REVOLUSI PANCASILA
Ungkapan REVOLUSI PANCASILA dikemukakan secara terbuka pada acara peringatan 110 tahun hari kelahiran Bung Karno tanggal 6 Juni 2011 oleh Benteng Penegak Pancasila (BPP) bertempat di Gedung DHN45, Jalan Menteng Raya 31, Jakarta Pusat 10340. Sebenarnya ungkapan tersebut diserukan demi berbagai upaya2 perkuatan internalisasi atau pembudayaan paham Pancasila di segenap lapisan masyarakat Indonesia pasca Pidato-pidato Kebangsaan tanggal 1 Juni 2011 di Gedung Nusantara IV, MPR RI. Sehingga oleh karenanya patutlah serta merta distrukturkan menjadi semisal Badan Pembudayaan Pancasila (BPP) merujuk seperti model yang telah dikembangkan oleh Badan Pembudayaan Kejuangan 45 (organisasi induk DHN45) yang berpedoman kerja pada Jiwa Semangat Nilai2 45 (JSN45). Pembudayaan disini dapat dijabarkan dalam beberapa wacana, cara atau program, yang secara terserak sebetulnya telah dilakukan oleh beberapa satuan kegiatan masyarakat peduli Pancasila. Dan penyatuan gerak antar berbagai satuan itulah yang dapat kemudian dikerucutkan jadi lingkup kerja Badan Pembudayaan Pancasila dimaksud demi penegakan SUPREMASI PANCASILA. Ragam pembudayaan Pancasila dapat dikomunikasikan dari cara yang sederhana seperti (1) wacana Lima Jari [Hans SB, Jala Sutra, Juni 2010] tentang Lima Sila gapai sejahtera batiniah yaitu Jari Tengah yaitu Jari Tertinggi sebagai symbol sila ke-1 “Ketuhanan Yang Maha Esa”, Ibu Jari atau Jempol adalah Jari untuk tanda penghargaan sebagai symbol sila ke-2 “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab”, Jari Telunjuk, Jari beragam fungsi, tanda mengingat, menunjuk, mengarahkan dan symbol angka 1 yakni sila ke-3 “Persatuan Indonesia”, Jari Kelingking, Jari terkecil yang bermakna rakyat kecil merujuk sila ke-4 “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Jari Manis, Jari yang dimanjakan dengan hiasan, symbol status social seseorang dan symbol kesejahteraan sebagaimana sila ke-5 “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, sampai dengan (2) cara lebih serius melalui misalnya Penghayatan Ketuhanan Yang Maha Esa mengingat bahwa pemahaman sila ke-1 itu memberikan dampak penjiwaan berperilaku kepada sila2 yang lain [Majelis KAUMAN]. (3) Beberapa satuan kerja masyarakat bahkan berprakarsa menerbitkan beragam judul buku tentang jabaran paham Pancasila ini, dan secara sistematik telah menguraikan kajian sedemikian dalamnya sehingga mempermudah pembacanya dapat memperoleh kedalaman makna daripada Pancasila, dlsb. Keserentakan itulah yang patut diakomodasikan dalam satu gerakan bersama bernama Badan Pembudayaan Pancasila sehingga dapat menjadi satu kekuatan berskala nasional demi kepentingan pemenuhan amanat Pembukaan UUD 1945. Bagaimanapun, dari catatan sejarah, semangat REVOLUSI PANCASILA antara lain telah menggerakkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dalam rangka perbaikan/pelurusan situasi dan kondisi liberalisasi politik ketika itu yang lalu menghadirkan Politik Demokrasi Terpimpin. Dalam konteks kekinian, maka seharusnya upaya serupa tapi tidak sama semisal perbaikan/pelurusan situasi dan kondisi liberalisasi ekonomi adalah guna menuju kehadiran Politik Ekonomi Terpimpin bagi pencapaian amanat sila ke-5 Pancasila. Pada intinya bahwa wacana REVOLUSI PANCASILA itu adalah ditujukan demi penegakan SUPREMASI PANCASILA melalui upaya kebersamaan berstruktur BADAN PEMBUDAYAAN PANCASILA. Jakarta, 29 Juni 2011 Pandji R Hadinoto, Komite Nasionalis Pancasila, eMail : komna...@yahoo.com |
POLITIK JEMBATAN EMAS PANCASILA Pandji R Hadinoto / Komite Nasionalis Pancasila Istilah Jembatan Emas digagas oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 ketika berpidato paparkan Pancasila, yaitu bahwa Kemerdekaan adalah Jembatan Emas menggapai cita-cita berbangsa bernegara. Berpedoman Politik Jembatan Emas inilah antara lain kemudian diperoleh beberapa tonggak capaian strategik bersejarah seperti Proklamasi Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945, Pengesahan Konstitusi (UUD 1945) 18 Agustus 1945, Pembentukan Badan Keamanan Rakyat 23 Agustus 1945 sebagai cikal bakal Tentara Keamanan Rakyat kemudian Tentara Republik Indonesia dan akhirnya Tentara Nasional Indonesia, Kedaulatan Indonesia Direbut 27 Desember 1949, Konperensi Asia Afrika 1955, Wawasan Nusantara 13 Desember 1957, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Penyelenggara Asian Games 1963 dan Games of the New Emerging Forces 1964, Penggabungan Irian Jaya ke NKRI 1968, dlsb. Kini, Jembatan-jembatan Emas lainpun masih didambakan rakyat banyak ditengah situasi dan kondisi keterpurukan Pemerataan dan Kedaulatan Ekonomi Kerakyatan bertanda tingkat kemiskinan rakyat menaik dan penguasaan produk hajat hidup orang banyak menurun drastis, akibat pemberdayaan Politik Liberalisasi Ekonomi atau Neo Kolonialisme. Sehingga adanya upaya seperti Rancangan Amandemen ke-5 UUD45 [2002] seharusnya memperhitungkan hadirnya solusi kebijaksanaan publik atau politik hukum antisipatif terhadap situasi dan kondisi termaksud diatas, semisal tentang keberdayaan Politik Ekonomi Terpimpin merujuk keberhasilan beberapa negara Asia yang mengukir prestasi skala dunia karena berorientasi non liberalisasi ekonomi mereka pada kurun waktu yang sama pasca Indonesia Reformasi 1999. Pidato Kebangsaan 1 Juni 2011 yang antara lain terungkap tentang hadirnya fenomena politik VOC gaya baru adalah semestinya menjadi pertanda akan pentingnya reorientasi politik kenegaraan gaya baru pula, merujuk tonggak2 strategik seperti Proklamasi Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945 sebagai politik pembebasan dari penjajahan atau kolonialisme, dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai politik perbaikan/pelurusan dari politik liberalisasi demokrasi sejak 1950. Salah satu cara perbaikan/pelurusan itu adalah dengan perkuatan kedudukan konstitusional paham Pancasila ke dalam batang tubuh Konstitusi NKRI 2002, seperti yang diwacanakan sebagai Politika Adendum UUD45 [2002], sehingga SUPREMASI PANCASILA dapat tertegakkan sebagaimana mestinya, sejak 5 Juli 2011, merujuk pula kehadiran produk TAP MPRS/XXV/’66 tentang Pelarangan Terhadap Atheisme/Komunisme Di Bumi Pertiwi Indonesia 5 Juli 1966, sebagai berikut : POLITIKA PANCASILA ADENDUM UUD 1945 [Pandji R Hadinoto / Majelis Benteng Pancasila / 10 Nopember 2009] PEMBATASAN :
PENGUSULAN : PERTAMA : Pasal-1 (3) Batang Tubuh Nilai dan Norma Pancasila wajib senantiasa dihayati, diamalkan dan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pasal-1 (3) Penjelasan Yang dimaksud dengan Nilai dan Norma Pancasila adalah ketentuan sebagai berikut : SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA
SILA KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
SILA PERSATUAN INDONESIA
SILA KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAH KEBIJAKASANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN/ PERWAKILAN
SILA KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA
KEDUA : Pasal-22 (1) Batang Tubuh Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang, dengan diskresi bukan tanpa batas Pasal-22 (1) Penjelasan (kriteria kegentingan yang memaksa tersebut diatas diuraikan lebih terukur) KETIGA : Pasal-27 (3) Negara memberikan perlindungan hukum bagi warga Negara penggiat gerakan anti suap dan anti korupsi nasional serta penggiat pembangunan Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab dalam rangka penguatan jati diri hak asasi manusia Indonesia; KEEMPAT : Pasal-30 (3) Batang Tubuh Negara membentuk badan pengelola daerah perbatasan dengan maksud dan tujuan kepastian pembelaan negara bagi perlindungan garis batas Negara; KELIMA : Pasal-30 (4) Batang Tubuh Negara memberikan ruang gerak kegiatan pengawasan sosial kepada masyarakat madani terstruktur, berwujud kajian moral Pancasila terhadap kinerja penyelenggara Negara demi kepastian pembelaan negara; KEENAM : Pasal-30 (5) Batang Tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga tinggi Negara demi kepastian pembelaan negara dari tindak pidana luar biasa yang dapat melumpuhkan sendi-sendi bangunan masyarakat, bangsa dan negara; KETUJUH : Pasal-35 (3) Batang Tubuh Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya yang wajib dinyanyikan lengkap pada setiap upacara kenegaraan; Pasal-35 (3) Penjelasan (Syair 3 kuplet selengkapnya dimuat) KEDELAPAN : Pasal-1 (4) Batang Tubuh Proklamasi Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945 adalah wajib diikrarkan pada setiap upacara kenegaraan Pasal-1 (4) Penjelasan (substansi Proklamasi dimuat selengkapnya) KESEMBILAN : Pasal-1 (5) Batang Tubuh Sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang bermakna Berbeda Dalam Persatuan adalah kelengkapan yang melekat pada lambang Negara Garuda Pancasila dan wajib diutarakan pada setiap awalan pidato kenegaraan; Pasal-1 (5) Penjelasan (Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrva diuraikan lengkap makna merujuk a.l. buku 700 Tahun Majapahit, Dinas Pariwisata Daerah Propinsi DaTi I JaTim, 1993) KESEPULUH : Pasal-7 Batang Tubuh Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun. Dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan KESEBELAS : Pasal-24 (1) Batang Tubuh Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi serta lain lain badan kehakiman menurut undang-undang KEDUABELAS : Tambahan Penjelasan Umum IV 7 (Tujuh) kata Semangat termaksud diatas itu ialah Jiwa, Semangat dan Nilai-nilai 45 yang adalah Jiwa, Semangat dan Nilai-nilai kejuangan bangsa Indonesia, yang dapat dirinci menjadi nilai-nilai dasar dan nilai-nilai operasional sebagai berikut : Nilai-nilai dasar :
