Film Indonesia Catatan Harian Si Boy 19

0 views
Skip to first unread message
Message has been deleted

Srikanth Fonseca

unread,
Jul 11, 2024, 2:19:05 AM (12 days ago) Jul 11
to tioliffewa

Catatan (Harian) Si Boy adalah film drama Indonesia yang dirilis pada 1 Juli 2011 dengan disutradarai oleh Putrama Tuta yang dibintangi oleh Ario Bayu dan Carissa Putri. Ini merupakan film keenam dalam seri Catatan Si Boy, dan merupakan film Catatan Si Boy pertama yang tidak disutradarai oleh Nasri Cheppy.

Film Indonesia Catatan Harian Si Boy 19


DOWNLOAD https://tinourl.com/2yK2pT



Nuke terbaring sakit namun tangannya tidak pernah lepas memegang sebuah buku. Anak Nuke yang bernama Natasha (Carissa Puteri) pulang dari London untuk menemui ibunya. Dokter hampir menyerah dan menyarankan Natasha mencari pemilik buku tersebut untuk membuat ibunya senang di akhir hayatnya.Di jalanan, Satrio (Ario Bayu) sedang berpacu dengan mobilnya sebagai pembalap liar didukung 3 sahabat baiknya.

Dalam satu kejadian, mereka semua bertemu di kantor polisi. Satrio yang tertarik dengan Natasha memutuskan untuk membantu Natasha mencari pemilik buku yang dipegang Nuke, yang ternyata adalah sebuah buku catatan harian seorang laki-laki bernama Boy (Onky Alexander).

Sudah lama juga nggak blogging. Belakangan lebih sibuk mainan template Canva. Maklum, anak kurang kreatif. Nggak bisa bikin postingan yang cakep pake desain sendiri. Ini adalah kali pertama saya pakai visual editor-nya WordPress yang baru. Kebiasaan pakai yang classic mode, jadi agak ribet juga, ya. Tapi tampilannya memang lebih modern, meskipun masih butuh waktu buat membiasakan diri.

Unggahan kali ini berisi review tentang Diary of A Murderer, novella dari Korea yang sudah diangkat ke layar lebar dengan judul Memoir of a Murderer (2017). Salah satu best read saya di tahun 2020, nih!

Seorang pensiunan dokter hewan yang memilih hidup menyendiri bersama puterinya di pedesaan. Tak ada yang tahu, penggemar puisi berusia 70 tahun yang sudah pikun ini sudah membunuh banyak orang di masa mudanya.

Puteri semata wayang Kim Byeong-su. Seorang anak yang penyayang, namun kerap berselisih dengan ayahnya. Eun-hee tak tahu kalau kedua orangtua kandungnya adalah korban kesadisan Kim Byeong-su puluhan tahun lalu.

Sebenarnya Diary of a Murderer ini apa, sih, ya? Novel, tapi, kok, pendek amat. Cerpen, tapi, nggak pendek juga. Jadi namanya apa? Dulu saya sering bertanya-tanya kalau menemukan cerita yang kayak begini. Sekarang sudah paham kalau ini namanya novella.

Tapi khusus Diary of a Murderer ini masih agak ribet juga, ya. Soalnya, buku ini didaftar ke novel-novel karangan Kim Young-ha oleh Wikipedia. Sementara itu, beberapa penerbit luar menerbitkannya sebagai cerita pendek yang dikompilasi bersama cerita-cerita lain. Tapi, karena di sini memang diterbitkan secara terpisah dari cerita-cerita lain, saya anggap novella sajalah, ya.

Meskipun tema yang diusung lumayan bikin stres, seperti tren crime thriller di K-drama 2021, saya bisa bilang kalau Diary of a Murderer ini bacaan ringan. Ringan karena ceritanya cukup pendek, tidak bertele-tele dan cukup seru untuk diselesaikan dalam sekali jalan.

Penyajiannya cukup berbeda daripada thriller yang lain. Novel berformat catatan harian sudah biasa. Menjadikan seorang pembunuh sebagai narator sebenarnya juga bukan hal baru. Tapi di sini sang narator adalah pembunuh yang sudah pikun parah.

Kisah Kim Byeong-su, pensiunan dokter hewan yang juga pensiunan pembunuh berantai ini sangat menarik buat saya. Kim Young-ha menghadirkan sisi humanis seorang kriminal lewat tokoh Kim Byeong-su yang bertentangan. Tetap arogan dan berjiwa kriminal bahkan di tengah kerapuhannya sebagai manula yang menderita alzheimer, namun juga mengundang iba di saat bersamaan.

Ada sentuhan ironi di balik perasaan tak berdaya Kim Byeong-su yang dibalut sikap sinis. Rasa cintanya kepada sang anak, Eun-hee juga lumayan menyentuh. Di sinilah letak sisi humanis Kim Byeong-su, saat dia berpacu dengan alzheimer yang menggerogoti mentalnya untuk menyelamatkan Eun-hee.

Plot twist yang coba dihadirkan Kim Young-ha dari pertengahan hingga akhir cerita juga lumayan bagus. Memang tidak semengejutkan ekspektasi saya. Seperti yang sudah saya sebutkan, ini bukan alur cerita yang belum pernah dipakai penulis lain sebelumnya. Cuma sayanya sudah terlanjur hanyut ke arah yang diinginkan Kim Young-ha untuk kita tuju. Jadi, ya, cukup mengena.

Kenapa saya sarankan untuk baca bukunya dulu? Karena beberapa bagian di filmnya dibuat berbeda dari buku. Masalahnya, bagian yang berbeda ini cukup krusial. Jadi, mempengaruhi konklusi ceritanya juga.

Secara garis besar, ceritanya masih sama. Tentang Kim Byeong-su yang berusaha menyelamatkan Eun-hee dari cengkeraman pria yang dia yakini sebagai psikopat dengan sisa-sisa ingatannya. Kali ini nama si pria yang ternyata memacari puterinya itu adalah Min Tae-ju, bukan Park Ju-tae.

Dalam ajang Festival Film Indonesia tahun 2011, film ini mendapat penghargaan dalam kategori Pemeran Pendukung Wanita Terbaik (Poppy Sovia), Pengarah Artistik Terbaik (Ary Juwono), dan Penyunting Gambar Terbaik (Aline Jusria dan Dinda Amanda).

Dokter yang memeriksa Nuke sudah menyerah. Dia menyarankan Natasha untuk mencari pemilik buku harian yang ada di tangan Nuke. Siapa tahu pemilik buku itu bisa menjadi penyembuh Nuke. Misalpun tidak, siapa tahu Nuke akan senang bertemu dengan pemilik buku sebelum menghembuskan nafas terakhir.

Satrio dan Natasha bertemu di kantor polisi. Sejak pertemuan itu, Satrio tertarik dengan Natasha dan memutuskan untuk membantunya mencari pemilik buku. Buku yang Nuke bawa ternyata milik seorang laki-laki bernama Boy.

Pencarian tidak berjalan mulus saat Satrio dan Natasha terjebak dalam cinta segitiga. Belum lagi mereka harus berurusan dengan para preman. Mereka mencari Boy dengan petunjuk yang ada di buku. Pertanyaannya, bisa saja Boy telah berubah dari penggambaran yang ada di buku. Ini menjadi persoalan yang sulit untuk tertangani.

Sepanjang sejarah sinema di Indonesia, industri perfilman mampu untuk bertahan dan melewati rintangan pada setiap zaman. Kini, sebagai sebuah ekosistem, industri ini mencoba beragam cara untuk bertahan di tengah pandemi Covid-19. Akankah industri perfilman mengalami perubahan fundamental dari sisi produksi, distribusi, dan ekshibisi setelah pandemi?

Film, sebagai sebuah ekosistem dan juga industri, memiliki catatan sejarah panjang yang mengiringi perkembangan kesenian Indonesia. Sejak sebelum kemerdekaan, film telah menjelma sebagai suatu karya seni, hiburan, dan juga ladang bisnis.

Film juga menjadi saksi kebijakan politik rasialis pemerintah kolonial. Segregasi sosial yang dilakukan bagi penduduk pribumi dan Eropa juga terlihat pada bidang perfilman. Tempat untuk menonton film pada masa kolonial dibedakan bagi penduduk pribumi dan Eropa (Aziz, 2019).

Menariknya, hingga periode kemerdekaan, film sebagai sebuah industri selalu berhasil keluar dari berbagai jeratan persoalan. Pada dekade 1940-an, misalnya, film tetap berupaya untuk eksis di tengah kecamuk perang. Menurut catatan dari Film Indonesia, saat itu terdapat beberapa film, seperti Poesaka Terpendam (1941), Berdjoang (1943), serta Koeli dan Romoesha (1944).

Industri film sempat terpuruk pada awal periode revolusi tahun 1945 hingga 1947. Namun, sejak 1948, industri ini kembali mencoba bangkit. Beberapa film yang saat itu berhasil diproduksi adalah Anggrek Bulan dan Djauh Dimata.

Saat Indonesia kembali diterpa gejolak pada 1965 hingga 1966, industri film di Indonesia tidak begitu terpengaruh. Menurut catatan harian Kompas saat itu, sejumlah produksi film masih berjalan. Bahkan, persoalan kualitas film saat itu pernah menjadi sorotan. Hal ini mengindikasikan bahwa ekosistem film masih bergeliat di tengah pergantian rezim.

Industri film sempat mengalami guncangan saat Indonesia diterpa krisis pada 1998. Selain faktor ekonomi, kerusuhan yang berujung pada pembakaran dan perusakan bioskop di sejumlah daerah menjadi salah satu penyebab krisis yang dialami oleh sektor perfilman.

Guncangan ini terlihat dari merosotnya jumlah produksi film. Jika pada 1996 dan 1997 terdapat lebih dari 30 film, pada 1998 hanya ada empat film yang diproduksi. Secara perlahan, industri film berangsur pulih sejak tahun 2000.

Kini, industri film kembali mengalami guncangan. Saat industri film tengah berkembang pesat, tiba-tiba harus terpuruk, bahkan sempat mengalami mati suri selama beberapa bulan. Kondisi ini persis seperti yang terjadi pada dekade 1990-an saat industri film Indonesia terpuruk setelah sempat mengalami kejayaan.

Industri film di Indonesia sebelum pandemi sebetulnya tengah berada pada performa yang baik. Sejak 2013, jumlah film Indonesia konsisten berada di atas 100 film per tahun. Bahkan pada 2016 rekor jumlah penonton terbanyak berhasil dipecahkan oleh film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Bos! Part 1. Film yang disutradarai Anggy Umbara ini berhasil mencatatkan jumlah penonton sebesar 6,8 juta orang.

Sayangnya, di tengah perkembangan ini, industri film harus menghadapi kenyataan pahit pada tahun 2020. Penutupan bioskop, pembatasan sosial, hingga pengetatan perjalanan ke luar kota menghambat sebagian besar proses produksi dan distribusi film. Dampaknya, jumlah film yang berhasil diproduksi merosot hingga 55 persen. Sebagian film yang berhasil diproduksi juga gagal ditayangkan di layar lebar.

Asosiasi Produser Film (Aprofi) bahkan memperkirakan potensi kehilangan pendapatan industri film mencapai 1,6 triliun rupiah dari tiket bioskop. Jumlah kerugian ini akan lebih besar jika menghitung dampak lainnya pada sisi produksi ataupun distribusi dan ekshibisi.

Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Gower Street Analytics menyebutkan, pendapatan box office global turun hingga 70 persen menjadi 12,4 miliar dollar AS pada 2020. Box office global pada 2020 mengalami kerugian sebesar 29,4 miliar dollar AS dibandingkan dengan rata-rata pendapatan selama 2017-2019. Bahkan, pendapatan industri bioskop global turun hingga 70 persen selama 2020. Performa bioskop-bioskop di Amerika Utara dan Eropa pun tumbang akibat pandemi.

Di Indonesia, selain faktor kebijakan penutupan bioskop, kondisi ini juga turut didorong oleh kekhawatiran masyarakat untuk datang ke bioskop secara langsung. Hal ini terekam dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas terhadap 518 responden di 34 provinsi pada 16-18 Maret 2021. Hasil survei tersebut mengungkap bahwa sebagian besar (62,9 persen) responden mengaku tidak pernah menonton film buatan Indonesia selama enam bulan terakhir.

7fc3f7cf58
Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages