yang kemudian disusul dengan Konsili Kartago (tahun 397 dan 419), mungkin merupakan konsili pertama yang secara eksplisit menerima kanon pertama yang meliputi kitab-kitab yang tidak terdapat dalam Alkitab Ibrani; konsili-konsili tersebut berada di bawah pengaruh yang cukup besar dari Agustinus, yang menganggap seolah-olah kanon telah ditutup sejak saat itu.[37] Pada abad ke-16, para reformis Protestan berpihak pada Hieronimus; dan meskipun sebagian besar Alkitab Protestan saat ini hanya memuat kitab-kitab Perjanjian Lama yang terdapat dalam Alkitab Yahudi, pengurutan kitab-kitabnya mengikuti Alkitab Yunani.[38]

3a8082e126
Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages