Buku "Mereka Bilang Aku China"

31 views
Skip to first unread message

Wahyu Suluh

unread,
Jun 5, 2011, 6:37:27 AM6/5/11
to santr...@yahoogroups.com, sastra...@yahoogroups.com, sastra-p...@yahoogroups.com, media-...@yahoogroups.com, media-...@yahoogroups.com, suara-i...@googlegroups.com
Sumber dari: lima...@yahoo.com


Sungguh beruntung saya mendapatkan penghargaan diberi sebuah buku "Mereka Bilang Aku China" dari pengarangnya sendiri Dewi Anggraeni. Buku dititipkan Nancy Ma yang kebetulan mampir di HK beberapa bulan yl. Buku sudah agak lama selesai saya baca, karena benar-benar tertarik dengan cara Dewi Anggraeni mengisahkan beberapa tokoh perempuan dalam bukunya itu.

Menjadi lebih tertarik karena salah seorang yang disampaikan, Jane Luyke Oey yang saya kenal sejak masa kanak-kanak. Sebenarnya lama sudah ingin saya ketik untuk disampaikan pada kawan-kawan, tapi selalu ada kegiatan lain sehingga tertunda saja, baru minggu lalu dengar memperingati 3 tahun Oey Hay Djoen meninggal-dunia, kembali terdorong tekad saya untuk mengetik. Baru saja selesai, saya sampaikan salah satu kisah Perempuan Tionghoa dari buku “Mereka Bilang Aku China”, tulisan Dewi Anggraeni, Adjunct Research Associate pada School of Political and Social Inquiry. Faculty of Arts, Monash University.

Salam,

ChanCT

"ChanCT" <SA...@netvigator.com>

Jane Luyke Oey

Melangkah ke dalam sejarah keluarga Oey seperti menelusup ke sebuah sudut penting dan sejarah Indonesia. Dan, saya merasa beruntung dapat mengalaminya. Melalui Jane, janda mendiang Oey Hay Djoen, kita akan mendapatkan lebih dan sekadar melongok ke dalam situasi kehidupan sebuah keluarga yang tidak saja penuh dengan jalan-jalan berkerikil, tetapi lorong-lorong yang nyaris tertutup batu batu karang. Hal ini dikarenakan kepala keluarganya begitu menggebu semangat idealisme dan nasionalismenya sehingga empat belas tahun tahanan dan penjara tanpa diadili pun tidak sanggup membuat semangat itu melempem. Hay Djoen ditangkap dan dipenjara karena dicurigai terlibat dalam tragedi 30 September 1965.

Kita akan menyaksikan, secara figuratif, bagaimana keluarga yang terpaksa ditinggalkannya harus berjuang dalam hidup selama dia tidak ada di tengah mereka. Kehidupan mereka penuh kesulitan, namun untunglah, penuh kehangatan yang datang dari persahabatan dan rasa solidaritas kemanusiaan, yang manifestasinya berupa perbuatan-perbuatan yang sederhana dan teman-teman dekat mereka, juga dari kenalan-kenalan lain. Kisah suka-duka ini membuat cerita keluarga ini sangat menyentuh.

Pada keseluruhannya, kisah ini sebuah kisah penuh ketegaran dan kebulatan tekad dalam menghadapi arus penentang yang seolah-olah tak putus-putusnya, kisah tentang kesetiaan tak bertara, cinta yang tak pernah goyah, dan yang sama pentingnya, kesabaran.

Cerita Jane dan anak perempuannya Mado juga sedikit banyak memberi saya rasa lega bahwa tidak semua orang Indonesia mudah dihasut untuk membenci, betapa pun hasutan itu datang dari berbagai arah dan dalam berbagai penjelmaan.

Dalam kunjungan saya yang pertama ke rumah Jane di Cibubur pada 16 Maret 2009, saya merasa tertelan nostalgia. Kendati rumah itu modern dan baru, ada ambiansi tempo doeloe medio abad XX yang sangat terasa. Dan satu segi, ingatan saya terbuai ke daLam suasana rumah Tionghoa peranakan, dari segi lain terlihat pengaruh budaya Eropa yang biasanya ada pada rumah-rumah keluarga campuran Eurasia atau pada rumah-rumah yang pemiliknya berpendidikan Belanda.

Pendek cerita, rumah ini adalah bagian dar setting kisah yang sangat menggugah ini.

Warna-Warni dalam Pohon Keluarga Oey

JANE

Nenek Jane dan pihak ibu adalah seorang pesinden dari Yogyakarta yang menikah dengan seorang Belanda dari keluarga tuan tanah yang kaya, keluarga Van Hek. Neneknya dari pihak ayah, Sariah, adalah wanita Tionghoa yang waktu bayi diangkat oleh keluarga Jawa di Demak. Praktik “angkat anak” ini tidak terlalu banyak dikenal, tetapi dari cerita-cerita yang didapat Jane dari kalangan kerabatnya, pengangkatan bayi perempuan Tionghoa oleh keluarga non-Tionghoa cukup banyak terjadi. Menurut pendapat orang-orang yang terlibat dalam praktik ini, setidaknya dalam abad-abad kedelapan belas dan kesembilan belas, keluarga Tionghoa tidak terlalu
menghargai anak perempuan seperti menghargai anak laki-laki.

Sariah juga menikah dengan pria Belanda, dari keluarga Luyke, seorang pengurus hutan yang bertanggung jawab atas daerah yang luas sekitar Semarang, yang kini ibu kota Provinsi Jawa Tengah.

Jane ingat pernah melihat neneknya, Sariah, memakai kain kebaya gaya Tionghoa. Ketika itu, dia diberi tahu bahwa neneknya diangkat oleh keluarga
Chan.

Jane sendiri lahir di Semarang pada 21 Maret 1935. Ibunya lahir dan dibesarkan di perkebunan Weleri. Begitu juga ayahnya. Keluarga Eurasia dan daerah itu membentuk komunitas yang erat satu sama lain. Namun, mereka tidak hanya bergaul di kalangan mereka sendiri, mereka juga berteman dengan masyarakat pribumi dan kelompok kelompok minoritas etnis lain.

Ayah Jane meninggal dalam sebuah kecelakaan ketika Jane masih kecil dan ketika itu, ibunya sedang mengandung adiknya. Oleh karena itu, Jane dan adiknya tidak mengenal ayah mereka.

Jepang tiba di bumi yang kini negara Republik Indonesia pada 1942. Dalam waktu pendek tersebar berita bahwa perempuan-perempuan muda, apalagi yang tak bersuami, tidak aman. Keluarga dan kerabat mereka pun jadi khawatir tentang ibu Jane, seorang janda muda. Apalagi ibunya sendiri baru saja meninggal. Dibuatlah rencana agar dia dan kedua anaknya, Jane dan Otto, mencari perlindungan di sebuah biara Katolik di Semanang. Jane ingat masa-masa itu. Dia juga ingat bahwa adik neneknya yang etnis Tionghoa tidak ikut dengan mereka. Mereka lebih cenderung saling melindungi dan merasa lebih aman dengan cara begitu.

Lalu, ketika Jepang datang ke Semarang, mereka dipindahkan lagi ke Salatiga. Namun, keadaan kian lama kian penuh bahaya. Para biarawati ditangkap dan ditahan, dan semua yang berlindung di situ harus pulang.

