Google Groups no longer supports new Usenet posts or subscriptions. Historical content remains viewable.
Dismiss

HASYIM MUZADI: Pemimpin Wanita Haram!

242 views
Skip to first unread message

Iwan Setiawan

unread,
May 29, 2004, 12:16:33 AM5/29/04
to mail2news-20040529-s...@anon.lcs.mit.edu
Assalamu ‘alaikum,
Dari 313 Nabi dan Rasul, tidak satu pun wanita. Semua
pria. Firman Allah untuk kepemimpinan dalam ayat 34
Surat An Nisa (Ar Rijaalu qawwaamuna 'alan nisaa...=
Para lelaki menjadi pemimpin atas perempuan)"

'Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang
menyerahkan urusan (pemerintahan/kekuasaan) mereka
kepada seorang wanita." (HR. Bukhari, lihat Fathul
Baari karya Ibnu Hajar Al Asqalany, hadits nomor 4425
dan 7099).

Toh meski wanita haram jadi pemimpin, sekelompok Kiai
NU yang mata duitan dan haus jabatan dipimpin Hasyim
Muzadi berlomba-lomba membela Megawati agar bisa
berkuasa jadi pemimpin di Indonesia.

Bahkan pemimpin Pondok Pesantren Ash Shidiqiin, Nur
Iskandar SQ, yang sempat kawin semalam (baca:
berzinah) dengan Dewi Wardah istri dari Amir Biki
(korban kerusuhan Tanjung Priok), mengumpulkan para
ulama NU untuk menggolkan Megawati sebagai presiden.

Itulah ulah sebagian ulama NU keblinger yang membodohi
ummat dan menuntun mereka yang ikut ke dalam
kesesatan. Yaitu mendurhakai perintah Allah dan
Rasulnya yang menyatakan pemimpin wanita itu haram.

Sebarkan ini ke warga NU agar jangan sampai dilaknat
Allah karena mendurhakai perintahnya.

Ini cuplikan dari Buletin ASSALAM.
HARAMNYA PRESIDEN WANITA BUKAN
KHILAFIYAH!



Salah satu rekomendasi komisi syari'ah dalam Konggres
Umat Islam
Indonesia (KUII) adalah bahwa Presiden dan Wakil
Presiden harus pria
atau terlarang bagi wanita menduduki kedua jabatan
pemerintahan
tertinggi itu. Namun, rekomendasi yang mencuat dalam
sidang komisi
setelah pemandangan wakil Wanita Aisyiyah itu belum
final. Ketua MUI
KH Ali Yafie menyebut bahwa rekomendasi masih akan
dibahas lebih
mendalam oleh Komisi Fatwa MUI lantaran ada dua
pendapat soal itu
(Kompas, 8/11/98).


Rekomendasi itu tak masuk dalam 11 butir deklarasi
KUII (Republika,
8/11/98). Namun telah muncul sejumlah reaksi emosional
menentang
rekomendasi itu. Pengamat politik dari LIPI Dr. M. AS
Hikam
mengatakan bahwa rekomendasi itu cuma mewakili
kepentingan
sekelompok umat. Hikam menilai rekomendasi itu
diskriminatif terhadap
jenis kelamin (gender) dan tidak fair. Katanya,
politik sudah
menggunakan agama untuk melegitimasi kepentingan
tertentu (Kompas,
9/11/98).


Khatib 'Aam Syuriyah PBNU KH Said Aqiel Siradj menilai
keputusan
KUII itu merupakan kemunduran bagi umat Islam. Dia
menambahkan
bahwa keputusan itu adalah politisasi agama untuk
kepentingan sesaat.
Said Aqiel mengatakan bahwa Islam tidak pernah
melarang wanita untuk
menduduki jabatan apapun termasuk untuk menjadi
presiden dan wakil
presiden (Bisnis Indonesia, 9/11/98).


Sedangkan Wakil Ketua Partai Umat Islam Prof. Dr.
Muhammad
Budyatna mengatakan bahwa rekomendasi itu cenderung
menyudutkan
figur seseorang. "Presiden itu baik pria atau wanita
tak masalah asal
demokratis, tidak otoriter dan tidak diktator"
ujarnya. Ia menambahkan,
dalam ritual memang lelaki menjadi imam bagi wanita.
Tetapi dalam
politik wanita bisa menjadi pemimpin dalam negara yang
mayoritas
penduduknya beragama Islam sebagaimana terjadi di
Pakistan (Kompas,
9/11/98).


Sementara itu Ketua PAN Dr. HM. Amien Rais mengatakan
adanya
kekecualian dari keharusan seorang pemimpin negara
laki-laki (sesuai Al
Qur'an dan hadits Nabi), yaitu manakala tidak satupun
pria mampu
menjadi pemimpin maka wanita bisa muncul sebagai
pemimpin (Kompas,
9/11/98).


Kesimpangsiuran pendapat orang-orang yang memiliki
atribut
tokoh/pemimpin/ pengurus umat atau lembaga-lembaga
keislaman yang
selama ini "menaungi" umat itu memang bisa menimbulkan
kebingungan
kaum muslimin yang selama ini tenang dengan syari'at
agamanya yang
menetapkan peraturan tentang jabatan kepemimpinan
pemerintahan di
tangan laki-laki. Namun benarkah pendapat-pendapat
yang mereka
lontarkan? Benarkah Islam tidak melarang kaum muslimin
menyerahkan
jabatan kekuasaan pemerintahan kepada seorang wanita?
Benarkah
masalah itu merupakan masalah khilafiyah? Juga,
benarkah masalah
rekomendasi itu merupakan politisasi agama untuk
kepentingan sesaat?
Tulisan ini mencoba mengklarifikasi masalah tersebut
menurut tinjauan
syari'at Islam.


Syarat Mutlak Pria Kepala Negara


Islam adalah agama paripurna (QS. Al Maidah 3) yang
telah
menentukan seluruh peraturan kehidupan baik secara
global maupun
rinci. Tak ada satu persoalan kehidupan pun yang tak
dijelaskan oleh
Islam. Dan Allah SWT menurunkan Al Qur'an untuk
menjelaskan segala
sesuatu (QS. An Nahl 89). Dinul Islam juga memiliki
dalil-dalil syara' (Al
Qur'an, As Sunnah, Ijma' shahabat, dan Qiyas) yang
merupakan sumber
hukum yang dapat digali setiap saat untuk menghadapi
problem baru
yang terjadi yang secara global telah ada jawabannya
di dalam dalil-dalil
syara' itu sehingga kaum muslimin dari masa ke masa
tak pernah lepas
dari syari'at Islam dalam bersikap dan menghukumi
berbagai peristiwa
yang mereka hadapi.


Di antara perkara yang hukumnya dijelaskan oleh
syari'at Islam adalah
syarat-syarat kepala negara. Syaikh Taqiyuddin An
Nabhani dan
Abdul Qadim Zallum dalam kitab Nizhamul Hukm fil
Islam, menulis
bahwa ada tujuh syarat in'iqad (syarat mutlak) yang
harus dipenuhi oleh
seorang calon Khalifah sebagai kepala negara kaum
muslimin, yaitu :
muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, dan
mampu. Ketujuh
syarat itu ditetapkan sebagai syarat mutlak calon
khalifah lantaran
memiliki dalil-dalil yang menunjukkan kepastian hukum
dari nash-nash
syara'.


Mengenai syarat laki-laki, Imam Al Qalqasyandi dalam
kitab Maatsirul
Inafah ila Ma'aalimil Khilafah Juz I/31 mengatakan
bahwa syarat sahnya
aqad khilafah menurut para fuqaha Madzhab Syaafi'iy,
yang pertama
adalah: lelaki. Tidak terjadi aqad manakala diberikan
kepada seorang
wanita. Dalilnya adalah sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dari sahabat Abu Bakrah r.a. yang mengatakan
bahwa tatkala
mendengar kabar mengenai penyerahan kekuasaan negara
Persia
kepada seorang putri Kisra yang bernama Buran sebagai
ratu --setelah
bapaknya meninggal, Rasulullah saw. bersabda:


'Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang
menyerahkan urusan
(pemerintahan/kekuasaan) mereka kepada seorang
wanita." (HR.
Bukhari, lihat Fathul Baari karya Ibnu Hajar Al
Asqalany, hadits
nomor 4425 dan 7099).


Kata wallau amrahum dalam hadits itu berarti
mengangkat orang sebagai
waliyul amri (pemegang tampuk pemerintahan).


Sekalipun teks hadits tersebut berupa kalimat berita
(khabar),
pemberitaan tersebut datang dalam bentuk tuntutan
(thalab).
Pemberitaan tersebut di dalamnya disertai celaan
(dzam) terhadap
orang-orang yang menyerahkan urusan
kekuasaan/pemerintahan kepada
wanita, yakni peniadaan keberuntungan mereka, maka hal
itu menjadi
indikasi (qarinah) bahwa tuntutan itu bersifat tegas
dan pasti. Dengan
demikian hukumnya adalah haram bagi seorang wanita
memangku
jabatan pemerintahan.


Adapun selain urusan pemerintahan, maka hukumnya boleh
bagi wanita
untuk menduduki posisi-posisi itu, misalnya menjadi
pegawai negeri,
kepala bagian, direktur sebuah biro administrasi,
keuangan, atau teknis,
dan lain-lain. Kenapa demikian? Sebab pembicaraan
dalam hadits itu
adalah mengenai putri Kisra yang menjadi ratu atau
kepala
negara/pemerintahan Persia. Dengan demikian
jabatan-jabatan yang
bukan penguasa pemerintahan tidak termasuk dalam
perkara yang
dimaksud dalam larangan penyerahan jabatan kepada
seorang wanita.
Oleh karena itu, dalam sistem Islam jabatan kepala
negara dan kepala
wilayah atau daerah seperti Khalifah, Mu'awin Tafwidl,
Wali, dan Amil
tidak diperbolehkan dipegang oleh wanita.


Adapun jabatan Qadli (hakim) --kecuali Qadli Mazhalim
yang mengadili
para pejabat-- diperbolehkan dijabat oleh seorang
wanita. Sebab qadli
(hakim) dalam sistem pemerintahan Islam tidak termasuk
jabatan
kekuasaan. Qadli adalah jabatan mengadili perkara
perselisihan di antara
anggota masyarakat atau pelanggaran ketertiban umum
atau hak-hak
jama'ah dimana fungsi qadli sebagai pemutus perkara
adalah penyampai
keputusan hukum Allah atas tiap-tiap perkara. Dengan
demikian jabatan
memberitahukan hukum Allah SWT itu bisa dijabat oleh
siapa saja
--laki-laki atau perempuan-- yang punya pengetahuan
terhadap hukum
Allah SWT. Khalifah Umar bin Al Khaththab pernah
mengangkat Asy
Syifa binti Abdullah bin Abdi Syams --seorang wanita
dari Quraisy
yang wafat tahun 20 H-- menjadi qadli hisbah, yaitu
hakim yang
memutuskan perkara-perkara pelanggaran hak umum di
sebuah pasar
yang bertugas untuk menjatuhkan vonis hukum kepada
semua orang
yang melakukan pelanggaran terhadap hukum syara'.


Jelas sekali kekuatan hukum Islam yang melarang wanita
menjadi kepala
negara. Tambahan lagi, Al Qur'an menyebut penguasa
dengan kata Ulil
Amri. Firman Allah SWT :


"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul-Nya, dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al
Qur'an) dan
Rasul-Nya (As Sunnah)..." (QS. An Nisa 59).


Lafazh ulil amri adalah lafazh untuk laki-laki. Kalau
untuk perempuan
digunakan kata uulatul amri!


Kalau ada yang mengatakan bahwa penggunaan firman
Allah untuk
kepemimpinan dalam ayat 34 Surat An Nisa (Ar Rijaalu
qawwaamuna
'alan nisaa...= Para lelaki menjadi pemimpin atas
perempuan)" adalah
terbatas untuk urusan keluarga, maka kami mengajukan
argumentasi
kaidah syara' min baabil aula (keharusan yang lebih
utama). Maksudnya,
kalau untuk masalah keluarga yang kecil itu saja
lelaki dijadikan oleh
Allah SWT sebagai pemimpin atas wanita, maka
lebih-lebih masalah
negara yang besar yang meliputi seluruh
keluarga-keluaraga itu, tentu
seharusnya diserahkan kepada lelaki.


Kalau ada yang mengatakan bahwa khalifah sebagai
jabatan kepala
negara dalam Islam itu kan tidak sama dengan jabatan
presiden dalam
sistem republik, sehingga tidak tepat kalau syarat
khalifah diterapkan
kepada jabatan presiden, maka teks hadits di atas
sudah menjawab
dengan sendirinya. Yakni, kalau Buran, putri Kisra,
yang dinobatkan
sebagai ratu (kepala negara dalam sistem monarki) kaum
Majusi di
Persia dicela (sebagai indikasi keharaman) oleh
Rasulullah saw., apa
bedanya dengan presiden? Sungguh orang yang berfikir
akan mudah
memahaminya.


Bukan Khilafiyah


Sungguh aneh pandangan Wakil Rois Syuriyah PBNU KH
Sahal
Mahfuzh yang mengatakan bahwa sejak awal ulama belum
sepakat
boleh tidaknya wanita menjadi pemimpin dan sampai
sekarang masih
tetap khilafiyah (Kompas, 9/11/98). Menurut Sahal
waktu memberi
ceramah dalam konggres tersebut, dia sudah menyinggung
agar masalah
itu tidak dimunculkan lantaran kita tidak bisa
bersandar kepada masalah
khilafiyah. Tapi benarkah khilafiyah? Ulama mana yang
yang berikhtilaf
dalam masalah ini?


KH Sahal memang tidak menyebut siapapun yang
berikhtilaf. Rekannya,
Khatib 'Am Syuriyah PBNU KH. Dr. Said Aqiel Siradj
yang sering
omong nyeleneh tipikal Gus Dur mencoba memberikan
penjelasan yang
kelihatan ilmiah. Dalam tulisannya baru-baru ini di
harian Media Indonesia
ia mengatakan bahwa Imam Ibnu Jarir At Thabari dan
sebagian ulama
Malikiyah (pengikut madzhab Imam Malik bin Anas)
seperti dilansir
oleh Al Asqalani ( Al Asqalani, XIII, hal.56)
membolehkan wanita
memegang jabatan kepala negara. Setahu kami kitab
tersebut bukan
menyebut kebolehan jabatan kepala negara bagi wanita,
tetapi keboleh
jabatan qadli (hakim) bagi wanita yang jelas bukan
jabatan penguasa.


Said Aqiel, seperti ingin meyakinkan fakta ikhtilaf
itu dengan mengutip
kisah wanita yang pernah berkuasa di Mesir, yakni ratu
Syajaratuddur
dari dinasti Mamalik. Sebelum kami jelaskan duduk
perkaranya, kami
ingin menegaskan bahwa menentukan hukum dalam sistem
hukum Islam
itu harus berdasarkan dalil syara' (yakni al Qur'an,
As Sunnah, Ijma'
shahabat, dan Qiyas), bukan berdasarkan sejarah. Kisah
Syajaratuddur
memang menarik, yakni seorang wanita yang dicintai
seorang penguasa
Mesir, Malikus Shalih, yang tunduk kepada Khilafah
Abbasiyyah yang
waktu itu dijabat oleh Khalifah Al Mustanshir Billah
dan berpusat di
Baghdad. Pada saat ia wafat, kekuasaan diserahkan
kepada
Syajaratuddur. Ketika mendengar peristiwa itu,
Khalifah segera mengirim
surat untuk menayakan apakah di Mesir tidak ada
laki-laki sehingga
kekuasaan diserahkan kepada wanita? Kalau memang tidak
ada,
Khalifah hendak mengirim laki-laki dari Baghdad untuk
berkuasa di Mesir.
Akhirnya Syajatuddur mengundurkan diri dari kekuasaan
di Mesir setelah
berkuasa selama tiga bulan, dan lalu digantikan oleh
Emir Izzudin yang
kemudian menikahinya!


Kisah Syajaratuddur ini menepis sangkaan Amien Rais
bahwa ada
kekecualian (istitsna) tentang bolehnya perempuan
menjadi pimpinan
negara manakala para lelaki suatu negeri tak ada yang
mampu
memimpin. Sangkaan seperti itu sama artinya dengan
membuat syari'at
baru. Na'udzu billaahi mindzalik!


Adapun Ratu Balqis (ratu negeri Saba) yang juga
disebut Aqiel dalam
tulisannya adalah fragmen sejarah dalam kekuasaan Nabi
Sulaiman yang
menjadi Raja atas Bani Israil. Jadi tidak ada
implikasi hukum dalam kisah
yang dimuat al Qur'an itu. Lagian, dalam kisah itu,
Ratu Balqis
melepaskan kekuasaannya setelah ditundukkan oleh
Sulaiman dalam
tempo yang sesingkat-singkatnya dan akhirnya menjadi
istri Nabi
Sulaiman!


Kini jelaslah, pihak-pihak yang melontarkan masalah
haramnya wanita
jadi kepala negara sebagai masalah khilafiyah tidak
memiliki bukti sedikit
pun. Mungkin hanya ilusi pihak-pihak yang mengeluarkan
pernyataan itu.


Yang pasti, Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya Al Jaami'
li Ahkamil
Qur'an Juz I hal 270 mengatakan: "Khalifah haruslah
seorang laki-laki
dan mereka (para fuqaha) telah bersepakat bahwa wanita
tidak boleh
menjadi imam (khalifah). Namun mereka berselisih
tentang bolehnya
wanita menjadi qadli berdasarkan diterimanya kesaksian
wanita di dalam
pengadilan". Lagi pula, para kyai yang orang-orang
dekat Gus Dur itu
lupa bahwa Gus Dur pernah memberikan kata pengantar
dalam buku
Ensiklopedi Ijmak (karya Sa'adi Abu Habib, hal. 315)
yang memuat
kesepakatan ulama bahwa jabatan khalifah (kepala
negara/
pemerintahan) tidak boleh dipegang oleh wanita, orang
kafir, anak kecil
yang belum baligh dan orang gila.


Dengan demikian jelaslah bahwa larangan wanita menjadi
kepala
negara/pemerintahan, baik itu khalifah, presiden,
perdana menteri, raja,
kaisar, dan lain-lain apapun namanya bukanlah perkara
khilafiyah dalam
hukum Syari'at Islam.


Bukan Politisasi Agama


Kita tak pernah merasa heran atau kaget manakala ada
hukum Islam
yang diungkap dalam kehidupan bermasayarakat dan
bernegara di negeri
ini selalu ada pihak-pihak tertentu yang tak senang
lalu mencapnya
sebagai politisasi agama untuk kepentingan sesaat atau
menggunakan
legitimasi agama untuk tujuan politik kelompok
tertentu. Itu sudah barang
klise. Dulu ketika umat Islam berada di pinggiran
percaturan politik di
negeri ini, upaya menjauhkan hukum-hukum Islam dari
kehidupan
bernegara dilakukan dengan cara-cara yang represif dan
berbagai
tindakan rekayasa politik untuk menyudutkan umat Islam
dan
menjauhkan hukum-hukum Islam dari kehidupan politik.
Peristiwa
komando jihad, kasus Tanjung Priok, Lampung, dan DOM
Aceh adalah
bukti-bukti yang tak bisa ditutup-tutupi.


Ketika umat Islam mendapat kesempatan ke pusat
kekuasaan di bagian
akhir masa kekuasaan rezim Soeharto, keberadaan umat
Islam digoyang
hingga hari ini dengan berbagai cara dan tipu daya.
Provokasi pun
dilakukan sejak berdirinya ICMI dengan pelemparan isu
sektarian. Lalu
isu bahaya bersatunya Islam dengan negara dan
lain-lain. Isu-isu politik
itu dikemas sedemikian rupa oleh tokoh-tokoh yang
katanya mewakili
sebagian besar umat Islam yang dulu--ketika kekuatan
politik dan militer
diarahkan kepada umat Islam-- mengharamkan umat Islam
berpolitik atau
mengatakan politik najis bagi umat Islam!


Kini ketika kekuasaan orang kuat Soeharto lengser
lantaran krisis
ekonomi --hasil rekayasa bersama AS-- dan digantikan
dengan
kekuasaan Habibie yang labil serangan-serangan politik
itu semakin
dahsyat. Wajarlah kalau Habibie dan kawan-kawannya
mencari pegangan
untuk membela diri.


Terlepas dari ada tidaknya rekayasa atau politisasi
agama dari kelompok
Habibie atau kelompok lain dalam KUII, kami ingin
menegaskan bahwa
hukum Islam tentang larangan wanita menduduki jabatan
penguasa
adalah hukum Allah SWT yang tetap hingga hari kiyamat.
Hukum itu tak
berubah sekalipun kaum muslimin meninggalkannya
seperti yang pernah
terjadi di Bangladesh dan Pakistan.


Khatimah


Hukum Islam tentang syarat kepala negara harus pria,
tidak boleh wanita,
telah jelas dan pasti (qath'i) tanpa ada khilafiyah
lantaran nashnya telah
jelas. Laa ijtihaada ma'a wujuudin nash!


Justru yang kami ingin tanyakan, apakah sikap
emosional dari para Kyai
yang minor terhadap salah satu rekomendasi KUII,
bukannya politisasi
agama itu sendiri. Sungguh sangat dibenci oleh Allah
SWT, sikap dan
tindakan orang-orang yang tahu (arif) hukum lalu
menyimpangkannya
(yahrif) buat kepentingan politk pihak tertentu yang
telah jelas
bertentangan dengan hukum Islam!


Wallaahu a'lam bisshawab!





__________________________________
Do you Yahoo!?
Friends. Fun. Try the all-new Yahoo! Messenger.
http://messenger.yahoo.com/

Petoeroek

unread,
May 29, 2004, 9:54:25 AM5/29/04
to
>Subject: HASYIM MUZADI: Pemimpin Wanita Haram!
>From: Iwan Setiawan iwan_se...@yahoo.com
>Date: 5/28/2004 9:16 PM Pacific Daylight Time
>Message-id: <2004052904163...@web60906.mail.yahoo.com>

>
>Assalamu ‘alaikum,
>Dari 313 Nabi dan Rasul, tidak satu pun wanita. Semua
>pria. Firman Allah untuk kepemimpinan dalam ayat 34
>Surat An Nisa (Ar Rijaalu qawwaamuna 'alan nisaa...=
>Para lelaki menjadi pemimpin atas perempuan)"
>
>'Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang
>menyerahkan urusan (pemerintahan/kekuasaan) mereka
>kepada seorang wanita." (HR. Bukhari, lihat Fathul
>Baari karya Ibnu Hajar Al Asqalany, hadits nomor 4425
>dan 7099).
>

How about BANCI? Bolehkah banci jadi pemimpin? Kalau tak boleh, WHY...?

0 new messages