Nilai-nilai operasional : Nilai-nilai operasional adalah nilai-nilai yang lahir dan berkembang dalam perjuangan bangsa Indonesia selama ini dan merupakan dasar yang kokoh dan daya dorong mental spiritual yang kuat dalam setiap tahap perjuangan Bangsa seterusnya untuk mencapai Tujuan Nasional Akhir, seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, serta untuk mempertahan-kan dan mengamankan semua hasil yang tercapai dalam perjuangan tersebut, yang meliputi
PEMBENARAN : Pedoman Umum Pelestarian Jiwa, Semangat dan Nilai-nilai 45 (*) Catatan : Kaji Ulang substansi Amandemen UUD 1945 (edisi 2002) atau Assessment bagi keperluan substansi Adendum UUD 1945 (edisi 1959) Edisi 1959 adalah Lembaran Negara Republik Indonesia No 75, 1959 Edisi 2002 adalah Risalah Rapat Paripurna ke-5 Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 Sebagai Naskah Perbantuan Dan Kompilasi Tanpa Ada Opini, yang konon baru didaftarkan ke Lembaran Negara Republik Indonesia pada awal tahun 2006 oleh Ketua MPR RI 2004 – 2009. Dengan demikian maka Strategi 7 (Tujuh) Ketahanan Bangsa senantiasa dapat diharapkan akan terjaga baik yaitu (1) Kehidupan bidang agama tidak rawan, (2) Kehidupan bidang ideologi tidak retak, (3) Kehidupan bidang politik tidak resah, (4) Kehidupan bidang ekonomi tidak ganas, (5) Kehidupan bidang budaya tidak pudar, (6) Kehidupan bidang pertahanan keamanan tidak lengah, dan (7) Kehidupan bidang lingkungan tidak gersang. Jakarta, 3 Juli 2011 |
66 Tahun PIAGAM DJAKARTA |
Pandji R Hadinoto / Komite Nasionalis Pancasila |
Sejarah mencatat bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 18 Agustus 1945 (BRI No. 1 Tahun 1 tanggal 17 Nopember 1945 dan dimuat ulang BRI No. 7 Tahun II tanggal 13 Februari 1946) adalah Piagam Djakarta 22 Juni 1945 MINUS 7 (Tujuh) Kata yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Bersyukur bahwa kedudukan hukum Piagam Djakarta tertanggal 22 Juni 1945 itu oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dinyatakan “menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi”. Dalam konteks kekinian yakni hadirnya gagasan perbaikan UUD 1945 terhadap versi Risalah Rapat Paripurna ke-5 Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 Sebagai Naskah Perbantuan Dan Kompilasi Tanpa Ada Opini atau yang dikenali sebagai Amandemen UUD 1945 Tahun 2002 yang tidak menghadirkan ikhwal Piagam Djakarta, maka seharusnya pilihan bijaksana bilamana dalam pertimbangan rancangan perbaikan yang diberi judul Amandemen ke-5 itu juga menyatakan kembali kedudukan hukum Piagam Djakarta itu. Memang tampaknya langkah ini dapat memunculkan situasi dan kondisi dilematis, misalnya akan ada pendapat bahwa kenapa sejak 2002 PiagamDjakarta, kalau begitu, dilupakan. Oleh karena itulah tampaknya pendekatan perbaikan konstitusi melalui peta jalan Amandemen ke-5 itu boleh jadi dapat dirasakan kurang mantap, sehingga adalah benar adanya pendapat bahwa bilamana kehendak mulia berupa perbaikan konstitusi demi keparipurnaan bernegara sesungguhnya memang lebih patut dipilih pendekatan perbaikan konstitusi melalui peta jalan Politika Adendum UUD 1945 (LNRI No. 75,1959) demi Jembatan Emas Pancasila [jakarta45 www.google.com]. Apalagi, pilihan Adendum terhadap UUD 1945 [1959] diperkuat dengan fakta hukum bahwa Amandemen UUD 1945 [2002] itu tidak memuat pengaturan tentang ketidakberlakuan daripada UUD 1945 [1959], walaupun dikenali azas lex posterior derogate legi priori (peraturan perundang-undangan yang terkemudian menyisihkan peraturan perundang-undangan yang terdahulu). Tidak berkelebihan, kesemuanya ini diketengahkan demi iktikad baik dan dikedepankannya sikap Politika Kenegarawanan Pancasila Indonesia mengingat pesan “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” serta semoga tulisan ini dapat menginspirasi para elite pembijak publik di lembaga-lembaga pemerintahan kini sedemikian rupa demi tetap memelihara Strategi Ketahanan Bangsa khususnya kehidupan bidang ideologi tidak retak, ditengah pendapat bahwa dari 177 negara di dunia, Indonesia 2010 berperingkat 61 dengan kategori sebagai “dalam peringatan” pada Indeks Negara Gagal (Failed State Index, The Fund for Peace and Foreign Policy) dari 4 (empat) kategori yakni posisi waspada (alert), dalam peringatan (warning), sedang (moderate), dan bertahan (sustainable). Jakarta, 9 Juli 2011 eMail : komna...@yahoo.com , www.jakarta45.wordpress.com Dari Wikisource bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Berikut adalah naskah asli Piagam Jakarta yang ditulis dalam ejaan Republik: Piagam Jakarta
Bahwa sesungguhnja kemerdekaan itu jalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka pendjadjahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Dan perdjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai (lah) kepada saat jang berbahagia dengan selamat-sentausa mengantarkan rakjat Indonesia kedepan pintu gerbang Negara Indonesia jang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat Rahmat Allah Jang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaja berkehidupan kebangsaan jang bebas, maka rakjat Indonesia menjatakan dengan ini kemerdekaannja. Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka jang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan untuk memadjukan kesedjahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, jang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indnesia, jang berkedaulatan rakjat, dengan berdasar kepada: keTuhanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja, menurut dasar kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam permusjawaratan perwakilan, serta dengan mewudjudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia. Djakarta, 22 Juni 1945 Ir. Soekarno Untuk naskah Piagam Jakarta dalam ejaan yang disempurnakan: Piagam Jakarta Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai (lah) kepada saat yang berbahagia dengan selamat-sentosa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indnesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada: ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewudjudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Jakarta, 22 Juni 1945 Ir. Soekarno Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Piagam Jakarta adalah hasil kompromi tentang dasar negara Indonesia yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan dan disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 antara pihak Islam dan kaum kebangsaan (nasionalis). Panitia Sembilan merupakan panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI. Di dalam Piagam Jakarta terdapat lima butir yang kelak menjadi Pancasila dari lima butir, sebagai berikut:
Pada saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preambule). Selanjutnya pada pengesahan UUD 45 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah Muqaddimah diubah menjadi Pembukaan UUD setelah butir pertama diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Perubahan butir pertama dilakukan oleh Drs. M. Hatta atas usul A.A. Maramis setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo. Naskah Piagam Jakarta ditulis dengan menggunakan ejaan Republik dan ditandatangani oleh Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H.A. Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin.
Oleh: Adian Husaini http://adianhusaini.blogspot.com/ Pada Hari Kamis, 21 Juni 2007, Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) menyelenggarakan sebuah acara penting, yakni peluncuran buku berjudul ”Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah”, karya cendekiawan Muslim Ridwan Saidi. Melalui buku ini, Ridwan Saidi membuktikan, bahwa Piagam Jakarta bukan hanya merupakan produk sejarah, tetapi juga sekaligus produk hukum. Ridwan Saidi menegaskan, bahwa ”Piagam Jakarta masih berlaku sampai sekarang. Artinya syariat Islam secara legal memang berlaku di Indonesia”. Lebih jauh, ketika saya hubungi, sesaat menjelang acara bedah bukunya di Jakarta, Ridwan mengharapkan agar pemerintah dan DPR seharusnya meninjau kembali semua produk hukum dan perundang-undangan di Indonesia yang tidak mengacu kepada Piagam Jakarta. Piagam Jakarta adalah produk hukum yang secara resmi dikembalikan posisinya oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit 5 Juli 1959. Dokumen ini tercantum dalam Keppres Nomor 150 tahun 1959 dan Lembaran Negara Nomor 75/1959.
Tahun lalu, pada hari Kamis, 22 Juni 2006, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia juga menyelenggarakan peringatan Piagam Jakarta yang ke-61. Dalam seminar tersebut, saya juga menyampaikan data-data sejarah bahwa sebenarnya perjuangan para pejuang Islam terdahulu dalam upaya menegakkan Islam tidaklah gagal. Meskipun secara verbatim, tujuh kata dalam Piagam Jakarta telah dihapuskan, tetapi hal itu dikembalikan lagi dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dalam dekrit tersebut, Presiden Soekarno dengan tegas menyatakan: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Dalam Catatan Akhir Pekan ke-151, kita sudah membahas masalah ini. Dr. Roeslan Abdulgani, tokoh utama PNI, selaku Wakil Ketua DPA dan Ketua Pembina Jiwa Revolusi, menulis: “Tegas-tegas di dalam Dekrit ini ditempatkan secara wajar dan secara histories-jujur posisi dan fungsi Jakarta Charter tersebut dalam hubungannya dengan UUD Proklamasi dan Revolusi kita yakni: Jakarta Charter sebagai menjiwai UUD ’45 dan Jakarta Charter sebagai merupakan rangkaian kesatuan dengan UUD ’45.” Dalam acara Peringatan 18 tahun Piagam Jakarta, KH Saifuddin Zuhri, tokoh NU dan selaku Menteri Agama, mengatakan: “Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka hapuslah segala selisih dan sengketa mengenai kedudukan yang legal daripada Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Piagam yang jadi pengobar dan bebuka Revolusi Nasional kita itu tegas-tegas mempunyai kedudukan dan peranan ketatanegaraan kita sebagai yang menjiwai UUD dan merupakan rangkaian kesatuan dengannya dengan sendirinya mempunyai pengaruh yang nyata terhadap setiap perundang-undangan Negara dan kehidupan ideologi seluruh bangsa.” Dalam pidatonya pada hari peringatan Piagam Jakarta tanggal 29 Juni 1968 di Gedung Pola Jakarta, KHM Dahlan, tokoh NU, yang juga Menteri Agama pengganti KH Saifuddin Zuhri, mengatakan: “Bahwa diatas segala-galanya, memang syariat Islam di Indonesia telah berabad-abad dilaksanakan secra konsekuen oleh rakyat Indonesia, sehingga ia bukan hanya sumber hukum, malahan ia telah menjadi kenyataan, di dalam kehidupan rakyat Indonesia sehari-hari yang telah menjadi adat yang mendarah daging. Hanya pemerintah colonial Belandalah yang tidak mau menformilkan segala hukum yang berlaku di kalangan rakyat kita itu, walaupun ia telah menjadi ikatan-ikatan hukum dalam kehidupan mereka sehari-hari.” Meskipun Piagam Jakarta adalah bagian yang sah dan tidak terpisahkan dari UUD 1945, tetapi dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, memang senantiasa ada usaha keras untuk menutup-nutupi hal ini. Di zaman Orde Lama, sebelum G-30S/PKI, kalangan komunis sangat aktif dalam upaya memanipulasi kedudukan Piagam Jakarta. Ajip Rosidi, sastrawan terkenal menulis dalam buku, Beberapa Masalah Umat Islam Indonesia (1970): “Pada zaman pra-Gestapu, PKI beserta antek-anteknyalah yang paling takut kalau mendengar perkataan Piagam Jakarta… Tetapi agaknya ketakutan akan Piagam Jakarta, terutama ke-7 patah kata itu bukan hanya monopoli PKI dan antek-anteknya saja. Sekatang pun setelah PKI beserta antek-anteknya dinyatakan bubar, masih ada kita dengar tanggapan yang aneh terhadapnya.” Jadi, meskipun secara verbal terhapus dari naskah Pembukaan UUD 1945, tetapi kedudukan Piagam Jakarta sangatlah jelas, sebagaimana ditegaskan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Di zaman Soekarno, Piagam Jakarta juga diakui sebagai sumber hukum yang hidup. Sejumlah peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan setelah tahun 1959 merujuk atau menjadikan Piagam Jakarta sebagai konsideran. Sebagai contoh, penjelasan atas Penpres 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dibuka dengan ungkapan: “Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia ia telah menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Dalam Peraturan Presiden No 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga dicantumkan pertimbangan pertama: “bahwa sesuai dengan Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, yang mendjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut…”. Perlu dicatat, bahwa sejak 1945, meskipun Piagam Jakarta dihapuskan, tetapi umat Islam juga mendapatkan konsesi pendirian Departemen Agama. Dalam rapat PPKI tanggal 19 Agustus 1945, usulan pembentukan Departemen Agama ditolak oleh Latuharhary dan kalangan nasionalis sekular. Namun, akhirnya Soekarno dan Hatta menerima usulan pembentukan Depoartemen Agama yang secara resmi berdiri pada 3 Januari 1945. Prof. HM Rasjidi diangkat sebagai Menteri Agama pertama. Pada tahun 1967, Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Menteri Agama No. 56/1967 tentang perincian struktur organisasi, tugas, dan wewenang Departemen Agama, yang antara lain menyatakan: “Tugas Departemen Agama dalam jangka panjang ialah melaksanakan Piagam Jakarta dalam hubungannya dengan UUD.” (Pasal 1, ayat 1-d). (Data-data seputar Piagam Jakarta, lebih jauh bisa dilihat pada buku Endang S. Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: GIP, 1997)). Jadi, dari segi historis dan juridis, sebenarnya kedudukan Piagam Jakarta dan Syariat Islam sudah sangat gamblang. Pada masa lalu, umat Islam Indonesia biasa memperingati acara lahirnya Piagam Jakarta setiap tanggal 22 Juni. Hari bersejarah ini perlu dikenang dan dihidupkan, sebab itulah satu hari dimana berbagai tokoh dari berbagai latar belakang ideologis di Indonesia bertemu dan bersepakat setelah melalui perdebatan yang panjang dan melelahkan. Ada baiknya kita menengok kembali bagaimana perdebatan dan kesepakatan yang telah dicapai oleh tokoh-tokoh Islam, Kristen, dan kalangan nasionalis sekular di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapakan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai), yang akhirnya menghasilkan Piagam Jakarta. Usai penyusunan Piagam Jakarta oleh Panitia Sembilan, Soekarno berbicara di BPUPKI: “Di dalam preambule itu ternyatalah, seperti saya katakan tempo hari, segenap pokok-pokok pikiran yang mengisi dada sebagian besar daripada anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyosakai. Masuk di dalamnya ke-Tuhanan, dan terutama sekali kewajiban umat Islam untuk menjalankan syariat Islam masuk di dalamnya; kebulatan nasionalisme Indonesia, persatuan bangsa Indonesia masuk di dalamnya; kemanusiaan atau Indonesia merdeka masuk di dalamnya; perwakilan permupakatan kedaulatan rakyat masuk di dalamnya; keadilan sosial, sociale rechtvaardigheit, masuk di dalamnya. Maka oleh karena itu, Panitia Kecil penyelidik usul-usul berkeyakinan bahwa inilah preambule yang bisa menghubungkan, mempersatukan segenap aliran yang ada di kalangan anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai.” Dalam buku Risalah Sidang BPUPKI terbitan Setneg digambarkan perdebatan dalam badan tersebut. Piagam Jakarta sebenarnya adalah “rumusan kompromi”, bukan kemenangan Islam 100 persen. Dalam rapat BPUPKI tanggal 11 Juli 1945, baik pihak Kristen maupun pihak Islam masih mempersoalkan rumusan Piagam Jakarta itu. Dari pihak Kristen, muncul Latuharhary dari Maluku, yang menggugat rumusan Piagam Jakarta. Latuharhary tidak secara tegas menyampaikan aspirasi Kristen, tetapi menyoal, jika syariat Islam diwajibkan pada pemeluknya, maka mereka harus meninggalkan hokum adat yang sudah diterapkannya selama ini, seperti di Minangkabau dan Maluku. Haji Agus Salim, yang asal Minangkabau, membantah pernyataan Latuharhary, bahwa Piagam Jakarta akan menimbulkan kekacauan di Minangkabau. Malah dia menegaskan: “Wajib bagi umat Islam menjalankan syariat, biarpun tidak ada Indonesia merdeka, biarpun tidak ada hokum dasar Indonesia, itu adalah satu hak umat Islam yang dipegangnya.” Menanggapi Latuharhary, Soekarno menyatakan: “Barangkali tidak perlu diulangi bahwa preambule adalah hasil jerih payah untuk menghilangkan perselisihan faham antara golongan-golongan yang dinamakan golongan kebangsaan dan golongan Islam. Jadi, manakala kalimat itu tidak dimasukkan, saya yakin bahwa pihak Islam tidak bisa menerima preambule ini; jadi perselisihan nanti terus.” Wachid Hasjim, tokoh NU yang juga ayah dari Abdurrahman Wahid, juga menyampaikan tanggapannya, bahwa rumusan Piagam Jakarta itu tidak akan menimbulkan masalah seperti yang dikhawatirkan. Malah, dengan tegas, Wachid Hasjim, menyatakan: “Dan jika masih ada yang kurang puas karena seakan-akan terlalu tajam, saya katakana bahwa masih ada yang berpikir sebaliknya, sampai ada yang menanyakan pada saya, apakah dengan ketetapan yang demikian itu orang Islam sudah boleh berjuang menyeburkan jiwanya untuk negara yang kita dirikan ini. Jadi, dengan ini saya minta supaya hal ini jangan diperpanjang.” Menanggapi pernyataan Wachid Hasjim itu, Soekarno menegaskan lagi, “Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat “dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sudah diterima Panitia ini.” Piagam Jakarta adalah naskah pembukaan (preambule) UUD 1945 yang disiapkan untuk konstitusi Negara Indonesia merdeka. Ketika naskah pembukaan itu sudah disepakati, maka naskah-naskah rincian pasal-pasal dalam UUD 1945 masih menjadi persoalan. Dalam rapat tanggal 13 Juli 1945, Wachid Hasjim mengusulkan, agar Presiden adalah orang Indonesia asli dan “yang beragama Islam”. Begitu juga draft pasal 29 diubah dengan ungkapan: “Agama Negara ialah agama Islam”, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain, untuk dan sebagainya. Kata Wachid Hasjim: “Hal ini erat perhubungan dengan pembelaan. Pada umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat, karena menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama.” Soekarno, lagi-lagi meminta kepada seluruh anggota BPUPKI: “Sudahlah hasil kompromis diantara 2 pihak, sehingga dengan adanya kompromis itu, perselisihan diantara kedua pihak hilang. Tiap kompromis berdasar kepada memberi dan mengambil, geven dan nemen. Ini suatu kompromis yang berdasar memberi dan mengambil… Pendek kata, inilah kompromis yang sebaik-baiknya. Jadi, panitia memegang teguh akan kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Muh. Yamin “Djakarta Charter”, yang disertai perkataan Tuan angora Soekiman, gentlemen agreement, supaya ini dipegang teguh di antara pihak Islam dan pihak kebangsaan.” Kisah-kisah seperti ini tidak dibeberkan secara gamblang dalam buku sejarah untuk anak-anak kita di sekolah-sekolah. Karena itu, tanggal 22 Juni seyogyanya menjadi hari penting bagi bangsa Indonesia. Karena itu, sangatlah baik jika umat Islam sendiri yang aktif memperingati hari lahirnya Piagam Jakarta, seperti yang dilakukan KISDI pada 21 Juni 2007. Apalagi, acara ini ditandai dengan peluncuran sebuah buku – satu tradisi ilmiah yang perlu dikembangkan lebih jauh. [Depok, 22 Juni 2007] http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/072007/06/0901.htm TENTANG PAHAM PIAGAM JAKARTA Oleh WIRIA SUPENA Satu pertanyaan, mengapa umat Islam jazirah Arab tidak mendambakan sistem kilafat atau membentuk negara “Islam-Arabia” tetapi membentuk sistem kerajaan yang tidak demokratis? Pertanyaan berikutnya adalah, apakah “Islam” tidak bermasalah dengan sistem kerajaan, demikian pula apakah bermasalah dengan cita-cita kebangsaan? PADA “PR” tanggal 22 Juni 2007, penulis tertarik dengan artikel Bapak Irfan Anshory, mantan pengurus ormas Muhammadiyah yang mengupas bagian lintasan sejarah Indonesia berjudul “Memahami Piagam Jakarta”. Di dalam sejarah dunia kita menyimak telah lahir banyak piagam. Menurut Dr. Husein Haikal di dalam bukunya Hayat-Muhammad maupun uraian Prof. K. Ali dalam bukunya A Study of Islamic History, piagam tertua dan merupakan dokumen tertulis yang autentik adalah “Piagam Madinah” yang dirumuskan secara gemilang oleh Nabi Muhammad saw. Piagam-piagam lainnya yang berpengaruh besar terhadap peradaban sejarah dunia dapat disebutkan a.l. “Piagam Philadelphia” (AS tanggal 4 Juli 1776), Piagam Atlantik atau Kesepakatan Roosevelt-Churchill (tanggal 14-8-1941), dan Piagam San Fransisco (tanggal 26 Juni 1945) yang isinya, bermuatan nuansa sejalan sekitar kemerdekaan, demokrasi, persamaan, keseteraan, hak asasi manusia, antikolonialisme, perdamaian, keadilan, dan bekerja sama saling membantu untuk kesejahteraan umat manusia. Pertanyaannya, mengapa piagam-piagam itu pantas disebutkan, karena secara geopolitik terutama “Piagam Madinah” yang pantas disebut Sunnah Nabi, keseluruhannya besar sekali pengaruhnya terhadap gerakan Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Dari bagian artikel tersebut yang menarik adalah diungkapkannya terdapat anggota “badan perumus” yang disebut mewakili kelompok “nasionalis sekuler berdasarkan kebangsaan” dan “nasionalis islami yang berdasarkan Islam” yang di dalam bukunya Prof. Mr. H. Muh. Yamin (Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945) sama sekali tidak disinggung apalagi disebut nama-namanya secara jelas. Prof. Dr. Quraish Shihab, M.A. di dalam buku Wawasan Alquran dalam Bab Kebangsaan (hlm. 330), menulis bahwa sampai sekarang para pakar belum sepakat tentang pengertian “nasionalis” dan “kebangsaan” khususnya mengenai unsur-unsur, syarat-syarat, jiwa, dan nuansanya. Pakar pers, Adinegoro dalam Ensiklopedi Umum yang diterbitkannya, menulis “nasionalis”, bersifat “kebangsaan”, menghendaki kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan tanah air, sehingga kekuasaan politik, ekonomi, dan kebudayaan terletak di tangan bangsa itu. Orang-orang yang ingin mencapai cita-cita itu disebut “nasionalis”. Di Indonesia pergerakan nasionalis bermula di Jawa dengan berdirinya “Budi Utomo” dan “Serikat Islam”! Di dunia Arab, dalam konteks nasionalisme seorang penulis terkemuka Fathi Yakan di dalam bukunya yang berjudul Harakat wa Madzahib fi Miyzam I-Islam menulis bahwa sebelum ada Kerajaan Saudi Arabia telah berkembang gerakan nasionalis Arab nasionalis Syria dan nasionalis Irak. Berkat bantuan pihak Amerika, Mr. Saud berjaya dan berhasil mendirikan Kerajaan Saudi Arabia setelah “menying kirkan” teman-temannya dan lawan-lawannya. Satu pertanyaan, mengapa umat Islam jazirah Arab tidak mendambakan sistem kilafat atau membentuk negara “Islam-Arabia” tetapi membentuk sistem kerajaan yang tidak demokratis? Pertanyaan berikutnya adalah, apakah “Islam” tidak bermasalah dengan sistem kerajaan, demikian pula apakah bermasalah dengan cita-cita kebangsaan? Dalam uraian tafsir Alquran, Prof. Dr. Quraish Shihab mengungkap pentingnya kata-kata sya’b-qaum dan ummah dalam konteks kemasyarakatan. Menurut pakar bahasa Arab Mesir dalam buku Mu’jam Al Wasita kata ummah diterjemahkan sebagai “bangsa”, selanjutnya kata sya’b dalam Surat Al-Hujurat (4:13) di dalam tafsir Alquran Departemen Agama Islam RI diterjemahkan juga berarti “bangsa”. Para Rasul sebelum Nabi Muhammad saw. menyeru masyarakatnya dengan kata ya qaumi, yang berarti “ya kaumku” atau “ya bangsaku”. Agar menjadi informasi bahwa Alquran memuat kata qaum sebanyak 322 kali serta menulis kata ummah sebanyak 51 kali dan Nabi Muhammad saw. menyeru Islam bukan kepada “kaumnya” dengan derajat kemanusiaan yaitu ucapan ya ayyuhannas (wahai seluruh manusia). Alquran memang memerintahkan (maksudnya Allah SWT) “kesatuan” dan “persatuan” seperti dapat disimak dalam surat Al-Anbiya (21):92 dan Al Muminun (23:52) yang berbunyi, “Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu.” Akan tetapi, akan meleset bila diartikan bahwa umat Islam perlu disatukan dalam satu wadah kenegaraan. Ide “Pan Islam” dari Jamaluddin Al-Afghani aksennya pada “satu tujuan”, bukan “satu negara Islam”, tetapi tidak diikuti, justru yang berkembang adalah “Pan Arab”. Bahwa konsep Islam terfokus dalam satu tujuan, juga diperlihatkan pada Surat Ali Imran (3:105) di mana Allah SWT. berfirman, “Janganlah kamu menjadi seperti mereka yang berkelompok-kelompok dan berselisih, setelah datang penjelasan kepada mereka. Untuk mereka disediakan siksaan yang besar. Dalam kehidupan yang islami, perlu digarisbawahi adanya pemisahan antara agama dan penganut agama atau yang secara mudah telah dirumuskan oleh Syaikh Muhammad Abduh, “Ajaran Islam tertutup oleh perilaku Muslimin.” Setelah berorientasi atas beberapa surat Alquran, dengan menghayati dan memahami beberapa arti kata penting seperti qaum dan ummah yang oleh para pakar tafsir senantiasa diterjemahkan sebagai “bangsa”, marilah kita kaitkan dengan masalah bernegara. Sebagai hadis sahih Iman Muslim merawikan sbb., Nabi Muhammad bersabda, “Kaum lebih mengetahui tentang urusan duniamu (ketimbang aku).” Tentang hal itu para ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud adalah tentang masalah bernegara. Jadi, Nabi Muhammad saw. sebagai negarawan yang terkenal sangat piawai tidak pernah melahirkan konsep negara Islam dan mengharamkan negara sekuler. Piagam Madinah adalah bukti autentik adanya Proklamasi Republik Madinah yang berasaskan kebangsaan dan bukan negara Islam Madinah. Mungkin demikian pendapat para ulama/Ahli fiqih bangsa Arab, bahwa kerajaan Saudi Arabia sangat sesuai bila tidak disebut negara “Islam-Arab”. Dengan tidak mengurangi rasa hormat yang tinggi kepada Prof. Dr. Ernest Renan, penulis setelah membaca pidato pengukuhan Guru Besar Sorbone dengan teori nation-nya isinya dapat diduga sangat dipengaruhi oleh butir-butir “Piagam Madinah” yang dirumuskan Nabi Muhammad saw. (lihat buku Hayat-Muhammad oleh Dr. Husein Heikal). Kembali menyinggung sidang-sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Prof. Mr. H. Muh. Yamin) yang anggotanya dilantik oleh Jenderal Itagaki Seisiroo selaku pimpinan pemerintahan Jepang di Indonesia, beranggotakan 62 orang Indonesia (tokoh/pemuda/mahasiswa pejuang eks Perhimpunan Indonesia di Belanda) dengan ditunjuk Ketua Dokter Radjiman Wedioningrat dan didampingi Ketua Muda R.P. Soeroso, sedangkan Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dll. hanya sebagai anggota biasa. Sidang-sidang “Badan Penyelidik” dibagi dalam dua kali masa sidang sbb. a). Persidangan pertama dari tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945; b). Persidangan kedua dari tanggal 10 Juli sampai 17 Juli 1945. Acaranya tidak tepat kalau disebut acara tunggal menentukan dasar negara Indonesia, karena badan tersebut bekerja menyimpang dari tugasnya sebab menjadi “mempersiapkan kemerdekaan Indonesia”. Dalam waktu sangat singkat mereka berhasil membuat rancangan UUD plus mukadimahnya, membahas secara mendalam tentang sistem ketatanegaraan Indonesia dan sistem hukumnya sebagai negara yang berdaulat dan demokratis. Bila menengok lintasan sejarah, para anggota dewan tersebut bukanlah yang baru kenal sesaat tetapi terutama terdiri dari tokoh-tokoh pemuda/mahasiswa yang studi di Indonesia maupun di Nederland yang tergabung dalam “Perhimpunan Indonesia” yang sejak tahun 20-an telah banyak berdiskusi tentang cita-cita Indonesia merdeka lengkap dengan pembahasan mendalam tentang pelbagai permasalahannya. Titik kulminasi gerakan ini direfleksikan pada bulan Oktober tahun 1928 secara berani dan amat terbuka, amat kompak bersatu untuk melangkah satu tujuan untuk Indonesia merdeka dengan niat tinggi tanpa benih-benih berjuang untuk “bipolarisasi”. Penulis amat berharap, agar kegiatan analisis yang tidak berdasar seperti itu sekalipun merasa baik, demi keutuhan NKRI tundalah sampai akhir zaman. Pasti Allah SWT. Maha Mengetahui dan akan bersama kebenaran.*** Penulis, pengurus P4-KI Jabar, (Persatuan Putra Putri Perintis Kemerdekaan Indonesia Oleh: Dr. Adian Husaini* hidayatullah.com–Tanggal 22 Juni biasanya dikenang oleh umat Muslim Indonesia sebagai hari kelahiran Piagam Jakarta. Tetapi, tampaknya, kaum Kristen di Indonesia masih tetap menjadikan Piagam Jakarta sebagai momok yang menakutkan. Padahal, Piagam Jakarta bukanlah barang haram di negara ini. Bahkan, dalam Dekritnya pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno dengan tegas mencantumkan, bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Tapi, entah kenapa, kaum Kristen di Indonesia begitu alergi dan ketakutan dengan Piagam Jakarta. Sebagai contoh, Tabloid Kristen REFORMATA edisi 103/Tahun VI/16-31 Maret 2009 menurunkan laporan utama berjudul “RUU Halal dan Zakat: Piagam Jakarta Resmi Diberlakukan?” Dalam pengantar redaksinya, tabloid Kristen yang terbit di Jakarta ini menulis bahwa dia mengemban tugas mulia untuk mengamankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pluralis, sebagaimana diperjuangkan oleh para pahlawan bangsa. “Hal ini perlu terus kita ingatkan sebab akhir-akhir ini kelihatannya makin gencar saja upaya orang-orang yang ingin merongrong negara kita yang berfalsafah Pancasila, demi memaksakan diberlakukannya syariat agama tertentu dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana kita saksikan, sudah banyak produk perundang-undangan maupun peraturan daerah (perda) yang diberlakukan di berbagai tempat, sekalipun banyak rakyat yang menentangnya. Para pihak yang memaksakan kehendaknya ini, dengan dalih membawa aspirasi kelompok mayoritas, saat ini telah berpesta pora di atas kesedihan kelompok masyarakat lain, karena ambisi mereka, satu demi satu berhasil dipaksakan. Entah apa jadinya negara ini nanti, hanya Tuhan yang tahu,” demikian kutipan sikap Redaksi Tabloid Kristen tersebut. Cornelius D. Ronowidjojo, Ketua Umum DPP PIKI (Persekutuan Inteligensia Kristen Indonesia), seperti dikutip tabloid Reformata menyatakan, bahwa Piagam Jakarta sekarang sudah dilaksanakan dalam realitas ke-Indonesian melalui Perda dan UU. “Sekarang tujuh kata yang telah dihapus itu, bukan hanya tertulis, tapi sungguh nyata sekarang,” tegasnya. Yang menggemaskan, demikian Cornelius, yang melakukan hal itu, bukan lagi para pejuang ekstrim kanan, tapi oknum-oknum di pemerintahan dan DPR. “Ini kecelakaan sejarah. Harusnya penyelenggara negara itu bertobat, dalam arti kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen,” kata Cornelius lagi. Bahkan, tegasnya, “Saya mengatakan bahwa mereka sekarang sedang berpesta di tengah puing-puing keruntuhan NKRI.” Bagi umat Islam Indonesia, sikap antipati kaum Kristen terhadap syariat Islam tentulah bukan hal baru. Mereka – sebagaimana sebagian kaum sekular – berpendapat, bahwa penerapan syariat Islam di Indonesia bertentangan dengan Pancasila. Pada era 1970-1980-an, logika semacam ini sering kita jumpai. Para siswi yang berjilbab di sekolahnya, dikatakan anti Pancasila. Pegawai negeri yang tidak mau menghadiri perayaan Natal Bersama, juga bisa dicap anti Pancasila. Pejabat yang enggan menjawab tes mental, bahwa ia tidak setuju untuk menikahkan anaknya dengan orang yang berbeda, juga bisa dicap anti-Pancasila. Kini, di era reformasi, sebagian kalangan juga kembali menggunakan senjata Pancasila untuk membungkam aspirasi keagamaan kaum Muslim. Rumusan Pancasila yang sekarang adalah: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rumusan Pancasila tersebut adalah yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan hasil dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang dengan tegas menyatakan: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Jadi, Dekrit Presiden Soekarno itulah yang menempatkan Piagam Jakarta sebagai bagian yang sah dan tak terpisahkan dari Konstitusi Negara NKRI, UUD 1945. Dekrit itulah yang kembali memberlakukan Pancasila yang sekarang. Prof. Kasman Singodimedjo, yang terlibat dalam lobi-lobi tanggal 18 Agustus 1945 di PPKI, menyatakan, bahwa Dekrit 5 Juli 1959 bersifat “einmalig”, artinya berlaku untuk selama-lamanya (tidak dapat dicabut). “Maka, Piagam Jakarta sejak tanggal 5 Juli 1959 menjadi sehidup semati dengan Undang-undang Dasar 1945 itu, bahkan merupakan jiwa yang menjiwai Undang-undang Dasar 1945 tersebut,” tulis Kasman dalam bukunya, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982). Karena itu, adalah sangat aneh jika masih saja ada pihak-pihak tertentu di Indonesia yang alergi dengan Piagam Jakarta. Dr. Roeslan Abdulgani, tokoh utama PNI, selaku Wakil Ketua DPA dan Ketua Pembina Jiwa Revolusi, menulis: “Tegas-tegas di dalam Dekrit ini ditempatkan secara wajar dan secara histories-jujur posisi dan fungsi Jakarta Charter tersebut dalam hubungannya dengan UUD Proklamasi dan Revolusi kita yakni: Jakarta Charter sebagai menjiwai UUD ’45 dan Jakarta Charter sebagai merupakan rangkaian kesatuan dengan UUD ’45.” (Dikutip dari Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: GIP, 1997), hal. 130). Dalam pidatonya pada hari peringatan Piagam Jakarta tanggal 29 Juni 1968 di Gedung Pola Jakarta, KHM Dahlan, tokoh Muhammadiyah, yang juga Menteri Agama ketika itu mengatakan: “Bahwa di atas segala-galanya, memang syariat Islam di Indonesia telah berabad-abad dilaksanakan secra konsekuen oleh rakyat Indonesia, sehingga ia bukan hanya sumber hukum, malahan ia telah menjadi kenyataan, di dalam kehidupan rakyat Indonesia sehari-hari yang telah menjadi adat yang mendarah daging. Hanya pemerintah kolonial Belandalah yang tidak mau menformilkan segala hukum yang berlaku di kalangan rakyat kita itu, walaupun ia telah menjadi ikatan-ikatan hukum dalam kehidupan mereka sehari-hari.” (Ibid, hal. 135). Meskipun Piagam Jakarta adalah bagian yang sah dan tidak terpisahkan dari UUD 1945, tetapi dalam sejarah perjalanan bangsa, senantiasa ada usaha keras untuk menutup-nutupi hal ini. Di zaman Orde Lama, sebelum G-30S/PKI, kalangan komunis sangat aktif dalam upaya memanipulasi kedudukan Piagam Jakarta. Ajip Rosidi, sastrawan terkenal menulis dalam buku, Beberapa Masalah Umat Islam Indonesia (1970): “Pada zaman pra-Gestapu, PKI beserta antek-anteknyalah yang paling takut kalau mendengar perkataan Piagam Jakarta… Tetapi agaknya ketakutan akan Piagam Jakarta, terutama ke-7 patah kata itu bukan hanya monopoli PKI dan antek-anteknya saja. Sekarang pun setelah PKI beserta antek-anteknya dinyatakan bubar, masih ada kita dengar tanggapan yang aneh terhadapnya.” (Ibid, hal. 138). Jadi, sikap alergi terhadap Piagam Jakarta jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi Negara RI, UUD 1945. Meskipun secara verbal “tujuh kata” (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) telah terhapus dari naskah Pembukaan UUD 1945, tetapi kedudukan Piagam Jakarta sangatlah jelas, sebagaimana ditegaskan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Setelah itu, Piagam Jakarta juga merupakan sumber hukum yang hidup. Sejumlah peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan setelah tahun 1959 merujuk atau menjadikan Piagam Jakarta sebagai konsideran. Sebagai contoh, penjelasan atas Penpres 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dibuka dengan ungkapan: “Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia ia telah menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Dalam Peraturan Presiden No 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga dicantumkan pertimbangan pertama: “bahwa sesuai dengan Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, yang mendjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut…”. Sebuah buku yang cukup komprehensif tentang Piagam Jakarta ditulis oleh sejarawan Ridwan Saidi, berjudul Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah (Jakarta: Mahmilub, 2007). Ridwan menulis, bahwa hukum Islam adalah hukum yang hidup di tengah masyarakat Muslim. Tanpa UUD atau tanpa negara pun, umat Islam akan menjalankan syariat Islam. Karena itu, Piagam Jakarta, sebenarnya mengakui hak orang Islam untuk menjalankan syariatnya. Dan itu telah diatur dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dituangkan dalam Keppres No. 150/tahun 1959 sebagaimana ditempatkan dalam Lembaran Negara No. 75/tahun 1959. Hukum Islam telah diterapkan di bumi Indonesia ini selama ratusan tahun, jauh sebelum kauh penjajah Kristen datang ke negeri ini. Selama beratus-ratus tahun pula, penjajah Kristen Belanda berusaha menggusur hukum Islam dari bumi Indonesia. C. van Vollenhoven dan Christian Snouck Hurgronje, misalnya, tercatat sebagai sarjana Belanda yang sangat gigih dalam menggusur hukum Islam. Tapi, usaha mereka tidak berhasil sepenuhnya. Hukum Islam akhirnya tetap diakui sebagai bagian dari sistem hukum di wilayah Hindia Belanda. Melalui RegeeringsReglement, disingkat RR, biasa diterjemahkan sebagai Atoeran Pemerintahan Hindia Belanda (APH), pasal 173 ditentukan bahwa: “Tiap-tiap orang boleh mengakui hukum dan aturan agamanya dengan semerdeka-merdekanya, asal pergaulan umum (maatschappij) dan anggotanya diperlindungi dari pelanggaran undang-undang umum tentang hukum hukuman (strafstrecht).” (Ridwan Saidi, Status Piagam Jakarta hal. 96). Jadi, meskipun sudah berusaha sekuat tenaga, Belanda akhirnya tidak berhasil sepenuhnya menggusur syariat Islam dari bumi Indonesia. Ridwan menulis: “Sampai dengan berakhirnya masa VOC tahun 1799, VOC terus berkutat untuk melakukan unifikasi hukum dengan sedapat mungkin menyingkirkan hukum Islam, tetapi sampai munculnya Pemerintah Hindia Belanda usaha itu sia-sia belaka.” (Ibid, hal. 94). Kegagalan penjajah Kristen Belanda untuk menggusur syariat Islam, harusnya menjadi pelajaran berharga bagi kaum Kristen di Indonesia. Mereka harusnya menyadari bahwa kedudukan syariat Islam bagi kaum Muslim sangat berbeda dengan kedudukan hukum Taurat bagi Kristen. Dengan mengikuti ajaran Paulus, kaum Kristen memang kemudian berlepas diri dari hukum Taurat dengan berbagai pertimbangan. Dalam bukunya yang berjudul Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? (Mitra Pustaka, 2008), Pendeta Herlianto menguraikan bagaimana kedudukan hukum Taurat bagi kaum Kristen saat ini. Dalam konsep Kristen, menurut Herlianto, keselamatan dan kebenaran bukanlah tergantung dari melakukan perbuatan hukum-hukum Taurat, melainkan karena Iman dan Kasih Karunia dengan menjalankan hukum Kasih. Jadi, hukum Kasih itulah yang kemudian dipegang kaum Kristen. Hukum sunat (khitan), misalnya, meskipun jelas-jelas disyariatkan dalam Taurat, tetapi tidak lagi diwajibkan bagi kaum Kristen. ‘Sunat’ yang dimaksud, bukan lagi syariat sunat sebagaimana dipahami umat-umat para Nabi sebelumnya, tetapi ditafsirkan sebagai “sunat rohani”. (Rm. 2:29). (Herlianto, Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? Hal. 16-17). Babi, misalnya, juga secara tegas diharamkan dalam Kitab Imamat, 11:7-8. Tetapi, teks Bibel versi Indonesia tentang babi itu sendiri memang sangat beragam, meskipun diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Dalam Alkitab versi LAI, tahun 1968 ditulis: “dan lagi babi, karena sungguh pun kukunya terbelah dua, ia itu bersiratan kukunya, tetapi dia tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu. Djanganlah kamu makan daripada dagingnya dan djangan pula kamu mendjamah bangkainya, maka haramlah ia kepadamu.” (Dalam Alkitab versi LAI tahun 2007, kata babi berubah menjadi babi hutan: “Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak, haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram semuanya itu bagimu.”). Pada tahun yang sama, 2007, LAI juga menerbitkan Alkitab dalam Bahasa Indonesia Masa Kini, yang menulis ayat tersebut: “Jangan makan babi. Binatang itu haram, karena walaupun kukunya terbelah, ia tidak memamah biak. Dagingnya tak boleh dimakan dan bangkainya pun tak boleh disentuh karena binatang itu haram.” Jika dibaca secara literal, maka jelaslah, harusnya babi memang diharamkan. Tetapi, kaum Kristen mempunyai cara tersendiri dalam memahami kitabnya. Menurut Herlianto, Rasul Paulus telah memberikan pengertian hukum Taurat dengan jelas: “Tetapi sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia, yang mengurung kita, sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru dan bukan dalam keadaan lama menurut hukum-hukum Taurat.” (Rm. 7:6). (Herlianto, Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? Hal. 20). Pandangan kaum Kristen terhadap hukum Taurat tentu saja sangat berbeda dengan pandangan dan sikap umat Islam terhadap syariat Islam. Sampai kiamat, umat Islam tetap menyatakan, bahwa babi adalah haram. Teks al-Quran yang mengharamkan babi juga tidak pernah berubah sepanjang zaman, sampai kiamat. Hingga kini, tidak ada satu pun umat Islam yang menolak syariat khitan, dan menggantikannya dengan “khitan ruhani”. Sebab, umat Islam bukan hanya menerima ajaran, tetapi juga mempunyai contoh dalam pelaksanaan syariat, yaitu Nabi Muhammad saw. Karena sifatnya yang final dan universal, maka syariat Islam berlaku sepanjang zaman dan untuk semua umat manusia. Apa pun latar belakang budayanya, umat Islam pasti mengharamkan babi dan mewajibkan shalat lima waktu. Apalagi, dalam pandangan Islam, syariat Islam itu mencakup seluruh aspek kehidupan manusia; mulai tata cara mandi sampai mengatur perekonomian. Pandangan dan sikap umat Islam terhadap syariat Islam semacam ini harusnya dipahami dan dihormati oleh kaum Kristen. Sangat disayangkan, tampaknya, kaum Kristen di Indonesia masih saja melihat syariat Islam dalam perspektif yang sama dengan penjajah Kristen Belanda, dahulu. Padahal. sudah bukan zamannya lagi menuduh kaum Muslimin yang melaksanakan ajaran Islam sebagai “anti-Pancasila”, “anti-NKRI”, dan sebagainya. [Depok, 16 Juni 2009/www.hidayatullah.com] Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta dan www.hidayatullah.com |
PROKLAMASI KARAKTER PANCASILA [PKP] Pandji R Hadinoto / Penasehat IWARDA (Ikatan Warga Djakarta 1952) |
|