Pada 1945 orang-orang Belanda dan keturunannya yang berdarah campuran dievakuasi, lalu ditempatkan di tempat-tempat penampungan di berbagai tempat di Jawa Tengah. Sesudah itu, mereka diboyong ke Bangkok, Thailand untuk menghindar dari bahaya. Enam bulan kemudian, sesudah lnggris datang ke Indonesia, barulah mereka kembali. Di Jawa Tengah mereka ditempatkan di tempat penampungan Katolik di Kathedral Randusari.

Tinggal di Hutan di Thailand
Selama enam bulan Jane, adiknya, dan ibunya yang baru menikah dengan seorang Belanda keturunan Afrika kelahiran Purworejo tinggal di hutan di pinggiran Kota Bangkok bersama dengan keluarga-keluarga lain.

Ingatan Jane akan masa-masa mereka di Bangkok penuh dengan pengalaman yang menyenangkan. Mereka dapat meneruskan sekolah mereka dan sekaligus menikmati masa kanak-kanak mereka senormal mungkin. Sekolah mereka semacam bangunan darurat dengan serdadu dan perwira Belanda sebagal guru. Kendati begitu, toh, mereka menggunakan peluang yang ada sebaik mungkin.

Di luar jam sekolah anak-anak dibawa bermain ke hutan, naik gajah, dan berenang di Sungal Mekong, sambil menikmati alam yang indah terhampar ke mana pun mereka melihat. Pada malam hari orang-orang dewasa membuat pertunjukan teater amatir untuk menghibur diri mereka dan anak-anak.

Salah satu kenangan yang masih utuh dalam batinnya ialah waktu tahanan politik bangsa Belanda yang dipaksa bekerja membangun rel-rel kereta api dibebaskan, dan penjara Jepang mereka lalu berganti menjadi tahanan. Tahanan-tahanan Jepang itu harus bekenja membangun barak-barak.

Memang sesungguhnya, Jane sendiri luput dan pengalaman-pengalaman mengerikan yang berkaitan dengan pendudukan Jepang di Indonesia. Bagi Jane, imaji-imaji tentang tentara Jepang jauh dari menakutkan. Mereka sebagai tahanan, bersikap ramah dan baik terhadapnya dan anak-anak lain. “Mereka membuat mainan dan kayu-kayu daur ulang dan memberikannya kepada kami. Mereka datang tergopoh-gopoh tiap kali kami ketakutan malam-malam pulang dari pertunjukan teater dan rumah sudah dimasuki beberapa ular,” begitu Jane mengenang.

HAY DJOEN
Sementara hidup Jane Luyke sedang terbentuk, yang membawanya wara-wiri ke sekitar Jawa Tengah, Thailand, dan kembali lagi ke Jawa, hidup Oey Hay Djoen ada di dunia yang sangat berbeda dengan Jane.

Hay Djoen Lahin pada 18 April 1929 di Malang. Setelah ayahnya meninggal pada waktu Hay Djoen berusia sembilan tahun, dia dan saudara-saudaranya dibesarkan oleh ibu mereka, yang berpikiran liberal, tetapi menanamkan disiplin ketat dalam watak anak-anaknya.

Seiring dengan paham disiplin ini, Hay Djoen dikirim ke sekolah Katolik. Sementara itu, barangkali paham liberalnya yang secara subliminal diserap anak-anaknya, berperan dalam membuka pikiran Hay Djoen dan membakar antusiasmenya untuk belajar dan bereksplorasi.

Anak muda ini berkawan dengan orang-orang di luar lingkungan etnis Tionghoanya, dan kehausannya akan pengetahuan membawanya ke tempat-tempat yang berkaitan dengan buku. Selain toko-toko buku, salah satu sasaran eksplorasinya ialah sebuah perpustakaan pribadi milik A. R. C. Salim, seorang tokoh Muhammadiyah[1], di Malang. Dia merasa betah dan nyaman apabila dikelilingi buku. Cara dia membaca sangat acak dan eklektik. Dia memilih karya-karya Karl Marx, Sir Arthur Conan Doyle, juga karya-karya sastra terkenal dari berbagai penjuru dunia.

Tidak mengherankan kalau wawasan politiknya berkembang pesat. Dalam diri Hay Djoen juga tumbuh rasa nasionalisme yang jarang didapati pada seorang yang begitu muda, yang masih belasan tahun.

Ketransparanan dalam arena politik terjadi menyusul perginya Jepang dari Indonesia sesudah deklarasi kemerdekaan pada 1945. Dalam waktu singkat gerakan-gerakan yang mulai bekerja di bawah tanah muncul ke alam terbuka. Banyak tahanan politik di bawah pemerintahan kolonial Belanda, yang dibuang ke Boven Digoel di Papua Barat lalu dibawa ke Australia, mulai pulang ke tanah air. Salah seorang dari mereka, yang dikenal sebagai Pak Kliwon, mantan aktivis Sarekat Rakyat, sebuah organisasi berpaham kiri, penggerak perlawanan 12 November 1926, bertemu dengan Hay Djoen dan segera menyukainya. Pak Kliwon yang mempunyai toko buku yang penuh padat dengan teks-teks politik, meminjamkan buku-bukunya kepada anak muda tersebut, dan Hay Djoen melahapnya dengan penuh minat.

Melalui Pak Kliwon, dan sedikit bantuan dari Tan Ling Djie, anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan Partai Sosialis, Hay Djoen diterima untuk studi di Marx House, yang waktu itu berada di Padokan -- sekarang Madukismo -- di Yogyakarta. Itu adalah saat yang sangat penting dalam hidupnya, yang kemudian membawanya ke Partai Sosialis dan mengabdikan tenaganya di situ. Partai Sosialis adalah salah satu partai besar yang berpaham kiri dalam Republik yang baru ini. Bukan masalah bagi Hay Djoen untuk membaca dan mencerna ide-ide inti dari kuliah, ceramah, dan diskusi dengan aktivis-aktivis politik seperti Sjahrir, Alimin, Amir Sjarifuddin, Setiadjit, dan Maruto Darusman karena dia sudah membaca dan rnengerti ide-ide ini dan buku-buku yang sudah dibacanya. Selain itu, dia juga tidak kesulitan dengan bahasa-bahasa asing berkat pendidikannya di sekoah Katolik yang dengan serius mengajarkan bahasa-bahasa asing. Waktu itu, dia baru berusia tujuh belas
 tahun.

Ketika Hay Djoen pulang ke Malang, dia sudah jauh lebih matang daripada anak-anak muda seusianya. Dia turut serta dalam gerakan serikat pekerja dan perjuangan gerilya kota di Malang selatan yang dipimpin Warouw, aktivis kubu kiri waktu itu. Pada waktu itu juga, dia bertemu dan berkenalan dengan aktivis nasional keturunan Tionghoa seperti Go Gien Tjwan dan Siauw Giok Tjhan, tokoh yang kemudian mendirikan BAPERKI[2] pada 1954. Hay Djoen juga pernah ditangkap oleh Belanda dan dijebloskan ke penjara. Untunglah beberapa temannya berhasil membantunya lolos dan membawanya ke Surabaya.

Setelah penlawanan Madiun pada 1948[3], organisasi-organisasi kubu kiri terpaksa menghilang dari permukaan dan beroperasi di bawah tanah, dan Hay Djoen karena masih di bawah 20 tahun, terlempar dari gerakan. Hal ini menyebabkan trauma yang cukup besar untuknya. Dia merasa terombang-ambing kehilangan pegangan tanpa mentor-mentornya.

Untunglah dia tidak terombang-ambing berkepanjangan. Dia dipercaya mengelola Percetakan Sin Tit Po di Surabaya dan menjadi editor Republik, sebuah majalah yang berpaham nasionalis, bersama Siauw Giok Tjhan dan lsmoyo.

