Google Groups no longer supports new Usenet posts or subscriptions. Historical content remains viewable.
Dismiss

ADILI SUHARTO, HABIBIE & ANTEK-ANTEKNYA!

344 views
Skip to first unread message

F.W. Sutobin Halim

unread,
Jun 26, 1998, 3:00:00 AM6/26/98
to

ADILI SUHARTO, HABIBIE & ANTEK-ANTEKNYA!
Tuntut pertanggungjawaban kekayaan 100-an yayasannya!
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

Oleh George J. Aditjondro

"Kalau kita tidak mendapatkan bantuan dari negara-negara lain, kita bisa
menjual 160 BUMN yang masih kita punya, untuk membayar hutang-hutang luar
negeri." Begitu kata Suharto, bekas Presiden Republik Indonesia, dalam acara
"temu wicara" dengan rakyat di Desa Batu, sekitar 200 Km di selatan kota
Jakarta, 21 April yang lalu.

Untuk membuktikan bahwa ini bukan ocehan orang pikun berusia 76 tahun, ia
memerintahkan seorang pembantunya (yang kini masih dipertahankan Pjs.
Presiden Habibie) untuk memulai persiapan penjualan BUMN-BUMN tertentu.
Orang itu tidak lain dan tidak bukan Tanri Abeng, bekas manajer Rp 1 milyar,
yang diangkat Suharto menjadi Menteri urusan Reformasi BUMN-BUMN. Kurang
dari 24 jam setelah pidato di Desa Batu, Tanri Abeng mengumumkan rencana
pemerintah menjual 12 BUMN, yang konon akan menghasilkan Rp 15 trilyun
(sekitar US$ 1,8 milyar).

Termasuk dalam daftar perusahaan yang mau dijual itu, tujuh BUMN yang sudah
dikenal sebagai "sapi perahan" bisnis keluarga Suharto, yakni PT Krakatau
Steel, PT Jasa Marga, PT Pelindo II dan III, PT Perkebunan Nusantara IV, PT
Tambang Batubara Bukit Asam, dan PT Angkasa Pura II. Sementara lima lainnya
memang sudah menjual sebagian sahamnya di bursa-bursa saham Jakarta dan New
York, yakni PT Telkom, PT Indosat, PT Aneka Tambang, PT Tambang Timah, dan
PT Semen Gresik.

Sedangkan BUMN yang tidak disebutkannya untuk jadi sasaran penjualan babak
pertama, tergolong dalam 70% BUMN yang secara finansial tidak sehat.
Termasuk maskapai penerbangan Garuda Indonesia dan PLN, yang menderita
kerugian besar akibat dipaksa membuat perjanjian-perjanjian dagang yang
tidak menguntungkan dengan perusahaan keluarga Suharto (Harsono, 1998).

Tidak dijelaskan Suharto kepada rakyat desa itu bahwa krisis moneter yang
kita saat ini terutama adalah ulah konglomerat para kerabat dan
antek-anteknya, yang berhutang US$ 80 milyar ke bank-bank asing.

Yang juga tidak dijelaskan Suharto kepada bangsanya, adalah bahwa hutang
kita kepada Badan Moneter Internasional (IMF), sebesar US$ 43 milyar, yang
ditandatangani Suharto tanpa minta persetujuan parlemen (jadi: tidak
konstitusional, karena melanggar Pasal 23 UUD 1945), bukanlah untuk
menyelamatkan bangsa Indonesia, melainkan untuk menyelamatkan kepentingan
bank-bank asing. Terutama bank-bank Jerman, Jepang, dan AS.

Akhirnya, yang paling terang-terangan tidak dijelaskan Suharto kepada bangsa
Indonesia, adalah bahwa dia, keluarganya, konco-konconya, serta sejumlah
tokoh ABRI, memiliki atau ikut menguasai lebih dari 100 yayasan yang ikut
memupuk kekayaan keluarga besarnya. Atau paling tidak, ikut membantu
memobilisasi dukungan rakyat agar tidak menentang pemupukan kekayaannya.

Kekayaan sebesar US$ 16 milyar, menurut majalah Forbes , yang tidak pernah
dituntut atau dibantah oleh pemerintah Indonesia, sehingga dapat dianggap
sebagai pengakuan implisit dari orang yang menganggap dirinya jurubicara
Dunia Ketiga, jurubicara Negara-Negara Islam, dan Bapak Pembangunan.

Dilatarbelakangi penipuan-penipuan itulah, sebagai orang yang beruntung
menikmati pendidikan tinggi, yang berhasil lolos dari jerat hukum fasis dan
kolonial yang secara konsisten dipakai Suharto untuk membungkam semua orang
yang berani menentangnya secara damai, saya berkewajiban moral untuk
meneliti jumlah kekayaan Suharto dan bagaimana kekayaan itu dipupuk selama
32 tahun kekuasaannya, serta membeberkan hasil penelitian itu kepada
bangsaku, rakyat Indonesia.

Sedikit catatan penutup bagian pembukaan ini. Pertanyaan berapa sebenarnya
kekayaan keluarga Suharto dari yayasan-yayasan yang diketuai atau dikuasai
keluarga besar dan antek-anteknya, sulit dijawab oleh "orang luar".
Kesulitan itu diperparah oleh tumpang-tindihnya kekayaan keluarga Suharto
dengan kekayaan sejumlah keluarga lain, misalnya keluarga Liem Sioe Liong,
keluarga Eka Tjipta Widjaya, keluarga Prajogo Pangestu, keluarga Bob Hasan,
keluarga Bakrie Bersaudara dan keluarga Habibie.

Karena itu, setelah mundur dari tahtanya, Suharto bersama keluarga dan
antek-anteknya harus dituntut mempertanggungjawabkan keuangan 100 yayasan
lebih berikut ini. Lalu, sesuai dengan fungsi yayasan sosial yang tidak
boleh mencari keuntungan, keuntungan yayasan-yayasan itu harus dikembalikan
kepada rakyat Indonesia yang sedang menderita kekurangan sandang, pangan,
dan tanpa pekerjaan, melalui kepemimpinan kolektif gerakan reformasi yang
berujung tombak gerakan mahasiswa di Indonesia.

Delapan kelompok:
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

Untuk mempermudah usaha melacak kekayaan yayasan-yayasan Suharto, saya bagi
yayasan-yayasan itu dalam delapan kelompok. Pertama, yayasan-yayasan yang
diketuai Suharto sendiri. Kedua, yayasan-yayasan yang diketuai atau dikuasai
Nyonya Tien Suharto di masa hidupnya.

Ketiga, yayasan-yayasan yang dipimpin atau ikut dikelola oleh saudara sepupu
Suharto, Sudwikatmono, serta adik tiri Suharto, Probosutedjo. Seperti kita
ketahui, Sudwikatmono adalah sepupu Suharto yang paling dipercayai mewakili
kepentingan keluarga besarnya lewat kelompok Salim, sebelum anak-anak
Suharto sendiri mulai terjun ke lapangan bisnis.

Kemudian, kelompok keempat adalah yayasan-yayasan yang diketuai atau
dikuasai anak, menantu, dan cucu Suharto. Kelompok kelima adalah
yayasan-yayasan yang diketuai atau dikuasai para besan Suharto beserta
keluarga mereka. Kelompok keenam adalah yayasan-yayasan yang diketuai atau
dikuasai sanak saudara Suharto dan isterinya dari kampung halaman mereka di
Yogya dan Solo.

Kelompok ketujuh adalah yayasan-yayasan yang dikuasai Suharto melalui
beberapa orang tangan kanannya, yakni Habibie, Bob Hasan, Sudomo, dan Joop
Ave. Akhirnya, kelompok kedelapan adalah beberapa yayasan ABRI yang sangat
terlibat dalam bisnis keluarga Suharto.

Dalam kelompok pertama dapat dihimpun nama sebelas yayasan, yakni:
1. Yayasan Supersemar
2. Yayasan Dharma Bhakti Sosial, disingkat Yayasan Dharmais
3. Yayasan Dana Abadi Karya Bakti, disingkat Yayasan Dakab
4. Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila
5. Yayasan Serangan Umum 1 Maret
6. Yayasan Bantuan Beasiswa Jatim Piatu Tri Komando Rakyat, disingkat
Yayasan Trikora
7. Yayasan Dwikora
8. Yayasan Seroja
9. Yayasan Nusantara Indah
10. Yayasan Dharma Kusuma
11. Yayasan TVRI
12. Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, dan
13. Yayasan Ibu Tien Soeharto

(Vatikiotis, 1990: 63; Pangaribuan, 1995: 60-61, 70; Sinar Harapan, 16 Juni
1985; Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990: 26-29; Prospek , 29 Okt. 1994: 21;
Gatra, 27 Jan. 1996; Kompas & Bali Post , 18 Juli 1996).

Dalam kelompok kedua termasuk:
14. Yayasan Harapan Kita
15. Yayasan Kartika Chandra
16. Yayasan Kartika Djaja
17. Yayasan Taman Mini Indonesia Indah (TMII)
18. Yayasan Purna Bhakti Pertiwi
19. Yayasan Kemajuan dan Pengembangan Asmat
20. Yayasan Dharma Bhakti Dharma Pertiwi, dan
21. Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan

(Gitosardjono, 1974; Robison, 1990: 343-345; brosur Yayasan Kemajuan dan
Kebudayaan Asmat, Jakarta, tanpa tanggal;Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990: 27;
Swasembada [Swa ], Mei 1991: 41-42; Forum Keadilan, 23 Juni 1994: 36).

Walaupun Taman Mini Indonesia Indah adalah proyek awal Yayasan Harapan Kita,
dalam perkembangan selanjutnya, setelah proyek mercusuar itu menghasilkan
cukup banyak duit, sebagian keuntungan itu dialihkan ke yayasan baru yang
dinamai Yayasan TMII. Tahun 1990, yayasan ini berpatungan dengan PT Humpuss
Madya Pratama (HMP) PT milik Tommy Suharto. Di PT Radio Taman Mini ini, PT
HMP memiliki 65% saham, sedangkan Yayasan TMII 35% saham perusahaan.

Dengan investasi sebesar Rp 600 juta, perusahaan kongsi ini mengganti secara
total peralatan radio FM yang kini mengudara pada gelombang FM 105,8 meter
dari Gedung Sakti Plaza di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Setahun setelah
perkawinan antara perusahaan Tommy dan yayasan milik ibunya itu, radio
swasta niaga ini telah menempati peringkat ketiga setelah Radio Prambors dan
Radio Sonora. "Billing dari siaran iklan yang kami peroleh mencapai Rp 55
juta sebulan," begitu kata Gatot Ariffianto, direktur utama PT Humpuss Madya
Pratama dengan bangga kepada majalah Swa , bulan Mei 1991(hal. 42).

Di masa hidupnya, Nyonya Tien Suharto menjadi pelindung Yayasan Kemajuan dan
Pengembangan Asmat, yang diketuai oleh Jenderal (Purn.) M. Kharis Suhud,
dengan salah seorang wakil ketuanya, Nyonya Siti Hardiyanti Rukmana, alias
Tutut. Yayasan ini didirikan tahun 1985 tapi baru resmi menjadi badan hukum
di akhir 1987, dengan setoran modal Rp 5 juta oleh para pendirinya, di mana
termasuk tokoh-tokoh perusahaan keluarga Kartasasmita, Ibnu Sutowo, Bakri,
dan Bukaka, serta Menteri Sosial waktu itu, Nyonya Nani Sudarsono.

Selain mendirikan sebuah gedung Pusat Asmat di daerah Asmat, yang bergerak
dalam penampungan ukiran Asmat sambil juga menjual bahan pokok yang langka
di sana, seperti garam, serta pelayanan kesehatan, yayasan ini juga aktif
bergerak di luar daerah basisnya. Misalnya, menerbangkan sejumlah pengukir
dari Asmat untuk dipamerkan keahlian dan karyanya di Jakarta (Agustus 1988),
Jerman dan Perancis (September 1988).

Sebelumnya para pengukir Asmat itu juga sudah diterbangkan oleh yayasan ini
ke Washington, DC dan New York, dalam rangka pameran KIAS (Kebudayaan
Indonesia di Ameria Serikat) yang dikoordinasi bekas MenLu Mochtar
Kusumaatmadja. Pameran di AS itu, mendapat sambutan positif dari bekas Menlu
AS, Henry Kissinger, salah seorang komisaris maskapai pertambangan raksasa,
Freeport McMoRan (Salam, 1993: 174; Jakarta Post , 16 Sept. 1991, dikutip di
Down to Earth , Nov. 1991: 6).

Boleh dikata, misi yayasan yang dilindungi Nyonya Tien dan melibatkan puteri
sulungnya ini adalah menetralisir advokasi gerakan lingkungan sedunia,
termasuk organisasi-organisasi lingkungan di Indonesia, tentang perusakan
hutan di kawasan Asmat, Papua Barat. Tidak kebetulan, perusak hutan yang
terbesar di Papua Barat, khususnya di daerah Asmat, adalah konglomerat
perkayuan dan perikanan Djajanti Djaja. Preskom kelompok ini adalah
Sudwikatmono, saudara sepupu Suharto yang juga memiliki 10% saham kelompok
ini (Swa , Mei 1994: 56).

Ironisnya, ketua umum yayasan ini, M. Kharis Suhud, sewaktu menjadi Ketua
MPR tahun 1992, berulangkali mengungkapkan kritik secara terbuka terhadap
tiga monopoli keluarga Suharto, yakni monopoli pemungutan pajak TVRI dan
monopoli jeruk di Kal-Bar oleh Bambang Trihatmodjo, serta monopoli cengkeh
di tangan Tommy Suharto (Borsuk, 1992). Toh sampai tahun 1992 (mungkin juga
sesudahnya), Kharis Suhud masih menjadi ketua umum yayasan itu, yang
bekerjasama dengan Gelar Nusantara Anak Indonesia (Gelantara 96) pimpinan
Halimah Bambang Trihatmodjo, mendatangkan 22 orang akrobat cilik dari Cina
untuk beraksi di Bali (Bali Post , 31 Juli 1996).

Lebih ironis lagi adalah bahwa dua orang pakar pendidikan dan antropologi --
Profesor Dr. Haryati Subadio dan Profesor Dr. Budi Santoso -- ikut
melegitimasi misi propaganda yayasan ini dengan duduk sebagai penasehat dan
ketua seksi yayasan ini. Tidak jelas apakah Nyonya Haryati Subadio, isteri
tokoh pembangkang Subadio Sastrosatomo, kini masih bersedia menjadi
penasehat yayasan itu.

Keterangan lebih lanjut tentang yayasan ini dapat diminta ke sekretariat
mereka di Jalan Latuharhary No. 12, Jakarta 10210, dengan nomor telepon
(021) 375 934 dan nomor fax (021) 310 6728.

Yayasan Dharma Bhakti Dharma Pertiwi sehari-hari diketuai Nyonya Ida Feisal
Tanjung, dan mencari dana antara lain melalui penyelenggaraan turnamen golf,
seperti yang dilakukan di lapangan golf Rawamangun, Jakarta Timur, tanggal
15-16 Oktober 1994, yang diikuti oleh 474 pegolf pria dan perempuan. Seperti
yang sudah diketahui secara umum, lapangan golf swasta 18-lubang seluas 35
hektar ini merupakan lapangan golf kesayangan Suharto dan Bob Hasan.
Keduanya merupakan anggota top, bersama Sudwikatmono, Aburizal Bakrie, dan
sejumlah menteri, dengan membayar biaya keanggotaan seumur hidup sebesar Rp
5 juta. Itu tarif tahun 1992, lho! (Prospek , 22 Febr. 1992: 76; Progolf ,
Nov. 1994: 90-91).

Anak dan menantu Suharto sudah diikutsertakan dalam mengurusi yayasan yang
diketuai orangtua mereka, untuk "belajar dalam rangka kegiatan sosial," kata
Suharto dalam biografinya, seperti dikutipWarta Ekonomi, 29 Oktober 1990
(hal. 29). Sigit Harjojudanto dan Indra Rukmana duduk dalam pengurus Yayasan
Dharmais, sementara Tommy dan Bambang Trihatmodjo di Yayasan Dakab.

Tutut jadi bendahara Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, sementara
Bambang jadi Bendahara Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Warta Ekonomi, 29
Okt. 1990: 29; Info-Bisnis , Juni 1994: 9, 15; Suara Independen , Jan.-Febr.
1996; D & R , 14 Juni 1997).

Dalam kelompok ketiga di mana kedua saudara dekat Suharto -- Sudwikat-mono
dan Probosutedjo -- ikut aktif, terdapat lima yayasan yang melibatkan
Sudwikatmono, yakni (22) Yayasan Prasetya Mulya, (23) Yayasan Bangun Citra
Nusantara, (24) Yayasan Tujuh Dua, (25) Yayasan Indocement, (26) Yayasan
Kyai Lemah Duwur, dan (27) Yayasan Islamic Centre, lalu dua yayasan yang
diketuai Probosutedjo, yakni (28) Yayasan (Universitas) Mercu Buana, dan
(29) Yayasan Wangsa Manggala yang diketuai Probosutedjo, serta (30) Yayasan
Ki Hajar Dewantara di mana keduanya ikut terlibat.

Di samping itu, Sudwikatmono dan Probosutedjo juga aktif menangani beberapa
yayasan yang diketuai Suharto atau isterinya, yakni Yayasan Dakab, Yayasan
Purna Bhakti Pertiwi, dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri.

Seperti kita ketahui, Yayasan Prasetya Mulya lebih dikenal melalui wajah
Sofyan Wanandi, jurubicara yayasan itu. Namun ketua Dewan Penyantun yayasan
yang beranggotakan 50 orang pengusaha raksasa itu sesungguhnya adalah Liem
Sioe Liong. Di samping bertujuan menyalurkan dana dari
konglomerat-konglomerat ke dunia pendidikan dan organisasi-organisasi
non-pemerintah (ornop), yayasan ini dikenal sebagai penyalur aspirasi para
konglomerat, melalui jurubicaranya tadi (Soetriyono, 1988: 26, 98; Forum
Keadilan, 1 Sept. 1994: 33).

Yayasan Tujuh Dua adalah pemegang saham PT Media Bintang Indonesia, yang
merupakan kerjasama antara Sudwikatmono dan partner dekatnya, Benny
Suherman, dengan kelompok Ciputra (melalui Ir. Piek Mulyadi). Mereka dengan
lihai memanfaatkan pembreidelan tabloid Monitor dengan membajak 23 orang
bekas staf tabloid itu untuk menciptakan kelompok media hiburan Sudwikatmono
sendiri, yakni kelompok Subentra Citra Media. Kelompok ini mencakup tabloid
Bintang , majalah Sinar , tabloid hiburan anak-anak Fantasi, serta tabloid
mingguan Dangdut.

Begitu Arswendo Atmowiloto selesai menjalankan masa hukumannya, ia ditarik
oleh Sudwikatmono untuk bergabung dengan kelompok bisnis medianya itu,
dengan diberi 5% saham dalam perusahaan penerbit tabloid Bintang . Tak
ketinggalan Noor Slamet Asmoprawiro (alm.), juga diberi 10 % saham dalam
perusahaan itu. Maklumlah, ia adik MenPen waktu itu, Harmoko (TBN RI No.
147/1991, No. 2772/1993; Jakarta-Jakarta , 25 Sept.- 1 Okt. 1993: 81; Editor
, 18 Nov. 1993: 58; Warta Ekonomi, 5 Juni 1995: 65; Swa , 28 Maret-9 April
1997: 92).

Sedangkan Yayasan Bangun Citra Nusantara bergerak di bidang perfilman
(Swasembada [Swa ], 9-29 Mei 1996: 40). Seperti yang kita ketahui, PT
Suptan Film milik Sudwikatmono dan Benny Suherman praktis menguasai semua
jenis film impor. Pada mulanya perusahaan itu hanya mengimpor film Mandarin,
namun kemudian mereka berhasil memaksa tiga asosiasi film asing masuk ke
bawah satu atap, yakni Asosiasi Importir Film (AIF) yang mereka kuasa
(Prospek , 31 Agustus 1991: 90).

Yayasan Indocement yang juga dipimpin oleh 'dwitunggal' Liem Sioe Liong dan
Sudwikatmono, tidak cuma membiayai dan mengelola sejumlah SD, SMP dan SMA di
sekitar pabrik-pabrik semen PT Indocement di daerah Citeureup (Bogor) dan
Palimanan (Cirebon), tapi juga menyumbang buku dan beasiswa untuk siswa dan
mahasiswa di tujuh provinsi (Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur)
serta kedua koloni kita, Timor Leste dan Papua Barat (Gatra, 5 Agustus 1995,
Pariwara, hal. 7).

Sedangkan Yayasan Kiyai Lemah Duwur dibentuk oleh kelompok Salim untuk
mengambil hati rakyat Madura, dengan mendirikan Universitas Bangkalan di
sana. Seperti kita ketahui, Salim tadinya berniat membangun pabrik semen di
Madura. Liem Sioe Liong dan Sudwikatmono duduk di Dewan Penyantun yayasan
itu, sementara Anthony Salim, putera mahkota kelompok Salim, duduk di Badan
Pelaksana (Soetriyono, 1988: 119-120).

Belakangan ini, yayasan maupun universitas itu sudah tidak ada
khabar-beritanya, setelah rencana pabrik semen itu dibatalkan. Selain itu,
para kiyai yang dulu pro-Liem, yang di Madura dijuluki "kiyai kanan", sudah
berbalik. Ini tidak mematahkan semangat juragan konglomerat nomor wahid di
Indonesia itu untuk melobi sejumlah kiyai yang dia anggap masih bisa disogok
duit. Seperti kata sumber saya di Jawa Timur, "politiknya seperti yang
diterapkan oleh Belanda, yaitu mengadu-domba antar kiyai".

Yayasan Islamic Centre, beranggotakan Sudwikatmono, Prajogo Pangestu, Jusuf
Kalla, Jenderal (Purn.) M. Jusuf, dan dua orang Menteri di badan
pengurusnya. Tanggal 8 Mei 1994, upacara pemancanganan menara mesjid dan
aula gedung Islamic Centre yang bernaung di bawah yayasan itu berlangsung di
bekas kampus Universitas Hasanudin di Ujungpandang. Turut meresmikan,
Menteri Negara/Ketua Bappenas Ginanjar Kartasasmita dan Menteri Dalam Negeri
waktu itu, Yogie SM. Menurut Ginanjar, lembaga agama itu, yang kegiatannya
bakal berlingkup internasional, dibentuk untuk menciptakan manusia Indonesia
masa depan (Muis, 1994).

Tidak kalah dengan usaha Sudwikatmono merangkul kaum intelektual melalui
Yayasan Indocement dan Kiyai Lemah Duwur, Probosutedjo mengetuai dua yayasan
pemilik dua universitas swasta, yakni Universitas Mercu Buana di Jakarta (di
bawah Yayasan Mercu Buana) dan Universitas Wangsa Manggala di Yogyakarta (di
bawah Yayasan Wangsa Manggala (Bali Post , 14 Okt. 1996).

Kedua saudara Suharto itu juga terlibat dalam badan pengurus Yayasan Ki
Hajar Dewantara (YKHD), yang didirikan berdasarkan keputusan Kongres ke-17
Taman Siswa, Juni 1996. Pengumuman pendirian yayasan itu dilakukan di
Jakarta, hari Jumat, 23 Agustus 1996. Ketua Umum Badan Pengurusnya adalah
almarhum Jenderal Soesilo Sudarman, waktu itu Menko Polkam, anggota badan
pengurus Jenderal Edi Sudradjat, waktu itu Menko Hankam, dengan penasehat
Wardiman Djojonegoro yang waktu itu Menteri P & K. Moerdiono yang waktu itu
Menteri Negara Sekretaris Negara menjadi anggota badan pendiri, ditambah
Kabakin waktu itu, Letjen TNI Moetojib, sedangkan Jaksa Agung waktu itu,
Singgih, menjadi anggota Badan Pengurus (Bali Post , 24 Agustus 1996).

Kelompok keempat, saking banyaknya, perlu dibagi dalam enam sub-kelompok.
Sub-kelompok pertama adalah yayasan-yayasan yang diketuai atau sempat
dikuasai oleh Tutut, yakni (31) Yayasan Tiara Indonesia, (32) Yayasan Dharma
Setia, (33) Yayasan Kebudayaan Portugal-Timor, (34) Yayasan Tunas Harapan
Timor Lorosae, (35) sebuah yayasan pendidikan tinggi di Dili, (36) Yayasan
Tri Guna Bhakti, (37) Yayasan Bermis, dan (38) Yayasan Dana Bhakti
Kesejahteraan Sosial (YDBKS) (InfoBisnis, Juni 1994: 13; Kompas , 28 Juni
1994; Jawa Pos , 3 Juni 1995;Republika, 20 April 1995; Matebean, 12 Jan.
1998).

Juga, seperti yang sudah disinggung di depan, Tutut adalah Bendahara Yayasan
Dana Gotong Royong Kemanusiaan dan wakil ketua Yayasan Kemajuan dan
Pembangunan Asmat.

Lalu, sub-kelompok kedua adalah yayasan-yayasan yang diketuai atau dikuasai
Bambang Trihatmodjo dan isterinya, Halimah, yakni (39) Yayasan Bhakti
Nusantara Indah, alias Yayasan Tiara Putra, yang dipimpin Tutut bersama
Halimah, (40) Yayasan Bimantara, (41) Yayasan Bhakti Putra Bangsa, dan (42)
Yayasan Intinusa Olah Prima yang diketuai Bambang, (43) Yayasan Ibadah dan
Amalyah Bimantara Village, yang diketuai oleh Rosano Barack (Cano), salah
seorang pemegang saham utama Bimantara, serta (44) Yayasan Kesra Karyawan
Bimantara (Indonesia Business Weekly, 25 Nov. 1994).

Yayasan-yayasan yang dikuasai Tutut, Bambang, dan Halimah:
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

Sedikit catatan tentang yayasan-yayasan yang dikuasai Tutut serta adik dan
iparnya yang satu ini. Berkat proteksi ayah mereka sebagai Ketua Yayasan
TVRI, Tutut dan Bambang menjadikan yayasan itu sebagai salah satu sapi
perahan mereka, baik di bawah MenPen Harmoko maupun Hartono. Itulah
sebabnya, rencana merubah status badan pengelola TVRI dari yayasan menjadi
BUMN (Prospek, 29 Okt. 1994: 21), belum terwujud.

Tutut menguasai Yayasan TVRI lewat TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), yang
bisa berhutang Rp 6 milyar biaya iklan pada (Yayasan) TVRI, serta lebih dari
Rp 100 milyar ke rumah-rumah produksi yang sudah atau terancam bangkrut
(Prospek, 6 Maret 1993: 18; Sinar, 4 Febr. 1995: 37; Forum Keadilan, 17
Juli 1995: 109; Gatra, 3 Febr. 1996: 106; Swa, 9-22 Okt. 1997: 90-92).

Yayasan TVRI merupakan salah satu pemegang saham PT Cipta Televisi
Pendidikan Indonesia, yang menaungi stasiun televisi swasta itu. Yayasan
Purna Bhakti Pertiwi yang juga diketuai Suharto ikut sebagai pemegang saham,
di samping Tutut, perusahaan induk konglomeratnya, serta beberapa orang
partner bisnisnya, Abdullah Fahmi Alatas dan Niken Wijayanti (CISI, 1997:
257-258).

Bambang menguasai Yayasan TVRI lewat PT Mekatama Raya, yang sejak Februari
1992 diberi hak mengutip iuran TVRI dari pemilik televisi a/n Yayasan TVRI
melalui suatu kontrak selama 15 tahun (Prospek, 7 Maret 1992: 68). Tak jelas
bagaimana pertanggungjawaban uang hasil kontrak itu, suatu bentuk monopoli
keluarga Suharto yang pernah diprotes Ketua DPR/MPR waktu itu, Jenderal
(Purn.) Kharis Suhud (Borsuk, 1992). Makanya dia tidak dipilih kembali
menjadi anggota DPR.

Di bawah Menteri Penerangan Hartono, Yayasan TVRI tetap berfungsi sebagai
pencetak uang bagi keluarga Suharto. Sebelum SU MPR lalu, Hartono bahkan
menawarkan bantuan tenaga militer untuk mengutip uang iuran TVRI. Muladi,
ketika masih menjabat sebagai Rektor Universitas Diponegoro dan anggota
Komnas HAM, menolak rencana Hartono itu (Strait Times, 21 Agustus 1997).
Entah bagaimana pendapatnya sekarang, setelah ia dioperkan dari kabinet
Suharto terakhir ke kabinet Habibie yang pertama, dalam jabatan Menteri
Kehakiman.

Yayasan Tri Guna Bhakti, ada kaitan khusus dengan Tutut. Yayasan ini
didirikan awal 1996 oleh sejumlah ulama NU yang berhasil dirangkul oleh
Tutut dan Jenderal Hartono, dengan ketua Abd. Wahid Zaini, pimpinan pondok
pesantren Nurul Jadid di Paiton, Probolinggo, yang masih keluarga jauh
Hartono. Makanya Hartono pelindung dan Tutut pembina yayasan ini (Tiras, 28
Maret 1996: 73).

Sudah dapat diperkirakan bahwa yayasan ini berfungsi untuk menetralisasi
suara-suara tidak puas terhadap pembebasan tanah serta polusi PLTU Paiton I
yang sedang dibangun Hashim Djojohadikusumo di daerah Paiton. Ketika mertua
Tutut meninggal dunia, yayasan ini ikut memasang iklan dukacita yang cukup
menonjol di harian Jawa Pos, 7 Maret 1996.

Yayasan Bermis adalah pemegang saham kelompok Ustraindo (Usaha Putra
Indonesia), yang dikelola oleh Praptono Honggopati Citrohupoyo, presiden
direktur konglomerat itu. Yayasan ini "milik elit politik tertentu," kata
majalah Tiras , 26 Oktober 1995. Kita bisa tebak sendiri siapa elit politik
itu, karena menurut majalah Asiaweek , 14 September 1994, sebagian saham
salah satu anak perusahaannya, PT Ustraindo, dimiliki Tutut.

Perusahaan ini, yang lengkapnya bernama PT Ustraindo Petrogas, adalah alat
Tutut untuk menguasai ladang migas Pertamina di Mundu-Jatibarang, Jawa Barat
(Unit Eksplorasi III), Prabumulih dan Pendopo, Sumatra Selatan (UEP II),
serta Pulau Bunyu (Kal-Tim), melalui kontrak "bantuan teknis" yang
ditandatangani pimpinan Ustraindo dan Pertamina di awal 1994. Dalam
pengelolaan ladang-ladang minyak Pertamina itu, Ustraindo bekerjasama dengan
investor Malaysia.

Dengan dukungan Tutut pula, Ustraindo memperoleh hak mengelola pipa minyak
dari pelabuhan Cilacap ke depot minyak Pertamina di Cilamaya, Jawa Barat,
bermodal dana pensiun karyawan Pertamina. Ini mengesalkan orang-orang
Pertamina, yang terpaksa harus menyewa pipa minyak perusahaannya sendiri.
Kerjasama antara Ustraindo dan Pertamina tidak berlangsung lama. Dalam waktu
kurang dari setahun, Ustraindo berhutang Rp 3,5 milyar plus US$ 600 ribu
dalam valuta asing pada Pertamina, untuk sewa peralatan dan lain-lain. Ini
menyakitkan hati investor Malaysia kongsi Ustraindo, yang merasa
investasinya tidak disalurkan ke PT Ustraindo Petrogas, melainkan ke
perusahaan lain di bawah payung Yayasan Bermis yang berkantor di Gedung
Bermis di Jl. Rasuna Said Kav. 12-14, Kuningan, Jakarta. Walhasil, Pertamina
menolak memperpanjang kontrak "bantuan teknis" PT Ustraindo Petrogas, dan
menuntut pelunasan hutang-hutang Ustraindo (CISI, 1991: 769-771; Asiaweek ,
14 Sept. 1994: 44-45; Tiras , 26 Okt. 1995).

Sementara itu, Ustraindo juga berpatungan dengan Bambang Trihatmodjo di
Hotel Intercontinental di Jimbaran, Bali, yang punya 451 kamar dengan tarif
99 - 132 dollar AS semalam (Aditjondro, 1995: 18).

Selanjutnya adalah Yayasan Intinusa Olah Prima mengelola klub anak-anak
gawang Merdeka Boys Football Association (MBFA). Klub ini diambilalih oleh
Johannes Kotjo, Bambang Trihatmodjo, dan Yapto Suryo Sumarno, 27 Mei 1997.
Maksudnya untuk melakukan pembibitan pemain baru lewat pelatihan anak-anak
gawang tersebut. Niat ini timbul, setelah sukses Johannes Kotjo membantu
Klub Ballestier Central di Singapura, dengan dana US$ 225.000 dari
perusahaan Van der Horst yang dikuasainya (Tiras , 9 Juni 1997: 65-66).

Yayasan Tri Guna Bhakti, ada kaitan khusus dengan Tutut. Yayasan ini
didirikan awal 1996 oleh sejumlah ulama NU yang berhasil dirangkul oleh
Tutut dan Jenderal Hartono. Ketuanya adalah Abd. Wahid Zaini, pimpinan
pondok pesantren Nurul Jadid di Paiton, Probolinggo, yang masih keluarga
jauh Hartono. Makanya Hartono menjadi pelindung dan Tutut menjadi pembina
yayasan ini (Tiras, 28 Maret 1996: 73).

Sudah dapat diperkirakan bahwa yayasan ini sekaligus berfungsi untuk
menetralisasi suara-suara tidak puas terhadap pembebasan tanah serta polusi
PLTU Paiton I yang sedang dibangun Hashim Djojohadikusumo di daerah Paiton.
Sebab di tahun 1994, ketika baru 1600 MW dari 4000 MW yang direncanakan
sudah mulai dioperasikan, para petani di Kecamatan Paiton sudah mengeluh
bahwa kualitas tembakau mereka menurun akibat debu PLTU yang ada (Forum
Keadilan , 15 Sept. 1994: 69).

Yang jelas, ketika mertua Tutut meninggal dunia, yayasan ini ikut memasang
iklan dukacita yang cukup menonjol di harian Jawa Pos, 7 Maret 1996.

Yayasan Bermis adalah pemegang saham kelompok Ustraindo (Usaha Putra
Indonesia), yang dikelola oleh Praptono Honggopati Citrohupoyo, presiden
direktur konglomerat itu. Yayasan ini "milik elit politik tertentu," kata
majalah Tiras , 26 Oktober 1995. Kita bisa tebak sendiri siapa elit politik
itu, karena menurut majalah Asiaweek , 14 September 1994, sebagian saham
salah satu anak perusahaannya, PT Ustraindo, dimiliki Tutut.

Perusahaan ini, yang lengkapnya bernama PT Ustraindo Petrogas, adalah alat
Tutut untuk menguasai ladang migas Pertamina di Mundu-Jatibarang, Jawa Barat
(Unit Eksplorasi III), Prabumulih dan Pendopo, Sumatra Selatan (UEP II),
serta Pulau Bunyu (Kal-Tim), melalui kontrak "bantuan teknis" yang
ditandatangani pimpinan Ustraindo dan Pertamina di awal 1994. Dalam
pengelolaan ladang-ladang minyak Pertamina itu, Ustraindo bekerjasama dengan
investor Malaysia.

Dengan dukungan Tutut pula, Ustraindo memperoleh hak mengelola pipa minyak
dari pelabuhan Cilacap ke depot minyak Pertamina di Cilamaya, Jawa Barat,
bermodal dana pensiun karyawan Pertamina. Ini mengesalkan orang-orang
Pertamina, yang terpaksa harus menyewa pipa minyak perusahaannya sendiri.

Kerjasama antara Ustraindo dan Pertamina tidak berlangsung lama. Dalam waktu
kurang dari setahun, Ustraindo berhutang Rp 3,5 milyar plus US$ 600 ribu
dalam valuta asing pada Pertamina, untuk sewa peralatan dan lain-lain. Ini
menyakitkan hati investor Malaysia kongsi Ustraindo, yang merasa
investasinya tidak disalurkan ke PT Ustraindo Petrogas, melainkan ke
perusahaan lain di bawah payung Yayasan Bermis yang berkantor di Gedung
Bermis di Jl. Rasuna Said Kav. 12-14, Kuningan, Jakarta. Walhasil, Pertamina
menolak memperpanjang kontrak "bantuan teknis" PT Ustraindo Petrogas, dan
menuntut pelunasan hutang-hutang Ustraindo. (CISI, 1991: 769-771; Asiaweek
, 14 Sept. 1994: 44-45; Tiras , 26 Okt. 1995).

Sementara itu, Ustraindo juga berpatungan dengan Bambang Trihatmodjo di
Hotel Intercontinental di Jimbaran, Bali, yang punya 451 kamar dengan tarif
US$ 99 - 132 semalam (Aditjondro, 1995: 18).

Yayasan Intinusa Olah Prima mengelola klub anak-anak gawang Merdeka Boys
Football Association (MBFA), yang diambilalih oleh Johannes Kotjo, Bambang
Trihatmodjo, dan Yapto Suryo Sumarno, 27 Mei 1997. Maksudnya untuk melakukan
pembibitan pemain baru lewat pelatihan anak-anak gawang tersebut.

Niat ini timbul, setelah sukses Johannes Kotjo membantu Klub Ballestier
Central di Singapura, dengan dana US$ 225.000 dari perusahaan Van der Horst
yang dikuasainya (Tiras , 9 Juni 1997: 65-66).

Akhirnya, Yayasan Ibadah dan Amaliyah Bimantara Village, yang diketuai oleh
Cano, adalah wahana Bambang Trihatmodjo dkk untuk mengambil hati umat Islam,
lewat pembangunan perumahan rakyat yang dapat dianggap Islami. Salah satu
proyeknya adalah "Villa Islami" di Karawaci, Tangerang, yang terdiri dari
1200 rumah di atas lahan seluas 104 hektar. Turut meresmikan kompleks
perumahan rakyat itu adalah Menteri Negara Perumahan Rakyat, Ir Akbar
Tanjung, serta Ketua Umum DPP REI (Real Estate Indonesia), Edwin Kawilarang
(Ummat , 9 Des. 1996: 78).

Kebetulan, Edwin Kawilarang sendiri adalah kepala divisi Real Estate
Bimantara yang menangani pembangunan apartemen-apartemen mahal (Warta
Ekonomi, 22 Juni 1992: 22; Sinar , 20 Jan. 1996: 45-47; Swa, Jan. 1994:
101-109). Sementara Akbar Tanjung pun bukan "orang luar" dari sudut bisnis
keluarga Cendana. Perusahaan keluarga Tanjung, PT Marison Nusantara
Agencies, berkongsi dengan kelompok Salim dalam pabrik susu PT Indomilk
serta industri kimia PT Henkel Indonesia dan PT Zeta Aneka Kimia
(Soetriyono, 1988: 39-40; CISI, 1997: 480-481, 542-543, 1456-1457).

Yayasan penjual mimpi rakyat miskin:
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

Sedikit catatan penyegar ingatan tentang Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan
Sosial (YDBKS). Pengelola SDSB ini dulu dikuasai Sigit Harjojudanto, putera
Suharto yang tertua. Selama 2 1/2 bulan, yayasan ini dikuasai Tutut sebagai
Menteri Sosial dalam kabinet Suharto terakhir.

Kita belum lupa bahwa hasil pemasukan keluarga Suharto dari berbagai lotere
nasional belum pernah dipertanggungjawabkan kepada rakyat banyak. Berbagai
lotere nasional itu dikelola oleh YDBKS, yang resminya berada di bawah
Menteri Sosial, tapi secara de facto dikuasai Sigit Harjojudanto bersama
sejumlah pengusaha swasta tangan kanannya.

Tahun 1985, Sigit ikut mengelola Porkas, yang ditentang keras oleh
Pemerintah Daerah Sumatra Barat dan DPRD Jawa Barat berdasarkan pertimbangan
keagamaan. Namun kecaman-kecaman ke alamat Porkas itu dibungkam oleh
pemerintah pusat dengan dalih bahwa Porkas bukan judi.

Maka Sigit pun bebas meraih keuntungannya. Dua orang pengusaha muda yang
ikut terlibat dalam pengelolaan dana Porkas, Robby Tjahjadi (yang baru bebas
dari penjara karena menyelundupkan puluhan mobil mewah) dan kawan sekolahnya
di Solo, Robby Sumampouw, juga semakin semarak bisnis mereka sesudah Porkas
dihapus. Robby Tjahjadi membangun kerajaan tekstil Kanindo-nya, sementara
Robby Sumampouw, dengan backing Benny Murdani, memonopoli bisnis kopi di
Timor Leste.

Bukan cuma itu. Jusuf Gading, Dirjen Bantuan Sosial Departemen Sosial
(1972-1979), pencetus Undian Harapan pendahulu Porkas, mendapat "promosi"
tak langsung dari keluarga Suharto. Seorang anaknya, Irvan Gading, menjadi
salah satu partner bisnis Tommy Suharto, yang kebetulan juga bekas teman
sekolahnya. PT Gading Mandala Utama (GMU), dengan Tommy sebagai presiden
komisaris dan Irvan sebagai presiden direktur, menjadi agen tunggal
alat-alat berat bagi Departemen PU, bekerjasama dengan kelompok Arthayasa
milik Rafiq Radinal Muchtar, anak Menteri PU waktu itu. Belum lagi bisnis
GMU yang lain sebagai sub-kelompok Humpuss (Shin, 1989: 248; Wibisono,1994;
Aditjondro, 1994: 57-62; Prospek , 6 Maret 1993: 18-21, 19 Febr. 1994:
56-57;Indonesia Business Weekly , 11 Maret 1994: 10;Warta Ekonomi , 20 April
1992: 23).

Setelah Porkas dibubarkan, Sigit terlibat lagi dalam pengelolaan lotere
SDSB, bersama Robby Sumampouw, Henry Pribadi, dan Sudwikatmono. Walaupun
SDSB kemudian dibubarkan juga, akibat kencangnya demonstrasi umat Islam dan
aktivis mahasiswa, dana SDSB yang terkumpul juga belum pernah
dipertanggungjawabkan kepada rakyat.

Malah sebaliknya, Sigit dengan tenang menggunakan bagiannya untuk membangun
hotel berbintang lima Bali Cliff Resort seharga US$ 50 juta di Bali.
Sementara itu, bisnis para co-manager dana SDSB, juga berkembang dengan
pesat. Robby Sumampouw, partner Sigit dalam pengelolaan Porkas maupun SDSB,
yang juga pernah membantu Tommy mengelola BPPC, menanam keuntungannya dalam
kasino raksasa di Pulau Christmas, Australia. Kawan baiknya, Tommy Suharto,
pun sering berjudi di kasino senilai hampir 40 juta dollar AS itu, di mana
perusahaannya, Sempati Airlines, menikmati monopoli penerbangan dari/ke
Jakarta.

Henry Pribadi, yang juga partner Bambang Trihatmodjo dalam proyek
petro-kimia Chandra Asri, perusahaan pemungut iuran televisi PT Mekatama
Raya, stasiun televisi swasta SCTV, serta Bank Alfa bin Bank Andromeda,
merupakan pengunjung setia kasino Crown di Melbourne, di mana ia pernah
memasang taruhan satu juta dollar Australia dalam semalam (Borsuk, 1993;
Aditjondro, 1994: 88-89, 1995: 1-2, 1996; Loveard, 1996: 38; Robinson,
Hewitt dan Munro, 1997;Tempo , 28 Des. 1991; Gatra , 12 Okt. & 26 Okt.
1996).

Semuanya ini seolah-olah mendidik rakyat bahwa lotere itu halal, mencari
untung berlimpah dari lotere juga halal, lalu berjudi dengan laba berlimpah
hasil lotere itu pun halal. Ironisnya, seorang Sekjen PB NU terpaksa
meletakkan jabatannya gara-gara menerima dana SDSB untuk kegiatan
organisasinya. Pengurus Besar NU sendiri nyaris retak karena masalah itu.

Sementara itu, dana YDBKS terus beranak-pinak, dan mencari-cari tempat di
mana dana itu dapat ditanamkan. Tahun 1994, lewat perantaraan Menpora Hayono
Isman, Bendahara YDBKS, Wisnu Saputra, dipertemukan dengan Bendahara Yayasan
Dharmais, Mayjen (Purn.) Hediyanto, untuk menyelamatkan Bank Arta Prima
yang tadinya dikuasai Kosgoro. Itulah awal dari apa yang kemudian dikenal
sebagai skandal kredit Bank Arta Prima, yang menyebabkan seorang putera Mas
Agung, Oka Mas Agung, dan Kim Johannes Mulia ditahan, dan nyaris menyeret
Yayasan Dharmais dalam kemelut itu juga (Tiras , 2 Juni 1997: 92-95, 9 Juni
1997: 83-87; Suara Independen , Juli 1997).

Namun terlepas dari skandal BAP itu sendiri, anecdotal evidence ini
menunjukkan bahwa yayasan pengelola SDSB itu sungguh-sungguh belum kosong
kasnya. Nah, selama 2 1/2 bulan menjabat sebagai Menkes baru yang membawahi
YDBKS, Tutut barangkali telah melenyapkan pembukuan lotere-lotere yang sudah
dibubarkan tanpa banyak kesulitan.

Yayasan-yayasan yang dikuasai Tommy:
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

Selanjutnya, sub-kelompok ketiga adalah yayasan-yayasan yang diketuai atau
dikuasai Tommy, yakni (45) Yayasan Tirasa, (46) Yayasan Bhakti Putra Bangsa,
(47) Yayasan Otomotif, dan (48) Yayasan Bulog.

Yayasan Bhakti Putra Bangsa dan Yayasan Otomotif Indonesia lebih berhubungan
dengan hobi-hobi Tommy yang menghasilkan uang -- golf dan balap mobil.
Yayasan Bhakti Putra Bangsa yang diketuai Tommy menyelenggarakan
pertandingan golf di Palm Hill Country Club Sentul, dekat Bogor, Jawa Barat,
bulan Maret 1995 (iklan Bisnis Maritim, 30 Jan-5 Feb 1995). Dan kita sudah
sama-sama tahu, bahwa golf di Indonesia lebih merupakan sarana negosiasi
bisnis ketimbang olahraga yang serius.

Yayasan Tirasa, yang diketuai Tommy Suharto, dengan anggota badan
pengurusnya Tungky Ariwibowo, Moerdiono, dan Tinton Suprapto, adalah
pemegang saham PT Sarana Sirkuitindo Utama, yang pada gilirannya adalah
pemilik sirkuit balap mobil Sentul. Jadi Sentul bukan milik Tommy Suharto.
Begitu keterangan presdir PT SSU, Tinton Suprapto pada pers, 6 tahun lalu
(Surya, 26 Juni 1993). Memang secara Sentul resmi bukan milik Tommy pribadi,
tapi de facto, ya. Dasar Sentul-oyo.

Yayasan Otomotif Indonesia merupakan instrumen untuk memperluas hobi
merangkap bisnis balap mobilnya dari Sentul ke Lampung. Tarif ganti rugi
tanah rakyat seluas 157 hektar di Lampung ditentukan langsung oleh Tommy
selaku investor merangkap pengurus pusat Ikatan Motor Indonesia (Bola,
Minggu I Des 1992; Kompas, 15 & 27 Juli 1996). Namun di luar urusan balap
mobil, Yayasan Otomotif juga pernah digunakan oleh Tommy Suharto untuk
meminta proyek dari PT Telkom (Siar, 3 Feb 1998).

Yayasan Bulog resminya diketuai Ketua Bulog, Beddu Amang. Namun sejak zaman
Achmad Tirtosudiro, zaman Bustanil Arifin, lalu sekarang, Suharto selalu
menempatkan orang kepercayaannya di posisi Ketua Bulog itu, yang sekaligus
ditugaskan untuk mengurus PT PP Berdikari, perusahaan yang didirikannya dari
harta antek-antek Sukarno yang disitanya. Walaupun perusahaan itu resminya
berstatus perusahaan negara, dalam perjalanan waktu PT Berdikari, yang sudah
berkembang menjadi konglomerat sendiri, dikuasai oleh tiga yayasan yang
diketuai Suharto, Dharmais, Dakab, dan Supersemar, yang juga menguasai
saham-saham Bank Duta, bank kelompok ini. Saya akan berbicara lagi tentang
hal ini dalam bagian tentang bank-bank kelompok Nusamba yang dikepalai oleh
Bob Hasan.

Ketika Bulog dipegang oleh Bustanil Arifin, yang isterinya masih kerabat
Nyonya Tien Soeharto, keluarga Arifin membentuk konglomeratnya sendiri,
yakni Danitama Group. Konglomerat ini banyak bekerjasama dengan kelompok
Salim dan kelompok Bimantara. Sementara anak-anak Bustanil Arifin, juga
duduk dalam PT Prima Comexindo, perusahaan counter-trading (barter) Hashim
Djojohadikusumo, yang akan saya ulas kegiatannya dalam bagian tentang
yayasan-yayasan para besan dan keluarganya.

Beddu Amang, ketua Bulog yang sekarang, juga duduk sebagai komisaris salah
satu anak perusahaan Danitama, yakni PT Bormindo Nusantara, sebuah
perusahaan kontraktor pengeboran minyak. Makanya, pucuk pimpinan Bulog
selalu tumpang-tindih kepentingan bisnisnya dengan bisnis keluarga besar
Suharto, baik secara langsung maupun melalui keluarga Arifin (Anon., 1991;
CISI, 1991: 58-60; Jakarta Post , 13 Febr. 1994; Warta Ekonomi , 24 Okt.
1994: 16).

Kini, dengan Yayasan Bulog menjadi pemegang 10% saham pusat perbelanjaan PT
Goro Yudistira Utama (Warta Ekonomi , 4 April 1994: 29-30; Swa , 28 Maret -
9 April 1997: 58-60; Siar , 4 Febr. 1998), fasilitas dan harta yayasan ini
dapat dimanfaatkan pula oleh Tommy Suharto. Sama halnya sebagaimana Tutut
dan Bambang memanfaatkan Yayasan TVRI, atau sebagaimana Sigit dan kini Tutut
memanfaatkan YDBKS, pencetak untung dari lotere SDSB.

Seperti diketahui, Bulog adalah salah satu sumber korupsi utama menurut
hasil penyelidikan Komisi Empat yang dibentuk Suharto, menanggapi aksi-aksi
mahasiswa di awal 1970-an. Namun Achmad Tirtosudiro, Ketua Bulog di masa itu
yang bekas pejabat Kostrad dan teman dekat Suharto, tak pernah diajukan ke
pengadilan, sebagaimana juga halnya Ibnu Sutowo, walaupun Pertamina juga
sudah terbukti merupakan sarang korupsi di tahun 1970-an.

Baru-baru ini, bertentangan dengan semangat reformasi ekonomi yang
dipaksakan oleh Badan Moneter Sedunia (IMF), perusahaan patungan Tommy dan
Bulog itu malah mendapat hak monopoli distribusi beberapa bahan pokok,
seperti sabun dan tapal gigi. Untuk tidak terkesan serakah, Induk-Induk
Koperasi sudah diikutsertakan juga sebagai pemegang saham pusat perkulakan
itu. Dengan demikian Menteri Koperasi Subiakto Tjakrawerdaya juga sah-sah
saja membantu PT Goro Batara Sakti, sedangkan jalur pemasarannya ke seluruh
Indonesia dan Timor Leste tinggal memanfaatkan gudang-gudang Dolog di
mana-mana. Asyik, bukan? (Dow Jones , 6 April 1998;Siar, 11-18 April 1998).

Yayasan-yayasan yang dikuasai Mamiek dan suaminya:
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

Sub-kelompok keempat adalah yayasan-yayasan yang diketuai atau dikuasai Siti
Hutami Endang Adiningsih alias Mamiek Suharto, yang terdiri dari (49)
yayasan pemilik obyek wisata Taman Buah Mekarsari (TMB) seluas 260 Ha di
sepanjang koridor Cibubur-Cianjur, (50) Yayasan Bunga Nusantara, yang
didukung oleh Nyonya Christine Arifin, isteri bekas Ketua Bulog yang masih
kerabat Nyonya Tien Suharto, pengelola Taman Bunga Nusantara (TBN) seluas 35
hektar di Kabupaten Cianjur, serta (51) Yayasan Rally Indonesia (Shin, 1989:
268; Tiras, 23 Nov. 1995: 15-16; Swa, 13-27 Maret 1997: 99; info dari
pembaca e-mail, 16 April 1998).

Yayasan Rally Indonesia, beranggotakan suami Mamiek, Pratikto Singgih, serta
tiga orang cucu Suharto, yakni Dandy Nugroho Hendro Maryanto dan Danny Bimo
Hendro Utomo (anak Tutut dan Indra Rukmana), serta Ari Haryo Wibowo (anak
Sigit Harjojudanto). Kegiatan rutin tahunan yayasan ini adalah
menyelenggarakan seri kejuaraan reli dunia di kawasan Medan sejak sepuluh
tahun terakhir.

Pratikto Singgih bukannya tak berperan dalam memupuk kekayaan keluarga
Suharto. Lulusan FE-UI ini adalah presiden komisaris Bank Utama, salah satu
bank keluarga Suharto yang sampai saat ini (21 April 1998), lolos dari
langkah-langkah penutupan bank-bank swasta bermasalah.

Yayasan-yayasan yang diketuai atau dikuasai Titiek & Prabowo:
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

Sub-kelompok kelima ini terdiri dari (52) Yayasan Badan Intelijen ABRI
(BIA), yang dikuasai Prabowo melalui teman dekatnya, Mayor Jenderal Jacky
Anwar Makarim, yang ikut mengelola sistem perparkiran di Jakarta, (53)
Yayasan Kobame (Korps Baret Merah), pemegang saham PT Kobame, serta (54)
Yayasan Dharma Putera Kostrad, yang sempat dipegang hampir 3 bulan oleh
Prabowo sebagai Pangkostrad baru (Gatra, 4 Feb 1995).

Kemudian, yayasan-yayasan yang diketuai atau dikuasai Titiek Prabowo adalah
(55) Yayasan Veteran Integrasi Timor Timur, (56) Yayasan Hati, yang dibentuk
oleh sejumlah "partisan" (orang Timor Leste dan Timor Barat yang membantu
Kopassus merebut Timor Leste di tahun 1975-1976), (57) Yayasan Kerajinan
Indonesia, (58) Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, dan (59) yayasan pencari
dana KONI (Asiaweek, 12 April 1996: 39; The Australian, 10 Oct. 1996).

Sedikit catatan tentang yayasan-yayasan yang dikuasai Titiek dan suaminya,
mulai dari Yayasan Kobame. Sebelum Prabowo menjadi Komandan Jenderal
(Danjen) Kopassus, yayasan itu telah berdiri. Tahun 1995, berpatungan dengan
kelompok Arseto, konglomerat milik Sigit Harjojudanto, Yayasan Kobame mulai
membangun dua pabrik briket arang di Kartosuro, Sukoharjo, dan Serang, Jawa
Barat, dengan investasi sebesar Rp 7 milyar. Pabrik briket arang hasil
patungan dengan PT Ariyo Seto Wijoyo, anggota kelompok Arseto, diberi nama
PT Prawara Sanggatama dan direncanakan mulai beroperasi bulan Januari 1996.

Menurut Danjen Kopassus waktu itu, Brigjen TNI Soebagyo HS, pabrik itu
diharapkan memberi keuntungan bagi banyak pihak. Selain bermanfaat bagi
petani di sekitar pabrik, juga mampu meningkatkan kesejahteraan prajurit
Kopassus. "Tentu saja, tujuan memberi kesejahteraan dan keuntungan tidak
bisa diabaikan," begitu kata Soebagyo HS (Jawa Pos , 29 Agustus 1995).

Ketika Prabowo jadi Danjen Kopassus, PT Kobame mendapat kredit sindikat Rp
45 milyar dari BRI dan Bank Pelita (milik kel. Djojohadikusumo) untuk
membangun proyek-proyek properti di daerah Cinjantung. Selain itu, PT Kobame
juga berusaha mengambilalih 50% saham Hotel Horison (EBRI, 18 Juni 1997;
Siar, 10 Des. 1997). Tidak jelas siapa ketua yayasan itu, setelah menantu
Suharto naik pangkat (jadi letjen) dan jabatan (jadi Pangkostrad). Namun
jelas, sebagai bekas pimpinan Kopassus, dia pasti ikut menikmati bisnis
yayasan ini.

Yayasan Veteran Integrasi Timor Timur dibentuk oleh Gubernur "boneka" Timor
Leste, Jose Abilio Osorio-Soares, sekitar bulan September 1994. Yayasan
inipun telah dimanfaatkan untuk promosi bisnis keluarga Suharto di Timor
Leste. Hanya dalam tempo 10 menit, Titiek Prabowo berhasil mengumpulkan
sumbangan Rp 210 juta bagi yayasan itu, dalam Lokakarya dan Temu Usaha
se-Nusa Tenggara dan Timor Leste, September 1994, di Dili. Sumbangan para
pengusaha itu menanggapi himbauan Titiek dalam jamuan makan malam di rumah
gubernur, konon untuk menghargai perjuangan para keluarga veteran pejuang
"integrasi".

Penyumbangnya: Titiek Prabowo sendiri (Rp 50 juta); wakil perusahaan kayu &
ikan Djajanti Group, di mana Sudwikatmono menjadi presiden komisaris (Rp 50
juta); serta wakil-wakil Sucofindo, Texmaco, Modern Group, dan lima
perusahaan lain (Jawa Pos, 14 Sept, 1994).

Ternyata, dari semua penyumbang di malam dana itu hanya Titiek dengan
kelompok Maharaninya dan Marimutu Sinivasan dengan kelompok Texmaconya yang
sudah menanam modal di bumi Loro Sae. Keduanya berkongsi dengan Yayasan Hati
membangun pabrik tenunan Timor, PT Dilitex, bernilai US$ 575 juta.

Yayasan Hati, walaupun secara resmi dipimpin Gil Alves, menantu sang
gubernur boneka, sesungguhnya merupakan alat bisnis Titiek Prabowo juga.
Selain di pabrik tekstil PT Dilitex, puteri kedua Presiden Suharto itu juga
partner pabrik garam Yayasan Hati di Manatuto. Kedua pabrik baru itu
diresmikan Titiek di Dili, bulan Mei tahun lalu (Aditjondro, 1997a; Lema,
1997; EBRI, 5 Feb 1997: 34).

Setelah seorang komisaris kelompok Texmaco, Theo Sambuaga, diangkat Suharto
menjadi Menteri Tenaga Kerja selama 2 1/2 bulan, Titiek Prabowo jadi punya
akses ke Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI). Yayasan ini didirikan di
zaman Menteri Tenaga Kerja Awaluddin Djamin, untuk memonopoli atau
setidak-tidaknya memonitor bantuan luar negeri bagi pengembangan
serikat-serikat buruh di Indonesia. Sehingga ironisnya, Yayasan Friedriech
Ebert di Jerman terkenal radikal, dipaksa bermitra dengan satu serikat buruh
boneka. Semua bantuan FES untuk SPSI bin FBSI, harus disalurkan melalui
YTKI.

Yayasan pencari dana KONI, sudah dapat dipastikan tidak cuma akan mencari
dana bagi KONI, melainkan juga bagi keluarga Suharto. Baik melalui Titiek
Prabowo maupun melalui pamannya, Jenderal Wismoyo Arismunandar. Segera
sesudah terpilih sebagai Ketua KONI, akhir Januari 1995, ia memanggil 65
boss konglomerat, termasuk Liem Sioe Liong, Eka Tjipta Widjaja, Ciputra, dan
James Riady, untuk "urunan" bagi penyelenggaraan SEA Games. Maklumlah,
berkat menjadi ajudan Presiden, Wismoyo berhasil mengawini Datiet Siti
Hardjanti, adik almarhumah Nyonya Tien Suharto (Sinar , 4 Febr. 1995: 8-9,
25 Nov. 1995: 76; Forum Keadilan, 4 Des 1995: 39-40).

Wismoyo sekarang menjadi presiden komisaris perusahaan penerbangan Mandala
Airlines, yang dikuasai oleh Nusamba, Sigit Harjojudanto, dan Yayasan Darma
Putera Kostrad (Iklan Info-Bisnis, Nov 1994; Indo-commercial, 26 Jan 1995:
2). Karuan saja Bambang "dipercayai" untuk mengetuai konsortium bersama
kelompok Mulia dan Titiek Prabowo untuk membangun hotel, apartemen dan mall
di bekas lapangan tembak Senayan guna memanfaatkan pesta olahraga SEA Games
ke-19 di Jakarta, 11-19 Oktober lalu.

Sementara itu, Tutut "dipercayai" untuk mengelola armada taksi SEA Games
dengan 15000 mobil Proton Saga yang diimpornya di Malaysia, sedangkan
Bambang, juga dengan dalih untuk keperluan SEA Games ke-19, diizinkan
mengimpor 615 mobil mewah, tanpa membayar bea masuk.

Lalu, berbulan-bulan sesudah SEA Games selesai pun, konsorsium yang dipimpin
Bambang Trihatmodjo dan Bambang masih diizinkan "memajak" uang rakyat lewat
stiker SEA Games, tanpa pertanggungjawaban terbuka (Swa, 24 April-7 Mei
1997: 94-96; Kontan , 23 Juni 1997; D & R , 8 Nov. 1997: 98-99; Siar, 7 & 10
Okt 1997). Itulah enaknya punya paman jadi Ketua KONI.

Yayasan Dharma Putera Kostrad:
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

Sedikit catatan juga perlu diberikan tentang Yayasan Kesejahteraan Sosial
Dharma Putera Kostrad (YDP Kostrad), yang selama 2 1/2 bulan terakhir
dikuasai Letjen Prabowo Subianto sebagai Pangkostrad. Yayasan inilah 'kapal
keruk duit' pertama bagi Suharto di awal Orde Baru, di masa transisinya dari
Pangkostrad menjadi Presiden penuh (Aditjondro, 1998).

Ketua harian YDP Kostrad mula-mula adalah Brigjen Sofyar, Kepala Staf
Kostrad waktu itu, yang juga "terpilih" sebagai Ketua KADIN Indonesia.
Sesudah Sofyar meninggal tahun 1973, jabatan itu dialihkan Suharto kepada
Jenderal Suryo Wiryohadipuro, salah seorang Aspri Presiden waktu itu.

Walaupun resminya Suryo menjabat sebagai ketua harian YDP Kostrad,
pengelolaan bisnis kelompok perusahaan itu berangsur-angsur dipercayakan
Suharto pada Sofyan Wanandi. Sofyan adalah tangan kanan Jenderal Sudjono
Humardani, yang juga Aspri Presiden Suharto. Maka masuklah Sudjono
Humardani, dua orang puteranya, Djoko dan Salim, dan seorang menantunya,
Saso Sugiarso, ke dalam perusahaan-perusahaan kelompok itu, yang pada
awalnya bekerjasama erat dengan Yayasan Kartika Eka Paksi, pemilik kelompok
perusahaan Tri Usaha Bhakti (Truba).

Juga isteri dan anak Jenderal Ali Murtopo, Aspri Presiden yang lain, masuk
menjadi komisaris sebagian perusahaan Pakarti Yogya. Maklumlah, tangan
kanan Ali Murtopo adalah Jusuf Wanandi, abang si Sofyan. Mereka berdua
adalah agen Operasi Khusus (Opsus), operasi klandestin yang dikomandoi Ali
Murtopo untuk merebut Irian Barat, mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia,
kemudian memenangkan pengangkatan Suharto menjadi Presiden penuh dalam SU
MPR 1967. Terakhir dipakai untuk memantapkan kemenangan Golkar dalam Pemilu
1971 serta melumpuhkan semua partai lain.

Sementara itu, pembagian rezeki bagi keluarga Jenderal Suryo, tidak
dilupakan. Seorang menantunya, Adiwarsito Adinegoro, juga turut dalam
delapan perusahaan milik Kostrad. Sedangkan seorang anak Jenderal Suryo
sendiri, Tony Suryo, dilibatkan dalam kelompok bisnis Astra, dan menjadi
tangan kanan Edward Surjadjaja dalam kelompok Summa. Dengan kata lain, pada
awalnya Sofyan Wanandi dan banyak pengusaha keturunan Cina lain pendukung
Suharto, sengaja melibatkan para jenderal dan keluarga mereka dalam inner
circle bisnis keluarga Suharto, untuk memantapkan dukungan rezim ini pada
kepentingan ekonomi mereka.

Di tangan Sofyan Wanandi itulah bisnis kelompok Kostrad -- yang lebih
dikenal dengan nama kelompok Pakarti Yogya -- berkembang dengan pesat,
dengan dukungan dari kelompok Salim dan konglomerat-konglomerat lain,
seperti kelompok Mantrust, Bank Panin, BUN, dan lain-lain.

Misalnya, Bank Windu Kencana, prakteknya adalah usaha patungan antara
Kostrad dan Liem Sioe Liong, walaupun menurut akte notarisnya adalah milik
YDP Kostrad, Yayasan Trikora, dan Yayasan Jayakarta. Pabrik perakitan
Volkswagen, yang dirampas Kostrad dari Piola Panggabean, dan berganti nama
menjadi PT Garuda Mataram, adalah kongsi antara Kostrad dan kelompok
Mantrust. Bahkan dalam PT Toyota Astra Motors, agen tunggal mobil Toyota di
Indonesia, YDP Kostrad memiliki 7,5% saham. Juga dalam agen sepeda motor
Honda, PT Federal Motors yang anak perusahaan Astra juga, YDP Kostrad punya
saham (TBN RI tgl. 18 Juni 1968 No. 49; Shin, 1989: 258-261, 266, 335, 411;
Robison, 1990: 262-263, 282, 288; Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990: 27).

Lama-lama, Sofyan mulai mengembangkan kelompok perusahaan yang didominasi
keluarga Wanandi, yang lebih dikenal dengan nama kelompok Gemala, yang di
tahun 1993 terdiri dari 32 perusahaan dengan omset lebih dari Rp 1,2 trilyun
setahun (Prospek , 13 Agustus 1994: 20). Perusahaan-perusahaan Kostrad
sendiri semakin terlantar, apalagi setelah VW semakin disaingi mobil-mobil
Eropa, AS, Jepang, dan Korea yang diageni kelompok Salim serta bisnis
keluarga Suharto yang lain (Chalmers, 1988).

Dalam dasawarsa terakhir, kelompok Nusamba dan bisnis keluarga besar Suharto
lainnya mulai masuk menguasai berbagai perusahaan yang dulu didominasi
Kostrad. Di tahun 1970, akte notaris PT Bogasari menentukan bahwa 26%
keuntungan pabrik penggilingan terigu itu harus harus dibagi rata antara YDP
Kostrad dan Yayasan Harapan Kita. Tujuh tahun kemudian, akte notaris
Bogasari direvisi. Nyonya Bustanil Arifin, yang masih kerabat Nyonya Tien
Suharto, masuk menjadi pemegang 21% saham Bogasari. Dialah yang berhak
menentukan pembagian keuntungan pabrik terigu raksasa itu untuk
yayasan-yayasan sosial. Jadi, lenyaplah "jatah" otomatis YDP Kostrad
sebesar 13% itu (Shin, 1989: 268, 354).

Kemudian, seperti yang sudah disinggung di atas, maskapai penerbangan PT
Mandala Airlines, kini dikuasai Nusamba (45%) dan Sigit Harjojudanto (15%),
sehingga saham PT Dharma Putera Kencana (a/n YDP Kostrad) tinggal 40%.
Mandala juga telah mengangkat Jenderal Wismoyo Arismunandar, adik ipar
Nyonya Tien Suharto, sebagai Presiden Komisaris. Masuknya pemegang saham
baru juga memperkuat otot operasi Mandala, dengan membeli dua pesawat Boeing
737 bekas milik maskapai penerbangan Jerman, Lufthansa (Indocommercial , 26
Jan. 1995: 1-2).

Kendati demikian, YDP Kostrad masih tetap bertahan sebagai pemegang saham
sejumlah perusahaan lain yang tergolong basah, misalnya pabrik karung
plastik Pertamina, PT Karuna, bersama dua yayasan TNI/AD yang lain (Prospek
, 16 Febr. 1991: 9).

Yayasan para besan dan kerabat:
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

Dalam kelompok yayasan para besan dan kerabat, tercatat tiga yayasan yang
dipimpin anggota keluarga Kowara, yakni (60) Yayasan Pembangunan Jawa Barat,
(61) Yayasan 17 Agustus 1945, dan (62) Yayasan Pendidikan Triguna yang
ketiga-tiganya berafiliasi ke mendiang Eddi Kowara Adiwinata, ayah mertua
Tutut, serta Nyonya Eddi Kowara (iklan dukacita Suara Merdeka, 23 Jan 1995 &
Jawa Pos, 7 Maret 1996).

Lalu, ada tiga yayasan yang dipimpin anggota keluarga Djojohadikusumo, yakni
(63) Yayasan Pralaya Loka, yang diketuai Nyonya Dora Sigar-Djojohadikusumo,
yang berniat mendirikan krematorium canggih di Cikarang, Jawa Barat, (64)
Yayasan Dana Mitra Lingkungan, serta (65) Yayasan Balai Indah yang diketuai
Hashim Djojohadikusumo, yang dibentuk untuk menggalakkan ekspor barang dan
jasa Indonesia ke negara-negara bekas Uni Soviet (Kontan, 23 Juni 1997;
Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990: 31).

Yayasan Dana Mitra Lingkungan yang dirintis Profesor Sumitro
Djojohadi-kusumo, sangat dikenal di lingkungan organisasi non-pemerintah
(ornop) lingkungan seperti WALHI, karena banyak membantu kegiatan pendidikan
lingkungan, tanpa melakukan oposisi terbuka terhadap rezim Suharto. Sumber
dananya kebanyakan dari maskapai multinasional Barat yang beroperasi di
Indonesia, seperti BAT (British American Tobacco), Chevron, Texaco, dan
lain-lain.

Kemudian, dalam kelompok yayasan para kerabat Suharto dan isterinya di Solo
dan Yogya termasuk (66) Yayasan Mangadeg, (67) Yayasan Pendidikan Grafika,
dan (68) Yayasan Kesejahteraan dan Sosial Sahid Jaya, yang ketiganya
diketuai Sukamdani Gitosarjono, saudara sepupu Nyonya Tien Suharto, (69)
Yayasan HIPMI Jaya, (70) Yayasan Suryasumirat, (71) Yayasan Aji Kinasih
Kencana, (72) Yayasan Puteri, (73) Yayasan Ngadi Saliro-Ngadi Busono, (74)
Yayasan Kinasih, serta (75) Yayasan Kemusuk Somenggalan yang dikelola
kerabat Suharto di Dukuh Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu,
Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Soal Yayasan Mangadeg dan Yayasan Kemusuk Somenggalan akan dijelaskan di
bagian tersendiri, jadi marilah kita tinjau yayasan-yayasan kerabat Suharto
yang lain. Yayasan Kesejahteraan dan Sosial Sahid Jaya, dibentuk dan
diketuai Sukamdani Gitosarjono untuk mengelola Universitas Sahid dan Akademi
Perhotelan Sahid, serta membantu beberapa perguruan tinggi lain di Indonesia
(InfoBisnis , Juli 1994: 13).

Selanjutnya, Yayasan HIPMI Jaya melibatkan putera keempat Sukamdani
Gitosardjono, Haryadi Budisantoso Sukamdani, 43, alias "Aik". Yayasan ini
dibentuk oleh para pengurus dan bekas pengurus Himpunan Pengusaha Muda
Indonesia cabang Jakarta Raya, termasuk "Aik". Yayasan ini termasuk salah
satu pemegang saham PT Info Jaya Abadi, penerbit majalah Info Bisnis .

Sebelum punya SIUPP, majalah bisnis yang waktu itu langsung diterbitkan oleh
HIPMI Jaya sudah beredar bebas di toko buku dan agen koran & majalah di
kota-kota besar di Indonesia, walaupun Info Bisnis merupakan majalah
intern HIMPI Jaya. Peredaran secara komersial ini bertentangan dengan
peraturan pemerintah tentang penerbitan khusus yang hanya punya STT (Surat
Tanda Terdaftar), dan banyak majalah mahasiswa dan ornop yang telah ditegur
dan dicabut STT-nya karena dianggap melanggar peraturan ini.

Bulan April 1995, setelah PT Info Jaya Abadi terbentuk, majalah itu
memperoleh Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP). Kontan penerbit majalah Info
Bisnis itu menjual sahamnya kepada keluarga besar HIPMI, tanpa mencatatkan
sahamnya di Badan Pengawas Pasar Modal (Kompas , 10 April 1995;Forum
Keadilan , 29 Sept. 1994: 83).

Hal ini juga bertentangan dengan peraturan pemerintah. Namun presedennya
sudah ada, yakni penjualan saham penerbit harian Republika kepada semua
orang (Muslim) yang berminat. Termasuk Suharto. Selain itu, pejabat mana
yang berani, atau mau menegur penerbit majalah Info Bisnis itu, yang
hampir semuanya termasuk pengusaha anak pejabat?

Yayasan Suryasumirat yang didirikan dengan Keppres No. 7/1991, mendapat
rezeki nomplok berupa sebagian kekayaan dana milik Puro Mangkunegaran.
Berdasarkan Keppres itu, yayasan ini ditugaskan mengelola aset
Mangkunegaran. Termasuk dana Rp 3 milyar yang dihibahkan pemerintah kepada
kaum kerabat keraton dari mana Nyonya Tien Suharto berasal. Dana itu
disimpan dalam bentuk deposito atas nama yayasan itu di bank yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan. Dalam Keppres itu juga ditegaskan bahwa yayasan
itulah yang berhak mengelola dan memanfaatkan seluruh hasil deposito
tersebut.

Menurut Agus Sudono, bekas ketua FBSI, yang menjabat sebagai Ketua Harian
Yayasan Suryasumirat, dana hibah dari pemerintah itu disimpan di BDN
Manggala Wanabakti, Jakarta. Yayasan ini memanfaatkan bunga simpanan
sebagian besar (65%) untuk membiayai Puro Mangkunegaran, 5% untuk keperluan
Himpunan Kerabat Mangkunegaran Suryasumirat (HKMNS), 12% untuk biaya
operasional Yayasan Suryasumirat, dan 18% untuk cadangan keperluan mendadak.
Pengeluaran terbesar, menurut Agus Sudono, adalah untuk membiayai
pengelolaan Puro Mangkunegaran, yakni rata-rata Rp 17,5 juta per bulan. Itu
hanya untuk menggaji para karyawan, dan belum termasuk honor Sudjiwo,
sebagai pengageng puro (Sinar , 19 Sept. 1994: 27).

Lewat isterinya, Tommy Suharto, kini juga berhak ikut mengelola Puro
Mangkunegaran maupun Yayasan Suryosumirat. Soalnya, Ardhia Pramesti Regita
Cahyani Suryobandoro alias Tata, yang baru dinikahinya Mei tahun lalu,
termasuk kerabat Mangkunegaran.

Menurut pengamat Indonesia, Michael Vatikiotis, sesungguhnya sudah ada
rencana terlebih dahulu untuk mengawinkan salah satu anak Suharto dengan
kerabat Mangkunegaran. Di akhir 1980s, menurut kabar-kabar angin yang
diterima koresponden Far Eastern Economic Review itu, ada usaha
menjodohkan putera mahkota Mangkunegaran, Pangeran Jiwo, dengan anak
perempuan Suharto yang termuda, Mamiek. Namun karena usaha ini tidak
berhasil, dan Pangeran Jiwo sudah punya seorang putera dari perkawinannya
dengan Sukmawati Sukarnoputri, Suharto kabarnya memerintahkan supaya Jiwo
tidak memakai gelar Mangkunegoro X, setelah dia dinobatkan di bulan Januari
1989.

Campur tangan keluarga Suharto, khususnya Nyonya Tien, yang hanya seorang
bangsawan pinggiran di keraton Mangkunegaran, yang berusaha menaikkan
statusnya dengan membangun kompleks kuburan mewah Mangadeg, dekat kompleks
kuburan raja-raja Mataram (Solo dan Yogya) di Imogiri, kabarnya sangat
menjengkelkan kalangan bangsawan Jawa Tengah. Ironisnya, Suharto sendiri
selalu sibuk menggarisbawahi asal-usulnya dari kalangan rakyat bawah
(Vatikiotis 1994: 10-11).

Yayasan para kerabat berikutnya adalah Yayasan Aji Kinasih Kencana, yang
didirikan dan dipimpin oleh Djoko Ramiadji. Putera Nyonya Mooryati Soedibyo,
pakar jamu dan kosmetika tradisional asal Solo itu, pernah menjadi direktur
teknik dan operasi PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP), perusahaan
jalan-jalan tol Tutut. Kini Djoko Ramiadji telah membentuk konglomerat
keluarganya sendiri, yakni kelompok Drassindo. Dengan dana awal sekitar Rp
400 juta, yang disisihkan dari keuntungan perusahaan (kelompok) dan kantor
pribadi sang direktur, yayasan itu antara lain menyantuni penderita sakit
yang keluarganya tidak mampu.

Walaupun sudah berpisah dari kelompok CMNP, bisnis kelompok Drassindo ini
masih erat kaitannya dengan bisnis keluarga Suharto, yakni pembangunan dan
pengoperasian jalan-jalan tol. Selain itu, kelompok Drassindo menjadi
partner Hotel Sheraton berbintang lima yang dibangun dekat bandara Adi
Sutjipto, Yogya.

Mustika Princes Hotel berlantai tujuh, dari mana orang dapat memandang ke
lereng Gunung Merapi, bakal diuntungkan oleh berbagai mega-proyek keluarga
Suharto. Mulai dari pembangunan bandara Adi Sumarno, Solo (bekerjasama
dengan bandara Schiphol, Belanda) serta pembangunan jalan tol Solo-Yogya
sepanjang 38 Km oleh PT Citra Lamtoro Gung Persada-nya Tutut, sampai dengan
pembangunan Merapi Golf and Mountain Resort milik Sudwikatmono,
Probosutedjo, Sukamdani, dan Azwar Anas (Wisnu, 1998; Forum Keadilan, 1
Sept. 1994: 38, 1 Juli 1996: 74-75;Bernas, 7 Okt. 1994; Tiras , 14 Sept.
1995; Kontan , 7 Okt. 1996: 24, 31 Maret 1997: 30; Warta Ekonomi, 2 Des
1996: 12-13; Swa, 5-18 Juni 1997: 47, 25 Sept.-8 Okt. 1997: 98-99).

Yayasan Aji Kinasih Kencana hanyalah salah satu di antara berbagai yayasan
keluarga Mooryati Soedibyo yang erat hubungannya dengan keluarga besar
Suharto. Dua yayasan lain, yakni Yayasan Puteri dan Yayasan Ngadi Saliro dan
Ngadi Busono, diketuai sendiri oleh sang direktur perusahaan jamu
tradisional Jawa, PT Mustika Ratu. Berkat kedekatannya dengan Nyonya Tien
Suharto (alm.), Yayasan Puteri praktis memegang monopoli penyelenggaraan
kontes ratu di Indonesia, sekaligus menjadi counterpart Miss Universe.

Dalam posisi sebagai ketua yayasan-yayasan itu, Nyonya Mooryati Soedibyo
juga berhasil bertemu Nyonya Hillary Clinton di Istana Negara, tanggal 14
November 1994. Juga audiensi dengan Ibu Negara Filipina dan Korea Selatan di
tahun itu juga merupakan kesempatan promosi jamu kecantikan puteri-puteri
keraton Solo buatan PT Mustika Ratu (iklan Femina , 25-31 Mei 1994).

Nyonya Tien Suharto sangat senang mempromosikan perusahaan jamu kencantikan
dari Solo itu. Maklumlah, almarhumah adalah sahabat lama juragan jamu itu
sejak masa kecil mereka di Solo, sehingga menganggapnya seperti keluarga
sendiri. Ketika KRMH Ir. Soedibyo Purbo Hadiningrat, suami milyarder jamu
itu meninggal dunia, tanggal 6 Januari yang lalu, almarhum juga dikuburkan
di pemakaman keluarganya di Tapos, dekat kompleks peternakan keluarga
Suharto (Forum Keadilan , 26 Jan. 1998: 80).

Makanya tak mengherankan kalau bisnis anak-anak kedua keluarga itu pun
tumpang tindih, atau sedikitnya bersinerji satu sama lain. Paling tidak,
jalan-jalan tol kelompok Drassindo ikut menikmati kenaikan tarif jalan tol
yang berulang kali digolkan oleh kelompok Tutut, walaupun ditentang oleh
sejumlah anggota DPR-RI dari fraksi Pembangunan maupun fraksi lain.

Persahabatan Djoko Ramiadji dan Tutut juga mempererat hubungan keluarga
Suharto dengan kerabat keraton Pakubuwono, sebab Nyonya Mooryati Soedibyo
Poerbohadiningrat adalah putri Pakubuwono X (Sinar , 3 Des. 1994: 31-32).
Ini menambah kuatnya tancapan kuku keluarga Suharto di daerah Solo, atau di
Jawa Tengah pada umumnya, di mana semangat feodal masih kuat berakar di
kalangan rakyat kecil maupun birokrat.

Selanjutnya, Yayasan Kinasih, yang patut dicatat sebagai instrumen Suharto
untuk memelihara simpati umat Nasrani. Yayasan ini milik Radius Prawiro,
yang masih saudara sepupu Nyonya Tien Suharto. Yayasan yang sehari-hari
dikelola Nyonya Radius Prawiro ini memiliki perkebunan anggrek di Ciawi,
Bogor, peternakan ayam di Jawa Timur, Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Widuri, dan
Wisma Kinasih di Jawa Barat (Warta Ekonomi , 29 Okt. 1990: 27; sumber-sumber
lain).

Karena kedekatannya dengan para pengurus Dewan Gereja-Gereja di Indonesia
(DGI), Wisma Kinasih sering menjadi tempat penyelenggaraan
pertemuan-pertemuan DGI, yang kemudian berganti nama menjadi PGI
(Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia). Wisma Kinasih juga cukup dikenal
civitas academica berbagai universitas Kristen di Indonesia, di mana Radius
duduk sebagai anggota atau pimpinan dewan penyantunnya.

Radius-lah yang berjasa "menyelamatkan" Sinar Harapan dari tangan Harmoko,
Sudwikatmono, Titiek Prabowo, dan Bambang Rachmadi (menantu Sudharmono),
ketika burung-burung kondor itu memperebutkan bangkai harian Kristen itu
yang dibreidel Harmoko, tanggal 9 Oktober 1986 (Byrnes, 1986; sumber-sumber
lain).

Toh Radius, yang bulan-bulan lalu dipakai oleh Suharto dalam ofensif
diplomatik terhadap negara-negara Barat, hanya dapat bergerak sejauh
direstui suami saudara sepupunya. Misalnya, dalam kemelut pemecatan Arief
Budiman di Universitas Kristen Satya Wacana, anggota kehormatan Badan
Pengurus YPTKSW itu tak mampu memaksa pengurus Satya Wacana mencabut
pemecatan perintis Program Pascasarjana Studi Pembangunan UKSW itu.

Soalnya, Radius tak mau menyulitkan bisnis anak-anaknya. Padahal, Arief
Budiman waktu itu dikenal sebagai pengecam konglomerat paling top di UKSW,
sementara Mochtar Riady, boss Lippo Group duduk di badan pengurus yayasan
perguruan tinggi swasta itu. Apalagi Lippo telah menyumbang pembangunan
kapel, sebagai imbalan bagi hak membuka kantor cabang bank swasta
satu-satunya di lingkungan kampus itu.

Maklumlah, konglomerat Kariza Group milik ketiga anaknya, Baktinendra, Tri
Putra Yusni, dan Pingkan Riani Putri, yang punya aset sebesar Rp 100 milyar
di tahun 1993, juga berbisnis dengan anak-anak Suharto. Misalnya, perkebunan
tebu PT Naga Mas seluas 25 ribu Ha di Kabupaten Gorontolo, Sul-Ut, dikelola
oleh Bakti Prawiro, berkongsi dengan Prajogo Pangestu, kawan bisnis Tutut
dan Bambang.

Selain itu, Ria Prawiro adalah komisaris PT Perdana Inti Investama, di bawah
PresKom Johannes Kotjo, bekas CEO kelompok Salim yang kini memutar sebagian
bisnis Bambang Trihatmodjo. Aset total pialang bursa saham itu tahun 1996
sudah bernilai Rp 0,6 trilyun. Ria juga direktur PT Kariza Indalguna,
pemegang hak waralaba perusahaan pengelola konferensi, Carrol Partners
International, yang memudahkan lobi bisnisnya dengan pengusaha top dan
kepala negara Asia-Pasifik. Omset kelompok Tri Megah yang dipimpinnya tahun
1996 mencapai Rp 157 milyar, No. 204 di antara 220 konglomerat terbesar di
Indonesia.

Melalui PT Rempah Jaya Lestari, kedua saudara Ria, Bakti dan Yusni pun ikut
dalam BPPC, oligopoli cengkeh Tommy Suharto, berkongsi dengan Oei Kurnia
Wijaya, pengusaha gula dan perkapalan asal Gorontalo (IEFR, 1997: 444-445;
Prospek , 6 Maret 1993: 20; Indonesia Business Weekly , 18 Juni 1993;Suara
Independen , Juli 1995: 22; Media Indonesia Minggu , 27 Agustus 1995; Down
to Earth , Agustus 1997: 15; Warta Ekonomi , 24 Nov. 1997: 36-37).

Yayasan-yayasan yang dikuasai Suharto melalui antek-anteknya, Habibie, Bob
Hasan, Sudomo, dan Joop Ave:
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

Dalam kelompok ketujuh termasuk yayasan-yayasan yang kini dikuasai secara
tidak langsung oleh Suharto melalui "presiden boneka", B.J. Habibie, lewat
lima jalur: teknologi, ICMI, para alumni Jerman, Sulawesi, dan Batam.

Pertama-tama, sejak 1984 Habibie menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina (76)
Yayasan Pengembangan Teknologi Indonesia. Yayasan ini selalu disebut-sebut
dalam berbagai biografi Habibie (Salam, 1987; Makka, 1986), tanpa uraian apa
sesungguhnya yang sudah dilakukan yayasan itu. Makanya sekaranglah saatnya
meminta pertanggungjawaban yayasan, yang mungkin sudah mendapatkan sejumlah
uang rakyat dari BPPT atau badan lain yang dikuasai Habibie. Apalagi
mengingat bahwa dana reboisasi pun dapat dimanfaatkan Habibie untuk pabrik
pesawat terbangnya, dengan restu bekas Presiden Suharto.

Kedua, sebagai bekas Ketua Umum ICMI, jabatan yang secara resmi belum
diganti lewat sebuah kongres, Habibie masih dapat menggunakan berbagai organ
ICMI untuk memobilisasi dukungan bagi Suharto. Makanya, lewat ICMI, yang
kini dipimpin bekas koruptor Bulog, Achmad Tirtosudiro, orang kepercayaan
Suharto sejak zaman Kolognas yang sama korupnya (Crouch, 1988: 278-281),
Suharto menguasai (77) Yayasan Abdi Bangsa, pemilik PT Abdi Bangsa yang
menerbitkan harian Republika dan majalah Ummat, di mana Suharto menjadi
pelindung, (78) Yayasan Amal Abadi Beasiswa Orangtua Bimbing Terpadu (ORBIT)
yang diketuai dr. Nyonya Hasri Ainun Habibie, dan (79) Yayasan Dompet Dhuafa
Republika (Prospek , 19 Des. 1992: 34).

Peranan dan kekayaan kedua yayasan terakhir ini tak dapat diremehkan, dan
sangat terkait dengan yayasan-yayasan yang dikuasai Suharto secara langsung.
Di kalangan wartawan Muslim di Jakarta, Yayasan Orbit cukup dikenal, karena
yayasan itu dapat memberi rekomendasi potongan harga tiket pesawat dan
berbagai kemudahan lain.

Di awal 1996, Yayasan Orbit telah berhasil mengisi koceknya sejumlah dua
milyar rupiah dengan merogoh kas semua bank pemerintah (Bapindo, BRI, Bank
Exim, BDN, BBD, BTN, dan BNI 46), serta sejumlah bank swasta, yakni Bank
Anrico (yang baru saja dibubarkan), Bank Bukopin, Bank Intan, Bank
Muamallat, Bank Nasional, Bank Nusa, dan Bank Papan Sejahtera. Di awal 1996
itu, kerjasama sedang dijajaki dengan sepuluh bank swasta lain, seperti Bank
Angkasa, Bank Duta, Bank Danamon, Bank Dwipa, BCA, BII, Bank Lippo, Bank
Universal, Bank Victoria, dan Bank Umum Nasional (Jawa Pos , 24 April 1996;
Forum Keadilan , 1 Jan. 1996: 107).

Seperti yang kita ketahui, BCA, Bank Danamon, Bukopin, Bank Duta, BUN, Bank
Papan Sejahtera, dan Bank Universal, dikuasai oleh klik Suharto melalui
keluarga Liem Sioe Liong, tiga anak Suharto (Tutut, Sigit, dan Titiek), Bob
Hasan, dan keluarga Djojohadikusumo. Makanya, semakin banyak tumpah tindih
kekayaan yayasan Suharto yang satu dengan yang lain, melalui kegiatan
pencarian dana Yayasan Orbit ini.

Yayasan Dompet Dhuafa Republika, lebih kaya lagi, karena di tahun 1996
yayasan ini telah berhasil meraup fulus sebesar Rp 4 milyar dari sejumlah
donor yang tak diidentifikasi (Forum Keadilan , 8 Sept. 1997: 97).

Kekuasaan Habibie -- sebagai tangan kanan Suharto -- di yayasan-yayasan ICMI
sangat besar. Dialah yang mencoret Parni Hadi dari jabatan Direktur Produksi
PT Abdi Bangsa, dan menggolkan Beddu Amang yang juga Bendahara ICMI dan
Ketua Presidium KAHMI (Keluarga Alumni HMI), menjadi komisaris perusahaan
penerbit harian Republika itu, sekaligus Ketua Yayasan Abdi Bangsa. Dengan
demikian, klik pendukung Suharto di lingkungan ICMI juga semakin solid.
Sebab Beddu Amang juga komisaris perusahaan keluarga Bustanil Arifin, PT
Bormindo Nusantara, bersama A.R. Ramly yang juga salah seorang komisaris PT
Astra International (Jakarta Post, 18 Febr. 1994;Forum Keadilan , 8 Sept.
1997: 97).

Kemudian, lewat Habibie sebagai patron para sarjana lulusan Jerman, Suharto
akan semakin kuat mempengaruhi (80) Yayasan Bina Bhakti (YBB). Yayasan ini
didirikan di bulan Oktober 1977 oleh para alumni Jerman, yang pada awalnya
bertujuan membantu realisasi program re-integrasi. "Untuk mempermudah
mahasiswa kita yang studi di Jerman mengabdikan dirinya untuk negara,
sekembalinya ke tanah air," begitu ujar Lilik D. Susbiantoro, Ketua Dewan
YBB pada majalah Prospek , 6 Oktober 1990.

Dalam upaya membantu proses reintegrasi itu, YBB menyajikan sejumlah tawaran
bagi para alumni Jerman, a.l. menghubungkan mereka dengan perusahaan atau
instansi yang membutuhkan tenaga dan keahlian mereka. Lantas, Business
Circle YBB, menurut ketuanya, Faisal Djalal, merupakan wadah para alumni
Jerman yang terjun ke dunia wiraswasta (Prospek , 9 Okt. 1990: 33).

Lalu, lewat Habibie sebagai putera Sulawesi, khususnya Sulawesi Utara,
Suharto dapat meraih simpati masyarakat propinsi itu lewat (81) Yayasan
Pengembangan Wallacea. Yayasan ini, selain didukung Habibie, juga didukung
Ibnu Sutowo, ketua umum yayasan itu. Salah satu "proyek" yayasan ini adalah
pendirian sebuah universitas di ibukota kabupaten Bolaang-Mongondow, sebagai
pusat riset kawasan fauna dan flora Wallacea yang terwakili di Taman
Nasional Nani Bogane Wartabone seluas 325 ribu Ha (Teknologi, Des. 1994: 74;
sumber-sumber lain).

Akhirnya, lewat kekuasaan keluarga Habibie di Pulau Batam, keluarga Suharto
juga dapat 'kecipratan' monopoli pengelolaan rumah sakit dan sekolah-sekolah
di pulau itu. Monopoli tidak resmi ini dipegang oleh (82) Yayasan Keluarga
Batam, yang diketuai Nyonya Sri Rejeki Habibie, adik B.J. Habibie yang
menikah dengan Mayor Jenderal (Purn.) Sudarsono Dharmo-suwito. Bekas kepala
BIDA (Batam Industrial Development Authority) (1978 -1988) yang bernaung di
bawah Otorita Batam, yang masih menjabat sebagai Ketua KADIN Batam yang
kekuasaannya secara politis melebihi Camat.

Ketua Otorita Batam sendiri, sejak B.J. (Rudy) Habibie diangkat menjadi
Wakil Presiden, dilimpahkan kepada adiknya, J.E. (Fanny) Habibie. Bekas
Dubes RI di London itu sebelumnya menjabat sebagai Dirjen Perhubungan Laut
di masa tragedi Tampomas II tahun 1981, yang menenggelamkan
sekurang-kurangnya 800 orang (Tempo, 21 Febr, 1981: 13;Kompas , 27 Maret
1998).

Yayasan lain yang beroperasi di Pulau Batam, yang saya duga punya kaitan
dengan keluarga Habibie adalah (83) Yayasan Merah-Putih. Bulan Oktober 1995,
yayasan itu menyelenggarakan turnamen golf piala Nyonya Tien Suharto di
pulau itu. Alasannya adalah untuk mempererat kerjasama antara Indonesia,
Singapura, dan Malaysia.

Akhirnya, jangan kita lupa (84) yayasan pengelola Poliklinik Baruna yang
diasuh bekas aktivis mahasiswa 1974, dokter Hariman Siregar. Pelindung
poliklinik itu adalah Fanny Habibie, kakak kandung Rudy Habibie. Berkat
kedekatannya dengan pusat kekuasaan ini, Hariman seringkali dimanfaatkan
oleh para aktivis 1966, untuk membuat "deal" dengan kalangan militer.

Ketika polisi juga diperalat tentara dan Suharto untuk menyeret saya ke
pengadilan, beberapa tahun lalu, Ketua YLBHI waktu itu, Adnan Buyung
Nasution menawarkan saya untuk membuat "deal" dengan tentara, melalui
Hariman Siregar, supaya tuduhan "menghina aparat pemerintah" yang bakal
dikenakan Kejaksaan Tinggi DIY pada saya dapat didrop. Namun saya menolak
tawaran itu, dan berusaha lolos dari jaringan aparat pelacuran hukum di
Indonesia, dengan bantuan kawan-kawan akademisi di Australia.

Kembali ke yayasan-yayasan Habibie, yayasan-yayasan ini penting dibeberkan
laporan keuangannya secara terbuka, untuk membantu pemantauan kekayaan
keluarga Suharto. Soalnya, kekayaan kedua keluarga itu begitu
bertumpang-tindih. Baik di Batam dan pulau-pulau sekitarnya, misalnya di
Pulau Bulan, tempat operasi peternakan babi dan buaya serta perkebunan sayur
dan anggrek milik PT Sinar Culindo Perkasa yang mengekspor 10% kebutuhan
babi hidup kota Singapura. Pemegang saham perusahaan itu adalah Anthony
Salim, putera mahkota kelompok Salim, bersama Tommy Suharto, Timmy Habibie,
dan Harry Murdani, abang bekas panglima ABRI dan pembantai rakyat Timor
Leste, Jenderal (Purn.) Benny Murdani.

Di luar Batam, kelompok Timsco pimpinan Timmy Habibie, adik laki-laki Rudy
Habibie yang termuda, berkongsi dengan Tutut dalam bisnis telekomunikasi
lewat PT Citra Telekomunikasi Indonesia, PT Lucent Technologies, di bidang
pemetaan udara lewat PT Aerogeohydro Infosystem, dan dalam proyek raksasa
Manggarai (yang batal karena krisis moneter saat ini) lewat Konsorsium
Manggarai Permuka, di mana Timmy Habibie diikutsertakan lewat perusahaannya,
PT Suhamthabie Utama.

Timsco juga berkongsi dengan kelompok Bimantara, Salim, Sinar Mas, Barito
Pacific, dan Aneka Guna Kimia dalam sejumlah industri kimia dan agro-bisnis,
punya omset Rp 640 milyar di tahun 1995. Isteri Fanny Habibie juga pemegang
saham utama PT Timsco, sementara anak-anak dan beberapa orang saudara
kandung Rudy Habibie menguasai saham sejumlah anak perusahaan Timsco.
Kelompok itu kini terdiri dari sekitar 70 perusahaan.

Barangkali akibat kedekatan antara keluarga Suharto dan Habibie, Bob Hasan
termasuk pemegang saham paling awal di pulau itu, berpatungan dengan
maskapai AS McDermott International. Tidak cuma itu. Setelah kasino
Copacabana di Ancol ditutup, bulan April 1981, lantaran oposisi umat Islam,
seorang adik Nyonya Tien Suharto, Mayor Jenderal (Purn.) Ibnu Hartomo, bekas
Dirjen Bantuan Sosial Depsos, pernah mencoba membuka kasino baru di pulau
itu. Tapi karena oposisi dari Singapura, kasino itupun ditutup.

Kekuasaan keluarga Habibie atas peluang-peluang bisnis di Pulau Batam dan
IPTN kini sudah 'menurun' ke generasi kedua. Thariq Kemal Habibie, putera
bungsu Rudy Habibie, sudah menjadi presdir konglomerat keluarga Habibie yang
baru, Repindo Panca Group, yang berkantor pusat di Jakarta dengan cabang di
Braunschweig, Jerman. Untuk menarik dukungan ABRI, Ketua Fraksi ABRI di
DPR-RI waktu itu, Marsekal Udara Abu Hartono, diangkat menjadi Presiden
Komisaris Repindo Panca. Sang preskom itu sekarang bertugas sebagai Dubes RI
di Manila, dan aktif memantau satu seminar internasional tentang korupsi
yang dihadiri oleh sejumlah aktivis pers alternatif dari Indonesia.

Entah atas nama perusahaan yang mana, Thareq telah membangun Hotel Melia
Panorama di Pulau Batam, bersama saudara sepupunya, Harry Sudarsono.
Sementara isteri Timmy Habibie, memegang monopoli perusahaan taksi di Pulau
Batam. Batam memang merupakan "sorga" bagi keluarga besar Habibie, di mana
mereka telah membangun satu rumah peristirahatan yang mewah di atas bukit
Nongsa, lengkap dengan helipad segala, dari mana pemandangan ke kota
Singapura terlihat cantik.

Di luar Batam, Thareq Kemal Habibie juga telah mendapat kepercayaan IPTN dan
sejumlah konglomerat swasta untuk memimpin PT Prodin, yang punya
spesialisasi menyelenggarakan pameran-pameran dagang produk Indonesia,
khususnya pesawat terbang. PT Prodin ini merupakan konsorsium antara
berbagai konglomerat di Indonesia, seperti Salim, Sinar Mas, dan Bakrie
Bersaudara.

Ada lagi satu hubungan bisnis dan kekeluargaan baru yang telah terjalin
antara bisnis keluarga Suharto dan keluarga Habibie. Aziz Mochdar, adalah
salah seorang pemegang saham inti kelompok Bimantara, yang menguasai 30%
saham PT Aqualindo Mitra Industri, 30% saham PT Duta Nusabina Lestari, 25%
saham PT Montrose Pestindo Nusantara, 10% saham PT Kapsulindo Nusantara, 20%
saham PT Citra Servicatama, 20% saham PT Surya Citra Televisi (SCTV), 10%
saham PT Panji Rama Otomotif, serta 5% saham PY Bimagraha Telekomindo, yang
pada gilirannya merupakan pemegang saham PT Satelindo.

Sementara itu, Muchsin Mochdar, adik Aziz Mochdar yang baru menikah dengan
Siti Rahayu Fatimah, adik bungsu Rudy Habibie, sudah jadi konglomerat
sendiri dengan menguasai 14 perusahaan. Mereka mempunyai sebuah bengkel
mobil mewah dan perkebunan jeruk seluas 200 Ha di Australia, serta
rumah-rumah di Muenchen, Jerman, di mana mereka tinggal jika salah seorang
di antara anggota keluarga besar Mochdar-Habibie itu akan melahirkan anak.
Beberapa bulan yang lalu, mereka berlibur di Swiss setelah melakukan umroh ,
dengan menyewa beberapa chalet (rumah peristirahatan) sambil tetap melakukan
puasa.

Aziz Mochdar dan adik iparnya, Yayuk Habibie, sama-sama pemegang saham
perusahaan perjalanan kelompok Bimantara, yakni PT Nusa Tours & Travel.

Muchsin Mochdar adalah seorang duda yang berkenalan dengan Yayuk, pada saat
mengerjakan Jakarta Fair di Monas pada tahun 1980-an. Perusahaan pertama
yang ia dirikan adalah PT Citra Harapan Abadi yang bergerak di bidang
general contracting . Melalui perusahaan ini ia bersama Rocky Sukendar
(putera Suwoto Sukendar) dan Tommy Suharto membawa masuk kontraktor Korea,
Hyundai Engineering, untuk mengerjakan landas pacu bandara-bandara di
Indonesia. Bisnis mereka yang lain adalah ground handling bandara. Menurut
sumber saya di kalangan dalam, keuntungan yang mereka pungut selalu
dinaikkan lima kali lipat untuk kemudian dinegosiasi jadi empat kali lipat.

Kalau tidak percaya, silakan cek sendiri di kantor konsorsium mereka di
Jalan Irian di kawasan Menteng, di mana suami baru Yayuk Habibie berkantor
di gedung Mochdar Sendana Co., atau di kantor Yayuk Habibie di gedung baru
Group Perindo di Jalan Warung Buncit Raya, setelah ia pindah dari kantor
lamanya di Wisma Metropolitan I, dari mana ia beroperasi sebagai perwakilan
maskapai raksasa Jerman, Ferrostahl, yang banyak memupuk korupsi di
Pertamina dan Krakatau Steel.

Semua itu tadi, belumlah perusahaan-perusahaan yang dipegang oleh para
keponakan Habibie dari kakak perempuannya yang menikah dengan Jenderal
Subono Mantofani. Adrie, Syulie, dan Askar Subono serta Eddy Wirija masih
memegang sejumlah perusahaan lain, di luar Timsco dan Repindo Panca.
Untuk nepotisme Habibie dalam mengelola BPPT serta proyek-proyek yang
diawasi BPPT, silakan baca tulisan terbaru Prof. Jeffrey Winters dari
Northwestern University di Chicago, AS, yang baru ditulis di Jakarta, 1
Maret yang lalu:

"According to officials I interviewed at BPPT working on the team overseeing
the rich oil and gas deposits in the Natuna Sea (Mobil and Exxon are the
main partners with Indonesia in the venture), notifications went out late in
1996 for bids by contractors and engineering firms for work on the Natuna
project. By early 1997, all the tenders had been assessed and the winning
companies had already been selected and notified. The only remaining step
was that the companies had to complete their environmental impact studies,
as required by Indonesian environmental law.

The work of the Natuna team at BPPT was thrown into disarray when a letter
came down directly from B.J. Habibie instructing the team to involve
Thareq's company, PT Repindo [Panca], in the Natuna project. The problem
was, PT Repindo had not even participated in the tender, and the other
companies that had already been awarded the contracts were well aware of
this.

Trulyanti Sutrasno is the daughter of BJ Habibie's older sister. Known as
the "iron lady" of BPPT and, according to my sources inside the government
unit, "disliked by 99.99 percent of BPPT employees," Trulyanti was handed
the post of Deputy for Administration of BPPT. She is infamous for producing
inflated budgets for all BPPT operations she handles. Her office, as well as
several bureaus directly under her supervision - especially the Biro
Perencanaan (Bureau for Planning) - are collectively referred to by BPPT
employees as "The Mafia" for their activities, which, my sources report,
"consume most of BPPT's budget and technical activities."

Trulyanti's husband, Sutrasno, was awarded contracts running into the tens
of millions of dollars to furnish BPPT's new building, which was recently
completed. Sutrasno also owns the company awarded the contract to renovate
the old BPPT building. This was also worth many millions of dollars.

Leaving nothing to outsiders, Trulyanti and her husband also are major
shareholders in two catering companies, PT Amelia and PT Pasar Minggu, that
have exclusive contracts to cater all BPPT functions - from meetings, to
workshops, to seminars, to the employee's canteen."

Barangkali, yang belum dipantau Jeff Winters adalah makalah saya tentang
rencana PLTN Indonesia, yang saya tulis untuk konferensi Greenpeace
International dan INFID di Sydney, di hari ulangtahun bencana Chernobyl, dua
tahun lalu. Di situ saya menulis (Aditjondro, 1996), bahwa:

"Members of the Habibie 'clan' have also began to penetrate the Australian
market. For instance, BPPT's deputy chief for administration, Trulyanti
("Truly") Sutrasno, who also heads the agency's prestigious joint venture
with Australian major research institutions, COSTAI (Collaboration in
Science and Technology between Australia and Indonesia) (Teknologi , Jan.
195: 44-45), is also a niece of Rudy Habibie. This reflects the important
trust which the Minister has put in his niece, a psychologist, as well as
her husband. After his marriage Truly, Mohammad Ridwan, a young geology
engineer, obtained commissioner and director positions in some member
companies of the Timsco Group which is headed by the Minister's youngest
brother, Suyatim ("Timmy") Abdulrachman Habibie, and the wife of another
brother, Junus Effendi ("Fanny") Habibie (Wibisono, 1995: 32)."

Manipulasi jabatan Rudy Habibie untuk melindungi kakak kandungnya, Fanny
Habibie, dari pemeriksaan sehubungan dengan skandal Tampomas, yang merenggut
nyawa 775 manusia, sudah saya ungkapkan pula dalam makalah itu (Aditjondro,
1996), sebagai berikut:

"As Secretary to the Director General of Sea Communication, Fanny headed the
team that had purchased a 10-year old passenger ship, renamed the Tampomas
II , from its previous Japanese owner. This scandal might have not been
known publicly, if it had not sank in the Java Sea on January 27, 1981,
killing 775 of its 1154 passengers. This scandal was strongly covered up by
the government, despite demands from parliamentarians to investigate the
matter.

In a special hearing hold to discuss this matter, the Communication Minister
refused to show the parliamentarians a World Bank report which explained the
details of the purchase of the US$ 8.5 million junk ship. Also, despite a
promise from the Attorney General to the parliamentarians to take legal
actions about the reported malpractices, only five surviving crew members
were suspended by the Maritime Court, who were the only ones to be blamed
for the mishap (Indonesian Observer , Febr. 7-June 2, 1981; Independen , No.
10, 1995: 9).

A ship broker, Gregorius Hendra, who had fixed the deal between the former
Japanese owner and the Indonesian government, was eventually interrogated by
the Attorney General's staff. This previously unknown businessman seemed to
have had his own connections, because he had previously made a fortune from
selling landing crafts to the Indonesian Navy to be used in East Timor. That
was probably why he was let off the hook (Tempo , Aug. 15, 1981: 60-61).

Fanny himself came unharmed out of the Tampomas II scandal, was promoted
to become the Sea Communications Director General himself, where he made a
crucial decision to scrap all Indonesian-owned ships over 25 years and sold
to PT Krakatau Steel for fixed prices, considerably below the going
international rate (FEER, Sept. 15, 1988: 84). He eventually became
Indonesia's Ambassador to the UK, from where he helped to promote the
family's business interests, until his term ended last year."

Orang inilah yang sekarang menggantikan posisi Rudy Habibie, sebagai kepala
Otorita Batam. Bayangkan, manipulasi apa lagi yang akan dilakukannya, kalau
Habibie kita biarkan berkuasa.

Akhirnya, "KKN" (korupsi, kolusi, nepotisme) Habibie juga terlihat dari
pengangkatan besan kakaknya, Mayor Jenderal (Purn.) Zein Maulani, menjadi
staf ahlinya. Olga, anak Jenderal Zein Maulani yang staf ahli Habibie itu,
menikah dengan Cipto, anak Jenderal Sudarsono Dharmosuwito, "boss" bisnis di
Pulau Batam. Ini semakin mempererat hubungan bisnis antara keluarga Maulani
dengan keluarga Habibie.

Seorang menantu Maulani, Eko (suami anak ketiga) berbisnis dengan Nugi, anak
Fanny Habibie yang kini jadi kepala Otorita Batam menggantikan adiknya.
Ironisnya, dulunya klan Habibie tidak merestui perkawinan Olga dengan Cipto,
namun setelah jadi Wakil Presiden dan kemudian ketiban pulung jadi Presiden,
Rudy Habibie berbalik merangkul jenderal purnawirawan yang terkenal cerdas
dan kritis ini, bahkana ikut mengfasilitasi "perkawinan bisnis" antara
keluarga besar Habibie dengan keluarga besar Maulani.

Penyakit nepotisme itu memang sudah lama menghinggapi diri Zein A. Maulani.
Ketika ia masih menjadi Sekjen Departemen Transmigrasi di bawah Siswono Yudo
Husodo, yang "kebetulan" diangkat jadi Kakanwil Transmigrasi Sulawesi
Selatan adalah seorang duda yang menikah dengan adik perempuan Maulani.
Walhasil, perusahaan Eko dan Nugi banyak mendapat proyek transmigrasi di
Sul-Sel, di samping proyek-proyek dermaga berkat koneksi dengan Fanny
Habibie yang waktu itu masih Dirjen Perhubungan Laut.

Di masa itu pula putera sulung Zein, Haryogi Maulani, yang mulai membangun
kelompok Balisani dengan menggarap "lahan tidur" milik transmigran di
Sum-Sel, kemudian merambah ke perkebunan kepala sawit dan bisnis perhotelan
di Bali dan Fiji, sehingga pada usia 31 tahun konglomeratnya sudah punya
aset bernilai Rp 800 milyar.

Nepotisme itu "ditebus" dengan "upeti" Maulani dan Siswono pada Suharto,
berupa pemberian proyek penggarapan lahan tidur transmigran seluas 80 ribu
Ha kepada sang cucu tercinta, Ari Haryo Wibowo.

Bisnis perusahaan Eko dan Nugi yang lain tidak begitu jelas. Menurut sumber
saya, kantor perusahaan mereka di Blok S, Kebayoran Baru, "isinya cuma
nona-nona cantik yang ke luar masuk" (sumber: Wibisono, 1995; Smith, 1996;
Aditjondro, 1996; CISI, 1997: 290A-291B; Hiscock, 1998; Company Profile
Repindo Panca Group 1994; Indonesia Business Weekly , 27 May 1994;Warta
Ekonomi , 13 Juni 1994: 26, 23 Jan. 1995: 28, 24 Mei 1993: 27, 7 Mei 1993:
24, 10 Mei 1993: 11; Gatra, 17 Des. 1994: 40; Republika , 24 Juni 1995;
Forum Keadilan , 31 Juli 1995: 92; Swa, Nov. 1993: 36-37, Agustus 1995: 18,
39-45, 54;Target , 25 Juni-1 Juli 1996: 22-23; Tajuk , 1 Agustus 1996: 51;
sumber-sumber lain).

Demikianlah kisah hubungan bisnis dan jaringan "KKN" yang begitu mesra
antara keluarga besar Suharto, Habibie, dan Maulani.

Marilah kini kita jenguk yayasan-yayasan yang dikuasai secara tidak
langsung oleh Suharto lewat Bob Hasan. Setelah lepas dari jabatan Menteri
Perdagangan dan Industri, yang hanya sempat dijabatnya selama 2 1/2 bulan,
Bob Hasan barangkali akan kembali menjabat sebagai presiden komisaris PT
Astra International, Inc., mewakili kelompok bisnis Nusamba. Kalau itu
betul, maka melalui Bob Hasan, Suharto tetap ikut berkuasa atas sepakterjang
(85) Yayasan Toyota Astra Motor, yang memberikan beasiswa pada siswa dan
mahasiswa, (86) Yayasan Dharma Bhakti Astra, yang juga bergerak di bidang
pendidikan dan membantu calon pengusaha, (87) Yayasan Dana Bantuan Astra,
yang membantu anak putus sekolah, dan (88) Yayasan Dharma Satya Nusantara,
yang membantu para perwira yang sudah pensiun (Shin, 1989: 346; Warta
Ekonomi , 22 Juni 1992: 41).

Mengingat bahwa sejumlah perusahaan Astra sudah dihinggapi saham YDP
Kostrad, posisi Bob Hasan di pucuk pimpinan Astra secara finansial ikut
memperkuat posisi menantu Suharto, Letjen Prabowo Subianto yang kini
Panglima Kostrad -- mengulangi jejak mertuanya, 32 tahun yang lalu. Sejarah
dinasti Suharto telah menarik garis lingkaran penuh. Sampai saatnya Prabowo
digeser dari posisi berkuasa itu oleh Pangab baru, Jenderal Wiranto.

Bob Hasan jugs tidak akan begitu saja melepaskan kekuasaannya sebagai "raja
hutan" lewat posisinya sebagai Ketua MPI (Masyarakat Perkayuan Indonesia),
ketua Apkindo (Asosisasi Panel Kayu Indonesia), dan ketua Asmindo (Asosiasi
Mebel Indonesia).

Di bawah pengaruh MPI, Apkindo, dan Asmindo adalah dua yayasan, yang telah
dan masih dapat digunakan oleh Bob Hasan untuk menghadapi serangan para
pencinta hutan Indonesia, di dalam negeri maupun di mancanegara, yakni (89)
The Indonesian Cultural Foundation, serta (90) Yayasan Adikarsa Nugraha
Cestita.

Indonesian Cultural Foundation pernah mensponsori presentasi satu tesis MA
di bidang kehumasan tentang kampanye anti penggunan kayu tropis, karya Nia
Sarinastiti Sukanto, puteri bekas Rektor UGM, Sukanto Reksohadi-prodjo,
dalam Konferensi Kehutanan Sedunia di Bandung, tahun 1992 (Forum Keadilan ,
14 April 1994: 50-51).

Sementara itu, Yayasan Adikarsa Nugraha Cestita digunakan tiga tahun
kemudian oleh Bob Hasan, sebagai counterpart dari International Gold Award
Training (IGAT) '95, untuk menyelenggarakan pendidikan kepemimpinan bagi
pemuda-pemudi teladan berusia antara 20 s/d 30 tahun. Sanggar kerja
(workshop ) yang berlangsung dari 3 s/d 22 Juli 1995, berawal di Taman Mini
Indonesia, dan menggunakan Taman Nasional Ujung Kulon sebagai ajang latihan
yang utama.

Karena IGAT berada di bawah binaan Duke of Edinburgh serta kerabat kerajaan
Inggris yang lain, kerjasamanya dengan IGAT dimanfaatkan yayasan Bob Hasan
ini untuk menyeleksi pesan, peserta, dan ajang latihan, untuk menonjolkan
kebijakan "pelestarian lingkungan" versi Bob Hasan (Tjahyono, 1995).

Nyonya Pertiwi Hasan, isteri sang raja hutan, yang aktif memproyeksikan diri
sebagai seniwati, menguasai (91) Yayasan Patria Mas Katulistiwa untuk
melaksanakan promosi kerajinan tangan Indonesia. Yayasan itu menyuguhkan
paket "Bianglala Patria" dalam acara Pameran Kerajinan Tangan Indonesia di
Pulau Kochi, Osaka, Jepang, tanggal 19-25 September 1995, dengan
mencampilkan tari campuran dari berbagai daerah.

Namun selain promosi kerajinan, yayasan itu sekaligus berfungsi sebagai alat
propaganda bagi Suharto. Misalnya, dalam acara Gebyar Indonesia dalam rangka
HUT RI yang ke-50, Pertiwi Hasan menggamit Budyiati Abiyoga untuk membuat
sinetron berjudul Serangan Oemoem Satoe Maret . Maksudnya konon untuk
menampilkan sisi lain dari sebuah perjuangan, yakni mereka yang aktif di
dapur umum (Ummat , 2 Okt. 1995: 101). Namun tak pelak lagi, dengan
pemilihan judul di atas orang juga mengerti peranan siapa sebenarnya yang
mau ditampilkan oleh sinetron itu.

Di bidang pers, Bob Hasan dan Harmoko telah membentuk (92) Yayasan Maju
Bersama, yang mula-mula menerbitkan majalah dwi-mingguan di bidang olahraga,
Sportif . Di situ Harmoko tercantum sebagai ketua yayasannya, sedangkan Bob
Hasan sebagai pemimpin umum penerbitannya (Warta Ekonomi, 1 Agustus 1994:
23).

Seperti yang kita ketahui, setelah pembreidelan Tempo , Bob Hasan-lah yang
kemudian, melalui PT Era Media Informasi (EMI), mendapatkan SIUPP dari
MenPen Harmoko waktu itu untuk menerbitkan majalah berita Gatra bersama
sebagian eks karyawan Tempo (Suara Independen , Sept. 1997). Ini mirip kiat
Sudwikatmono membajak sebagian karyawan tabloid Monitor lewat Yayasan
Tujuh Dua.

Belum begitu jelas apakah 20% saham Bob Hasan dalam PT EMI mewakili Yayasan
Maju Bersama, ataukah mewakili satu di antara trio yayasan pemegang saham PT
Nusamba. Tapi yang jelas, policy keredaksian majalah Gatra sudah
terbukti jelas-jelas mengikuti his master's voice , sehingga yayasan
Suharto mana pun yang diwakili, tidak relevan lagi.

Kemudian, dengan memiliki 5% saham maskapai tambang emas-dan-tembaga PT
Freeport Indonesia, Bob Hasan juga punya akses ke (93) Yayasan Freeport
Irian Jaya. Yayasan ini bekerjasama dengan "business incubator " BPPC
dalam pengembangan program kewiraswastaan masyarakat di kampung Kwamki Lama,
dekat kota Timika (Republika , 29 Nov. 1995).

Kita jangan lupa seorang antek Suharto yang paling setia, yakni Laksamana
(Purn.) Sudomo, bekas Wapangkopkamtib, bekas Menteri Tenaga Kerja, dan
terakhir menjabat sebagai Ketua DPA. Hubungannya dengan Suharto adalah sejak
zaman Operasi Mandala di Makassar, di mana Sudomo membantu Suharto
menyalurkan "hobinya" sejak di Semarang, yakni menyelundup.

Kita tentunya belum lupa, katebelletje Sudomo bagi Eddy Tanzil. Ini tidak
mengherankan, karena pemimpin Golden Key itu punya hubungan bisnis dengan
Tommy Suharto, sebelum skandal kredit Bapindo yang Rp 1,3 trilyun itu
diungkap oleh Arnold Baramuli. Bank BHS milik kakak Eddy Tanzil, Hendra
Rahardja, juga punya hubungan bisnis dengan keluarga Suharto, karena seorang
adik Nyonya Tien Suharto, Ibnu Hardjanto, duduk sebagai komisaris di bank
itu (Eksekutif, Des. 1997: 58-59).

Kembali ke Sudomo, lewat PT Pondok Indah Padang Golf, di mana ia menjadi
Presiden Komisaris, Sudomo memelihara hubungan bisnisnya dengan Sudharmono,
Ibnu Sutowo, Syarif Thayeb, Ismail Saleh, Ali Said (alm.), Omar Abdalla
(alm)., Sudwikatmono, Liem Sioe Liong, Anthony Salim, Henry Pribadi, Hendra
Rahardja, Ciputra, Murdaya Widyawimarta, dan sejumlah pengusaha lain
(Prospek , 22 Febr. 1992: 76; data komposisi pemilik dan direksi PT Pondok
Indah Padang Golf).

Sebagai ketua Persatuan Golf Indonesia (PGI), Sudomo juga melindungi
kepentingan para pengusaha lapangan golf dari kecaman para pemilik tanah
serta para pegiat hak-hak rakyat, misalnya dalam kasus lapangan golf
Rancamaya milik keluarga Yoga Sugama. Selain itu, Bank Synergy yang baru
berdiri tanggal 12 Mei 1993, dan dua kali luput dari pembabatan bank swasta,
ikut dimiliki keluarga Sudomo, melalui anaknya, Tini (Warta Ekonomi, 10 Mei
1993: 68-70, 24 Mei 1993: 69).

Seorang putra Sudomo, Biakto Trikora Putra, juga punya hubungan bisnis
dengan Bob Hasan dan mungkin juga dengan Nusamba. Ia salah seorang direktur
perusahaan peti kemas PT Kumbong Container Industry, di mana Bob Hasan
tercatat sebagai seorang komisaris.

Saham terbesar perusahaan ini dipegang konglomerat bermodal Korea Selatan,
Korindo Group. Perusahaan bermodal hampir 70 juta dollar AS ini membuat peti
kemas baja untuk angkutan laut, yang diekspor ke Korea Selatan, Australia,
dan AS (CISI, 1997: 738-739, 409A).

Sambil menjabat sebagai Ketua DPA (karena Suharto melindunginya dalam kasus
korupsi Bapindo itu), Sudomo masih memimpin dua yayasan, yakni (94) Yayasan
Perhimpunan Manajemen Mutu Indonesia, dan (95) Yayasan Esok Penuh Harapan,
yang tugasnya membantu para pedagang asongan yang digusur dari jalan-jalan
raya oleh Sudomo dalam operasi yang namanya dipakai yayasan ini (Eksekutif,
Mei 1993: 99).

Lewat tangan kanannya ini, Suharto dapat menggunakan dua yayasan yang
dipimpin Sudomo untuk memperbaiki nasib pedagang kecil, yang paling
terhimpit oleh krisis moneter saat ini. Soalnya, kesetiaan Sudomo pada
Suharto kembali terlihat ketika baru-baru ini ia menyarankan agar ABRI
"menembak-di-tempat" para aktivis mahasiswa yang berusaha menembus barikade
polisi dan tentara yang membendung kampus mereka (Sydney Morning Herald , 7
April 1998).

Akhirnya, perlu dicatat dua orang pembantu setia Suharto -- Joop Ave serta
Murdiono -- yang kini secara formal tidak lagi dipakai dalam Kabinet Suharto
maupun Habibie, tapi masih terlibat dalam beberapa yayasan yang erat
hubungannya dengan keluarga presiden.

Dalam hal Joop Ave, keterlibatannya adalah dalam yayasan Suharto yang
ke-(96) yang belum jelas namanya, tapi yang bidang usahanya adalah membangun
dan mengelola patung Garuda Wisnu Kencana di Bali, suatu proyek pariwisata
seharga 105 juta dollar Australia, yang konon akan menyaingi patung Liberty
di AS.

Dua tahun lalu, ketika Joop Ave masih menjabat sebagai Menteri Pariwisata,
ia pernah dihebohkan mengorek 15 juta dollar Australia dari kas PT Telkom
untuk membiayai pembangunan patung itu. Maklumlah, Joop Ave sendiri duduk
sebagai anggota kehormatan yayasan pembangunan patung itu, yang akan
menempati tanah seluas 200 Ha di kawasan selatan Pulau Bali.

Majalah berita Target yang sudah tidak terbit lagi, waktu itu memberitakan
bahwa sang Menteri Pariwisata memaksa para direktur PT Telkom mentransfer
uang itu ke rekening bank pribadinya. Masalah itu berlalu begitu saja, tanpa
pemeriksaan polisi atau kejaksaan terhadap Joop Harsono, 1996).

Ini memperkuat dugaan bahwa Suharto ada di balik yayasan itu (Aditjondro,
1995: 1, 19).

Kini, setelah jabatan Menteri Pariwisata dialihkan oleh Suharto dari Joop
Ave ke Abdul Latief, dan oleh Habibie dialihkan lagi dari Abdul Latief ke
bekas Gubernur Bali, Ida Bagus Oka, yang anak-anaknya berpatungan dengan
bisnis pariwisata Tommy Suharto di Bali (Aditjondro, 1995: 19-20), hanya
krisis moneterlah yang masih menghambat dihidupkannya proyek raksasa Garuda
Wisnu Kencana, yang mendapat kecaman keras sebagian besar rakyat Bali.

Akhirnya, bekas Menteri/Sekretaris Negara Murdiono, masih memangku jabatan
sebagai ketua (97) Yayasan Gelora Senayan. Meskipun dalam kapasitas itu
Murdiono pernah mengeluh bahwa ia dilangkahi oleh konsortium pembangunan
Hotel Mulia yang dipimpin oleh Bambang Trihatmodjo (D&R , 8 Nov. 1997: 99),
khalayak ramai di Indonesia juga belum pernah menerima laporan keuangan
yayasan itu, yang memayungi Badan Pengelola Gelora Senayan. Selain itu,
Murdiono adalah juga orang kepercayaan Suharto yang duduk dalam badan
pengurus Yayasan Supersemar yang diketuai Suharto sendiri, serta dalam
Yayasan Tirasa, "pemilik" sirkuit pacuan mobil balap Sentul, yang diketuai
Tommy Suharto.

Yayasan-yayasan ABRI di ketiak perusahaan keluarga Suharto:
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

Berbagai perusahaan keluarga Suharto juga dihinggapi saham sejumlah yayasan
ABRI, yang ikut melebur kepentingan para pimpinan ABRI dengan kejayaan
bisnis keluarga Suharto. Selain YDP Kostrad, Yayasan Kobame dan Yayasan BIA
yang sudah disebut di depan, yang paling menonjol kerjasamanya dengan bisnis
keluarga Suharto adalah (98) Yayasan Kartika Eka Paksi milik TNI/AD.

Melalui PT Tri Usaha Bhakti, yayasan ini ikut memiliki saham terbesar dalam
PT International Timber Corporation Indonesia (ITCI). Usaha patungan dengan
Bimantara dan Nusamba ini telah mengambil alih bekas HPH dua perusahaan
AS -- Georgia Pacific dan Weyerhauser -- di Kal-Tim, di mana ditebang 1/2
juta m3 kayu gelondongan setahun, dengan diversifikasi ke kilang kayu lapis
berkapasitas 110 ribu m3 setahun, serta perkebunan kayu (HTI) penghasil
bahan baku bubur kertas seluas 187 ribu Ha (CISI, 1997: 580-582; Far Eastern
Economic Review , 5 Des. 1991: 55; Warta Ekonomi , 22 Juni 1992: 22;
Infobank , Nov. 1992: 22; Swa , 30 Jan.-19 Febr. 1997: 21, 24).

Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP) adalah juga pemegang saham PT Danayasa
Arthatama, yang memiliki 4,59% saham PT Plaza Indonesia Realty, properti
kelompok Bimantara tempat bercokol hotel Grand Hyatt di tengah kota Jakarta.
Selain itu, YKEP juga berpatungan dengan PT Tridaya Esta milik Bambang
Trihatmodjo dalam PT Duta Graha Indah, perusahaan konstruksi yang telah
membangun hotel Shangri-La di Surabaya, hotel Dusit Tani di Samarinda,
gedung bursa saham di Jakarta, dan banyak gedung lain (CISI, 1997:
339-341;Swa, Agustus 1992: 44-4, Agustus 1995: 18).

Satu usaha patungan YKEP yang lain, PT Graha Jakarta Sentosa, memiliki 50%
saham PT Bimagraha Telekomindo, yang bersama PT Telkom dan PT Indosat
merupakan pemilik PT Satelindo. Preskom perusahaan pengelola satelit
komunikasi Indonesia adalah Menteri Keuangan yang baru digeser oleh Habibie,
yakni Fuad Bawazier.

Kelompok Danayasa yang merupakan usaha patungan antara YKEP dengan dua orang
pengusaha muda, Tommy Winata dan Sugianto Kusuma, juga punya 40% saham PT
Pasifik Satelit Indonesia. Inilah perusahaan pengelola jasa satelit
Bimantara yang lain, yang berpatungan dengan maskapai raksasa AS, Hughes
Aircraft (Aditjondro, 1998a;Warta Ekonomi , 15 Maret 1993: 10, 22 Nov. 1993:
22;Editor , 1 Mei 1993: 69-70).

Akhirnya, YKEP juga merupakan pemegang saham PT Pondok Indah Lapangan Golf,
bersama Sudwikatmono, dan punya saham dalam PT Sempati Air, bersama Tommy
Suharto dan kelompok Nusamba (Infobank , Nov. 1992: 16).

Selain yayasan milik tentara itu ada juga bisnis keluarga Suharto dengan
(99) Yayasan Adi Upaya AU, disingkat Yasau milik AURI. Yayasan ini memiliki
8,75% saham PT Cardig Air, perusahaan angkutan udara Bimantara, yang 7%
sahamnya milik dua orang bekas KASAU, yakni Ashadi Tjahjadi dan Saleh
Basarah.

Bimantara juga berkongsi dengan Yasau di PT Jasa Angkasa Semesta yang
mengerjakan peta udara dan jasa konsultasi. Akhirnya, Yasau juga terlibat
bersama Tommy Suharto dalam PT Batam Aircraft Maintenance, perusahaan
perawatan pesawat SIA dan Sempati yang berbasis di Pulau Batam (Smith,
1996;Warta Ekonomi , 22 Juni 1992: 16; Infobank, Nov. 1992: 16; Swa ,
Agustus 1995: 18).

Masih di Kepulauan Riau ada kerjasama antara kelompok Salim dengan (100)
Yayasan Kesejahteraan Angkatan Laut Republik Indonesia, untuk mengembangkan
kawasan industri, pariwisata, dan sumber air bersih di Pulau Bintan.
Konsorsium itu sedang membangun resort seluas 23 ribu Ha, sekitar 15 % luas
pulau itu, disertai pengembangan sumber air seluas 37 ribu Ha untuk menjual
air bersih ke Batam dan Singapura (Smith, 1996; Warta Ekonomi, 13 Juni 1994:
21-22, 1 Agustus 1994: 15, 5 Juni 1995: 13, 1 Juli 1996: 60; Swa , Des.
1994: 78, 22 Mei-4 Juni 1997: 47-48).

Angkatan Laut punya yayasan sosial yang lebih tua, yakni (101) Bhumiyamca,
pemegang saham konglomerat Admiral Lines. Konglomerat ini berpatungan dengan
Bimantara di PT Elektrindo Nusantara. Perusahaan yang dipimpin Bambang
Trihatmodjo ini pada gilirannya memiliki saham dalam sejumlah perusahaan
yang bergerak di bidang satelit telekomunikasi, telepon, dan kabel laut
(Dwiyatno dkk, 1992/1993: 19; CISI, 1997: 357-359, 24A, 58A).

Kemudian, (102) Yayasan Brata Bhakti milik Polri, juga punya keterkaitan
dengan bisnis keluarga Suharto. Yayasan yang memonopoli pembuatan SIM di
akhir 1992 berpatungan dengan PT Citra Permata Persada milik Tutut,
Sudwikatmono dan Eka Tjipta Widjaja untuk komputerisasi pembuatan SIM di
sebelas kota besar di Indonesia. Kerjasama selama lima tahun itu menggunakan
jaringan komputer milik Polri, dan menghasilkan keuntungan berlipatganda
bagi Tutut (Dwiyatno dkk, 1992/1993: 22-23; Jakarta-Jakarta , 10-16 Okt.
1992).

Akhirnya, ada tiga yayasan ABRI lagi yang sangat berpotensi dirambah
tangan-tangan bisnis keluarga Suharto karena jangkauan usahanya begitu
menggiurkan, yakni (103) Yayasan Dharma Wirawan Pepabri, (104) Yayasan
Markas Besar ABRI (Yamabri), dan (105) Yayasan Kejuangan Panglima Besar
Sudirman.

Yayasan Dharma Wirawan Pepabri berada di bawah Persatuan Purnawirawan ABRI
(Pepabri). Ketua Pepabri dalam kabinet yang lalu adalah Menko Polkam Soesilo
Sudarman (alm.) waktu itu. Dua tahun lalu, yayasan milik Pepabri ini
membawahi sejumlah pompa bensin di Bali, perusahaan tabung LPG di Bandung,
perkebunan kelapa sawit di Kal-Tim, perkebunan pisang, pengolahan tepung
ikan, pelayaran antar-pulau (ferry), pembangunan perumahan bagi para anggota
Pepabri, bekerjasama dengan perusahaan Asuransi ABRI, dan lain-lain (Bali
Post , 19 Sept. 1996).

Setelah Jenderal (Purn.) Soesilo Sudarman meninggal dunia dan jabatan Menko
Polkam dipegang oleh seorang loyalis Suharto, Jenderal Feisal Tanjung, tak
mustahil dia kini masih punya pengaruh di yayasan Pepabri. Sebagai sesama
purnawirawan ABRI, tak mustahil anak-anak perusahaan yayasan ini akan
bersinerji pula dengan anak-anak perusahaan yayasan-yayasan Suharto yang
lain.

Dalam "rush" membagi-bagi proyek-proyek telkom, Yamabri yang kini secara ex
officio berada di bawah pembinaan Pangab Jenderal Wiranto ini kebagian
proyek pula. PT Indoprima Mikroselindo (Primasel) mendapat lisensi telpon
genggam buatan Jepang untuk seluruh wilayah Jawa Timur. Perusahaan ini
adalah usaha patungan antara PT INTI (di bawah BPIS), PT Indosat, Yamabri,
dan fihak-fihak lain yang tidak disebut namanya dalam buletin Asiacom nomor
perdana.

Melihat preseden ini, tak mustahil yayasan di bawah Markas Besar ABRI ini
pun akan -- atau telah -- bersinerji dengan yayasan-yayasan Suharto yang
lain. Apalagi mengingat loyalitas Wiranto pada Suharto, serta kenyataan
bahwa Nyonya Uga Wiranto, maupun anak mereka, Ria Wiranto, anggota DPR/MPR
termuda, aktif mendampingi menantu Suharto, Halimah Bambang Trihatmodjo,
dalam pengelolaan Gerakan Nasional Orang Tua Asuh yang duitnya
berlimpah-ruah.

Akhirnya, Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman. Yayasan ini resminya
bernaung di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan (Jakarta Post , 15
Agustus 1997). Namun menurut majalah Swa , pendirian yayasan ini diprakarsai
oleh Jenderal (Purn.) Benny Murdani dan tangan kanannya dalam Operasi
Seroja, Jenderal (Purn.) Dading Kalbuadi, bersama sejumlah purnawirawan
perwira tinggi ABRI yang lain. Kegiatan yayasan ini a.l. adalah membangun
SMA Taruna Nusantara di Magelang, serta menerbitkan riwayat hidup Benny
Murdani.

Namun di bidang bisnis, yayasan ini juga tercatat sebagai salah satu
pemegang saham Grup Summa, ketika keluarga Soeryadjaya masih merupakan
pemegang saham utama kelompok Astra. Setelah Edward Soeryadjaya terdepak
dari posisi sebagai Komisaris PT Astra International, dan mendirikan
kelompok bisnis yang baru, yang bergerak dalam bidang pertambangan dan
berbasis di Calgary, Kanada, dirangkulnya kembali Yayasan Sudirman itu
sebagai payung politiknya di Indonesia (Swa , 3-16 Juli 1997: 32).

Selain memayungi bisnis keluarga Soeryadjaya, Yayasan Sudirman itu juga
menjadi pemegang saham PT Multi Eka Karma, yang bergerak di bidang
telekomunikasi yang sedang jadi rebutan banyak konglomerat dan telah
merambah ke mancanegara. Bulan September 1996, PT Multi Eka Karma sudah
menandatangani kesepakatan untuk menanam modal di India, dan pada tanggal 14
Agustus 1997, menandatangi kesepakatan dengan maskapai Inggris, GN Comtext,
untuk pengembangan VATS (value-added telecommunications services) di
Indonesia (Asian Age [Bombay], 10 Sept. 1996; Jakarta Post , 15 Agustus
1997).

Melalui yayasan-yayasan militer itu serta saham para (bekas) komandan ketiga
angkatan dan Polri di berbagai perusahaan keluarganya, termasuk keluarga
Murdani dalam bisnis keluarga Suharto di Pulau Batam dan Pulau Christmas di
Samudera Hindia, Suharto berusaha untuk tetap memelihara loyalitas ABRI pada
keluarganya, walaupun ia secara resmi sudah terjungkal dari takhtanya.

Loyalitas ini sudah ditunjukkan oleh Wiranto, Pangab baru, yang berjanji
akan melindungi keselamatan Suharto dan keluarganya dari kemarahan rakyat
setelah aksi-aksi mahasiswa di seluruh Nusantara berhasil memaksa Suharto
turun tahta. Begitu loyalnya Wiranto pada keluarga besar Suharto,
sampai-sampai sang menantu yang jagoan pelanggar hak-hak asasi manusia,
Letjen Prabowo Subianto, tidak diajukan ke mahkamah militer melainkan hanya
digeser ke Bandung sebagai Komandan Pusat Latihan Gabungan ABRI.

Tiga besar pertama:
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

Dari 105 yayasan itu, mana yang paling kuat? Tentu saja, yang secara
finansial paling kuat adalah trio Dakab, Dharmais, dan Supersemar, yang
sering bergandengan dalam penguasaan saham sejumlah perusahaan raksasa.
Sedangkan dua yayasan milik keluarga Suharto yang juga cukup besar nilai
sahamnya dalam perusahaan-perusahaan raksasa dan juga sering
bergandeng-tangan, adalah Trikora dan Harapan Kita.

Berikut ini daftar perusahaan yang sahamnya ikut dimiliki Dakab, Dharmais,
dan Supersemar, sendiri atau bersama-sama (Vatikiotis, 1990: 62; IEFR, 1997:
238; Smith, 1996;Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990: 26-27; Forum Keadilan, 17
Juli 1995: 90-91; Swa, 30 Jan. -19 Febr. 1997: 16, 3-16 Juli 1997: 87;
Suara Independen, Sept. 1997):

Majalah Gatra
Bank Duta
Bank Windu Kentjana
Bank Umum Nasional (BUN)
Bank Bukopin
Bank Umum Tugu
Bank Muamalat Indonesia (BMI)
PT Multi Nitroma Kimia
PT Indocement Tunggal Prakarsa
PT Nusantara Ampera Bakti (Nusamba)
PT Teh Nusamba
PT Gunung Madu Plantations
PT Gula Putih Mataram
PT Werkudara Sakti
PT Wahana Wirawan
Wisma Wirawan
PT Fendi Indah
PT Kabelindo Murni
PT Mc Dermott Indonesia
PT Kalhold Utama
PT Kertas Kraft Aceh
PT Kiani Lestari
PT Kiani Murni
PT Sagatrade Murni
Mandala Airlines
Sempati Airlines
Gedung Granadi (Graha Dana Abadi)

Itu baru daftar minimal. Sebab lewat PT Nusamba di bawah pimpinan Bob Hasan,
trio yayasan itu menguasai saham dalam sekitar 140 perusahaan yang
kekayaannya ditaksir sebesar US$ 5 milyar (Business Week, 17 Febr. 1997:
16). Yang langsung dikelola Bob Hasan saja ada sekitar 30 perusahaan yang
bergerak di bidang perdagangan, kehutanan, perkebunan teh, pertambangan,
pabrik kertas kemasan, produk metal, dan panas bumi (Swa, 30 Jan.-19 Febr.
1997: 24).

Kemudian, ada kongsi antara Bob Hasan dengan dua maskapai penerbangan yang
dikuasai anak-anak Suharto. Dalam Sempati Airlines yang awalnya dikuasai
Yayasan Kartika Eka Paksi milik TNI/AD dan kini dikuasai Tommy, Nusamba
menguasai 20% saham. Sedangkan dalam Mandala Airlines yang awalnya dikuasai
YDP Kostrad dan kini dikuasai Sigit, Nusamba menguasai 45% saham
(Indocommercial, No. 122, 26 Jan. 1995: 2; Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997: 24).

Termasuk dalam kelompok Nusamba adalah (sub)kelompok Tugu Pratama, hasil
pembelian 35% saham anak perusahaan Pertamina, Tugu Hong Kong, oleh Nusamba.
Sekarang, kelompok itu sudah mencakup 25 perusahaan, hasil diversifikasi dan
kongsi dengan perusahaan-perusahaan lain di Indonesia dan mancanegara.
Kelompok ini memonopoli hampir seluruh asuransi ekspor kayu lapis yang
dikuasai Bob Hasan, asuransi bisnis pertambangan dan penerbangan Pertamina,
asuransi hotel-hotel kelompok Sahid, sebagian asuransi Garuda, dan seluruh
asuransi satelit-satelit Palapa yang dikuasai Bambang Trihatmojo.

Bambang sendiri duduk dalam Dewan Komisaris Tugu Jasatama Reasuransi
Indonesia, anak perusahaan Tugu Pratama. Makanya tak mengherankan kalau PT
Tugu Pratama Indonesia, induk kelompok Tugu, tahun 1996 meraih laba bersih
Rp 90 milyar (Rustam, 1996/1997: 172; Eksekutif, Febr. 1994: 16-25; Swa, 30
Jan.-19 Febr. 1997: 23-24, 30, 36-40).

Belakangan ini, bendera Nusamba semakin berkibar setelah merebut 4,7% saham
PT Freeport Indonesia, Inc. serta 5 % saham PT Astra International. Jadi
dapat dibayangkan keuntungan yang bakal mengalir ke kas ketiga yayasan
Suharto itu dari tambang tembaga-emas-perak terbesar di Indonesia bernilai
tiga milyar dollar AS, serta dari kelompok otomotif terbesar di Indonesia
yang kekayaannya bernilai 5,2 milyar dollar AS (IEFR, 1997: 254; Wall Street
Journal, 31 Jan. 1997; Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997: 15, 22; Business Week, 17
Febr. 1997: 16-17; Asiaweek, 7 Maret 1997: 54-56).

Selain Bank Umum Tugu (kelompok Tugu Pratama), Nusamba juga menguasai empat
bank swasta lain, yakni Bank Duta, Bank Umum Nasional (BUN), Bank Umum
Koperasi Indonesia (Bukopin), dan Bank Muamalat Indonesia (BMI). Kiprah Bob
Hasan di perbankan ini dimulai tahun 1989, ketika Bob Hasan "dipercayai"
Suharto untuk mengambilalih pimpinan Bank Umum Koperasi Indonesia (Bukopin)
dari kelompok Bustanil Arifin. Sesudah kelompok Bob Hasan bercokol di
Bukopin, tanggal 29 Juni 1993 diubahlah badan hukum bank itu dari koperasi
menjadi perseroan terbatas (PT).

Ini sempat menggugah peringatan Wakil Presiden Tri Sutrisno, yang menghimbau
agar PT baru itu tidak meninggalkan prinsip-prinsip koperasi. Maklumlah,
Bukopin didirikan tanggal 10 Juli 1970 oleh delapan induk koperasi --
termasuk Inkopad, Inkopal, Inkopol, dan GKBI -- serta Yayasan Bulog. Yang
terakhir ini kemudian lebih berperan, karena Ketua Bulog waktu itu, Bustanil
Arifin, juga merangkap sebagai Menteri Koperasi, dan karena itu diangkat
menjadi Presiden Komisaris Bukopin.

Peringatan Tri Sutrisno yang juga digarisbawahi pakar koperasi, Thoby
Muthis, masuk akal. Sebab di bawah Muchtar Mandala, direktur baru anak buah
Bob Hasan, Bukopin sudah bergeser dari akar-akar koperasinya, dan sangat
bergantung pada Bulog, perusahaan keluarga KaBulog, Bustanil Arifin, serta
kelompok Salim. Ini terbukti dari surat Muchtar Mandala tertanggal 28
Februari 1991 kepada Kepala Bulog yang bocor ke pers. Dalam surat itu
Mandala minta pungutan Rp 1 untuk setiap kilogram padi yang dijual Bulog dan
didepositokan di Bukopin, dinaikkan. Selain itu, ia juga minta tolong
Bustanil menghubungkan Bukopin dengan BPPC yang baru berdirik.

Setelah Bob Hasan menggantikan Bustanil Arifin sebagai presiden komisaris,
saham Nusamba ditingkatkan dari 6,08% menjadi 15,35%. Tak jelas berapa laba
bersih bank ini. Yang jelas, di tahun 1994, aset bank itu telah mencapai Rp
1,7 trilun, 50% lebih tinggi ketimbang tahun sebelumnya. Dari seluruh aset
Bukopin, Rp 1 trilyun lebih merupakan dana fihak ketiga (Schwartz, 1991;
Forum Keadilan, 19 Agustus 1993: 22; Info-Bank, April 1995; Swa, 30 Jan. -19
Febr. 1997: 16).

Dua tahun setelah mengambilalih pimpinan Bukopin, Bob Hasan diminta Suharto
mengambilalih pimpinan Bank Umum Nasional (BUN), yang sebagian besar
sahamnya milik kelompok Ongko. Tak tanggung-tanggung, Yayasan Dakab bersama
Dharmais mengambil-alih 50 % saham BUN. Laba bersih (sesudah dipotong pajak)
bank ini tahun 1997 mencapai Rp 66,7 milyar (Vatikiotis, 1990: 62; IEFR,
1997: 380, 406; Swa, Okt. 1995: 60-61).

Di Bank Duta, yang berasal dari aset Haji Mohammad Aslam, seorang pengusaha
yang dekat dengan Bung Karno dan ditahan dengan tuduhan PKI, trio
Dharmais-Dakab-Supersemar merupakan pemegang saham terbesar. Tahun 1995,
sesudah direksi bank itu dialihkan Suharto dari kelompok Bustanil Arifin ke
kelompok Bob Hasan, laba bersih bank ini meningkat dari Rp 29 milyar (1994)
menjadi Rp 46,7 milyar (1997) (Vatikiotis, 1990: 62; IEFR, 1997: 380, 406;
Progres, No. 2/Vol. I, 1991: 27-29; Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990: 26-27;
Prospek, 11 Mei 1991: 13; Forum Keadilan, 26 Mei 1994: 38, 2 Febr. 1995:
62-63; 17 Juli 1995: 90-91; Swa, Okt. 1995: 60-61).

Berkat jasanya "membenahi" Bukopin, BUN, dan Bank Duta, dua tahun lalu Bob
Hasan dan anak-buahnya dipercayai mengambilalih Bank Muamalat Indonesia
(BMI). Satu-satunya bank yang didasarkan pada hukum Syari'ah ini didirikan
berdasarkan amanat Munas IV Majelis Ulama Indonesia (MUI), Agustus 1990. Dua
orang direktur Bank Duta dan Bukopin (Muchtar Mandala dan Tommy Sutomo)
diangkat menggantikan direktur lama, setelah Nusamba menjadi pemegang saham
terbesar dengan menyetorkan modal Rp 25 milyar. Dengan demikian diharapkan
laba bersih BMI, yang di tahun 1995 hanya mendekat Rp 5 milyar, dapat
didongkrak (Ummat, 2 Okt. 1995: 98; Info Bisnis, 16 Juli 1996: 54-55; Swa,
30 Jan.-19 Febr. 1997: 18)

Harap dicatat, lima bank yang kini dikuasai Bob Hasan (Bank Umum Tugu, BUN,
Bank Duta, Bukopin, dan BMI) tak satupun tersentuh langkah pembenahan bank
swasta oleh Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad, 1 November tahun lalu, atas
dorongan IMF. Malah sebaliknya, Suharto secara khusus memberi kesempatan
bank-bank itu membenahi diri.

Hari Jumat, 23 Januari lalu, Bob Hasan mengumumkan bahwa empat bank yang
dikuasai kelompok Nusamba -- Bank Umum Tugu, BUN, Bukopin, dan Bank Duta --
akan dilebur menjadi satu bank baru dengan aset total bernilai Rp 21 trilyun
(A$ 2,54 milyar). Sambil membantu mengatasi pinjaman-pinjaman yang tidak
produktif (non-performing loans ), merjer itu akan memadu kekuatan
masing-masing bank. Misalnya, Bank Duta kuat di perdagangan eceran, BUN kuat
di pinjaman komersial, Bank Tugu kuat di sektor minyak dan gas, sedangkan
Bukopin kuat di pinjaman kredit usaha kecil (Sydney Morning Herald & The
Australian, 27 Januari 1998).

Betapapun, keuntungan trio Dakab-Dharmais-Supersemar dari BMI dan bank
Nusamba baru itu nantinya masih lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan
dari saham mereka dalam perusahaan semen PT Indocement Tunggal Perkasa
(ITP). Menurut Vatikiotis (1990: 62), di tahun 1990 trio itu masing-masing
memiliki 6,39% saham dalam perusahaan semen terbesar di Indonesia itu.
Berarti total saham trio itu 19,17%. Namun menurut majalah bisnis milik
Sukamdani, tiga tahun kemudian saham trio itu dalam Indocement tinggal 3,21%
(Indonesia Business Weekly , 5 Maret 1993: 39).

Mana yang benar, tidak begitu jelas. Yang jelas, laba bersih perusahaan
semen itu pada tahun 1997 telah melebihi Rp 0,5 trilyun (IEFR, 1997: 202).
Berarti dividen trio Dakab-Dharmais-Supersemar dari ITP saja tahun lalu
berkisar antara Rp 17 milyar dan Rp 105 milyar!

Selain merupakan hasil dari berbagai bentuk korupsi, khususnya nepotisme,
sebagian uang Yayasan Dharmais juga bergelimang darah: darah wartawan muda
Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin alias "Udin", yang mati terbunuh pada
tanggal 13 Agustus 1996. Seperti yang sudah cukup merata diketahui pers
Indonesia, yang mengantar Udin ke kematiannya adalah tulisannya di harian
Yogya itu tentang maksud Bupati Bantul, Sri Roso Sudarmo, untuk menyumbang
sejumlah uang ke Yayasan Dharmais, agar ia dapat "terpilih" kembali sebagai
Bupati (D&R , 26 April 1997: 78; Sydney Morning Herald , 18 Nov. 1997).

Sang Bupati bermaksud menyerahkan upeti itu ke Yayasan Dharmais melalui R.
Notosuwito, Kepala Desa Kemusu. Orang ini, yang masih termasuk kerabat
Suharto di kampung, notebene juga pengurus Yayasan Kemusuk Somenggalan yang
punya HPH di Surinam. Dari sini tampaklah betapa involuted yayasan-yayasan
Suharto ini.

Dua pesaing lama:
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

Selain tiga besar tadi, ada dua yayasan yang juga dipimpin Suharto dan
isterinya (di masa hidupnya), yang kekayaannya mulai menyaingi kekayaan trio
Dakab-Dharmais-Supersemar, dilihat dari omset perusahaan yang "dirasuk"
saham yayasan-yayasan ini, yakni Yayasan Harapan Kita dan Yayasan Trikora.

Berikut ini daftar nama perusahaan yang saham-sahamnya ikut dimiliki Yayasan
Harapan Kita dan Trikora, bersama-sama atau sendiri-sendiri (May, 1978:
296-297; Shin, 1989: 354; Tempo, 4 Febr. 1978; Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990:
26-27; TBN RI No. 56, tgl. 13 Juni 1971):

PT Bogasari Flour Mills;
PT Bank Windu Kencana;
PT Kalhold Utama;
PT Fatex Tory;
PT Batik Keris;
PT Gula Putih Mataram;
PT Gunung Madu Plantation;
PT Hanurata;
PT Harapan Insani;
PT Kartika Chandra;
PT Kartika Tama;
PT Marga Bima Sakti;
PT Rimba Segara Lines;
PT Santi Murni Plywood;
RS Harapan Kita;

Taman Mini Indonesia Indah.
Inipun hanya suatu daftar minimal. Sebab perusahaan-perusahaan inipun sudah
banyak beranak-cucu. PT Hanurata misalnya, yang dipimpin mantan Dirjen
Bea-Cukai Tahir, sudah berkembang menjadi kelompok perusahaan yang
menjalankan bisnis pertambangan, kehutanan, tekstil, konstruksi, dan jalan
tol Jakarta-Merak. Total aset kelompok ini sekitar Rp 500 milyar (Swa, 30
Jan.-19 Febr. 1997: 23).

Batik Keris misalnya, yang kini dipegang oleh anak-cucu almarhum Kwee Som
Tjok (Kasom Tjokrosaputro), telah berkembang menjadi konglomerat yang
mencakup 41 unit usaha, yang tidak hanya bergerak di bidang perbatikan,
melainkan juga punya memproduksi dan mengelola pabrik tekstil dan garment,
pabrik serat sintetis, properti, hotel, konstruksi, pabrik sepatu, angkutan
udara, dan beberapa bank, dengan total aset hampir Rp 1 trilyun di tahun
1996. Selain karena kerja keras keluarga Tjokrosaputro, tentu saja
perkembangan ini dilumas oleh fasilitas alm. Nyonya Tien Suharto selaku
ketua Yayasan Harapan Kita (May, 1978: 296-297; MacIntyre, 1991: 131; IEFR,
1997: 132-133; Prospek , 9 Febr. 1991: 76-77; Warta Ekonomi, 27 April 1992:
37; InfoBisnis , Juli 1994; Tiras, 2 Juni 1997: 88-89.

Namun sumber pemasukan Yayasan Harapan Kita yang terlama -- dan barangkali
juga terbesar -- adalah perusahaan penggilingan terigu Bogasari, yang sudah
berkembang menjadi konglomerat penghasil produk gandum, khususnya supermi.
Bisnis ini luarbiasa suksesnya berkat monopoli impor gandum yang dilindungi
Bulog.

Pabrik terigu itu didirikan "Oom Liem" dan Sudwikatmono di tahun 1971 untuk
menangkap "bantuan pangan" dari Paman Sam berupa gandum lewat Public Law 480
yang diputuskan Kongres AS guna menyubsidi para petani gandum Amerika. Di
Indonesia, "bantuan pangan" AS itu dipakai untuk membantu mengisi kocek
keluarga Suharto beserta keluarga para jendral pendukungnya, sambil
merugikan posisi petani padi Indonesia yang selama tiga dasawarsa dirugikan
nilai tukar perdagangannya.

Seperti dijelaskan di depan, dalam dasawarsa pertama akte notaris perusahaan
itu menentukan bahwa 26% laba perusahaan itu harus disalurkan ke Yayasan
Harapan Kita dan YDP Kostrad. Tahun 1977, aktenya direvisi. YDP Kostrad
dicoret dari daftar penerima laba, dan hanya disebutkan bahwa 20% laba
perusahaan itu harus digunakan untuk kepentingan sosial. Namun ada pemegang
saham baru masuk, di samping Oom Liem dan Sudwikatmono, yakni Christine
Arifin. Isteri Bustanil Arifin itu ketiban rezeki 21% saham Bogasari.

Dengan sang isteri menguasai 21% saham PT Bogasari sementara sang suami
menjadi wakil ketua Yayasan Dharmais, Bogasari menjadi salah satu sapi
perahan utama yayasan-yayasan Suharto, berkat 'manunggalnya' pabrik terigu
itu dengan PT Indofood Sukses Makmur (IFM) yang menguasai 90% pangsa pasar
mi siap saji di Indonesia.

Belum lagi keuntungan Bogasari dari ongkos giling gandum yang mereka pungut
dari Bulog sebesar US$ 116 per ton, US$ 40 dollar lebih mahal dari
kilang-kilang gandum serupa di AS. Dengan ongkos giling yang jauh lebih
mahal, tentu saja persentase labanya juga lebih tinggi. Kalau di AS marjin
laba kilang terigu hanya US$ 10 per ton, sekitar 6% dari harga gandum, di
Indonesia laba yang dipetik Bogasari dari ongkos gilingnya US$ 35,70 per
ton, atau 31% dari harga gandum (Shih, 1989: 353-355; Schwarz dan Friedland,
1991; Prospek, 22 Des. 1990: 41; laporan kKhusus Swa,, Jan 1994).

Nah, kalau impor gandum Bogasari telah meningkat dari satu juta ton (1972)
menjadi hampir lima juta ton tahun lalu (1997), dan kita anggap impornya
rata-rata tiga juta ton gandum setahun, maka total laba bersih Bogasari
selama 25 tahun sekitar US$ 2,25 milyar, atau sekitar Rp 4 trilyun!

Pendapatan Kelompok Salim di bidang pangan ke luar dari kantong kiri masuk
kantong kanan, menyatu dengan pendapatan dari pabrik semennya, sebab ITP
juga menguasai 50.94 % saham ISM. Sementara laba ISM sesudah dipotong pajak
di tahun 1997 sudah mencapai Rp 352 milyar (IEFR, 1997: 60).

Selain sumber pendapatan rutin yang luarbiasa berlimpah itu, Yayasan Harapan
Kita juga sewaktu-waktu mendapat rezeki nomplok dari para pengusaha yang
punya hubungan bisnis dengan keluarga Suharto. Misalnya, seiring dengan
harijadi ke-53 Kelompok Bakrie, sang ketua, Aburizal Bakrie, didampingi
CEO-nya, Tanri Abeng waktu itu, sowan ke Jalan Cendana untuk menyerahkan
sumbangan Rp 1 milyar bagi keperluan Yayasan Harapan Kita (Swa, 9-29 Mei
1996: 40).

Tidak jelas apakah itu upeti, ataukah sumbangan sukarela tanpa tekanan alias
"susu tante". Maklumlah, kelompok Bakrie punya segudang usaha kongsi dengan
keluarga Suharto. Misalnya, dengan Bambang dan Sudwikatmono dalam bisnis
minyak mentah Pertamina lewat Hong Kong, dengan Bambang dalam perkebunan
karet di Sumatra, dengan Sudwikatmono dalam Bank Nusantara International,
dengan Nusamba di PT Freeport Indonesia, dengan Titiek Prabowo dalam proyek
PLTU Tanjung Jati, dan dengan Tommy dalam bisnis eceran Goro dan Gelael
(Pura, 1986; Toohey, 1990; Borsuk and Solomon, 1997; IEFR, 1997: 4; Warta
Ekonomi, 4 April 1994: 29-30, 5 Juni 1995: 64-65, 30 Sept. 1996: 39-40;
Gatra, 8 Juli 1995, 4 Nov 1995: 29; D & R, 10 Mei 1997: 92; Tiras, 2 Juni
1997: 31-33).

Sebelum beralih ke bagian berikut, sedikit catatan perlu diberikan tentang
Yayasan Harapan Kita, yang di tahun 1971 diprotes para aktivis mahasiswa dan
intelektual muda seperti Arief Budiman, karena keterlibatan yayasan itu
dalam memanipulasi kekuasaan sang suami ketua yayasan itu untuk pembangunan
Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Dua tahun lalu, nama yayasan itu sempat tercoreng sekali lagi, karena diduga
terlibat dalam "pencucian uang" (money laundering ) lewat satu anak
perusahaannya, PT Harapan Insani, dan sebuah bank misterius, Dragon Bank
International, yang berpusat di Kepulauan Vanuatu di Pasifik Selatan, dengan
kantor cabang di Jakarta.

Tanggal 18 Juli 1996, harian Neraca (Jakarta) memberitakan bahwa Mabes
Polri akan memeriksa seorang bernama "DR. Ibnu Widojo, bos PT Harapan Insani
... kabarnya merupakan adik dari seorang pejabat tinggi pemerintahan
Indonesia". Sydney Morning Herald pada hari yang sama secara eksplisit
mengatakan bahwa Ibnu Widoyo adalah seorang ipar Presiden Suharto. Majalah
bisnis Warta Ekonomi tanggal 1 Juli 1996, juga secara eksplisit mengatakan
bahwa Ibnu Widojo adalah "adik kandung Ibu Tien Soeharto (alm) dan juga
presdir PT Harapan Insani" (hal. 22).

Sebagai partner Bank Dragon di Jakarta, PT Harapan Insani waktu itu berniat
membangun serangkaian proyek ambisius bernilai lebih dari US$ 7 milyar.
Rinciannya adalah bisnis telekomunikasi senilai US$ 4 milyar, bekerjasama
dengan Ghuangzhou Greatwall Electronic & Communication Co., Ltd. dari RRC,
dan pembangunan satu gedung pusat perdagangan setinggi lebih dari 101 lantai
di Arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, senilai US$ 3 milyar.

Selain di Indonesia, kongsi Dragon Bank-PT Harapan Insani juga
menanda-tangani rencana kerjasama dengan Mara Holding Sdn. Bhd., satu
perusahaan di bawah partai pemerintah, UMNO, untuk membangun proyek
perumahan dan hotel bernilai Rp 200 milyar di resor pariwisata Pulau
Langkawi, Malaysia Barat (Bursa, 4 Juni 1996).

Setelah kehadiran cabang bank Vanuatu itu diprotes Standard Chartered Bank
dan Hong Kong Bank, karena ketidakberesan transaksi mereka dengan "bank"
itu, dua orang Taiwan pengelola Dragon Bank diusir dari Jakarta dan Ibnu
Widojo diumumkan akan diperiksa. Namun setelah itu mendadak berita-berita
tentang Dragon Bank lenyap dari udara, sama misterius dengan kedatangannya.
Uang yang konon disalurkan oleh bank itu, lewat Vanuatu, juga lenyap tak
berbekas.

Tiga pesaing baru:
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

Berbeda dengan kedua pesaing lama (Harapan Kita dan Trikora), ada tiga
pesaing baru, yakni Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, Yayasan Amalbhakti Muslim
Pancasila (YAMP), dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (YDSM) yang
penghasilannya cepat melambung tinggi.

Yayasan Purna Bhakti Pertiwi lebih dikenal sebagai pengelola museum milik
Suharto dan isterinya di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Museum Purna
Bhakti Pertiwi tempat memamerkan sebagian besar cendera mata yang pernah
diterima Kepala Negara dan Ibu Negara, dibangun atas biaya sejumlah
pengusaha top.

Mereka itu adalah Probosutejo dan Sudwikatmono, yang masing-masing
menyumbang Rp 300 juta untuk pembangunan museum itu. Lalu, ada tujuh orang
yang masing-masing menyumbang Rp 200 juta, yakni Tommy Suharto; Robby
Sumampouw, pemilik kasino Pulau Christmas yang pernah merajai semua bisnis
basah di Timor Leste; Tonny Hardianto (direktur PT Bina Reksa Perdana,
perusahaan milik Tommy Suharto yang menjadi motor BPPC, dan kini mengambil
alih peran monopoli cengkeh itu); A.R. Ramly (waktu itu PresKom PT Astra
International); Prayogo Pangestu (Barito Pacific); Usman Admadjaja (Bank
Danamon); dan Henry Pribadi dari kelompok Napan (Prospek, 7 Maret 1992: 78;
Bisnis Indonesia , 15 Febr. 1994, 5 Maret 1994; Surya, 15 Febr. 1994).

Tapi itu semua masih kecil dibandingkan dengan pemasukan Yayasan Purna
Bhakti Pertiwi dari 22 % sahamnya dalam perusahaan jalan tol PT Citra Marga
Nusaphala Persada (CMNP). Tahun 1997, laba bersih perusahaan jalan tol
pimpinan Tutut itu mencapai Rp 123,6 milyar (IEFR, 1997: 538). Berarti
dividen Yayasan Purna Bhakti Pertiwi dari jalan-jalan tol CMNP, sebelum
krisis moneter melanda negeri kita, tahun lalu telah mencapai Rp 27 milyar!

Belum lagi dividen yayasan ini, setelah jalan-jalan tol yang dibangun dan
dikelola kongsi-kongsi CMNP di Malaysia, Filipina, Burma, dan Cina untuk
masa kontrak 30 tahun mendatang, mulai beroperasi (Info Bisnis , Juni 1994:
11; Business Week , 19 Agustus 1996: 16; Swa , 5-18 Juni 1997: 46; EBRI , 5
Maret 1997: 44; Prospek , 18 Agustus 1997: 49).

Yang jelas, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi terus terjamin pemasukannya dari
jalan-jalan tol yang dibangun sang putri sulung berkat dorongan sang ayah
sebagai tokoh ASEAN, tokoh APEC, ketua Gerakan Non-Blok dan tokoh OKI
(Organisasi Konferensi Islam).

Berkat pemasukan dari jalan-jalan tolnya, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi telah
menyaingi Yayasan Amalbhakti Muslim Pancasila (YAMP), yang menikmati masa
jayanya ketika Sudharmono menjadi Kepala Sekretariat Negara (Sekneg).

Selain menjadi Ketua Tim Keppres 10 yang menyaring semua proyek pembangunan
daerah di atas Rp 500 milyar, Sudharmono juga menjadi Ketua Umum Golongan
Karya dan Sekretaris YAMP.

Posisi 'penjaga gawang' itu memungkinkan Sudharmono membesarkan sejumlah
pengusaha pribumi, termasuk menantunya sendiri, Bambang Rachmadi yang
pemegang franchise McDonald di Indonesia, Agus Kartasasmita (adik Ginanjar
Kartasasmita), kelompok Medco (suatu usaha patungan antara Arifin Panigoro,
Eddi Kowara Adiwinata yang juga mertua Tutut, dan Siswono Yudohusodo), dan
kelompok Gunanusa (usaha patungan antara Iman Taufik dan Probosutedjo, adik
tiri Suharto) (Schwartz, 1994: 128; Pangaribuan, 1995: 56; CISI, 1997:
451-452).

Bersama-sama Yayasan Dakab, YAMP menjadi sumber utama pembiayaan Golongan
Karya, didukung "sumbangan wajib" antara Rp 50 dan Rp 1000 sebulan bagi
setiap pegawai negeri yang Muslim. Atau, menurut sumber lain, setiap pegawai
negeri yang berjumlah 4 juta orang dikenakan potongan wajib dari gaji
bulanannya sebanyak Rp 500, menghasilkan pemasukan sebanyak Rp 200 juta
sebulan yang tidak pernah diaudit.

Selama berkantor di gedung Setneg, YAMP ikut mengelola proyek-proyek Bantuan
Presiden (Banpres). Terang saja para pengusaha yang ingin produk atau
jasanya digunakan dalam proyek-proyek Banpres, mau tidak mau harus
'menyumbang' Yayasan ini, yang pada gilirannya mencari dukungan umat Islam
bagi Golkar dan Suharto khususnya dengan menyumbang pembangunan mesjid di
mana-mana.

Dewan pengurus YAMP terdiri dari Suharto sebagai ketua, Alamsyah
Ratu-prawiranegara (alm.), Widjojo Nitisastro, Amir Machmud (alm.), K.H.
Tohir Widjaja, dan Haji Thayeb Mohammad Gobel (alm.) sebagai wakil ketua,
serta Sudharmono, Bustanil Arifin, dan Soekasah Somawidjaja sebagai
sekretaris (Vatikiotis, 1990: 63, 1994: 52; Pangaribuan, 1995: 60-61, 70;
IEFR, 1997: 35).

Para anggota dewan pengurus ini tidak bersih dari kaitan bisnis dengan
keluarga Suharto dan konglomerat-konglomerat mereka. Itupun tidak terbatas
pada kaitan dengan keluarga Bustanil Arifin. Rosano Barrack alias Cano,
salah seorang pemegang saham inti kelompok Bimantara milik Bambang
Trihatmodjo, juga menjadi komisaris PT National Gobel yang kini dipimpin
Rachmat Gobel, putera Haji Th. M. Gobel almarhum. Sedangkah Soekasah
Somadidjaja adalah seorang komisaris PT Indocement Tunggal Prakarsa, divisi
semennya kelompok Salim (CISI, 1997: 864-867, 406A).

Selanjutnya, Yayasan Dana Sejahtera Mandiri. Yayasan ini didirikan oleh
Suharto dengan Keppres No. 92 bulan Januari 1996. Selain diketuai oleh
Suharto, beberapa orang Menteri lama dan baru duduk dalam badan pengurusnya,
yakni Menteri Kesra dan Pemberantasan Kemiskinan Haryono Suyono sebagai
Wakil Ketua II, Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, Subiakto
Tjakrawerdaya sebagai Sekretaris, Menteri Keuangan yang baru, Fuad Bawazier,
sebagai Wakil Sekretaris, serta Menteri Sekretaris Negara yang baru,
Saadilah Mursyid, Menteri Perdagangan dan Industri yang baru, Bob Hasan, dan
Menteri Sosial yang lama, Inten Suweno sebagai anggota. Bambang Trihatmodjo
diangkat sebagai Bendahara, dengan wakil Anthony Salim.

Anggota-anggota lain dari kalangan pengusaha adalah Liem Sioe Liong,
Sudwikatmono, Sukamdani S. Gitosardjono, Tommy Suharto, Eka Tjipta Widjaja,
Ciputra, Henry Pribadi, Prajogo Pangestu, Sofyan Wanandi, Usman Admadjaja
(Danamon), Rachman Halim (Gudang Garam), dan Putra Sampurna (Sampurna).

Dalam waktu satu setengah tahun, YDSM telah berhasil mengumpulkan dana
sekitar Rp 768,6 milyar. Ini bukan hanya "sumbangan" para pengusaha besar,
tapi juga dari para pengusaha menengah berkat kebijaksanaan Menteri Keuangan
dan Dirjen Pajak bahwa para wajib pajak yang penghasilannya di atas Rp 100
juta, harus menyisihkan sedikitnya 2% laba bersih perusahaannya bagi yayasan
ini. Gagasan itu dicetuskan oleh Eka Tjipta Widjaja, yang juga aktif
melakukan fund raising bagi YDSM bersama Menteri Negara Kependudukan,
Haryono Suyono, bulan April dua tahun lalu.

Eka Tjipta Widjaja dan kelompok Sinar Masnya, memang dekat dengan keluarga
besar Suharto dan Habibie. Probosutedjo memiliki 22,5% saham dalam
perusahaan real estate PT Duta Pertiwi, anggota kelompok Sinar Mas, dan
menjabat sebagai PresDir perusahaan itu. Selain itu, sejumlah industri kimia
anggota kelompok Sinar Mas berkongsi dengan Bimantara (Bambang Trihatmodjo)
dan Timsco (Timmy Habibie).

Karuan saja di hari ulangtahun perkawinannya yang ke-50, Eka Tjipta Widjaja
menyumbang Rp 1 milyar pada Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan yang
dibendaharai Tutut. Tak mau kalah dengan "kedermawanan" Eka Tjipta Widjaja,
Sudwikatmono sebagai direktur PT Indocement pertengahan tahun lalu
menjanjikan sumbangan Rp 4,26 milyar bagi yayasan ini.

"Susu tante" (sumbangan sukarela tanpa tekanan) dari para pengusaha itu
disalurkan kepada masyarakat miskin yang tergolong Keluarga Pra-sejahtera
dan Keluarga Sejahtera I, yang berada di luar jangkauan program Inpres Desa
Tertinggal (IDT) yang berjumlah sekitar 11,5 juta jiwa -- sebelum krisis
moneter melanda Indonesia. Bantuan itu berupa Tabungan Keluarga Sejahtera
(Takesra) dan Kredit Usaha Keluarga Sejahtera (Kukesra).

Menyusul empat besar yayasan Suharto yang lain (Dakab, Dharmais, Supersemar,
dan YAMP), YDSM juga berkantor di gedung mewah Granadi (Graha Dana Abadi) di
Jalan Rasuna Said, Kuningan. Seperti kakak-kakaknya, dana yang terkumpul
oleh YDSM sebagian akan tersalur kembali ke perusahaan-perusahaan milik
keluarga Suharto. Tak lama setelah yayasan ini berdiri, Haryono Suyono,
Wakil Ketua YDSM yang waktu itu masih menjabat sebagai Menteri Kependudukan
merangkap Kepala BKKBN menandatangani kerjasama pengadaan bibit hortikultura
dengan PT Intidaya Agrolestari.

Menurut sang Ketua BKKBN, pinjaman YDSM sebesar Rp 2000 per keluarga yang
untuk membuka Tabungan Kesra, hendaknya digunakan untuk membeli bibit
hortikultura yang dapat dikembangkan di lahan milik para petani miskin ini.
Lalu, siapa pemilik PT Intidaya Agrolestari? Ternyata sang Menteri
Perdagangan dan Industri yang baru, Bob Hasan, memiliki 90% saham perusahaan
itu a/n Nusamba (Wibisono, 1995; IEFR, 1997: 480-481; Gatra , 27 Jan.
1996;Suara Independen , Jan.-Febr. 1996; Swa, 9-29 Mei 1996: 40, 30 Jan.-19
Feb. 1997: 22; Bali Post , 15 Sept. 1996; Eksekutif , Maret 1997: 27; D&R,
14 Juni 1997: 81; Jakarta Post , 25 Juni 1997; Bisnis , tanpa tanggal).

Yayasan trah Solo & trah Yogya:
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

Seperti dijelaskan di depan, ada satu yayasan yang didirikan keluarga besar
Nyonya Tien Suharto di Solo, yakni Yayasan Mangadeg, dan satu lagi yang
didirikan keluarga besar Soeharto di Yogya, yakni Yayasan Kemusuk
Somenggalan.

Yayasan Mangadeg resminya didirikan tanggal 28 Oktober 1969 untuk membangun
dan mengelola Astana Giribangun, kuburan orang-orang yang mau dianggap
keturunan keraton Mangkunegaran, walaupun sesungguhnya tidak berdarah
bangsawan. Dengan kata lain, dengan dikuburkan di situ, keluarganya
seolah-olah dapat "membeli" darah bangsawan itu. Itulah mausoleum di mana
Nyonya Tien Suharto, seorang adiknya, dan kedua orangtuanya dikuburkan.

Menurut akte pendiriannya, Suharto dan isterinya adalah pelindung dan ketua
umum yayasan itu, dengan Mangkunagoro VIII sebagai ketua kehormatan. Ketua
hariannya adalah usahawan asal Solo, Sukamdani Sahid Gitosarjono, yang ikut
menyumbangkan Rp 30 juta untuk modal pertama yayasan itu. "Saya lakukan hal
itu dengan harapan mendapat imbalan pahala berlimpah. Nyatanya ada
berkahnya -- usaha-usaha saya jadi lancar," jelas Sukamdani pada Tempo , 3
Desember 1977 (hal. 8).

Dalam dasawarsa 1970-an, ketika masih menjadi wartawan Tempo , saya
mendengar bahwa para pemegang HPH harus menyetor sejumlah dana ke rekening
Dirjen Kehutanan Sujarwo, yang merangkap Bendahara Yayasan Mangadeg.
Menurut Sukamdani Gitosarjono, seluruh biaya pembangunan kuburan itu, yang
dikerjakan secara padat karya selama dua tahun (1974-1976) dengan
mengerahkan 700 orang penduduk desa setempat, "cuma" menelan biaya Rp 437,8
juta, atau 1 juta dollar AS. Begitu katanya dalam konferensi pers, akhir
November 1977, menanggapi kritik mahasiswa dan desas-desus bahwa kuburan itu
menelan biaya Rp 4 milyar, atau 9,6 juta dollar AS (Jenkins, 1984:
76-77;Tempo, 3 Des. 1977: 8-9).

Selain memeras para pemegang HPH, sampai akhir 1980-an Yayasan Mangadeg
punya bisnis lain lewat Bernard Ibnu Hardoyo, adik kandung Tien Suharto. A/n
Mangadeg, Ibnu Hardoyo dan ayahnya, Soemoharjomo (= Soemoharmanto),
mendirikan PT Gunung Ngadeg Jaya pada tanggal 8 Juni 1971, pemilik 30% saham
pabrik semen PT Semen Nusantara di Cilacap.

Lewat Gunung Ngadeg Jaya, Mangadeg masih punya sejumlah saham dalam pabrik
kabel Gajah Tunggal, PT Kabelmetal Indonesia, dalam tiga perusahaan kongsi
dengan kelompok Miwon dari Korea, dan dalam PT Pasopati, holding company
yang dioperasikan Bob Hasan. Pasopati menguasai sejumlah saham perusahaan
pelayaran PT Karana Lines dan PT Garsa Line, perusahaan pengangkut kayu
kongsi Karana Lines dengan sejumlah investor Jepang. Kemudian, lewat
Sukamdani dan Soemoharjomo, Mangadeg juga mendapat pemasukan dari kelompok
hotel Sahid, hotel Kartika Chandra, dan konsesi hutan PT Sahid Timber.

Belum lagi pemasukan Mangadeg dari PT Rejo Sari Bumi, pengelola peternakan
sapi "3-S" seluas 600 hektar di Desa Tapos, Kecamatan Cibedug, dekat Bogor.
Ayah Nyonya Tien, Soemoharmanto, tercatat sebagai direktur perusahaan yang
dibentuk tanggal 25 November 1971. Peternakannya sendiri baru mulai digarap
tahun 1974, setelah memperoleh tanah eks perkebunan PNP XI.

PT Rejo Sari Bumi juga memegang saham perkebunan tebu PT Gunung Madu
Plantations dan pabrik gula PT Gula Putih Matara, di Lampung, bersama-sama
Yayasan Trikora dan Harapan Kita, raja gula Malaysia, Robert Kuok, serta dua
partner bisnis lama Suharto, Liem Sioe Liong dan Yance Lim. Bisnis manis
berlepotan uang -- dan keringat petani tebu serta buruh pabrik gula -- itu
kini dipegang Bambang Trihatmodjo lewat kelompok Bimantara (Gitosardjono,
1974; Akhmadi, 1981: 74, 115, 173-176; Pura dan Jones, 1986a; Robison, 1990:
260-261, 343-347, 362; Shin, 1989: 250-251; Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990:
27, 22 Juni 1992: 16, 7 Nov. 1994: 17; Detik, 25-31 Agustus 1995: 5;
Prospek, 22 Jan. 1994: 27; Swa, 30 Jan.-19 Feb. 1997: 21, 3-16 Juli 1997:
87).

Besarnya dana mausoleum Mangadeg serta pembangunan peternakan Tapos seluas
720 Ha itu dikecam secara keras oleh mahasiswa ITB dalam Buku Putih 1978.
Buku itu serta penolakan terhadap pencalonan kembali Suharto mengakibatkan
Ketua Dewan Mahasiswa ITB, Heri Akhmadi, diseret ke pengadilan. Bersamaan
dengan itu berlangsung pengadilan Sawito Kartowibowo, yang juga menyerukan
Suharto meletakkan jabatan. Tokoh kebatinan itu dalam pembelaannya juga
mengecam pembangunan mausoleum dan peternakan keluarga Suharto (McDonald,
1980: 234-236; Akhmadi, 1981: 74; Bourchier, 1984: 55; Jenkins, 1984: 164).

Dengan pemenjaraan kedua pembangkang itu, tamatlah perdebatan tentang
mausoleum dan peternakan raksasa itu. Padahal, asal-usul peternakan Tapos
serta cara pengembangannya, penuh contoh manipulasi kekayaan rakyat
Indonesia. Pertama-tama, ternak yang merupakan modal utama Tapos diperoleh
Sigit, pengelola peternakan keluarga Suharto itu, dari Australia, atas biaya
dinas. Sapi Abidin, begitulah.

Barangkali banyak orang sudah lupa bahwa tanggal 3-5 April 1975, Suharto
secara informal berjumpa dengan PM Australia, Gough Whitlam, di Townsville,
sebuah kota terpencil di negara bagian Queensland sebelah Utara yang
beriklim tropis.

Di sana Whitlam sekali lagi mengulangi pernyataan sikapnya pada Suharto,
yang sudah dinyatakannya di Wonosobo, Jawa Tengah, bulan September 1974,
bahwa Timor Leste sebaiknya masuk Indonesia, karena tidak punya cukup
sumberdaya untuk merdeka sendiri.

Sebagian percakapan tentang masa depan Timor Leste dilakukan di peternakan
sapi dan perkebunan tebu "Brandon" milik Pioneer Sugar Mills di pulau
Magnetic, lepas pantai Townsville. Wartawan setempat yang meliput kunjungan
itu mencatat betapa tertariknya Suharto pada seluk-beluk pembibitan sapi
jenis drought-master dan brahman di peternakan itu.

Dalam percakapan dengan kepala peternakan Pioneer Sugar Mills, Paddy Archer,
Suharto mengungkapkan bahwa iapun memiliki peternakan milik keluarganya di
Indonesia. Ia juga menyatakan keinginannya untuk kembali menjadi petani
purna waktu, setelah lengser keprabon. Untuk itulah ia ingin mengimpor sapi
Australia. Turut dalam kunjungan informal ke Townsville itu Menteri
Pertanian waktu itu, Ir. Thoyib Hadiwidjaja, yang khusus mengadakan
pembicaraan dengan Menteri Pengembangan Daerah Utara, Dr Patterson, tentang
kemungkinan mengimpor sapi Australia (Courier Mail, 2 & 5 April 1975).

Pada saat itulah, sejumlah ternak di-booking oleh Suharto. Di penghujung
1975, selesai mendaratkan pasukan penyerbu di Timor Leste, kapal-kapal
pendarat (LST) milik Komando Lintas Laut Militer (Kolinlanmal) ditugaskan
melanjutkan pelayarannya ke Townsville, guna menjemput sapi-sapi Australia
yang sudah di-booking Suharto itu, dan mengangkutnya ke Jakarta. Kerja
besar yang dibiayai rakyat Indonesia ini dinamakan Operasi Andhini Bhakti.
Ini dibeberkan dengan bangga oleh Kolinlanmal menjelang HUTnya yang ke-31,
tanggal 1 July 1993 (Surya , 30 Juni 1993). Dari Jakarta, sapi-sapi
Australia itu selanjutnya diangkut ke ranch keluarga Suharto di Tapos.

Dari Tapos, dana bantuan Presiden digunakan untuk "menyumbang" bibit ternak
ke propinsi-propinsi, dengan dalih memperbaiki mutu ternak rakyat. Ini,
sekali lagi merupakan "proyek" bagi Sigit Harjojudanto. PT Bayu Air,
perusahaan EMKU (Ekspedisi Muatan Kapal Udara)-nya dikontrak untuk
menerbangkan sapi-sapi Australia itu -- hasil penyilangan dan pembibitan di
Tapos -- ke daerah-daerah luar Jawa.

Namun Bayu Air, belum punya pesawat sendiri. Ini bukan masalah bagi putera
sulung seorang presiden yang berkelakukan bak Raja seperti Suharto. AURI
diminta "menyumbangkan" sebagian pesawat Herculesnya untuk mengangkut ternak
bantuan Presiden dari Tapos itu. Logo TNI/AU ditempeli logo PT Bayu Air. Itu
hanya salah satu fasilitas negara yang dinikmati Sigit, di samping menjadi
calo pesawat Lockheed AS, serta pungutan wajib 5% dari seluruh barang muatan
udara yang masuk ke luar Indonesia, berdasarkan SK Dirjen Perhubungan Udara
(McDonald, 1980: 233-234; Robison, 1990: 344, 347; Vriens, 1995: 49-50;
Aditjondro, 1998).

Begitulah cerita seputar sapi-sapi Tapos, yang pantang diungkapkan pers
Indonesia, kalau tidak ingin bernasib malang seperti Heri Akhmadi dan Sawito
Kartowibowo. Namun menarik untuk dicatat, dua tahun sesudah kasus kedua
pembangkang sipil itu, dari kalangan TNI/ AD sendiri ada usaha membongkar
asal-usul dibarengi peternakan seluas 720 Ha di selatan kota Jakarta itu.
Usaha itu dibarengi kecaman keras dari LetJen Jasin, salah seorang
penandatangan Petisi 50 tahun 1980.

Ketika bersama delegasi Petisi 50 menyampaikan ke DPR-RI di pertengahan Mei
1980, Yasin secara khusus menyampaikan tulisan setebal 7 halaman yang
menyoroti pembangunan ranch Tapos sebagai contoh kemunafikan dan korupsi
Suharto. "Kalau kita tolerir, izinkan, atau terima kemunafikan dan korupsi
ini, kita berdosa terhadap diri kita sendiri maupun terhadap bangsa
Indonesia," kata jenderal purnawirawan itu, ketika membacakan suratnya.

Kata Jasin, pernyataan Suharto dalam berbagai kesempatan bahwa dia dan putra
sulungnya, Sigit, hanyalah "konsultan honorer" perusahaan PT Tiga "S"
pemilik dua peternakan sapi di kaki pegunungan dekat Bogor, 40 mil sebelah
selatan Jakarta, tidak betul. Itu disimpulkannya setelah meneliti asal usul
ranch itu, dengan menanyakannya ke sejumlah pejabat maupun rakyat setempat.
Salah seorang yang ditanyainya, diidentifikasi oleh David Jenkins, yang
meneliti keterlibatan para jenderal dalam Petisi 50, sebagai Gubernur Jawa
Barat, Letjen Solichin GP waktu itu.

Menurut Jasin, Suharto telah memanggil Solihin dan memintanya mencarikan
tempat peristirahatan yang jauh dari kesibukan di kota Jakarta. Komentar
Jasin, permintaan itu sendiri sangat berlebihan, karena sudah tersedia
istana yang cukup besar di Bogor, untuk tempat peristirahatan presiden.
Menanggapi permintaan itu, Solihin menyediakan sertifikat tanah seluas 720
Ha, cukup untuk menampung penduduk satu desa di Jawa.

Tahap berikutnya adalah penyediaan prasarana bagi peternakan itu. Menurut
Jasin, yang menjabat sebagai Sekjen Departemen Pekerjaan Umum tahun
1973-1974, Menteri PU waktu itu memberitahukannya bahwa pembangunan jalan
dan irigasi untuk peternakan itu dikerjakan oleh Departemen PU, atas
permintaan Suharto. Sekali lagi Jasin tidak menyebut nama, namun cukup jelas
bagi David Jenkins, bahwa Menteri yang dimaksudkannya adalah alm. Ir.
Sutami, Menteri PU dari tahun 1965 s/d 1978.

Selanjutnya, menurut Jasin, seorang laksamana AL memberitahukannya, bahwa
sapi-sapi Tapos diangkut dari Australia dengan menggunakan kapal-kapal
TNI/AL. Semuanya ini membuat Jasin bertanya: "Dari sini muncul tanda tanya
besar: dapatkah Sigit Suharto, seorang warganegara biasa, memberikan
perintah kepada seorang gubernur, seorang menteri, dan Angkatan Laut?
Jawabannya, menurut logika sederhana, mustahil".

Itu sebabnya, Jasin berpendapat, pernyataan Suharto bahwa dia dan putera
sulungnya hanyalah "konsultan honorer" peternakan itu, merupakan "kebohongan
mutlak". Yang terjadi adalah "komersialisasi jabatan", suatu topik
kontroversial yang sedang ramai dibicarakan di media massa waktu itu.

Surat Jasin dan penyampaiannya di parlemen, cukup menghebohkan waktu itu.
Ada yang menganggapnya bertentangan dengan susila Jawa. Bahkan para aktivis
mahasiswa, dalam mengecam kuburan Mangadeg seharga 1 milyar dollar AS, tidak
menggunakan bahasa sekasar itu, kata sebagian pengecam Jasin. Kata seorang
jenderal kepada David Jenkins, dengan nada membela Suharto: "Presiden 'kan
anak petani, yang senang main lumpur. Beliau tidak mengambil tanah itu,
melainkan hanya menyewanya selama 25 tahun. Apalagi tanah itu tadinya hanya
bukit-bukit gersang. Dan kalaupun Malcolm Fraser [Perdana Menteri Australia
waktu itu] menghadiahkan sapi pejantan pada beliau, hasil persilangannya
'kan dikirim ke daerah-daerah". Namun dua hari kemudian ia menambahkan:
"Orang banyak tahu bagaimana Pak Harto mendapatkan semua itu, yakni tanpa
mengeluarkan uang se sen pun" (Jenkins, 1984: 164-167).

Kritik sesama perwira tinggi ABRI ini pun dilawan oleh Suharto secara
otoriter. Bertahun-tahun lamanya mereka dikenakan hukuman cegah tangkal
(cekal), dilarang bepergian ke luar negeri, dan keran-keran bisnis mereka
dimatikan. Maka amanlah Suharto untuk menjamu tamu-tamunya di Tapos,
termasuk memaksa sekitar 30 juragan konglomerat keturunan Cina menyumbang
sebagian sahamnya kepada koperasi, tanggal 4 Maret 1990.

Baru empat tahun kemudian, Suharto tiba-tiba menangkis tudingan berbagai
pihak, bahwa di ranch keluarga presiden ada barang-barang mewah seperti
istana, kolam renang, lapangan golf, bahkan helipad. Ia pun mengundang para
pejabat lembaga-lembaga PBB di Jakarta ke Tapos, pada hari Sabtu di akhir
bulan Oktober 1994, untuk membuktikan bahwa di peternakan itu "tidak ada
apa-apanya" (Warta Ekonomi, 7 Nov. 1994: 17).

Tampaknya sang presiden menganggap bahwa memiliki ranch seluas 600 Ha di
Pulau Jawa, di mana 54% keluarga tani hanya memiliki 0,5 Ha tanah di tahun
1983 (Suhendar dan Kasim, 1996: 111), bukan kemewahan. Karuan saja anak
bungsunya pun kemudian mengganggap bahwa kebun buahnya seluas 260 Ha di tepi
koridor Cibubur-Cianjur, juga tidak mewah.

Awal 1993, saham Mangadeg di pabrik semen Cilacap dibeli oleh Hashim dan
Titiek Prabowo. Kendati demikian, saham-saham Gunung Ngadeg yang tersisa,
masih cukup menumpuk rezeki Mangadeg. Laba bersih PT Kabel-metal tahun lalu
sudah mencapai Rp 6 milyar. Dalam tahun yang sama, laba bersih PT Hotel
Sahid Jaya International sudah mencapai Rp 10,4 milyar. Ekspansi itu masih
jalan terus, tak terpengaruh oleh krisis moneter di Indonesia. Terbukti
bahwa di pertengahan Desember lalu, ke-24 hotel Sahid di Indonesia dan Arab
Saudi, yang ditaksir bernilai 1 milyar dollar Australia. Pada saat yang
sama, kelompok Sahid berhasil membangun aliansi strategis dengan maskapai
perhotelan AS, Park Plaza, dengan merangkul hotel-hotel Kemayan di
Australia.

Sementara itu masih ada sejumlah saham PT Pasopati dalam perusahaan
pelayaran PT Karana Lines berikut anak perusahaannya, PT Garsa Line yang
khusus untuk angkutan kayu. Karana Lines tergolong perusahaan pelayaran top
di Indonesia, dengan armada berbobot mati 21.539 ton (IEFR, 1997: 232, 524;
Info-Bisnis, Edisi Khusus 1994: 82; Australian Financial Review. 17 Des.
1997).

Seperti halnya Mangadeg, Yayasan Kemusuk Somenggalan juga berurusan dengan
hutan, namun bukan di negeri sendiri. Yayasan yang diketuai Raden
Notosoewito ini membawahi kelompok MUSA (Mitra Usaha Sejati Abadi) yang
menguasai 150.000-Ha konsesi hutan di Surinam dan sedang berusaha
memperlebar sayap ke Guyana dan Brazil. Perusahaan itu merupakan perusahaan
Indonesia pertama yang menjadi sasaran kecaman aktivis lingkungan sedunia
(Skephi dan IFAW, 1996).

Yayasan Ibu Tien Soeharto:
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

Kematian isterinya tidak mengurangi minat Suharto ber-yayasan-ria. Empat
puluh hari setelah meninggalnya Nyonya Tien pada tanggal 28 April 1996,
Suharto mendirikan Yayasan Ibu Tien Soeharto. Modal pertamanya adalah uang
santunan PT Taspen (Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri), yang diserahkan
DirUt pesero itu, Muljohardjoko, kepada Suharto di Jalan Cendana, bertepatan
dengan perayaan Idul Adha 1417 H, tanggal 17 Juli 1996. Ia menolak
menyebutkan jumlah santunan yang diserahkan, begitu pula Suyono, pejabat
Humas PT itu, ketika Kompas mencoba mengonfirmasikan masalah itu ke kantor
Taspen. Katanya: "Tidak etis menyebut jumlahnya."

Di fihak lain, Dirut PT Taspen tidak merasa canggung berfungsi sebagai Humas
Yayasan Ibu Tien Soeharto, dengan menjelaskan tujuan yayasan itu, yakni
membimbing anak asuh dan orang lanjut usia (Kompas &Bali Post , 18 Juli
1996).

Maklumlah, PT Taspen juga bagian dari bisnis keluarga Suharto. Pesero itu
memiliki 25% saham PT Lamicitra Nusantara, perusahaan properti Bambang
Trihatmodjo yang membangun kompleks Tunjungan di Surabaya (Swa, Agustus
1995: 40), dan memiliki saham PT Marga Mandalasakti, pengelola jalan tol
Tangerang-Merak sepanjang 78,2 Km, bersama Humpuss, Hanurata, Krakatau Steel
dan Jasa Marga (Prospek , 13 Agustus 1994).

Selain itu, PT Taspen juga menyertakan modal Rp 375 milyar dalam PT Barito
Pacific Timber, yang sempat diprotes oleh sejumlah anggota DPR-RI (Kompas,
8-10 Juli 1993; Bisnis Indonesia , 9 Juli 1993; Forum Keadilan , 29 Sept.
1994: 23). Pemegang saham utama perusahaan itu, Prajogo Pangestu,
berpatungan dengan Tutut dalam proyek HTI dan pabrik pulp raksasa di
Sum-Sel, dan dengan Bambang dalam Bank Alfa bin Bank Andromeda.

Makanya, penyerahan uang santunan dari PT Taspen ke Suharto sebagai ahli
waris isterinya, hanya merupakan perputaran uang dari satu kantong keluarga
Suharto ke kantong lain. Begitu berdiri dengan modal uang santunan itu,
Yayasan Ibu Tien Soeharto segera dikerahkan bersama yayasan Supersemar dan
Dharmais mendukung Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA) yang dipimpin
menantu Suharto, Halimah Trihatmodjo.

Hari Jumat, 9 Agustus 1996, seusai melaporkan perkembangan GN-OTA ke Suharto
di Istana Merdeka, Mensos Inten Suweno mengumumkan bahwa Yayasan Ibu Tien
akan memberikan 10.000 beasiswa kepada pelajar SD atau SLP, sedangkan
Yayasan Dharmais dan Yayasan Supersemar masing-masing akan membagi-bagikan
50 ribu beasiswa bagi pejar SD serta 10 ribu beasiswa bagi pelajar SLP (Bali
Post , 10 Agustus 1996).

Bisnis dan diplomasi luar negeri:
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

Yayasan-yayasan yang diketuai anak, menantu, serta keluarga besan Suharto,
selain merupakan alat bisnis keluarga Suharto, sekaligus menunjang
propaganda Suharto di luar negeri. Yayasan Kemajuan dan Pembangunan Asmat
misalnya, berlagak menunjang pembangunan kesejahteraan dan kesenian Asmat,
dengan pameran-pameran mereka di Jakarta, Eropa dan Amerika Serikat, untuk
menutupi dampak perusakan hutan di Papua Barat akibat ulah kelompok
perusahaan Hanurata (Aditjondro, 1983) dan Djajanti Djaja selama puluhan
tahun di sana.

Dalam hal propaganda tentang kehebatan "pembangunan" Indonesia di Timor
Leste, sama saja. Yayasan Tiara digunakan Tutut untuk mencoba menggemboskan
gerakan perlawanan siswa-siswa Timor Leste dengan cara merekrut mereka
menjadi buruh di pabrik-pabrik yang dekat atau ikut dimiliki keluarga
Suharto, seperti pabrik semen Indocement di Cibinong, pabrik tekstil
Kanindotex di Bawen (yang kini telah resmi diambil-alih Bambang Trihatmojo),
pabrik tekstil PT Sritex di Sukoharjo, serta kilang kayu Barito Pacific di
Kalimantan milik Prajogo Pangestu, teman bisnis Bambang maupun Tutut
(Aditjondro, 1994: 48).

Selain mencangkokkan para pemuda Maubere di pabrik-pabrik yang dikuasai
keluarga besar Suharto, ada satu yayasan lain yang punya misi yang hampir
sama: melunturkan nasionalisme pemuda Maubere. Itulah Yayasan Tunas Harapan
Timor Lorosae (YTHTL) yang diasuh Lopes da Cruz, Dubes Keliling Indonesia
untuk urusan Timor Leste, yang juga orangnya Tutut. Menurut da Cruz, yayasan
ini bekerja khusus untuk memperhatikan narapidana politik mahasiswa Timor
Leste di dalam maupun di luar negeri mereka.

Di samping itu, YTHL juga berusaha menyalurkan para mahasiswa Timor Leste ke
kampus-kampus di luar Jawa-Bali, di mana gerakan klandestin mahasiswa Timor
Leste, Renetil, belum begitu berakar. Misalnya, awal Juni 1995, empat orang
pengurus YTHL berkunjung ke Sulawesi Utara, menemui Gubernur E.E. Mangindaan
untuk menawarkan kemungkinan penempatan 25 orang mahasisa Timor Leste di
Unsrat, IKIP Tondano, dan UKI Tomohon. Mangindaan menyambut baik rencana
itu, supaya para mahasiswa Timor Leste "jangan dipolitisasi," katanya
(Kompas & Media Indonesia , 28 Juni 1994; Jawa Pos , 3 Juni 1995).

Sementara itu, berkat kedekatannya dengan Tutut (dan ibunya, sewaktu ia
masih hidup), PT Sritex, yang anak perusahaannya juga melibatkan adik Ketua
Golkar, Harmoko, berhasil menembus embargo Portugal terhadap barang-barang
Indonesia dengan mengekspor 15 ton benang kapas ke pabrik tekstil milik
Manuel Macedo, teman bisnis Tutut di Portugal, yang juga menjadi pelobi
utama bagi rezim Suharto di Portugal dan bekas jajahannya di Afrika (Santos
dan Naia, 1997).

Pembongkaran produk Sritex di pelabuhan Leixoes, menggegerkan pers Portugal
serta para aktivis Timor Leste di sana. Tapi karena ekspor Sritex itu
resminya transaksi bisnis biasa, pemerintah Portugal tidak dapat melarang.
Berkat "pijakannya" di Portugal itu, awal tahun lalu Sritex berhasil
memenangkan order 1/2 juta seragam tentara Jerman, senilai US$ 10,4 juta,
atau Rp 25 milyar waktu itu (Aditjondro, 1994: 49; FEER, 13 Maret 1997:
63).

Untuk mendukung diplomasi luar negeri berbau duit itu, dibentuklah Yayasan
Kebudayaan Portugal-Timor (YKPT) yang juga berada di bawah pengaruh Tutut.
Yayasan ini, menurut Lopes da Cruz, merupakan mitra kerja Perhimpunan
Persahabatan Portugal Indonesia (PPPI) yang diketuai oleh Manuel Macedo,
partner bisnis PT Sritex di Portugal (Forum Keadilan , 23 Juni 1994: 34;
Kompas , 28 Juni 1994).

Celakanya bagi YKPT, rencana mereka untuk mengirimkan suatu misi kesenian
Indonesia ke Portugal batal akibat eskalasi semangat pro-Timor Leste di
sana, berkat hijrahnya lebih dari 100 pemuda Maubere ke Portugal lewat
berbagai gedung kedutaan di Jakarta, disusul dengan pemberian Hadiah Nobel
Perdamaian 1996 pada Jose Ramos-Horta dan Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo.

Kegiatan Yayasan Bimantara resminya juga bersifat nirlaba, tapi
ujung-ujungnya juga berbau bisnis merangkap politik. Berkat promosi kain
Timor dalam busana modern rancangan Prajudi Admodirdjo yang disponsori
Yayasan Bimantara (Kompas, 11 Sep, 4 Des. 1994), produk PT Dilitex
mendapatkan popularitas secara nasional, bahkan internasional.

Selain "menangani" Timor Leste lewat Yayasan Tiara, Yayasan Kebudayaan
Portugal-Timor, dan Yayasan Tunas Harapan Timor Lorosae, Tutut juga berniat
mendirikan sebuah yayasan untuk mengelola sebuah perguruan tinggi di Timor
Timor. Untuk itu ia telah memilih Kepala Desa "boneka" Komoro, Vitorino,
seorang mauhu (informan), sebagai ketua yayasannya. Menurut kantor berita
alternatif, Matebean, 12 Januari lalu, faktor bisnis melatarbelakangi maksud
pembangunan perguruan tinggi itu, yaitu mendidik tenaga ahli untuk mendukung
perluasan bisnis keluarga Suharto di Timor Leste.

Dugaan Matebean cukup berdasar. Setelah jatuhnya Benny Murdani dari puncak
kekuasaannya dan munculnya LetJen Prabowo Subianto sebagai anjing herder
keluarga besar Suharto-Djojohadikusumo, bisnis anak-anak Suharto mulai
berkembang pesat di koloni Indonesia ini. Tutut berhasil menyingkirkan Robby
Sumampouw, cukong peliharaan Benny Murdani, menjadi "raja kopi" di Timor
Leste, dengan pasaran ekspor di Amerika dan Australia. Dia juga telah
mendapat konsesi batu pualam di Manatuto, yang tadinya juga dikuasai Robby
Sumampouw.

Kerabat Tutut yang lain sudah mulai merambah Timor Leste. Pamannya,
Probosutejo, telah menyatakan minatnya membuka perkebunan kopi. Sedangkan
sang adik, Tommy, yang paling tidak suka melihat suatu kesempatan emas
berlalu, berhasil membujuk ayahnya untuk memperoleh konsesi perkebunan tebu
seluas 200 ribu Ha di pantai selatan koloni itu, membentang antara Viqueque,
Natarbora dan Betano. Sementara perkebunan yang akan mendatangkan 20 ribu
buruh tani dan buruh pabrik gula dari Jawa terbentang di pesisir selatan,
pabrik gulanya sendiri akan dibangun di Lospalos, 250 km dari Dili.

Seluruh investasi Tommy di Timor Leste, yang disalurkan lewat PT Putra
Unggul Sejati dan PT Tidar Nusantara, mencapai 800 juta dollar AS. Itu tidak
termasuk harga tanah, yang dicaplok secara cuma-cuma dari petani Maubere.
Itu juga tidak termasuk ongkos pembangunan pembangkit listrik, sebab pabrik
gula Tommy di Lospalos diharapkan akan memanfaatkan listrik dari PLTA yang
akan dibangun di Iralalaro dari dana APBN sebesar Rp 500 milyar. Konon
perkebunan tebu di pantai selatan itu merupakan kongsi Tommy dengan suami
Tutut, Indra Rukmana.

Selain pabrik kopi Tutut, pabrik tekstil Titiek, pabrik garam beryodium
Titiek pula, dan pabrik gula Tommy, bisnis keluarga besar Suharto dan
antek-anteknya di Timor Leste akan bertambah dengan sebuah pabrik semen,
yang akan dibangun oleh Budi Prakoso. Adik Setiawan Djody dan bekas suami
Yenny Rachman itu, yang juga terlibat dalam pabrik Lamborghini bersama
Tommy, akan memegang 51% saham pabrik semen di Laifu, Baucau. Sisanya, akan
dimiliki oleh tokoh-tokoh Timor Leste, yang telah berhasil dirangkul oleh
Tutut, yakni Abilio Araujo, bekas tokoh Fretilin di Portugal, yang sudah
dipecat dari Fretilin karena pengkhianatannya, Francisco Xavier do Amaral,
bekas Ketua Fretilin yang sudah bertahun-tahun hidup di bawah pengawasan
Jenderal Dading Kalbuadi, dan, siapa lagi, Lopes da Cruz. Pabrik yang
dipastikan akan mulai beroperasi tahun 1998 ini akan berkapasitas sekitar
1,5 juta ton setahun.

Bob Hasan dengan kelompok Nusamba-nya, tak mau ketinggalan untuk hadir di
Pulau Timor melalui Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 30 ribu Ha di Timor
Leste dan 30 ribu Ha di Timor Barat. Dua nama perusahaan telah digunakannya
bagi HTI itu, yaitu PT Fendi Hutani Lestari (untuk bagian yang di Timor
Timur) dan HTI Polem (untuk bagian yang di Timor Barat). Peresmian HTI yang
di Timor Timur dilakukan sendiri oleh Suharto, beberapa tahun lalu,
sedangkan yang di Timor Barat ditinjau Suharto, bulan Oktober 1996. Namun
praktis hanya bagian yang di Timor Barat yang jalan, sebab di Timor Leste
rencana HTI Bob Hasan mendapat reaksi keras dari rakyat Maubere di Kabupaten
Viqueque.

Kegagalan membuka HTI di Timor Leste ditebus oleh kapitalis-birokrat itu
dengan melebarkan sayap PT Astra Motor, yang sejak 15 September 1997 mulai
memasarkan aneka kendaraan bermerek Toyota di Timor Leste (Aditjondro,
1996a, 1997; Lema, 1997; Gatra, 5 Agustus 1995, 16 Agustus 1997; Bali Post ,
15 Okt. 1996; Suara Timor Timur , 27 Sept. 1997; Jakarta Post, 12 Nov.
1997; Matebean, 18 Nov. 1997, 12 Jan. & 18 Maret 1998; sumber-sumber lain).

Mengingat besarnya investasi keluarga besar Suharto di Timor Leste, baik
yang sudah maupun belum diwujudkan, keinginan Tutut untuk mendirikan satu
perguruan tinggi di sana cukup masuk akal. Namun di balik keinginan
mendapatkan tenaga kerja berpendidikan tinggi, rencana itu juga berbau
politis: perguruan tinggi swasta yang sudah ada, Untim, sudah berkembang
menjadi basis perlawanan pemuda-pemudi Maubere terhadap pendudukan
Indonesia, menyusul adik-adik mereka di SLTA. Berarti, setelah gagal
menggemboskan perlawanan para siswa SLTA, Tutut kini berusaha merambah ke
benak para lulusan SLTA.

Seperti halnya Yayasan Tiara milik Tutut, kegiatan Yayasan Balai Indah juga
memadu agenda politis dengan agenda ekonomis: sambil berdagang di Asia Barat
dan Eropa, berusaha menetralisasi para pendukung Timor Leste di arena
internasional. Yayasan Balai Indah yang sehari-hari dikelola isteri Dubes RI
di Moskow, Erna Witoelar, ikut melicinkan jalan barter teh Indonesia dengan
kapas Uzbekistan. Kapas itu selanjutnya dijual ke Portugal dengan harga
tunai sebesar US$ 17 juta (Gatra, 25 April & 6 Mei 1995).

Perdagangan barter Hashim dengan Uzbekistan dilakukan bersama-sama kelompok
Texmaco, kelompok Bakrie, dan kelompok perusahaan keluarga Ibnu Sutowo.
Walhasil, di antara keempat kelompok itu, Texmaco-lah yang maju ke depan,
menggandeng raksasa kimia Jerman, Hoechst, untuk membangun lima pabrik serat
polyester (bahan baku tekstil sintetis) di Eropa. Salah satu pabriknya akan
dibangun di Portugal (EBRI, 12 Agustus 1995: 23; Jakarta Post , 14 Juli
1997).

Karuan saja pers dan polisi Portugal geger sekali lagi, karena Texmaco, yang
muncul dengan nama Multikarsa Investment, merupakan perusahaan kedua yang
tampaknya akan berhasil menembus embargo perdagangan Indonesia - Portugal.
Selain karena alasan politis, Partai Hijau Portugal (Partido Ecologista Os
Verdes ) dan asosiasi pedagang kecil dan menengah secara keras menentang
rencana pembangunan pabrik kongsi Multikarsa-Hoechst di Portugal itu.

Kedua perusahaan Indonesia yang berada di ujung tombak usaha mendobrak
embargo barang-barang Indonesia di Portugal, punya hubungan erat dengan
keluarga Suharto. Sritex, yang melibatkan seorang adik Harmoko dalam
beberapa anak perusahaannya, menurut kalangan perbankan di Solo juga dekat
dengan Nyonya Tien Suharto (alm.). Sedangkan Texmaco, sebelum bisnis bersama
Titiek Prabowo di Timor Leste dan bersama ipar Titiek, Hashim
Djojohadikusumo di Uzbekistan, Texmaco jugalah yang menolong Titiek membeli
banknya, Bank Putera Sukapura, ketika sedang anjlog. Anjlognya bisnis bekas
bank milik Titiek itu a.l. karena kegagalan usaha investasinya di bidang
real estate di Afrika Selatan bersama satu yayasan milik ANC (Aditjondro,
1996b).

Berapa nilai total kekayaan yayasan-yayasan Suharto?
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

Sampailah kita sekarang pada pertanyaan: berapa nilai total kekayaan 105
yayasan itu? Jawabannya: tidak ada yang tahu pasti, kecuali Suharto dan
keluarga dekatnya, serta bendahara yayasan-yayasan itu. Namun satu ketika
Wakil Ketua II Yayasan Dharmais yang eks Menteri Koperasi merangkap Kepala
Bulog, Bustanil Arifin sesumbar: "Empat yayasan yang dipimpin Presiden
Soeharto secara pribadi kini telah menjadi yayasan terkaya di dunia, jauh
melebihi Rockefeller Foundation dan Ford Foundation di AS" (Surabaya Post ,
29 Juli 1994).

Keempat yayasan yang dimaksud adalah Dharmais, Supersemar, Dakab, dan
Amalbhakti Muslim Pancasila, yang kini bermarkasbesar di gedung Graha Dana
Abadi (Granadi) yang megah di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, bersama
Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (YSDM) dan Yayasan Ibu Tien Soeharto. Namun
berapa persis kekayaan yayasan-yayasan itu, tidak diungkapkannya.

Menurut penelitian koresponden Far Eastern Economic Review , Michael
Vatikiotis, total kekayaan, bunga bank, dan sumbangan tiga di antara keempat
yayasan itu di tahun 1990, adalah sebagai berikut (FEER , 4 Okt. 1990: 63):

* Yayasan Supersemar, memiliki kekayaan senilai Rp 222 milyar, dan menerima
bunga bank setiap tahun senilai Rp 24 milyar. Sumbangan yang diberikannya
s/d bulan Maret 1990, adalah Rp 46 milyar.

* Yayasan Dharmais, memiliki kekayaan senilai Rp 60,8 milyar, menerima bunga
bank setiap tahun senilai Rp 9 milyar, dan memberikan sumbangan sebesar Rp
15,4 milyar s/d bulan Maret 1990.

* Yayasan Dakab, yang terkecil di antara ketiganya, memiliki kekayaan
senilai Rp 43 milyar, tidak diketahui berapa besar bunga bank yang
diterimanya, dan hanya memberikan sumbangan sebesar Rp 2,4 milyar, s/d bulan
Maret 1990.

Itu data tahun 1990 dan sebagian besar berasal dari otobiografi Suharto.
Misalnya, dalam otobiografi yang juga dikutip dalam laporanWarta Ekonomi (29
Okt. 1990: 28-29), Suharto hanya menyebutkan kekayaan yayasan-yayasannya
yang berasal dari deposito, surat berharga, dan giro.

Pendek kata, itu baru pendapatan dari bank. Bukan dari saham di sekian
perusahaan raksasa, seperti di pabrik-pabrik Indocement, pabrik-pabrik
penggilingan gandum Bogasari, dan pabrik pupuk Kujang II. Atau dari dividen
kelompok Nusamba.

Data lebih baru diungkapkan Suara Independen, edisi Januari-Februari 1996.
Kekayaan Yayasan Dharmais yang ada di kas diperkirakan Rp 900 milyar.
Walaupun angka kekayaan Dharmais itu belum yang dibenamkan di berbagai
tempat seperti surat berharga, penyertaan uang, penyertaan saham di berbagai
perusahaan, angka Rp 900 milyar itu sudah menunjukkan lonjakan luarbiasa
dibandingkan dengan angka kekayaan Dharmais tahun 1990 yang menurut catatan
Vatikiotis, 'hanya' Rp 60 milyar. Apalagi kalau dibandingkan dengan kekayaan
Dharmais di tahun 1978, yang menurut pengakuan Suharto waktu itu baru
berjumlah Rp 7 milyar (Tempo , 4 Febr. 1978).

Kalau seluruh dividen yang diterima dimasukkan dalam daftar kekayaan
yayasan-yayasan itu, maka apa yang dikatakan Bustanil Arifin sangat masuk
akal. Tahun 1994 misalnya, trio Dharmais-Dakab-Supersemar meraup dividen
sebesar Rp 29 milyar dari penyertaan sahamnya di Bank Duta. Sedangkan tahun
sebelumnya, trio yang sama meraup dividen sebesar satu trilyun rupiah dari
penyertaan sahamnya dalam kelompok Nusamba (Suara Independen, Jan.-Febr.
1996).

Salah satu "pameran kekuatan" trio itu, ialah ketika mereka sekaligus
menyuntikkan dana segar sebesar US$ 419,6 juta ke Bank Duta, tahun 1990,
ketika bank itu kalah bermain valuta asing sebanyak Rp 770 milyar, atau US$
420 juta waktu itu (Vatikiotis, 1990: 62; Forum Keadilan, 26 Mei 1994: 38).
Nah, kalau US$ 400 juta lebih dapat dikeluarkan dalam sekejap mata, berapa
duit yang tersisa di kas ketiga yayasan itu, silakan tebak sendiri.

Taksiran di luar negeri terhadap total kekayaan yayasan-yayasan yang
diketuai Suharto dan isterinya sangat beragam. Paul Hunt yang menulis di
koran Guardian & Mail di Inggris, edisi 1 Agustus 1996, memperkirakan
bahwa nilai kekayaan tak teraudit dari yayasan-yayasan Suharto sendiri
sekitar US$ 5 milyar. Sedangkan Greg Earl, koresponden Australian Financial
Review , memperkirakan bahwa kekayaan yang dikuasai oleh yayasan-yayasan
yang berpusat di gedung Granadi yang mewah di Jalan Rasuna Said, Kuningan
itu, bernilai sekitar 10 milyar dollar Australia (1998). Berarti kekayaan
yayasan-yayasan Suharto sekitar Rp 50 trilyun, dalam kurs pasca krisis
moneter.

Namun menurut taksiran badan rahasia AS, Central Intelligence Agency (CIA),
sebagaimana dikutip dalam tesis Ph.D. Jeffrey Winters tahun 1991, kekayaan
Presiden Suharto sendiri mencapai US$ 15 juta. Jumlah itu harus dilipat dua,
kalau kekayaan seluruh anggota keluarga besarnya mau dimasukkan juga
(Vriens, 1995: 49).

Itu baru taksiran tahun 1991, sebelum Nusamba menguasai saham-saham empuk di
tambang tembaga-emas-perak PT Freeport Indonesia di Irian Jaya, serta
raksasa automotif PT Astra Internasional. Makanya taksiran nilai total
kekayaan seluruh keluarga besar Suharto, sebesar US$ 40 milyar (Newsweek, 26
Jan. 1998: 48), cukup masuk akal. Cukup untuk menebus bangsa Indonesia dari
krisis moneter sekarang ini, tanpa harus berhutang pada IMF.

Dampak sosial, politis dan ekonomis yayasan-yayasan Suharto:
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

Secara sosial, politis dan ekonomis, 105 yayasan yang diketuai atau dikuasai
keluarga besar Suharto dan antek-anteknya punya dampak sebagai berikut:

* Pertama, dana trilyunan rupiah yang dikuasai yayasan-yayasan itu membantu
Suharto menguasai ruling elite Indonesia dengan membuat faksi-faksi di
dalamnya saling bersaing dan saling mengimbangi, dengan menggeser
"restu"-nya dari satu faksi ke faksi lain secara periodik. Ini membuat
politik nasional Indonesia bersifat sangat personalized , tanpa aturan main
tertulis yang disepakati bersama dan diketahui rakyat banyak. Melalui
kajian mendalam terhadap pasang-surut berbagai yayasan itu, sebagaimana
dicatat sejumlah pengamat (Robison, 1986; Shin, 1989; Pangaribuan, 1995),
dapat kita amati lika-liku permainan sebagai berikut:

Dalam dasawarsa pertama pemerintahannya, ketika Suharto masih kecipratan
petro-dollar Pertamina dari kawan baiknya, Ibnu Sutowo, dan pada saat ia
masih sedang mengonsolidasi kekuasaan lewat basis lamanya di Kostrad,
Suharto banyak memberi angin pada perusahaan yang "dihinggapi" saham-saham
YDP Kostrad serta yayasan-yayasan TNI/AD yang lain. Setelah meninggalnya
Brigjen Sofyar, pengelolaan perusahaan Kostrad diserahkan pada bekas aktivis
1966, Sofyan Wanandi, dari kubu Jenderal Ali Murtopo yang bermarkas di CSIS.

Sesudah pamor kubu Ali Murtopo (kelompok Tanah Abang) mulai surut, a.l.
karena ketergantungan pada politisi keturunan Cina (Jusuf Wanandi, Harry
Tjan Silalahi) serta pengusaha keturunan Cina (Liem Sioe Liong, Nyoo Han
Siang), Suharto mulai membesarkan kubu Corps Kehakiman (CKH) TNI/ AD, yakni
para jenderal bergelar S.H. (Sudharmono, Ali Said, Ismail Saleh, alm.
Mudjono) dengan membesarkan yayasan Dakab, Dharmais, Supersemar, dan YAMP,
sambil mendekati umat Islam lewat proyek-proyek bantuan pembangunan mesjid
dan pembiayaan MTQ.

Ketika kubu CKH semakin kuat berakar di Golkar, peranan yayasan-yayasan itu
mulai diimbangi Suharto dengan memperlakukan Habibie sebagai sumber dana
taktis, sebagaimana ia dulu memanfaatkan Ibnu Sutowo. Juga, sebagaimana ia
dulu memanfaatkan para pemegang HPH sebagai sumber dana taktis lewat Yayasan
Mangadeg yang dibendaharai Sujarwo (Menteri Kehutanan terlama dalam sejarah
Orde Baru), di era Habibie, Bob Hasan-lah yang berperan besar untuk
menggemukkan trio Dakab, Dharmais, dan Supersemar, lewat kelompok Nusamba
yang ditugaskan mengambilalih peranan orang-orang lama dari kelompok CKH dan
Tanah Abang.

Sinerji antara sektor kehutanan dan sektor high tech , andalan Suharto untuk
me-nina-bobo-kan rakyat Indonesia lewat proyek-proyek mercusuar seperti
pesawat Gatotkaca Habibie dan pesawat jet nasional (yang digugurkan oleh
IMF), terlihat dari suntikan Dana Reboisasi ke IPTN. Dana Reboisasi itu,
yang dikutip dari para pemegang HPH, dikuasai oleh Masyarakat Perkayuan
Indonesia (MPI) yang diketuai kawan golf Suharto, Bob Hasan. Seperti di
zaman Menteri Kehutanan Sujarwo, di zaman "Menteri Kehutanan bayangan" Bob
Hasan pengelolaan Dana Reboisasi oleh MPI juga sangat tidak transparan.

Selama dua dasawarsa pertama masa pemerintahannya, anak-anak Suharto sudah
dilibatkan dalam berbagai perusahaan yang mengandung saham yayasan yang
diketuai orang tua mereka, baik perusahaan yang berafiliasi ke Yayasan
Mangadeg (seperti PT Rejo Sari Bumi), maupun yang berafiliasi ke trio Dakab,
Dharmais dan Supersemar.

Namun sebelum membentuk konglomeratnya sendiri, Sigit dan Tutut bersama-sama
sudah menguasai 32 % saham Bank Central Asia (BCI), bank kelompok Salim,
sedangkan Sigit sendiri jadi partner Bob Hasan dalam Nusamba. Dalam kurun
waktu itu, ibu mereka sendiri sudah menjadi pemegang saham dan direksi
berbagai perusahaan yang berafiliasi ke Mangadeg, Kartika Jaya, Kartika
Chandra, dan Hanurata.

Setelah anak-anak Suharto ingin muncul sendiri sebagai "usahawan" (baca:
"kapitalis rente"), mulailah mereka dilibatkan dalam kepengurusan
yayasan-yayasan yang diketuai orangtua mereka, di mana mereka dengan
mudah -- tanpa sorotan pers -- berinteraksi dengan para pembantu Suharto di
pemerintahan. Itulah "kitchen cabinet " di mana berbagai keputusan digodog
sampai matang, sebelum disajikan ke ruang depan di mana kabinet yang resmi
bersidang (untuk konsumsi wartawan).

Sesudah konglomerat-konglomerat anak-anak Suharto semakin besar, mulailah
Tutut dan Bambang mendirikan yayasan-yayasan mereka sendiri, sambil juga
mendirikan perusahaan media massa elektronik dan cetak untuk mempengaruhi
opini massa. Dengan dipelopori si anak sulung, Tutut, para P-3 (putra-putri
presiden) juga mulai tampil menguasai kepengurusan Golkar, bersama para
partner bisnis mereka, seperti Anthony Salim. Sementara itu, ekspansi bisnis
mereka semakin menjadi-jadi, yang ikut "menyumbang" pembengkakan hutang
swasta Indonesia ke bank-bank asing sebesar 80 milyar dollar AS.

Politik pemerintahan yang begitu personalized inilah yang selama tiga
dasawarsa dipupuk lewat yayasan-yayasan Suharto ini. Celakanya, pada saat
pembenahan administrasi pemerintahan dan politik negara diperlukan, Suharto
bukannya lebih dahulu meminta persetujuan DPR-RI bagi komitmen-komitmennya
ke IMF, sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UUD 1945, di mana pembicaraan
tentang syarat-syarat IMF terbuka untuk umum.

Sebaliknya, ia kembali ke "kabinet dapur"nya, dengan mengajak Anthony Salim
(putera mahkota kelompok Salim), The Nin King, juragan tekstil dari Pintu
Kecil yang dulu ikut membiayai Operasi Khusus Ali Murtopo. Para putra-putri
Presiden (PPP) pun diikutsertakan dalam pembicaraan luarbiasa penting yang
dapat menentukan nasib bangsa dan Negara. Sedangkan kehadiran Widjojo
Nitisastro dan Radius Prawiro (saudara sepupu Nyonya Tien Suharto) dalam tim
inti itu, hanyalah sebagai alat pemikat negara-negara dan bank-bank
Barat.

* Kedua, yayasan-yayasan yang telah mewabah ke berbagai bidang usaha dan
bergerak hampir di seantero tanah air telah menimbulkan dualisme antara
aparatur pemerintah yang resmi versus konglomerat-konglomerat yang secara de
facto jauh lebih berkuasa ketimbang aparatur resmi.

* Ketiga, yayasan-yayasan yang sangat besar kekuasaannya ini membaurkan
batas-batas antara urusan pribadi dan urusan dinas. Inilah korupsi pada
tingkat tertinggi di negara kita, yang jauh lebih besar dari pada skandal
Pertamina di pertengahan 1970-an.

* Keempat, proyek-proyek "Bantuan" Presiden (Banpres) dan "Instruksi"
Presiden (Inpres) yang dikelola Sekretariat Negara dan Sekdalopbang, yang
dananya berasal dari beberapa yayasan yang diketuai Suharto, selain merusak
displin anggaran (karena berada di luar APBN) dan melanggar Pasal 23 UUD
1945 (karena tidak dipertanggungjawabkan kepada DPR), juga memupuk kultus
individu (karena dana Banpres/Inpres itu seolah-olah berasal dari kantong
pribadi Presiden yang begitu dermawan). Berarti, bertolak-belakang dengan
komitmen Orde Baru sendiri yang menolak kultus pada presiden terdahulu.

* Kelima, yayasan-yayasan ini menciptakan ekonomi biaya tinggi, yang tidak
saja mengurangi daya saing produk-produk Indonesia di gelanggang
internasional, tapi juga menambah beban rakyat Indonesia dan Timor Leste
sebagai pembayar pajak dan cicilan dan bunga hutang luar negeri pemerintah
Suharto.

* Keenam, karena yayasan-yayasan ini telah memanfaatkan jasa sejumlah
pegawai serta fasilitas pemerintah, mulai dari gedung, personil dan sarana
komunikasi Sekretariat Negara oleh YAMP, terminal bandara Sukarno-Hatta oleh
Sempati Airlines (milik trio Dakab, Dharmais, Super-semar), pesawat terbang
TNI/AU dan kapal TNI/AL untuk modal dan pengembangan usaha peternakan Tapos
(sumber dana Yayasan Mangadeg), serta fasilitas KBRI di Moskow oleh Yayasan
Balai Indah, fasilitas KBRI di London oleh Yayasan Tiara dan Yayasan
Pengembangan dan Kebudayaan Asmat, fasilitas KBRI di Washington oleh Yayasan
Asmat juga, dan fasilitas KBRI di Paramaribo oleh Yayasan Kemusuk
Somenggalan, maka "subsidi terselubung" rakyat Indonesia bagi akumulasi
kekayaan keluarga besar Suharto dan antek-anteknya sudah mencapai milyardan
rupiah, apabila seluruh jam kerja pegawai negeri dan ongkos sewa fasilitas
pemerintah dinilai berdasarkan pasaran tenaga kerja, ruang kantor, serta
sarana komunikasi dan transportasi setempat.

* Ketujuh, pada saat yang bersamaan, yayasan-yayasan Suharto telah
mengfasilitasi capital outflow dari sebagian besar sarana usaha Negara dan
simpanan pegawai negeri dan karyawan perusahaan-perusahaan negara ke
rekening-rekening bank keluarga besar Suharto. Keterangannya adalah sebagai
berikut:

Dalam fase ekspansi konglomerat-konglomerat yang berafiliasi ke keluarga
besar Suharto, dana yayasan-yayasan yang langsung dipimpin keluarga Suharto
dianggap kurang memadai, sehingga dana-dana pensiun, dana-dana asuransi
tenaga kerja, serta fasilitas Yayasan TVRI dan YDBKS (Depsos) dilibatkan
secara habis-habisan sebagai pemegang saham atau sebagai penyedia prasarana
dan personalia. Di atas kertas, para pegawai negeri dan
perusahaan-perusahaan negara tersebut dapat ikut "kecipratan" keuntungan
konglomerat-konglomerat keluarga Suharto.

Tapi kenyataannya, berbagai instansi negara, seperti TVRI, Pertamina, dan
Garuda, telah melaporkan tunggakan rekening perusahaan anak-anak Suharto,
sementara Jasa Marga mengeluh tentang pembagian keuntungan tidak adil dari
PT CMNP.

Kerugian peralatan serta personalia pemerintah itu saat ini sangat
diperparah oleh krisis moneter yang sedang kita hadapi. Buat keluarga besar
Suharto, krisis ini tidak begitu besar dampaknya, sebab dengan mudah mereka
dapat membubarkan semua yayasan itu atau menyatakannya bankrut, karena badan
hukum semacam ini memang hanya bertanggungjawab kepada pendirinya.
Sementara itu, kekayaan pribadi para anggota keluarga besar Suharto, tinggal
dialihkan ke luar negeri lewat transaksi perbankan biasa.

* Kedelapan, penggunaan bentuk badan hukum yayasan demi akumulasi kekayaan
pribadi, merupakah pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku di Indonesia tentang yayasan sebagai organisasi nirlaba. Pemilihan
bentuk badan hukum yang hanya bertanggungjawab kepada pendirinya ini,
barangkali bukan suatu kebetulan. Apalagi selalu tidak jelas apakah yayasan
yang bersangkutan, atau ketuanya yang menjadi pemegang saham. Juga tidak ada
mekanisme yang secara yuridis memungkinkan para jatim-piatu Trikora atau
Operasi Seroja, misalnya, untuk meminta pertanggungjawaban pengurus yayasan
yang mengatasnamakan mereka.

* Kesembilan, dengan mengambil-alih Bank Umum Koperasi Indonesia (Bukopin),
mengubahnya menjadi PT yang menjadi salah satu sumber rezeki trio Dakab,
Dharmais, dan Supersemar lewat kelompok Nusamba, yayasan-yayasan Suharto
punya andil dalam melumpuhkan gerakan koperasi di Indonesia, khususnya
koperasi di kalangan AD, AL, Polri, dan pengusaha batik, yang uangnya kini
terbenam dalam PT Bank Bukopin, yang sebentar lagi akan dilebur dalam Bank
Nusamba yang baru. Belajar dari "paman" Bob Hasan, hal yang sama dilakukan
Tommy Suharto dengan melibatkan induk-induk koperasi itu bersama Yayasan
Bulog dalam maskapai perkulakan PT Goronya.

* Kesepuluh, kembali ke soal "subsidi terselubung" rakyat Indonesia demi
akumulasi kekayaan keluarga besar Suharto. Subsidi itu tidak terbatas pada
penggunaan tenaga dan sarana pemerintah untuk yayasan-yayasan Suharto,
melainkan ada yang lebih struktural dengan pengaruh ke kelas bawah di desa
dan kota. Monopoli terigu impor yang memperkaya Yayasan Harapan Kita dan
Yayasan Dharma Putera Kostrad telah menggencet nilai tukar (terms of trade )
petani padi, di samping tekanan Bulog lewat operasi pasarnya. Dumping produk
Bogasari dalam bentuk berbagai merek mi kemasan produksi Indofood,
mengakibatkan rakyat miskin mengalami erosi gizi karena di-nina-bobo-kan
oleh nikmatnya supermi dengan rasa ini dan itu. Soalnya, nilai gizi makanan
kemasan ini jauh lebih rendah ketimbang berbagai jenis makanan murah buatan
orang desa.

* Kesebelas, melalui konsesi-konsesi hutan, perkebunan, dan peternakan yang
dikuasainya, yayasan-yayasan Suharto ini memberikan contoh buruk kepada
rakyat dan aparat pemerintah lainnya, bahwa UUPA 1960, yang menolak
pemilikan tanah berlebihan (excessive land-ownership ) maupun pemilikan
tanah guntai (absentee landownership ), sebagaimana dituangkan dalam UU Land
Reform 1960 serta UU Bagi Hasil 1960, secara de facto tidak berlaku di
Indonesia.

* Keduabelas, dengan beroperasi dari gedung Sekretariat Negara, dipimpin
oleh pengurus yang terdiri dari pejabat negara yang secara resmi tidak
diangkat karena ke-Islam-annya, dan dengan mewajibkan setiap pegawai negeri
menyumbang antara Rp 50 dan Rp 1000 sebulan, Yayasan Amalbhakti Muslim
Pancasila yang mencari dukungan umat Islam bagi sang presiden dengan
"menyumbang" pembangunan mesjid di Indonesia dan Timor Leste, secara de
facto telah memperlakukan Indonesia dan Timor Leste sebagai Negara Islam.

* Ketigabelas, dengan dalih kerjasama antar anggota ASEAN, antar anggota
APEC, antar Negara Selatan, dan antara Negara Islam, dan dengan dalih
menangkis serangan kelompok-kelompok "anti-Indonesia" di luar negeri,
sebagian yayasan Suharto, khususnya Yayasan Pengembangan dan Kebudayaan
Asmat, Tiara, Balai Indah, dan Kemusuk Somenggalan telah mengambil-alih
tugas Departemen Luar Negeri R.I., sambil memperkaya perusahaan yang
berafiliasi ke yayasan-yayasan itu.

* Keempatbelas, keterlibatan sejumlah panti asuhan Seroja dalam penculikan
anak-anak yatim piatu Timor Leste, di mana identitas mereka sebagai anak
Timor Leste yang beragama Katolik Roma sengaja berusaha dihilangkan (Tomas
Alfredo Gandara, komunikasi pribadi, Juli & November 1997; Timor Leste , 15
Okt. 1997), berarti bahwa Suharto, sebagai pembina Yayasan Seroja yang
membawahi panti-panti asuhan itu (Sinar Harapan, 16 Juni 1985), terlibat
dalam salah satu bentuk genosida menurut Pasal (e) Konvensi Genosida 1948
(Kuper, 1981: 19).

* Kelimabelas, ada indikasi bahwa Yayasan Harapan Kita lewat anak
perusahaannya, PT Harapan Insani, telah terlibat dalam "pencucian uang"
(money laundering ) lewat Vanuatu. Tindak kriminal semacam ini, berada dalam
wilayah kekuasaan Interpol, yang berhak secara sefihak melakukan
investigasi. Kalau terbukti benar, ini dapat menurunkan derajat Kepala
Negara Republik Indonesia menjadi seorang tokoh kriminal tingkat
internasional, seperti Manuel Noriega, "orang kuat" Panama yang kini
mendekam dalam penjara di AS.

Pertanggungjawaban:
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

Ketimbang membiarkan antek Suharto, Habibie, meneruskan rencana Suharto
lewat Tanri Abeng untuk membeli BUMN-BUMN yang telah menjadi sapi perahan
mereka selama ini, lebih baik keuntungan 100-lebih yayasan di atas
dikembalikan kepada rakyat, guna menanggulangi krisis moneter sekarang.

Maknya, marilah kita saat ini juga meminta pertanggungjawaban keuangan
yayasan-yayasan itu. Tuntutan ini perlu diajukan secepat-cepatnya. Kalau
tidak, sudah dapat dipastikan bahwa pembukuan hasil keuntungan berbagai
yayasan akan lenyap bersama angin lalu. Misalnya, ada lantai tertentu dari
Gedung Granadi yang "terbakar", seperti "kebakaran" Gedung BI yang lalu,
tepat di lantai tempat menyimpan dokumen bank-bank yang sudah dan akan
dibubarkan.

Gedung Granadi yang megah di Jalan Rasuna Said itu sendiri telah menjadi
sumber pemasukan bagi kelima yayasan pemilik gedung itu, yakni Yayasan
Darmais, Yayasan Dakab, Yayasan Supersemar, Yayasan Amal Bhakti Muslim
Pancasila, dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, dengan mematok tarif sewa
sebesar US$ 20 per meter persegi setiap bulan (Panji Masyarakat , 24 Maret
1997: 79). Menurut sumber saya di Jakarta, berbagai instansi Pertamina serta
kontraktor bagi hasil Pertamina, telah digiring untuk mengontrak ruang
kantor di gedung Granadi itu, sehingga Pertamina sendiri menderita kerugian
karena ruangan perkantoran mereka kekurangan penyewa.

Pangab Jenderal Wiranto telah menghimbau, supaya rakyat jangan mengutik-utik
kekayaan Suharto. Sementara bekas Menteri Lingkungan Sarwono Kusumaatmadja,
yang sebelumnya belum pernah mengecam nepotisme Suharto secara terbuka, dan
yang sebulan yang lalu di depan layar televisi Australia masih menertawakan
potensi people's power yang dikemukakan Amien Rais, kini -- di layar
televisi yang sama -- menyatakan setuju dengan tuntutan mahasiswa agar
Suharto mempertanggungjawabkan pemupukan kekayaannya yang tidak halal kepada
rakyat.

Kontroversi pro & kontra tuntutan agar Suharto mempertanggungjawabkan
kekayaannya pada rakyat dan mengembalikan apa yang telah diperoleh secara
ilegal dan imoral kepada rakyat, memang akan mengundang banyak pro- dan
kontra- di kalangan mereka yang pernah dan masih memangku jabatan dalam
rezim yang berkuasa.

Soalnya, bukan hanya kerakusan keluarga besar Suharto yang akan terungkap,
melainkan juga antek-antek (cronies) mereka. Sebab dengan pembeberan
keuntungan 100 lebih yayasan, belasan monopoli dan kartel, serta
bentuk-bentuk pemerasan yang terselubung lainnya, seperti GN-OTA, kerakusan
mereka yang sungguh nauzubillah akan terungkap.

BPPC, misalnya, telah menumpuk Rp 2,3 trilyun dana hak petani selama empat
tahun. Jumlah kerugian petani itu berasal dari Dana Penyertaan petani di KUD
sebesar Rp 2000 per kg, uang titipan petani di KUD sebesar Rp 1.900, serta
penerimaan petani yang hilang akibat ketidak-efisienan tata niaga cengkeh
selama masa kejayaan BPPC (1991-1996) sebesar Rp 541,6 milyar, lebih besar
dari dana IDT setiap tahun (INDEF, 1997: ii).

Contoh lain adalah pertanggungjawaban kekayaan Gerakan Nasional Orang Tua
Asuh (GN-OTA). Pengurus Pusatnya diketuai Nyonya Halimah Bambang
Trihatmodjo, dengan wakilnya, Nyonya Uga Wiranto, isteri Menhankam dan
Pangab yang baru. Gerakan yang dicetuskan bekas Presiden Suharto dua tahun
lalu telah menerima "sumbangan" dari berbagai konglomerat berbentuk barang
maupun uang. Raksasa tekstil PT Great River Indonesia (GRI) misalnya, bulan
Maret tahun lalu menyumbangkan sejumlah seragam sekolah ke GN-OTA.

Raksasa jamu PT Sido Muncul sudah dua kali memberikan sumbangan uang kepada
"gerakan" itu. Tahun 1996, perusahaan itu menyumbang dana sejumlah Rp 60
juta kepada GN-OTA. Sedangkan tahun lalu, pada waktu merayakan ulang tahun
perusahaan ke-46, 11 November lalu, Irwan Hidayat, boss perusahaan itu
menyumbang Rp 75 juta kepada GN-OTA, Rp 35,2 juta kepada Yayasan Humana, dan
Rp 50 juta kepada korban bencana kelaparan di Papua Barat. Sejak menyumbang
pada GN-OTA, kata boss perusahaan jamu itu, nilai penjualan perusahaannya
naik dari 20% per tahun menjadi sekitar 30% per tahun. "Mungkin karena saya
sudah bersalaman dengan Mbak Halimah, kami ikut kecipratan rejeki," begitu
kata Irwan Hidayat (EBRI, 19 Maret 1997: 39; Eksekutif , Desember 1997: 8,
18).

Namun sudah berapa "rejeki" Halimah sendiri lewat "gerakan" ini, hanya orang
dalam keluarga Suharto -- termasuk keluarga Wiranto -- yang tahu. Apalagi
uang badan itu, tadinya sebagian disimpan di Bank Andromeda, yang resminya
sudah gulung tikar walaupun prakteknya bersalin rupa menjadi Bank Alfa.

Selain disimpan di Bank Alfa bin Andromeda, sumbangan masyarakat ke GN-OTA
juga disetorkan ke Rekening No. 31.51.17845 di Bank Rakyat Indonesia. Namun
seperti yang kita ketahui, empat bank milik pemerintah -- termasuk BRI --
akan dilebur jadi satu, sehingga akan lebih mudah dikuasai Menteri Keuangan
dalam kabinet Suharto yang terakhir, Fuad Bawazier, preskom perusahaan
satelit Bambang Trihatmodjo, PT Satelindo.

Selain itu, GN-OTA bermarkas di Direktorat Bantuan Kesejahteraan Sosial,
Ditjen Binbansos, Departemen Sosial RI, Jalan Salemba Raya No. 28, Jakarta
Pusat. Nomor telepon dan faxnya adalah (62) (21) 314 4332 (Bali Post , 22 &
29 Sept. 1996; Forum Keadilan , 15 Des. 1997: 96).

Setelah Departemen Sosial sempat dipegang oleh Tutut, kakak ipar Halimah,
selama 2 1/2 bulan, dapatkah laporan keuangan GN-OTA dipercayai
pertanggungjawabannya?

Kalaupun laporan serah terima kekayaan GN-OTA dari Tutut betul-betul apa
adanya, beranikah Menteri Sosialnya Habibie, Nyonya Yustika Baharsyah,
mengungkapkan kekayaan GN-OTA kepada rakyat secara terbuka, mengingat bahwa
keluarganya pun ikut kecipratan fasilitas Haji Abidin (Atas Biaya Dinas)
dari Kabinet Suharto ke-VI, yang pada dasarnya ikut menguntungkan para
pemegang monopoli penyewaan pesawat haji, Tommy Suharto dan Bambang
Trihatmodjo?

Dari sudut yang lebih struktural, apakah "setoran" para konglomerat dan
pejabat tinggi ke GN-OTA bukan sekedar alat pemutihan modal alias money
laundering , mengingat sumbangan para wajib pajak pada lembaga yang diketuai
menantu Suharto ini dibebaskan dari pajak penghasilan? Mendahului keputusan
Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak, pembebasan PPH bagi sumbangan ke GN-OTA
itu sudah diumumkan oleh Suharto sendiri, dua tahun lalu (Bali Post , 31
Agustus 1996).

Dari sumber saya di Jakarta, saya juga mendengar bahwa untuk pembangunan
mesjid-mesjid yang disumbang oleh Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila
terjadi penyunatan uang yang sesungguhnya diterima oleh para pengelola
mesjid, kurang dari apa yang tercantum di tanda terima. Berarti, selain
terjadi manipulasi yang lebih struktural, yang sudah saya ulas di depan,
terjadi pula manipulasi taktis di lapis terbawah birokrasi yayasan itu. Satu
hal, yang perlu juga dicek langsung ke para pengelola yayasan yang bermarkas
di Gedung Granadi, Kuningan, itu.

Selain mengembalikan kekayaan Rakyat Indonesia dan Timor Leste yang telah
dirampas oleh keluarga besar dan antek-anteknya, Suharto juga perlu diminta
mempertanggungjawabkan berbagai dampak sosial dan politis yang merugikan
rakyat dan mencemarkan nama bangsa kita di dunia internasional, sebagaimana
diutarakan dalam bagian terdahulu.

Makanya, setelah Suharto digulingkan, dia harus diajukan ke pengadilan, dan
dituntut mempertanggungjawabkan pemumpukan kekayaan keluarga besar dan
antek-anteknya di balik kedok kedermawanan, melalui lebih dari 100 yayasan
di atas!

Kekayaan mereka yang diatasnamakan oleh yayasan-yayasan itu, para prajurit
ketiga angkatan dan Polri, pegawai negeri rendahan, para yatim piatu Operasi
Mandala dan Seroja, daan rakyat miskin lainnya, harus dikembalikan kepada
yang berhak, sebab itulah fungsi sebenarnya dari yayasan, bukan sebagai alat
pemupuk kekayaan mereka yang sudah kaya raya.

Masih ditulis di pengasingan,
Senin, 25 Mei 1998.


KEPUSTAKAAN:
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

Aditjondro, G.J. (1983). "Pecat dan peras di belantara Jayapura," Berita
Oikoumene , 19 Februari, hal. 25-28.

---------------- (1994). In the shadow of Mount Ramelau: the impact of the
occupation of East Timor. Leiden: INDOC.

---------------- (1995). Bali, Jakarta's colony: social and ecological
impacts of Jakarta-based conglomerates in Bali's tourism industry. Working
Paper No. 58. Perth: Asia Research Centre, Murdoch University.

--------------- (1996a). "Man with the right mates," The West Australian, 3
Jan.

----------------(1996b). On the brink of a major constitutional, economic
and ecological disaster: the major implications of Indonesia's nuclear
ambitions. Makalah untuk konferensi International NGO Forum on Indonesian
Development (INFID) dan Greenpeace International. Sydney, 24 April.

---------------- (1996c). "Big carrots used in Indonesia's diplomatic policy
on East Timor," The Nation, Bangkok, Monday, 14 Okt.

---------------- (1997). "Suharto and his family: the looting of East
Timor," Green Left Weekly, 3 Sept.

----------------- (1998a). "Suharto & sons: crony capitalism, Suharto
style," Washington Post, 25 Jan.

-----------------(1998b). "Autumn of the patriarch: the Suharto grip on
Indonesia's wealth," Multinational Monitor , Jan.-Febr., pp. 17-20, 34.

Akhmadi, Heri (1981). Breaking the chains of oppression of the Indonesian
people: defense statement at his trial on charges of insulting the head of
state. Translation Series (Publication No. 59). Ithaca: Cornell Modern
Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University.

Borsuk, Richard (1992). "Suharto-linked monopolies face criticism," Asian
Wall Street Journal [AWSJ ] Hong Kong, 26 March.

-------- (1993). "Businessmen bet on remota island casino," AWSJ, 2 Nov.

------- dan Jay Solomon (1997). "Bakrie to sell Freeport stake to Hasan's
Nusamba Mineral," Wall Street Journal Interactive Edition - Asia, 31 Jan.

Bourchier, David (1984). Dynamics of dissent in Indonesia: Sawito and the
phantom coup. Interim Reports Series. Ithaca: Cornell Modern Indonesia
Project.

Chalmers, Ian M. (1988). Economic Nationalism and the Third World State:
The Political Economy of the Indonesian Automotive Industry, 1950-1984.

Thesis Ph.D. pada Australian National University (ANU), Canberra. CISI
(1997).

Profiles of 800 major non-financial companies in Indonesia, 1997/1998.
Jakarta: PT CISI Raya Utama.
Crouch, Harold (1988).

The army and politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.

Dwiyatno, Puguh, Jahja Sumitro, Leo Rony A.G., Tenang Sitepu dan Marcos
Setyantoro (1992/1993). "Birokrasi militer dalam kehidupan perekonomian dan
demokrasi: studi bisnis di balik kelambu yayasan," Dian Ekonomi, No. 1,
Salatiga: FE-UKSW, hal. 10-28.

Earl, Greg (1998). "Soeharto: the end is near," Australian Financial Review,
20 Mei.

Gitosardjono, Sukamdani (1974). Riwayat hidup (singkat). Jakarta, 28 Mei.
Harsono, Andreas (1998). "Are Indonesia's state-owned companies for sale?"
American Report on e-mail, 4 Mei.

Hiscock, Geoff (1998). "All the way with B.J.," The Australian , 24 Maret.

IEFR (1997). Indonesian Capital Market Directory 1997. Jakarta: Institute
for Economic and Financial Research (IEFR).

INDEF (1997). Tinjauan INDEF atas tata niaga cengkeh. Jakarta: INDEF.

Jenkins, David (1987). Suharto and his generals: Indonesian military
politics 1975-1983. Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, Southeast Asia
Program, Cornell University.

Lema, Y.G. (1997). "Sekilas ekonomi Timtim dewasa ini,"Suara Timor Timur ,
25 Sept.

Loveard, Keith (1996). "Suharto's son rises," Asiaweek, April 12, pp. 34-40.

MacIntyre, Andrew (1991). Business and politics in Indonesia. Sydney: Allen
& Unwin.

Makka, A. Makmur (1986). Setengah abad Prof. Dr.-Ing. B.J. Habibie. Jakarta:
Biro Hukum dan Humas BPP Teknologi.

Muis, A. (1994). "Islamic Centre dan wawasan kebangsaan," Panji Masyarakat,
1-10 September, hal. 75-75.

Pangaribuan, Robinson (1995). The Indonesian State Secretariat, 1945-1993.

Perth: Asia Research Centre on Social, Political and Economic Change,
Murdoch University.

Pura, Raphael (1986). "Suharto family tied to Indonesian oil trade," AWSJ,
26 Nov.

------- dan S. Jones (1986a). "Suharto-linked monopolies hobble economy,"
AWSJ,, 24 Nov.

------------------------(1986b). "Suharto's kin linked with plastics
monopoly," AWSJ, 25 Nov.

Robison, Richard (1990). Indonesia: the rise of capital. Sydney: Allen &
Unwin.

Robinson, Paul, Sue Hewitt dan Ian Munro (1997). "Casino -- the biggest game
in town," Sunday Age, Melbourne, 6 April.

Rustam, Amin and Rudy Ardial (1996/1997). Indonesia financial directory
1996-1997. First Edition. Jakarta: PT Admindo Multijaya Promo.

Salam, Solichin (1987). B.J. Habibie, mutiara dari Timur. Jakarta: PT
Intermasa.

--------- (1993). Soesilo Soedarman, prajurit, diplomat, nayaka. Jakarta:
Gema Salam.

Santos, Hernani dan Joao Naia (1997). "O homem de Jakarta em Portugal"
(Orang Jakarta di Portugal), O Diabo, 18 Maret.

Schwarz, Adam (1991). "A helping hand: Indonesian central bank in bail-out
dilemma," Far Eastern Economic Review [FEER ], 16 Mei, hal. 72-73.

------------ & Jonathan Friedland (1991). "Indonesia: empire of the son,"
FEER, 14 Maret 1991, hal. 46-53.

Shin, Yoon Hwan (1989). Demystifying the capitalist state: political
patronage, bureaucratic interests, and capitalists-in-formation in
Soeharto's Indonesia. Thesis Ph.D. di Universitas Yale, AS.

Skephi and IFAW (1996). Asian Forestry Incursions -- Indonesian logging in
Surinam: Report on N.V. MUSA Indo-Surinam. Jakarta, Amsterdam, Yarmouth
Port: Skephi and IFAW.

Smith, Shannon L.D. (1996). Developing Batam: Indonesian political economy
under the New Order. Tesis Ph.D. pada ANU di Canberra.

Tjahyono, S. Indro (1995). Workship kepemimpinan versi Bob Hasan di
Ujungkulon: membawa masalah baru dan mengusik masalah lama. Press Release
SKEPHI pada Apakabar , 22 Juli.

Toohey, Brian (1990). "Warren's Indonesian mates," The Eye, Dec. Quarter,
hal. 6-9.

Vatikiotis, Michael (1990). "Charity begins at home: Indonesian social
foundations play major economic role," FEER, 4 Okt. 1990, hal. 62-64.

-------------- (1994). Indonesian politics under Suharto: order, development
and pressure for change. London: Routledge.

Vriens, Hans (1995). "The grandson also rises," Asia, Inc., Maret, hal.
46-51. Wibisono, Thomas (1994). "Kanindo Group, babak ketiga bisnis Robby
Tjahjadi," Bisnis Indonesia , 10 Febr.

-------------- (1995). "Timsco Group: bisnis Suyatim Abdulrachman Habibie,"
Informasi, Monthly Newsletter, No. 1, Januari. Jakarta: PDBI.

Winters, Jeffrey (1998). Notes on Habibie. 1 Maret.

Wisnu, Maharani (1998). "Probosoetedjo dan wedhus gembel," Siar, 20 Maret.


F.W. Sutobin Halim

unread,
Jun 27, 1998, 3:00:00 AM6/27/98
to

ADILI SUHARTO!

dodol

unread,
Jun 27, 1998, 3:00:00 AM6/27/98
to

ADILI SUHARTO, HABIBIE & ANTEK-ANTEKNYA!!

Oleh George J. Aditjondro

Delapan kelompok:
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

swasta niaga ini telah menempati peringkat ketiga setelah Radio Prambors dan

dodol

unread,
Jun 27, 1998, 3:00:00 AM6/27/98
to

ADILI SUHARTO, HABIBIE & ANTEK-ANTEKNYA!
Tuntut pertanggungjawaban kekayaan 100-an yayasannya!
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

"Kalau kita tidak mendapatkan bantuan dari negara-negara lain, kita bisa

Delapan kelompok:
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

Pertanggungjawaban:
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

0 new messages