Sepulang dari pertemuan T-net, aku dijemput oleh adikku utk jalan2 ke Serpong bersama anak2 dan keponakannya. Di restoran, adikku coba pesan tiket bis utk hari itu, tapi ternyata banyak yang penuh. Aku bilang pesan utk Minggu malam saja, karena kalau banyak yang penuh begitu jalanan pasti macet, dan kalau Sabtu macet, berarti Minggu tidak macet karena sebagian besar sudah pada pulang. Akhirnya aku bisa dapat bis malam pertama (jam 4 sore) dan tempat duduk no. 4, yg merupakan tempat duduk favoritku.
Minggu siang, karena sibuk ngobrol, aku hampir telat berangkat ke bis.
"Tenang saja, hanya perlu waktu 10 menit utk ke bis, sekarang masih ada waktu 15 menit, dan kalo bis malam tidak akan meninggalkan penumpang yang terlambat." Adikku bilang demikian. Namun ternyata jalanan macet karena ada perbaikan jembatan:
"Aku jalan saja"
"Jangan, tidak macet total jadi lebih cepat naik mobil daripada jalan kaki"
Namun tak berapa lama kemudian benar2 macet, aku turun dari mobil dan bilang:
"Gini saja, aku jalan kamu naik mobil, kita coba check siapa yang duluan sampai ke bis"
Aku jalan cepat dan jam 4:05 sampai di bis, terlambat 5 menit. (Adikku sampai jam 4:25, jadi jalan kaki ternyata lebih cepat 20 menit dibandingkan naik mobil.) Namun ternyata bis masih tetap menunggu setelah aku naik, jadi ada lagi yang belum sampai. Aku segera duduk dan membuka dua kancing bajuku karena kepanasan. Di sebelahku masih kosong namun ada tas wanita:
"Sudah datang tapi menunggu di luar rupanya" Demikian aku berpikir.
Lima menit kemudian ada penjual makanan yang membagikan makanan di setiap kursi, bila mau beli silahkan bayar, kalau tidak mau ya nanti diambil lagi. Hampir bersamaan dengan itu semua penumpang masuk dan bis bersiap utk berangkat. Seorang gadis muda yang tinggi semampai masuk dan mengambil tas di sebelahku. Belakangan aku tahu tingginya 165 cm. Jangan ngeres dulu ya, aku cuma tanya tingginya saja dan tidak tanya ukuran2 lain.
"Awas itu ada makanan kepunyaan penjual di belakang"
Aku menunjuk makanan di kursi dia karena takut dia menduduki makanan tersebut. Gadis itu mengambil makanan tersbebut dan kemudian duduk di sebelahku.
"Wah tadi macet jadi saya terlambat. Akhirnya saya jalan kaki, mobilnya yang antar saya tinggal, jadi lumayan terlambatnya tidak begitu lama, dan sekarang panasnya bukan main karena tadi jalan setengah berlari."
"Setelah bapak datang masih ada 3 orang lagi kok yang belum datang." Oh rupanya dia memperhatikan waktu aku sampai, dan tahu masih ada orang lain yang belum datang.
Aku lihat seorang pemuda melambai-lambaikan tangan ke gadis tsb namun dia tidak melihatnya. Aku melirik ternyata gadis itu sedang melihat ke arahku
Dua kancing bajuku masih terbuka, ternyata itu yang mengganggu konsentrasinya. Pelan2 aku mengancingkan bajuku lagi, lalu bilang:
"Pemuda itu tadi me-lambai2kan tangannya lho, kamu tidak lihat. Pacarnya ya?"
"Iya dia pacarku" Kulihat pemuda itu masih tetap menunggu tapi menatap ke arah lain.
Ketika bis bergerak aku ingatkan dia:
"Itu pacarnya di 'dadahi' dulu"
Dan benar ketika bis melewati pemuda tersebut, dia melambaikan tangan lagi dan kali ini dibalas oleh gadis tsb.
"Anda tinggal di Jakarta atau di Solo?" Saya bertanya
"Saya tinggal dan bekerja di Salatiga, di sini cuma main saja, tinggal ditempat famili di Bekasi."
"Kok cari pacar jauh2, kan repot tuh?"
"Dulu dia bekerja di tampat yang sama, tapi sekarang pindah ke Jakarta. Tiap bulan dia ke Salatiga kok, hanya kalo libur gantian kadang dia ke Salatiga, kadang saya ke Jakarta."
Tiba2 terbayang di benakku seorang wanita, pasti dia menginap di rumah wanita tersebut. Tapi ini Bu De atau Bu lik ya? Aku tidak bisa menebak. Karena penasaran aku tanya saja ke dia:
"Di sini tinggal di rumah Bu De ya?"
Dengan agak tergagap dia bilang
"Iya di rumah Bu De. Ehmmmmm... nggak, di rumah Bu Lik."
Mendengar jawabannya itu membuat aku semakin penasaran. Masak Bu De atau Bu Lik nya sendiri saja kok bisa bingung?
Aku melanjutkan basa basi:
"Kenapa nggak menikah saja kalo sudah cocok, jadi tidak repot harus bepergian terus menerus."
"Oh, pacar saya belum siap secara keuangan, jadi masih menunggu dulu."
"Tidak perlu menunggu, bisa segera menikah, tapi langsung KB. Kalau tidak punya anak kan kebutuhan tidak besar. Ya nanti tanya2 dulu ke dokter jangan sampai kelolosan. Tapi kalo bisa jangan pakai pil karena akan mengganggu kesehatan."
"O iya, kok tidak terpikir sampai ke sana ya."
Beberapa saat kemudian dia bercerita:
"Saya di Bekasi sebenarnya tinggal di rumah ibu saya. Orang tua saya cerai. Sedangkan yang di Salatiga adalah ayah saya."
"Ohh maaf..." Agak kaget juga aku mendengar pengakuannya yang terus terang. Namun kelihatannya dia santai saja berbicara, maka kulanjutkan:
"Biasanya kalau orang tua cerai begitu, anaknya mengalami masalah batin lho."
"Ohh, kalau saya nggak kok." (Bohong! dalam hati aku menuduh).
"Memangnya ada masalah apa kok sampai cerai? Umur berapa kamu waktu mereka cerai?"
"Waktu itu aku kelas 5 SD. Kelihatannya tidak ada masalah dan waktu itu ibu bilang kalau ibu pergi ke rumah nenek, jadi saya tidak tahu kalau mereka cerai. Tapi lama2 tahu juga. Bapak akhirnya kawin lagi ketika aku kelas 3 SMP. Setelah itu baru ibu menyusul ketika aku kelas 1 SMA. Jadi sebetulnya pasti tidak ada pihak ketiga, dan juga tidak ada pertengkaran2 di rumah. Saya tidak tahu mengapa mereka pisah."
Aku merenung sejenak, dan hanya ada satu kemungkinan penyebab perpisahan mereka:
"Kurang pemahaman mengenai cinta!"
Tiba2 tanpa pikir panjang dan sok tahu aku mulai memberi kuliah:
"Saya kira saya tahu permasalahan orang tua anda, yaitu karena banyaknya film2 dan cerita2 mengenai pernikahan yang bahagia selama2nya. Sebagai contoh begini saja, berapa pacar yang pernah anda punya?"
Menilik dari penampilannya, pasti dia gampang punya pacar jadi menurutku tidak mungkin cuma sekali ini pacaran.
"Ini yang ke empat."
"Masing2 berapa lama?"
"Yang bertama bertahan 3 bulan, yang kedua 6 bulan, yang ketiga 2 tahun. Sedangkan yang ke 4 ini sudah 2 tahun lebih."
"Nah, bagaimana perasaan anda waktu pertama kali pacaran dengan pacar pertama, kedua, dan ketiga? Pasti yakin bahwa mereka itu cowok idamanmu bukan?"
"Iya."
"Lalu bagaimana perasaanmu ketika putus dengan mereka? Apakah masih berpikir mereka adalah cowok idamanmu?"
"Tidak."
"Nah demikianlah, "perasaan" cinta itu bila bisa bertahan 1 tahun saja sudah bagus. Bila menikah nanti, yang ada adalah tanggung jawab. Tanggung jawab sebagai suami, istri, dan orang tua. Tidak ada lagi perasaan cinta yang ber-kobar2 itu. Demikian juga sepertinya dengan orang-tua anda. Mereka mengira sudah tidak saling mencintai lagi karena tidak ada perasaan tsb. dan mereka memutuskan utk berpisah. Sangat disayangkan memang."
Ketika aku sedang ber-kata2, tiba2 aku dirundung perasaan sedih yang luar biasa, sampai menitikkan air mata. Ibunya mengalami penderitaan batin!
Dalam teknik meditasi tingkat tinggi, seseorang akan mampu menyelami pikiran dan perasaan, bahkan penderitaan fisik orang lain hanya dengan konsentrasi saja. "Om S" pernah mendemonstrasikan kemampuan ini ketika aku sedang sakit tapi memaksa ke rumah beliau karena ada keperluan:
"Gimana kesehatanmu. Lho, ini saya merasa mau muntah, kamu sedang sakit ya? Ini saya bener2 mau muntah ini, kamu mual ya?"
Waktu itu memang saya sangat mual mau muntah. Dengan sedikit konsentrasi saja Om S bisa ikut merasakan penderitaan fisik saya.
"Ibumu kasihan sekali. Bayangkan setelah menikah belasan tahun harus pulang ke rumah orang tua, tanpa membawa anak lagi. Setelah itu hidup menyendiri selama 5 tahun sebelum akhirnya menikah lagi. Kamu jangan jengkel sama ibumu, kasihan dia. Dan jangan bersikap keras terhadap ibumu."
Sekali lagi dengan sok tahu aku melanjutkan kuliah. Namun responnya juga cukup mengherankan karena dia membenarkan tuduhanku.
"Iya tiap kali bertemu kami selalu bertengkar. "
"Lho, ini ibumu kalau sudah tua nanti mau ikut kamu lho." Tiba2 aku memperoleh firasat.
Dengan kaget dia menjawab
"Iya betul, ibu saya memang pernah bilang begitu kepada saya."
Namun ada firasat lain, Ayahnya-pun mau ikut dia kalau sudah tua. Tokh sekarang saja mereka masih tinggal serumah.
"Wah tapi agak repot ini ya, ayahmu juga ingin ikut kamu."
Menurut firasatku, akhirnya ayahnya yang ikut dia, bukan ibunya. Lalu aku bilang:
"Begini saja, utk masa yang akan datang tidak usah dipikirkan dulu, yang penting perbaiki dulu hubungan kamu dengan ibumu. Hilangkanlah perasaan jengkel kepada ibumu. Kalau kamu main ke bekasi, coba bawa oleh2 utk ibumu, entah itu makanan atau pakaian yang ibumu sukai. Kalau bingung, tanya saja sama Bapakmu."
"Wah, memang selama ini saya kalo ke Bekasi cuma bawa oleh2 utk adik2 tiri saya saja, tidak pernah bawa oleh2 utk ibu saya."
Telpon dia berdering dan dia menjawabnya.
"Ibu saya telpon dari bekasi, mengatakan bahwa di Bekasi sudah hujan dan dia menanyakan kondisiku dan perjalananku."
"Nah betulkan, Ibu kamu itu sangat menyayangimu, bagaimanapun juga kamu adalah anaknya. Nanti kalau sudah sampai Salatiga sebaiknya sms atau telpomn Ibumu, bilang kalo kamu sudah sampai. Dia akan senang sekali."
"Ibumu memang salah, tapi bukan di sengaja. Dan susah kalau memaksa orang tua minta maaf kepada anaknya. Kamu yang harus memulai. Minta maaf kepada Ibumu kalau selama ini sering bicara kasar."
Dia diam saja, tidak mau minta maaf, demikian pikirku.
"Oh iya. Tiap tahun sehabis puasa kan kamu sungkem kepada Ibumu tho?"
"Iya tapi ibu saya malah kaku bicaranya."
"Lha kamu bilangnya gimana?"
"Ya bilang minta maaf lahir batin gitu saja."
"Begini, mulai sekarang bina hubungan baik dengan ibumu misalnya seperti yang saya katakan tadi itu yaitu dengan bawakan oleh2, sms atau telpon, atau tindakan2 kecil lainnya. Lalu nanti kalau sungkem jangan pakai kata2 klise tersebut, tapi sebutkan secara spesifik kesalahan2mu sama Ibumu, dan mintalah ampun. Surga ada di telapak kaki ibu. Bila kamu bisa menjalin hubungan baik dengan ibumu, kamu akan masuk surga. Bukan nanti tapi saat itu juga masuk surga yaitu mengalami kebahagian dan kedamaian yang selama ini belum pernah kamu rasakan. Silahkan buktikan sendiri tidak perlu percaya omongan saya."
Tugasmu selesai! Demikian suara dalam otakku. Ada dorongan yang kuat utk tukar2an no. telpon dengannya. Namun hasrat itu aku tahan:
" Biarlah aku dianggap utusan Tuhan yang memberikan pesan."
Bila tukar2an no HP, nanti dai tahu kalo aku manusia biasa yang banyak ketidaksempurnaannya. Malah akan merusak pesan yang "Allah" mau sampaikan. Bahkan nama oun kami saling tidak mengetahui.
Aku mau menarik sandaran kaki namun agak susah. Dengan sigap dia sudah membungkuk mau membantu menata sandaran kakiku.
"Tidak usah, saya bisa kok." Saya menolak dengan halus.
"Oo iya, besok kamu kan kerja, jadi malam ini harus tidur supaya besok tidak ngantuk di kerjaan."
Setelah ngobrol2 ringan akupun terlelap.
DK