Dalam masa-masa ini, Njoto, seorang aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sedang berusaha menghindari penangkapan, tinggal di rumahnya. Hay Djoen membina persahabatan dengan dia. Mereka berdiskusi dalam hal-hal polltik, masalah-masalah ekonomi, olahraga, dan seni. Hay Djoen bergabung dengan LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sebuah organisasi kesenian yang berafiliasi dengan PKI. Dia juga mulai menulis cerita pendek dan puisi yang dimuat di Harian Rakyat, koran yang berafiliasi dengan PKI juga. Selain itu, dia mulai menerjemahkan buku- buku politik dan intelektual.

Semua kegiatan ini berlangsung sambil dia bekerja pada GAPERON (Gabungan Perusahaan Rokok Nasional), posisi yang membawanya ke Semarang.

Berkat kegiatan politiknya yang luas, dia juga ditunjuk sebagai anggota Dewan Konstituante (pemula dari parlemen baru) mewakili PKI.

Sering Hay Djoen harus menjelaskan situasinya yang tampil kontradiktif: dia aktif dalam usaha -- sesuatu yang dianggap sangat borjuis oleh beberapa ideologi kubu kiri -- dan sekaligus dia anggota partai komunis. Pada awal-awal tahun 1950-an, begitu dia menjelaskan, prioritas tertinggi PKI ialah melawan imperialisme Belanda yang sempat bangkit lagi setelah Konferensi Meja Bundar[4]. Banyak bisnis milik Belanda sudah jatuh ke tangan Republik. Waktu Belanda kembali, mereka mencoba merampasnya kembali dan sekaligus memaksa Indonesia membayar biaya peperangannya dengan republik baru ini. Jadi, Indonesia harus menanggung biaya memerangi dirinya! Nah, di sinilah peran pengusaha masuk. Begitulah, kata Hay Djoen, tidak ada yang kontradiktif dalam posisi dia. Barangkali bagi yang fanatik, penjelasan ini susah diterima, tetapi kebanyakan orang menerimanya.

Kena Telak Panah Cupid
Pada masa-masa inilah Hay Djoen bertemu dengan Jane Luyke di Semarang. Waktu itu, Jane bekerja pada MARBA, perusahaan kayu.

Ketika mereka berkenalan, Jane sama sekali tidak tahu bahwa pemuda yang mengejarnya ini pernah turut dalam perang gerilya dalam perjuangan kemerdekaan. Malah tidak ada yang memikirkan perang gerilya pada waktu itu; negara ini sudah merdeka, Bung! Mereka ingin bersenang-senang. Jane maupun Hay Djoen menjadi anggota klub dansa, tempat pemuda-pemudi bertemu dan berkawan.

Sebuah sayembara dansa sedang disiapkan di Bandung, dan di Semarang Jane adalah salah seorang calon yang mempersiapkan diri. Saat itulah Hay Djoen bergabung.

Ketika lantai dansa mulai penuh, tiba-tiba pandangan mata Hay Djoen jatuh pada seorang gadis Eurasia yang Semampai, yang sedang berdansa dengan mitranya, berlatih untuk sayembara. Hatinya berdebar-debar. Matanya seperti terpaku kepada si gadis. Teman-temannya segera mengerti apa yang terjadi dan menantang dia “menarik” pencuri hatinya itu dan pegangan mitranya, dan minta dia berdansa dengannya. Hay Djoen menerima tantangan itu.

Langsung dia turun ke lantai dansa dan tanpa ragu-ragu menghampiri pasangan penari itu dan menepuk bahu si gadis untuk minta dia berdansa dengannya. Keberaniannya berbuah. Mereka berdansa tak henti-henti malam itu.

Ketika tiba waktunya untuk pulang, Hay Djoen menawarkan diri untuk mengantarkan Jane pulang. Jane menerima.

Sejak malam itu, belum pernah Hay Djoen bolos dari malam dansa. Dia selalu menjemput dan mengantarkan Jane pulang. Mitra dansa Jane pun mengerti bahwa hati Jane tidak lagi pada sayembara, dan dia minta Jane mundur agar dia bisa mendapatkan gantinya sebelum terlambat.

Hay Djoen berkunjung ke rumah Jane hampir tiap hari. Mula-mula Jane agak bingung. Memang jelas bahwa Hay Djoen jatuh hati kepadanya, tetapi setiap dia datang, dia selalu membawa buku untuk dibacanya. Bisa jadi Hay Djoen mengutarakan perasaannya bahwa dia sangat kerasan di rumah kekasihnya sehingga dia berbuat seperti dia berada di rumah sendiri. Sementara buat Jane, apa yang dilakukannya tidak romantis, datang berkunjung lalu membaca buku. Kendati begitu, dia menahan diri dan tidak mengutarakan keluhannya.

Selain membawa buku, Hay Djoen juga sering membawa teman-temannya, tidak ada yang etnis Tionghoa. Mereka semua orang-orang yang enak diajak mengobrol dan bahasan mereka selalu menarik, tetapi belum pernah ringan. Karena Jane sudah biasa menemani Hay Djoen membaca buku, dia sudah siap dengan segala situasi.

Hal yang masih belum diketahui Jane ialah kekasihnya adalah pemuda dengan wawasan politik luas dan rasa nasionalisme yang tak tergoyahkan. Suatu hari, dia menunjukkan salah satu buku Hay Djoen kepada seorang pamannya.

Pamannya sangat terkesan. “Jane, Hay Djoen seorang intelektual. Ini buku intelektual berat,”katanya kepada keponakannya. Buku itu tentang Leninisme.

Pernikahan yang Membawa Kebahagiaan, Tetapi Kurang Cerah

Mendapatkan persetujuan keluarga untuk menikah dengan Hay Djoen tidak mudah bagi Jane. Sebelum mulai berpacaran dengan Jane, Hay Djoen diperiksa dulu latar belakangnya. Menariknya, kendati pendidikan formal Hay Djoen terputus setelah tujuh tahun karena kedatangan Jepang pada 1942, dia tidak pernah berhenti belajar. Malah dalam artian sesungguhnya, pendidikannya secara informal jauh melebihi banyak individu yang terus bersekolah. Oleh karena itu, secara keseluruhan, orang mendapat kesan baik tentang dia. Bahasa Belandanya lancar dan baik. Pendek kata, keluarga Jane menganggap dia seorang pria yang berbudaya.

Langkah pertama sudah beres, langkah selanjutnya berpotensi masalah. Hay Djoen menolak untuk menikah di gereja. Untunglah keluarga Jane yang Katolik ini, akhirnya mengalah. Hay Djoen dan Jane menikah pada 5 April 1954 di Kantor Catatan Sipil. Tentu saja ini membuat hubungan antara keluarga Jane dan para pastor Katolik yang sejauh ini akrab menjadi tegang. Dan Jane, yang aktif di gereja--dia seorang penyanyi paduan suara--harus menjauhkan diri setelah menikah. Ibunya sendiri harus keluar dan persatuan wanita gereja karena “dosa”-nya mengizinkan anak perempuannya mengawini pria non-Katolik, dan dicurigai berpaham kiri pula.

Beberapa tahun kemudian, ketika Hay Djoen dipenjara di Pulau Buru, Jane membawa putri mereka, Mado, mengunjungi mantan pastor mereka di rumah jompo. Dia sudah tidak sekeras dulu sikapnya. Toh, dia masih bertanya kepada Jane, “Jadi kamu menikah dengan seorang komunis?” sambil menggeleng-gelengkan kepala, wajahnya sedih.

Jane Mulai Kenal Sisi Politis Suaminya

Sesudah menikah baru Jane berangsur-angsur sadar betapa terlibatnya Hay Djoen dalam politik. Menjelang pemilu 1956, pemilu demokratis yang pertama, Hay Djoen turut berkampanye. Jane ikut dengannya ke berbagai kota dan desa, dan ketika suaminya berpidato, dia duduk di panggung di sisinya dan mengawasi waktu dia bangkit dan berbicara di depan mikrofon.

Terpikir oleh Jane betapa anehnya situasi mereka. Ibunya selau berdoa agar komunisme tidak bisa tumbuh di Indonesia, dan kini dia mendampingi suaminya berpidato, seorang anggota Partai Komunis Indonesia!

Memang Hay Djoen jarang sekali membahas isu-isu politik dengan Jane, tetapi dia selalu minta pendapat Jane sesudah selesai berpidato, bagaimana tanggapan istrinya tentang pidato yang baru saja dia utarakan. Jane menilai bahwa dia terlalu berapi-api, terlalu emosi. “Tidak perlu berteriak-teriak atau mengangkat lengan dan kepalan terlalu sering,” ujar Jane.

Memang berangsur-angsur Hay Djoen mengurangi kecenderungannya untuk menekankan apa yang dikatakan dengan gerakan lengan, kepalan, dan dengan mengeraskan suara. Dia juga selalu minta Jane ikut dengannya apabila dia harus berbicara, bahkan di Parlemen. Seperti biasa, dia lalu minta pendapat istrinya tentang apa yang dikatakannya atau bagaimana penampilannya.

Dalam waktu singkat semua orang tahu bahwa ke mana pun Hay Djoen pergi, dia akan membawa istrinya. Mereka tak bisa dipisahkan, begitu kata orang. Dalam masa-masa lanjut usianya, aktivis-aktivis muda masih mengunjungi rumahnya untuk berdiskusi tentang berbagai isu. Di sini pun Jane duduk di sisinya sambil menjahit atau merenda. Jane memberi tanda kepada suaminya kalau menurut penilaiannya suaminya terlalu emosional. Mado, putri mereka pernah merekam ayahnya dalam sebuah diskusi sengit dengan seorang aktivis muda, dan malam itu memutarkannya kembali untuk ayahnya agar dia tahu emosinya kadang-kadang berlebihan.

Sesungguhnya peran Jane lebih serius daripada sekadar menilai bagaimana suaminya berpidato. Kadang-kadang, kalau mereka mendapat undangan ke resepsi-resepsi resmi di kedutaan besar berbagal negara, ada diplomat yang mencoba memanfaatkan kesukaan Hay Djoen untuk berdebat dan berbicara, begitu Jane memperhatikan. Mereka menahannya sesudah tamu-tamu lain sudah pulang, dan terus menyajikan minuman-minuman alkohol kepadanya. Jane menunggu di luar dan sesekali mengingatkan suaminya hari sudah larut. Dia khawatir bahwa Hay Djoen dibuat cukup mabuk sehingga para diplomat ini mendapatkan rahasia negara dari dia.

Karena Jane selalu mendampingi suaminya dalam perjalanan resmi dan undangan-undangan negara, Mado sering mengeluh bahwa dia dibesarkan oleh pembantunya, Mbok lyem, bukan oleh orangtuanya. Untunglah Mbok Iyem, yang sebelumnya bekerja pada ibu Jane, memang sangat andal. Ketika ibu Jane ke negeri Belanda bersama suaminya, pembantunya bekerja pada keluarga Oey. Namun, pada 1965, dia dipanggil pulang oleh keluarganya sendiri. Sesudah itu, ibu Hay Djoen dan kakaknya, Leonie, mengambil alih tugas menjaga Mado apabila Jane dan Hay Djoen sedang ke luar kota. Leonielah yang mengantarkan Mado ke sekolah dan menjemputnya pulang.

Pada masa-masa awal Hay Djoen dan Jane menyediakan rumah mereka di Cikini sebagai kantor LEKRA, dan 1958 sampai 1963, Jane ingat bahwa rumah mereka hampir tidak pernah tanpa tamu, yang menginap maupun yang minta disediakan makanan. Akhirnya, mereka kewalahan, dan Jane minta agar Hay Djoen memisahkan rumah tangganya dari organisasinya. Maka, dibangunlah sebuah paviliun di halaman belakang yang dapat digunakan LEKRA. Sejumlah dana juga disediakan untuk makanan mereka. Berangsur-angsur, ketika LEKRA mulai mandiri secara keuangan, semua biaya diambil alih oleh organisasi. Menurut ingatan Jane, masukan pendapatan LEKRA berasal dari pameran-pameran seni dan keuntungan yang didapat dari pertunjukan film atau pagelaran lain. Selain itu, kadang-kadang ada juga yang menyumbang.

Tidak lama setelah peristiwa kudeta gagal 30 September 1965, yang dilaporkan adalah kerja PKI bersama banyak intelektual dan aktivis kubu kiri, pada 21 Oktober Hay Doen ditangkap militer. Hay Djoen kemudian ditahan, lalu dipenjara seama 14 tahun tanpa diadili. Mula-mula dia dibawa ke penjara Salemba, kemudian dipindahkan ke Tangerang. Keluarganya berharap dia akan segera dibebaskan karena penjara Tangerang dikenal sebagai penjara sekuriti rendah. Harapan mereka amblas karena penguasa militer memindahkannya lagi ke Salemba, sebelum mengirimnya ke Penjara Nusakambangan. Pada 17 Augustus 1969 dia dibawa bersama tahanan-tahanan politik lainnya ke Pulau Buru dengan nomor narapidana 001.

Di Pulau Buru Hay Djoen ditempatkan di Unit III bersama ideolog-ideolog kaliber berat, seperti Pramoedya Ananta Toer dan Rivai Apin karena rupanya dia juga dianggap sekaliber dengan mereka.

Hidup Tanpa Hay Djoen

Keluarga yang ditinggalkan Hay Djoen harus tetap hidup. Untung bagi mereka waktu itu, ada seorang anggota LEKRA dari Ambon yang sedang menginap di rumah mereka. Dia membantu menjual roti dan kue-kue yang dibuat Jane, dengan membawanya ke tetangga-tetangganya. Namun, tak lama kemudian, dia juga ditangkap.

Sekarang Jane dan keluarganya harus benar-benar berupaya tanpa bantuan. Ibu Hay Djoen pandai merajut dan merenda, dan dia pun segera membuat berbagai barang dagangan, yang dibawa Jane ke rumah teman-temannya. Mereka selalu membelinya. Leonie pandai membuat pakaian. Dia segera membangun jaringan klien di kalangan orang-orang kedutaan besar. Malah orang-orang ini, yang tahu benar akan situasi mereka, kadang-kadang menjemput Mado dan mengajaknya berjalan-jalan, kadang-kadang juga menginap di tempat-tempat liburan.

Seiring dengan hangatnya persahabatan, keluarga Jane juga menjadi sasaran negatif dari orang-orang di sekitar mereka.

Sebuah truk berhenti di muka rumah mereka, lalu dari situ berlompatan keluar anak-anak muda dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI). Mereka bergerombol dan mulai bersiap siap untuk membakar rumah Jane. Jane satu-satunya yang memberanikan diri menghadapi mereka, berupaya berbicara dengan mereka. Dia berhasil menghalangi mereka membakar rumahnya, tetapi mereka berkeras masuk dan memeriksa ke dalam. Mereka ingin mendapatkan bukti-bukti seperti buku buku tentang komunisme.