Konsep Kepemimpinan (Imamah) bagi NKRI yang berbasis keragaman yang majemuk dengan situasi dan kondisi kompleksitas yang semakin meningkat tajam, kini masih dirasakan perlu dicukupkan dengan Konsep Nilai Kepribadian Indonesia sebagai jati diri warga bangsa guna keparipurnaan seperti juga a.l. diungkapkan oleh Majelis Luhur Taman Siswa di TVRI, 24 Juli 2011 jam 20.30 wib yang lalu. Konsep Nilai itu sesungguhnya telah dirumuskan oleh salah satu Bapak Pendiri Bangsa yaitu Bung Karno pada 1 Juni 1945 tentang Pancasila, yang kini telah diakui pula kemujarabannya oleh berbagai pihak di belahan dunia lain seperti salah satu petinggi Uni Eropa, April 2011 yang lalu. Tingkat kompleksitas kelola NKRI baik internal maupun eksternal sedemikian ber-tubi2 dirasakan memberatkan a.l. akibat realitas “Dua Dunia” di bumi persada Indonesia sejak 1910 [pendapat ekonom JH Boeke] dan kini 2011 [pendapat ekonom Syamsul Hadi, UI], yang tentunya berujung ancaman berbagai benturan ideologi, politik, sosial, budaya yang potensial pula bisa menghantam Strategi Ketahanan Bangsa. Sinyal berupa Indeks Negara Gagal 2011 bagi Indonesia dengan peringkat 64 dari 170 negara di dunia oleh majalah Foreign Policy, yang mengkualifikasi Indonesia “dalam peringatan” seharusnya mendorong kebangkitan warga bangsa menata kembali bangunan kenegaraan demi kelola baik (good governance). Oleh karena itulah semangat sebagaimana teramanatkan dalam 7 (tujuh) kata semangat pada Penjelasan UUD 1945, sudah sepantasnya kini disegarkan, diremajakan dan digelorakan kembali, dan saat yang baik itu adalah saat peringatan 66 tahun Proklamasi Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945 pada tanggal 17 Agustus 2011 yang akan datang. Dalam pengertian itulah, kepada warga kota Jakarta sebagai ahli waris lokasi berbagai peristiwa kejoangan bangsa seperti Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Pancasila 1 Juni 1945, Proklamasi 17 Agustus 1945, UUD 18 Agustus 1945, Badan Keamanan Rakyat 23 Agustus 1945, Rapat Raksasa IKADA 19 September 1945, Indonesia Berdaulat 27 Desember 1949, dlsb, wajarlah menorehkan kembali peristiwa bersejarah lain seperti Proklamasi Karakter Pancasila [PKP] pada tanggal 17 Agustus 2011 yad guna penguatan jiwa, semangat dan nilai2 patriotisme berwargakota, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Adapun substansi daripada PKP 17 Agustus 1945 itu a.l. dapat diunduh dari [jakarta45 www.google.com] tentang MoNas Pancasila, Revolusi Pancasila demi Supremasi Pancasila, Politik Jembatan Emas Pancasila, dll. Semoga kebulatan tekad warga kota Jakarta tersebut dapat bergaung bagi harmonisasi kebangsaan dan kenegaraan menuju Indonesia Mulia sebagaimana digagas oleh salah satu pendiri Boedi Oetomo, yaitu Dr Soetomo pada tahun 1932. Jakarta, 27 Juli 2011 |
PAKTA INDONESIA Maraknya Tindak Pidana Korupsi yang merupakan bentuk Kejahatan Luarbiasa termasuk pembiaran dan peringanan melalui remisi, mendorong kreatifitas pembentukan satu kebijakan publik luar biasa guna sistim penangkalan dini niatan, sikap dan tindakan Ingkar Janji Konstitusional, Koruptif terhadap Pancasila dan UUD45, Korupsi terhadap APBN/APBD, Keuangan BUMN/BUMD dan Pajak, Seperti diketahui, Pakta Integritas yang berdimensi personal sebagai perangkat anti korupsi bagi kalangan birokrat yang digagas tahun 2007, ternyata kini terbukti diakui tidak ampuh menekan niatan, sikap dan tindakan super jahat koruptor, sehingga saatnya perlu diganti dengan perangkat lain berdimensi kebijakan publik semisal Politik Anti Korupsi Tanah Air Indonesia (PAKTA Indonesia) demi mempertimbangkan percepatan akan pembangunan Indonesia Mulia, dan memperhatikan kebutuhan aktualisasi 7 (tujuh) pilar Strategi Ketahanan Bangsa yaitu (1) Kehidupan bidang agama tidak rawan, (2) Kehidupan bidang ideologi tidak retak, (3) Kehidupan bidang politik tidak resah, (4) Kehidupan bidang ekonomi tidak ganas, (5) Kehidupan bidang budaya tidak pudar, (6) Kehidupan bidang hankam tidak lengah, (7) Kehidupan bidang lingkungan tidak gersang. Promosi tentang PAKTA Indonesia sebagai ‘save haven’ ini dikedepankan adalah yang berdasarkan pada Jiwa, Semangat, dan Nilai-nilai 45 (JSN45) yang telah diakui terbukti membangun Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945, yakni (1) Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) Jiwa dan Semangat Merdeka, (3) Nasionalisme, (4) Patriotisme, (5) Rasa harga diri sebagai bangsa yang merdeka, (6) Pantang mundur dan tidak kenal menyerah, (7) Persatuan dan Kesatuan, (8) Anti Penjajah dan Penjajahan, (9) Percaya kepada diri sendiri dan atau percaya kepada kekuatan dan kemampuan sendiri, (10) Percaya kepada hari depan yang gemilang dari bangsanya, (11) Idealisme kejuangan yang tinggi, (12) Berani, rela dan ikhlas berkorban untuk tanah air, bangsa dan Negara, (13) Kepahlawanan, (14) Sepi ing pamrih rame ing gawe, (15) Kesetiakawanan, senasib sepenanggungan dan kebersamaan, (16) Disiplin yang tinggi, (17) Ulet dan tabah menghadapi segala macam ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan. Bersyukur sejarah mencatat, Pasca Proklamasi Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945 diikuti 2 (dua) Rapat Raksasa yang penting sebagai pernyataan dukungan rakyat yaitu Rapat Raksasa Tambak Sari 17 September 1945 di Surabaya yang diprakarsai oleh PRI (Pemuda Republik Indonesia) dan Rapat Raksasa IKADA 19 September 1945 di Jakarta yang diprakarsai oleh Committee van Actie dari Jalan Menteng 31 (sekarang Jalan Menteng Raya 31). Rapat Raksasa 17 September 1945 sebetulnya didahului oleh peristiwa heroik penurunan bendera Jepang (Hinomaru) digantikan dengan penaikan bendera Indonesia (Merah Putih) di kantor Gubernur pada tanggal 1 September 1945 oleh antara lain Barlan Setiadidjaja, Sulistio, Patah (ketiganya mahasiswa Kedokteran Gigi di Surabaya) dan Abdoel Sjoekoer (yang kemudian adalah Ketua GASEMA Gabungan Sekolah Menengah dan Ketua IPI Ikatan Pelajar Indonesia di Jawa Timur). Dan di Tambak Sari itu Abdoel Sjoekoer turut pula berorasi sebagai wakil Pelajar Pejoang bersama Lukitaningsih dari Pemuda Wanita, yang kemudian berlanjut dengan peristiwa penurunan bendera Belanda (Merah Putih Biru) pada tanggal 19 September 1945 di Hotel Yamato eks Hotel Oranye lalu bereskalasi menjadi pertempuran asimetrik antara agressor Sekutu dilawan oleh rakyat Surabaya dalam 3 (tiga) tahap yaitu (1) Pertempuran Kota Pertama 28-30 Oktober 1945 sd tewasnya Jenderal AWS Mallaby, komandan Brigade 49 Sekutu, (2) Pertempuran Kota Kedua 10 Nopember 1945 selama lebih daripada 3 (tiga) minggu, (3) berlanjut Pertempuran Luar Kota a.l. di front Mojokerto dan front Malang. Kepada rekan2 Generasi Penerus 45, mari kita sambut tanggal 17 dan 19 September 2011 ini dengan bersyukur dan memohon ke hadlirat Tuhan Yang Maha Kuasa, guna lebih memantapkan JSN45 terutama bagi energi perlawanan agar dapat merdeka dari Politik Koruptor. Jakarta, 17 September 2011 Pandji R Hadinoto / Paguyuban Keluarga Pejoang 45 (PKP45) / DHD45 Jakarta www.jakarta45.wordpress.com , indo...@yahoo.com
|
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!