Kalau saja ada pemilihan Man of the Year dari segi tokoh yang menimbulkan kehebohan akibat ulahnya,Gayus HP Tambunan-lah orangnya. Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang berusia 31 tahun, bergolongan III A, dalam satu penanganan perkara pajak,bisa menyisihkan Rp100 miliar—dari Rp300 miliar yang diterima. Begitu mudah rupiah melimpah ruah sehingga seolah tidak perlu menginjak bumi. Kepergiannya ke Bali awal bulan ini padahal masih berstatus sebagai orang tahanan menunjukkan bahwa Gayus masih sakti. Sekaligus sakit jiwa karena tidak ada keseimbangan antara realitas dan reaksi yang diberikan. Pribadi Gejala ini dalam istilah budaya saya sebut sebagai gegar budaya, atau cultural lag.Sebagai tindakan layaknya orang mabuk,orang yang kehilangan orientasi lama dan masuk orbit baru yang tak sepenuhnya disadari. Dalam dunia artis hal itu sering terjadi. Seorang yang bukan siapa-siapa dalam dunia hiburan, tiba-tiba menjadi bintang. Seorang figuran yang menerima honor Rp300 ribu sehari dan jatah nasi bungkus,tibatiba mendapat kontrak bayaran seratus kali lipat.Tingkahnya,dalam ukuran normal, menjadi serbaaneh. Bisa tiba- tiba tak menyukai kru kerja, bisa meminta ganti lawan main atau bahkan sutradara, bisa bangun lebih siang dan merasa perlu ganti penata rambutnya. Dalam bahasa orang film, pemain yang rumahnya di gang sempit,ketika syuting minta fasilitas kamar berpendingin. Pada Gayus perubahan diri sudah berlangsung lama,dan gegar budaya yang dialami terus berlangsung. Sehingga rupiah yang dimiliki bisa tak ada nomor seri, semua bisa dibeli dengan uang— yang akan terus diperolehnya dengan cara yang gampang.Termasuk yang berkaitan dengan hukum, dengan para petinggi mulai dari polisi, jaksa, hakim dan atau juga pengacara.Termasuk ketika posisi saat diperiksa atau sudah disidangkan, ditahan atau menjadi sorotan. Dalam keadaan gegar budaya atau mabuk orientasi inilah, segala kalimat,segala ucapan juga bisa berubah tanpa rasa salah. Menolak mengakui berada di Bali,kemudian mengakui, meminta maaf semua bisa terjadi bahkan dalam satu tarikan napas yang sama.Gayus, sebagai pribadi, tak mampu membedakan dalam dirinya apakah kini sedang berbohong, sedang bersaksi dengan pengakuan. Semuanya bias dan samar sebagaimana jawaban orang mabuk beneran. Agak jauh berbeda, tapi dalam kondisi yang sama kita melihat reaksi yang sama ketika Cut Tari, Luna Maya, Ariel menolak keberadaan dalam video yang menghebohkan— dan mungkin cepat agak terlupakan—atau kemudian mengakui, dan atau bertahan sebagai bukan. Semua bisa dilakukan dalam tetesan air mata yang sama, atau keberanian menatap kamera, sambil bergegas menghindar. Semua dilakukan tanpa kesadaran penuh, semua dilakukan sebagai reaksi seketika dalam situasi yang dirasa jenuh. Maka agak sia-sia kalau kita mencoba mendekati dan menempatkan dalam posisi yang normal. Kita tak akan pernah tahu apa yang dikatakan hal yang sebenarnya atau bikinan.Karena yang bersangkutan juga tak mau tahu.Atau merasa sama.Peran itu memakan keberadaannya, pribadinya. Seperti gadis kampung kumuh dalam hidupnya sehari-hari dan berperan sebagai seorang putri cantik anak raja.Ia tak sadar apakah ini sedang memerani sebuah lakon, atau apakah ini dirinya yang sebenarnya. Komunitas Masalahnya menjadi serius dan mengenaskan,bukan hanya karena membuat akibat-akibat sampingan apa yang dilakukan tokoh yang sedang mabuk ini.Melainkan adalah bagaimana pribadi yang lain— yang artinya sebuah komunitas— ikut terseret masuk ke dalam situasi gegar budaya. Dalam kasus Gayus ini, keributan akan terus berputar memahami bagaimana sikap itu terjadi.Bagaimana Gayus bisa lolos? (semua kalau punya duit juga bisa kalau mau, tinggal bagaimana mekanisme).Padahal,tradisi begitu sudah ada sejak tahun 1912, kalau LP Cipinang dipakai sebagai ukuran. Bagaimana aliran duit mengalir? (padahal duit tak ada baunya dan ini bukan transaksi yang memerlukan kuitansi). Bagaimana memahami birokrasi yang membawahi? Padahal sudah terjadi selama ini. Gegar budaya pada aparat hukum kita adalah apabila kita terhenti di urusan ini. Dengan saling bantah, saling meluruskan—atau membelokkan, saling berkoar dan berkomentar. Dan itulah yang sedang terjadi, setidaknya sampai saat ini. Kita tak beranjak ke arah satu langkah ke depan, one step ahead. Kita tak menuju ke masa depan yang lebih dibutuhkan namun menjebakkan diri apa yang tengah terjadi. Sebagai perbandingan lagi, kasus Cut Tari-Luna Maya-Ariel. Yang bisa berhenti sebagai video mesum, atau mempersoalkan di mana kejadian, tapi bukan apa atau siapa yang bergerak mendalangi ini.Paling tidak ada atau tidak. Kita akan mengalami dan ikut sakit, ketika berhenti dengan tahap “Gayus kangen anak dan istri,makanya lari ke Bali”. Jawaban sementara yang tidak tuntas, tidak memuaskan pelaku yang dituduh, juga tidak memuaskan akal sehat. Jawaban yang lagilagi dalam istilah saya,jawaban dalam keadaan mabuk, yang meniadakan tanggung jawab. Kalau sudah begini, situasi kembali ke awal lagi. Kita tak tahu pasti apakah Gayus memang sakti, atau sebenarnya ini perilaku orang yang sakit.Kita juga tak yakin diri, apakah kita masih bisa sakti menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya, atau kita sebenarnya juga suatu komunitas yang sakit. Sakit dalam artian ternyata tak mampu membedakan penye-lesaian atau penerimaan hasil sementara. Ini yang menyakitkan, dan meniadakan harapan bahwa sebenarnya kita dan negeri ini bisa menjadi lebih baik nantinya. Ini yang menyakitkan karena kita geram pada Gayus, dan saat yang sama kita sama mabuknya dengan dia.Pada saat itu Gayus bukan Man of the Year, melainkan kita semua ini yang menjadi Men of the Year. Inisakit,dan sungguh menyakitkan.(*) Arswendo Atmowiloto Budayawan http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/366228/
|