Jane mengizinkan mereka masuk dan melihat, tetapi mereka tidak boleh mengambil sesuatu pun tanpa surat kuasa pengadilan. Anak-anak muda itu kaget menghadapi sikap asertif yang tidak biasa pada sasaran mereka, sehingga akhirnya berjanji akan memenuhi syarat yang diajukan Jane. Mereka masuk ke dalam ruang kerja Hay Djoen, mengangkat buku ini-itu, meletakkannya kembali, lalu keluar satu per satu.

Peristiwa selanjutnya jauh lebih tidak menyenangkan. Pada 1966 rumah mereka di Rawamangun -- yang waktu itu kawasan permukiman baru di sebelah timur Jakarta -- diduduki militer daerah. Satu peleton menguasai rumahnya. Sama sekali tidak ada aturan main. Bagi Jane dan keluarganya, hal ini sangat menekan. Keluarga mereka semua wanita, Jane sendiri, ibu mertuanya, Leonie, dan Mado, merasa terjepit oleh keadaan ini.

Lalu, situasi mulai membaik sedikit. Peleton ditarik kembali dan yang menggantikan sebuah keluarga komandan. Si komandan mendatangkan anak-istrinya dari Malang.

Malangnya, untuk Jane, Leonie, ibu mertua, dan putrinya, ini adalah dimulainya hidup yang bermuatan ketegangan yang berkepanjangan.

Keluarga komandan itu bersikap seolah-olah rumah Jane adalah miliknya. Istrinya memberi tahu para pedagang di sekitarnya bahwa merekalah pemilik rumah kendati ternyata tidak banyak yang percaya kepadanya. Banyak warga, pemilik toko maupun pedagang keliling, lebih setia kepada Jane dan keluarganya.

Teman-teman jadi segan berkunjung karena keluarga si komandan ketus kepada mereka. Berangsur-angsur, hanya anggota keluarga yang tetap berkunjung.

Suatu waktu ibu Jane, yang tinggal di negeri Belanda, datang berkunjung. Setelah beberapa lama dia bersiap-siap akan kembali ke negeri Belanda, tahu-tahu si komandan memanggil ibu Hay Djoen ke kamarnya, yang bersebelahan dengan kamar yang ditempati Jane dan Mado. Jane mendengar percakapan mereka. Si komandan mengatakan kepada ibu mertuanya, “Beri tahu menantu lbu, kalau ada pengunjung ke rumah ini, dia harus minta izin dulu kepada saya. Sayalah yang bertanggung jawab di sini!” Ibu mertuanya menjawab, “Baik, Pak, nanti saya sampaikan.”

Sesudah mendapat konfirmasi tentang apa yang didengarnya dan ibu mertuanya, Jane langsung mendatangi si komandan. “Ada masalah apa, Pak?” tanya Jane. Mungkin kaget melihat sikap Jane yang asertif, si komandan hanya mengulangi peringatannya dengan suara datar, padahal dalam situasi normal mungkin dia akan dengan galak mengatakan, “Tanyakan kepada ibu mertua kamu, saya bilang apa”. Namun, kali ini tidak segalak ketika berbicara kepada ibu mertuanya.

Jane memandangi si komandan, dari atas ke bawah, dan bawah ke atas. Dia sedang memakai sarung. Jane mengatakan,”Pak, saya harus minta izin dengan Bapak yang berpakaian seperti itu? Itu tidak layak. Saya akan melakukannya kalau Bapak dalam pakaian seragam karena itu akan menjadi situasi resmi. Lagi pula, Bapak berbicara tentang ibu saya. Bukan siapa saja.”

Insiden lain yang diingatnya adalah puncak dan ketegangan yang memanas yang dimulai dengan kata-kata yang dilontarkan beberapa serdadu yang juga tinggal di rumahnya. Setelah memandangi Mado terus-menerus, mereka berturut-turut bertanya kepada Jane, “Mado jadi pacar saya saja, ya?” Bukan main marahnya Jane. Mado baru berusia sepuluh tahun!

Lalu, Jane dan Mado mengetahui bahwa setiap kali Mado berada di kamar mandi, yang merupakan bagian dari kamar tidur mereka, selalu ada yang mengintip dari balik pintu yang membuka ke halaman. Suatu malam mereka menunggu, siap dengan ember penuh air. Lalu, mereka mendengar bunyi langkah yang berhenti di luar pintu.

Dengan benjingkat-jingkat mereka melangkah ke kamar mandi dan ke pintu yang keluar. Dengan tiba-tiba Jane membukanya dan menyiramkan isi ember itu ke sosok yang berdiri di luar pintu. Mereka melihat sosok itu lari tunggang langgang. lbu mertuanya, mendengar apa yang tenjadi, bukan main ketakutan.

“Aduh, jangan berkonfrontasi dengan mereka,” katanya, “nanti kau dicelakai mereka!”

Kalau Jane memikirkan kembali peristiwa itu, dia tidak tahu bagaimana dia bisa seberani mati seperti itu. “Bisa saja mereka menggebuki saya, bahkan menembak saya,” katanya, “tapi waktu itu saya hanya melakukan apa yang harus saya lakukan.”

Yang lebih penting, waktu itu, aksi intip itu berhenti.

Apabila situasi mengharuskan, Jane tidak bisa tidak, mengambil sikap asertif.

Adik Hay Djoen, Gwan, yang tinggal di Bandung, harus ke Jakarta dan tinggal beberapa lama untuk pekerjaannya. Dia pun menginap di rumah Jane di Rawamangun. Suatu pagi ketika dia akan berangkat ke kantor, dia memundurkan mobilnya dan dengan tidak sengaja beberapa tanaman yang ditanam seorang anggota tentara tergiling olehnya. Si tentara marah-marah dan membentak-bentak Gwan, mengumpatnya dengan berbagai kata-kata yang tidak enak didengar. Keruan Gwan tidak menerima perlakuan ini. Terjadi pertengkaran. Jane, yang mendengar pertengkaran di luar datang untuk menyelidiki.

“Dia menggiling tanaman-tanaman saya!” teriak si tentara.

Jane menoleh kepadanya dan bertanya, “Tanaman kamu? Tanaman kamu, katamu? Ini tanahku! Apa kamu minta izin aku sebelum kamu menanam?”

Si tentara dengan marah berteriak, “Dasar lonte GERWANI[5] dan mengumpat dengan kata-kata kasar lain.

Jane tidak mundur begitu saja. Dia memandang si tentara dengan beringas dan mengatakan, “Tarik kembali kata katamu! Kalau tidak, kau akan makan tanah! Ingat kau!”

Si tentara, yang kebetulan istrinya sedang hamil, menjadi gentar. Mungkin dia percaya semacam takhayul bahwa kalau ada kehamilan di dalam keluarga, mereka lebih “terbuka” pada sumpah-sumpah yang masuk. Akhirnya, dia minta Jane menarik kembali kata-katanya.

Keruan Jane menolak. Bukan dia yang mulai mengumpat dengan kata-kata jorok. Dia hanya bereaksi.

Sewaktu ibunya menginap bersama mereka, dia melihat situasi keluarga Jane. Bukan main dia tersentuh menyaksikannya. Dia pun mengajak Jane dan Mado pindah ke negeri Belanda bersamanya. Kendati waktu itu Jane tidak tahu kapan Hay Djoen akan dibebaskan, atau bahkan tidak akan dibebaskan, dia tahu dia takkan dapat pergi begitu saja. Dia satu-satunya yang berani membela keluarganya. Ibu mertua dan iparnya, Leonie, yang wajahnya jelas Tionghoa, secara intuitif mundur dan mengalah apa pun situasinya, asal mereka tidak mesti menghadapi konfrontasi.

Dukungan datang dari para tetangga, warga yang sudah tinggal di sana sejak sebelum Rawamangun mulai didatangi pendatang baru. “Banyak dan mereka ini haji,” Jane menuturkan, “mereka menawarkan diri untuk menemani Mado ke sekolah. Ada juga pengendara bemo yang selalu siap di tempat untuk mengantarkan mereka. Kami sangat berterima kasih kepada mereka. Mereka memberikan dukungan pada saat- saat yang sangat kami butuhkan.”

Orang-orang ini adalah sahabat-sahabat Hay Djoen, dan mereka tidak pernah berbalik dan menjauhi dirinya dan keluarganya, apa pun yang terjadi. Mereka malah sering mengenang, Hay Djoenlah yang menyarankan nama-nama jalan baru di kawasan itu. Ketika itu, tempat itu hanya rawa-rawa dengan beberapa rumah di tepinya dan katak-katak di dalamnya. Maka, diberilah nama-nama ikan, seperti Jalan Paus, JaLan Hiu.

Justru para pendatang barulah yang bersikap bermusuhan terhadap Jane dan keluarganya. Beberapa dari mereka sering berteriak “PKI!” kalau berjalan lewat rumah Jane, dan dia atau keluarganya sedang berada di benanda depan. Seorang wanita malah menyebarkan desas-desus di kelompok arisannya [6] bahwa Jane mempunyai daftar nama-nama orang yang akan dibunuhnya satu per satu.

Tetangga sebelah rumah wanita itu kebetulan orang sedaerah dengan dia, maka dia berusaha membujuk mereka berkomplot dengannya memusuhi keluarga Oey. Tentu saja Jane sengit ketika seorang temannya menyampaikan desas-desus itu kepadanya. Namun, dia terpaksa mengandalkan nalar orang-orang di sekitarnya. Ketika beberapa tahun kemudian keluarga wanita itu tertimpa musibah berkepanjangan, Jane merenungkan hal itu, dan berpendapat mungkin rentetan musibah itu datang dari iktikad buruk wanita itu sendiri.

Sementara itu, mereka selalu berhati-hati dan menghindar dari wanita itu kalau bisa. Suatu hari si wanita mendekati Mado. Rupanya dia mendengar bahwa keluarganya sudah tidak tahan tinggal di situ dan akan menjual rumahnya. Dia bertanya kepada Mado apa itu benar. Dia ingin membelinya, barangkali dipikirnya, kalau mereka sudah tidak tahan, tentunya mereka akan menjual murah. Mado menjawab,”Tidak,” lalu menjauh.

Hidup berjalan terus dan pada 1985, si komandan penguasa meninggal karena kanker tenggorokan. Namun, keluarganya tetap tinggal di rumah Jane. Situasinya seperti buntu waktu itu.

Empat belas tahun setelah Hay Djoen ditangkap, dia dan sejumlah kawannya dibebaskan. Ternyata salah seorang temannya ini ada hubungan keluarga dengan tetangga wanita yang memusuhi keluarga Oey di dekat rumahnya. Walaupun mereka sendiri tidak turut dalam perbuatan-perbuatan yang menyusahkan Jane dan keluarganya, toh, mereka berkawan dengan wanita itu. Memang hidup banyak lika-likunya.

Hay Djoen Dibebaskan

Ketika Hay Djoen dibebaskan dari Pulau Buru pada 1979, dia pulang kepada keluarga yang sudah berubah. lbunya sudah sangat mundur kesehatannya, putrinya sudah tumbuh menjadi wanita muda yang cantik, kakaknya Leonie sudah lebih tua, dan nyatalah selama bertahun-tahun dia tidak bersama mereka, istrinya yang setia menjadi jauh lebih tegar karena harus membela seluruh keluarganya. Ruang kerjanya dan ruang keluarga dalam rumahnya masih ditempati oleh keluarga komandan penguasa almarhum. Maka, dia pun menyesuaikan diri dengan ruang yang tersedia baginya, secara harfiah mau pun figuratif.

Dalam masa-masa di Pulau Buru, Hay Djoen juga mengalami perubahan yang tidak semuanya cocok dengan Jane. Umpamanya, dia selalu merasa terdorong untuk menebang pohon, terutama pohon besar. Menurut dia, pohon-pohon tersebut menghalahgi masuknya cahaya matahari dan menjadi tempat segala macam kutu dan serangga beranak pinak. Jane menjadi marah ketika dia menebang pohon mangga lndramayu kebanggaannya, yang tahun demi tahun menghasilkan buah yang lezat, harum, dan penuh gizi. “Kamu sekarang tidak lagi tinggal di hutan! Kalau kamu mau menebang pohon, kamu harus kembali ke hutan!” ujarnya dengan sengit.

Untunglah hanya itu sumber perselisihan serius antara mereka. Hay Djoen mengerti bahwa dalam hal-hal rumah tangga, dia harus menyerahkan semuanya kepada istri dan kakaknya, dan dia pun menuangkan semua energinya pada pemikiran akan cara-cara mendapatkan dan mempertahankan pendapatan yang cukup untuk keluarga.

Tidak ada pensiun yang dapat diandalkan sehingga mereka harus berupaya bersama mencari nafkah menghidupi keluarga. Leonie dan Jane membuat pakaian untuk dijual. Di samping itu, mereka membeli kerupuk kulit sapi dari tetangganya yang menjual grosir, lalu mendistribusikannya ke toko-toko dan warung-warung. Lalu, bersama dengan teman-teman Hay Djoen yang juga dibebaskan dan Pulau Buru, mereka berusaha bersama-sama.

Melihat perkembangan kawasan tempat tinggalnya dan jumlah rumah yang dibangun, mereka mengambil kesimpulan pasti banyak bahan bangunan yang dibutuhkan, seperti batu bata, pasir, dan semen. Pergilah mereka mencari pemasok yang andal dan menjadi perantara antara pemasok dan pembeli, dengan menyediakan transportasinya juga. Dengan usaha kecil-kecilan ini mereka mendapat keuntungan sedikit-sedikit.

Selain itu, Hay Djoen juga menawarkan keterampilan menerjemahkan kepada industri buku. Dia mulai menerjemahkan buku-buku roman jenis Mills and Boon. Pelan-pelan dia juga membagi-bagi pekerjaan terjemahan kepada teman-temannya. Semua berjalan cukup lancar. Malahan ada teman-temannya yang kemudian berhasil menabung untuk membeli tanah kapling dan membangun rumah sendiri.

Jane mendapat tugas mengantarkan buku ke toko-toko buku di Pasar Baru dan menagih uangnya.

Kendati roman-roman ini membawa pendapatan yang menyejukkan bagi keluarganya, Hay Djoen tidak pernah meninggalkan sisi intelektualnya. Dia juga membantu teman-temannya di Penerbit Hasta Mitra, yang dikelola Pramoedya Ananta Toer, Hasjim Rachman, dan Jusuf Isak. Dia menjadi penerjemah utama mereka, yang mengerjakan buku-buku filsafat, sejarah, dan ekonomi tulisan Karl Marx, Teilhard de Chardin, dan lain-lain. Malah, dia berhasil menerjemahkan Das Kopital-nya Karl Marx sehingga kini buku itu lebih mudah diakses oleh pembaca Indonesia.

