Early Warning System ?

28 views
Skip to first unread message

Harry Sufehmi

unread,
Jan 5, 2005, 6:47:28 AM1/5/05
to tekno...@googlegroups.com
Barusan saya nemu LISS:
http://www.liss.org/

Gara2 membaca kolomnya si Cringely:
http://www.pbs.org/cringely/pulpit/pulpit20041230.html

Hebat juga ya, data (raw) seismograph dari seluruh dunia bisa di-feed ke
server kita tanpa biaya.

Saya jadi kepikiran, daripada membangun Early Warning System (EWS)
dengan biaya mahal, bukannya ini berarti kita bisa membuat EWS sendiri ?
Kita secara rutin feed data dari LISS, lalu kalau data melonjak
melampaui parameter yang sudah ditentukan, maka dikirimkan warning (via
email/SMS/dll)

Soalnya, kasus tsunami kemarin itu, sebetulnya NOAA (CMIIW) di Hawaii
sudah kontak pemerintah2 ybs. Tapi, mereka tersesat di tengah-tengah
birokrasi, sehingga akhirnya tsunaminya sampai.
Juga pemerintah Thailand yang sudah tahu 1 jam sebelumnya, tapi mereka
takut membuat citra Phuket hancur (padahal tetap hancur juga setelahnya)

Kalau ada public EWS, maka kita bisa tahu walaupun pemerintah cuek /
tidak mau kita tahu.

Bagaimana, apakah ide ini feasible ? Apakah ada pakar geologi / punya
kenalan pakar geologi disini ?
Terimakasih.


regards,
-HS

baskara

unread,
Jan 5, 2005, 8:02:38 AM1/5/05
to tekno...@googlegroups.com
On Wed, 05 Jan 2005 11:47:28 +0000, Harry Sufehmi
<mil...@harrysufehmi.com> wrote:
>
> Saya jadi kepikiran, daripada membangun Early Warning System (EWS)
> dengan biaya mahal, bukannya ini berarti kita bisa membuat EWS sendiri ?
> Kita secara rutin feed data dari LISS, lalu kalau data melonjak
> melampaui parameter yang sudah ditentukan, maka dikirimkan warning (via
> email/SMS/dll)

LISS itu memberikan seismic data saja yang tidak bisa digunakan untuk
membuat early warning terhadap tsunami. AFAIK.
Untuk membuat early warning terhadap tsunami, diperlukan sensor2 yang
disebar di lautan. Sensor2 ini tidak hanya untuk peringatan tsunami
saja, melainkan juga untuk memperkirakan cuaca. Sudah nonton film The
Day After Tomorrow? Film itu menggambarkan sensor2 di laut yang
mengirimkan datanya melalui satelit.
Jepang menyebarkan sensor2nya di lautan Pasifik. Itu pun masih belum
cukup untuk membuat early warning system yang cukup cepat.

Firman Pribadi

unread,
Jan 5, 2005, 8:15:47 AM1/5/05
to tekno...@googlegroups.com
On Wed, 05 Jan 2005 11:47:28 +0000, Harry Sufehmi
<mil...@harrysufehmi.com> wrote:
>
Terus terang, saya tersenyum ketika membaca email mas harry,
karena ini adalah salah satu dari sekian banyak[1] inspirasi yang
membuat saya memulai 'perkejaan kecil'[2] pada thread sebelumnya.

dan jujur saja, saya sendiri masih bingung tentang hal ini, karena ada
nilai dari parameter yang tidak sama bila kita lihat dari beberapa
sistem pemantau yang datanya bisa dilihat online (sementara yang saya
bandingkan ada tiga, BMG[3], USGS[4], ANSS[5]) minimal kesalahan ada
di akurasi waktu walaupun selisihnya dalam detik, tambah lagi, berapa
data sumber dari seismograph yang dibutuhkan baru sebuah data
dinyatakan valid? benar, kita butuh geolog untuk pengetahuan lebih
jauh tentang hal ini.

lalu, ngomentarin sistem EWS yang mahal itu (serta membutuhkan sistem
telekomunikasi yang bagus untuk pengadaannya); ada beberapa ide yang
saya serap dari beberapa situs yang mengacu tentang pencatatan
sederhana (amatir, dan paperless!)[6],[7] untuk bisa diterapkan
didaerah yang minus sarana telekomunikasi.
dan data yang tercatat, walau pasti tidak presisi, paling tidak ini
bisa dijadikan data pembanding dari sistem jaringan pemantau seisimik
indonesia yang sudah ada[8], dan lebih jelas memungkin kan untuk
dijadikan EWS bagi daerah daerah minus lagi rawan tersebut.
gak perlu pake email/sms rasanya, mungkin dengan pola penerapan
seperti EWS pada daerah dekat dengan gunung merapi, yang biasanya ada
sirene yang aktif (baik manual / otomatis) atau mungkin kerjasama
stasiun radio lokal atau intitusi pemerintah.

cuek, mungkin iya, atau lagi gak ada orang yah, saya coba kontak
webmasternya BMG saja udah 3 hari belum direspon, padahal maksudnya
agar ia mbenahin tabulasi yang ditampilkan ... hiks ... ini pe-er kita
bukan? atau masih harus nungguin pemerintah bekerja? miris sekali.

[1] UW, http://www.geophys.washington.edu/seismosurfing.html
[2] FP, http://web.pribadi.or.id/ews/
[3] BMG, http://geof.bmg.go.id/gempaterkini.jsp
[4] USGS, http://earthquake.usgs.gov/recenteqsww/Maps/region/Australia_eqs.html
[5] ANSS, http://quake.geo.berkeley.edu/anss/catalog-search.html
[6] INFILTEC, http://www.infiltec.com/seismo/
[7] SEISMICNET, http://www.seismicnet.com/lehmntxt.html
[8] BMG, http://geof.bmg.go.id/sistimpemantau.jsp //
http://geof.bmg.go.id/daftarstasiun.jsp
[9] ESDM, http://www.vsi.esdm.go.id/mvo/earlywarn.html


PS: maaf, quote dari mas harry tidak saya hapus karena email ini saya
bcc-in juga ke tetangga.

salam,
--
I am what I am today because of the choices I made yesterday.

