artikel ini diambil dari milis itb.
menjadi pahlawan dengan pura-pura bingung kenapa KPU gak mau ngomong
sama dia, seperti amnesia dia sudah menjelekkan habis-habisnya
tentang sistem TI KPU (not the most perfect system in the world, but
it works, contrary to what kermit is spreading around). terus terang,
kermit ini adalah tokoh yang sangat berbahaya. acting innocent-nya
cukup berhasil menjaring simpati mayoritas masyarakat (terkait dengan
tulisan saya sebelumnya mengenai isi media massa mencerminkan
masyarakat pembacanya). dan untuk mempertahankan image-nya, dia tidak
akan pernah mempergunakan yang namanya media interaktif, seperti blog
atau mailing list (dia tampaknya cukup kapok bergaya di mailing list
setelah mengumpulkan musuh cukup banyak).
Komunikasi Bencana
KRMT ROY SURYO NOTODIPROJO
Bencana Tsunami yang melanda Aceh dan Sumatera Utara hingga ke Kepulauan
Maladewa, India, Thailand dan sebagian negara-negara Asia lainnya memang
sangat memilukan. Korban dari Indonesia saja diperkirakan akan mencapai
angka 100.000 jiwa bila nantinya sudah dihitung rinci, karena angka-angka
prakiraan yang sekarang muncul belum diperbandingkan dengan database
keseluruhan penduduk asli dari tiap-tiap wilayah tersebut. Masalahnya
adalah KPU yang saat pemilu lalu mengumbar statemen bahwa mereka memiliki
database rinci tersebut sampai kini masih diam seribu bahasa. Padahal
kalau KPU mau berbakti kepada negara, inilah saatnya bisa membuktikan
kecanggihan perangkat komputer server yang dulu dibeli ratusan miliar
rupiah tersebut.
Akan tetapi tulisan ini tidak akan hanya fokus ke masalah angka korban
yang hingga kini belum jelas tersebut, tetapi lebih kepada
kekurangkoordinasian (baca:kesemrawutan) komando bantuan kemanusiaan yang
hingga kini masih menumpuk di berbagai posko dan bahkan bandara, padahal
antusiasme kegotongroyongan masyarakat Indonesia dalam memberikan
sumbangan tersebut masih sangat patut dibanggakan. Jika dicermati, dalam
tragedi ini terjadi kelemahan dalam proses komunikasi (sekaligus
informasi) yang mengakibatkan koordinasi penanganannya menjadi tumpang
tindih. Padahal jika sejak awal pemerintah didukung semua elemen
masyarakat dapat mempergunakan sarana komunikasi yang memadai, niscaya hal
tersebut tidak akan terjadi.
Sebenarnya semenjak hari pertama saja hal tersebut sudah terlihat, karena
penulis yang sempat dikontak pertamakalinya oleh sebuah radio swasta di
Jakarta sekitar pukul 11.00 WIB tanggal 26 Desember 2004 lalu, sudah
langsung ditanya dengan langkah-langkah apa yang sebaiknya dilakukan oleh
pemerintah. Ketika itu langsung terbayang rusaknya infrastruktur
komunikasi yang ada, karena mengingat dampak gempa dan tsunami biasanya
sangat dahsyat. Tidak berlebihan saat itu sudah sempat penulis usulkan
untuk langsung memanfaatkan sarana telepon satelit, komunikasi melalui
gelombang radio amatir dan bahkan disinggung juga upaya pembangunan
infrastruktur telekomunikasi seluler darurat menggunakan berbagai BTS
(Base Transceiver Station) atau RBS (Radio Base Station) portable yang
bisa dipindahkan lokasinya.
Namun ternyata hal tersebut tidak cepat dilakukan, karena jangankan
langsung bicara mengenai rusaknya 45.318 SST (Satuan Sambungan Telepon)
yang berada di daerah tersebut dan upaya pemulihannya, ketika radio yang
sama menanyakan kepada salah seorang juru bicara Presiden, ternyata ybs
justru balik meminta informasi dari radio yang bersangkutan tentang apa
yang terjadi untuk segera dilaporkan kepada presiden! Oleh karena itu
tidaklah heran bahwa hari-hari berikutnya masyarakat tampat terlihat
lebih percaya kepada upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak swasta
yang didukung media massa, dibandingkan upaya resmi pemerintah.
Dengan demikian masalah komunikasi dalam penanganan tragedi Tsunami yang
melanda Bumi Pertiwi kemarin cukup vital, karena menyangkut komunikasi
dalam penanganan internal bencara tersebut dan bagaimana kemudian
mengkomunikasikannya kepada masyarakat. Bila salah satu (atau bahkan yang
terjadi adalah kedua-duanya) kurang dilakukan dengan baik, maka yang
terjadi adalah masyarakat bisa melihat seperti hari-hari pertama kemarin,
dimana peran pemerintah kemudian seperti tertinggal oleh swasta. Apalagi
dalam berbagai pemberitaan di berbagai media, masyarakat kemudian menjadi
sangat percaya kepada media-media tersebut untuk menjadi saluran
komunikasi dan informasi dua arahnya. Hal ini terbukti dengan semakin
banyaknya support masyarakat dalam mengirimkan partisipasinya berupa
.Video-video Amatir..
Meski peran aktif media seperti ini tidak salah, karena media massa adalah
juga sebagai .The Fourth Stage of Communication di sebuah negara, tetapi
jika kemudian pemerintah tampak keteteran dengan peran swasta maka lambat
laun akan mengancam juga kredibilitasnya. Oleh karena itu seharusnya
disinilah para pembantu presiden dalam bidang-bidang yang langsung terkait
(Menkopolkam, Menkes, Menegkominfo, Menhubtel, dsb) segera mengambil peran
yang proporsif agar komunikasi (baca:penanganan) bencana berjalan baik.
Secara lebih rinci khususnya dalam bidang telekomunikasi, telepon satelit
yang langsung diusulkan penulis adalah entry point yang paling jitu. Sebab
perangkat yang tidak terbatas ruang dan waktu (alias .stand-alone.) ini
langsung bisa berhubungan melalui satelit yang berada 36.000 km di atas
bumi, meski infrastruktur di daratan hancul total seperti di Aceh dan
Sumatera Utara tersebut. Saat itu pula sempat diusulkan juga untuk
menggunakan sekitar 1500 Telepon Satelit ex-KPU yang dahulu sudah dibeli
dengan dana sekitar 27 Milyar, karena daripada sekarang tidak jelas
fungsinya. Akan tetapi lagi-lagi usulan penulis tersebut direspon dingin
oleh KPU.
Setelah telepon satelit .membuka jalan., baru kemudian diupayakan
komunikasi langsung menggunakan gelombang radio yang difasilitasi oleh
ORARI dan RAPI (juga perangkat radio milik TNI-Polri), karena praktis
pembangunan sebuah stasiun pemancar dan penerima ini relatif lebih cepat
dibandingkan dengan infrastruktur telepon seluler. Namun bila kondisinya
sudah memadai, para operator telepon seluler, baik berbasis CDMA (Code
Division Multiple Access) maupun GSM (Global System for
Mobile-communication) membangun kembali BTS/RBS-nya tersebut. Dalam hal
ini penulis sempat pula memberikan training kepada para relawan dan
wartawan yang berangkat ke daerah bencana tersebut untuk mengerti hal-hal
teknis telekomunikasi, misalnya penggunaan External antenna CDMA/GSM yang
bisa memperluas jangkauan dari BTS/RBS hingga 25 km , dsb. Kini setelah
seminggu bencana terjadi, komunikasi datapun mulai bisa dilakukan dari
beberapa titik lokasi (misalnya posko, rumah sakit dsb) dengan masuknya
jaringan internet yang bisa diakses langsung karena Wasantara-Net,
Telkomnet-Instant dan APJII sudah memfasilitasinya.
Kesimpulannya, meski tragedi adalah murni Kuasa dari Allah SWT, akan
tetapi sebagai manusia kita tidak boleh hanya menangis (baca:pasrah) saja
dan tidak berbuat apa-apa. Kuncinya memang ada di pemanfaatan Komunikasi
dan Informasi yang memadai.
(Penulis adalah Pemerhati Multimedia)
Taken from Harian Kedaulatan Rakyat, Selasa 4 Januari 2005 Hal 1 dan Hal
20 kol 5