Maja, buah yang sakral menurut ajaran Hindu, kerap dihubungkan dengan
legenda berdirinya kerajaan Majapahit, suatu imperium yang membentang
di Bumi Nusantara, bertahan lebih dari dua abad (abad XIII-XV). Konon,
Raden Wijaya, sang pendiri kerajaan, menerima sebidang tanah di daerah
Tarik (sekarang di selatan Surabaya). Sewaktu membangun daerah itu,
ada beberapa prajuritnya yang memakan buah Maja (juga dikenal dengan
sebutan Bael). Kebetulan yang dimakan adalah buah yang berasa pahit
(karena mungkin masih mengkal). Oleh sebab itu Raden Wijaya menamakan
bulak itu sebagai "Majapahit". Namun kosakata pahit (Jawa: pait), juga
berarti "modal". Jadi nama Majapahit bermakna: "bermodalkan kesakralan
buah Maja".
Dalam Ayurvedic, ilmu pengobatan tradisional India, Maja dipercaya
bisa mengobati gangguan pencernaan dan demam. Dalam tradisi Hindu,
Maja merupakan tumbuhan “titisan” Hyang Syiwa, hingga tanaman Maja
selalu ada di halaman pura Hindu. Selain pucuknya untuk sayuran, daun
maja juga merupakan perangkat ritual Hindu yang cukup penting.
Di Nepal, buah Maja merupakan perangkat perkawinan yang cukup penting.
Karena buah maja dianggap sebagai penjelmaan Hyang Syiwa, maka sang
gadis sebenarnya menikah dengan Hyang Syiwa, bukan dengan suaminya.
Ritual ini bertujuan untuk memperoleh kesuburan (keturunan) dari Hyang
Syiwa. Selain itu, apabila sang suami meninggal, perempuan itu tidak
perlu malu berstatus janda, sebab ia tetap menjadi istri Hyang Syiwa.
Pohon Maja yang beranek jenisnya tumbuh Indonesia, Pakistan, India,
Srilanka, Bangladesh, Nepal, Myanmar, Thailand, Laos, Vietnam,
Kamboja, Malaysia, dan juga Filipina
--
Sent from my mobile device