Harry Sufehmi

unread,
Jan 5, 2005, 12:23:15 PM1/5/05
to tekno...@googlegroups.com
baskara wrote:
> On Wed, 05 Jan 2005 11:47:28 +0000, Harry Sufehmi
>>Saya jadi kepikiran, daripada membangun Early Warning System (EWS)
>>dengan biaya mahal, bukannya ini berarti kita bisa membuat EWS sendiri ?
>>Kita secara rutin feed data dari LISS, lalu kalau data melonjak
>>melampaui parameter yang sudah ditentukan, maka dikirimkan warning (via
>>email/SMS/dll)
>
> LISS itu memberikan seismic data saja yang tidak bisa digunakan untuk
> membuat early warning terhadap tsunami. AFAIK.
> Untuk membuat early warning terhadap tsunami, diperlukan sensor2 yang
> disebar di lautan. Sensor2 ini tidak hanya untuk peringatan tsunami
> saja, melainkan juga untuk memperkirakan cuaca. Sudah nonton film The
> Day After Tomorrow? Film itu menggambarkan sensor2 di laut yang
> mengirimkan datanya melalui satelit.

Makanya, saya ingin tahu apakah ada yang punya kenalan ahli geologi
disini; mungkin siapa tahu bisa dibuat semacam algoritma yang
mengkombinasikan data-data dari stasiun-stasiun LISS dan kemudian
diproses untuk menentukan :

# lokasi epicenter
# apakah di darat atau di laut
# apakah cukup kuat untuk menyebabkan tsunami

Siapa tahu dengan algoritma yang cocok, kita bisa cukup mengandalkan
data seismik, dan EWS Tsunami bisa dibuat dengan biaya minimal.

Kalau dikasih embel-embel "menarik untuk jadi bahan skripsi MSc / PhD",
mungkin jadi ada yang tertarik ? ;-)
Atau bisa dijual - langganan notifikasi EWS via HP selama sebulan dengan
mengirim SMS premium ? Dst.


> Jepang menyebarkan sensor2nya di lautan Pasifik. Itu pun masih belum
> cukup untuk membuat early warning system yang cukup cepat.

Kalau dengar-dengar kabar kemarin, early warning-nya sudah cukup cepat
(kecuali Indonesia ya, karena terlalu dekat dengan epicenter-nya)
Cuma, birokrasi cukup berperan dalam mementahkan ini semua.

Jadi dengan Public EWS, mudah2an EWS-nya jalan *dan* tidak digagalkan
oleh / bisa melompati belitan birokrasi.


regards,
-HS

Harry Sufehmi

unread,
Jan 5, 2005, 12:37:19 PM1/5/05
to tekno...@googlegroups.com
Firman Pribadi wrote:
> Terus terang, saya tersenyum ketika membaca email mas harry,
> karena ini adalah salah satu dari sekian banyak[1] inspirasi yang
> membuat saya memulai 'pekerjaan kecil'[2] pada thread sebelumnya.

Iya, saya sudah lihat, dan ini adalah permulaan yang bagus saya pikir.
Apakah mungkin kalau kita lanjutkan (seperti di reply saya ke mas baskara ?)


> dan jujur saja, saya sendiri masih bingung tentang hal ini, karena ada
> nilai dari parameter yang tidak sama bila kita lihat dari beberapa
> sistem pemantau yang datanya bisa dilihat online (sementara yang saya
> bandingkan ada tiga, BMG[3], USGS[4], ANSS[5]) minimal kesalahan ada
> di akurasi waktu walaupun selisihnya dalam detik,

latency dari stasiun -> data center -> komputer kita ? atau memang
enggak dikalibrasi timesource-nya :)



> tambah lagi, berapa
> data sumber dari seismograph yang dibutuhkan baru sebuah data
> dinyatakan valid? benar, kita butuh geolog untuk pengetahuan lebih
> jauh tentang hal ini.

setuju.


> lalu, ngomentarin sistem EWS yang mahal itu (serta membutuhkan sistem
> telekomunikasi yang bagus untuk pengadaannya); ada beberapa ide yang
> saya serap dari beberapa situs yang mengacu tentang pencatatan
> sederhana (amatir, dan paperless!)[6],[7] untuk bisa diterapkan
> didaerah yang minus sarana telekomunikasi.

Masalahnya mungkin bukan pada pengadaan seismograph - tapi mencari
lokasi instalasi yang tepat; sangat minim kemungkinan terutak-atik
(binatang/orang iseng), tidak di dekat jalan besar tempat truk lalu
lalang, dst.

Lagipula dengan data dari beberapa stasiun yang sudah ada di LISS, saya
pikir mungkin untuk mendeteksi gempa di suatu lokasi walaupun tidak ada
stasiun seismograph disitu.


> dan data yang tercatat, walau pasti tidak presisi, paling tidak ini
> bisa dijadikan data pembanding dari sistem jaringan pemantau seisimik
> indonesia yang sudah ada[8], dan lebih jelas memungkin kan untuk
> dijadikan EWS bagi daerah daerah minus lagi rawan tersebut.
> gak perlu pake email/sms rasanya,

Maaf saya kurang jelas - email/sms/dll maksudnya agar lebih banyak orang
yang bisa dinotifikasi.

Tapi saya agak kurang setuju kalau lantas semua orang / masyarakat umum
bisa subscribe ke notifikasi ini; karena bisa terjadi chaos ketika ada
warning. Lebih baik kalau misalnya para tokoh masyarakat (lurah, ketua
RT/RW), dll.


> cuek, mungkin iya, atau lagi gak ada orang yah, saya coba kontak
> webmasternya BMG saja udah 3 hari belum direspon, padahal maksudnya
> agar ia mbenahin tabulasi yang ditampilkan ... hiks ... ini pe-er kita
> bukan? atau masih harus nungguin pemerintah bekerja? miris sekali.

Makanya, apakah bisa kita bikin versi open-nya ? (OpenEWS ?)

Sayang saya enggak punya teman geolog, jadi belum bisa langsung
follow-up ide ini ...


regards,
-HS

baskara

unread,
Jan 5, 2005, 3:30:01 PM1/5/05
to tekno...@googlegroups.com
On Wed, 05 Jan 2005 17:37:19 +0000, Harry Sufehmi
<mil...@harrysufehmi.com> wrote:
>
> Makanya, apakah bisa kita bikin versi open-nya ? (OpenEWS ?)
>
> Sayang saya enggak punya teman geolog, jadi belum bisa langsung
> follow-up ide ini ...

Kalau ingin membuat sistem EWS yang bisa kita atur sendiri, kita harus
membuat sendiri sensor dan sistem komunikasinya (codec, satellite link
bandwidth, stasiun bumi). Mahal? OK. Kita pakai saja data2 dari
stasiun pengamatan cuaca/laut negara2 lain. Apakah mereka mau memberi
cuma2? OK. Anggap saja mereka baik hati dan suka menolong sehingga
data2 (bahkan sudah matang) diberikan kepada kita sehingga kita bisa
membuat sistem pengolahan dan pengambilan keputusan. Akan tetapi,
data2 yang dikirimkan oleh mereka mencakup sensor2 yang dipasang di
samudra Pasifik (dekat Jepang, California, Hawaii) dan Atlantik.
Data dari samudra Hindia, Laut Cina Selatan, perairan Australia tidak
ada Om, karena di sana memang tidak dipasang sensor.Data2 itu menjadi
tidak berguna di Indonesia (kecuali untuk meramal cuaca). Akhirnya,
balik lagi ke awal: yuk, buat sensor dulu. :-)

mil...@harrysufehmi.com

unread,
Jan 5, 2005, 6:18:22 PM1/5/05
to tekno...@googlegroups.com
baskara writes:
> Kalau ingin membuat sistem EWS yang bisa kita atur sendiri, kita harus
> membuat sendiri sensor dan sistem komunikasinya (codec, satellite link
> bandwidth, stasiun bumi). Mahal? OK. Kita pakai saja data2 dari
> stasiun pengamatan cuaca/laut negara2 lain. Apakah mereka mau memberi
> cuma2? OK. Anggap saja mereka baik hati dan suka menolong sehingga
> data2 (bahkan sudah matang) diberikan kepada kita sehingga kita bisa
> membuat sistem pengolahan dan pengambilan keputusan. Akan tetapi,
> data2 yang dikirimkan oleh mereka mencakup sensor2 yang dipasang di
> samudra Pasifik (dekat Jepang, California, Hawaii) dan Atlantik.
> Data dari samudra Hindia, Laut Cina Selatan, perairan Australia tidak
> ada Om, karena di sana memang tidak dipasang sensor.Data2 itu menjadi
> tidak berguna di Indonesia (kecuali untuk meramal cuaca). Akhirnya,
> balik lagi ke awal: yuk, buat sensor dulu. :-)

Er... NOAA sudah memperingatkan negara2 yang terkait dalam selang waktu
beberapa menit saja setelah gempa terdeteksi - tapi entah kenapa, mereka
cuek :
http://www.noaanews.noaa.gov/stories2004/s2357.htm

Jadi, instrumen2 yang ada kelihatannya sudah cukup. Masalah utamanya adalah
peringatan tsb cuma sampai kepada para birokrat, yang tangannya terikat
birokrasi, sehingga geraknya lamban.

Jadi inti ide OpenEWS ini maksudnya adalah memanfaatkan fasilitas yang sudah
ada untuk bisa dibuat accessible ke khalayak yang lebih luas.


regards,
-HS

enda nasution

unread,
Jan 5, 2005, 9:36:42 PM1/5/05
to tekno...@googlegroups.com
On Thu, 6 Jan 2005 05:30:01 +0900, baskara <bas...@gmail.com> wrote:
> Kalau ingin membuat sistem EWS yang bisa kita atur sendiri, kita harus
> membuat sendiri sensor dan sistem komunikasinya (codec, satellite link
> bandwidth, stasiun bumi). Mahal? OK. Kita pakai saja data2 dari
> stasiun pengamatan cuaca/laut negara2 lain. Apakah mereka mau memberi
> cuma2?

Om baskara, CMIIW idenya di kolomnya si cringely itu adalah tidak
perlu pake sensor dan super computer yg bikin mahal itu, cukup data
seismik yang tersedia online
[http://www.geophys.washington.edu/seismosurfing.html].

Kira-kira gini:

Data seismik > Data geografis > Analisa Gempa (epicenter dll) >
Analisa Tsunami > Warning Sytem

Masing2x pantai yg berkepentingan bisa menganalisa dan membuat warning
system yang berkaitan dengan pantainya aja, dengan ini computation
power yg dibutuhkan diasumsikan tidak besar > Murah.

Ini alternatif murah dan cepat. Kalo ada resource besar dan cepat [kan
ini yg ga yakin] pasang sensor dan centralized warning system tentu
baik.

Tehnik ini sudah dipakai dalam system "Flood Warning" di beberapa
daerah yang korelasi antara curah hujan dengan banjirnya besar, tidak
perlu pake sensor di sungai segala.

Hitung aja data curah hujan > Analisa banjir > dapet deh data banjir >
warning system.

--
Visit my blog. Click here
http://enda.goblogmedia.com

baskara

unread,
Jan 5, 2005, 10:09:33 PM1/5/05
to tekno...@googlegroups.com
On Thu, 6 Jan 2005 09:36:42 +0700, enda nasution <enda...@gmail.com> wrote:

> Masing2x pantai yg berkepentingan bisa menganalisa dan membuat warning
> system yang berkaitan dengan pantainya aja, dengan ini computation
> power yg dibutuhkan diasumsikan tidak besar > Murah.

Dengan centralized system pun tidak membutuhkan super computer sebenarnya.
Yang penting data tersedia dan cukup akurat untuk dianalisis. Oleh
karena itu, saya mengatakan kita mungkin perlu memasang sensor. Urusan
begini mungkin si dikshie@itb yang lebih tahu, karena dia sering
posting analisis tsunami di milis itb.
Kemarin profesor saya sempat membicarakan EWS ini juga. Kata dia,
Jepang pun belum bisa membuat sistem yang bisa memastikan akan
datangnya tsunami. Informasi paling cepat bisa disampaikan dalam 2
menit (langsung masuk TV channel 1).