Suatu peristiwa yang penting dan menarik dalam masa hidup mereka ialah pada 1993. Saat itu, mereka berhasil “memiliki kembali” rumah mereka. Ironisnya, semua ini terjadi atas bantuan Try Sutrisno, yang waktu itu adalah Ketua Umum Persatuan Bulutangkis Se-Indonesia (PBSI), dan juga Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di bawah pemerintahan Soeharto.

Suami Mado, Alex, adalah seorang pejabat tinggi PBSI, asisten Try Sutrisno yang paling dipercaya. Menjelang akhir tugasnya di PBSI, Pak Try bertanya kepada Alex bantuan apa yang diperlukan dari dirinya. Mula-mula Alex agak segan, tetapi rupanya Pak Try merasa ada yang menjadi ganjalan asistennya ini. Setelah didesak, Alex menuturkan cerita rumah mertuanya, termasuk fakta bahwa ayah mertuanya pernah dipenjara sebagai narapidana politik.

Tidak lama sesudah itu, pada sebuah resepsi resmi di mana Try Sutrisno, Alex, dan komandan militer daerah mereka juga hadir, Try Sutrisno minta si komandan untuk membereskan urusan rumah keluarga Oey. Si komandan pun lalu memerintahkan komandan bagian Jakarta Timur, yang dipanggil Pak Gunung, untuk menangani kasus itu. Pak Gunung lalu berkunjung ke rumah mereka dan memberi tahu Jane bahwa kepemilikan rumah tersebut sudah dikembalikan sepenuhnya kepada mereka.

Namun, mereka harus membayar sejumlah dana kepada janda mantan komandan penguasa yang masih tinggal di rumah mereka agar mereka bisa mencari tempat lain. Sesudah semuanya tuntas, mereka pun menjual rumah itu dan membeli properti di Cibubur Permai, dan kebetulan rumah Alex serta Mado hanya beberapa langkah dari Situ.

Ketika mereka akhirnya pindah ke Cibubur Permai pada 1993, mereka pun membuka rumah mereka untuk para aktivis muda lagi.

Pada 1998 setelah kerusuhan Mei, Hay Djoen, Jane, dan Mado yang waktu itu sudah punya tiga anak bergabung dengan Tim Relawan untuk Kemanusiaan, sebuah kelompok relawan yang memberi bantuan kepada korban-korban perkosaan. Ketika itu, Ita Nadia, seorang aktivis dari kelompok itu, bertanya kepada Hay Djoen dan Jane apa bersedia mengangkat seorang bayi karena ibunya yang korban perkosaan menderita trauma berat dan menolak si bayi. Hampir mereka menerima, tetapi setelah mempertimbangkannya kembali, mereka mengontak keluarga lain yang lebih muda dan lebih layak, yang lalu mengangkat bayi itu.

Mado, Penyesuaian dan Internalisasi

Mado, yang sejauh itu selalu menghindari politik--barangkali karena trauma yang dialaminya ketika dia terseret ke dalam situasi yang tidak menyenangkan akibat keterlibatan ayahnya dalam politik--mulai mendapat kesadaran politik.

Dia ingat, sebagai anak kecil, dia kadang-kadang ikut orangtuanya ke berbagai pertemuan, pribadi maupun publik, tetapi tidak ada tekanan atas dirinya untuk mengambil bagian atau turut serta dalam masalah yang dibahas maupun diperdebatkan.

Lama-lama, orangtuanya merasa bahwa kegiatan ini terlalu melelahkan untuk putri mereka, dan mereka pun memutuskan bahwa Mado lebih baik tinggal di rumah dan dijaga oleh pembantu mereka, Mbok Iyem.

Mado sedang di sekolah ketika ayahnya ditahan. Dia baru berusia sembilan tahun waktu itu. ibunya berterus terang kepadanya bahwa ayahnya ditahan karena paham politiknya, sambil menekankan, “Mado, ayahmu bukan seorang kriminal. Dia orang yang sangat baik dan tinggi budi pekertinya. Dan, dia Seorang nasionalis tulen.”

Tidak ada masalah buat Mado mencerna informasi itu. Dia tahu benar ayahnya
terlibat dalam PKI dan bahwa PKI dimusuhi pemerintah yang sekarang.

Hidup tidak mudah sesudah itu. Mado bensekolah di PSKD (Perkumpulan Sekolah Keristen Djakarta), dan dia mulal mengalami aksi bully emosi dan beberapa rekan kelasnya. Kendati siswa-siswa lain dan guru-guru memperlakukannya dengan baik, aksi bully yang tak henti-henti ini membuat dia sangat tertekan, dan dia akhirnya segan ke sekolah. Ketika ibunya tahu apa yang menjadi sumber kesusahan putrinya, dia segera menarik Mado dai sekolah itu dan memindahkannya ke sekolah Katolik. Di sini Mado tidak mengalami hal-hal seperti itu sampai lulus sekolah.

Masalah belum terkikis semua. Di rumah, situasi tetap buruk meskipun ibunya berusaha sedapat mungkin melindunginya dan segala ketegangan. Namun, Mado cukup peka. Dia tahu dan merasakan “adu kekuatan” antara ibunya dan komandan yang menempati rumahnya.

Keadaan dalam hidupnya membuat Mado sangat peka terhadap kebaikan hati orang lain. Dia ingat sekali orang-orang yang memberi dukungan moral kepadanya dan keluarganya, tetangga-tetangga, pastor lokal, yang tidak menghiraukan suasana tegang yang disebabkan adanya anggota-anggota militer di rumahnya.

Sesuatu yang agak ironis dialaminya selama ayahnya dipenjara. Mado, yang telah belajar tari-tarian tradisional, dan pandai sekali menari, diundang untuk mempertunjukkan keterampilannya di istana ketika Soeharto berkuasa. Tentu saja, waktu itu pada umumnya orang tidak tahu ayahnya adalah tahanan politik di Pulau Buru.

Ketika ayahnya dibebaskan, Mado, yang waktu itu sudah menikah dan menjadi seorang ibu, ikut keluarganya menjemput sang ayah.

Mula-mula dia merasa kagok. Rasanya seperti bertemu dengan seorang teman baru. Namun, Mado mendapatkan ayahnya sangat luwes dan siap untuk menyesuaikan diri. Satu hal yang ingin disampaikan Mado sedini mungkin kepada ayahnya ialah bahwa dia telah menjadi Katolik. Setelah menyampaikan berita yang dikiranya akan mengagetkan ayahnya ini dia juga minta agar dia tidak mencampuri dan menghalangi niatnya dan suaminya untuk membesarkan anak-anaknya sebagai Katolik juga. Bukan main senangnya Mado ketika ternyata ayahnya menerima semuanya tanpa masalah. Malahan kemudian ayahnya juga membantu dan mendukung pendidikan Katolik cucu-cucunya.

Namun, ada beberapa masalah kecil yang timbul dalam hubungan mereka. Mado sekarang seorang dewasa yang tahu menilai apa yang benar dan yang salah, bukan lagi seorang anak kecil yang menerima saja segala sesuatu yang diputuskan ayahnya, apalagi kalau keputusan itu ada kaitannya dengan dirinya.

Suatu hari salah seorang anaknya jatuh sakit dan ayahnya sudah berjanji akan menemani mereka ke dokter. Namun, pada hari itu, ayahnya diminta temannya membantu dia dan anaknya mencari pekerjaan untuk anaknya. Hay Djoen merasa bahwa ini sangat penting buat temannya, dan dia memberi tahu Mado bahwa dia tidak dapat menemani mereka ke dokter. Mado tidak bisa menerima keputusan ini; dia tidak bisa menenima bahwa ayahnya lebih mementingkan temannya dari pada cucunya sendiri. Tanpa ragu-ragu dia mengutarakan pendapatnya.

Ayahnya harus membina hubungan dengan cucu-cucunya karena kalau tidak, mereka tidak akan punya ingatan yang berarti tentang dia. “Mereka harus merasa bahwa mereka kenal Papa. Dengan begitu, kalau mereka mendengar apa-apa yang buruk dan tidak patut tentang Papa, sesuatu yang sangat mungkin, mereka akan dapat menilainya sendiri bahwa itu semua cuma desas-desus!” ujar Mado kepada ayahnya.

Hay Djoen terhenyak. Apa yang dikatakan putrinya memang benar dan dia segera menyesuaikan perilakunya. Sesudah itu, dia menjemput cucu-cucunya dari sekolah, mengajak mereka jalan-jalan, dan mengadakan kegiatan-kegiatan yang mengakrabkan mereka dengan dia.

Hal ini terus dilakukannya sampai saat dia meninggal pada 7 Mei 2008.
Ketiga cucunya, Vidorrekto, Vadimitra, dan Mitzi menyimpan ingatan yang penuh kehangatan tentang Hay Djoen karena mereka memang sempat merasakan kasih sayangnya dan merasa sangat dekat dengannya.

Vadim akhirnya mengetahui situasi kakeknya;”Aku kasihan sama kamu, kakekmu komunis!”

Sedekat-dekatnya mereka, masih saja ada ganjalan. Pelan-pelan hal ini pun teratasi. Di dalam keluarga, urusan yang berkaitan dengan dipenjarakannya Hay Djoen tak pernah dibahas. Akibatnya, cucu-cucu Hay Djoen tidak tahu seluruh ceritanya. Orang yang tahu, yang juga menderita dampak Hay Djoen dijadikan sasaran politik, merasa anak-anak itu terlalu muda untuk mengerti seluruh lika-likunya.

Sering kali, waktu Vadim, putra kedua Mado dan Alex membuat komentar tentang orang-orang komunis yang mencoba lagi aksi subversi untuk menghancurkan negara -- karena itulah yang dia dengar dari guru sejarahnya -- mereka harus menahan diri. Dan, pelan-pelan dia pun tahu bahwa kakeknya dipenjara karena kaitannya dengan PKI karena teman-teman di kelasnya rupanya mulai tahu, mengutarakan simpatinya atas nasibnya yang malang, dinodai kaitan kakeknya dengan gerakan komunis. “Aku kasihan sama kamu. Kakekmu komunis!” begitu mereka sering mengatakan kepadanya.

Kemudian, ketika akhirnya keluarganya menjelaskan kepada Vidor, Vadim, dan Mitzi cerita dan perspektif mereka; siapa sebenarnya kakeknya, dan apa yang telah diperbuat dan tidak diperbuatnya, Vadim, waktu itu kelas dua SMA, bukan main marahnya.

“Sebegitu lama aku tertipu! Sebegitu lama aku percaya akan segala kejahatan yang dilakukan orang-orang komunis, dan hal-hal keji yang mereka lakukan! Aku percaya betul waktu itu bahwa pemerintah memang harus membasmi mereka dari muka bumi!”

Di sekolahnya, Vadim pergi menjumpai kepala sekolahnya dan bertanya apa dia boleh menyelenggarakan seminar tentang korban-korban 1965 yang “lain”. Kepala sekolahnya setuju. Vadim mengundang pembicara-pembicara dari ELSAM dan Utan Kayu, dua organisasi yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan wawasan sosial, lalu dia bekerja keras untuk suksesnya seminar itu, yang membuatnya sangat bangga.

Hidup Sekarang

Bersama dengan ingatan-ingatan yang membuat sedih dan pedih, Jane, Leonie, Mado, Alex, Vidor, Vadim, dan Mitzi menjadi lebih matang. Mereka sekarang tahu betapa pentingnya mempertahankan keteguhan keluarga dalam situasi apa pun. Sekarang, rumah Alex dan Mado hanya beberapa langkah dan rumah Jane dan Leonie. Mado datang ke rumah Jane dan Leonie setiap hari untuk membantu membersihkan dan merapikan rumah. Mereka hidup berbahagia. Apalagi dengan beberapa ekor anjing yang menemani dan membuat mereka selalu sibuk. Sesekali mereka menyambut teman-teman mereka, yang lama maupun yang baru.

Beberapa waktu sebelum Hay Djoen meninggal, Jane mendengar bahwa pemerintah Belanda sedang mencari warga-warga Eurasia yang masih hidup yang ingin mereka bantu. Seorang teman meneleponnya dan mengatakan bahwa Jane berhak menerima dana pensiun dari negeri Belanda, asalkan dia masih mempunyai dokumen-dokumen yang membuktikan haknya itu. Jane mencoba, tetapi dia terlambat. Deadline-nya sudah lewat.

------------------------------
----------------------------

[1] Muhammadiyah adalah organisasi masyarakat Islam terbesar kedua di Indonesia dengan jumlah anggota antara 29-30 juta. Organisasi mi didirikan pada 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta dan menangani isu-isu sosial dan pendidikan. Para pemimpin dan anggotanya aktif dalam membentuk dan membina politik di Indonesia. Namun, Muhammadiyah sendiri bukan dan tidak pernah menjadi partai politik.

[2] Baca Bab Hajah Sias Mawarni halaman 165.

[3] Pada 1948 setelah menandatangani Persetujuan Renville, semua satuan gerilya dan milisi yang berkaitan dengan PKI, diharuskan membubarkan din. Sebuah kelompokdi Madiun menolak, lalu dibasmi pada September. Hal mi menyebabkan perlawanan yang dihabisi pada akhir September oleh pasukan-pasukan republik. Baca Elizabeth Ann Swift, The Road to Madiun: The Indonesian Uprising of 1948, Cornell Modern Indonesia Project Monograph Series.

[4] Konferensi Meja Bundar, 23 Agustus - 2 November 1949, diadakan di Den Haag. Para pesertanya adalah wakil-wakil dari Kerajaan Belanda, Republik Indonesia, dan Majelis Permusyawaratan Federal yang mewakili berbagai negara bagian yang dibuat oleh Belanda di kepulauan Indonesia. Pada akhir konferensi, Kerajaan Belanda setuju untuk menyerahkan kekuasaan kepada Negara Kesatuan Indonesia.

[5] GERWANI adalah singkatan Gerakan Wanita Indonesia, sebuah organisasi independen, tetapi berkaitan dengan badan-badan komunis, dan aktif selama tahun 1950-an dan belahan pertama tahun 1960-an. Kegiatannya tertumpu pada isu-isu sosialisme, nasionalisme, dan feminisme. Setelah 30 September 1965, GERWANI dilarang dan banyak anggotanya yang dibunuh atau dipenjarakan. Sepanjang era pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto, GERWANI selalu dilukiskan sebagai organisasi tak bermoral yang harus disisihkan.

[6] Arisan adalah kelompok sosial, yang banyak tumbuh di berbagai komunitas di seluruh Indonesia. Anggota-anggotanya berkumpul secara reguler, dan menyetor sejumlah uang tunai yang disetujui bersama, lalu bersama-sama menarik semacam lotre. Anggota yang menang berhak menerimajumlah total yang disetorwaktu itu sebagal pinjaman. Ini seperti semacam sistem pinjaman dan tabungan, tanpa beban bunga.


Berbagi berita untuk semua

 

Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages