Ditulis ulang : Muhammad Ilham (cq. Fadlillah Malin Sutan)
Gerak kebudayaan kembali ke surau di Minangkabau sepertinya kembali
memantul ke titik mentah. Mengapa begitu? Seandainya, gerakan
kebudayaan kembali ke surau merupakan sesuatu yang konkret, maka
barangkali akan didapati gerakan pembangunan surau yang mewabah di
berbagai tempat di Minangkabau. Ternyata tidak terjadi. Sebaliknya
yang tetap banyak dan menjamur adalah pembangunan masjid. Barangkali,
wacana kembali ke surau, hanya merupakan barang dagangan kampanye
politik kekuasaan? Nauzubillah, sebaliknya kita jangan berprasangka
buruk. Pemerintah Sumatera Barat, bukan membuat program membangun
ribuan atau ratusan surau, tetapi membangun mesjid raya terbesar
dengan dana miliyaran rupiah dengan menggusur sekolah yang ada di
tanah tempat pembangunan itu. Sepertinya ada hal yang aneh dan
“kontradiksi”, yakni; mulut mengatakan kembali ke surau, sementara
perbuatan tidak ada menyinggung-nyinggung surau, perbuatan malah
membangun mesjid bukan membangun surau. Namun, bukankah surau dengan
mesjid sama, bahkan bukankah lebih baik mesjid daripada surau. Mengapa
harus diperdebatkan pula?
Memang, surau berbeda dengan mesjid dalam konsep kebudayaan di
Minangkabau. Surau letaknya pada komunitas kaum dan tuangku, sedangkan
mesjid pada komunitas nagari. Mesjid jadi salah satu syarat identitas
dari suatu nagari di Minangkabau, dikenal dengan isrtilah “mesjid
nagari”, sedangkan surau syarat identitas suatu kaum, dikenal dengan
istilah “surau kaum”. Orang nagari berkumpul di mesjidnya, sedang kaum
berkumpul sepanjang malam di suraunya. Namun konsep kebudayaan ini
nampaknya sudah lama digulung perubahan. Banyak kaum yang tidak lagi
mempunyai surau, banyak masjid yang tidak lagi identik dengan nagari.
Sampai di sini, timbul pertanyaan mengapa yang dihadirkan itu adalah
wacana “kembali ke surau”? Bukankah akan lebih baik yang dihadirkan
adalah wacana “kembali ke masjid”? Ketika sudah dicanangkan wacana
“kembali ke masjid”, maka bukankah akan lebih cocok dengan pembangunan
masjid raya mewah milayaran rupiah itu. Namun mungkin hal ini bukanlah
untuk dapat dikatakan sambung menyambung menjadi satu.
Seandainya “kembali ke masjid” yang dicanangkan, maka hal ini akan
mengingatkan kita dengan konsep Sidi Gazalba yang terkenal itu, yakni
“masjid merupakan pusat kebudayaan”. Ternyata di Minangkabau bukan
mesjid pusat kebudayaan, melainkan surau. Hal itu dibuktikan secara
konseptual pada wacana “kembali ke surau”. Pusat kebudayaan
Minangkabau adalah surau. Inilah jawabannya, mengapa orang Minangkabau
mencanangkan “kembali ke surau”, karena “surau adalah adalah pusat
kebudayan Minangkabau“. Ketika A.A. Navis mengatakan robohnya surau
kami (pada cerpen Robohnya Surau Kami), artinya dia mengatakan
robohnya kebudayaan Minangakabau. Timbul pertanyaan, mengapa tidak
mesjid? Karena dalam sejarah kebudayaan Minangkabau, gerakan adat dan
agama dibangun di surau.
Surau tidak lagi dalam pengertian yang sederhana, harfiah; tempat
ibadah, tetapi merupakan akademi (seperti yang dikatakan Hamka), saya
dapat mengatakan ia merupakan universitas. Ribuan bahkan ratusan
naskah buku ilmu pengetahuan yang ditulis tangan ditemukan di surau
(baca Kompas, 10/09/2008; tentang Sebanyak 253 Manuskrip Diselamatkan
dari Kepunahan), bukan di mesjid. Seluruh tambo di Minangkabau ditulis
di surau, buktinya seluruh tambo dimulai dengan salawat kepada nabi
dan ditulis dengan arab melayu. Di masa Adityawarman surau digunakan
sebagai tempat pendidikan negara. Inilah jawaban, mengapa AA. Navis
mengahadirkan tesis “Robohnya Surau Kami” pada cerpennya yang terkenal
itu. Bukan tidak mungkin, ini sudah dibaca oleh Navis bahwa robohnya
surau mengisyaratkan robohnya kebudayaan Minangkabau. Mengapa begitu?
Karena surau bukanlah dalam pengertian harfiah, tetapi sangat
konseptual dan filosofis. Surau dapat dikatakan merupakan pusat
pendidikan, sistem, ekonomi, kekuasaan dalam satu integritas spritual
kebudayaan.
Adapun surau sebagai basis ekonomi membuat kita terpurangah ketika
membaca buku Christen Dobbin, sedangkan tentang adat maka ketika
dibaca tembo, maka isinya sesungguhnya sangat sufistik simbolik.
Dengan demikian, ketika hendak menghancurkan kebudayaan Minangkabau,
maka yang dihancurkan adalah surau, bukanlah masjid, rumah gadang,
balai adat. Ketika menghadapai perubahan zaman penjajahan, surau
secara sitem mampu mengimbangi diri menjadi madrasah dhiniyah dan
thawalib. Berhasil melahirkan tokoh-tokoh. Namun surau mulai roboh
secara sistematis ketika sudah merdeka. Inilah yang seharusnya menjadi
pertanyaan besar. Mengapa begitu? Karena surau bukanlah dalam
pengertian fisik atau materi, tetapi surau dalam pengertian konseptual
kebudayaan.
Secara konseptual budaya, ia sudah dipreteli, dipisah-pisahkan dan
dilumpuhkan. Secara konseptual seluruh pendidikan anak bangsa diambil
oleh pemerintah, ekonomi seluruhnya di tangan pemerintah, adapun tambo
divonis hanya satu persen fakta, selebihnya fiksi (dapat dibayangkan
kehancuran harga diri orang Minangkabau). Secara konseptual orang
Minangkabau sudah berserpihan, anak-anak mereka beberapa generasi
sampai hari ini menjadi tidak tahu lagi dengan kebudayaan Minangkabau.
Pendidikan bukan berbasis kebudayaan Minangkabau tetapi berbasis
pendidikan Barat yang diadaptasi secara bulat-bulat oleh pemerintah
Indonesia. Sehingga yang muncul secara bergelombang adalah generasi
“Hanafi Salah Asuhan”. Agaknya Abdul Moeis sejak awal sudah membaca
kenyataan ini. Inilah jawaban mengapah tokoh-tokoh tidak lagi lahir di
tanah Minang. Oleh sebab itu, wacana “kembali ke surau”, sesungguhnya
adalah kembali kepada filosofi, mind set, inti kebudayaan Minangkabau.
Menyatukan kembali yang berserpihan; yakni kembali kepada paradigma
pendidikan budaya sendiri, ekonomi dan sistem sosial budaya. Dalam hal
ini belum menampakkan cewang di langit dan gabak di hulu, barangkali
baru sebatas romantika dendang saluang.
Pusat kebudayaan sekarang sepertinya sudah terpecah-pecah, generasi
pergenerasi dididik menjadi madul oleh pemerintah, artinya mereka
tidak mampu mendiri. Sedangkan ekonomi terpusat kepada kaum kapitalis
(ivestor), yang dipuja-puja sampai hari ini (dengan cara menyalahkan
adat tradisi, terutama tanah ulayat) sementara kekuasaan pemerintah
rapuh digerogoti penyakit KKN yang sangat parah. Dengan demikian
tantangan memang sangat berat. Sebagian besar generasi Minang adalah
generasi “Hanafi Salah Asuhan” (jika terlalu kasar untuk dikatakan
malin kundang), maka bagaimana akan bicara “kembali ke surau” secara
konseptual kebudayaan kepada “tubuh yang sudah berserpihan”. Maaf,
hanya sebuah pesimisme.
:: (c) Fadlillah Malin Sutan. Ditulis ulang dari Harian Singgalang, 15
Januari 2008
http://ulama-minang.blogspot.com/2010/06/surau-pusat-budaya-minangkabau-islam.html