Firman Pribadi

unread,
Jan 5, 2005, 11:09:05 PM1/5/05
to tekno...@googlegroups.com
On Thu, 6 Jan 2005 12:09:33 +0900, baskara <bas...@gmail.com> wrote:
> Kemarin profesor saya sempat membicarakan EWS ini juga. Kata dia,
> Jepang pun belum bisa membuat sistem yang bisa memastikan akan
> datangnya tsunami. Informasi paling cepat bisa disampaikan dalam 2
> menit (langsung masuk TV channel 1).
>
uff, maaf. yang saya perhatikan kenapa kita jadi terfokus hanya pada
tsunami, padahal kita tahu, tsunami adalah hanya satu efek berbahaya
yang ditimbulkan dari gempa (atau lebih luasnya kejadian seismik yang
besar magnitudonya). apa karena kolomnya cringely fokus pada hal ini?

imho, ews dimaksud _bukan_ sekedar untuk meramalkan/memastikan akan
adanya tsunami saja karena hal tersebut akan useless didaerah yang
jauh dari garis pantai. saya sendiri lebih prefer ke ews yang memang
ditujukan untuk pencatatan kejadian-kejadian seismik didaerah rawan
dan bisa diakses publik dengan sarana komunikasi yang murah, dan
massal. eh internet masih barang langka kan di negeri ini? maka radio
dan tv adalah yang paling memungkinkan. tapi ada satu hal yang masih
jadi pertimbangan, pada saat gempa besar, prasarana penunjang hal-hal
tersebut bisa saja ikut jadi korban, ambil contoh konkrit adalah
listrik. mau pake sel surya? wah mahal gak? bagaimana mengatasi
hal-hal sederhana tapi penting tersebut? maaf lagi karena ini udah
kemana-mana :)

so, ada baiknya sebelum jadi semakin jauh, mungkin definisi EWS itu
sendiri harus kita ketahui. dan hal-hal apa yang patu dipertimbangkan
(teknis/non-teknis) untuk merealisasikannya sehingga kita dapat yang
mendekati akurat dan tidak mahal.

enda nasution

unread,
Jan 6, 2005, 12:16:22 AM1/6/05
to tekno...@googlegroups.com
On Thu, 6 Jan 2005 11:09:05 +0700, Firman Pribadi <fir...@gmail.com> wrote:
> > uff, maaf. yang saya perhatikan kenapa kita jadi terfokus hanya pada
> tsunami, padahal kita tahu, tsunami adalah hanya satu efek berbahaya
> yang ditimbulkan dari gempa (atau lebih luasnya kejadian seismik yang
> besar magnitudonya). apa karena kolomnya cringely fokus pada hal ini?

uff, maaf juga. kalo gempa [bukan tsunami] mau di early warning-i
gimana? waktunya singkat banget dari anomali data seismik yang
terdeteksi ke puncak gempa dengan (mis.) 9.0 richter misalnya.

kalo bisa ada early warning gempa mkn udah dari dulu2x dibuat.

early warning system untuk tsunami terpikir karena periode waktu
sekian menit, antara gempa terjadi dengan tsunami melanda. coba liat
deh model2x visual yang ada.

tsunami kemarin itu mencapai sri lanka dalam waktu diatas 100 menit
tanpa warning.

nah ini yg dimaksud early warning system.

on 2nd thought, karena lokasi sumatra yg begitu deket dengan retakan
lempeng tektonik sumber gempa, bisa jadi untuk Indonesia sih EWS ini
ga begitu berguna, karena ya udah aja, ga mungkin di warning-i juga.

baskara

unread,
Jan 6, 2005, 12:26:07 AM1/6/05
to tekno...@googlegroups.com
On Thu, 6 Jan 2005 11:09:05 +0700, Firman Pribadi <fir...@gmail.com> wrote:
>
> so, ada baiknya sebelum jadi semakin jauh, mungkin definisi EWS itu
> sendiri harus kita ketahui. dan hal-hal apa yang patu dipertimbangkan
> (teknis/non-teknis) untuk merealisasikannya sehingga kita dapat yang
> mendekati akurat dan tidak mahal.

EWS paling murah = kalau takut dilembur pasang, jangan berumah di tepi
pantai ;-)

BMG sebenarnya sudah punya EWS juga. Akan tetapi, penyampaian
informasinya dilakukan dengan press conference (bisa berapa jam/hari
info itu sampai di lokasi yang harus diwaspadai?). Contohnya, pagi ini
ada peringatan dari BMG tentang kemungkinan ada gempa2 susulan di jawa
timur bagian selatan hingga NTT (detik.com). Berapa orang yang tahu?

Saya sebenarnya ingin sekali di Indonesia itu ada sebuah EWS yang
fungsinya sangat sederhana, tetapi hampir selalu dibutuhkan. EWS itu
memberikan output yang berupa:
"Hari ini hujan kah? JAM BERAPA kira2?"
Jadi saya tahu kapan perlu membawa payung, kapan harus menjemur
pakaian, .... he he he... dan..sistem ini bukanlah impian... check
this out:
http://weather.yahoo.co.jp/weather/jp/13/4410/13208.html (maaf in
japanese, lihat gambarnya saja)

Bi[G]

unread,
Jan 6, 2005, 12:45:20 AM1/6/05
to tekno...@googlegroups.com
On Thu, 6 Jan 2005 14:26:07 +0900, baskara <bas...@gmail.com> wrote:
> Saya sebenarnya ingin sekali di Indonesia itu ada sebuah EWS yang
> fungsinya sangat sederhana, tetapi hampir selalu dibutuhkan. EWS itu
> memberikan output yang berupa:
> "Hari ini hujan kah? JAM BERAPA kira2?"
> Jadi saya tahu kapan perlu membawa payung, kapan harus menjemur
> pakaian, .... he he he... dan..sistem ini bukanlah impian... check
> this out:
> http://weather.yahoo.co.jp/weather/jp/13/4410/13208.html (maaf in
> japanese, lihat gambarnya saja)
>

BMG ?
hehehhehe...
dulu pernah secara resmi minta feeding data cuaca
udah kirim email.. telpon ke sana ke mari..
tetep aja nggak ada actionnya dari pihak BMG
birokrasinya pun ribet harus ada izin dari departemen inilah
perhubungan kalo nggak salah waktu itu.
akhirnya ya sampai sekarang nggak jadi :(
selama BMG masih seperti sekarang - dibawah departemen -
susah buat ngandelin BMG karena dananya minim.

pernah ada seorang DPD dari Jakarta yg concern masalah ini.
begitu liat kantornya kaget.. komputernya masih segede2x gambreng..
yang seharusnya jaman sekarang server tuh makin mengecil.
setelah lobi sana lobi sini akhirnya dapet hibah dari IBM,
itupun cuman 3 kalo nggak salah.
sekarang kantornya pun kena gusur..hiks..
tapi begitu ada musibah semua nyalahin BMG kenapa nggak ada early warning..
duh kasiaannn.. kasiaan...

--
Bi[G]
http://www.adypermadi.com
Y!:br4ind4m4ge
Gmail:bravo.in...@gmail.com
----------------------------------------

Firman Pribadi

unread,
Jan 6, 2005, 1:01:21 AM1/6/05
to tekno...@googlegroups.com
On Thu, 6 Jan 2005 12:16:22 +0700, enda nasution <enda...@gmail.com> wrote:
>
> nah ini yg dimaksud early warning system.
>
ah iya juga, maafkan saya :)
diralat kalo gitu jadi gak pake early, tapi warning system saja untuk
kejadian seismik tertentu.

> on 2nd thought, karena lokasi sumatra yg begitu deket dengan retakan
> lempeng tektonik sumber gempa, bisa jadi untuk Indonesia sih EWS ini
> ga begitu berguna, karena ya udah aja, ga mungkin di warning-i juga.
ouw, di warning-i tetap perlu lah,
pertanyaan saya, dalam hukum indonesia, hak hidup dan hak untuk
mendapat perlindungan itu batasannya sejauh mana sih?

sniber

unread,
Jan 6, 2005, 4:11:06 AM1/6/05
to tekno...@googlegroups.com
jangankan keamanan, kenyamanan aja masih ga di pikirin.....
--
- sniber -

N e o

unread,
Jan 7, 2005, 12:42:53 AM1/7/05
to tekno...@googlegroups.com
At 17:23 +0000 1/5/05, Harry Sufehmi wrote:
>>
>
>KKalau dengar-dengar kabar kemarin, early warning-nya sudah cukup
>cepat (kecuali Indonesia ya, karena terlalu dekat dengan
>epicenter-nya)
>Cuma, birokrasi cukup berperan dalam mementahkan ini semua.

kebetulan teman sekantor ada yang mengalami langsung bencana ini, dan
anaknya yang menjadi korban. dia menceritakan bahwa gempa memang
terasa duluan, dan ada jeda waktu antara 15 sampai 30 menit sebelum
tsunami datang. mengingat masyarakat di pulau simeuleu relatif
sedikit korbannya (cuma 7 orang meninggal) karena sebagian besar
langsung menyelamatkan diri ke bukit2 setelah melihat air laut surut
mendadak, sepertinya early warning masih sangat berguna walaupun di
indonesia.

--
I solemnly swear that I'm up to no good
http://data.startrek.or.id
http://kiozk.com

risiyanto

unread,
Jan 7, 2005, 1:14:48 AM1/7/05
to tekno...@googlegroups.com
On Fri, 7 Jan 2005 12:42:53 +0700
N e o <nusa...@diva-valen.com> wrote:

> >KKalau dengar-dengar kabar kemarin, early warning-nya sudah cukup
> >cepat (kecuali Indonesia ya, karena terlalu dekat dengan
> >epicenter-nya)
> >Cuma, birokrasi cukup berperan dalam mementahkan ini semua.
>
> kebetulan teman sekantor ada yang mengalami langsung bencana ini, dan
> anaknya yang menjadi korban. dia menceritakan bahwa gempa memang
> terasa duluan, dan ada jeda waktu antara 15 sampai 30 menit sebelum
> tsunami datang. mengingat masyarakat di pulau simeuleu relatif
> sedikit korbannya (cuma 7 orang meninggal) karena sebagian besar
> langsung menyelamatkan diri ke bukit2 setelah melihat air laut surut
> mendadak, sepertinya early warning masih sangat berguna walaupun di
> indonesia.

Selain ESW perlu dipertimbangkan juga _pendidikan_.

Ada sebuah pantai di Thailand yang hampir tidak ada korban, dikarenakan seorang gadis kecil yang menyadari akan datangnya tsunami.

http://www.nypost.com/news/worldnews/37579.htm

<quote>
Tilly warned the doubting adults at a resort that a massive tidal wave was about to strike - just minutes before the deadly tide rushed in and turned the resort into rubble. Tilly's family, from Surrey, England, was enjoying a day at Maikhao Beach last Sunday when the sea rushed out and began to bubble.

The adults were curious, but Tilly froze in horror.

"Mummy, we must get off the beach now!" she told her mother. "I think there's going to be a tsunami."

The adults didn't understand until Tilly added the magic words: "A tidal wave."

Her warning spread like wildfire. Within seconds, the beach was deserted \u2014 and it turned out to be one of the only places along the shores of Phuket where no one was killed or seriously injured.

Last night, Tilly was being hailed as a savior.
</quote>


Salam
Aris

Bi[G]

unread,
Jan 7, 2005, 4:07:18 AM1/7/05
to tekno...@googlegroups.com
On Fri, 7 Jan 2005 12:42:53 +0700, N e o <nusa...@diva-valen.com> wrote:
> kebetulan teman sekantor ada yang mengalami langsung bencana ini, dan
> anaknya yang menjadi korban. dia menceritakan bahwa gempa memang
> terasa duluan, dan ada jeda waktu antara 15 sampai 30 menit sebelum
> tsunami datang. mengingat masyarakat di pulau simeuleu relatif
> sedikit korbannya (cuma 7 orang meninggal) karena sebagian besar
> langsung menyelamatkan diri ke bukit2 setelah melihat air laut surut
> mendadak, sepertinya early warning masih sangat berguna walaupun di
> indonesia.
>

yg tentang pulau simeuleu kayaknya udah banyak yang bahas deh..
baik di media online maupun media offline
orang2x yang di pulau itu sudah diceritakan "petuah dari leluhur"
kalau air laut surut mendadak jangan kelaut.. tapi larilah ke bukit
(pengalaman mereka mungkin tahun 1907).
dan ternyata memang benar, kemarin2x begitu laut surut mendadak mereka
lari ke bukit-bukit (tempat lebih tinggi) walhasil banyak yg selamat
dibanding di daerah lain.
kalo yg saya dengar di daerah2x lain itu begitu laut mendadak surut
orang2x pada ketengah, ngambilin ikan2x yg terdampar.
walhasil jadinya korban banyak.

Firman Pribadi

unread,
Jan 8, 2005, 9:09:23 AM1/8/05
to tekno...@googlegroups.com
On Fri, 7 Jan 2005 16:07:18 +0700, Bi[G] <bravo.in...@gmail.com> wrote:
>
> orang2x yang di pulau itu sudah diceritakan "petuah dari leluhur"
> kalau air laut surut mendadak jangan kelaut.. tapi larilah ke bukit
> (pengalaman mereka mungkin tahun 1907).
>
guys, ini almost final, ada ide lain yang perlu ditambahkan ?
saya sendiri masih gak tau kenapa hingga malam ini kalo liat yang di
bloglines koq blom update2 juga padahal crawler? terakhir ngambil rss
nya jam 20:44 WIT/WIB/JAVT :)
need advice, bagaimana itu hukumnya menggunakan map dari mapquest.com,
hehe mbaca term&cond nya sih kalo buat personal ndak apa2, kalo buat
begini gimana yah ?

http://web.pribadi.or.id/ews/sample.php

btw, soal webmasternya bmg tempo hari, saya sudah dapat kabar dari
yang mewakili beliau
-- snip --
Saat ini Pak Muzli sedang dinas survei pasca gempabumi ke Aceh.
Membawa peralatan untuk memantau gempa susulan sekaligus menengok
kampung halamannya untuk memastikan keluarganya selamat dan baik2
saja. (Kita doakan semoga demikian ya Pak?). Berangkat kalau tidak
salah dari tanggal 30 Des yl. Tidak heran email Bapak belum sempat
dibalas.
Sementara belum kembali, saya yang diserahi sebagian tugasnya
mengupdate content web bmg. Ya agak belepotan, darurat soalnya.
-- snip --

salam,

enda nasution

unread,
Jan 9, 2005, 6:26:35 AM1/9/05
to tekno...@googlegroups.com
On Thu, 6 Jan 2005 09:36:42 +0700, enda nasution <enda...@gmail.com> wrote:
> Om baskara, CMIIW idenya di kolomnya si cringely itu adalah tidak
> perlu pake sensor dan super computer yg bikin mahal itu, cukup data
> seismik yang tersedia online
> [http://www.geophys.washington.edu/seismosurfing.html].
>
> Kira-kira gini:
>
> Data seismik > Data geografis > Analisa Gempa (epicenter dll) >
> Analisa Tsunami > Warning Sytem

Di kolom minggu ini cringely mentioned ttg beberapa orang picking up
idenya dia minggu lalu. Ini dua link yang dia kasih, 1 ttg open source
seismic tools untuk menganalisa data seismic dan memprediksi tsunami
dan satu lagi blog ttg pengembangan Open Tsunami Alert System [OTAS]

Open Source Seismic Tools
Open source tools available for analyzing seismic data and predicting tsunamis.
(http://chez.mana.pf/~ldg)

Open Source Tsunami Warning
(http://otasblog.blogspot.com)



--enda

baskara

unread,
Jan 10, 2005, 10:55:06 PM1/10/05
to tekno...@googlegroups.com
On Wed, 05 Jan 2005 17:18:22 -0600, mil...@harrysufehmi.com
<mil...@harrysufehmi.com> wrote:
>
> Er... NOAA sudah memperingatkan negara2 yang terkait dalam selang waktu
> beberapa menit saja setelah gempa terdeteksi - tapi entah kenapa, mereka
> cuek :
> http://www.noaanews.noaa.gov/stories2004/s2357.htm

Kemarin saat melihat liputan di CNN juga diperlihatkan sebuah
print-out dengan peringatan tertulis kemungkinan besar terjadi
tsunami. Saya rasa BMG juga sudah menerima peringatan itu. Masalahnya,
bagaimana menyampaikan itu hingga ke individu-individu yang lugu,
tidak tahu apa-apa, alat komunikasi pun tidak punya, yang ada di
sepanjang pantai. Sejauh ini saya lihat BMG hanya bisa memberitahukan
info tersebut ke kantor BMG di daerah dan kepada pers. Dengan cara
begini, dibutuhkan waktu yang sangat lama hingga sampai ke telinga
orang-orang yang sedang jalan-jalan pagi, yang masih dalam kondisi
bermimpi indah, yang sedang di perjalanan menuju kantor/sekolah, dll.
Jadi, bagi saya, sistem berbasis Internet seperti OpenEWS dan
ewes-ewes sejenisnya mempunyai sifat yang sama dengan yang dipunyai
BMG. Ewes-ewes tersebut tidak akan jauh lebih cepat daripada sistem
informasi yang dimiliki BMG. Orang yang tahu bahwa akan datang tsunami
memang menjadi lebih banyak dengan adanya OpenEWS, khususnya untuk
pengguna Internet dan telepon seluler yang subscribe ke layanan ini
(beware of bottleneck). Jaringan akses dan pemasangan alarm/sirine
lebih diperlukan agar bisa menjangkau orang-orang yang tidak mempunyai
"warning receiver device" sendiri.
Akan tetapi, OpenEWS tersebut masih berguna sebagai pembuka wawasan
dan pendidikan tentang gempa dan tsunami karena sistem informasi BMG
yang tertutup tidak memungkinkan kita untuk membuat analisis sendiri.

Made Wiryana

unread,
Jan 11, 2005, 6:06:25 AM1/11/05
to tekno...@googlegroups.com
On Tue, 11 Jan 2005 12:55:06 +0900, baskara <bas...@gmail.com> wrote:
>
> On Wed, 05 Jan 2005 17:18:22 -0600, mil...@harrysufehmi.com
> <mil...@harrysufehmi.com> wrote:
> >
> > Er... NOAA sudah memperingatkan negara2 yang terkait dalam selang waktu
> > beberapa menit saja setelah gempa terdeteksi - tapi entah kenapa, mereka
> > cuek :
> > http://www.noaanews.noaa.gov/stories2004/s2357.htm
>
> Kemarin saat melihat liputan di CNN juga diperlihatkan sebuah
> print-out dengan peringatan tertulis kemungkinan besar terjadi
> tsunami. Saya rasa BMG juga sudah menerima peringatan itu. Masalahnya,
> bagaimana menyampaikan itu hingga ke individu-individu yang lugu,
> tidak tahu apa-apa, alat komunikasi pun tidak punya, yang ada di
> sepanjang pantai. Sejauh ini saya lihat BMG hanya bisa memberitahukan

Justru ini tampaknya "kurang" dari Early Warning System yg seakrang
lagi rame didiskusiin, masalah utama bagaimana _mengkomunikasikan_ ke
publik luas, sedikit sekali jadi perhatian. Ini termasuk bagaimana
suatu sumber informasi dapat dipercaya, bagaimana trusted model untuk
sistem informasi di lingkungan seperti Indonesia (publik lebih percaya
mana, press rilis institut riset dari USA, atau kata pak Ulama di
kampung ?)

Faktor lain, kalau toh informrasi bisa disebarkan ke publik, berapa
kecepatan untuk melakukan evakuasi ?? Jangan-jangan Early Warning
System hanya cuma untuk memuaskan keingin tahuan ilmuwan untuk
memecahkan masalah mereka sendiri he he he

IMW

Harry Sufehmi

unread,
Jan 12, 2005, 5:12:43 AM1/12/05
to tekno...@googlegroups.com
> On Wed, 05 Jan 2005 17:18:22 -0600, mil...@harrysufehmi.com
> <mil...@harrysufehmi.com> wrote:
>>Er... NOAA sudah memperingatkan negara2 yang terkait dalam selang waktu
>>beberapa menit saja setelah gempa terdeteksi - tapi entah kenapa, mereka
>>cuek :
>>http://www.noaanews.noaa.gov/stories2004/s2357.htm

Duh, ini email udah basi, baru nongol... anyway, link dari Enda cukup
menarik kemarin itu, trims. Saya akan coba ikutan nimbrung sebentar lagi:
http://otasblog.blogspot.com/


cheers,
-HS

baskara

unread,
Jan 12, 2005, 7:07:33 AM1/12/05
to tekno...@googlegroups.com
Maaf, ini panjang. Maaf juga untuk yang sudah tahu. Yang belum tahu,
mudah-mudahan bisa menambah ilmu. Ada info dari rekan saya bahwa
Jepang sedang mengusulkan EWS yang melingkupi Samudra Hindia juga.

-----------------------
TOKYO — The Japanese government is studying several options for a
proposed early tsunami warning system for countries surrounding the
Indian Ocean, government sources said Thursday.

One option being considered by Japan would lay water manometers at the
bottom of the Indian Ocean to monitor changes in water pressure. Data
obtained from the manometers would be sent to the proposed alert
center via a satellite. The second option calls for seismometers
already set up in Japan to detect earthquakes in the Indian Ocean,
while the third method would require new seismometers to be set up in
coastal areas of the Indian Ocean, the sources said.
-----------------------

Dari berbagai ulasan di media dan milis, saya lihat sensor merupakan
komponen yang harus ada untuk mendeteksi tsunami. Selain jenis sensor
di atas, ada lagi sensor baru yang menggunakan laser (lihat artikel di
bawah).


_____ begin of article ______________

Tsunami sensor

Oleh : Bambang Widiyatmoko

Pusat Penelitian Fisika LIPI, Komplek PUSPIPTEK Serpong, Tangerang.



Gempa dasyat yang telah terjadi di tanah air menimbulkan tsunami dengan
tenaga penghancur yang hebat dan memorak porandakan kehidupan di propinsi
Aceh dan sekitarnya. Rasa ikut berduka yang mendalam kami sampaikan kepada
para korban bencana ini.

Dalam kesempatan ini penulis hanya akan mengungkapkan sedikit
mengenai bagaimana mendeteksi dan mengukur besarnya gelombang Tsunami
memakai laser Tsunami sensor (Sakata method) dan kemungkinannya dibuat
sendiri di Indonesia.

Tsunami selama ini dideteksi dengan sensor yang terbuat dari kristal
(Oscilator). Prinsip dari sensor ini adalah apabila kristal oscillator
berosilasi pada frekuensi tertentu mendapat tekanan dari arah sumbu
oscilasinya maka frekuensi oscillator akan berubah. Perubahan frekuensi ini
sebanding dengan tekanan yang diberikan, dimana tekanan ini juga sebanding
dengan tingginya tsunami. Prinsip ini sudah lama dipakai misalnya untuk
memantau tsunami disekitar Jepang dan samudera Pasific. Banyak kendala yang
dihadapi yaitu tsunami sensor harus dipasang jauh dari pantai, sehingga
perlu pengiriman supply listrik kedalam sensor. Disamping itu jarak tempuh
(beberapa Km) juga akan memberikan gangguan noise yang besar saat sampai di
pemantau (darat).

Dr Sakata peneliti ahli Tsunami dari Disaster Prevention
Research Institute, Japan, telah menciptakan metode baru dengan memakai
laser. Methode ini sangat sederhana dan sangat sensitive sebagai sensor
Tsunami maupun sensor tekanan. Disamping itu alat ini terbebas dari noise
karena yang terkirim ke sensor yang berada jauh dari pantai adalah cahaya
laser (melalui Fiber optik) sedang seluruh perangkat elektronik diletakkan
di darat.

Prinsip dari sensor ini adalah sebagai berikut:

Sensor utama berupa dua buah "optical cavity" dengan "Free Spectral Range"
sama. Masing masing Cavity ini terbentuk dari dua buah cermin yang
terpisahkan dengan jarak Lc dan dipasang bersilang (Sumbu X dan sumbu Y).
FSR didifinisikan sebagai FSR=C/2nLc, dimana C adalah kecepatan cahaya, n
adalah indek bias udara dan Lc adalah jarak antara dua cermin. Cavity ini
hanya akan memberikan peak transmisi bila frekuensi laser bersesuaian
(beresonansi) dengan FSR dari cavity. Kemudian Cavity dimasukkan kedalam
tabung selinder yang terbuat dari bahan tak berkarat (Stenless) dimana
masing masing cermin dikunci dengan dinding tabung.. Bentuk bagian dalam
dari selinder adalah ellips sehingga ada beda tebal dari dinding selinder.
Apabila diding tabung terkena tekanan akibat gelombang Tsunami maka Lc akan
berubah yang mengakibatkan FSR dari cavity berubah. Perbedaan tebal dinding
juga mengakibatkan perbedaan perubahan panjang dari cavity 1 dan cavity 2.
Perubahan ini yang dideteksi lebih lanjut dengan beat frekuensi dari dua
laser yang maisng masing frekuensinya terkunci (Locked) pada dua cavity
tersebut. Perubahan frekuensi sebesar 12MHz dideteksi untuk setiap perubahan
tsunami 1 cm. Untuk jarak antara dua cermin sebesar 10 cm, maka FSR dari
resonator kira kira sebesar 6 GHz, sehingga akan bisa mendeteksi tsunami
yang tingginya mencapai 5 m. Besarnya tsunami yang dapat dideteksi bisa
diperbesar dengan memperbesar jarak 2 cermin atau memperetebal dinding
tabung. Jarak sensor ke darat dapat mencapai 50-100 km tergantung daya laser
yang dipakai. Dengan jarak sensor 100 Km dari pantai juga memungkinkan utuk
memberi peringatan lebih dari puluh menit ke darat bila dibagian sensor
terjadi tsunami.

Sejauh ini tsunami sensor bukan merupakan produk yang banyak
terjual dipasaran karena biasanya pemakai adalah pemerintahan (badan
penelitian), sehingga harganya cukup mahal. Penulis telah ikut menyelesaikan
protype kedua dari Laser tsunami sensor yang sekarang terpasang di salah
satu pengamatan tsunami Jepang di Hiratsuka. Dari segi teknologi sensor ini
bukanlah hal yang susah sehingga 100% bisa dibuat (dirakit) di Indonesia.
Tentu hal ini membutuhkan support dari pemerintah untuk semaksimal mungkin
memanfaatkan potensi SDM dalam Negeri. Memang seperti tertulis pada harian
Kompas beberapa hari yang lalu, bahwa masalah Tsunami bukan hanya sensor,
tapi sensor juga merupakan komponen penting dari system monitoring Tsunami.

____ end of article ____________

Budi Rahardjo

unread,
Jan 12, 2005, 4:55:14 PM1/12/05
to tekno...@googlegroups.com
Sensor memang penting.
Tapi, kalau di Indonesia, sensor ini dicuri oleh orang :(
Pak Hakim (kalau nggak salah) sudah beberapa kali memasang
sensor [bukan sensor untuk tsunami memang] di laut dan hasilnya
sensornya hilang. Kalau harga sensor itu Rp 1 jutaan, bisa terbayang
berapa kerugiannya.

Bagaimana cara mendidik masyarakat Indonesia supaya lebih peduli?
Demikian pula bagaimana cara mendidik masyarakat supaya hal-hal
yang negatif jangan dibangga-banggakan. Contohnya, orang yang
menjebol server orang lain kok dipotretkan sebagai jagoan?


-- budi

Firman Pribadi

unread,
Jan 14, 2005, 8:22:46 AM1/14/05
to tekno...@googlegroups.com
On Fri, 7 Jan 2005 13:14:48 +0700, risiyanto <risi...@cpubekas.com> wrote:
>
> Selain ESW perlu dipertimbangkan juga _pendidikan_.
>
diangkat lagi nih topik, gak tahan untuk tidak mengeluarkan pikiran2.

dilihat dari sisi _sosial budaya_, koq saya jadi berpikir rasanya
indonesia belum waktunya menerapkan sistem peringatan dini yang
canggih seperti ini? walaupun dari sisi ekonomi dan teknologi sudah
ada negara-negara yang mau membantu untuk mewujudkannya, ntah itu
bentuknya hutang atau hibah.

saya jadi balik ke usulan mas aris juga mengacu keterangan dari pak br
untuk ikut mempertimbangkan juga pendidikan dan kepedulian masyarakat,
karena dari beberapa artikel yang didapat, salah satunya yang cukup
tajam menyoroti ada di
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=183075&kat_id=16 ,
berisi paparan yang lumayan memberikan gambaran pendidikan kita masih
kurang untuk menghadapi hal serupa ini. beruntung mereka warga simeleu
yang punya warisan ilmu dari leluhurnya.

berikut kutipan dari seorang dosen di jurusan geografi upi, yang
ngasih komentar dengan topik mirip dengan yang lagi kita bahas ini,
"saya agak setuju dengan pendapat artikel itu, terutama bahwa metode
pembelajarannya baru pada aspek pengetahuan saja. Hal ini karena guru
kita masih terkungkung oleh seluruh mekanisme test dikahir
pembelajaran. Guru kita merasa malu jika anak didiknya tidak bisa
mengerjakan soal-soal test seperti sumatif dan UAN. Pengaruh rasa malu
ini berdampak pada usaha guru agar memberi pengetahuan yang banyak
agar siswa mampu menjawab soal. Proses pembelajaran yang mengandung
praktek, simulasi, diskusi, dianggap tidak efekif karena tidak
"mengantarkan" siswa untuk dapat menjawab soal-soal. Coba saja anda
renungkan, guru kita merasa lebih aman jika anak didik lulus UAN
daripada anak memiliki sikap kepemimpinan, kesopanan, atau jujur
(bagian afektif) dan terampil dalam dimensi psikomotor."

memang sih kalo bisa jalan berbarengan keduanya hasilnya akan lebih
baik. ada gak yang bisa ngasih perkiraan kasar, berapa besar
efektifitasnya kira-kira bila kita harus memilih salah satunya, ya
mendidik masyarakat tentang pengetahuan sebelum/saat/sesudah bencana
terjadi dibanding dengan membangun sistem peringatan dini yang
canggih, *jangan pakai metoda yang 68% atau 75:25 yah* :)

kembali ke point tiga siaran pers IAGI, "kita hidup di daerah rawan
bencana alam. Juga perlu disadari bencana alam itu hampir selalu
datang tiba-tiba". lagian dari informasi di bmg sendiri mereka pernah
punya perangkat tremort (tsunami detektor) di tretes, dan
satu-satunya, sudah gak bisa dipake dengan alasan sederhana,
perangkatnya receivernya kesambar petir :) .. jangan-jangan nanti
setelah keluar duit banyak-banyak yang terjadi malah sama.


--
Firman Pribadi - http://web.pribadi.or.id
Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages