Sayamengenal banyak lagu jadul berbagai genre dari mendiang bapak saya. Ya, dari lagu-lagu milik The Beatles, Elvis Presley, Selena Jones, Nat King Cole, Procol Harum, Harry Belafonte, Neil Sedaka, Ermi Kulit, Bob Tutupoly sampai Nining Meida.
Nining Meida adalah salah satu penyanyi lagu pop sunda yang sangat populer pada tahun 80-90an. Suara khasnya terdengar sangat indah ketika membawakan lagu-lagu pop berbahasa sunda dengan iringan musik elektone/keyboard serta kecapi-suling nan mendayu.
Lagu yang merupakan hasil dari kreatifitas Kang Nano dalam memainkan kecapi, suling, dan koto (alat musik petik dari Jepang) ini pada tahun 1989 berhasil meraih penghargaan BASF Award dan satu tahun kemudian berhasil menyabet penghargaan HDX Award.
Dua lagu Kang Nano lainnya yang dinyanyikan oleh penyabet penghargaan dari Original Record Indonesia Award sebagai penyanyi pop Sunda yang telah merilis 100 lagu ini adalah "Potret Manehna" dan "Anjeun."
Bila "Potret Manehna" berkisah tentang LDR-an dengan media foto sebagai perantaranya maka "Anjeun" bercerita tentang seseorang yang sedang kasmaran pada pasangannya namun tragisnya sang pujaan hati telah berkeluarga.
"Mojang Priangan" diciptakan oleh salah satu juru kawih atau pesinden terkenal bernama Iyar Wiyarsih dan diciptakan pada sekitar tahun 1960-an. Sebelum dipopulerkan kembali oleh Nining Meida, lagu yang berkisah tentang gadis Priangan ini pernah dibawakan oleh Upit Sarimanah dan Titim Fatimah.
Pencipta lagu "Es Lilin" masih menjadi perdebatan hingga kini, namun konon lagu ini diciptakan oleh Ibu Mursyih atau Ni Mursih. Lagu "Es Lilin" langsung melejit kembali ketika dinyanyikan oleh Nining Meida pada tahun 1988 silam.
Lagu yang kembali dipopulerkan oleh wanita yang termasuk dalam jajaran 300 inohong atau tokoh Jawa Barat di Hall of Fame Bapusipda ( Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah) ini berkisah tentang makanan dari daerah Jawa Barat khususnya Majalaya, Soreang, Banjaran, dan Bandung yang berasal dari beras ketan dan jagung.
Satu lagi lagu yang dibawakan oleh ibu dari 3 putra yang berbau-bau makanan adalah "Peuyeum Bandung." Lagu yang diciptakan oleh Sambas Mangundikarta ini berkisah tentang makanan khas Bandung berupa tape singkong yang dikenal dengan nama peuyeum.
Lagu "Ka Bulan" selalu membuat saya tersenyum karena liriknya. Ya, Ceu Nining berkisah bila bisa ke bulan ia akan membawa semua saudaranya, mensukseskan program KB agar tidak seperti di dunia yang telah penuh sesak, dan melestarikan kebudayaan sunda dengan balutan musik riang ringan.
"Rame-rame" menjadi lagu penutup yang menyenangkan untuk didengar. Liriknya berupa ajakan mensukseskan pembangunan dengan bergotong-royong, gak banyak omong, kerja ... kerja...kerja... dengan dukungan program Keluarga Berencana.
CANTIKA.COM, Jakarta - Penyanyi, Cakra Khan saat ini sedang mempersiapkan album terbarunya dan masuk tahap pemilihan lagu. Album ini akan menjadi album ke-2 Cakra Khan, dan diharapkan bisa menjadi tolak ukur baru bagi karier musiknya.
"Aku sekarang lagi sibuk menyelesaikan album kedua, karena memang saya dari 2013 ngeluarin satu album, sisanya single-single, kayaknya kalau disatuin jadi dua album bisa, tuh. Kalau untuk yang album ini masuk album yang kedua," ucap Cakra kepada Cantika saat media visit, Kamis, 14 September 2023 di kantor Tempo.
Menariknya, pada album kedua kali ini, Cakra Khan terlibat banyak, di antaranya turut menciptakan lagu yang inspsirasinya ia dapatkan dari kehidupan sehari-harinya, termasuk soal romansa. Tak hanya lagu dalam bahasa Indonesia, pada album edua ini juga terdapat lagu bahasa Inggris.
Selain saya mulai belajar untuk menulis lagu saya sendiri, semua genre yang saya pelajari saya ikutkan termasuk blues. Selain itu juga ada dua lagu dalam bahasa Inggris yang ia tulis sendiri, padahal ia mengaku masih belajar. "Justru karena alasan itu, makanay saya juga sambil belajar bahasa Inggrisnya, bonusnya kalau bisa dinikmati sama pasar internasional," imbuhnya.
Selain itu, Cakra juga memasukkan lagu berbahasa Sunda lantaran ia berasal dari Pangandaran, Jawa Barat. "Agar enggak terlalu serius semua, dalma lagu bahasa Sunda ini agak nyeleneh sedikit, temanya sih tentang kita kan sekarang kadang kita kalau kerja terlalu fokus juga lupa menikmati hidup gitu. Yah semacam healing," ucapnya berseloroh.
Biar bagaimana pun, pelantun lagu Kepada Hati ini tidak melupakan asalnya dengan menyanyikan lagu Sunda. Ya, sebelum dikenal menyanyi genre pop, ia pernah bernyanyi dangdut. "Memang saya awalnya bernyanyi dimulai dengan dangdut di panggung. Saya nyanyi lagu dangdut, saya nyanyi lagu Sunda, dan pagelaran wayang golek. Jadi unsur-unsur itu ingin saya masukan juga karena menunjukkan identitas saya dari mana," papar pria kelahiran 27 Februari 1992 ini.
Cakra Khan berharap, lagu berbahasa Inggris dalam albumnya kedua bisa diterima pendengar dengan gaya berbeda karena isinya juga beragam. "Enggak cuma bahasa Inggris dan Sunda, tetapi ada juga lagu bahasa Jawa yang bikin teman saya," pungkasnya.
Kalangkang merupakan album tahun 1988 yang dirilis oleh penyanyi Pop Sunda, Nining Meida. Album lagu daerah Indonesia angka penjualannya tak terlalu baik, namun, album ini mendapat penjualan satu juta album yang sulit dicapai album lagu tradisional lainnnya.[1]
Lilis Suryani mulai terjun ke dunia musik ketika usia 12 tahun, saat itu ia masih duduk di Sekolah Rakyat (SR) di daerah Gang Tepekong, Jakarta Pusat. Suara Lilis yang lantang dan artikulasinya yang jelas adalah modal utamanya dalam bernyanyi. Dua tahun kemudian, ketika iasedang menimba ilmu di Sekolah Kepandaian Putri Boedi Oetomo, Lilis telah mendapatkan tawaran untuk menyanyi di Istana Negara. Lilis tampil sebagai penyanyi remaja yang membawakan lagu berbahasa Sunda yang berjudul "Tjai Kopi". Saat ia tampil, ia termasuk penyanyi yang paling belia di antara Nien Lesmana, Masnun Soetoto dan Titiek Puspa, yang di kemudian hari menjadi sahabat terdekatnya. Itulah awal mula perkenalan Lilis dengan Bung Karno.[2]
Pada tahun 1963, ketika menginjak usianya yang ke 15 tahun, ia sudah mulai tampil di TVRI Stasiun Pusat Jakarta. Pada tahun yang bersamaan ia mendapat kesempatan masuk dapur rekaman untuk yang pertama kalinya. Ketika itu Suyoso Karsono (Mas Yos) tertarik pada reputasi Lilis dan ingin mengabadikan suaranya dalam bentuk rekaman. Tawaran itu diterimanya dan Lilis masuk rekaman di bawah label Irama Record.[3] Tidak lama setelah itu munculah lagu "Tjai Kopi" dan "Di Kala Malam Tiba" di radio-radio yang gaungnya hingga ke seluruh Nusantara. Kehadiran lagu tersebut tentulah lebih memperkuat posisi kedudukan Lilis sebagai pendatang baru yang patut diperhitungkan, karena kedua lagunya sempat menjadi hit. Kemudian sejak saat itu muncullah album-album rekaman Lilis yang berikutnya, baik dalam bentuk piringan hitam maupun kaset.[2]
Lagu-lagu seperti "Lenggang Kangkung", "Ratapan Sang Bayi", "Keluhanku", "Adikku Sayang", "Tari Gemulai", "Air Mata", "Kisah Si Ali Baba", "Tiga Malam", "Tepuk Tangan", dan "Ujung Pandang" adalah beberapa contoh lagu yang diciptakannya dan mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Salah satu karyanya yang berjudul "Si Baju Loreng", bertemakan kekaguman seorang gadis terhadap seorang anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI),[3] bahkan menjadi lagu yang menjadi pengobar heroisme tersendiri di pertengahan tahun 1960-an. Antara tahun 1963-1966, saat terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia, Lilis tercatat banyak menulis sekaligus menyenandungkan lagu-lagu bertema patriotik dan pemicu semangat nasionalis. Di antaranya seperti lagu "Pergi Berjuang", "Tiga Malam", "Kau Pembela Nusa Bangsa", "Mohon Diri", "Baju Loreng", dan "Berita".[3]
Pada tahun 1965 ketika Bung Karno sedang gencar-gencarnya menyemarakan untuk membendung derasnya arus budaya barat yang menurut ia sifatnya dekaden, juga termasuk musik barat yang disebutnya "musik ngak-ngik-ngok". Bung Karno mempromosikan gerakan budaya yang menurutnya sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia dan dianggap mewakili tata krama budaya Timur yaitu ia menyebutnya dengan nama Irama Lenso. Lilis Suryani yang terampil menyanyikan pelbagai lagu-lagu daerah, mulai dari Minang, Makassar, hingga Sunda tentu saja cocok dengan keinginan Bung Karno yang sedang menggiatkan rasa kebangsaan. Dan, muncullah album Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso. Pemusik dan penyanyi tenar banyak ikut serta memopulerkan irama lenso, antara lain Bing Slamet, Jack Lesmana, Titiek Puspa, Nien Lesmana, dan termasuk Lilis Surjani. Lilis Surjani dan Bing Slamet masing-masing menyanyikan lagu "Genjer-Genjer", karya seniman Banyuwangi, M Arief, yang kelak divonis sebagai lagu yang terlarang, karena berhubungan erat dengan peristiwa Gerakan 30 September PKI.
Popularitas Lilis Surjani mulai sering dikaitk-kaitkan dengan Bung Karno. Terutama, ketika ia menyanyikan lagu pujian untuk Bung Karno yang berjudul "Untuk Paduka Jang Mulia Presiden Sukarno", karya Soetedjo yang terdapat pada album Lilis Surjani dibawah label Irama Record, musiknya di garap oleh Orkes Bayu di bawah pimpinan F Parera. Beberapa penggalan liriknya:
Pada tahun 1968, Lilis tak hanya tampil sebagai penyanyi solo yang sukses. Ia pun pernah terlibat membentuk sebuah grup musik wanita yang diberi nama The Females bersama Rita Rachman (keyboard) dan Rose Sumanti. Ia bermain drum di kelompok ini. Saat itu, kancah musik negeri ini sedang diwarnai munculnya nya band-band wanita, seperti Dara Puspita, The Singers, The Reynettes, The Beach Girls, dan lain-lain.[3]
Popularitas Lilis pun kian berkibar. Dia tak hanya dikenal di Indonesia, melainkan ke negeri jiran, seperti Malaysia, Singapura, hingga Filipina. Di Singapura, Lilis sempat merilis beberapa album pada perusahaan rekaman Pop Sound yang merupakan subdivisi dari Phillips. Album-album Lilis pun dicetak ulang di Malaysia. Sosoknya kian tersohor di Malaysia. Lilis pun pernah berkolaborasi dengan Bing Slamet menulis lagu jenaka 007 yang terdapat pada album 007, dirilis oleh perusahaan rekaman Phillips Singapura.[3]
3a8082e126