"Habibie minta bukti soal kabar kekayaannya." Begitu bunyi
headline berita
Kompas , 27 Mei lalu. Dalam batang tubuh berita itu, nama saya
disebut-sebut oleh Adnan Buyung Nasution, konsultan hukum IPTN, sebagai
anggota dari apa yang menamakan dirinya "Kelompok Pengimbang
Pemerintah".
Untuk jelasnya, saya kutip kembali alinea yang penad (relevan):
"Habibie meminta buktinya, mana buktinya?" kata Nasution. Salah
satu daftar
kekayaan dan perusahaan BJ Habibie yang beredar luas adalah yang disusun
oleh George Junus Aditjondro yang menyebutkan sekitar 59 perusahaan di
berbagai bidang, mulai dari perusahaan induk, perdagangan, industri kimia,
konstruksi, telekomunikasi, real/industrial estate, pariwisata,
transportasi, jasa dan lainnya. Perusahaan-perusahaan yang tersebar di
Jakarta, Batam, Bandung, Surabaya, Singapura dan Jerman tersebut disebutkan
sahamnya dimiliki oleh keluarga BJ Habibie, seperti isterinya, anaknya,
adiknya, kakaknya, maupun ipar."
Melacak pertumbuhan Timsco:
--------------------------------------------
Sesungguhnya, apa yang saya cantumkan tentang Timsco di Apakabar dan SiaR
, 4 Maret lalu hanya sedikit pembaruan dari tulisan saya di Apakabar , 23
Mei 1995. Karena itu, baiklah saya uraikan bagaimana data tersebut
diperoleh, dan bagaimana data tersebut terus saya perbarui dalam tulisan
ini.
Perhatian saya mula-mula tertarik oleh dua kliping pers -- dari Tempo , 9
Februari 1991 danProspek , 31 Oktober 1992 -- yang saya peroleh pertengahan
1994 dari seorang kawan. Dari situ saya pertama kali mengetahui adanya
konglomerat baru bernama Timsco, yang dipimpin oleh Sujatim
("Timmy")
Abdulrachman Habibie, adik laki-laki B.J. Habibie yang termuda, dan ikut
dimiliki ibu B.J. Habibie (alm.) dan seorang adik iparnya, Nyonya Meike
Meriam Habibie (istri Fanny Habibie).
Konglomerat yang didirikan tahun 1977 dengan modal sebesar Rp 50 juta, di
awal 1991 membawahi 20 perusahaan yang berkantor di gedung berlantai tiga
di Jalan Kwini No. 1 di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Sedangkan kantor
cabang yang banyak berhubungan dengan IPTN, beralamat di Jalan Ranggamalela
No. 14, Bandung.
Dengan kata kunci "Timsco" saya lacak profil perusahaan keluarga
Habibie
itu ke berbagai direktori berbagai konsultan bisnis di Jakarta. Tentu saja
saya tidak punya uang untuk membeli berbagai direktori perusahaan raksasa
itu yang berharga ratusan, bahkan ribuan dollar AS, tapi untunglah ada yang
mau meminjamkannya untuk saya fotokopi halaman-halaman yang penad
(relevan). Dua sumber data saya yang utama adalah Pusat Data Bisnis
Indonesia (PDBI) dan PT CISI Raya Utama.
Juga saya runut peringkat Timsco tiga tahun berturut-turut di daftar 200
konglomerat Indonesia terbitanWarta Ekonomi edisi 1992, 1993, dan 1994.
Profil Timsco di benak saya diperjelas oleh tulisan Thomas Wibisono di
buletin Informasi , terbitan PDBI, No. 1, Januari 1995, berjudul
"Timsco
Group: Bisnis Suyatim Abdulrachman Habibie" (hal. 28-32).
Setelah hijrah ke Australia meninggalkan Jakarta yang (hingga sekarang)
masih diduduki kaum jahiliah, dan bekerja selama setahun di Universitas
Murdoch di Perth, data tentang Timsco saya lengkapi dengan dokumentasi ahli
politik ekonomi Indonesia, Richard ("Dick") Robison, yang menulis
tesis
Ph.D. tentang pertumbuhan kapitalisme Indonesia di tahun 1980-an.
Tahun 1996 saya peroleh tesis Ph.D. Shannon L. Smith yang dibimbing Harold
Crouch di Australian National University (ANU), Canberra, tentang
pengambilan keputusan dalam pembangunan Pulau Batam. Isi tesis itu kemudian
ia peringkas dan beberkan dalam artikelnya di harian Australian Financial
Review , 1 Juni lalu.
Banyak "orang dalam" perusahaan maupun keluarga besar Habibie dan
kawan-kawan, tanpa kenal satu sama lain, sampai hari ini masih terus
memberikan masukan, yang dimulai dari saat saya masih di Indonesia dan
terancam untuk dipidanakan di Yogya.
Buku-buku telepon Jakarta, Bandung, Batam, dan Surabaya membantu saya
melakukan cross-checking nama-nama perusahaan yang muncul di berbagai media
massa, di daftar rekanan IPTN tahun 1994, dan dari informasi lisan dan
tulisan yang saya peroleh. Akhirnya, dengan data dari direktori-direktori
konglomerat terbesar di Indonesia yang terbaru (1997) terbitan PDBI dan PT
CISI Raya Utama, nyaris sempurnalah informasi saya tentang Timsco dan
bisnis keluarga besar Habibie yang lain.
Dari semua data itu dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan kelompok Timsco
sungguh-sungguh fantastis. Tahun 1991, kelompok ini "hanya"
memiliki 32
perusahaan, dengan total omset tahun 1990 Rp 620 milyar, total kekayaan
sebesar Rp 290 milyar, dan laba bersih Rp 50 milyar (CISI, 1991: 722-725).
Enam tahun berikutnya, kelompok ini telah terdiri dari 56 perusahaan,
menurut PDBI (1997: A-958 - A-962), atau 66 perusahaan, menurut PT CISI
Raya Utama (1997: 288A-289A).
Majalah Warta Ekonomi juga menggambarkan grafik peringkat Timsco di
antara 200 konglomerat Indonesia, yang cukup mengesankan. Tahun 1990,
Timsco menduduki peringat No. 143. Tahun 1991, Timsco naik ke peringkat No.
77, dengan taksiran omset sebesar Rp 320 milyar. Dalam setahun (1992),
Timsco sudah naik ke peringkat No. 42, dengan taksiran omset yang hampir
dua kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni Rp 620 milyar.
Tahun 1993, kedudukan Timsco melorot ke No. 49, tapi taksiran omset naik
sedikit saja menjadi Rp 630 milyar, sedangkan taksiran kekayaannya Rp 290
milyar, meliputi 32 perusahaan, yang mempekerjakan 2.090 karyawan.
Sebagai perbandingan, kelompok Era Persada pimpinan ipar Titiek Prabowo,
Hashim Djojohadikusumo, selama periode 1991-1993 anjlog dari peringkat No.
49, dengan taksiran omset sebesar Rp 475 milyar, ke peringkat No. 81,
dengan omset sebesar Rp 400 milyar (Warta Ekonomi , 27 April 1992: 20-21, 3
Mei 1993: 28, 25 April 1994: 30-31). Padahal, Hashim jauh lebih banyak
disorot media massa, dan dianggap jauh lebih sukses menggemukkan
konglomeratnya dengan bantuan fasilitas Suharto.
Wibisono (1995) juga menunjukkan kenaikan kekayaan dan omset Timsco yang
cukup fantastis. Di tahun 1988, kekayaan konglomerat itu Rp 77 milyar,
dengan omset Rp 115,5 milyar. Lima tahun kemudian (1993), kekayaannya naik
lebih dua kali lipat menjadi Rp 160,2 milyar, dengan omset sebesar Rp 226,4
milyar.
Bagaimana Timsco bisa berkembang begitu cepat? Betulkah itu semata-mata
hasil kerja keras Timmy Habibie, tanpa menikmati kemudahan-kemudahan
tertentu berkat kedekatannya dengan elit politik Indonesia?
Jawabannya, tentu saja tidak. Mari kita lihat beberapa contoh nepotisme
Habibie dalam membantu menggemukkan Timsco. Yang jelas, keluarga besar
Habibie sendiri menikmati proses penggemukan itu. Selain ibu B.J. Habibie
dan isteri Fanny Habibie diangkat sebagai pemegang saham holding company
PT Timsco Indonesia, anak, menantu dan keponakan Rudy, Fanny, dan
saudara-saudara mereka yang lain juga tercantum sebagai pemegang saham,
komisaris, atau direktur dari berbagai anak perusahaan Timsco.
Timmy & Tutut main telpon-telponan:
-------------------------------------------------------
Tiga anak perusahaan Timsco di bidang telekomunikasi -- PT Citra
Teleko-munikasi Indonesia, PT AT & T Network System Indonesia, dan PT
Lucent Technologies Networks Systems -- adalah hasil nepotisme Habibie dan
Suharto, serta kolusi antara Suharto dengan Presiden AS, George Bush.
Ceriteranya adalah sebagai berikut.
Awal 1990, pemerintah Indonesia menyelenggarakan tender untuk proyek
Sentral Telepon Digital II, suatu kontrak untuk pembangunan pabrik
perlengkapan switching telepon. Dua raksasa telekomunikasi dunia -- AT&T
dari AS dan NEC dari Jepang -- menjadi finalis tendernya.
Karena ketakutan bahwa AT & T mungkin kalah, pemerintah AS mulai
menggalakkan kampanye dukungan bagi calon mereka. Pendekatan ke pemerintah
Indonesia dilakukan oleh Dubes AS di Jakarta maupun Direktur Bank Eksim AS,
John Macomber, yang datang menemui Presiden Suharto di Jakarta. Di
Washington, DC, Dubes A.T. Ramly diundang Wakil Menlu AS, Lawrence
Eagleburger, pagi hari 2 Februari 1990. Eagleburger menyatakan
kekhawatirannya, bahwa saingan AT & T, NEC, dapat memenangkan tender itu
melalui hal-hal di luar peraturan tender yang normal.
Kembali ke kantornya, beberapa jam kemudian Dubes Ramly mendapat telepon
langsung dari Menteri Perdagangan AS, yang mengajukan kekhawatiran serupa.
Jam 3:00 siang, Wapres Dan Quale menelpon sang Dubes dengan pesan yang
sama. Akhirnya, seolah-olah semua tekanan diplomatik itu belum cukup,
Presiden AS, George Bush sendiri menulis surat dengan pesan yang sama ke
Presiden Suharto. Surat itu jatuh ke tangan wartawanWashington Post , dan
diterbitkan.
Tentu saja ini menyinggung perasaan pejabat-pejabat Indonesia, dan Dubes AS
di Jakarta pun dipanggil. Walhasil, tender STD II diulang, dan dalam
semangat kompetisi sepakbola Pancasila, AT&T dan NEC dinyatakan sebagai
juara ganda. Proyek pemasangan 400,000 saluran telpon yang bernilai 550
juta dollar AS itu, dipecah dua. AT&T, yang dipaksa membentuk usaha
patungan dengan PT Citra Telekomunikasi Indonesia (CTI), mendapat separuh
bagian. Sedang NEC, yang dipaksa bergandengan dengan PT Elektrindo
Nusantara, mendapatkan bagian yang lain.
Siapa pemilik kedua perusahaan itu? PT CTI merupakan usaha patungan antara
Tutut dengan Timmy Habibie, sedangkan PT Elektrindo Nusantara dikuasai oleh
Bambang Trihatmojo. Direkturnya ini adalah Aziz Mochdar, seorang partner
bisnis Bambang yang namanya muncul sebagai pemegang saham dalam banyak anak
perusahaan Bimantara, dan kakak ipar Sri Rahayu Fatimah ("Yayuk"),
adik
bungsu B.J. Habibie. Tentang peranan Mochdar bersaudara sebagai mata-rantai
antara bisnis keluarga Suharto dan Habibie, akan saya bahas tersendiri
dalam bagian tentang bisnis keluarga Yayuk Habibie.
Sebagai partner AT & T, Citra Telekomunikasi Indonesia kemudian dipilih
menjadi mitra anak perusahaan AT&T, Lucent Technologies (Tempo , 3 Maret
1990: 82-89; Swa , Februari 1994: 25; Forum Keadilan, 23 Juni 1994: 26;
Warta Ekonomi , 13 Sept. 1993: 60-61, 31 Okt. 1994: 72; The Australian ,
Mei 20-21, 2 & 30 Juni, 1995; Bursa , 28 Nov. 1995; Business Week, Agustus
1996: 17; Economic & Business Review Indonesia , 4 Sept. 1996: 28, 5
Februari 1997: 34; Swadesi, 3 Maret 1997; Business Week, Agustus 1996: 17).
Nah, bagaimana mungkin Timmy Habibie masuk ke bisnis telekomunikasi tingkat
tinggi itu, kalau ia bukan adik Menristek? Hanya kebetulankah, bahwa Tutut
memilih Timmy sebagai mitra di bidang telekomunikasi? Juga: mengapa Bambang
memilih kakak ipar dari seorang adik B.J. Habibie untuk mengepalai
perusahaan elektronikanya?
Lalu, mengapa Bambang dan Tutut dipilih untuk menjadi mitra "juara
kembar"
kompetisi STD II, dan sama-sama menggunakan seorang kerabat keluarga besar
Habibie dalam perusahaan telekomunikasi mereka? Apakah itu semua hanya
kebetulan?
Yang jelas, hubungan bisnis antara Timmy dan Tutut tidak berhenti di bidang
telekomunikasi. Seandainya krisis moneter tidak memacetkan sejumlah
mega-proyek, Timmy Habibie lewat PT Suhamthabie Utama sudah turut dalam
konsorsium Perumka dan tujuh perusahaan swasta di bawah pimpinan Tutut
membangun Terminal Manggarai seharga 285 juta dollar AS (Walters, 1995;
Republika , 24 Juni 1995).
Timmy, Bambang & Harry Murdani jualan babi:
-------------------------------------------------------------------
Mesranya Timmy dengan Tutut masih kalah dibandingkan dengan mesranya Timmy
dengan adik Tutut, Bambang Trihatmodjo. Ada tiga lokasi usaha patungan
antara Timmy dengan Bambang, yakni Serang (Jawa Barat), Batam, dan Natuna.
Di Serang, kelompok Timsco jadi pemegang saham minoritas dalam berbagai
industri kimia yang mayoritas sahamnya dikuasai oleh kelompok-kelompok
Salim, Panadia, dan Bimantara. Kelompok patungan ini bernama Indoprin,
singkatan dari PT Indochlor Prakarsa Industries. Selain di Serang, kelompok
Indoprin ini juga punya pabrik-pabrik di Surabaya dan Medan. Alamatnya
tinggal dilihat di buku telepon kota Jakarta, baik yang lembaran putih
maupun yang kuning.
Selanjutnya, Timsco juga berpatungan dengan kelompok Salim, Sinar Mas, dan
Bimantara di Pulau Batam, khususnya dalam kawasan industri dan real estate
Batamindo, serta peternakan babi & buaya yang terpadu dengan perkebunan
anggrek dan sayur-mayur di Pulau Bulan. Turut serta dalam PT Sinar Culindo
Perkasa yang mengekspor 10% kebutuhan babi hidup kota Singapura, Tommy
Suharto dan Harry Murdani, abang bekas panglima ABRI dan pembantai rakyat
Timor Leste, Jenderal (Purn.) Benny Murdani.
Entah apa bisnis keluarga Murdani yang lain di Batam. Nama satu perusahaan
keluarga mereka, PT Prambanan Dwipaka, ada tercantum di buku telepon
kotamadya Batam. Di situ mereka berpatungan dengan dua bersaudara, Robby
dan Hendro Sumampouw, yang dengan setianya memasok kebutuhan pasukan Benny
di Timor Leste, sambil memupuk keuntungan dari monopoli bisnis kopi, minyak
cendana, dan marmer selama hampir dua dasawarsa, yang kemudian ditanam
dalam kasino mewah di Pulau Christmas di Samudra Hindia.
Hubungan bisnis antara Timmy dan Bambang kemudian melebar ke Natuna. Di
sana usaha patungan mereka, PT Bimatama Dharma Perkasa, ikut dalam
pengembangan ladang gas alam raksasa oleh maskapai-maskapai raksasa AS,
Mobil dan Exxon (Soetriyono, 1988: 119, 122; Aditjondro, 1994: 57-62,
88-89; Wibisono, 1995; Smith, 1996; Swa , Agustus 1995: 13, 35).
Timmy, Tommy & Adiguna Sutowo jualan dinamit:
--------------------------------------------------------------------------
Hubungan bisnis antara Timmy dengan Tommy bukan baru dimulai dengan
peternakan babi di Pulau Bulan. Awal 1980-an, Tommy sudah diajak keluarga
Habibie menanam modalnya di Pulau Batam. Ajakan itulah yang melahirkan PT
Senawangi Wisamarta Utama (SEWU) pada tanggal 28 September 1984. Anak
perusahaan Humpuss yang pertama ini punya empat divisi, yakni Marine Base
Division , Divisi Perdagangan Umum, Divisi Pertambangan, dan Divisi
Ekspedisi Muatan Kapal Laut.
Marine Base Division yang beroperasi di Pulau Batam mengelola pangkalan
suplai untuk kepentingan kegiatan eksplorasi minyak dan gas lepas pantai
yang dilakukan Pertamina dan para kontraktor asingnya. Divisi Perdagangan
Umum memasok perlengkapan dan peralatan lain untuk keperluan industri
minyak dan gas Pertamina dan para kontraktornya. Divisi Pertambangan
menangani operasi reklamasi tanah di Singapura. Sedangkan Divisi EMKL yang
merupakan tangan operasional PT Sewu Freight Forwarding menangani kegiatan
bongkar-muat PT Sewu Graha Segara.
Masih di Pulau Batam, melalui PT Mahasarana Buana (Mabua) yang didirikannya
bersama Adiguna Sutowo tanggal 5 September 1985, Tommy mulai berdagang
dinamit untuk keperluan industri. Untuk itu, Mabua mengelola gudang
penyimpan bahan peledak di Pulau Momoi, dekat Batam, sebelum
didistribusikan kepada para pelanggan (PDBI, 1997: A-636 - A-637, A-830 -
A-831;Swa , Mei 1991: 22-23).
Berarti, PT Sinar Culindo Perkasa praktis merupakan bisnis Tommy yang
ketiga di Pulau Batam. Ini kemudian dilanjutkan dengan bisnis lain yang
secara fisik -- bukan dari sudut "KKN" kurang jorok.
Dengan melibatkan IPTN yang dipimpin abangnya, Timmy berpatungan dengan
Sempati dan Yayasan Adi Upaya milik TNI/AU membangun pusat perawatan
pesawat terbang, PT Batam Aircraft Maintenance, di tanah seluas 2,5 hektar
di kawasan Bandara Hang Nadim (Lowry, 1996: 136; Smith, 1996; Gatra , 27
Jan. 1996).
Batam, " sorga dunia" keluarga Habibie:
-------------------------------------------------------
Berbagai usaha patungan antara Timsco dengan anak-anak Suharto
dimungkinkan, karena pulau-pulau di seberang Singapura itu seolah-olah
kerajaan pribadi keluarga Habibie. Sejak dipercayai oleh Suharto untuk
mengetuai Otorita Batam, Habibie langsung menunjuk adik iparnya, Mayor
Jenderal (Purn.) Sudarsono Darmusuwito, yang menikah dengan Sri Rejeki
Habibie, menjadi kepala BIDA (Batam Industrial Development Authority) dari
tahun 1978 s/d 1988. Satuan Pelaksana Otorita Pengembangan Daerah Industri
Pulau Batam), begitu nama Indonesianya, bernomor telepon (0778) 254 2160.
Selanjutnya bekas ajudan Jenderal Abdul Harris Nasution itu menjadi Ketua
KADIN Batam, dengan kekuasaan secara politis melebihi Camat. Terakhir
Sudarsono menjabat sebagai penasehat Ketua Otorita Batam, bersama seorang
besan B.J. Habibie, Laksamana (Purn.) Sudibjo Rahardjo. Kedua anggota
keluarga besar Habibie itu baru secara resmi berhenti dari hubungan
struktural dengan Otorita Batam, setelah dicopot oleh Fanny Habibie
baru-baru ini.
Sebagai penasehat Ketua Otorita Batam, yang tak lain tak bukan adalah abang
iparnya sendiri, Sudarsono Darmosuwito tak lepas peranannya dalam
pengembangan sejumlah perusahaan swasta yang dipimpinnya, maupun sejumlah
perusahaan patungan antara Otorita Batam dengan sejumlah perusahaan
Singapura.
Di antara perusahaan yang dikuasainya adalah PT Persero Batam, sebuah BUMN,
PT Spinindo Mitradaya, PT Spinindo Mitradaya Batam (usaha patungan antara
PT Persero Batam (10%), PT Spinindo Mitradaya (10%), dan sisanya dibagi di
antara 100 anggota KADIN Batam), PT Citra Lingkungan Lestari, PT Indotri
Mandiri Sakti, PT Batam Island Country Club, PT Wireforms A.N. (Batam)
Indonesia dan PT LHK Electronics Jaya Indo. Kedua perusahaan yang terakhir
adalah usaha patungan antara Satuan Pelaksana Otorita Pengembangan Daerah
Industri Pulau Batam, atau BIDA dalam bahasa Inggrisnya, dengan dua
perusahaan Singapura, yang disetujui oleh BKPM tahun 1993 dan 1994 (lihat
Lampiran II).
Setahu saya, seperti halnya perusahaan-perusahaan negara lain di bawah
kekuasaan Habibie, penyertaan modal negara (= uang rakyat) dalam bentuk PT
Persero Batam maupun BIDA dalam usaha patungan domestik maupun asing, belum
pernah mendapatkan persetujuan DPR-RI, sebagaimana yang digariskan oleh
Pasal 23 UUD 1945.
Isteri Sudarsono, Nyonya Sri Rejeki Sudarsono, adik kandung BJ Habibie. Ia
ikut menguasai kehidupan sosial di Batam dan pulau-pulau sekitar, dengan
memegang monopoli tak resmi pengelolaan rumah sakit dan sekolah-sekolah
melalui Yayasan Keluarga Batam yang diketuainya. Walaupun secara yuridis
formal merupakan badan sosial dan bergerak di bidang pendidikan dan
kesehatan, yayasan ini juga tercantum di daftar rekanan IPTN tertanggal 13
Desember 1994 dalam kategori sebagai "supplier barang".
Satu "badan sosial" di Pulau Bata, yang saya duga ada kaitan
dengan
keluarga Habibie adalah Yayasan Merah-Putih. Bulan Oktober 1995, yayasan
itu menyelenggarakan turnamen golf piala Nyonya Tien Suharto di pulau itu.
Alasannya adalah untuk mempererat kerjasama antara Indonesia, Singapura,
dan Malaysia.
Barangkali akibat kedekatan antara keluarga Suharto dan Habibie, Bob Hasan
termasuk pemegang saham paling awal di pulau itu, berpatungan dengan
maskapai AS McDermott International. Pabrik PT McDermott Indonesia,
termasuk industri pertama yang dibangun di Pulau Batam. Salah satu anak
perusahaannya, PT Babcock & Wilcox Indonesia, yang mendapat lisensi
pembuatan alat-alat berat maskapai Kanada, Babcock & Wilcox, juga punya
pabrik di Pulau Batam.
Tidak cuma perusahaan-perusahaan Bob Hasan menikmati salah satu kemudahan
Otorita Batam, yakni pembebasan bebas bea masuk di Pulau Batam. Ada juga
bisnis keluarga Suharto yang tadinya ingin mengeksplotir kemudahan lain di
Pulau Batam, yakni jauhnya pulau itu dari pandangan pers dan umat Islam di
Jakarta. Setelah kasino Copacabana di Ancol ditutup di bulan April 1981
lantaran oposisi umat Islam, seorang adik Nyonya Tien, Mayor Jenderal
(Purn.) Ibnu Hartomo yang bekas Dirjen Bantuan Sosial Depsos, mencoba
membuka kasino di pulau itu. Tahu-tahu datang oposisi dari Singapura,
sehingga kasino itupun ditutup.
Entah atas nama perusahaan yang mana, putera kedua BJ Habibie, Thariq Kemal
Habibie, telah membangun Hotel Melia Panorama di Pulau Batam, bersama
saudara sepupunya, Harry Sudarsono. Thariq cukup berkuasa di pulau itu,
sebab mertuanya, Laksamana Sudibjo Rahardjo, juga penasehat Ketua Otorita
Batam. Sudibjo baru diberhentikan, setelah Fanny Habibie meletakkan jabatan
sebagai Ketua Otorita. Sementara isteri Timmy Habibie, memegang monopoli
perusahaan taksi di pulau itu.
Batam memang bak "sorga" bagi keluarga besar Habibie, di mana
mereka telah
membangun rumah peristirahatan yang mewah di atas bukit Nongsa, lengkap
dengan helipad, dari mana kota Singapura terlihat cantik -- dan mudah
dicapai dengan helikopter.
(bersambung)
----- End of forwarded message from George J. Aditjondro -----
<A HREF=http://www.uni-stuttgart.de/indonesia/>Indonesia Daily News
Online</A><HR>
#-----------------------------------------------------------------#
#-----------------------------------------------------------------#
Received on Thu Jul 2 04:41:52 MET DST 1998
Dari Pare-Pare sampai ke Jerman:
Kisah korupsi, kolusi dan nepotisme keluarga besar Habibie (II)
G.J. Aditjondro
Berbasis di Batam, abang tertua B.J. Habibie, Satoto Habibie, yang juga
terdaftar sebagai salah seorang direktur PT Timsco, memperoleh kontrak jasa
pembersihan kapal tanker. Tahun 1994, anak perusahaan Pertamina, PT Pateka
Karya Gapura, membuka bisnis jasa ini, bekerjasama dengan tiga mitra: PT
Habindo Satria Perkasa, PT Natrifa Putra Indonesia, dan Blue Bird
International dari Hong Kong. Mudah ditebak bahwa PT Habindo Satria Perkasa
adalah milik Satoto Habibie. Sedangkan pemilik PT Natrifa Putra Indonesia
adalah Dwi Harnadi Singgih, putra Jaksa Agung waktu itu.
Dari Batam, Momoi, dan Bulan kelompok Timsco kemudian menjarah ke
pulau-pulau lain di sekitarnya. Dengan keluarnya Keputusan Presiden No. 28
tahun 1992, wilayah kekuasaan Otorita Batam diperluas ke Pulau Rempang dan
Galang.
Dibekali Keppres itu, Habibie sebagai Ketua Otorita Batam menugaskan
Lembaga Teknologi Fakultas Teknik UI di bawah pimpinan Dr. Ismeth Abidin,
membuat rancangan jembatan Batam-Rempang-Galang (Barelang) bernilai Rp 600
milyar. Untuk melaksanakan pembangunan mega-proyek itu didirikanlah PT
Timsco Barelang.
Seiring dengan itu, mengikuti jejak kelompok Salim yang ingin membangun
basis bisnis baru di Pulau Bintan. Di pulau Bintan, Timmy berpatungan
dengan Titiek Prabowo dalam PT Bintan Perkasa Development (Wibisono, 1995;
Smith, 1996, 1998; CISI, 1997: 128-129, 794-795; PDBI, 1997: A-958;
Clapeyron , Jan. 1989: 7-13, 46-50; Indocommercial , 1 Sept. 1993: 81, 26
Jan. 1995: 79; Teknologi , Mei 1993: 13-14; Tempo, 4 Juni 1994; Properti
Indonesia , Okt. 1994, hal. 21-23;Panji Masyarakat , 7 Juni 1998;
wawancara-wawancara).
Thariq Kemal Habibie:
-------------------------------
Kekuasaan keluarga Habibie atas peluang-peluang bisnis di Pulau Batam dan
IPTN selanjutnya 'menurun' ke generasi kedua. Tahun 1994, Thariq Kemal
Habibie, putera bungsu Rudy Habibie, diangkat menjadi presiden direktur
konglomerat keluarga Habibie yang baru, Repindo Panca, yang berpusat di S.
Widjojo Centre, Jalan Jenderal Sudirman No. 71, Jakarta (no telepon 242
4155 s/d 2542 4165, dan fax 522 3131 dan 252 4162), dengan kantor cabang
di Jerman dengan alamat: PO Box 2307, 38013 Braunschweig, Germany.
Seorang bekas perwira tinggi ALRI, Laksamana Muda (Purn.) Abu Hartono,
diangkat menjadi Presiden Komisaris Repindo Panca. Kawan seangkatan Fanny
Habibie di Akademi Angkatan Laut (AAL) ini ikut menggolkan pembelian 39
kapal besitua buatan Jerman Timur, ketika ia menjadi Ketua Fraksi ABRI di
DPR-RI.
Selanjutnya Abu Hartono adalah kawan lama Fanny Habibie di PT Djakarta
Lloyd, di mana ia kini menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris. Fanny
sendiri pernah menjadi Presiden Komisaris perusahaan pelayaran milik rakyat
ini. Karier Abu Hartono di ALRI, mirip karier Fanny Habibie di pelayaran
sipil: Abu Hartono pernah jadi staf Proyek Pengadaan Kapal ALRI, sedangkan
Fanny Habibie pernah terlibat dalam pembelian kapal Tampomas II.
Sejak akhir November 1995, presiden komisaris Repindo Panca ini
beralih-tugas sebagai Dubes RI di Manila. Di sana dia tetap berfungsi
sebagai anjing penjaga kepentingan Suharto dan Habibie. Stafnya aktif
memantau seminar internasional tentang korupsi yang diselenggarakan oleh
Philippine Centre for Investigative Journalism di Hotel Mandarin Oriental,
15 s/d 17 April yang lalu, yang dihadiri sejumlah anggota AJI (Aliansi
Jurnalis Independen).
Di luar Repindo Panca, Thariq juga mendapat kepercayaan IPTN dan sejumlah
konglomerat swasta untuk memimpin PT Prodin, yang punya spesialisasi
menyelenggarakan pameran-pameran dagang produk Indonesia. PT Prodin ini
merupakan konsorsium antara berbagai konglomerat di Indonesia, seperti
Salim, Sinar Mas, dan Bakrie Bersaudara.
Melalui PT Prodin ini, yang "dipercayai" B.J. Habibie untuk
menangani
Hannover Fair 1995 di Jerman serta Indonesia Air Show (IAS) di landasan
bandara Soekarno-Hatta, bulan Juni 1996, Thariq Habibie dapat berkenalan
langsung dengan tokoh-tokoh sipil dan militer dari manca negara, yang tentu
saja dapat melicinkan jalan bagi bisnis pribadinya (Profil Repindo Panca,
1994; CISI, 1997: 325-327; Kartini , No. 613, hal. 74-95; Warta Ekonomi ,
23 Jan. 1995: 28; Economic & Business Review Indonesia , 16 Sept. 1995, 2
Des. 1995: 46; Target , 25 Juni-1 Juli 1996: 22-23; Tajuk , Agustus 1996:
51; sumber-sumber lain).
Di luar kelompok Repindo Panca dan PT Prodin, Thariq dan abangnya, Ilham,
terjun ke bidang asuransi. Mereka berdua menguasai 30 persen saham PT
Asuransi Wuwungan. Perusahaan asuransi itu didirikan tahun 1952 oleh
keluarga Wuwungan, tapi kedua bersaudara Habibie serta beberapa anggota
keluarga Pusponegoro baru masuk tahun 1986.
Profesor S. Djuned Pusponegoro dan keluarganya adalah sahabat lama keluarga
Habibie sejak di Bandung. Seorang putra sang profesor, Ir. Harsono Djuned
Pusponegoro, bekerja selama tiga tahun di bawah Habibie di pabrik pesawat
terbang Hamburger Flugzeugbau, yang kemudian setelah melebur dengan pabrik
pesawat Messerschmit dan Boelkow berganti nama menjadi
Messerschmit-Boelkow-Blohm alias MBB. Setelah Habibie mudik ke Jakarta,
Harsono ikut terorbit menjadi Staf Ahli Menteri Negara Riset & Teknologi,
Deputi Ketua Bidang Pengembangan Teknologi BPPT, dan Direktur Teknologi
IPTN.
Persahabatan kedua keluarga itu kemudian dilanjutkan ke perusahaan asuransi
itu, di mana Ilham dan Thariq menjadi komisaris, bersama ibu Hartono,
Nyonya Djuned Pusponegoro. Sedangkan Presiden Komisarisnya, yang namanya
dipakai sebagai nama perusahaan itu, adalah Rudy Alexander Wuwungan. Lewat
perusahaan itu, cakrawala industri asuransi dan semakin terbuka bagi dua
bersaudara Habibie.
PT Asuransi Wuwungan adalah juga pemegang saham PT Maskapai Reasuransi
Indonesia (Marein). Perusahaan ini sesungguhnya sudah berdiri tahun 1953,
dan berkali-kali mengalami perubahan susunan pemegang saham. Sekarang ini,
pemegang sahamnya adalah PT Dharmala Sakti Sejahtera (49.94%), AJB
Bumiputera 1912 (17.34%), PT AJ Panin Life (4.07%), PT AJ Bumi Asih Jaya
(3.63%), PT Asuransi Wuwungan (1,2%), PT Maskapai Asuransi Sari Sumber
Agung (0,86%) dan publik (22,78%).
Berbanding terbalik dengan kecilnya saham PT Asuransi Wuwungan, R. A.
Wuwungan diangkat menjadi Presiden Direktur PT Marein. Jabatan yang cukup
strategis, mengingat jaringan mitra internasionalnya meliputi AS, Kanada,
Swedia, Spanyol, Inggris, Malaysia, dan Swiss. Dan ini lebih aneh lagi: PT
Marein sendiri memiliki 17,14% saham dalam PT Asuransi Wuwungan!
PT Marein juga bekerjasama dengan PT Citra International Underwriters.
Perusahaan asuransi milik Bimantara ini pada gilirannya bekerjasama dengan
PT Jasa Asuransi Indonesia (Jasindo), sebuah BUMN yang memimpin satu
konsorsium yang mendapat kontrak mengasuransi empat satelit komunikasi yang
dikelola oleh PT Telkom dan anak-anak perusahaan PT Pasifik Satelit
Nusantara, yang juga anak perusahaan Bimantara. Masing-masing kontrak
bernilai 350 juta dollar AS. Selain PT Jasindo sendiri, anggota konsorsium
itu adalah PT Citra International Underwriters and 17 maskapai asuransi
luar dan dalam negeri.
Selain itu, PT Citra International Underwriters dan perusahaan asuransi
kelompok Salim, PT Asuransi Central Asia, mendapat kontrak mengasuransi
satelit komunikasi lain milik kelompok Bimantara, yakni Cakrawarta I.
Kontrak itu bernilai 115 juta dollar AS lebih.
Pendek kata, prospek bisnis asuransi keluarga Suharto -- yang mengimbas ke
keluarga Habibie -- cukup cerah. Karuan saja Utoyo, direktur PT Citra
International Underwriters, tiga tahun lalu mengatakan bahwa "premi
asuransi yang berhasil kami kumpulkan terus meningkat". Jumlahnya pada
tahun 1994 mencapai Rp 23 milyar, naik 6,9% dari tahun sebelumnya.
Selain itu, mengikuti jejak paman mereka, Timmy Habibie, tahun 1991 kedua
putra BJ Habibie membentuk PT Humpuss Elektronika, berpatungan dengan Tommy
Suharto dan Baktinendra Prawiro, putra sulung Radius Prawiro. Perusahaan
itu juga telah berpatungan dengan maskapai elektronika Jepang, NEC
Corporation, dan holding company -nya, Sumitomo Corporation, yang keduanya
punya usaha patungan dengan Bimantara, dalam suatu pabrik semi-konduktor di
Bekasi, Jawa Barat, dengan penanaman modal sebesar 45 juta dollar AS.
Berarti bisnis patungan ketiga keluarga ini -- Habibie, Suharto, dan Radius
Prawiro -- juga tidak main-main (Makka, 1986: 44-47, 115-116, 238-253,
254-258, 658; Prawoto, 1995: 50, 149; CISI, 1997: 462-463; IEFR, 1997:
462-463; PDBI, 1997: A-530 - A-533; Wibisono, 1997; Lauw, 1998; Swa ,
Agustus 1995: 19; Jakarta Post , 11 Juni & 24 Okt. 1997).
Dari situ dapat disimpulkan, bahwa keluarga Habibie mulai terjun ke bisnis
asuransi, setelah kue asuransi satelit komunikasi -- yang dikuasai keluarga
besar Suharto dan Habibie (lihat bagian tentang Yayuk Habibie) -- semakin
membesar. Kalau ini bukan kolusi, lantas apa?
Yang jelas, PT Asuransi Wuwungan juga ada hubungan bisnis dengan Angkatan
Udara. Buktinya, menyambut ulangtahun Komando Operasi TNI/AU, tanggal 15
Juni 1994, perusahaan itu ikut memasang iklan ucapan dirgahayu di majalah
Angkasa , usaha patungan kelompok Kompas-Gramedia dengan Dinas Penerangan
AURI, edisi bulan Juni 1994.
Yayuk Habibie melanglang buana:
-----------------------------------------------
Seperti yang tadi sudah saya singgung secara sepintas, ada mata-rantai
antara bisnis keluarga Suharto dan keluarga Habibie. Mata rantai itu adalah
dua bersaudara Aziz dan Muchsin Mochdar. Aziz merupakan orang kunci dalam
semua bisnis telekomunikasi kelompok Bimantara, termasuk satelit-satelit
komunikasinya. Seperti yang telah saya singgung di bagian tentang Tutut dan
Timmy main telpon-telponan, Aziz Mochdar pertama kali menjadi direktur
utama PT Elektrindo Nusantara, di mana ia memegang 10% saham. Selain itu,
ia menguasai 30% saham PT Asriland, setara dengan Halimah, sementara
suaminya, Bambang Trihatmojo menguasai 40%.
PT Asriland merupakan "super holding company" kelompok Bimantara,
sebab
perusahaan ini merupakan pemegang saham inti PT Bimantara Citra. Asriland
menguasai saham PT Bimagraha Telekomindo, yang berpatungan dengan PT
Telkom (20%), PT Indosat (10%), dalam perusahaan bisnis satelit kelompok
Bimantara, PT Satelindo. Aziz Mochdar sendiri masih memiliki 5% saham PT
Bimagraha Telekomindo (Editor , 1 Mei 1993: 69-70;Warta Ekonomi , 13 Sept.
1993: 60-61; Swa , Agustus 1995: 18-19).
Selain itu, ia juga menguasai 30% saham PT Aqualindo Mitra Industri, 30%
saham PT Duta Nusabina Lestari, 25% saham PT Montrose Pestindo Nusantara,
10% saham PT Kapsulindo Nusantara, 20% saham PT Citra Servicatama, 20%
saham PT Surya Citra Televisi (SCTV), serta 10% saham PT Panji Rama
Otomotif.
Aziz Mochdar juga menjadi komisaris PT Elok Abadi, yang berpatungan dengan
Perum Perumnas membangun Apartemen Puri Kemayoran, dan di Royal Sentul
Highlands, berpatungan dengan kelompok Lippo. Akhirnya, ia juga pemegang
saham PT Indovision bersama adik ipar Harmoko, Nyonya Noor Slamet
Asmoprawiro.
Kemudian, Aziz Mochdar dan adik iparnya, Yayuk Habibie, bersama-sama
memiliki saham perusahaan perjalanan kelompok Bimantara, yakni PT Nusa
Tours & Travel (CISI, 1997: 782-783, 1095-1097; Swa , Agustus 1995: 18,
39-42; Properti Indonesia , Des. 1995: 50A-50B).
Adik Aziz, Muchsin Mochdar, yang menikah dengan Sri Rahayu Fatimah alias
Yayuk Habibie, sudah jadi konglomerat sendiri dengan menguasai 14
perusahaan. Mereka mempunyai sebuah rumah yang relatif sederhana dan sebuah
bengkel mobil mewah di Perth, sebuah perkebunan jeruk seluas 200 Ha di
Australia Barat, serta rumah-rumah di Muenchen, Jerman, di mana mereka
tinggal jika salah seorang di antara anggota keluarga besar Mochdar-Habibie
itu akan melahirkan anak. Beberapa bulan yang lalu, mereka berlibur di
Swiss setelah melakukan umroh , dengan menyewa beberapa chalet (rumah
peristirahatan) sambil tetap melakukan puasa.
Muchsin adalah seorang duda beranak empat yang berkenalan dengan Yayuk pada
saat mengerjakan Jakarta Fair di Monas pada tahun 1980-an. Perusahaan
pertama yang mereka dirikan adalah perusahaan kontraktor umum, PT Citra
Harapan Abadi, yang sahamnya dibagi rata antara Yayuk dan Muchsin.
Berpatungan dengan Rocky Sukendar (putera Suwoto Sukendar) dan Tommy
Suharto, mereka membawa masuk maskapai raksasa Korea, Hyundai Engineering,
untuk mengerjakan landas pacu bandara-bandara di Indonesia. Selanjutnya
mereka berbisnis dalam ground handling bandara. Keuntungan yang mereka
pungut selalu dinaikkan lima kali lipat untuk kemudian dinegosiasi jadi
empat kali lipat.
Muchsin berkantor di gedung Mochdar Sendana Co., Jalan Irian, Menteng,
sedangkan Yayuk Habibie di Wisma Ferrindo di Jalan Warung Buncit Raya,
setelah pindah dari kantor lamanya di Wisma Metropolitan I. Dari kantornya
yang baru, ia tetap berfungsi sebagai perwakilan tidak resmi Ferrostahl, di
mana menurut kabar angin di Jakarta, ia menerima 10% komisi dari semua
kontrak Ferrostaal di Indonesia.
Hubungan baik antara keluarga Habibie dan maskapai Jerman raksasa itu sudah
terbina cukup lama. Ketua dewan komisaris Ferrostahl, Klaus von Menges,
kawan lama BJ Habibie sejak tahun 1950-an, ketika keduanya masih kuliah.
Habibie di Aachen, sedangkan von Menges di Koeln. Sesudah Habibie jadi
orang top di Jakarta, von Menges ikut terorbit menjadi orang kunci bagi
maskapai-maskapai Jerman yang berbisnis di Indonesia, dibantu adik
perempuan bungsu BJ Habibie yang mendapat ruang khusus di kantor perwakilan
Ferrostahl di Jakarta.
Dari kantor itu, Yayuk Habibie yang juga anggota pengurus EKONID
(Perkumpulan Ekonomi Indonesia-Jerman) ikut melobi para birokrat Indonesia
untuk kepentingan Ferrostahl. Maskapai Jerman ini adalah salah satu pemasok
utama mesin-mesin PT Krakatau Steel, dan juga pemegang saham dalam dua
perusahaan milik Bambang Trihatmojo, yakni perusahaan tanker PT Samudra
Petrindo Asia dan perusahaan rekayasa penyulingan minyak, PT Samudra Ferro
Engineering (Friedland, 1988: 81; CISI, 1997: 1100-1102; Panji Masyarakat ,
7 Juni 1998).
Tidak cuma itu. Beberapa orang sumber saya menegaskan bahwa Yayuk Habibie
membantu kakaknya menggolkan penjualan 39 kapal perang bekas armada Jerman
Timur kepada pemerintah Indonesia, demi komisi serta penyelamatan kinerja
PT PAL. Kontrak yang membengkak dari 760 juta menjadi 1,1 milyar dollar AS
itu, nyaris menimbulkan keretakan antara Habibie dengan DPR-RI, Bappenas,
Departemen Keuangan, dan Angkatan Luat. Maka terpaksalah tiga ekor pelanduk
bernama Tempo , Editor dan Detik -- yang sering memuat kontroversi itu
-- dikorbankan demi penyelamatan muka para gajah yang sedang bertarung.
Jadi boleh dikata, mayat Tempo , Editor , dan Detik merupakan tumbal
untuk "peremajaan" armada ALRI, dengan menggunakan kapal perang
bekas yang
disesuaikan dengan perairan Laut Baltik dan Laut Utara yang berhawa dingin
di bawah nol. Jangan tanya pada rumput yang bergoyang, bagaimana
kapal-kapal bekas -- yang tidak disesuaikan dengan perairan tropis -- dapat
meremajakan satu armada Angkatan Laut, yang sudah sangat bergantung pada
kapal-kapal tua pula. Hanya Super Jenius Habibie yang tahu rahasianya.
Kesuksesan memakelari 39 kapal bekas Jerman Timur itu didahului Yayuk
dengan menjadi calo penjualan 32 pesawat Boeing 737-200 yang dilego
maskapai penerbangan Jerman Lufthansa, setelah dipakai selama 20 tahun.
Resminya, penawaran Lufthansa itu disampaikan lewat Habibie, tapi menurut
sumber-sumber saya di Jerman, Yayuk lah kontak Lufthansa yang utama. Alasan
Habibie, pembelian pesawat-pesawat bekas itu merupakan peluang untuk
mengembangkan Universal Maintenance Centre (UMC), sebuah unit perbengkelan
IPTN.
Yang tidak dijelaskan oleh Habibie adalah bahwa Lufthansa ingin menjual
pesawat-pesawat Boeing 737 nya yang sudah tua, untuk meremajakan armadanya
dengan membeli 20 pesawat Airbus A 319 yang baru. Hal itu saya baca di
koran The Australian , 24 Februari 1995. Seperti kita ketahui, Habibie
punya hubungan khusus dengan konsorsium perusahaan Eropa produsen Airbus,
yang menggunakan rumus Habibie dalam perhitungan kekokohan dinding
pesawatnya.
Karena ditekan habis-habisan oleh Habibie dan Menteri Perhubungan Haryanto
Dhanutirto yang juga konco Habibie, Garuda akhirnya membeli tujuh pesawat
bekas itu, sedangkan Merpati tiga. Awal 1995, Mandala Airlines dan Bouraq
Airlines, masing-masing telah membeli dua dan tiga pesawat bekas itu.
Mandala Airlines -- sebelum bangkrut karena krisis moneter -- bahkan punya
rencana membeli delapan lagi. Seperti kita ketahui, perusahaan penerbangan
ini adalah milik Yayasan Dharma Putera Kostrad (melalui PT Dharma Kencana
Sakti), Nusamba dan Sigit Harjojudanto, sedangkan presiden komisarisnya
adalah Jenderal (Purn.) Wismoyo Arismunandar, ipar Suharto.
Seperti kita ketahui, direktur Garuda Wage Mulyono akhirnya dicopot karena
menolak pembelian pesawat-pesawat bekas itu. Ia diganti oleh Supandi yang
sudah digembleng loyalitasnya sebagai Ketua Pelaksana Eksekutif Otorita
Batam di bawah B.J. Habibie.
Kembali ke cakupan bisnis Yayuk Habibie. Selain sebagai perwakilan tidak
resmi Ferrostahl, Yayuk Habibie juga punya saham di beberapa perusahaan
Jerman yang lain serta usaha patungan Jerman di Indonesia. Misalnya, ia
memiliki saham di perusahaan sekuritas Deutsche Morgan Grenfell Securities
cabang Jakarta dan menguasai 70% saham PT Deutsche Real Estate Indonesia
(DREI), pemilik gedung Deutsche Bank cabang Jakarta, melalui perusahaannya
yang terdaftar di Jerman, Debeko Immobilien GmbH. Sisa saham PT DREI yang
30% dikuasai keponakan-keponakannya, Ilham dan Thariq Habibie, melalui PT
Iltabi Rekatama.
Bersama perusahaan para keponakannya itu serta PT Citra Harapan Abadi,
Yayuk juga menguasai kuranglebih seperempat jumlah saham PT Guntner
Indonesia, anak perusahaan Hand Guntner GmbH di Jerman. Perusahaan patungan
ini berencana membangun pabrik heat exchanger berkapasitas 2000 pieces di
Pasuruan.
Selain itu, melalui PT Trimitra Upayatama milik Yayuk Habibie dan kedua
keponakannya itu, ia mengambil alih usaha patungan Bank Buana Indonesia
dengan Deutsche Bank, bernama PT Euras Buana Leasing Indonesia. Perusahaan
itu diganti namanya menjadi PT DB (Deutsche Bank) Leasing Indonesia.
Beberapa perusahaan Jerman yang dekat dengan Yayuk Habibie ini kembali lagi
ada hubungannya pula dengan sektor telekomunikasi serta penerbangan yang
tampaknya merupakan spesialisasi keluarga besar ini. Deutsche Morgan
Grenfell (DMG), ikut mengkoordinasi suatu kredit sindikat sejumlah 380 juta
dollar AS untuk membiayai proyek telekomunikasi di Jawa Tengah.
Sementara itu, DMG juga ikut mengkoordinasi tender pembelian enam pesawat
Airbus A-330 (rancangan Habibie!), di mana sejak awal ada kesalahan
prosedur tender, yang diperkirakan akan menyebabkan Garuda akan rugi
sebesar 8 juta dollar AS, atau Rp 136 milyar, menurut kurs sekarang
(Williamson, 1998; Wibisono, 1998; PDBI, 1997: A-1474 - A-1476; Editor , 18
Nov. 1993: 13, 16 Juni 1994: 29-30; Forum Keadilan, 23 Juni 1994: 12, 9
Febr. 1998: 92;Tempo , 25 Sept. 1993: 89-90, 4 Juni 1994: 88-89;
Info-Bisnis , Nov. 1994: Advertorial; Indo-Commercial , 26 Jan. 1995: 2;
Independen , 31 Jan. 1995: 20; The Australian , 24 Febr. 1995; Economic &
Business Review Indonesia , 5 Febr. 1994: 34; sumber-sumber lain).
Barangkali kedekatannya dengan perusahaan-perusahaan Jerman itu, dan
kenyataan bahwa ia sering mondar-mandir antara Jakarta, Jerman, Australia,
dan AS, kini beredar kabar angin di Eropa, bahwa Yayuk Habibie ikut
bertugas mengamankan sebagian harta keluarga Suharto di bank-bank Jerman
dan Swiss.
Kecurigaan itu juga perlu dialamatkan ke Ibnu Sutowo, yang duduk di badan
penasehat Inter Maritime Bank di Jenewa, milik makelar tanker Pertamina,
Bruce Rappaport, yang ikut terlibat dalam skandal Pertamina sebesar 10
milyar dollar AS di akhir 1970-an (McDonald, 1980: 162-163).
Kecurigaan itu didasarkan pada pengetahuan orang tentang kedekatan antara
Suharto, Ibnu Sutowo, dan Habibie. Sejumlah perusahaan milik ketiga
keluarga itu bahkan tumpang-tindih sahamnya. Misalnya, lapangan golf
Kosaido Tamarin Santana di Pulau Batam, yang merupakan usaha patungan
antara PT Trimitra Upayatama milik Yayuk Habibie dan kedua putra B.J.
Habibie, dengan PT Kosaido Tamarin Santana, anak perusahaan Nugra Santana
milik keluarga Ibnu Sutowo. Lalu, jangan lupa, kelompok Repindo Panca
milik Thariq Kemal Habibie juga berpatungan dengan Nugra Santana.
Nugra Santana pada gilirannya berpatungan dengan kelompok Nusamba milik
tiga yayasan yang diketuai Suharto, dalam lapangan golf Bali Handara
Country Club serta konsesi hutan PT Alas Helau dan pabrik Kertas Kraft
Aceh. Nugra Santana juga berpatungan dengan Bambang dan Tommy Suharto dalam
Bali Turtle Island Development Project di Pulau Serangan, Bali, dan dengan
Tommy dalam PT Mabua dan PT Indonesia Pharmaceutical Industries, yang
bisnisnya tersebar dari Bali, Batam s/d ke Burma.
(bersambung)
----- End of forwarded message from George J. Aditjondro -----
<A HREF=http://www.uni-stuttgart.de/indonesia/>Indonesia Daily News
Online</A><HR>
#-----------------------------------------------------------------#
#-----------------------------------------------------------------#
Received on Thu Jul 2 04:47:39 MET DST 1998
Dari Pare-Pare sampai ke Jerman:
Kisah korupsi, kolusi dan nepotisme keluarga besar Habibie (III)
G.J. Aditjondro
Selain itu, Ponco Sutowo juga berpatungan dengan kawan baik Tommy, Ongky
Sumarno, dan kawan baik Bambang, Yapto Suryosumarno, dalam perusahaan
pemegang hak waralaba Hard Rock Cafe di Indonesia (Wibisono, 1995; Smith,
1996; Aditjondro, 1995, 1997; PDBI, 1997: A-636 - A-637; Profil Perusahaan
Repindo Panca, 1994; CISI, 1997: 56A, 192A; Swa , Okt. 1992: 120, 30
Jan.-19 Febr. 1997: 22-23).
Lagi pula, masih banyak rahasia ke mana larinya hutang pembelian tanker
Pertamina dan hutang lain, yang belum pernah dipertanggungjawabkan secara
terbuka. Misalnya, ketika tim Albert Hasibuan dan Benny Murdani berusaha
mengorek pengakuan Kartika Thaher bahwa deposito almarhum suaminya di Bank
Sumitomo cabang Singapura adalah hasil sogokan dua perusahaan Jerman untuk
melicinkan order Pertamina bagi pabrik baja Krakatau Steel, satu hal cukup
mencolok: kedua lobbyist itu berusaha keras mendesak hakim agar nama-nama
Suharto dan isterinya dihapus dari kertas bukti pengakuan Kartika (Pour,
1993: 513-533).
Teka-teki raibnya uang rakyat sebanyak itu juga diperparah oleh kematian
Subchan Z.E. di Arab Saudi, tahun 1973. Sebelum kematiannya, cendekiawan
muda Nahdlatul Ulama itu mengemukakan sejumlah bukti kepada wartawan AFP,
Brian May, bahwa seorang makelar tanker Pertamina yang lain, Robin Loh,
yang bermarkas di Singapura, merupakan operator keuangan Ibnu Sutowo dan
Suharto. Orang ini secara menakjubkan telah melonjak status sosial
ekonominya dari seorang sopir taksi menjadi salah seorang paling kaya di
Singapura dalam dasawarsa 1970-an, dan punya andil membantu Adiguna Sutowo
membangun galangan kapalnya (May, 1978: 299-300; Robison, 1990: 237, 351,
357).
Begitulah sekilas kisah Yayuk Habibie sang "iron lady", begitu ia
pantas
dijuluki lantaran kelihaiannya menjual besi tua -- dan aluminium tua -- ke
pembeli-pembeli yang ditodong oleh kakaknya, dengan restu Suharto, di
Indonesia.
Fanny yang tidak funny:
----------------------------------
Manipulasi jabatan B.J. Habibie untuk melindungi adik kandungnya, Fanny
Habibie, dari pemeriksaan sehubungan dengan skandal Tampomas, patut
diungkapkan kembali. Sebagai Sekretaris Dirjen Perhubungan Laut, Fanny
Habibie lah yang mengepalai tim pembelian kapal penumpang berusia 10 tahum
yang dinamai Tampomas II , dari pemilik sebelumnya di Jepang.
Skandal itu tak akan diketahui khalayak ramai, seandainya kapal itu tidak
tenggelam di Laut Jawa pada tanggal 27 Januari 1981, yang menenggelamkan
775 dari ke- 1154 orang penumpangnya. Sayangnya, skandal ini telah
ditutup-tutupi oleh pemerintah Suharto-Habibie, kendati banyak tuntutan
anggota-anggota parlemen untuk pengusutannya.
Dalam suatu acara dengar pendapat yang khusus diadakan oleh DPR-RI tentang
kasus ini, Menteri Perhubungan menolak menunjukkan pada para wakil rakyat
suatu laporan Bank Dunia yang merinci pembelian kapal bekas seharga 8.5
juta dollar AS itu. Juga, walaupun Jaksa Agung menjanjikan kepada para
wakil rakyat untuk mengambil langkah-langkah hukum terhadap
kecurangan-kecurangan yang dilaporkan, hanya lima orang awak kapal yang
selamat dibebastugaskan oleh Mahkamah Kelautan (Indonesian Observer , 7
Febr.- 2 June 1981; Independen , No. 10, 1995: 9).
Seorang makelar kapal, Gregorius Hendra, yang mengatur kontrak pembelian
antara pemilik lama kapal Jepang itu dan pemerintah Indonesia, kemudian
diinterogasi oleh Kejaksaan Agung. Pengusaha itu punya koneksi yang sakti,
karena sebelum menangani pembelian Tampomas ia memperoleh rezeki nomplok
dari penjualan kapal-kapal pendarat (LST) TNI/AL untuk Operasi Seroja guna
mencaplok Timor Leste. Mungkin itu sebabnya Hendra kemudian dibebaskan
(Tempo , 15 Ag. 1981: 60-61).
Fanny Habibie sendiri keluar dengan selamat dari skandal Tampomas II. Ia
bahkan dipromosikan menjadi Dirjen Perhubungan Laut. Dalam kapasitas itu ia
memutuskan untuk membesituakan semua kapal Indonesia berumur lebih dari 25
tahun, yang hanya boleh dijual ke PT Krakatau Steel dengan harga jauh di
bawah harga pasar internasional.
Tentu saja, bukan Fanny Habibie saja yang perlu dipersalahkan kalau
Krakatau Steel sampai dihinggapi rekening korupsi sebesar Rp 6 milyar di
awal 1990-an. Selain Fanny, ini mestinya tanggungjawab direktur Krakatau
Steel, Tungky Ariwibowo, yang juga kawan bisnis Tommy dalam arena balap
mobil Sentul serta kawan bisnis Tutut dalam perusahaan jalan tolnya. Selain
itu, peran Sri Rahayu Fatimah alias Yayuk Habibie, juga perlu
dipertanyakan.
Selama bertahun-tahun anggota pengurus EKONID ini dikenal sebagai
perwakilan (tidak resmi?) untuk maskapai Jerman Ferrostahl, salah satu
pemasok utama mesin-mesin PT Krakatau Steel dan juga partner bisnisnya yang
utama (Robison, 1990: 115;Far Eastern Economic Review , 15 Sept. 1988: 84;
Editor , 17 Des. 1992: 83-85; Suara Independen , 31 Jan. 1996: 2).
Lolos dari skandal Tampomas, Fanny Habibie diangkat menjadi Dubes RI untuk
United Kingdom dan Republik Irlandia. Dalam posisi ini ia ikut membantu
mempromosikan bisnis keluarga Habibie, sambil juga membantu politik Timor
Leste yang dijalankan oleh Tutut melalui Yayasan Tiara. Tanggal 17 Desember
1993, berlangsung pertemuan di KBRI di London antara tokoh-tokoh Timor
Leste dari dalam negeri dengan mereka yang hidup di pengasingan, di mana
Tutut didampingi Dubes Fanny Habibie.
Termasuk dalam strategi diplomasi Tutut adalah usahanya merangkul
segelintir oportunis Timor Leste, dengan pemberin fasilitas pembangunan
pabrik semen di Timor Leste. Mitra Indonesia mereka adalah Budi Prakosa,
adik Setiawan Djody (Aditjondro, 1996b; Forum Keadilan, 23 Juni 1994:
23-24).
Selama Fanny menjadi Dubes RI di London, anak-anak dan cucu-cucu Suharto
betah tinggal di sana. Sigit memiliki sebuah rumah di Jalan Winington No.
8, East Finchley. Putra sulungnya, Ari Haryo Wibowo alias Ari Sigit, pernah
kuliah manaejemen bisnis selama dua tahun (1988-1990) di Universitas
London, dan punya rencana membuka cabang perusahaan barang-barang konsumen
anak-anak gedongan bermerek Sexy di kota itu tahun depan. Adik
perempuannya, Retnosari Widowati, alias Eno Sigit, belajar di Center School
of Fashion di London. Kata perempuan muda berusia 24 pada Forum Keadilan ,
1 Juli 1996: "Saya ingin seperti Bude Tutut. Berhasil di usaha, juga
sukses
di bidang sosial".
Memang budenya cukup sukses di bidang bisnis. Saking suksesnya, Tutut pun
punya rumah di London, di Hyde Park Crescent. Dari situlah ia melobi
maskapai konstruksi Inggris, Trafalgar House, yang berpatungan dengan
kelompok Citra untuk membangun jalan tol antara Jakarta dan Bandung seharga
16 juta pound.
Sementara itu, Tommy Suharto, lebih senang berwisata ke kota pantai
Brighton, yang sejam jauhnya dari London. Tommy memang punya macam-macam
urusan bisnis di Inggris dan Irlandia. Salah satu anak perusahaan Humpuss,
PT Mabua adalah agen tunggal Rolls Royce Motors di Indonesia. Selain PLTU
di Samarinda, pesawat-pesawat N-250 buatan IPTN membeli mesin Rolls Royce
dari Mabua.
Tidak cuma IPTN yang bakal menambah kaya rekening bank PT Mabua. Juga
pembelian 24 pesawat pembom Hawk buatan British Aerospace, yang semua
menggunakan mesin Rolls Royce, akan semakin menguntungkan Tommy. Itu kalau
Angkatan Udara kita tidak membatalkan kontrak pembelian pesawat-pesawat
pancargas itu, guna menghemat devisa negara.
Selain memegang keagenan Rolls Royce, Garuda harus berulangkali menyewa
pesawat dari PT Arthasaka Nusaphala milik Tommy Suharto bersama Indra
Bakrie dan Robby Djohan.
Sigit sendiri juga merasa perlu punya rumah di London, untuk mengawasi
pendidikan anak-anaknya sambil berbisnis dengan sejumlah mitra Inggris.
Misalnya, maskapai minyak raksasa, British Petroleum, yang punya 51 % saham
dalam pabrik polyethyline raksasa milik Sigit, PT Petrokimia Nusantara
Interindo (Peni).
Sigit tadinya juga menjadi calo bagi Thames Water, sehingga maskapai
Inggris mendapatkan kontrak 25 tahun dengan PAM Jaya. Untuk itu,
dibentuklah PT Kakar Thames Airindo. Namun hanya tiga hari setelah Suharto
meletakkan jabatan secara inkonstitusional, PAM Jaya membatalkan kontrak
yang bakal merugikan warga kota Jakarta itu. Baru setelah perusahaan Sigit
dilepaskan dari usaha patungan itu, kontrak PAM Jaya dengan Thames Water
dilanjutkan kembali.
Selain anak-anak Suharto, saudara sepupu mereka, Martina Sudwikatmono,
bersama Adiguna Sutowo, punya hubungan bisnis yang menggiurkan dengan
maskapai penerbangan Inggris, British Aerospace. PT Aero Dwiguna Witama,
begitu nama perusahaannya, menjadi agen tunggal pesawat jet eksekutif
British Aerospace, BaE 125-100, yang berharga 14 juta dollar sebiji. Bisnis
tulang punggung kelompok Dwi Golden Graha milik keluarga Sudwikatmono ini
telah mendongkrak peringkat konglomerat itu dari No. 102 (1992) ke No. 46
setahun berikutnya, dengan kekayaan senilai 500 juta dollar AS (Aditjondro,
1997, 1998d; Swa, 3-16 Okt. 1996: 16; The Guardian , 26 Mei 1998; Wall
Street Journal , 2 Juni 1998).
Memang belum tentu Fanny ikut memuluskan berbagai perjanjian bisnis
keluarga Suharto di Inggris dan Irlandia. Kalau kelak dapat dibuktikan
bahwa perusahaan-perusahaan Inggris itu memilih anggota-anggota keluarga
besar Suharto sebagai partner mereka, untuk melancarkan bisnis mereka
dengan cara-cara yang dapat digolongkan sebagai korupsi (baik di Indonesia
maupun di Inggris), Fanny dapat dianggap sebagai orang yang ikut terlibat,
karena tidak berusaha mencegahnya. Tapi kemungkinan tidak tertutup bahwa
kedua bersaudara Habibie itu ikut melicinkan bisnis keluarga Suharto di
Inggris, melalui rumah-rumah pribadi di London (Tiara , 5 Des. 1993: 36).
Yang jelas, selama Fanny Habibie jadi Dubes RI di London, menantu Suharto
yang sangat ambisius dan berdarah dingin, Prabowo Subianto, mempererat
hubungannya dengan pasukan khusus Angkatan Darat Kerajaan Inggris, dan juga
melengkapi pasukannya dengan sarana latihan khusus anti-pemberontakan
(counter insurgency ) yang diimpor dari Inggris pula. Sehingga tak mungkin
Fanny -- dan Rudy -- Habibie tak tahu menahu dengan kerjasama militer
Inggris-Indonesia yang begitu mesra itu.
Setahun setelah menyelesaikan jabatan sebagai Dubes, akhir Maret lalu Fanny
dipercayai kakaknya untuk menggantinya menjadi Kepala Otorita Batam (Kompas
, 27 Maret 1998). Namun begitu melihat berbaliknya arah angin badai yang
dihembuskan gerakan mahasiswa 1998 ke seluruh Nusantara, Rudy cepat-cepat
mendesak adiknya untuk meletakkan jabatan.
Di Jakarta, Fanny punya posisi sebagai penasehat koran Bisnis Maritim ,
barangkali sebagai pemikat iklan dari berbagai perusahaan maritim di
Indonesia untuk tabloid milik keluarga Harmoko itu.
Di bidang sosial, Fanny dikenal sebagai cukong bekas aktivis mahasiswa
1974, Hariman Siregar, yang memimpin Poliklinik Baruna di Cikini.
Poliklinik itu resminya berafiliasi ke Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI),
namun sumber duitnya yang utama datang dari enam hotel berbintang lima, di
mana Baruna mengelola poliklinik buat para tamu hotel, dan dari kantong
Fanny sendiri.
Keenam hotel berbintang yang merupakan sumber dana Klinik Baruna adalah
Hotel Borobudur International, Holiday Inn Crown Plaza, Hotel Athlete
Century Park, Hotel Ibis Slipi, Hotel Hyatt Aryadhuta, dan Dusit Mangga
Besar Hotel.
Walaupun ada pemasukan dari keenam hotel berbintang tersebut, setiap tahun
Baruna masih defisit sekitar Rp 70 juta, yang selalu ditutup dari kantong
Fanny pribadi. Hubungan yang sangat akrab antara Hariman dan Fanny sudah
menjadi bahan pergunjingan hari-hari di antara para dokter dan staf
poliklinik itu.
Soalnya, veteran aktivis mahasiswa 1974 suka sesumbar tentang kepercayaan
Fanny menitipkan kartu kreditnya pada Hariman. Tidak cuma itu.
Kadang-kadang Hariman khusus diundang untuk menemani Fanny di London,
seperti terjadi di awal 1996. Sedangkan empat tahun sebelumnya, Hariman
diajak jalan-jalan ke AS menemani Fanny main judi di Las Vegas. Juga di
London keduanya senang bermain judi dan mengunjungi distrik lampu merah di
Soho, menggunakan mobil pelat merah KBRI.
Gaya hidup Hariman sering mencengangkan kawan-kawannya. Dengan memegang
kartu kredit Fanny, dokter yang senang menggembar-gemborkan peranan masa
sebagai pemimpin gerakan mahasiswa 1974, suka mentraktir staf dan
kawan-kawannya makan enak di hotel-hotel berbintang.
Juga acara-acara ulangtahun peristiwa 15 Januari, yang suka dilakukannya
dengan mengundang para aktor peristiwa itu, bukan acara-acara peringatan
yang syahdu dan politis, memperingati rakyat biasa yang gugur ketika
terjadi huruhara pembakaran Proyek Senen dan sekian banyak toko, mobil dan
motor buatan Jepang, tapi lebih merupakan pesta yang mewah dan mewah.
Misalnya, acara peringatan 15 Januari yang lalu di hotel Putri Duyung,
Ancol, yang dihadiri puluhan orang tanpa mengeluarkan petisi apa-apa.
Padahal, para aktivis mahasiswa di mana-mana sudah bersiap-siap untuk
berdemonstrasi menentang pengangkatan Suharto dan Habibie.
Namun tidak banyak yang mengecam atau menyelidiki gaya hidup sang bekas
demonstran mahasiswa itu, sebab Hariman punya satu komoditi yang
sewaktu-waktu berguna bagi para pembangkang: ia punya jalur khusus ke
kalangan intelijen ABRI, yang dapat digunakan untuk membantu teman yang
kesulitan. Jalur itu pulalah yang diusulkan oleh bang Buyung Nasution untuk
saya gunakan, awal 1995, agar penguasa mendrop kasus "ceramah
bermasalah"
saya di Yogya.
Bisnis keluarga Mantofani:
-------------------------------------
Semua itu tadi, belumlah perusahaan-perusahaan yang dipegang para keponakan
Habibie dari kakak perempuannya yang tertua, Titi Sri Sulaksmi Habibie,
yang menikah dengan Mayor Jenderal (Purn.) Subono Mantofani. Tiga anak
mereka, Adrie, Syulie, Askar, Syani, serta seorang menantu, Eddie Wirija
(suami Syuli), memegang sejumlah perusahaan lain, di luar Timsco dan
Repindo Panca. Sedangkan anak mereka yang tertua, Trulyanti
("Truly"),
menjadi pejabat penting di BPPT, yang akan saya singgung dalam bagian
tentang BPPT.
Adrie pernah mengikuti pendidikan angkutan laut di Hamburg, Jerman, dan
dengan modal itu mendirikan PT Putralindo Perkasa. Namun ia lebih dikenal
dengan perusahaannya yang lain, Java Musikindo, yang bergerak di bisnis
hiburan, mendatangkan musisi-musisi asing ke Indonesia.
Ia juga punya bisnis percaloan tingkat tinggi, dibantu oleh adik iparnya,
Eddie Wirija. Dia tidak pernah mau memasukkan namanya di perusahaan yang
dibantunya, tetapi menjalankan peran sebagai calo murni, dengan meminta
komisi 15 s/d 25%, misalnya ketika ia memasok mesin-mesin besar Cincinnati
Milacron dari AS ke IPTN.
Sementara Syuki dan Eddie lebih banyak membagi-bagi komisi bisnis percaloan
kakaknya, Askar Mantofani memiliki PT Citra Mantofani yang bergerak di
bidang interior pesawat, yang memasok kursi, WC, dan karpet pesawat-pesawat
buatan IPTN. Sedangkan si bungsu Syanie memiliki sebuah proyek real estate
di Pulau Batam.
Mega-Proyek Natuna:
------------------------------
Tentang nepotisme Habibie dalam mengelola proyek-proyek yang diawasi BPPT,
ada satu contoh yang menarik. Tim BPPT yang bertugas mengawasi pengembangan
cadangan minyak dan gas di Laut Natuna, akhir 1996 menyebarluaskan
pengumuman untuk mengajukan tawaran kontrak rekayasa industri proyek
Natuna. Awal 1997, semua tender telah dilakukan dan perusahaan yang menang
dipilih dan diberitahu. Mereka tinggal menyelesaikan studi dampak
lingkungan, sesuai dengan ketentuan undang-undang lingkungan.
Tahu-tahu, mendadak turun sepucuk memo dari B.J. Habibie, yang
memerintahkan mereka melibatkan PT Repindo Panca di proyek Natuna itu. Tim
BPPT yang menangani Natuna jadi kelabakan. Soalnya, perusahaan milik Thariq
Kemal Habibie itu sama sekali tidak ikut tender, dan banyak perusahaan lain
yang sudah menang tender tahu hal itu (Winters, 1998).
Selain contoh nepotisme tersebut, kita sudah melihat di bagian depan bahwa
satu usaha patungan antara Bambang Trihatmojo dan Timmy Habibie juga
mendapat bagian penting dalam mega-proyek Natuna, bergandengan dengan
maskapai-maskapai minyak raksasa Exxon dan Mobil Oil.
Ini membawa kita ke Keputusan Presiden No. 14 tanggal 15 Juni 1995, yang
mengangkat B.J. Habibie sebagai ketua Tim Pelaksana Proyek Natuna (TPPN).
Keppres ini sempat mendapat kecaman keras dari anggota Komisi X DPR-RI.
Wasaraka. Menurut Keppres itu, Ketua TPPN dibantu oleh tiga orang wakil dan
empat orang anggota, termasuk di dalamnya Gubernur Propinsi Riau. Itu
berarti, Gubernur Riau harus melapor kepada Ketua TPPN, di samping kepada
Mendagri.
Bukan itu saja kejanggalan yang dipersoalkan oleh Wasaraka. Ia menganggap
Keppres itu bertentangan dengan UU No. 8/1971, di mana disebutkan bahwa
usaha penambangan minyak dan gas bumi dikuasakan kepada Pertamina. Padahal
dalam Keppres tadi disebutkan bahwa Ketua BPPT ditunjuk untuk mengetuai
TPPN, dan seluruh biaya TPPN dimasukkan dalam anggaran BPPT. "Jadi TPPN
ini
mencantol ke mana? Ke Pertamina, atau ke BPPT? Ini tumpang tindih,"
tegas
Wasaraka, tiga tahun lalu (Forum Keadilan , 31 Juli 1995: 88).
Tampaknya, pengangkatan sejumlah menteri dan pejabat tinggi dalam kabinet
Habibie saat ini dimaksudkan untuk mengatasi berbagai kejumbuhan itu, tanpa
mencabut Keppres No. 14 tahun 1995 itu sendiri. Rahardi Ramelan, orang
kepercayaan Habibie yang bertahun-tahun dibinanya di BPPT dan BPIS, kini
mengganti B.J. Habibie sebagai Ketua BPPT. Sedangkan jabatan Menteri Dalam
Negeri, dipercayakan kepada Jenderal Syarwan Hamid, orang Riau yang
diharapkan dapat menetralisasi suara-suara kritis dari Riau terhadap
berbagai proyek nepotis Suharto-Habibie di Kepulauan Riau serta mega-proyek
Natuna yang bernilai 42 milyar dollar AS itu.
Rahadi Ramelan sendiri, punya kaitan dengan rekan bisnis Tommy dan Indra
Rukmana. Ia Komisaris Utama PT Telkomsel, usaha patungan antara PT Telkom
dan kelompok Sedco pimpinan Setiawan Djody (CISI, 1997: 1318-1319).
Setiawan Djody sendiri, bukan orang asing di lingkungan bisnis keluarga
Cendana. Pengusaha yang gemar menyanyi dan main gitar ini adalah mitra
Tommy dalam bisnis perkapalan PT Senawangi di Batam maupun pabrik mobil
balap Lamborghini, dan mitra Indra Rukmana dalam bisnis perminyakan
kelompok Medco di negara-negara Asia Tengah bekas Uni Soviet (Swa, Febr.
1994: 32-33; Forum Keadilan, 25 Nov. 1993: 30-34; Kontan, 31 Maret 1997:
13; D&R, 21 Juni 1997: 86-89).
Kelompok Medco sendiri, mendapat kapling perkebunan kelapa sawit seluas 40
ribu hektar di Natuna, yang akan kita bahas dalam bagian tentang hubungan
nepotisme Habibie dan Maulani.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT):
------------------------------------------------------------------------
Contoh nepotisme Habibie di BPPT adalah pengangkatan Truly Sutrasno, puteri
tertua adik iparnya, Subono Mantofani, sebagai Deputi Ketua BPPT bidang
Administrasi. Master Psikologi ini dikenal suka menggembungkan anggaran
semua bagian BPPT di bawah kekuasaannya. Jabatannya, serta beberapa biro
yang langsung di bawah kekuasaannya - terutama Biro Perencanaan -
menghabiskan sebagian besar kegiatan keuangan dan teknis BPPT.
Suami Truly, Mohammad Ridwan Sutrasno, telah mendapat kontrak-kontrak
senilai puluhan juta dollar AS untuk merenovasi gedung BPPT, yang
sebenarnya baru saja direnovasi. Perusahaannya jugalah yang diserahi
kontrak merenovasi gedung itu sebelumnya, dengan kontrak bernilai jutaan
dollar AS.
Sungkan membagi-bagi rezeki dengan orang luar, Truly dan suaminya juga
menjadi pemegang saham utama dalam perusahaan jasa boga Amelia Catering
Service (Jl. Melati Bakti No. 12, Pondok Bambu, Jakarta Timur) dan PT Pasar
Minggu, yang telah mendapat banyak kontrak eksklusif untuk melayani
acara-acara BPPT, mulai dari rapat, sanggar kerja, seminar, sampai dengan
melayani kantin pegawai.
Atas nama BPPT, Truly juga sudah merambah ke Australia. Psikolog itu
dipercayai untuk mengepalai badan kerjasama BPPT dengan badan-badan riset
Australia, yang dinamai COSTAI (Collaboration in Science and Technology
between Australia and Indonesia). Ini menunjukkan besarnya kepercayaan B.J.
Habibie pada Truly, yang segera diikuti oleh Timmy. Suami Truly yang
insinyur geologi lulusan ITB mendapatkan berbagai jabatan komisaris atau
direktur dalam beberapa perusahaan kelompok Timsco (Wibisono, 1995: 32;
Aditjondro, 1996a; Winters, 1998; Teknologi , Jan. 195: 44-45).
(bersambung)
----- End of forwarded message from George J. Aditjondro -----
<A HREF=http://www.uni-stuttgart.de/indonesia/>Indonesia Daily News
Online</A><HR>
#-----------------------------------------------------------------#
#-----------------------------------------------------------------#
Received on Thu Jul 2 05:03:20 MET DST 1998
ASIAWEEK, July 3, 1998
THREE FOR THE FUTURE
Reconsidering the old battle plan
The men who will help determine the future of the military's role in
Indonesian society
are a new breed: open, professional and moderate. The three generals listed
below
are considered the main thinkers behind ABRI's reformist orientation. Their
pace is
slow and steady. Their challenge is to keep it that way as others want to
step on the
gas - or the brakes.
GEN. WIRANTO, 51: The commander-in-chief maintains a gruff exterior. But he
is
well-liked, both by the public and by close associates (he is a terrific
karaoke
singer).
Respected for his military professionalism, he was long considered a
political novice.
No more. He showed great skill last month in managing a volatile
presidential
transition from Suharto to B.J. Habibie.
LT.-GEN. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO, 48: The current chief of the
socio-political section is one of the armed forces' top intellectuals. He
has taught at
the
military college in Bandung, West Java, and has international experience.
LT.-GEN. AGUM GUMELAR, 52: Wiranto's classmate from the National Military
Academy heads the Defense Ministry's National Resilience Institute, which
trains
high-ranking civil and military officials. With his years as an intelligence
and special
forces officer, including experience in Irian Jaya, Aceh and East Timor, he
is a
street-smart soldier. In May he said: "When it comes to demonstrations,
we aren't
facing an enemy but our own people."
----
Read this list on the Web at http://www.FindMail.com/list/fire/
To unsubscribe, email to fire-uns...@makelist.com
To subscribe, email to fire-su...@makelist.com
--
Start a FREE E-Mail List at http://makelist.com !
<A HREF=http://www.uni-stuttgart.de/indonesia/>Indonesia Daily News
Online</A><HR>
#-----------------------------------------------------------------#
#-----------------------------------------------------------------#
Received on Thu Jul 2 05:03:39 MET DST 1998
ASIAWEEK, JULY 3, 1998
A MATTER OF FORCE
For so long, the military has had a key function in
civilian affairs. Now this is under scrutiny
By Jose Manuel Tesoro / Jakarta
Interview ABRI's "Thinking General" on the military's role in
government
A WAR OF WORDS IS NO LONGER strange in Indonesia. Still, this particular
argument was loud enough to raise the political temperature a few degrees.
On June
22, labor leader Muchtar Pakpahan swore that he would lead thousands of
workers
into the streets to force President B.J. Habibie to resign or, at least,
hold a
"national reconciliation gathering." He warned of more protests if
"our proposal is
ignored."
Jakarta garrison commander Maj.-Gen. Syafrie Syamsuddin responded: If
Pakpahan's
people press on, "I will cripple them." The morning of the
promised rally, soldiers
turned away workers on their way to the headquarters of Pakpahan's union and
prevented those already inside from leaving. The protests didn't take place.
Indonesia's armed forces, often known by the acronym, ABRI, don't like
demonstrations and the prospect of instability they bring. In recent weeks,
students,
workers and activists have held noisy protests throughout the country.
Barely a day
goes by without a demonstration. But on June 20, ABRI commander Gen. Wiranto
asked the people to cease all "emotional expressions" that might
distract from the
current efforts to reconstruct the nation.
To hear a plea for calm from ABRI is not new. But in these turbulent times,
it seemed
somehow more insistent. Long before the economic and political turmoil that
toppled
Suharto, back when Indonesia felt it had the luxury of time, ABRI said that
change must
be carried out slowly and steadily. These days, as ABRI chief of
social-political
affairs Lt.-Gen. Susilo Bambang Yudhoyono puts it, "People want
everything changed.
Soon. Today, not even tomorrow". ABRI now seems to be trying to gain
the initiative by
proposing its own ideas for reformation - including its often controversial
role in
society.
ABRI's so-called "dual function," which in Indonesian is called
dwifungsi, is a
principle enshrined in law and practice. It designates the military as both
the guardian
of national security and a key participant in government. Concretely, that
means ABRI is
a political player and a supplier of civil servants while serving as the
nation's army,
navy, air force and police. Seventy-five seats in the 500-member parliament
are reserved
for ABRI. It also maintains a large representation in the nation's electoral
college,
which meets every five years. Officers can be found in the highest echelons
of
government. ABRI members also serve in all levels of local administrations.
The scale of such involvement, to some, is an obstacle to the development of
civil
society. "ABRI is hierarchical," says former opposition legislator
Aberson Sihaloho. Its
long association as both the instrument and foundation of Suharto's
authoritarian
system has tainted the service. An overly harsh military hand has been
alleged in
cases ranging from the murder of labor activist Marsinah in 1993 to, more
recently, the
kidnapping of activists and the Jakarta riots. "At this point, ABRI is
the most disliked
compared to any time in its history," says retired general Syamsuddin,
who is also a
member of the National Human Rights Commission.
Some argue dwifungsi gives many in ABRI an unavoidable interest in
preserving the
status quo - for wholesale reform could endanger their status and privilege.
Aside from
commercial interests, the armed forces run a number of foundations, the
largest being
the army's Kartika Eka Paksi Foundation, which holds interests in hotels and
in the
massive Sudirman Central Business District project in south Jakarta. At
least a portion
of Kartika Eka Paksi Foundation proceeds goes to housing for the military.
ABRI
maintains that business activities like these are necessary for soldiers'
welfare. But
it still raises eyebrows.
ABRI leadership has lately addressed its real and perceived shortcomings.
"There has
been a desire for reform for a long time," points out Syamsuddin.
"Now we can talk
about it." On June 18, ABRI socio-political chief Yudhoyono said that
in the future,
"ABRI wants Golkar [Indonesia's dominant political party] to be
independent and to
fight its own political battles." A week before his statement, the
military presented
its principles for reform. Among the suggestions: term limits for the chief
executive,
and a parliament that can check and balance the presidency.
These are important steps, but relatively small ones. Yudhoyono says ABRI
would
eventually like to see more civilian control over government. Yet the
military is
unlikely to retreat back to the barracks. For dwifungsi is not a
rationalization; it is
a full-fledged ideology. To hear soldiers and citizens explain the
situation, without
the military's close involvement in government, Indonesia could collapse
into chaos. The
centrifugal forces of region, race and religion - if left unchecked - could
pull
Indonesia asunder. "Diversity also means vulnerability," Yudhoyono
told Asiaweek.
Worries about hastening dissolution should reform come too fast is one
reason the
military has moved cautiously to restructure its place in society. Or, it
may be that
ABRI hasn't yet figured out its future role. "In the last 15 years,
they have not been
strong," says Harry Tjan Silalahi of the Jakarta think-tank Center for
Strategic and
International Studies. "They have been too long under the tutelage of
Suharto." There
are also internal disagreements over the pace, direction and shape of
reform. Dwifungsi
has been so useful to the military that reform-minded generals may well run
into
resistance should they proceed faster. "We now have doubts whether the
sincerity on the
part of some officers is matched by their ability to translate their
personal view into
an effective policy of ABRI," says television political commentator
Wimar Witular.
When power slipped from Suharto's grasp, responsibility for the stability of
the country
largely fell into the hands of the military. Its leaders appear now to be
trying for a
grip loose enough to give space for change but tight enough to keep the
archipeligo from
fragmenting. One day, ABRI maintains, it will let go - but only when it
thinks society
is ready. That day may not come soon enough for those who see the very fact
that the
military must make such a call as part of what keeps the country from
maturing. In the
final analysis, dwifungsi's critics are weaker. After all, the one with the
upper hand
is the one that has his fingers on the trigger.
----
Read this list on the Web at http://www.FindMail.com/list/fire/
To unsubscribe, email to fire-uns...@makelist.com
To subscribe, email to fire-su...@makelist.com
--
Start a FREE E-Mail List at http://makelist.com !
<A HREF=http://www.uni-stuttgart.de/indonesia/>Indonesia Daily News
Online</A><HR>
#-----------------------------------------------------------------#
#-----------------------------------------------------------------#
Received on Thu Jul 2 05:07:50 MET DST 1998
DARI PARE-PARE SAMPAI KE JERMAN:
Kisah korupsi, kolusi dan nepotisme keluarga besar Habibie (IV)
G.J. Aditjondro
KKN di program teknologi nuklir:
-------------------------------------------------
Sekarang cerita soal korupsi, kolusi, dan nepotisme di bidang tenaga
teknologi nuklir. Bulan Augustus 1981, Interatom, anak perusahaan maskapai
pembuat reaktor nuklir Jerman Kraftwerk Union (KWU), mendapatkan kontrak
bernilai 92 juta dollar AS untuk membangun reaktor nuklir riset serbaguna
berkapasitas 30 MWe bagi Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(Puspiptek) di Serpong, Jawa Barat, walaupun harganya dua kali lebih tinggi
ketimbang saingan utamanya, maskapai General Atomic dari AS.
Kontrak bagi KWU ini terwujud, setelah Presiden Suharto memerintahkan BATAN
dan BPPT meninjau kembali rekomendasi kedua badan tadi agar General Atomic
-- yang telah membangun dua reaktor riset yang lebih kecil di Bandung dan
Yogyakarta di tahun 1960-an -- mendapatkan kontrak itu.
Menurut kalangan bisnis di Jakarta, anak perusahaan KWU memenangkan tender
yang diulang itu berkat kencangnya usaha Menristek Habibie melobi Suharto,
walaupun ada keberatan direktur BATAN Achmad Baiquni waktu itu.
Kontrak dari Indonesia itu merupakan pelipur lara yang luarbiasa bagi KWU,
yang di tahun-tahun sebelumnya kehilangan kontrak pemerintah Brazil --
akibat oposisi gerakan anti-nuklir -- dan Iran, akibat jatuhnya Shah Reza
Pahlevi (Manguno, 1981a, 1981b).
Kasus kolusi di bidang tenaga nuklir itu tidak mengherankan, sebab BATAN
dan BPPT memang sarat dengan nepotisme. Arwan Ahimsa, putera Kepala BATAN
Djali Ahimsa, sejak tahun 1991 terlibat langsung dalam PT Perkasa
SteriGenics, perusahaan iradiasi sinar gamma yang mendapat izin dari
BATAN, PT Perkasa SteriGenics. Arwan dan saudaranya, Argon, menjadi
pemegang saham usaha patungan antara maskapai SteriGenics International
dari AS dengan dua orang kunci kelompok Salim, Ibrahim Risyad dan Henry
Pribadi.
Sebelum keterlibatan anak-anaknya dalam bisnis iradiasi, kekayaan pribadi
keluarga Ahimsa sudah menjadi sasaran pergunjingan di antara para isteri
pegawai BATAN yang muncul ke permukaan ketika Djali Ahimsa memecat tujuh
orang pegawai pusat riset nuklir BATAN di Yogya, setelah mereka berusaha
membongkar korupsi kepala pusat riset itu (Aditjondro, 1996a).
Entah bagaimana caranya memenangkan kontrak itu, satu perusahaan yang
dipimpin oleh Bob Hasan, PT Inti Karya Persada Teknik, kecipratan proyek
pembangunan sebagian gedung laboratorium BATAN di kompleks Puspitek Serpong
itu. Entah atas nama dirinya sendiri, atau atas nama yayasan-yayasan
Suharto yang mana, Bob Hasan adalah pemegang saham terbesar perusahaan
kontraktor industri ini. Turut sebagai pemegang saham adalah PT Rigunas
Abadi milik keluarga almarhum Jenderal Sumitro (Datatrust, 1986: 260-261;
CISI, 1997: 590-591).
Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN):
-----------------------------------------------------------
Seperti yang diingatkan oleh pensiunan hakim Mahkamah Agung, Adi Andojo
Soetjipto, pada Tempo Interaktif , 23 Mei 1998, salah seorang karyawan IPTN
Bandung, Asep Rukmana, pernah mencoba membongkar korupsi di IPTN. Karena
membawa gugatannya ke pengadilan, ia dipecat. Bukti-bukti penunjang
gugatannya telah ia serahkan kepada Adi Andojo yang kini Dekan Fakultas
Hukum Universitas Trisakti.
Apa yang hendak dibongkar oleh Asep Rukmana itu barangkali baru merupakan
puncak gunung es. Sebab di daftar rekanan IPTN, tertanggal 13 Desmber 1994,
yang sempat saya peroleh sebelum hijrah dari Indonesia, tercantum sejumlah
perusahaan, badan sosial serta perorangan anggota keluarga Habibie. Yakni:
Jasa Boga Dharma Wanita IPTN yang diketuai Nyonya Ainun Habibie waktu itu,
PT Timsco Indonesia, PT Wahanasarana Buana, PT Rekatama Ardi Yasa, PT
Nabicon, PT Habindo Satria Perkasa milik Satoto Habibie (kakak laki-laki
B.J. Habibie yang tertua), Yayasan Keluarga Batam (yang diketuai Ny. Sri
Rejeki Sudarsono, adik B.J. Habibie), Alwenny Habibie (abang B.J. Habibie),
Nyonya Sri Rejeki Sudarsono serta puterinya, Dewi Sri Rejeki, PT Kalimasada
Pusaka (anggota konsorsium Repindo Panca), dan Amelia Catering Service
milik Truly dan Ridwan Sutrasno.
Dari lingkungan bisnis keluarga Suharto, yang tercantum di daftar rekanan
IPTN itu adalah PT Global Putra Indonesia (kongsi Sudwikatmono dan Setya
Novianto, partner Elsye Sigit dalam bisnis komputerisasi KTP), Taman Mini
Indonesia Indah (Yayasan Harapan Kita & Yayasan TMII), Kartika Plaza Beach
Hotel (Yayasan Harapan Kita), Sempati Air (Humpuss & Nusamba), Nusa Indah
Hotel & Conference Centre (Bimantara), Sahid Jaya Hotel (milik Sukamdani
Gitosardjono, ketua pelaksana harian Yayasan Mangadeg), Grand Hotel
Preanger (kini dikuasai Medco), Hotel Horison Bandung (perusahaan induknya
dalam proses diambil alih oleh PT Kobame yang dikuasai Prabowo Subianto),
PT Cardig Air (usaha patungan Bimantara dengan yayasan dan beberapa orang
bekas Kepala Staf AURI), Asuransi Berdikari (milik yayasan-yayasan Suharto
yang dikelola keluarga Bustanil Arifin), PT Meta Epsi Engineering (Medco),
beberapa anak perusahan PT Astra International (yang kini dikuasai Bob
Hasan a/n Nusamba), dan PT Citra Lamtorogung Persada.
Tidak cuma itu. Menteri Perhubungan Haryanto Danutirto, perwakilan
diplomatik RI di Paris, Hamburg dan Bangkok, Anthony Salim (putra Liem Soei
Liong), cendekiawan muda Fachry Ali (lengkap dengan no. rekening banknya di
Monash University), PT Abdi Bangsa (penerbit harian Republika, di bawah
Yayasan Abdi Bangsa yang diketuai BJ Habibie dan di mana Suharto menjadi
pelindungnya), serta Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bandung (Jalan
Sabang No. 17, Bandung, telepon no. 40173) tercantum di daftar rekanan dan
konsultan IPTN itu, di bawah kategori "Jasa asuransi, pengangkutan, dan
jasa lain".
Kategori yang sangat luas ini juga mencakup dua klinik spesialis paru-paru
dan jantung di Bad Oeynhausen, Jerman, di mana BJ Habibie membawa Suharto
berobat, pertengahan tahun lalu. Klinik itu tercantum lengkap dengan alamat
dan no telepon (05731) 971 331. Rupanya Habibie memang sangat akrab dengan
pimpinan atau pemilik kedua klinik itu, sehingga mengangkat mereka menjadi
konsultan IPTN.
Di lingkup nasional, dompet Tutut juga dipertebal oleh IPTN dengan
mengangkat perusahaan miliknya, PT Tricatra Buana Dirgantara, menjadi
pemasok suku cadang pesawat dari General Electric, General Dynamics, Hill
Aviation Logistic, KHD Aircraft, dan lain-lain. IPTN tidak sendiri dalam
hal ini, sebab Pertamina, PT Telkom, PT Krakatau Steel, PT Garuda
Indonesia, dan PT Merpati Nusantara, semuanya membeli peralatan dan suku
cadang pesawat dan senjata itu lewat anak perusahaan Citra Lamtorogung
Persada itu (Forum Keadilan , 23 Juni 1994: 25).
Barangkali mengikuti jejak budenya, sebuah perusahaan milik Ari Sigit, PT
Transavia Utama, juga tercantum di daftar rekanan IPTN tanggal 13 Desember
1994, di bawah kategori "Jasa asuransi, pengangkutan, dan jasa
lain-lain".
Bisnis utama perusahaan ini adalah mengageni pengimporan pesawat pelatih
Pilatus buatan Swiss. Tiga tahun lalu Ari mengajukan proposal sebesar 80
juta dollar AS ke PLP Curug untuk mengimpor pesawat latih buatan Swiss itu
(Gass dan Boss, 1997: 103; Sintesa , No. 10/VIII, 1995: 29; Warta Ekonomi ,
30 Jan. 1995: 14).
Entah apa kepentingannya dengan IPTN, yang jelas ketika Suharto meluncurkan
pesawat N-250 Gatotkaca buatan IPTN di Bandung tanggal 10 November 1994,
PT Transavia Utama ikut memasang iklan ucapan selamat di majalah Teknologi
terbitan Jakarta, No. 89, Desember 1994 (hal. 42).
Sebagai direktur IPTN, Habibie dulu punya cara yang sangat inkonvensional
untuk mencari dana bagi proyek-proyek mercusuarnya. Ia suka mengundang para
pengusaha top, untuk suatu malam hiburan, dengan Habibie sendiri sebagai
bintang penyanyi yang utama. Selama ia menyanyi, suatu daftar sumbangan
ditodongkan pada para hadirin, untuk diisi berapa yang mereka mau sumbang.
Jumlah yang terkumpul tidak tanggung-tanggung. Menurut majalah Time , edisi
6 Maret 1995, pernah dalam semalam satu milyar rupiah yang dijanjikan para
sponsor terpaksa itu (hal. 45).
Lama-lama, sejumlah pengusaha top yang sayang pada pita suara Habibie --
dan pada kantong mereka sendiri --, seperti Eka Tjipta Widjaja, Aburizal
Bakrie, Burhan Uray, Marimutu Sinivasan, dan Ciputra membentuk PT Produksi
Indonesia (Prodin), dan mengangkat Thariq Kemal Habibie sebagai Wakil
Presiden Direkturnya (Warta Ekonomi , 23 Jan. 1995: 28). Namun
pertanggungjawaban, berapa dana yang sudah terkumpul dari acara-acara
hiburan Habibie itu, atas nama IPTN, BPIS, dan entah apa lagi, belum pernah
disampaikan pada rakyat.
Secara nasional, sebagai direktur IPTN Habibie juga telah berkolusi dengan
Suharto untuk menyelewengkan Rp 400 milyar dari Dana Reboisasi yang
dikelola Ketua MPI Bob Hasan, berlawanan dengan tujuan Dana itu. Dana
sebesar itu digunakan untuk membiayai proyek pembuatan pesawat terbang jet
N-2130 (WALHI, 1998).
Contoh kolusi lain di lingkup nasional adalah pembentukan PT Dua Satu Tiga
Puluh (DSTP) oleh Suharto, juga untuk membiayai proyek pesawat terbang jet
N-2130. Suharto sendiri menjadi Presiden Komisaris perusahaan itu, dengan
Saadillah Mursyid sebagai Direktur Utama dan Giri Suseno Hadihardjono
sebagai Wakil Dirut. Tanggal 19 Februari 1996, Suharto selaku Preskom PT
DSTP dan 50 orang pimpinan konglomerat Indonesia menyaksikan
penandatanganan perjanjian kerjasama antara Dirut PT DSTP dan Dirut IPTN
waktu itu, B.J. Habibie.
Tanpa melalui persetujuan DPR, Departemen Keuangan, serta Bappepam, PT DSTP
segera secara gencar menjual sahamnya ke tengah-tengah masyarakat, dengan
nilai nominal Rp 25 ribu per lembar. Walaupun PT ini adalah perusahaan
swasta, namun karena Suharto Presiden Komisarisnya, gubernur DKI, Jawa
Barat dan Jawa Timur kontan menyatakan dukungannya. Suharto sendiri aktif
'memasarkan' saham PT itu dalam Rapat Koordinasi Bupati dan Wali Kota
se-Indonesia di Gedung Granadi, Jakarta, pertengahan Juni 1996.
Namun begitu Suharto parkir, dan menyerahkan tongkat kepresidenan kepada
Habibie, tanda-tanda pembangkangan terhadap pemaksaan pembelian saham PT
DSTP mulai muncul ke permukaan. Di Tasikmalaya, Jawa Barat, Kepala Dinas P
& AMPK serta Fraksi ABRI DPRD-nya baru-baru ini mengumumkan, bahwa potongan
gaji 12 ribu guru dan karyawan Pemda yang disimpan di Bank Jabar akan
dikembalikan (Wibisono, 1996; Jawa Pos , 29-30 Maret 1996; Sinar , 22 Juni
1996: 11, 29 Juni 1996: 15; Paron, 6 Juli 1996; Kontan , 17 Maret 1997;
Pikiran Rakyat , 19 Juni 1998).
Saat ini tidak jelas bagaimana Menteri Perhubungan Giri Suseno Hadihardjono
memisahkan fungsi pemerintahannya dari fungsi swastanya sebagai Wakil Dirut
PT DSTP. Di negara-negara kapitalis yang menganut sistem demokrasi liberal,
ini jelas dianggap sebagai konflik kepentingan (conflict of interest ).
Tapi di Indonesia namanya menggunakan kesempatan dalam kesempitan, dan
selama Orde Baru berkuasa, dijadikan norma utama.
Dan, seperti telah dijelaskan di depan, IPTN juga masih tetap berpatungan
dengan Timmy dan Tommy dalam pusat perawatan pesawat terbang PT Batam
Aircraft Maintenance di kawasan Bandara Hang Nadim. Selain itu, IPTN punya
kontrak dengan pabrik Rolls Royce (RR) di Inggris untuk menggunakan mesin
pesawat N-2130, melalui PT Mabua milik Tommy Suharto.
Dalam kerangka internasional, contoh kolusi antara Habibie dan Suharto,
yang memperkental praktek-praktek sogokan dan nepotisme Suharto adalah
perjanjian barter antara mobil Proton Malaysia dengan pesawat buatan IPTN.
Dalam perjanjian yang ditandatangani wakil perusahaan Proton dengan IPTN,
yang ditandatangani di Jakarta bulan Mei 1994, Tutut ditunjuk sebagai agen
tunggal mobil buatan Malaysia itu.
Ia berhak mengimpor 2,500 mobil Proton sementara pemerintah Indonesia akan
mengimpor 24 pesawat MD-3 buatan Malaysia. Sebagai imbalannya, Malaysia
harus membeli enam buah pesawat CN-235 aircrafts buatan IPTN, lengkap
dengan suku cadangnya.
Perjanjian yang tampaknya lebih menguntungkan Malaysia ketimbang Indonesia
ini sempat mengernyitkan dahi sementara anggota parlemen Indonesia. Namun
tidak seorang wakil rakyat pun berani memprotes perjanjian dagang itu, yang
"dimeterai" dengan hadiah sebuah mobil Proton Wira super mewah
sepanjang 7
meter bernilai 75,000 dollar AS yang "dihadiahkan" Mahathir kepada
Suharto.
Mobil limosin anti-peluru itu lengkap dengan telepon, televisi, dan
dash-board berlapis emas 24 karet. Sebagai imbalannya, Suharto
menghadiahkan 50 perangkat alat pemanas rumah bertenaga surya kepada
Perdana Menteri Malaysia itu (Aditjondro, 1998d; Prospek, 19 Febr. 1994;
Indonesia Business Weekly , 29 April 1994; Editor , 2 Juni 1994; Warta
Ekonomi , 12 Sept. 1994: 63).
Pertanyaannya sekarang adalah: bagaimana status mobil Proton Limousine
berharga 75 ribu dollar AS yang dihadiahkan Mahathir pada Suharto itu? Saya
belum pernah baca, bahwa mobil itu sudah dipindah ke Museum Purna Bhakti
Pertiwi, yang konon dibangun Suharto dan isterinya supaya rakyat Indonesia
dapat menikmati semua pemberian kepada mereka selama menjadi Presiden dan
Ibu Negara Indonesia.
Namun pertanyaan yang lebih mendasar adalah: apakah kontrak bernilai 80
juta dollar AS itu tidak perlu mendapatkan persetujuan DPR-RI, sesuai
dengan ketentuan pasal 23 Undang-Undang 1945? Selain itu, mengapa keagenan
Proton tidak ditenderkan secara terbuka, malah sebaliknya, langsung saja
Suharto dan Habibie mempercayakannya pada Tutut?
Tanpa meminta persetujuan DPR maupun Departemen Keuangan, IPTN juga dengan
seenaknya berekspansi ke mancanegara, terutama ke Jerman, tanah air
keluarga besar Habibie yang kedua. Tahun lalu, suatu proyek patungan antara
IPTN dengan sebuah maskapai Jerman senilai satu juta D.M. untuk perawatan
dan penjualan pesawat buatan IPTN telah diresmikan di kota Lahr, propinsi
Baden-Wuerttemberg. Separuh modal itu merupakan pinjaman dari dana publik
Landesbank di Jerman. Namun hingga bulan Maret lalu, belum ada satu pun
pesanan masuk ke perusahaan patungan Indonesia-Jerman itu.
Bukan cuma pembukaan Aircraft Services Lemwerder GmbH dan IPTN-Europe GmbH
di Jerman yang belum pernah meminta persetujuan DPR maupun Departemen
Keuangan. Juga pembukaan pabrik Aircraft Technologie Industry Ltd di
Madrid, Spanyol, bekerjasama dengan CASA, IPTN North America (INA), dan
AMRAI (American Regional Aircraft Industry) di AS, bekerjasama dengan
Boeing, pembukaan cabang IPTN di Sydney, Australia, serta penyertaan saham
IPTN dalam PT Batam Aircraft Maintenance yang dipimpin Tommy Suharto,
sependek pengetahuan saya belum pernah mendapatkan persetujuan DPR.
Dan walaupun Ilham Akbar Habibie kini telah dicopot dari jabatan sebagai
Pimpro N-2130, dia sudah sempat magang di pabrik pesawat Boeing di Seattle,
AS, atas biaya IPTN. Berarti, atas biaya rakyat (CISI, 1997: 128A;
Williamson, 1998; Reuters , 29 Okt. 1993; Indonesia Business Weekly , 6 Mei
1994: 18; Teknologi , Des. 1994: 44; Time , 6 Maret 1995: 44-45;The
Australia , 6 Maret 1998).
Magangnya Ilham Akbar Habibie di pabrik Boeing di AS, atas biaya IPTN,
belum apa-apa dibandingkan dengan pembelian pesawat terbang pribadi ayahnya
a/n BPIS. Pesawat terbang Gulf Stream IV dengan warna dominan putih dan
biru itu sehari-harinya diparkir di hanggar FTC IPTN. Pesawat itu bermesin
turbo jet dengan jarak jelajah kelas menengah -- artinya, antar benua --
dan berkelas VIP. Inilah rekor kekayaan dan korupsi seorang Menteri Orde
Baru, karena pesawat itu bernilai satu trilyun rupiah di tahun anggaran
1993. Begitu menurut salah seorang sumber saya di Indonesia.
IPTN juga pernah menjadi sorotan ekonom beken, Sjahrir. Katanya ketika
diwawancarai Matra , bulan April 1991: "Yang saya persoalkan adalah
apakah
produksi IPTN sudah mencapai break even? Kalau sudah mencapai break even,
apakah itu sudah merupakan laporan keuangan yang sudah diaudit oleh akuntan
negara? Dan kalau sudah diaudit akuntan negara, apakah IPTN sudah dianggap
sebagai perusahaan yang sehat. Itu yang buat saya belum jelas sampai saat
ini. Saya cenderung memperkirakan bahwa IPTN masih merupakan perusahaan
yang belum mencapai break even , dilihat dari ongkos produksi dan hasil
penjualan yang mereka peroleh".
Ditanya lebih jauh, apakah ia setuju dengan investasi yang dilakukan IPTN,
jawab Sjahrir: "Dalam ekonomi ada yang disebut op=1Fportunity cost .
Jadi,
karena kita melakukan investasi di situ, maka investasi dalam produksi
barang dan jasa [lain] batal. .. Nah, begitu juga IPTN. Dia harus dihitung,
apakah biaya kebatalannya itu tidak jauh lebih prospektif dari pada
investasi yang dilakukan di situ. Buat saya, jauh lebih prospektif
investasi yang tidak jadi dilaksanakan. Misalnya, untuk ekspor manufaktur.
Macem-macem bisa kita ekspor. Handicraft , tekstil, garment . Ekspor
agro-indus=1Ftry , agro-based . Lalu resource based industrialization
".
Monopoli ekspor bahan peledak PT Dahana:
-------------------------------------------------------------
Selain mengepalai Otorita Batam, Proyek Natuna, dan PT IPTN, sampai awal
Maret yang lalu Habibie juga mengepalai sembilan industri strategis yang
lain. Salah satu di antaranya adalah pabrik bahan peledak PT Dahana. Di
bidang inipun ada usaha patungan dengan keluarga Suharto, khususnya dengan
PT Bina Reksa Perdana pimpinan Tommy Suharto.
Tidak puas dengan bisnis bahan peledak PT Mabua di Pulau Momoi, dekat
Batam, bersama PT Dahana dan maskapai Chartered Oiltech Services Ltd. dari
Singapura, perusahaan pribadi Tommy Suharto ini telah membentuk konsorsium
dengan investasi sebesar 1 juta dollar AS di Tasikmalaya, Jawa Barat, untuk
membuat bahan peledak komersial untuk diekspor ke Burma, Australia, India,
dan Irak. Pabrik itu diresmikan Wakil Direktur BPIS, Giri Suseno
Hadihardjono, pertengahan Oktober 1995 (Tempo , 4 Juni 1994; Gatra , 21
Okt. 1995).
Harap diingat bahwa IPTN pun punya pabrik roket yang bertempat di
Tasikmalaya, sehingga tidak tertutup kemungkinan, bahwa IPTN pun terlibat
dalam bisnis Tommy yang satu ini.
Nah, dengan duduknya Giri Suseno Hadihardjono dalam kabinet Habibie, apakah
dengan demikian akan tetap ada yang menyuarakan kepentingan Tommy Suharto
dalam kabinet ini?
PT PAL:
-----------
Inilah BUMN Strategis, yang kinerjanya konon ingin ditingkatkan oleh B.J.
Habibie dengan mengimpor 39 kapal bekas dari Jerman. Sedikitnya dua
perusahaan yang dikelola Bob Hasan merupakan pemasok PT PAL serta anak
perusahaannya, PT Energy Systems Indonesia (patungan antara PT PAL, PT
Barata, dan Combustion Engineering, Inc). Kedua perusahaan itu adalah PT
Babcock & Wilcox dan PT Fajar Mas Murni (CISI, 1997: 128-129, 378-379,
794-795).
Pernah terjadi konflik di kalangan wakil-wakil rakyat sendiri tentang
pengelolaan keuangan PT PAL. Budi Hardjono, anggota DPR-RI dari Fraksi
Demokrasi Indonesia, yang komisinya membawahi industri strategis ini, tahun
1993 berusaha membongkar pemborosan dan penyimpangan perusahaan itu,
berdasarkan temuan BPK.
Namun Markus Wauran, anggota DPR-RI yang sangat dekat dengan B.J. Habibie,
melarang Budi mengritik PT PAL. Walhasil, kata ahli ilmu politik UGM, Affan
Gaffar: "Accountability Habibie hanya kepada Habibie. Bagaimana caranya
agar PT PAL tidak membayar pajak sebesar Rp 300 milyar, 'kan banyak orang
tahu. Tapi karena Habibie meminta perlindungan kepada Pak Harto, akhirnya
boleh tak bayar pajak. Sementara balance sheet PT PAL dianggap positif
terus" (Matra , Edisi Khusus 1994: 18).
Tidak mengherankan bahwa Markus Wauran begitu getol membela Habibie.
Sebelumnya, melalui surat kop PT PAL tertanggal 30 April 1993, ia
ditugaskan oleh B.J. Habibie sebagai Direktur PT PAL untuk melakukan
perjalanan ke Jakarta (padahal, sebagai Ketua Komisi X DPR-RI, dia sudah
berdiam di Jakarta), Washington, Virginia, Boston, Washington lagi, London,
Hamburg, Paris, dan kembali ke Jakarta. Di surat tugas itu dicantumkan
bahwa Markus Wauran ditemani isterinya, Ny. H.S. Wauran Sambitan. Keduanya
berangkat tanggal 20 Mei 1993. "Sebelum dan sesudah melaksanakan
perintah
ini lapor kepada Direktur Utama," demikian akhir surat perintah No.
Sprin/
110/ Dirut/ IV/93 ini.
Bocornya keberangkatan Wauran tentu saja mengundang kecaman. "Ini
memalukan! Sebagai anggota DPR, dia harus melakukan pengawasan. Tapi
bagaimana dia akan mengawasi, jika memanfaatkan fasilitas PT PAL?"
tukas
rekan sefraksinya, Aberson Marle Sihaloho kepada Detik, edisi 9-15 Juni
1993.
Serangan-serangan terhadap Habibie dan Wauran hanya sebagian kecil dari
jihad koran itu untuk mewujudkan pemerintahan bersih di Indonesia. Namun
kita lihat sendiri, apa yang terjadi dengan Detik , yang setahun kemudian
dibredel bersama Tempo dan Editor . Kita juga lihat apa yang terjadi
dengan anggota DPR yang kritis, seperti Aberson Sihaloho, setelah fraksinya
digusur dari DPR sementara ia sendiri harus mendekam dalam penjara. Kenapa
tindakan-tindakan represif itu harus diambil oleh Suharto, kalau bukan
untuk menutup-nutupi aurat Habibie?
(bersambung)
----- End of forwarded message from George J. Aditjondro -----
<A HREF=http://www.uni-stuttgart.de/indonesia/>Indonesia Daily News
Online</A><HR>
#-----------------------------------------------------------------#
#-----------------------------------------------------------------#
Received on Thu Jul 2 05:10:53 MET DST 1998
DARI PARE-PARE SAMPAI KE JERMAN:
Kisah korupsi, kolusi, dan nepotisme keluarga besar Habibie (V)
G. J. Aditjondro
PT Krakatau Steel, sarang korupsi kaliber dunia:
------------------------------------------------------------------
Seperti halnya IPTN dan PT Dahana, PT Krakatau Steel juga berada di bawah
kekuasaan Badan Pengendali Industri Strategis (BPIS) yang tadinya diketuai
Habibie. Pabrik baja raksasa yang terus merugi karena terus digerogoti oleh
tangan-tangan bisnis keluarga besar Suharto - Sumitro, ternyata diam-diam
sudah dijual kepada sebuah perusahaan asing, dua minggu sebelum berakhirnya
kekuasaan formal Suharto.
Ispat International, NV, begitu nama perusahaan baja India bermodal Belanda
dan Inggris itu, pada tanggal 7 Mei yang lalu telah membeli antara 49 s/d
41% saham PT Krakatau Steel seharga 400 juta dollar AS. Selain tidak
konstitusional, karena penjualan saham perusahaan negara ini dilakukan oleh
Menteri Penjualan BUMN, Tanri Abeng, tanpa persetujuan DPR-RI, jadi
melanggar Pasal 23 UUD 1945, perbuatan ini jelas-jelas berbau nepotisme.
Soalnya, almarhum Edi Kowara Adiwinata, ayah mertua Tutut, termasuk
pemegang saham perusahaan multinasional itu. Saham itu kini diwarisi oleh
Indra Rukmana.
Salah satu anak perusahaan Ispat, PT Ispat-Indo, memiliki pabrik batang
kawat (wire rod ) berlokasi di Sepanjang, Surabaya, yang menghasilkan 450
ribu ton setahun, atau terbesar di Indonesia. Makanya, ketika ibu mertua
Tutut meninggal di bulan Desember 1994, seluruh pemegang saham, direksi,
staf dan karyawan PT Ispat-Indo ikut memasang iklan belasungkawa kolektif,
bersama segenap keluarga besar Kowara berikut perusahaan-perusahaan dan
yayasan-yayasannya.
Setelah Krakatau Steel jatuh ke tangan Ispat International, kapasitas
produksi batang kawatnya, yang tadinya hanya 300 ribu ton setahun, akan
ditingkatkan menjadi 650 ribu ton setahun. Namun Tanri Abeng, menteri
warisan Habibie dari Suharto, tidak berniat berhenti di situ saja dalam
rangka penjualan BUMN-BUMN yang berada di bawah pengawasannya. Kepada pers
Australia ia juga mengemukakan, bahwa perusahaan raksasa Australia, BHP,
yang memang sudah punya beberapa usaha patungan dengan Krakatau Steel, juga
telah menyatakan minatnya membeli saham yang tersisa. Begitu pula
perusahaan baja Inggris, British Steel (Kompas , Media Indonesia , Bisnis
Indonesia , 3 Juni 1998; Xpos , 6-12 Juni 1998;The Australian , 17 Juni
1998).
Sejak diambil oper oleh Ibnu Sutowo di awal 1970-an, Krakatau Steel sudah
jadi sapi perahan Ibnu, Suharto, dan konco-konco (cronies) mereka. Kita
tentunya masih ingat, bagaimana Kartika Thahir, janda tangan kanan Ibnu
Sutowo, H.A. Thahir, berperang melawan Pertamina di pengadilan negeri
Singapura selama 15 tahun (11 Maret 1980 s/d 3 Desember 1992), untuk
mempertahankan uang sogokan dua maskapai Jerman -- Siemens dan Klockner --
kepada almarhum suaminya, yang dituntut kembali oleh Pertamina. Uang
sogokan sebesar 15 juta DM dari Siemens dan 35 juta DM dari Klockner adalah
"jasa" H.A. Thahir untuk pembelian mesin-mesin Jerman itu untuk
pembangunan
pabrik baju Krakatau Steel.
Baru setelah perjuangan hukum selama 15 tahun, dibantu lobbying Jenderal
Benny Murdani terhadap sang janda kaya atas perintah Suharto, tim pengacara
Pertamina pimpinan Albert Hasibuan berhasil memperoleh uang korupsi yang
didepositokan di Bank Sumitomo cabang Singapura. Itupun setelah tim
Hasibuan-Murdani berulangkali mendesak hakim di Singapura menghapus dari
berkas acara tuduhan Kartika bahwa Suharto dan isterinya ikut menikmati
uang sogokan ke Pertamina (Pour, 1993: 513-533).
Banyak orang yang sesungguhnya terlibat dengan kasus itu, yang hingga detik
ini tidak pernah dihadapkan ke pengadilan, seperti Ibnu Sutowo, Direktur
Utama Pertamina yang ditugaskan Suharto menghidupkan kembali Proyek Baja
Cilegon warisan Bung Karno, Tungky Ariwibowo, yang selama belasan tahun
menjadi direktur PT Krakatau Steel, dan B.J. Habibie, yang pertama kali
kembali ke Indonesia atas undangan Ibnu Sutowo, mengepalai Advanced
Technology Division Pertamina, yang merupakan cikal-bakal BPPT.
Dengan demikian, B.J. Habibie, yang berkawan akrab dengan pimpinan
Ferrostahl, setidak-tidaknya tahu bagaimana akal ketiga perusahaan Jerman
-- Siemens, Klockner, dan Ferrostahl sendiri -- mencari untung
sebesar-besarnya dari kerjasama mereka dengan Ibnu Sutowo, H.A. Taher dan
Tungky Aribiwowo, yang baru terungkap setelah Ibnu Sutowo dicopot dari
singgasananya di Jalan Perwira, Jakarta Pusat, dan lebih-lebih lagi setelah
janda Taher menuntut warisannya yang disimpan di Singapura.
Penyidikan oleh tim Sumarlin waktu itu mengungkapkan, bahwa biaya modal
(capital cost) instalasi Siemens di Krakatau Steel tiga kali lipat biaya
rata-rata pembangkitan listrik di tempat lain. Sedangkan harga-harga yang
dipasang Ferrostahl untuk peralatannya membuat tim penyidik itu curiga,
bahwa sebagian uang itu kembali ke kantong orang-orang Krakatau Steel dan
Pertamina, dalam taraf yang akan membuat para pengusaha Jepang -- yang juga
terkenal tidak sungkan-sungkan membayar 'pungli' -- berdecak kagum (May,
1978: 378).
Makanya tidak mengherankan bahwa keluarga Habibie pun ikut mengais-ngais
rezeki dari ladang pabrik baja, yang di zaman Bung Karno terkenal sebagai
Proyek Baja Trikora. Seperti yang telah disinggung di depan, sebagai Dirjen
Perhubungan Laut Fanny Habibie membuat peraturan yang membesi-tuakan semua
kapal tua, dengan Krakatau Steel sebagai pembeli satu-satunya dan dengan
harga di bawah pasaran internasional (Robison, 1990: 115). .
Selanjutnya giliran Sudwikatmono dengan kelompok Salimnya untuk mengeruk
keuntungan dari pabrik baja itu. Pada tanggal 23 Februari 1987,
didirikanlah PT Cold Rolling Mill Indonesia, dengan pemegang saham utama PT
Krakatau Steel (40%) serta satu kongsi antara kelompok Salim dan kelompok
Ciputra (40%), serta sisanya sebuah perusahaan berbasis di Luxembourg,
Sestiacier SA, yang mungkin saja satu offshore company dari kelompok
Salim pula.
Dengan utang komersial dan kredit ekspor dari luar negeri berjumlah lebih
dari 800 juta dollar AS, PT CRMI itu mengolah lempengan panas dari Krakatau
Steel menjadi lempengan baja gulungan dingin. Anehnya, perusahaan yang
praktis memegang monopoli lempengan baja gulungan dingin itu didirikan,
setelah satu anak perusahaan kelompok Salim, yakni PT Giwang Selogam, sudah
tiga tahun sebelumnya mendapatkan monopoli ekspor lempengan panas maupun
impor lempengan gulungan dingin, atas nama PT Krakatau Steel. Karuan saja,
setelah tata niaga sebagian produk baja dan besi dibebaskan oleh pemerintah
melalui Paket 21 November 1988 (Pakno), praktis kongsi Salim & Ciputra
itulah yang memegang monopoli perdagangan kedua jenis lempengan baja itu
(Soetryono, 1988: 30-33; Robison, 1990: 114).
Selain kelompok Salim dan Ciputra, kelompok Bakrie juga ikut mengeruk
keuntungan dari pabrik baja Krakatau Steel. Anak-anak Haji Achmad Bakrie
(alm.) itu memang sejak awal 1980-an sudah akrab berjualan minyak mentah
Pertamina bersama keluarga Suharto, lewat beberapa perusahaan yang
beroperasi dari Hong Kong, seperti Mindo Petroleum, Permindo Oil Trading
Company, dan Terrabo Co. Ltd., yang belakangan ini mulai ditutup keran
minyaknya oleh Pertamina, sebagai langkah kosmetik menghadapi arus pasang
anti-KKN yang dicanangkan oleh generasi muda Indonesia.
Selain di bidang perdagangan minyak bumi, keluarga Suharto dan keluarga
Bakrie punya kerjasama di bidang peternakan. Khususnya antara peternakan
Tapos milik keluarga Suharto di Jawa Barat, dengan peternakan Tipperary
milik keluarga Bakrie di Northern Territory, Australia. Seorang dokter
hewan, Gede Putu, yang bekerja untuk peternakan Tipperary di Australia,
tapi tinggal di kompleks peternakan Tapos di Bogor. Selain itu, salah
seorang pemegang saham PT Tipperary Indonesia adalah Yapto Suryosumarno,
pimpinan PP Pemuda Pancasila yang juga akrab dengan anak-anak Suharto. Ia
anggota pengurus yayasan pengembangan sepakbola yang diketuai Bambang
Trihatmojo.
Di awal 1980-an, Charles Graham, orang Australia yang dipercayai mengurus
Mindo, Permindo, serta peternakan Tipperary, mendaftarkan satu perusahaan
baru di Panama. Namanya Asia Pacific Pipe, yang 100% dimiliki oleh Mindo.
Sambil tetap berjualan minyak dari Hong Kong, Asia Pacific Pipe itu
berpatungan dengan Bakrie Brothers, Pertamina, PT Krakatau Steel, serta
satu perusahaan lain, PT Encona Engineering Inc., mendirikan satu
perusahaan baru, bernama PT Seamless Pipe Indonesia Jaya (SPIJ).
Presiden komisarisnya adalah Faisal Abda'oe, sedangkan direkturnya adalah
Aburizal Bakrie dan Sudwikatmono. Bekas kurir Suharto di zaman revolusi
ini, memang cukup dekat dengan keluarga Suharto. Salah seorang anaknya,
Mohammad Reza Rachmadi Abdau, adalah teman balap Tommy Suharto -- dan juga
partner bisnis Thariq Kemal Habibie dalam PT Repindo Impreza International.
Jadi, sementara PT CRMI praktis memegang monopoli perdagangan lempengan
baja buatan Krakatau Steel, PT SPIJ praktis memegang monopoli perdagangan
pipa tanpa sambungan, buatan Krakatau Steel juga.
Kelompok Bakrie juga punya beberapa usaha patungan dengan perusahaan
raksasa Australia, BHP, khususnya dalam perusahaan tambang PT Arutmin di
Kalimantan. Jadi kalau BHP jadi membeli 25% saham PT Krakatau Steel yang
tersisa, itu hanya akan semakin mendekatkan kepentingan bisnis antara
keluarga Suharto dan keluarga Bakrie.
Toh kedua keluarga itu, lewat Sudwikatmono, sudah punya satu holding
company, PT Daya Sarana Pratama, yang menjadi pemegang saham Bank Nusa yang
dikenal sebagai salah satu bank kelompok Bakrie, serta perusahaan
perkebunan patungan antara Bakrie dan Bimantara, PT Bakrie Sumatra
Plantations (Friedland, 1989; Toohey, 1990; CISI, 1997: 139-140, 1147-1148,
1344-1345, 69A-70A;Warta Ekonomi , 30 Sept. 1996: 39-40; sumber-sumber
lain).
Pabrik baja yang menurut temuan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan) pernah kebobolan Rp 6,4 milyar, tidak cuma dijadikan sapi
perahan keluarga besan Suharto dari sisi Tutut, tapi juga besan Suharto
dari sisi Titiek Prabowo. PT Prima Comexindo, perusahaan patungan antara
Hashim Djojohadikusumo bersama Titiek Prabowo dan anak-anak Bustanil
Arifin, mendapatkan hak monopoli barter pipa-pipa baja Krakatau Steel
dengan kapas, sorghum, dan produk kulit dari Sudan.
Itu belum terlalu merugikan Krakatau Steel. Yang lebih merugikan pabrik
baja itu adalah kontrak pembelian besi tua dari PT Prima Comexindo, yang
mendapat komisi sebesar 1 dollar AS per metric ton besi tua. Begitulah
nasib bekas proyek mercusuar warisan Bung Karno, yang menurut Wakil Ketua
BPIS, Giri Suseno Hadihardjono, ingin dijadikan "pusat unggulan di
bidang
baja" (Indonesia Business Weekly , 27 Mei 1994: 16; Editor , 17 Des.
1992:
83-85, 2 Juni 1994: 48-49).
Akhirnya, jangan lupa bahwa PT Krakatau Steel, yang diwakili Tungky
Ariwibowo, juga menjadi pemegang saham perusahaan jalan tol Tutut yang
bernama PT Citra Marga Nusaphala Persada, bersama pabrik semen kelompok
Salim (PT Indocement) dan Yayasan Purna Bhakti Pertiwi yang diketuai
Suharto. Di samping itu, PT Krakatau Steel juga menjadi pemegang saham
industri besi cor Tutut bernama PT Citra Industri Logam Mesin Persada,
bersama Yayasan Tiara yang diketuai Tutut sendiri (Republika , 18 Okt.
1995; Tiras , 23 Nov. 1995: 38; Swa, 5-18 Juni 1997: 45; ).
Berarti, selama tiga dasawarsa, modal kerja dan keuntungan pabrik baja
raksasa itu, hanya berputar-putar di sekitar oligarki Suharto juga.
Koneksi-koneksi PT Pindad:
-------------------------------------------
Kalau Tutut, Titiek, dan Tommy bisa menjalin hubungan bisnis yang mesra
dengan perusahaan-perusahaan resmi di bawah payung BPIS, mengapa paman
mereka, Probosutejo, harus tinggal di luar gelanggang sebagai penonton
saja?
Ternyata memang tidak. Lewat PT Mercu Buana yang dipimpinnya, Probosutejo
juga menjalin hubungan bisnis dengan PT Siemens Indonesia, yang ikut
dimiliki oleh PT Pindad dan PT Gunanusa Utama Fabricators. Padhal, PT
Gunanusa itu sendiri adalah usaha patungan antara Probosutejo dan Iman
Taufik, pimpinan kelompok Tri Patra.
Sedangkan Tri Patra sendiri, sejak 1989 berpatungan dengan Bimantara dan
kelompok Citra Lamtorogung Persada dalam PT Trihasra Bimanusa Tunggal, yang
kecipratan mega-proyek pipa minyak Pertamina di Jawa sepanjang 560 Km,
bernilai 306 juta dollar AS (CISI, 1997: 451-452, 1182-1183; Forum Keadilan
, 23 Juni 1994: 26-27).
Berarti, kembali lagi modal salah satu perusahaan di bawah koordinasi BPIS,
berputar-putar di sekitar anggota keluarga Cendana dan antek-anteknya.
Selain contoh di atas, Ir. Mohammad Nafi Besari, abang Nyonya Ainun
Habibie, juga merupakan pemegang saham PT Meta Epsi Engineering. Inilah
induk perusahaan kelompok Medco, di mana Indra Rukmana dan Siswono
Yudohusodo ikut menjadi pemegang saham. Perusahaan ini pun ikut menjadi
pemasok peralatan listrik PT Pindad dan IPTN (Kompass Indonesia, 1988;
Divisi Riset Majalah Pilar , 1998).
Koneksi PT Boma Bisma Indra:
-------------------------------------------
BUMN pembuat mesin dan alat-alat berat ini, termasuk dalam 10 perusahaan di
bawah koordinasi BPIS yang dipimpin Habibie. Perusahaan negara ini,
berkongsi dengan PT Citra Patenindo Nusantara milik Tutut dan sebuah
perusahaan lain, PT Eramina Kencana dalam membangun terminal minyak baru di
pelabuhan Wayame di Ambon, Maluku. Pembangunan proyek senilai Rp 45 milyar
itu diselesaikan dalam tempo 1051 hari mulai dari tanggal 16 Juli 1991
hingga 2 Juni 1994 (Warta Ekonomi , 12 Sept. 1994: 16).
Koneksi LEN:
-----------------------
Hari Selasa, 15 November 1995, PT Elektrindo Nusantara, menandatangani
perjanjian kerjasama dengan Lembaga Eltronika Nasional (LEN), satu di
antara ke-10 perusahaan di bawah BPIS, dan Airport System Inc. dari AS,
untuk mengembangkan bisnis peralatan navigasi di Indonesia. Menurut
perjanjian itu, Airport System Inc. akan menyediakan teknologinya, LEN
memproduksinya, dan PT Elektrindo Nusantara memasarkannya. Perusahaan
patungan itu direncanakan mulai beroperasi akhir 1996. Sementara itu, PT
Elektrindo Nusantara sudah dipercayai Habibie untuk mengawasi lalulintas
udara untuk Air Show 96 di Bandara Sukarno Hatta (Data , 20 Nov. 1995).
Memang enak, ya, jadi anak presiden seperti Bambang Trihatmojo, apalagi
kalau mitra bisnisnya di bidang telekomunikasi, Aziz Mochdar, masih anggota
keluarga besar Habibie pula.
Korupsi, kolusi, dan nepotisme di ICMI:
-------------------------------------------------------
Ketika menjadi Ketua Umum ICMI, Habibie telah berulangkali berkolusi dengan
Suharto dengan mengatasnamakan umat Islam di Indonesia. Bentuk kolusi yang
paling ringan adalah fasilitas khusus bagi Yayasan Abdi Bangsa, pemilik PT
Abdi Bangsa yang menerbitkan harian Republika, di mana Suharto menjadi
pelindung.
Padahal, ketika majalah Info Bisnis melakukan hal yang sama, yakni
menjual saham penerbitnya, PT Info Jaya Abadi, khusus kepada keluarga besar
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), langkah itu ditegur oleh Ketua
Bappepam, Bacelius Ruru (Forum Keadilan , 29 Sept. 1994: 83).
Memang, boleh-boleh saja Suharto dan isterinya, Tri Sutrisno, Sudharmono,
seta BJ Habibie dan isterinya, masing-masing hanya memiliki selembar saham
PT Abdi Bangsa senilai Rp 5000, sementara mayoritas saham penerbit
Republika itu dikuasai oleh ICMI dan Koperasi Karyawan HU Republika,
seperti ditulis Republika , 28 Mei lalu.
Namun kekuasaan Suharto & Habibie di perusahaan penerbit koran itu, tentu
saja melebihi nilai nominal sahamnya. Kalau tidak, mengapa PT Abdi Bangsa
boleh menjual sahamnya secara langsung, di luar jalur Bursa Saham, dan
diskriminatif pula, yakni hanya kepada warganegara Indonesia yang beragama
Islam? Bukankah itu hanya mungkin dengan persetujuan -- paling tidak,
pengetahuan -- Menteri Penerangan Harmoko dan Menteri Keuangan Mar'ie
Muhammad waktu itu?
Padahal, ketika majalah Info Bisnis melakukan hal yang sama, yakni
menjual saham penerbitnya, PT Info Jaya Abadi, khusus kepada keluarga besar
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), langkah itu ditegur oleh Ketua
Bappepam, Bacelius Ruru (Forum Keadilan , 29 Sept. 1994: 83).
Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi, apabila satu kelompok minoritas di
Indonesia -- Cina atau Kristen -- berusaha menerbitkan sebuah koran dengan
menjual saham khusus kepada warganegara Indonesia yang keturunan Cina atau
beragama Kristen.
Sekarang soal nepotismenya. Jabatan ketua Yayasan Amal Abadi Beasiswa
Orangtua Bimbing Terpadu (ORBIT) yang bernaung di bawah ICMI, diserahkan
pada dokter Nyonya Hasri Ainun Habibie yang kebetulan, isteri Ketua ICMI
waktu itu (Prospek , 19 Des. 1992: 34). Di kalangan wartawan Muslim di
Jakarta, Yayasan Orbit cukup dikenal, karena yayasan itu dapat memberi
rekomendasi potongan harga tiket pesawat Garuda dan berbagai kemudahan
lain.
Di awal 1996, Yayasan Orbit telah berhasil mengisi koceknya sejumlah dua
milyar rupiah dengan merogoh kas semua bank pemerintah (Bapindo, BRI, Bank
Exim, BDN, BBD, BTN, dan BNI 46), serta sejumlah bank swasta, yakni Bank
Anrico (yang baru saja dibubarkan), Bank Bukopin, Bank Intan, Bank
Muamallat, Bank Nasional, Bank Nusa, dan Bank Papan Sejahtera. Di awal 1996
itu, kerjasama sedang dijajaki dengan sepuluh bank swasta lain, seperti
Bank Angkasa, Bank Duta, Bank Danamon, Bank Dwipa, BCA, BII, Bank Lippo,
Bank Universal, Bank Victoria, dan Bank Umum Nasional (Jawa Pos , 24 April
1996; Forum Keadilan , 1 Jan. 1996: 107).
Seperti yang kita ketahui, BCA, Bank Danamon, Bukopin, Bank Duta, BUN, Bank
Papan Sejahtera, dan Bank Universal, dikuasai oleh klik Suharto melalui
keluarga Liem Sioe Liong, tiga anak Suharto (Tutut, Sigit, dan Titiek), Bob
Hasan, dan keluarga Djojohadikusumo. Makanya, semakin banyak tumpah tindih
kekayaan yayasan Suharto yang satu dengan yang lain, melalui kegiatan
pencarian dana Yayasan Orbit ini.
Yayasan Dompet Dhuafa Republika, lebih kaya lagi, karena di tahun 1996
yayasan ini telah berhasil meraup fulus sebesar Rp 4 milyar dari sejumlah
donor yang tak diidentifikasi (Forum Keadilan , 8 Sept. 1997: 97).
Keterangan ini telah dibantah oleh Yayasan Dompet Dhuafa Republika lewat
email <dhu...@cabi.net.id> kepada saya, 17 Juni lalu, tanpa
mencantumkan
nama orang yang mewakili yayasan itu, juga tanpa menyebutkan berapa
sesungguhnya dana yang dimiliki yayasan itu.
Kekuasaan Habibie -- sebagai tangan kanan Suharto -- di yayasan-yayasan
ICMI sangat besar. Dialah yang mencoret Parni Hadi dari jabatan Direktur
Produksi PT Abdi Bangsa, dan menggolkan Beddu Amang yang juga Bendahara
ICMI dan Ketua Presidium KAHMI (Keluarga Alumni HMI), menjadi komisaris
perusahaan penerbit harian Republika itu, sekaligus Ketua Yayasan Abdi
Bangsa.
Dengan demikian, klik pendukung Suharto di lingkungan ICMI juga semakin
solid. Sebab Beddu Amang juga komisaris perusahaan keluarga Bustanil
Arifin, PT Bormindo Nusantara, bersama A.R. Ramly yang juga salah seorang
komisaris PT Astra International (Jakarta Post, 18 Febr. 1994; Forum
Keadilan , 8 Sept. 1997: 97).
Untuk menarik mahasiswa Muslim Indonesia di luar negeri untuk menjadi
anggota ICMI, di beberapa tempat ada pemikat berupa potongan tarif tiket
pesawat Garuda untuk pulang ke Indonesia. Di Australia, hal itu juga
berlaku bagi anggota 'wadah tunggal' di bawah pembinaan KBRI, yakni PPIA.
Padahal, keagenan Garuda di AS dan Australia baru-baru ini dialihkan kepada
PT Antarini Mitra Sejati milik Ibu Siti Sutina, yang mengaku adik
almarhumah Nyonya Tien Suharto.
Akibat kebijakan baru itu, sesudah 12 tahun di AS dan 35 tahun di
Australia, maskapai penerbangan milik rakyat Indonesia itu terpaksa gulung
tikar dengan menanggung kerugian besar akibat pembayaran sewa kantor jangka
panjang dan PHK stafnya.
Ironisnya, PT Antarini bukan suatu agen perjalanan yang berpengalaman, baik
dalam angkutan penumpang maupun barang. Akibatnya, menurut kalangan dalam,
kerugian akibat menurunnya angkutan barang oleh Garuda ditaksir setinggi
500-600 ribu dollar AS sebulan, ketimbang ketika itu dilakukan oleh Garuda
sendiri.
Contoh nepotisme Suharto-Habibie yang lain adalah usaha patungan antara PT
Abdi Bangsa (di mana Suharto masih duduk sebagai pelindung yayasannya)
dengan Timsco (milik keluarga Habibie), dalam penerbitan tabloid Adil ,
tabloid Gita yang khusus untuk anak perempuan, dan tabloid Muda Muslim
yang dijadualkan masuk ke pasar bulan Juni ini (Kontan , 3 April 1998).
(bersambung)
----- End of forwarded message from George J. Aditjondro -----
<A HREF=http://www.uni-stuttgart.de/indonesia/>Indonesia Daily News
Online</A><HR>
#-----------------------------------------------------------------#
#-----------------------------------------------------------------#
Received on Thu Jul 2 05:14:15 MET DST 1998
DARI PARE-PARE SAMPAI KE JERMAN:
Kisah korupsi, kolusi, dan nepotisme keluarga besar Habibie (VI)
G. J. Aditjondro
Kemudian, salah satu bentuk kolusi dan korupsi yang paling sistemik yang
dijalankan oleh Suharto dan Habibie di masa kepresidenan Suharto, adalah
penggunaan fasilitas BPPT dan fasilitas Departemen Luar Negeri untuk
organisasi swasta, ICMI, yang bukan suatu organ pemerintah. Dalam
perjalanannya keliling Indonesia maupun keliling dunia, yang dibiayai
rakyat Indonesia dalam kapasitasnya sebagai Menteri Negara Riset dan
Teknologi, Habibie selalu tidak lupa berkampanye untuk ICMI, yang notabene
sebuah organisasi swasta.
Fasilitas korps diplomatik Indonesia, secara rutin digunakan untuk
keperluan pembentukan dan pengembangan Korcab-Korcab ICMI di AS dan
Australia, dua negara di mana saya telah menghabiskan lebih dari 7 tahun di
masa kekuasaan Suharto dan Habibie ini.
Fasilitas korps diplomatik kita, bersamaan dengan penyalahgunaan fasilitas
BPPT dan perusahaan penerbangan Garuda milik rakyat Indonesia, tidak cuma
dilakukan oleh Habibie sendiri, melainkan juga oleh tokoh-tokoh Dewan Pakar
ICMI, dalam perjalanan mereka mempromosikan ICMI ke mancanegara.
Total jenderal, penyalahgunaan fasilitas negara yang dibiayai dengan uang
rakyat itu telah berlangsung selama hampir satu dasawarsa, dan sungguh
mirip dengan penggunaan fasilitas negara oleh Golkar. Bayangkan bagaimana
kiranya reaksi para pakar ICMI, kalau penyalahgunaan fasilitas negara itu
dilakukan oleh organisasi-organisasi swasta lain, seperti NU, PMKRI, atau
SMID?
Terakhir, bentuk korupsi dan kolusi yang paling fatal di masa kejayaan ICMI
ini adalah manipulasi kepakaran sejumlah cendekiawan Islam yang terhimpun
dalam Dewan Pakar ICMI, demi menutupi kepentingan elit politik yang
berkuasa. Dengan kata lain, mereka menurunkan derajat agama -- khususnya
Islam -- menjadi alat legitimasi kekuasaan, bukan sebagai alat pembebasan
rakyat yang tertindas.
Contoh yang paling gamblang adalah kampanye sistematis Dewan Pakar ICMI di
bawah pimpinan Amien Rais waktu itu, menghalangi pengusutan tindak pidana
korupsi Haryono Danutirto, yang waktu itu Menteri Perhubungan. Dalih para
pembela Haryono waktu itu adalah bahwa serangan terhadap Meneer van Danu
adalah serangan terhadap ICMI, bahkan dianggap merupakan serangan terhadap
Islam.
Pembelaan yang menggebu-gebu itu didukung oleh kelompok-kelompok Islam
tertentu, yang pada hari Tahun Baru 1996, berdemonstrasi menuntut
pemerintah mengusut pembocor laporan Irjenbang Jenderal Kentot Harseno,
yang diklasifikasikan sebagai "pembocoran rahasia negara".
Kampanye ini
didukung, atau paling tidak, dibiarkan saja oleh Habibie yang waktu itu
Ketua Umum ICMI. Walhasil, seperti biasa, Suharto "memaafkan"
perbuatan
pembantunya, bahkan mengangkat Meneer van Danoe kembali dalam kabinetnya
yang ketujuh dan terakhir (Mas'oed, 1996; Walters, 1995b, 1996; Straits
Times , 20 Des. 1995; Asia Times , 20 Des. 1995; Australian Financial
Review , 4 Jan. 1996;West Australian , 5 Jan. 1996;Kabar dari Pijar , No.
2/1995, Laporan Khusus; PIPA , 15 Nov. 1995, 4 Jan. 1996; Tiras , 4 Jan.
1996: 69-79; Forum Keadilan, 15 Januari & 6 Mei 1996).
Selain menurunkan derajat Islam dari alat pembebasan menjadi alat
penindasan, kampanye Dewan Pakar ICMI di bawah pimpinan Amien Rais itu
sesungguhnya menjurus ke tindakan kriminil. Soalnya, secara yuridis formal
tindakan menghalangi pemeriksaan terhadap seseorang yang dicurigai
melakukan suatu tindak pidana, merupakan usaha menghambat penegakan
keadilan (obstruction of justice ), yang merupakan tindakan kriminil
tersendiri.
Keberfihakan para pakar ICMI pada kepentingan penguasa dan bukan kepada
rakyat yang tertindas dan terkuras oleh tindakan-tindakan korup penguasa,
tidak terbatas dalam menutup-nutupi skandal korupsi Haryanto Dhanutirto.
Sepanjang catatn saya, hal serupa juga dalam tiga kasus lain. Pertama,
dalam kasus kontroversi pembangunan Jembatan Jawa-Madura berikut rencana
industrialisasi Pulau Madura, Jawa Timur. Kedua, dalam kasus kontroversi
pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Jawa Tengah. Dan ketiga, dalam kasus
kontroversi penggusuran penduduk untuk waduk Kedung Ombo, juga di Jawa
Tengah.
Dalam kontroversi tentang mega-proyek Madura bernilai 400 juta dollar AS
Habibie pernah membawa sejumlah tokoh pakar ICMI, yakni Amien Rais, Dawam
Rahardjo, Soetjipto Wirosardjono, Parni Hadi, Adi Sasono, dan Soedarso
Djojonegoro, mendarat dengan dua buah helikopter di alun-alun kota
Pamekasan, untuk meyakinkan para ulama untuk menerima mega-proyek itu. Itu
terjadi di bulan Januari 1994.
Lalu, di awal Februari 1994, 25 orang ulama Madura yang tergabung dalam
Badan Silaturahmi Ulama se-Madura (Basra), diajak bertandang ke IPTN dan
Pulau Batam, disambut bak tamu agung. Harapannya, setelah melihat kehebatan
proyek-proyek Habibie, mereka bersedia menerima anjuran Habibie agar Madura
di-Batam-kan (Detik , 12-18 Jan. 1994; Surya & Kompas , 2 Februari 1994).
Bujukan Habibie dengan staf BPPT dan Dewan Pakar ICMI-nya berjalan
berbareng dengan rencana pendirian Universitas Bangkalan di bawah Yayasan
Kyai Lemah Duwur, dipimpin oleh Liem Sioe Liong serta anak merangkap putera
mahkotanya, Anthony Salim (Soetriyono, 1988: 120).
Pendirian universitas itu lebih merupakan taktik untuk memecah-belah para
kiyai, yang sangat kuat menentang rencana mega-proyek itu. Namun setelah
terbunuhnya enam orang petani oleh tentara pelindung para petugas pengukur
tanah Waduk Nipah, para kiyai di Madura semakin kompak menentang proyek
itu. Begitu tampak bahwa para kiyai tidak semudah itu dibujuk, pendirian
universitas itu pun tak terdengar lagi kabar beritanya.
Mega-proyek Industrialisasi Pulau Madura itu sendiri jelas akan semakin
memupuk kekayaan keluarga besar Suharto, apabila pabrik semen kelompok
Salim di Madura jadi berdiri. Jembatan Jawa-Madura sendiri yang akan
melahap 5000 hektar tanah, rencananya akan ditangani oleh PT Dhipa Madura
Perdana, yang juga akan menguntungkan seorang antek Suharto, Raden Panji
Mohammad Noer. Bekas gubernur Jawa Timur dan bekas Dubes RI di Paris itu
adalah komisaris stasiun SCTV milik Bambang Trihatmodjo, bersama adik ipar
Harmoko, Nyonya Yolla Zuraida Hasan (CISI, 1997: 1276-1277;Editor , 19 Jan.
1991: 43-46).
Tokoh Madura berambut uban itu tampaknya memang disenangi keluarga Suharto
karena ia pun tak sungkan-sungkan memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan
bisnis. Selama menjadi gubernur Jawa Timur, ia sempat
"mempengaruhi"
sejumlah pengusaha yang beroperasi di wilayahnya, sehingga namanya
tercantum sebagai komisaris di pabrik sepatu PT Super Mitory Utama di
Sidoarjo, pabrik plastik PT Berlina Co. Ltd. di Pandaan, pabrik
barang-barang konsumen PT Unilever Indonesia yang punya pabrik di Surabaya,
perusahaan properti PT Mas Murni Indonesia yang punya Garden Palace Hotel
di Surabaya, serta PT Bank Tiara Indonesia (IEFR, 1997: 138-139, 188-189,
308-309, 404-405, 492-493).
Jadi dengan kata lain, akibat loyalitas mereka yang berlebihan pada
Habibie, para anggota Dewan Pakar ICMI itu lebih rela membiarkan kepakaran
mereka digunakan sebagai alat legitimasi proyek kolusi antara Suharto,
Mohammad Noer, dan maskapai-maskapai multinasional Jepang, ketimbang
menjadi alat pemberdayaan ribuan petani di kawasan Gerbang Kertasusila yang
bakal tergusur oleh Jembatan Jawa-Madura dan rencana industrialisasi Pulau
Madura. Untunglah krisis moneter yang melanda Indonesia maupun Jepang
memaksa Suharto dan Habibie meninjau kembali proyek raksasa itu.
Kisah kolusi intelektual semacam itu terulang kembali dalam rencana
pembangunan PLTN Muria. Barangkali, lantaran Habibie sudah memberikan
jaminannya, bahwa "dampak radiasi PLTN nol" (Jawa Pos , 10 Januari
1991),
suatu pernyataan yang menurut hemat saya mendahului Tuhan dan bertentangan
dengan seluruh literatur tentang tenaga nuklir, para anggota Dewan Pakar
ICMI tidak terdengar keberatannya terhadap rencana mengalungi semenanjung
itu dengan selusin reaktor nuklir a 600 MegaWatt. Dari kalangan tokoh
Islam, yang bersuara lantang menentang mega-proyek ini hanyalah Ketua PB
NU, Abdurrachman Wahid, yang mengancam akan melakukan mogok makan bersama
umatnya di Muria, apabila proyek kontroversial itu tetap akan dibangun
(Aditjondro, 1996a).
Akhirnya, kasus ketiga di mana anggota Dewan Pakar ICMI lebih berdiri di
fihak pemerintah ketimbang membela rakyat yang tertindas, adalah di proyek
Waduk Kedungombo. Dalam kasus ini, yang selalu muncul ke depan adalah
Sutjipto Wirosardjono, yang pada awalnya tampak mau bekerjasama dengan Romo
Mangunwijaya dan seniman Emha Ainun Najib. Namun setelah Emha tidak melihat
keseriusan Sutjipto dalam membela hak-hak para petani yang tergusur, ia
menarik diri dari ICMI, dan memilih untuk tetap membela hak-hak rakyat
Kedung Pring dan sekitarnya, bersama kawan-kawannya di Yogya (Aditjondro,
1993).
Kelemahan para pakar ICMI -- yang sangat didominasi tokoh-tokoh
Muhammadiyah -- dalam menghadapi kemauan Suharto dan Habibie, tampaknya
ikut disebabkan oleh dekatnya beberapa orang tokoh mereka dengan tiga
anggota keluarga besar Suharto, yakni Probosutejo, Prabowo Subianto dan
Sudwikatmono.
Kita tentunya belum lupa kasus ancaman gugatan Probosutejo terhadap Yahya
Muhaimin, lantaran ahli militer Indonesia itu menyebutkan dalam bukunya,
bahwa hubungan perkerabatan Probosutejo dengan Suharto ikut mempengaruhi
mudahnya ia mendapat fasilitas pemerintah. Secara khusus disebutkanlah
kasus duopoli impor cengkeh oleh PT Mercu Buana milik Probo dan PT Mega
milik Liem Soei Liong dan Sudwikatmono. Berkat mediasi PP Muhammadiyah,
Probosutejo tidak jadi menggugat Yahya Muhaimin maupun penerbit bukunya,
LP3ES ke pengadilan, namun buku itu sendiri terpaksa ditarik dari
peredaran. Maklumlah, Probosutejo juga seorang donor Muhammadiyah yang
setia.
Kemudian, pengaruh Prabowo Subianto ke para pakar ICMI adalah melalui Jimly
Asshiddique. Yayasan Palem yang resminya diketuai oleh Jimly Asshiddiqie,
disponsori oleh Letjen Prabowo Subianto, sebelum ia tersingkir dari tampuk
kekuasaannya di Kopassus dan Kostrad. Yayasan ini membawahi Institute for
Policy Studies (IPS) pimpinan Fadli Zon, yang terlibat dalam serangan
kelompok pemuda Muslim terhadap para demonstran mahasiswa di Senayan, 22
Mei lalu. Rencana pengiriman para pemuda Muslim ke DPR untuk mendukung
Habibie dan konco-konconya, konon dirapatkan di Jalan Suwiryo No. 6,
Menteng, pada hari Rabu malam tanggal 21 Mei, dipimpin langsung oleh
Prabowo dan tangan kanannya, Mayjen Muchdi (apakabar , 26 Mei 1998;
sumber-sumber lain).
Selanjutnya, pengaruh Sudwikatmono ke para pakar ICMI adalah melalui
Nurcholish Madjid. Sudwikatmono bersama tokoh pengusaha asal Aceh, Ibrahim
Risyad, partner bisnisnya di kelompok Salim, serta sejumlah pengusaha lain,
adalah pendiri Yayasan Pondok Mulya serta Yayasan Paramadina-Mulya. Yayasan
Paramadina-Mulya belakangan ini dikenal karena menaungi universitas senama,
dengan Nurcholish Madjid sebagai rektornya yang pertama. Setelah persiapan
selama tiga tahun, 27 Februari lalu telah dilakukan penyerahan akreditasi
program pascasarjana Filsafat dan Peradaban Agama Islam oleh Menteri Agama
waktu itu, Tarmizi Tahir, di Hotel Regent, Jakarta.
Rencananya, gedung kampus di tanah seluas 4,5 hektar lebih akan segera
dibangun di kawasan Kebun Jeruk, Jakarta Selatan. Kampus itu akan terdiri
dari dua sayap simetris dengan mesjid di tengah-tengah, masing-masing sayap
terdiri dari tiga menara berlantai 7, 18, dan 36. Lahan sudah disiapkan
peruntukan dan penataannya. Dana awal yang dibutuhkan sebesar Rp 40 milyar,
mungkin akan meningkat lima kali lipat mengingat nilai dollar AS saat ini
sudah jauh berubah dibandingkan saat patokan dibuat.
Solusinya, untuk sementara -- 3 - 5 tahun -- Universitas Paramadina-Mulya
(UPM) menggunakan bangunan baru milik Yayasan Pondok Mulya di Kompleks
Bidakara, Pancoran. Menurut seorang tokoh pimpinan UPM, Marsudi W. Kisworo,
yang menanggapi tulisan saya melalui e-mail, 20 Juni lalu, biaya
pembangunan kampus itu tidak diharapkan dari bank-bank pemerintah
Indonesia. Tokoh spekulan internasional Amerika keturunan Yahudi, George
Soros, telah menawarkan bantuan untuk menyediakan seluruh biaya pendirian
kampus UPM, dengan syarat bahwa salah satu bangunan kampus diberi nama
Gedung Soros, seperti tradisi di luar negeri, dan Soros sendiri akan
memberikan kuliah pembukaan. Namun tawaran itu telah ditolak oleh pimpinan
UPM.
Untuk tahap pertama, UPM akan dimulai langsung di tingkat pasca sarjana
(S2) program studi agama Islam. Alasan yang dikemukakan pimpinan UPM yang
menanggapi tulisan awal saya lewat e-mail, karena UPM merupakan universitas
riset.
Dua tahun lalu Sudwikatmono sudah mewakili Yayasan Paramadina-Mulya
menandatangani piagam kerjasama antara UPM dengan Curtin University of
Technology (CUT) di Perth, Australia Barat. Kerjasama itu dirintis oleh
Marsudi W. Kisworo, seorang alumnus CUT, anggota John Curtin Leadership
Academy dan adjuct professor di Sekolah Ilmu Komputer CUT. Ia yang
memperkenalkan para pimpinan CUT dengan pimpinan UPM (Kompas , 28 Februari
1998; Ummat , 6 Maret 1998; surat tanggapan Marsudi W. Kisworo melalui
e-mail, 20 Juni 1998).
Berbeda dengan suasana ketika banyak tokoh Islam menganggap haram menerima
uang hasil SDSB, kali ini tampaknya tidak haram bagi bekas Ketua Umum PB
HMI ini untuk menerima uang dari Sudwikatmono, yang jadi kaya raya dari
hasil korupsi, kolusi, dan nepotisme saudara sepupunya, Suharto, yang telah
memanipulasi hukum sehingga dapat memangku jabatan Presiden RI selama 32
tahun.
Hubungan Nurcholish dengan keluarga Sudwikatmono sudah sangat pribadi.
Seperti diakui oleh Martina, putri sulung sang taipan, Nurcholish adalah
guru ngaji suaminya, Juan Ramon de Jimenez (Forum Keadilan , 1 Juli 1996:
49). Barangkali Nurcholish berpendapat, bahwa melalui pendekatan pribadi
secara keagamaan itu sepupu Suharto itu dapat diajak bertobat dan
mendermakan sebagian besar kekayaannya kepada kaum dhuafa.
Namun pendekatan pribadi begini punya dua kelemahan utama: pertama, apa
yang disumbangkan oleh keluarga Sudwikatmono untuk kaum dhuafa jauh dari
seimbang dibandingkan dengan kehidupan keluarga itu yang bergelimang dalam
kemewahan. Kedua, dengan pendekatan pribadi itu publik diajak melupakan
asal usul kekayaan itu sendiri. Konsekuensinya, hukum dan moralitas
anti-korupsi bisa dikesampingkan. Pokoknya, asal rajin menderma.
Soal kekayaan keluarga Sudwikatmono, sudah bukan rahasia lagi bagi orang
Jakarta. Mereka punya dua rumah mewah di kawasan Beverly Hills di pinggiran
kota Los Angeles, satu di Hillcrest Drive dan satu lagi di Doheney Drive.
Untuk bisa membeli rumah di sana, orang harus punya penghasilan sedikitnya
250 ribu dollar AS per tahun. Itupun angka tahun 1993 (Eksekutif , Maret
1990: 133-136; Tiara , 5 Des. 1993: 36).
Selain itu, ketiga putri Sudwikatmono memegang waralaba Fabrice's World
Music Bar and Restaurant di Gedung GKBI, Jakarta, Planet Hollywood,
restoran Tony Roma's, dan rumah lelang barang Sotheby. Trinil, si putri
bungsu, memiliki perusahaan entertainment PT Ekamega Ramajaya yang
mendatangkan artis-artis kelas dunia. Dan seperti yang sudah disinggung di
depan, Martina Sudwikatmono juga menjadi agen tunggal pesawat jet eksekutif
BaE 125-100, dari Inggris seharga 14 juta dollar sebiji (Cohen, 1996;
Jakarta-Jakarta, 22-28 Okt. 1994: 18-19; Forum Keadilan , 1 Juli 1996: 49;
Warta Ekonomi , 26 Agustus 1996; Swa, 3-16 Okt. 1996: 16).
Selain menumpuk kekayaan dari kelompok Salim dan konglomerat yang
dipimpinnya langsung (Subentra, Dwi Golden Graha, Golden Truly, Global
Putra International), saudara sepupu Suharto ini tidak sungkan-sungkan
memodali bisnis keponakan-keponakannya yang kontroversial. Misalnya, ia
pernah membantu Sigit Harjojudanto, Robby Sumampouw, dan Henry Pribadi
mengelola SDSB. Walaupun loterenya sendiri sudah dibubarkan, dana yang
terkumpul oleh YDBKS belum pernah dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
Malah sebaliknya, Sigit dapat dengan tenang menggunakan bagiannya untuk
membangun hotel berbintang lima Bali Cliff Resort seharga 50 juta dollar AS
di Bali. Robby Sumampouw, yang pernah membantu Tommy mengelola BPPC,
membangun kasino raksasa di Pulau Christmas, di mana Tommy Suharto sering
berjudi. Henry Pribadi, partner Bambang Tri dalam PT Mekatama Raya, SCTV,
serta Bank Alfa (d/h Bank Andromeda), adalah pengunjung setia kasino Crown
di Melbourne, di mana ia pernah memasang taruhan satu juta dollar Australia
dalam semalam (Borsuk, 1993; Aditjondro, 1994, 1995; Loveard, 1996: 38;
Robinson, Hewitt dan Munro, 1997;Tempo , 28 Des. 1991; Gatra , 12 Okt. & 26
Okt. 1996).
Nepotisme Habibie - Maulani - Siswono - Syadzali & Suharto:
----------------------------------------------------------------------------
---------
Setelah Suharto, secara inkonstitusional, menyerahkan kursi kepresidenannya
kepada Habibie, penyakit "KKN" Habibie semakin kumat dengan
mengangkat
seorang besan adiknya menjadi staf ahlinya.
Orang itu adalah Mayor Jenderal (Purn.) Zein A. Maulani, yang putrinya,
Olga, menikah dengan Sutjipto Akbar, putra Sudarsono Dharmosuwito. Sutjipto
Akbar sendiri, tercatat sebagai pemegang saham tiga anak perusahaan Timsco,
yakni PT Dwimas Intiwisesa, satu perusahaan dagang, dan PT Nusadata
Komunikatama, perusahaan jasa telekomunikasi.
Pernikahan itu semakin mempererat hubungan keluarga -- dan bisnis -- antara
Maulani dan Habibie. Soalnya, seorang menantu Maulani, Eko (suami anak
ketiga) juga berbisnis dengan Nudi, putra Fanny Habibie yang berusia
sekitar 33 tahun. Kedua anak muda itu berkenalan lewat hobi mobil balap
mereka, yang selalu diimpor dalam keadaan terpasang (completely built up )
dan selalu diganti baru.
Ternyata, penyakit nepotisme sudah cukup dalam juga menjangkiti diri Z.A.
Maulani. Ketika ia masih menjadi Sekjen Departemen Transmigrasi & Pemukiman
Perambah Hutan di bawah Menteri Siswono Yudohusodo, yang
"kebetulan"
diangkat menjadi Kakanwil Deptrans Sulawesi Selatan adalah seorang duda
yang menikah dengan adik perempuan Maulani.
Walhasil, perusahaan Eko dan Nudi banyak mendapat proyek transmigrasi di
Sulawesi Selatan, di samping proyek-proyek dermaga berkat koneksi dengan
Fanny Habibie yang waktu itu masih Dirjen Perhubungan Laut.
Di masa itulah pula putera sulung Zein, Haryogi Maulani, mulai membangun
kelompok Balisani dengan menggarap "lahan tidur" milik transmigran
di
Sumatera Selatan yang ditanami kepala sawit. Kelompok perusahaan Bali
Saninya, milik Haryogi dan bekas isterinya, Merry, juga pernah mendapat
kontrak penagihan pajak televisi untuk PT Mekatama Raya milik Bambang
Trihatmojo, untuk wilayah Kalimantan Selatan yang dulu merupakan wilayah
kekuasaan ayahnya sebagai Pangdam.
Selanjutnya, Haryogi merambah ke perhotelan di Bali dan Fiji, sehingga pada
usia 31 tahun ia sudah punya konglomerat dengan aset bernilai Rp 800 milyar
(Wibisono, 1995; Warta Ekonomi , 10 Mei 1993: 11, 17 Mei 1993: 24, 24 Mei
1993: 27; Swa , Nov. 1993: 36-38; Gatra, 17 Des. 1994: 40; sumber-sumber
lain).
Nepotisme itu "ditebus" dengan "upeti" Maulani dan
Siswono kepada Suharto,
berupa pemberian proyek penggarapan lahan tidur transmigran di Kal-Tim
seluas 80 ribu Ha kepada cucu kesayangan Suharto, Ari Haryo Wibowo.
Maklumlah, nepotisme Siswono sendiri tidak ketolongan.
Pada masa jabatannya sebagai Menteri Transmigrasi & PPH, ia meluluskan
pemberian konsesi perkebunan kelapa sawit seluas 40 ribu hektar di
Kepulauan Natuna dan 40 ribu hektar lagi di Kalimantan Tengah kepada
kelompok Medco. Anak perusahaan Medco di Natuna bernama PT Metatani Natuna,
sedangkah yang kebagian proyek kelapa sawit di Kalimantan Tengah bernama PT
Ciptatani Kumai Sejahtera dan PT Metatani Mandang Sejahtera.
Padahal, di samping Arifin Panigoro yang kini mendadak muncul sebagai
"pejuang reformasi", Indra Rukmana (suami Tutut) dan Siswono
Yudohusodo
sendiri juga merupakan pemegang saham inti kelompok Medco. Sementara
Ginanjar Kartasasmita, yang "kebetulan" Ketua Bappenas, termasuk
"orang
kunci" konglomerat ini. Di samping itu, putra mantan Munawir Sjadzali
yang
waktu itu Menteri Agama (dan sekarang Ketua Komnas HAM), juga sudah punya
posisi kunci di kelompok Medco sejak awal 1990-an. Mustain Sjadzali adalah
seorang direktur PT Medco Energi Corporation. Tidak ketinggalan seorang
abang Nyonya Ainun Besari Habibie, Ir. Mohammad Nafi Besari, ikut jadi
pemegang saham Medco.
Kelompok Medco kini sudah beroperasi dalam pengeboran minyak di Sumatra
Selatan, lepas pantai Kalimantan Selatan, di lepas pantai Australia Barat,
Burma, Turkemenistan, dan Kazakhstan. Ekspansi Medco ke kawasan Asia Tengah
berpatungan dengan Setiawan Djody, mitra bisnis Tommy Suharto dalam
perkebunan dan industri kedele dan (tadinya) dalam pabrik mobil balap
Lamborghini (Salam, 1987: 118; Kompass, 1988; CISI, 1997: 796-798; IEFR,
1997: 34-35; Prospek , 6 Maret 1993: 21, 13 Maret 1994: 36-38;Indonesia
Business Weekly, 27 Mei 1994, 17 Febr. 1995; Warta Ekonomi, 17 Mei 1993:
87-89; 4 April 1994: 27, 13 Juni 1994: 26; Swasembada , 2 Juli 1997: 12-13;
Economic & Business Review Indonesia , 5 Maret 1997: 35, 23 Juli 1997: 45;
Kontan , 31 Maret 1997; D & R , 21 Juni 1997: 86-89; Jakarta Post , 17 Nov.
1997; Divisi Riset Majalah Pilar ).
(bersambung)
----- End of forwarded message from George J. Aditjondro -----
<A HREF=http://www.uni-stuttgart.de/indonesia/>Indonesia Daily News
Online</A><HR>
#-----------------------------------------------------------------#
#-----------------------------------------------------------------#
Received on Thu Jul 2 05:18:02 MET DST 1998
DARI PARE-PARE SAMPAI KE JERMAN:
Kisah korupsi, kolusi, dan nepotisme keluarga besar Habibie (VII)
G. J. Aditjondro
Sementara itu, usaha patungan antara Eko (menantu Maulani) dan Nudi (putra
Fanny Habibie) di luar transmigrasi dan perhubungan laut, tidak begitu
jelas. Kata satu sumber saya di Jakarta, kantor perusahaan mereka di Blok
S, Kebayoran Baru, "isinya cuma nona-nona cantik yang ke luar
masuk".
Sedang menurut satu sumber lain, Nudi sering mengimpor motor Harley
Davidson dengan menggunakan peti kemas (container ) dengan membayar biaya
per container , tanpa halangan apa pun dari petugas bea cukai. Selain itu,
Nudi punya hobi mengumpulkan senjata laras pendek.
Demikianlah kisah hubungan bisnis dan jaringan "KKN" yang begitu
mesra
antara keluarga besar Suharto, Habibie, Maulani, dan Sjadzali. Dari situ
tampaklah betapa sedikitnya orang yang bersih dari penyakit korupsi,
kolusi, dan nepotisme di antara para petinggi Orde Baru.
Menolong konco-konco dari Sulawesi Selatan:
----------------------------------------------------------------
Penyakit nepotisme Habibie tidak hanya berhenti dalam pengangkatan ZA
Maulani sebagai staf ahli setaraf Aspri-Aspri Suharto tempo dulu. Sang
pejabat Presiden itu juga mengangkat A.A. Baramuli sebagai semacam Dubes
keliling bagi dunia bisnis, untuk menanam modal dan berdagang dengan
kalangan bisnis di Indonesia. Selain Baramuli, "Dubes-Dubes
bisnis" lainnya
yang diangkat adalah Hashim Djojohadikusumo, James Riady, dan Marimutu
Sinivasan.
Sementara ketiga pengusaha lainnya itu lebih banyak berhubungan dengan
bisnis keluarga besar Suharto, yang tidak akan saya uraikan panjang lebar
di sini, keluarga Baramuli punya hubungan khusus baik dengan keluarga
Suharto maupun dengan keluarga Habibie.
Kita tentunya masih mengingat bagaimana Ari Haryo Wibowo, tiga tahun lalu
berusaha memonopoli stiker minuman keras di tiga propinsi, yakni Bali,
Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan. Rencana itu ditentang keras oleh
kalangan pengusaha perhotelan, termasuk kakek, paman, dan bibi Ari sendiri,
sehingga sekarang fasilitas khusus buat Ari Sigit itu hanya bertahan di
koloni kita, Timor Leste, melalui usaha patungan antara Ari dengan seorang
saudara ipar Gubernur Abilio Soares, bernama Gil Alves.
Tapi bukan itu yang saya mau ceritakan di sini. Perusahaan yang dipimpin
Ari Sigit itu bernama PT Arbamass Multi Invesco, yang nama depannya berasal
dari nama "trio" Ari Haryo Wibowo, Emir Baramuli, dan Ichdar
Kuneng Bau
Masseppe. Nah, Emir Baramuli ini adalah putra "Dubes Bisnis
Keliling" A.A.
Baramuli, yang baru-baru ini telah terpilih jadi Ketua Dewan Pertimbangan
Agung (DPA), setelah sebelumnya menjabat sebagai salah seorang anggota
Komnas HAM.
Sedangkan Ichdar adalah putra seorang tokoh pengusaha di Sulawesi Selatan
yang cukup terkenal, Kuneng Bau Masseppe. Kuneng, pada gilirannya, adalah
anak pahlawan nasional Bau Masseppe. Tapi tidak cuma itu. Ia juga teman
masa kecil B.J. Habibie di Pare-Pare (Makka, 1986: 117-120).
Melambungnya bisnis keluarga Bau Masseppe ini, terjadi seiring dengan
melambungnya karier Rudy serta Fanny Habibie. Di awal 1980-an, dia berhasil
mengambil alih pimpinan satu perusahaan pelayaran, PT Mahakam Shipping Co.,
Ltd., yang didirikan tahun 1951 oleh seorang pengusaha dan tokoh PNI
Kalimantan Timur, Inche Abdul Muis. Setelah Kuneng Bau Masseppe memasukkan
modalnya, dia diangkat menjadi Presiden Komisaris, sedangkan seorang
anggota keluarga Muis, Inche Emir Muis, menjadi komisaris biasa. Dengan
modal dari European Asian Bank dan Bank Bumi Daya, bisnis perusahaan ini,
yang melayani arus barang antara Jawa dan Kalimantan Timur, semakin
digalakkan (Magenda, 1991: 57; Kompass Indonesia, 1988: 667).
Memang, tidak ada bukti hitam di atas putih bahwa bisnis keluarga Bau
Masseppe, sebelum Ichdar bergabung dengan kelompok ARHA, berkembang karena
fasilitas dari Rudy maupun Fanny Habibie. Namun buku biografinya sendiri
menunjukkan betapa BJ Habibie tidak pernah lupa pada teman-teman masa
kecilnya. Dalam catatan ucapan selamatnya atas ulangtahun Rudy Habibie yang
ke-50, Kuneng Bau Masseppe juga mengemukakan, bahwa adik dari salah seorang
teman masa kecil mereka di Pare-Pare, juga menjabat di Otorita Batam. Orang
itu adalah Nikita Bukusu, adik kandung dari Teddy Bukusu, teman Rudy dalam
olahraga menunggang kuda di Pare-Pare (Makka, 1986: 118).
Selain itu, selama peranan Fanny Habibie dalam skandal Tampomas II belum
terungkap lewat suatu sidang pengadilan yang terbuka, dan juga mengingat
bahwa bisnis anaknya, Nudi, bersama menantu Maulani, Eko, di bidang
perhubungan laut juga berkembang karena pertolongan Fanny, tidak tertutup
kemungkinan bahwa bisnis pelayaran Kuneng Bau Masseppe ikut berkembang
karena bantuan Rudy dan Fanny Habibie.
Sementara itu, Baramuli juga bukan orang kecil di dunia bisnis. Dia mulai
membangun perusahaan keluarganya, di awal masa pemerintahan Suharto, ketika
dia menjabat sebagai Kepala Bagian Keuangan Departemen Dalam Negeri di
bawah Mendagri Amirmachmud. Sekarang, kelompok Poleko sudah meliputi 26
perusahaan dengan kekayaan bernilai Rp 235 milyar, dan tergolong peringkat
No. 200 di antara konglomerat-konglomerat di Indonesia. Dan sementara
namanya melambung karena membongkar skandal kredit Golden Key, kelompok
Polekonya sendiri terlibat dalam kredit macet sebesar Rp 8,6 milyar
berkaitan dengan pembebasan tanah Hotel Batara Bali Indonesia di pantai
Sanur, Bali (Robison, 1990: 359-360; PDBI, 1997: A-712 - A-718; Forum
Keadilan , 20 Nov. 1995: 87).
Sementara itu, kekayaan anaknya, Emir Baramuli, juga sudah ikut melambung
bersama Ari Haryo Wibowo dengan kelompok ARHA, yang bekerjasama dengan
Tommy Suharto, Yoga Sugama, bahkan juga Yayasan Badan Intelijen ABRI (BIA)
dalam PT Ikabina Sukses Sejahtera yang mengelola perparkiran di Jakarta
(Wibisono, 1997a; Gatra , 4 Febr. 1995).
Makanya, setelah Baramuli diangkat menjadi Ketua DPA, tidak etislah kalau
dia masih menjabat sebagai "Dubes Bisnis Keliling" yang
diperbantukan KADIN
pada Pejabat Presiden Habibie. Dia harus memilih salah satu: Ketua DPA,
atau Dubes Keliling Habibie. Merangkap kedua jabatan itu hanya akan
mengulangi kesalahan Laksamana (Purn.) Sudomo, yang mempertahankan jabatan
Ketua DPA sambil memperlancar bisnis Eddy Tanzil dan Tommy Suharto, lewat
katebelecenya ke para pimpinan BAPINDO.
Rumah-rumah keluarga Habibie di mancanegara:
--------------------------------------------------------------------
Mengikuti jejak suhunya, Suharto, keluarga besar Habibie juga punya rumah
serta properti lain di Inggris, Jerman, AS, dan Australia. Di London,
keluarga Habibie punya rumah (Tiara , 5 Des. 1993: 36) yang ditempati dua
orang adik Nudi, Mohammad Syahrullah ("Rully") Habibie (28 tahun)
dan Ade
(24 tahun). Sambil sekolah, Rully sudah mulai berfungsi sebagai calo
proyek, sedangkan Ade memilih gaya hidup junkies yang sulit dipisahkan
dari obat terlarang dan kehidupan malam. Keduanya suka terbang ke Boston,
menjenguk saudara sepupu mereka di sana, atau berkeliaran di pub, cafe,
atau diskotik di Jakarta.
Di Jerman, B.J. Habibie punya tanah dan rumah di Desa Kakerbeck di luar
kota Hamburg, propinsi Saxony Bawah, yang dibelinya ketika ia masih bekerja
di MBB. Dari situlah ia mengurus kunjungan Suharto untuk berobat di klinik
spesialis di Bad Oeynhausen, dua tahun lalu (Makka, 1986: 387; Williamson,
1998).
Selain itu, keluarga besar Habibie-Mochdar juga punya rumah di Muenchen, di
mana mereka tinggal jika salah seorang di antara mereka akan melahirkan.
Lalu, di Boston di pantai timur AS, di mana Tutut juga punya rumah tempat
tinggal ketiga putranya yang bersekolah di sana, Yayuk Habibie punya rumah
di kawasan elit kota itu, dengan nomor telepon yang dipesan khusus (dengan
biaya ekstra) yakni (1) (617) 323000. Di situ tinggal dua orang anak
laki-laki dari suami pertamanya.
Di Perth, Australia Barat, Yayuk Habibie punya rumah di 7 Tullamore Close
No. 7 di kawasan Waterford, dekat kampus Curtin University, dengan nomor
telepon (61) (8) 9450 1153. Di rumah yang relatif sederahana itulah Yayuk
dan Muchsin tinggal, dalam perjalanan hilir-mudik Jakarta - Perth beberapa
kali dalam setahun. Seorang anak Muchsin Mochdar yang masih bersekolah di
sebuah SMP swasta di Perth, tinggal di asrama.
Dengan demikian, dalam soal pemilikan properti di mancanegara, keluarga
besar Habibie sudah mendekati kekayaan keluarga besar
Suharto-Sudwi-katmono, yang tercatat memiliki dua rumah di London, dua
rumah di Beverly Hills, dekat Hollywood, satu rumah di Boston, rumah-rumah
tetirah di Kepulauan Bahama dan Cayman, serta kawasan wisata buru seluas 28
ribu hektar di Aotearoa yang oleh orang kulit putih dinamai Selandia Baru
(Aditjondro, 1998d).
Korupsi terhadap politik luar negeri Indonesia:
-----------------------------------------------------------------
IPTN, di bawah pimpinan B.J. Habibie, tidak cuma berkiprah di dalam
negeri, tapi juga aktif bergerak dalam perdagangan senjata di mancanegara.
Ketika masih bernama Nurtanio, pabrik pesawat terbang yang bermitra dengan
maskapai Jerman, MBB, digunakan oleh mitra Jermannya untuk menyalurkan 20
pesawat helikopter BO-105 kepada rezim Saddam Hussein di Irak, antara tahun
1981 s/d 1983 (Timmerman, 1992: 72).
Satu dasawarsa kemudian, IPTN menyetujui perjanjian kerjasama di bidang
penerbangan sipil dengan junta militer Burma, SLORC (Tiras , 22 Juni 1995).
Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa IPTN juga melayani kebutuhan pesawat
militer bagi SLORC. Ini berdasarkan preseden kasus Iraq, penjualan
helikopter NB-109 dan latihan militer bagi anakbuah Kolonel Rabuka yang
melancarkan kudeta di Fiji di bulan Mei 1987 (Robie, 1989: 238), serta
keberadaan pesawat angkut Spanyol CASA C-212 di Burma (Selth, 1996: 180),
yang kemungkinan dirakit IPTN.
Kemungkinan kerjasama militer IPTN-SLORC itu semakin besar mengingat bahwa
IPTN memiliki lisensi untuk merakit berbagai jenis pesawat terbang sipil
dan militer dari CASA, MBB, dan perusahaan Perancis, Aerospatiale.
Kemudian, beberapa industri militer di bawah BPIS, PT Pindad dan PT PAL,
juga punya lisensi merakit senjata api, bahan peledak militer, dan
kapal-kapal Angkatan Laut dari berbagai maskapai Belgia, Belanda, Jerman,
Perancis, Spanyol, Italia, Finlandia, Swedia, dan Swiss (Broek, 1997;
Aditjondro, 1997a).
Itu sebabnya, saya berpendapat bahwa IPTN di bawah Habibie tidak membantu
menegakkan perdamaian dunia yang adil dan beradab, di mana penjajahan satu
bangsa terhadap bangsa lain dihapuskan, seperti yang diamanatkan dalam
Pembukaan UUD 1945, melainkan membuat Indonesia menjadi ujung tombak
perdagangan senjata dari Eropa ke kawasan Asia-Pasifik. Apalagi kalau kita
lihat bahwa dalam perdagangan internasionalnya, perusahaan-perusahaan BPIS
di bawah Habibie tidak sungkan-sungkan berdagang dengan rezim-rezim yang
melanggar hak-hak asasi manusia dan menindas bangsanya sendiri, seperti
junta militer Burma dan diktator militer Fiji, Kol. Rabuka.
Kemudian, jangan kita lupakan peranan Fanny Habibie, yang sebagai Dubes RI
untuk Britania Raya dan Irlandia, lebih banyak menjalankan agenda Tutut
yang berusaha mengkooptasi sebagian tokoh Timor Leste dengan tawaran saham
pabrik semen di negeri mereka. Agenda Tutut yang dilayani Fanny Habibie
ini, berada di luar agenda Sekjen PBB. Begitu pula agenda Prabowo Subianto,
yang dengan bantuan perusahaan-perusahaan Inggris, yang terang maupun yang
gelap, mempersenjatai dan mempertinggi daya tempur Kopassus menghadapi
gerilyawan bersenjata maupun aktivis mahasiswa tak bersenjata, di masa
ke-Dubes-an Fanny Habibie.
Dengan demikian, permainan Fanny Habibie serta ekspansi bisnis BPIS, yang
lebih mementingkan keuntungan ketimbang prinsip hak-hak asasi manusia,
merupakan korupsi terhadap nilai-nilai keadilan internasional sebagaimana
ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945.
Kesimpulan:
-------------------
Dari semua contoh korupsi, kolusi, dan nepotisme keluarga besar Habibie dan
Suharto, dapat kita simpulkan bahwa Habibie memang murid "SGS"
(Super
Genius Suharto) yang pintar. Atau bahkan lebih pintar dari gurunya.
Seperti bunyi peribahasa, guru kencing berdiri, murid kencing berlari, B.J.
Habibie telah mengembangkan "ajaran" gurunya untuk mengembangkan
perusahaan-perusahaan keluarga Habibie, dengan memanfaatkan setiap
kesempatan dalam kesempitan. Karuan saja ia tidak ingin masa lalu Suharto
diungkit-ungkit, sebab itulah masa lalu dia juga.
Hubungan bisnis antara keluarga Suharto dengan keluarga Habibie, pada
mulanya seperti kuali dan tutupnya. Sebagai kuali, keluarga Suharto lebih
banyak "isinya", sementara tutup kuali, hanya terkena uap dan
bau-baunya.
Tapi berkat kepercayaan berlebihan yang diberikan Suharto kepada Habibie,
dengan jabatan sebagai Menteri Riset & Teknologi, Kepala BPIS yang
membawahi sepuluh industri strategis, Kepala Otorita Batam, Ketua Tim
Pelaksana Mega Proyek Natuna, Ketua Tim Mega Proyek Jembatan Jawa-Madura,
Ketua Tim Kerjasama Indonesia-Jepang untuk Industrialisasi Pulau Madura,
Ketua Mega Proyek Mamberamo di Irian Jaya, Ketua Tim Pembangunan Indonesia
Timur, Ketua Tim Pembangunan PLTN Muria, kemudian Ketua ICMI dengan segala
yayasan dan badan usahanya, Habibie jelas bukan tutup kuali lagi.
Habibie sudah berkembang menjadi kuali sendiri, dengan keluarga besarnya
sendiri yang dengan sendirinya juga menuntut pembagian rezeki, seperti yang
dicontohkan keluarga besar Suharto, dan dengan ekspansinya sendiri ke
mancanegara. Hampir semua adik dan kakaknya punya perusahaan keluarga yang
ikut menyusu ke puting-puting susu yang dikuasai oleh Habibie dengan sekian
banyak jabatan formalnya.
Hanya saja, yang disusui ini bukan kekayaan pribadi Habibie, melainkan uang
rakyat yang dititipkan pada Habibie, yang kemudian dihambur-hamburkan ke
mana-mana, tanpa persetujuan DPR, tanpa persetujuan Menteri Keuangan,
bahkan kadang-kadang tanpa persetujuan Angkatan-Angkatan, melainkan hanya
dengan restu Suharto, ayah angkat dan guru politiknya.
Dalam tahap kedua ini, ICMI, yang dipercayakan kepada Habibie untuk
memimpinnya, menggantikan Habibie dalam berperan sebagai tutup kuali,
dengan menjadi bumper bagi para oposan Habibie di dalam dan di luar negeri,
dengan memanfaatkan fasilitas rakyat, seperti staf diplomatik, tiket
pesawat Garuda, bahkan jatah naik haji.
Dengan menggunakan ICMI sebagai tameng, rezim Suharto-Habibie berhasil
menutupi auratnya dari berbagai bentuk korupsi dan pelanggaran hak-hak
asasi terhadap umat Islam dan umat lainnya, yang tidak dapat dikhususkan
kesalahannya kepada para birokrat dan perwira tinggi yang non- Islam.
Misalnya, skandal hutang Pertamina sebanyak 10 milyar dollar AS, yang
hampir menenggelamkan bahtera ekonomi Indonesia di akhir dasawarsa 1970-an,
yang dengan susah payah diselamatkan oleh Gubernur Bank Sentral Rachmat
Saleh, MenPan Sumarlin, serta trio jenderal Hasnan Habib, Piet Haryono, dan
Ismail Saleh (Sampson, 1987: 164-167; Pangaribuan, 1995: 38-39).
Selain membantu menguburkan skandal kredit Pertamina serta skandal kapal
Tampomas II, Dewan Pakar ICMI juga tidak pernah mempersoalkan monopoli
perjalanan haji oleh pemerintah, yang memperkaya Bambang Trihatmojo dan
Tommy Suharto dalam bisnis penyewaan pesawat haji pada Garuda, bersama tiga
orang mitra mereka, Indra Bakrie, Robby Djohan, dan Mark Thatcher, anak
bekas Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher (Pura, 1990a; Halloran dan
Hollingsworth, 1995: 230-231; Far Eastern Economic Review , 21 Sept. 1989:
71-72, 23 Agustus 23, 1990: 56; Warta Ekonomi , 23 Jan. 1995: 19, 22-23, 30
Jan. 1996; Sinar, 21 Jan. 1995: 75-76; Bursa, 13 Nov. 1995; Forum
Keadilan, 20 Nov. 1995: 36-40; The Australian, 25 Oct. 1996)..
Padahal, korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pengurusan perjalanan haji
ini, di mana ONH dari Indonesia hampir mencapai Rp 7 juta tahun 1994
sementara mereka yang terbang dengan paspor hijau dari Singapura hanya
perlu membayar Rp 4,5 juta, betul-betul merupakan pemerasan terhadap
orang-orang beriman yang tidak kaya tapi ingin sekali menunaikan rukun
Islam yang kelima (Warta Ekonomi , 9 Mei 1994: 9-10). Makanya saya dapat
memahami sikap sebagian kawan saya di Indonesia, yang menolak naik haji
sebagai protes diam-diam terhadap bentuk pemerasan ini.
Lalu, ada sederetan pelanggaran hak-hak asasi manusia, yang berada di bawah
perintah jenderal-jenderal beragama Islam, seperti pembantaian lebih dari
200 orang di Tanjung Priok, Jakarta, 12 September 1986, pembantaian lebih
dari 200 orang di Lampung, bulan Februari 1989, pembantaian 10 ribu orang
di Aceh, dari tahun 1989 s/d 1991, pembantaian empat orang petani yang
menolak pembebasan tanah mereka di Nipah, Madura, September 1993, serta
pembunuhan aktivis buruh perempuan, Marsinah, di Surabaya, Mei 1993
(Vatikiotis, 1994: 89, 128; Schwartz, 1994: 173, 248-249; Ramage, 1995:
144, 152, 190-191; Lowrey, 1996: 162-170; YLBHI, 1994; Hardiyanto dkk,
1996).
Kedua kejadian terakhir di Jawa Timur terjadi di bawah Pangdam Brawijaya,
Jenderal Hartono, sementara pembantaian di Tanjung Priok terjadi di bawah
Pangdam Tri Sutrisno.
Harap jangan salah mengerti, saya sama sekali tidak mau membela para
birokrat dan perwira tinggi yang se-agama dengan saya, dari dosa-dosa
korupsi dan pelanggaran hak-hak asasi yang mereka lakukan. Sama sekali
bukan. Tulisan-tulisan dan ceramah-ceramah saya yang kritis terhadap Benny
Murdani, Sudomo, Frans Seda, Wanandi bersaudara, dan lain-lain, cukup
dikenal oleh kawan-kawan saya di Indonesia dan mancanegara.
Apa yang saya kecam dalam tulisan ini adalah kecenderungan memberikan
pengampunan (absolusi) terhadap sejumlah birokrat dan perwira tinggi,
seperti Ibnu Sutowo, Fanny dan B.J. Habibie, serta Haryanto Dhanutirto,
dari dosa-dosa korupsi dan pelanggaran hak-hak asasi manusia, hanya karena
mereka adalah anggota kelompok agama tertentu.
Konsekuensi dari kecenderungan ini adalah bahwa kelompok agama tertentu itu
menganggap diri punya hak-hak sipil yang lebih tinggi ketimbang kelompok
agama lain, dan jelas lebih tinggi ketimbang warganegara yang menolak
campurtangan negara atas kehidupan spiritual mereka.
Buat saya, dan saya rasa, buat semua warganegara Indonesia yang berfikiran
waras, korupsi adalah korupsi, dan pelanggaran HAM adalah pelanggaran HAM,
tidak peduli siapa pun yang melaksanakannya. Itulah prinsip yang saya anut,
prinsip universal yang berlaku di dunia yang beradab.
Melenceng dari prinsip itu berarti kita masuk dalam perangkap Suharto, yang
selama tiga dasawarsa telah membuktikan kemahirannya mengadu-domba
masyarakat sipil di Indonesia atas dasar ras, etnisitas, agama, dan faham
politik, sehingga dia dapat tetap berkuasa dan membangun oligarki bersama
orang yang sekarang dia percayai mengambil alih jabatan presiden dari
dirinya, di saat-saat puncak demonstrasi mahasiswa, 21 Mei lalu.
Mencopot Fanny Habibie, Sudarsono Darmosuwito, dan Subagyo dari Otorita
Batam serta Iqbal Akbar Habibie dari jabatan Pimpro N-2130 di IPTN belumlah
cukup untuk mengurangi citra "KKN" keluarga besar Habibie.
Masih banyak lagi yang perlu dicopot, seperti Truly Sutrasno dari jabatan
Deputi Ketua BPPT serta kepala proyek kerjasama BPPT dengan lembaga-lembaga
riset IPTEK Australia (COSTAI), Nyonya Ainun Habibie dari jabatan Ketua
Yayasan Orbit, dan Laksamana Muda (Purn.) Abu Hartono dari jabatan Presiden
Komisaris Repindo Panca.
Juga hubungan-hubungan khusus antara IPTN dengan PT Prodin yang dipimpin
Thariq Kemal Habibie serta PT DSTP yang dipimpin Suharto, Saadillah Mursyid
dan Giri Suseno, perlu segera ditinjau kembali, mengikuti contoh Pertamina,
PLN dan para gubernur yang telah mengakhiri kontrak-kontrak khusus dengan
ratusan perusahaan milik keluarga besar Suharto.
Juga, kalau keluarga besar Habibie betul-betul lebih bersih dari
"KKN"
ketimbang keluarga besar Suharto, mari kita buka kembali skandal Tampomas
II, skandal pembelian 39 kapal bekas armada Angkatan Laut Jerman Timur,
serta skandal pembelian 32 pesawat Boeing 737-200 lungsuran Lufthansa,
skandal korupsi di IPTN, dan skandal korupsi di PT Krakatau Steel. Kalau
perlu, seluruh skandal korupsi 10 milyar dollar di Pertamina, yang pasti
cukup banyak diketahui oleh B.J. Habibie saat ia menerima jabatan kepala
Divisi Advanced Technology Pertamina dari Ibnu Sutowo tahun 1974, dibuka
kembali.
Hanya dengan demikian sinyalemen Indonesianist muda dari AS, Jeffrey
Winters, bahwa Habibie hanya meneruskan tugas Ibnu Sutowo untuk mengamankan
harta Suharto di luar negeri (1998), dapat dibuktikan ketidakbenarannya.
Tindakan-tindakan ini akan sekaligus menguji keseriusan komitmen Habibie
pada penegakan hukum tanpa pilih bulu.
Kendati demikian, saya sependapat dengan Albert Hasibuan dalam wawancaranya
dengan Tempo Interaktif , bahwa hanya penyidikan oleh instansi yang
betul-betul independen (tidak di bawah wewenang Habibie maupun Suharto)
terhadap semua perusahaan negara, perusahaan swasta, serta yayasan yang
masih atau pernah dipegang oleh Habibie, isteri, serta segenap sanak
saudaranya, dapat melunturkan citra "KKN" keluarga besar ini.
(bersambung)
----- End of forwarded message from George J. Aditjondro -----
<A HREF=http://www.uni-stuttgart.de/indonesia/>Indonesia Daily News
Online</A><HR>
#-----------------------------------------------------------------#
#-----------------------------------------------------------------#
Received on Thu Jul 2 05:21:57 MET DST 1998
DARI PARE-PARE SAMPAI KE JERMAN:
Kisah korupsi, kolusi, dan nepotisme keluarga besar Habibie (VIII)
G. J. Aditjondro
Sebaliknya, penyidikan semacam itu justru dapat menguakkan apa yang selama
dua tiga dasawarsa merupakan kerajaan yang tertutup bagi orang luar, namun
terbuka selebar-lebarnya bagi anggota klannya sendiri, bagaikan suatu
kerajaan Mafia Sicilia.
Untuk itulah saya himbau gerakan anti-korupsi di Indonesia untuk membagi
perhatian pada Habibie, yang tiba-tiba kejatuhan pulung menjadi orang No. 1
di negeri berpenduduk terbesar keempat di dunia.
Saya juga mendukung himbauan berbagai organisasi kepemudaan, yang menuntut
pemerintahan transisi ini segera membeberkan kekayaan para pejabat, serta
asal-usul kekayaan itu.
Di samping itu, saya juga menantang keluarga besar Habibie untuk
mengembalikan sebagian keuntungan hasil "kerja keras" keluarga
besarnya, ke
sebuah kas rakyat untuk membantu meringankan beban rakyat. Sekaligus agar
anak-cucu kita terhindar dari kewajiban membayar pokok dan bunga pinjaman
dari IMF, yang perjanjiannya ditandatangani oleh Suharto dan Ginanjar
Kartasasmita, tanpa meminta persetujuan DPR-RI, yang bertentangan dengan
Pasal 23 UUD 1945.
Pengembalian sebagian kekayaan keluarga besar Habibie ini akan membuktikan,
bahwa mereka lebih loyal kepada bangsa Indonesia, ketimbang kepada bangsa
Jerman yang maskapai-maskapai raksasanya telah ikut mereka untungkan selama
dua dasawarsa.
Pendek kata, kini giliran Suharto dan antek-anteknya untuk mengencangkan
ikat pinggang mereka, dengan mengembalikan bermilyar-milyar dollar hasil
jarahan mereka. Janganlah hutang IMF, Bank Dunia, dan entah badan asing
apalagi dibebankan kepada orang kecil, yang dari zaman ke zaman selalu
harus menderita.
Puri Baru, 1 Juli 1998.
Kepustakaan:
------------------
Aditjondro, G.J. (1983). "Pecat dan peras di belantara Jayapura,"
Berita
Oikoumene , 19 Februari, hal. 25-28.
---------------- (1994). In the shadow of Mount Ramelau: the impact of the
occupation of East Timor. Leiden: INDOC.
---------------- (1995). Bali, Jakarta's colony: social and ecological
impacts of Jakarta-based conglomerates in Bali's tourism industry. Working
Paper No. 58. Perth: Asia Research Centre, Murdoch University.
--------------- (1996a). "Man with the right mates," The West
Australian, 3 Jan.
--------------- (1996b). On the brink of a major constitutional, economic
and ecological disaster: the major implications of Indonesia's nuclear
ambitions. Makalah untuk konferensi International NGO Forum on Indonesian
Development (INFID) dan Greenpeace International di Sydney, Australia, 24
April.
-----------(1996c). "Big carrots used in Indonesia's diplomatic policy
on
East Timor," The Nation, Bangkok, Monday, 14 Oktober.
-----------(1997a). "A poisoned 30th birthday present for ASEAN:
Suharto's
intimate relationships with the Burmese military junta," dalam Ralpj
Bachoe
dan Debbie Stothard (penyunting). From consensus to controversy: ASEAN's
relationship with Burma's SLORC. Bangkok: Alternative Asean Network on
Burma (ALTSEAN-BURMA), hal. 37-47.
-----------(1997b). "Suharto and his family: the looting of East
Timor,"
Green Left Weekly, 3 September.
-----------(1997c). "The globalization of Suharto's East Timor
diplomacy: a
political economy perspective," Estafeta , Vol. 3/No. 2, Mei-September,
hal. 46-54.
------------(1998a). "Suharto & sons: crony capitalism, Suharto
style,"
Washington Post, 25 Januari.
----------(1998b). "Autumn of the patriarch: the Suharto grip on
Indonesia's wealth," Multinational Monitor , Januari-Februari, pp.
17-20,
34.
----------(1998c). "Soeharto Inc.," Sydney Morning Herald, 5
Februari.
----------(1998d). "Suharto Inc.", Weekend Australian , 30-31 Mei.
Borsuk, Richard (1992). "Suharto-linked monopolies face
criticism," Asian
Wall Street Journal , Hong Kong, 26 March.
Broek, Martin (ed) (1997). Indonesia: arms trade to a military regime.
Amsterdam: ENAAT (European Network Against Arms Trade).
CISI (1997). Profiles of 800 major non-financial companies in Indonesia,
1997/1998. Jakarta: PT CISI Raya Utama, 538-539, 32A, 58A-59A, 86A, 128A,
164A, 192A, 228A-240A, 254A-258A, 298A-289A, 338A.
Cohen, Margot (1996). "Auction fever: keeping up with the
Sudwikatmonos,"
Wall Street Journal , 3 Oktober.
Company Profile Repindo Panca Group. Jakarta, 1994.
Crouch, Harold (1988). The army and politics in Indonesia. Ithaca: Cornell
University Press.
Datatrust, 1986. Reference book on Indonesia's major business groups.
Jakarta: Datatrust Inc.
Friedland, Jonathan (1988). "Jakarta's Rockefellers: Bimantara strives
to
become a national asset," Far Eastern Economic Review , 24 November,
hal.
80-82.
--------------- (1989). "Stepping out in public: Indonesia's Bakrie and
Brothers to list holding company," Far Eastern Economic Review , 6
Juli,
hal. 50-51,
Hardiyanto, Andik, Anshori, Munir, dan Dadang Trisasongko (1996). Sengkok
cinta tang disa ma'e tembak. Surabaya: Lembaga Bantuan Hukum Surabaya.
Hiscock, Geoff (1998). "All the way with B.J.," The Australian ,
24 Maret.
Halloran, Paul dan Mark Hollingsworth, 1995, Thatcher's gold: the life &
times of Mark Thatcher. London: Simon & Schuster.
Jones, Steven and Raphael Pura, 1986. "Suharto-linked monopolies hobble
economy," Asian Wall Street Journal, 24 November.
Kompass Indonesia (1988). Indonesia's top 1000 companies. Jakarta: Kompass
Indonesia.
Lauw, Andreas (1998). "Perspektif bisnis asuransi tahun 1998,"
Informasi ,
Januari, Jakarta: PDBI, hal. 30-41.
Loveard, Keith (1996). "Suharto's son rises," Asiaweek, April 12,
pp. 34-40.
Lowry, Robert (1996). The armed forces of Indonesia. Sydney: Allen & Unwin.
Magenda, Burhan (1991). East Kalimantan: the decline of a commercial
aristocracy. Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project.
Makka, A. Makmur (1986). Setengah abad Prof. Dr.-Ing. B.J. Habibie.
Jakarta: Biro Hukum dan Humas BPP Teknologi.
Manguno, Joseph P. (1981a). "Suharto choice of reactor supplier angers
bidders, government aides," Asia Wall Street Journal, 12 Agustus.
------------- (1981b). "Project shows how Jakarta handles bids,"
Asia Wall
Street Journal , 13 Agustus.
Mas'oed, M. (1996). "Analisa politik peristiwa Dhanutirto,"
Istiqlal , 4
Januari.
May, Brian (1981). The Indonesian tragedy. Singapore: Graham Brash (Pte)
Ltd.
McDonald, Hamish (1980). Suharto's Indonesia. Fontana Books.
Pangaribuan, Robinson (1995). The Indonesian State Secretariat 1945-1993.
Perth: Asia Research Centre, Murdoch University.
Panji Masyarakat , 7 Juni 1998.
Pour, Julius (1993). Benny Moerdani: profil prajurit negarawan. Jakarta:
Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman.
PDBI (1997). Conglomeration Indonesia. Third Edition. Vol. 2. Jakarta:
Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI), hal. A-533, A-958-A962.
Prawoto, Agus (ed) (1995). Direktori asuransi (Insurance directory)
Indonesia 1995. Jakarta: Direktorat Asuransi, Direktorat Jenderal Lembaga
Keuangan, Departemen Keuangan, hal. 149.
Properti Indonesia , Oct. 1994, hal. 21-23.
Prospek , 15 Juni 1998, hal. 6-9, 38-39.
Pura, Raphael, 1990a."Indonesia's Bimantara tries to revamp
image," Asian
Wall Street Journal , 17 September.
Robie, David (1989). Blood on their banners: nationalist struggles in the
South Pacific. Sydney: Pluto Press.
Robinson, Paul, Sue Hewitt dan Ian Munro (1997). "Casino -- the biggest
game in town," Sunday Age, Melbourne, 6 April.
Robison, Richard (1990). Power and economy in Suharto's Indonesia. Manila
and Wollongong: Journal of Contemporary Asia Publishers.
Salam, Solichin (1987). B.J. Habibie, mutiara dari Timur. Jakarta: PT
Inter-masa.
Sampson, Anthony (1987). The money lenders: bankers in a dangerous world.
Coronet Books.
Selth, Andrew (1996). Transforming the Tatmadaw: the Burmese armed forces
since 1988. Canberra: Strategic and Defence Studies Centre, Research School
of Pacific and Asian Studies, The Australian National University.
Smith, Shannon L.D. (1996). Developing Batam: Indonesian political economy
under the New Order. Tesis Ph.D. pada ANU di Canberra.
-------- (1998). "Habibie in Soeharto's business shadow,"
Australian
Financial Review , 1 Juni.
Soetriyono, Eddy (1988). Kisah sukses Liem Sioe Liong. Jakarta: Indomedia.
Timmerman, Kenneth R. (1992). The death lobby: how the West armed Iraq.
London: Fourth Estate.
Toohey, Brian (1990). "Warren's Indonesian mates," The Eye ,
December
Quarter, hal. 6-9.
WALHI (1998). Habibie harus mengembalikan Dana Reboisasi lebih dari 1
trilyun Rupiah. Siaran Pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI),
Jakarta, 28 Mei.
Walters, Patrick (1995a). "Suharto family's role in transport project
draws
fire," The Australian , 27 Juni.
----------- (1995b). "Suharto cautions MPs on funds' use," The
Australian ,
30-31 Des. 1995.
----------- (1996). "Indonesia accused of muzzling Muslims," The
Australian ,
Wibisono, Thomas (1995). "Timsco Group: bisnis Suyatim Abdulrachman
Habibie," Informasi, Januari. Jakarta: PDBI.
--------------(1997a). "Profil bisnis ARHA Group," Informasi ,
September.
Jakarta: PDBI, hal. 40-
-------------- (1997b). "Profil bisnis Trimitra Upayatama Group,"
Informasi
, September. Jakarta: PDBI, hal. 45-49.
--------------, Christianto (1996). "DSTP, TPN & Indonesia Inc.,"
Forum
Keadilan , 25 Maret, hal. 56.
Williamson, Hugh (1998). "Habibie nutzt deutsches Image fuer seinen
Machtausbau," Die Tageszeitung , Koeln, 10 Maret.
Winters, Jeffrey (1998). Notes on Habibie. 1 Maret.
YLBHI (1994). Laporan pendahuluan Kasus Pembunuhan Marsinah. Jakarta: Tim
Pencari Fakta Pembunuhan Marsinah, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI).
----------------------------------------------------------------------------
--------------------------------
Lampiran I: Susunan keluarga besar Habibie, yang terlibat dalam berbagai
bisnis keluarga besar Habibie dan Suharto (lihat teks utama)
----------------------------------------------------------------------------
------------------------
I. Orangtua BJ Habibie:
----------------------------------------------------------------------------
------------------------
1. R.A. Tuti Marini Puspowardoyo Habibie (alm.), Ibu B.J. Habibie.
----------------------------------------------------------------------------
------------------------
II. Saudara-saudara kandung B.J. Habibie:
----------------------------------------------------------------------------
------------------------
1. Sri Sulaksmi (Titi) Habibie, kakak perempuan sulung B.J. Habibie.
2. Satoto Moh. Duhri (Toto) Habibie, abang B.J. Habibie yang tertua.
3. Alwini Karsum (Wenny) Habibie, abang B.J. Habibie.
4. Junus Effendy (Fanny) Habibie, adik B.J. Habibie.
5. Sri Rejeki Habibie, adik perempuan B.J. Habibie
6. Sri Rahayu Fatima (Yayuk) Habibie, adik perempuan bungsu B.J. Habibie.
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------
III. Isteri B.J. Habibie: dr. Ny. Ainun Bestari-Habibie.
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------
IV. Anak-anak B.J. Habibie:
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------
1. Dr. Iqbal Akbar Habibie, putra sulung B.J. Habibie.
2. Thariq Kemal Habibie, putra bungsu B.J. Habibie
----------------------------------------------------------------------------
---------------------------
V. Ipar B.J. Habibie dan ipar saudara B.J. Habibie:
----------------------------------------------------------------------------
--------------------------
1. Ir. M.N. Besari, kakak Ny. Ainun Besari-Habibie
2. Isteri Timmy Habibie (belum diketahui namanya)
3. May.Jen. (Purn.) Subono Mantofani, suami Titi Habibie.
4. May.Jen. (Purn.) Sudarsono Darmosuwito, suami Sri Rejeki Habibie
5. drg. Meike Mariam Habibie, isteri Fanny Habibie.
6. Santoso, adik Meike Mariam Habibie.
7. Muchsin Mochdar, suami Yayuk Habibie.
8. Aziz Mochdar, abang Muchsin Mochdar
9. May.Jen. (Purn.) Z.A. Maulani
----------------------------------------------------------------------------
-------------------------
VI. Keponakan-keponakan B.J. Habibie:
----------------------------------------------------------------------------
--------------------------
1. Dra. Trulyanti ("Truly") Sutrasno, M. Psi., anak sulung Subono
Mantofani.
2. Adrie Nurmianto Subono, putra tertua Subono Mantofani.
3. Syulie Subono, putri kedua Subono Mantofani.
4. Askar Subono, putra kedua Subono Mantofani
5. Syani Subono, putra bungsu Subono Mantofani.
6. Sutjipto Sudarsono, putra Sudarsono Darmosuwito
7. Harry Sudarsono, putra Sudarsono Darmosuwito
8. Dewi Sri Rejeki, putri Sudarsono Darmosuwito
9. Nudi Habibie, putra Fanny Habibie
10. Muhammad Syahrullah ("Rully") Habibie, putra Fanny Habibie
11. Ade Habibie, putra Fanny Habibie
----------------------------------------------------------------------------
-------------------------------
VII. Para menantu saudara kandung B.J. Habibie:
----------------------------------------------------------------------------
-------------------------------
1. Moh. Ridwan Sutrasno, suami Truly Subono
2. Eddie Wirija, suami Syulie Subono.
----------------------------------------------------------------------------
--------------------------------
VII. Para anak dan menantu Z.A. Maulani:
----------------------------------------------------------------------------
--------------------------------
1. Haryogi Maulani, putra ZA Maulani
2. Olga Maulani, putri ZA Maulani & isteri Sutjipto Sudarsono
3. Eko .........., menantu ZA Maulani
----------------------------------------------------------------------------
--------------------------------
Lampiran II: Daftar perusahaan keluarga Habibie
---------------------------------------------------------------------------
I. Kelompok Timsco pimpinan Timmy Habibie:
----------------------------------------------------------------------------
No. Nama perusahaan (perusahaan kongsinya)
----------------------------------------------------------------------------
01. Aerogeohydro Infosystem (Citra)
02. Alpha Tanjung Tangki (Salim, Sinar Mas, Panadia)
03. Astaguna Jaya Perkasa
04. AT&T Network System Indonesia (Citra)
05. Bahtera Yasa Cakrawala
06. Balaimas Inti Pratama
07. Baruna Adidharma Perkasa
08. Baruna Adiwisesa Perkasa
09. Batam Aircraft Maintenance (Salim, Humpuss, IPTN,
Yayasan Adi Upaya TNI/AU)
10. Batamindo Investment Corp. (Salim, Bimantara)
11. Batamindo Executive Village (Salim, Bimantara)
12. Batamindo Shipping & Warehousing
13. Bauer Pratama Indonesia
14. Bimatama Dharma Perkasa (Bimantara)
15. Bina Citra Mayapada
16. Bina Sumber Kimia (Salim, Sinar Mas)
17. Bintan Perkasa Development (Titiek Prabowo)
18. Buana Bangunsemesta
19. Buana Teledatamas Systemindo
20. Cahaya Aneka Kimia Perkasa (Salim, Sinar Mas, Panadia)
21. Cakratama Mandiri
22. Camatha Sahidya
23. Cendana Buana Jaya
24. Cinta Nusa Indah
25. Citratama Dianmas
26. Citra Harum Manis (Panadia, Bimantara)
27. Citra Telekomunikasi Indonesia (Citra)
28. Dwimas Intiwisesa
29. Engineering Testing & Research Services
30. Firmanjaya Abadi
31. Gawang Mandiri
32. Gema Kreasi
33. Griya Nusa Indah
34. Griya Rekatama Asri
35. Habindo Satria Perkasa (Satoto Habibie)
36. Hercules Mas Indonesia (Salim, Sinar Mas, Panadia)
37. Herwindo Rintis (Salim, Bimantara)
38. Indochlor Prakarsa Industries (Salim, Bimantara)
39. Indoglass Era Citra Industries (Salim, Bimantara)
40. Indokemika Jayatama (Sinar, Panadia)
41. Indolin Power
42. Indopolymer Eracitra
43. Indoterminal Batamindo (Salim)
44. Indoterminal Citra (Salim)
45. Intra Maha Matra
46. Jayagemilang Lestari (Sinar Mas)
47. Karya Citra Fajar
48. Karya Dunia Makmur
49. Lucent Technologies Networks Systems (Citra)
50. Makuta Jaya Sakti
51. Megayasa Intranusa
52. Menarakarsa Gemilang
53. Milas Citrainti (Salim, Panadia)
54. Mitrajaya Wiraniaga (Salim, Bimantara)
55. Nabicon
56. Nuansa Dhuha Salman
57. Nusadata Komunikatama
58. Nusa Piranti Kimia
59. Pacific Indosino
60. Panadia Indah Dirgantara (Panadia)
61. Pelitamas Mekar
62. Perak Timur Permai
63. Perdana Pranata Fisheries
64. Perdana Pranata Sukses
65. Perkasa
66. Pratama Borindo Nuansa
67. Pratama Sejati Guna
68. Pratmanusa Gemilang
69. Pusaka Sukses Makmur
70. Putramas Prima Perkasa (Salim, Sinar Mas)
71. Redeco Petrolin Utama (Bimantara)
72. Rekatama Ardi Yasa
73. Rodamas Makmur Motor (Salim, Rodamas)
74. Rumah Sakit Barelang
75. Saltim (Salim)
76. Sangga Rimba Makmur
77. Sarana Teljaya
78. Satomo Indovyl Monomer (Sumitomo, Salim,
Sinar Mas, Panadia, Bimantara)
79. Satomo Indovyl Polymer (idem)
80. Sempurna Caturguna (Salim, Bimantara)
81. Sepatim Batamtama
82. Sigcon Pratama
83. Sigcon Pratama Raya
84. Sinar Culindo Perkasa (Salim, Sinar Mas, Batara Indra)
85. Southlinks Country Club (Batamindo Executive Village)
86. Standard Toyo Polymer (Salim, Sinar Mas, Bimantara)
87. Suhamthabie Utama
88. Sulfindo Adiusaha (= No. 78)
89. Sumitomo Wiring System Batam (Salim, Sumitomo,
Bimantara)
90. Syabata Cemerlang
91. Tamayasa Sentramarine
92. Tamsa Rexina Tubulars
93. Taruna Dinamika Citrindo
94. Timsco Agramentari
95. Timsco Barelang
96. Timsco Development Corporation
97. Timsco Indonesia
100. Timsco Indonesia Bandung Mas
101. Timsco Multi Buildscon
102. Timsco Pacific Manunggal
103. Wahana Amerta Perkasa
104. Wahana Citra Permana
105. Wahana Esa Sambadha Sejati
106. Wahanasarana Buana
107. Wahanasarana Buana Raya
108. Waringin Dutagraha
109. Usaha penerbitan Tabloid Adil, Tabloid Gita,
Tabloid Muda Musika & Majalah Ummat (Abdi Bangsa)
110. Perusahaan-perusahaan taksi di P. Batam
----------------------------------------------------------------------------
--------------------------------
(bersambung)
----- End of forwarded message from George J. Aditjondro -----
<A HREF=http://www.uni-stuttgart.de/indonesia/>Indonesia Daily News
Online</A><HR>
#-----------------------------------------------------------------#
#-----------------------------------------------------------------#
Received on Thu Jul 2 05:24:49 MET DST 1998
DARI PARE-PARE SAMPAI KE JERMAN:
Kisah korupsi, kolusi, dan nepotisme keluarga besar Habibie (IX)
G. J. Aditjondro
II. Kelompok perusahaan di bawah
Sudarsono Darmasuwuto & Sri Rejeki Habibie (kongsi):
----------------------------------------------------------------
01. Persero Batam
02. Spinindo Mitradaya
03. Spinindo Mitradaya Batam (PT Persero Batam, PT Spinindo Mitradaya &
100 anggota KADIN Batam)
04. Citra Lingkungan Lestari
05. Indotri Mandiri Sakti
06. Batam Island Country Club
07. Wireforms A.N. (Batam) Indonesia (Wireforms Pte. Ltd., Singapura)
08. LHK Electronics Jaya Indo (LHK Electronics Pte. Ltd., Singapura)
09. Yayasan Keluarga Batam
10. Forum Koordinasi Kesejahteraan Sosial
(FKKS) Batam
-------------------------------------------------------------------
III. Kelompok perusahaan Agus Alwi Habibie:
-------------------------------------------------------------------
01. Tri Sukses Jembertama
02. Ohmon Internusa Development
-------------------------------------------------------------------
IV. Kelompok perusahaan milik Ilham Akbar & Thariq Kemal Habibie (kongsi):
-------------------------------------------------------------------
01. Adhya Bumi Batam
02. Anugerah Nusa Indotama
03. Asuransi Wuwungan (keluarga Wuwungan & kel. Pusponegoro)
04. Batharad Germanusa
05. Batamindo Investment Corporation (Salim, Bimantara)
06. Batamindo Executive Village (Salim, Bimantara)
07. DB Leasing Indonesia (Deutsche Bank)
08. Deutsche Real Estate Indonesia
09. Golden Beach Resort
10. Griya Rekatama Asri
11. Guntner Indonesia
12. Herwindo Rintis (Salim, Bimantara)
13. Humpuss Elektronika (Humpuss, Kel. Radius Prawiro)
14. Ilthabi Rekatama
15. Kosaindo Tamarin Santana
16. Lipun Leisure Estate
17. Maskapai Reasuransi Indonesia (Dharmala, Bumiputera, Panin, d.l.l.)
18. Narendra Trimitra Citra
19. Nonga Point Marina
20. Nongsapura Wahanabahari
21. Selaras Techno Medicatama
22. Tamarin Santana
23. Teknik Tadakarya Sumberkarya
24. Telaga Pungkur Indah
25. Trimitra Amansari Saptama Karumindo
26. Trimitra Upayatama
27. Tubindomitra Perkasa
---------------------------------------------------------------------
V. PT Produksi Indonesia (Prodin) pimpinan Thariq Kemal Habibie:
---------------------------------------------------------------------
Kongsi dengan Salim, Sinar Mas, Ciputra, Bakrie, Bukaka, dan lain-lain
---------------------------------------------------------------------
VI. Kelompok Repindo Panca pimpinan Thariq Kemal Habibie (kongsi):
---------------------------------------------------------------------
01. Anugerah Nusa Indotama
02. Asih Eka Abadi
03. Batharad Germanusa
04. Gapura Puteranugra (Puteraco)
05. Kalimasada Pusaka
06. Megayasa Rekabuana Repindo
07. Mirangga Transindonusa (Tugu)
08. Nugra Santana Air Service (Nugra Santana)
09. Repindo Bumipersada
10. Repindo Global Transportasi
11. Repindo Guna Transportasi
12. Repindo Impreza International
13. Repindo International
14. Repindo Lintas Nusa
15. Repindo Mitra Abadi
16. Repindo Multimedia Pratama
17. Repindo Panca
18. Repindo Wahana Satria
19. Repindogaung Persada
20. Repindoluri Rekatama
21. Repindoraya
22. Sarana Banumas
23. Trigana Air Service
---------------------------------------------------------------------
VIII. Kelompok bisnis Ilham Akbar Habibie:
---------------------------------------------------------------------
01. Inspirasi Insan
---------------------------------------------------------------------
IX. Kelompok perusahaan Yayuk Habibie &
Muchsin Mochdar (kongsi)
---------------------------------------------------------------------
01. Adhya Bumi Batam
02. Citra Harapan Abadi
03. DB Leasing Indonesia
04. Deutsche Real Estate Indonesia
05. Golden Beach Resort
06. Guntner Indonesia
07. Hyundai Citra
08. Kosaido Tamarin Santana (Nugra Sentana)
09. Lipun Leisure Estate
10. Narendra Trimitra Citra
11. Nongsa Point Marina (Citramas, Nugra Santana)
12. Nustra Tours & Travel (Bimantara)
13. Selaras Techno Medicatama
14. Tamarin Santana
15. Teknik Tadakara Sumberkaya
16. Trimitra Amansari Saptama Karumindo
17. Trimitra Upayatama
18. Bengkel mobil mewah di Perth
19. Perkebunan jeruk 200 Ha di Australia Barat
--------------------------------------------------------------------
X. Kelompok perusahaan Kel. Subono Mantofani:
--------------------------------------------------------------------
01. Adhya Bumi Batam (Bangun Tjipta Sarana)
02. Batharad Germanusa
03. Buana Bangunsemesta.
04. Java Musikindo
05. Citra Mantofani
06. Putralino Persada
07. Amelia
08. Pasar Minggu
09. Pratama Sejati Guna
10. Wahana Amerta Perkasa
--------------------------------------------------------------------
XI. Kelompok Medco di mana Ir. M.N. Besari punya saham:
--------------------------------------------------------------------
01. Meta Epsi Engineering: holding company Medco Group.
02. Metatani Natuna
03. Ciptatani Kumai Sejahtera
04. Metatani Mandang Sejahtera
05. s/d 62: anak-anak perusahaan lain di Indonesia & mancanegara.
----- End of forwarded message from George J. Aditjondro -----
From: Stephanus Kristanto <aban...@yahoo.com>
To: apak...@indo-news.com
SURABAYA -- Merasa dianaktirikan perusahaan, sejumlah karyawan Bank
Dagang Nasional Indonesia9BDNI) Surabaya menggelar aksi unjuk rasa,
kemarin. Mereka menuntut agar dihapuskan sistem diskriminasi perlakuan
antara karyawan pribumi dan suku Tionghoa.
Mereka menduga perlakuan serupa juga banyak terjadi di berbagai bank
swasta yang lain. Tak hanya itu, standar gaji pun dibedakan. Mereka
yang pribumi standar gajinya selalu lebih rendah ketimbang keturunan
Tionghoa meskipun jenjang kepangkatan dan golongannya sama.
Dalam aksi di BDNI Cabang Kembang Jepun, sebagian karyawan mengaku
kecewa karena pengangkatan calon karyawan pribumi acapkali mengalami
hambatan. Sebaliknya, calon karyawan suku Tionghoa justru relatif
lebih mudah. Kemudahan yang sama juga menyangkut soal karier.
Harian Republika 2 Juli 1998
<A HREF=http://www.uni-stuttgart.de/indonesia/>Indonesia Daily News
Online</A><HR>
#-----------------------------------------------------------------#
#-----------------------------------------------------------------#
Received on Thu Jul 2 06:50:58 MET DST 1998
From: Ayang Kurnia <ayang...@hotmail.com>
To: apak...@indo-news.com
Tanjungpriok, 14 Tahun yang
Lalu
Aksi penembakan yang masih perlu diusut menyalahi
prosedur atau tidak, dan lebih penting berapa
sebenarnya jumlah korban dan di mana kuburnya,
menempel pada Peristiwa Priok sampai sekarang.
Mereka menuntut itu dijelaskan, dan yang bertanggung
jawab diadili.
PERISTIWA Tanjungpriok, berapa persis korbanmu? Hingga
kini tak jelas. Mungkin pemerintah menyebut angka 19 orang.
Tapi, berbagai kesaksian yang kemudian muncul, apalagi
sekarang di masa yang disebut sebagai zaman reformasi,
menyebut-nyebut angka 200-an korban.
Peristiwanya itu sendiri pun masih belum sangat jelas.
Menurut Panglima ABRI (Pangab) kala itu, Jenderal Benny
Moerdani, satu regu pasukan (15 orang) harus menghadapi
massa yang mengamuk yang berjumlah 1.500 orang di by
pass kawasan Priok. Usaha persuasif gagal, dan massa tetap
berteriak-teriak mendesak maju. Tembakan peringatan
dilakukan, tapi "Mereka terus menyerang dengan
mengayun-ayunkan celurit dan berusaha merebut senjata
petugas," tutur Benny dalam sebuah konferensi pers, Kamis,
13 September 1984, 14 jam setelah peristiwa terjadi (lihat
TEMPO, 22 September 1984).
Menurut Jenderal Benny pula, peristiwa itu didalangi oleh Amir
Biki, Syaripin Maloko, dan M. Natsir. Mereka secara berkala
mengadakan ceramah di Rawabadak, "Secara sepihak
melontarkan kritik yang tidak sehat kepada sebagian pejabat
pemerintah maupun pemerintah sendiri."
Tapi, kenapa mereka bergerak? Di situlah tidak jelasnya. Ada
yang bilang gara-gara ada hansip masuk musala tanpa
melepas sepatu. Maka, warga marah dan membakar
motornya. Yang dibilang hansip ternyata Serma Hermanu. Ia
masuk musala? Benar, tapi dengan melepaskan sepatu. Ia
berniat meminta para pemuda yang berkumpul di situ untuk
melepaskan poster di dinding musala yang isinya mengajak
para wanita mengenakan pakaian Islam, termasuk jilbab.
Permintaan Hermanu ditolak.
Esok siangnya, Hermanu melihat poster masih ada, lalu
mencelupkan koran ke air selokan, dan mengusapkannya ke
poster, mencoba menghapus tulisannya. Warga setempat pun
marah, ada yang membakar motornya. Empat orang
kemudian ditangkap dan ditahan di Kodim Jakarta Utara.
Itulah awal kemarahan massa, karena permintaan agar pihak
kodim melepaskan empat kawan mereka yang ditahan tak
mendapat tanggapan. Lalu, terjadilah aksi massa itu.
Seorang saksi mata yang bisa ditemui D&R kemudian
membeberkan yang ia lihat dan alami. Yusron, kala itu 20
tahun, salah seorang korban dan saksi hidup Peristiwa
Tanjungpriok, 12 September 1984. Ia kala itu pengurus Ikatan
Pelajar Muhammadiyah (IPM) cabang Koja, Jakarta Utara.
Berikut penuturannya, ketika gerakan massa itu dimulai.
Kesaksian Yusron
"Saya, setelah mendapatkan perintah akan sama-sama ke
kodim, sempat pulang dulu ke rumah. Setelah itu, saya
menuju ke kodim. Massa sudah jalan, saya masih berusaha
mengejar massa. Saya berdiri di depan gereja supaya massa
tidak merusak gereja di dekat SMP 30. Massa terus jalan
agak ke depan, saya lari ke depan lagi, sampai di depan,
tepatnya di Jalan Yos Sudarso.
Petugas sudah membuat barikade dua lapis. Dua lapis itu
tentara semuanya. Pada malam itu, saya tidak melihat
seorang pun polisi yang bertugas. Tentara itu bersenjata
lengkap tanpa tameng. Artinya yang dikerahkan bukan
pasukan antihuru-hara. Sampai di sana tidak ada negosiasi
apa pun, langsung terjadi kontak (bentrok langsung) antara
massa dan petugas. Petugas langsung bereaksi saat melihat
massa, salah seorang di antaranya, belakangan saya tahu
bernama Kapten Sriyanto, teriak mundur.
Mereka mundur dua langkah, dan langsung menembaki
massa. Tembakan itu langsung diarahkan ke tubuh massa.
Saya mencoba bilang pada massa dengan cara berteriak,
tiarap. Tetapi, saat massa tiarap, justru tembakan diarahkan
ke bawah. Para tentara itu maju mendatangi massa yang
berusaha tiarap.
Ada seorang persis di sebelah saya; saya ingatkan supaya ia
tidak lari. Saat itu, saya tiarap di antara massa ada yang
sudah luka. Saya sendiri baru sadar kalau saya sudah luka
dan dalam beberapa menit kemudian dada saya, punggung,
dan tangan sudah luka tertembak. Karena itu, tangan saya
terus saya tempelkan ke dada. Kalau saya lepas, darahnya
bisa muncrat. Jadi, saya pegang terus.
Mungkin ketakutan, orang di sebelah saya tadi lari. Begitu dia
lari, dihantam oleh tiga orang dengan tembakan beruntun, dan
ia roboh persis di depan saya. Ketika itu, saya masih tiarap
dan masih ketakutan. Lalu, dari arah utara ke arah selatan
truk ABRI itu melewati massa yang saat itu juga masih tiarap.
Dari atas truk itu juga ABRI melakukan tembakan.
Itu saya lihat benar-benar, saya melihat apinya.... Saya sudah
membayangkan pada malam itu saya juga akan terlindas truk
itu. Di Jalan Yos Sudarso yang bisa saya lihat, ada tiga truk.
Pada saat itu saya sempat berdoa supaya saya pingsan, agar
tidak melihat adegan-adegan yang menyeramkan.
Tetapi, Allah tidak memberi saya pingsan. Maka, saya
saksikan orang-orang dilindas truk, dan dari atas truk tentara
itu menembaki massa yang tiarap. Ya, Allah, saya sudah
pasrah. Sampai di sinilah umur saya, tetapi ternyata truk itu
berhenti sekitar tiga meter dari tempat saya tiarap.
Saya diseret. Ada tentara yang mengatakan, ‘Ini masih hidup.’
Lalu, kepala saya diinjak. Senapan diarahkan dan berada di
kepala saya. Bunyinya persis di sebelah telinga. Saya
diseret, diputar-putar, dibanting, kemudian dilemparkan ke
atas truk. Terasa di truk sudah ada dua tumpukan manusia.
Setelah itu masih ditumpuk lagi; dua tumpukan lagi di atas
saya. Jadi, ada lima tumpukan semuanya. Lalu mobil jalan,
saya dibawa ke RSPAD Gatot Soebroto. Saya waktu itu tidak
pingsan. Tetapi, saya tidak berani lagi untuk bangkit, karena
di atas truk itu juga tentara mengawal dengan senjata yang
ditodongkan.
Sampai di rumah sakit, saya baru berani teriak, ‘Saya masih
hidup.’ Waktu dipilah-pilah, sekitar 40 orang di atas truk yang
berada di sana, yang luka di dada ada tiga, lalu ketika saya
dirawat saya tahu banyak yang mati.
Saya dijaga sangat ketat. Tiap kamar dijaga oleh petugas
bersenjata. Bahkan, kalau kami harus rontgen, dari kamar
menuju ruang rontgen di bawah, kami dikawal di bawah
todongan senjata. Di dalam kamar kami ada enam orang, bila
salat berjamaah langsung digampar. Mereka memperlakukan
kami seenaknya.
Selama tiga bulan di rumah sakit itu, kami hanya mendapat
jatah makanan rumah sakit. Kami tidak dapat makanan
tambahan lain. Saya perlu mengucapkan terima kasih kepada
perawat-perawat RSPAD yang dengan tulus merawat kami.
Mereka hanya melihat ini persoalan kemanusian, beberapa
orang suster yang tidak saya ingat namanya juga mencoba
membantu dengan memberikan makanan, dia kirim roti. Roti
itu ditaruh di antara obat di bawah perban.
Setiap suster masuk selalu dikawal oleh tentara. Suatu
malam suster itu datang saat saya lagi tidur dan suster itu
membangunkan saya. "Mau menyuntik," katanya. Saya
kaget, kok, mau disuntik lagi. Lalu, suster itu minta petugas
keluar kamar karena akan memeriksa saya. Saat itulah ia
memberikan satu potong roti. Itu sering dia lakukan.
Saya dirawat tiga bulan. Dari RSPAD saya dibawa ke Corps
Polisi Militer Guntur, di sana digebuk habis-habisan. Padahal,
saat itu saya masih lemah dengan luka-luka tembak itu. Satu
hari di Guntur lalu dikirim ke Rumah Tahanan Militer (RTM)
Cimanggis, Bogor. Untuk menuju sel di RTM itu kami harus
merangkak di antara alang-alang yang tingginya sepohon
jagung, dan mulai pos sampai kamar, kami digebuki terus
sambil dimaki-maki seperti ‘anjing’, ‘biadab’, dan makian lain.
Di RTM Cimanggis, tiga bulan, lalu ke Salemba dan Penjara
Cipinang. Saya diadili dan divonis satu tahun penjara dengan
tuduhan awal pasal-pasal subversif tapi di pengadilan
kemudian dijerat dengan Pasal 214-- melakukan perlawanan
terhadap petugas negara. Saya dibebaskan pada 17 Agustus
1985.
Jadi, sangat bohong kalau pemerintah bilang korban hanya 19
orang. Di dalam truk saya saja, yang hidup hanya saya.
Sampai sekarang, yang mengadu kehilangan sanak
saudaranya ada 421 keluarga.
Memang, dekat setelah kejadian, tidak ada seorang pun yang
berani datang untuk menanyakan atau mencari keluarga yang
hilang. Sebab, kalau ada keluarga yang datang mencari, kalau
dia laki-laki langsung ditahan. Itu terjadi pada beberapa
keluarga. Ada beberapa orang yang mencari keluarga yang
ditahan di Cimanggis. Kalau dia perempuan, akan dihina dan
diteror oleh pihak militer atau kejaksaan.
Jadi, kenapa Try Sutrisno baru-baru ini mengatakan persoalan
Tanjungpriok sudah selesai? Saya bersyukur bila Pak Try
mau memberi kesaksian peristiwa Tanjungpriok. Yang berhak
menyelesaikannya adalah lembaga peradilan yang lebih
beradab, dengan semangat reformasi yang sekarang. Saat
saya diadili, saya yakin pengadilan berada dalam tekanan
rezim Soeharto, termasuk di dalamnya Benny Moerdani, dan
Try Sutrisno.
Peristiwa Tanjungpriok itu bisa selesai kalau orang-orang yang
bertanggung jawab, Try Sutrisno, Benny Moerdani, dan lain
-lain diadili. Paling tidak mereka harus diperiksa. Sampai saat
ini, kan, mereka belum pernah diperiksa. Lalu, peristiwa itu
bisa selesai kalau kami diberitahu di mana mayat-mayat
kawan kami dikuburkan, dan berapa jumlah korban
sebenarnya. Peristiwa ini kami anggap selesai kalau nama
kami sudah direhabilitasi. Karena, selama ini saya dituduh
melakukan perlawanan terhadap petugas. Pada saat itu saya
tidak melakukan perlawanan sama sekali.
Kalau pemerintah diam dalam persoalan Tanjungpriok, kami
akan membawa masalah-masalah ini ke lembaga-lembaga
internasional."
Dikutip Dari
Majalah D&R, 27 Juni 1998
Subject: GSJ-[Data] Koncoisme Bisnis Keluarga Cendana
From: GSJ Admin <g...@thepentagon.com>
KONCOISME KELUARGA CENDANA
KONCO-KONCO BISNIS KELUARGA CENDANA
Konco Bisnis Bambang Trihatmodjo
1. Johannes B. Kotjo
- PT Perdana Cipta Multi Finance (Jasa keuangan)
- PT Bhuwanatala Indah Permai (Properti)
- PT Bhakti Karya Indah Permai (Ambil alih aset Bank Summa)
- PT Hansa Lestari (Air bersih di Sidoarjo)
- PT Apac Centertex (Tekstil) - Ambil alih Kaninotex
- Van der Horst (Singapura) Pembiayaan proyek gas di Asamera,
Sumsel, 1992
- PT Mayatexdian (Tekstil)
- Bandung Indah Plaza Pusat Perbelanjaan
2. Bambang Riyadi Soegomo
- Fly over Kalimalang
- Hotel Atlit Senayan
- Pembiayaan proyek gas di Asamera, Sumsel, 1992
- PT Apac Centertex (Tekstil) - Ambil alih Kaninotex
- Harian Umum Berita Yudha
- PT Kresna Tara
- PT Kresna Tara Utama
3. Wisnu Suhardono
- PT Apac Centertex (Tekstil) - Ambil alih Kaninotex
- PT Kresna Tara Utama - Didirikan 1994
- Pembiayaan proyek gas di Asamera, Sumsel, 1992
- PT Citrasena Wibawa (CW) (Kontraktor umum) - Kilang minyak
Balikpapan I
4. Rosano Barrack
- PT Bimantara Citra (Holding) - Sahamnya 7,92% (dari 10%)
- PT Plaza Nusantara Realty
- Indo-American Entertainment
- Karimun Granite Pte. Ltd.
- PT RCTI
- PT BPR Ramadha Berkah* - Pribadi, didirikan 1991 bersama Islam
Akbar Nasution
- PT Rizki Bukit Abadi* - Pribadi
5. Moh. Tachril Sapi'i
- PT Bimantara Citra (Holding) - Sahamnya 7,92% (dari 10%)
- PT Mitra Teguh Abadi* (Holding)
- PT Nusa Tours & Travel* (Pariwisata) - Bersama Anthony Salim, Prayogo
Pangestu, Henry
Pribadi, sahamnya 5%
- PT Citra Harum Manis* (Perkebunan) - Sahamnya 15%
- PT Sembada Valasindo* (Keuangan) - Sahamnya 55%
6. Djoko Ramiadji
- Grup Drasindo - Tol Bekasi, Kalimalang
7. Tommy Winata
- PT Kencanamas Indah Perkasa (Properti) - Supermall, sentra bisnis
- Proyek telekomunikasi
- Proyek Perikanan di Tual, Maluku
8. Enggarsito Lukito
- PT Angkasa Rona Graha - Konsorsium Sea Games IX/97
9. Peter Gontha
- PT Bimantara Citra (Holding) - Sahamnya 3,96% (dari 5%)
- PT Datakom Asia Satelit, multimedia
- PT Jakapusaka Indonesia - Bersama Johny Kesuma, Irwan Darmawan
- PT Ivana Vanila Utama (Makanan)
- Jamz Pub* (Pribadi)
10. Anthony Salim
- PT Herwindo Rintis - Sahamny 17,5%
11. Youk Tanzil
- PT. Yasawirya Tamacipta (Multimedia, Rumah Produksi)
12. Aziz Mochtar
- PT Datakom Asia (Multimedia, Satelit)
- PT Kapsulindo Nusantara (Cangkang kapsul) - Didirikan 1982
- PT Citra Servicatama - Didirikan 1980
- PT SCTV (Televisi) - Didirikan 1987
- PT Panjirama Otomotif
13. Hari Sapto
- PT Citrasena Wibawa (Kontraktor umum) - Kilang minyak Balikpapan I
- PT Panjirama Otomotif (Otomotif) - Didirikan 1982
- PT Angkasa Rona Graha (Konsorsium) - Stiker Sea Games IX/97
14. Nirwan Bakrie
PT Permindo - Jasa pengadaan minyak mentah
15. Sudwikatmono
Banyak
16. Peter Sondakh
- PT Asriland (Multimedia)
17. Prayogo Pangestu
- PT Chandra Asri Petrochemical Centre (Produsen bahan kimia)
- PT Andromeda Sekuritas (Sekuritas) - Didirikan 1990
- PT Andromeda Bank (Bank) - Didirikan 1989
- PT Citra Servicatama (Bank) - Didirikan 1990
- PT Duta Nusabina Lestari - Didirikan 1989
- PT Andromeda Javalas (Keuangan) - Didirikan 1990
18. Henry Pribadi
-PT Andromeda Sekuritas (Sekuritas) - Didirikan 1990
-PT Andromeda Bank (Bank) - Didirikan 1989
-PT Citra Servicatama - Didirikan 1990
-PT Duta Nusabina Lestari - Didirikan 1989
-PT Andromeda Javalas (Valas) - Didirikan 1990
-PT Chandra Asri Petrochemical Centre (Produsen bahan kimia)
-PT Try Polita Indonesia
-PT SCTV - Didirikan 1987
-Napan Group (Telekomunikasi, Internet Provider)
19. Djoko S. Tjandra
-Grup Mulia (Kontraktor Hotel Mulia, Senayan)
20. Pontjo Sutowo
-PT AsiaPacific Petroleum Refinary (Kilang minyakSitubondo, Jatim)
21. Cahyadi Kumala
-PT Benua Karya Bahagia - Didirikan 1977
-PT Royal Sentul Highlands (Developer) - Didirikan 1983
22. Harun Ngadimin
-PT Bima Citra Mandiri - Didirikan 1991
23. Surya Paloh
-PT Citrakawarta Grahapersada (Penerbitan) - 1993
24. Edwin Boy Adam
25. A. Edwin Kawilarang
-PT Dharmasatrya Arthasentosa - Didirikan 1993
26. Bambang Utoyo
27. Luki Hermanto Wahyu
28. Bul Bul Salim
-PT Genindo Citra Perkasa - Didirikan 1990
29. Suryatim Abd. Habibie
-PT Herwindo Rintis - Didirikan 1988
30. Ilham Akbar Habibie
-PT Herwindo Rintis
31. Tareq Kemal Habibie
-PT Herwindo Rintis
32. Andree Halim
33. Sudono Salim
-PT. Serasi Tunggal Karya
34. Albert Halim
35. Mochtar Riady
-Group Lippo (Properti) - di Royal Sentul Highlands
36. Soenarno
37. Babay Chalimi
-PT Hastamaju Sukses Perkasa - Didirikan 1989
38. Wim Kalona
-PT Montrose Pestindo Nusantara - Didirikan 1983
-PT Kapsulindo Nusantara - Didirikan 1982
39. Mohammad Hasan
-Sumber Mari Timber - Didirikan 1973
40. Tan Thay Goan
41. Sujanto Kusuma
-PT Sentra Businesspark Indah (Properti) - di Royal Sentul Highlands
42. Kwee Cahyadi Kumala
-Royal Sentul Highlands (Pengembang) - Sahamnya 30%
43. Indra Rukmana
-PT Bimantara Citra (Holding) - Sahamnya 16% (dari 20%)
-PT Saviem Indonesia* (Perdagangan) - Berdiri 1975
-PT Gandaerah Hendana* (Perkebunan) - Ambil alih dari Tilly Wulur
-PT Bhaktibangun Eracipta* (Perdagangan)
-PT Elang Kumala* (Pabrik Kertas)
-PT Segara Suta Sakti* (Jasa)
-PT Kemang Propertindo* (Properti)
-PT Lincoln Raya Industries Ltd.* (Perdagangan)
-PT Soemadev Corp.*
44. Indra Bambang Oetojo
-PT Dharmasatya Arthasentosa
-Hotel Darmawangsa - Tanahnya milik Pertamina
45. Erwan Soekardja
PT Dutarendra Muliasejahtera (Kehutanan) Sahamnya 20%
Konco Bisnis Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut)
1. Jopie Widjaja
-PT Steady Safe Transportasi
2. Prayogo Pangestu
-PT Bhakti Barito Agratama Persada (Kehutanan) - Didirikan 1995
-PT Tanjung Enim Lestari Pulp & Paper (Pabrik kertas)
-Yama Bank (Bank)
-PT Delta Mustika - Saham di Astra
3. Peter F. Gontha
-PT Bhakti Barito Agratama Persada (Kehutanan) - Bersama Prayogo
Pangestu
4. Rinto Harahap
-PT Sira Tama Agra Raya (Perdagangan) - Gagal ambil alih Bank Summa
-Cipta Isthika Rucitra Indonesia (CIRI) (Rumah Produksi langganan TPI)
5. Tito Sulistio
-PT TPI Televisi
-PT Citra Marga Nusaphala Persada (Pengelola tol)
6. Bambang Soeroso
-PT Citra Lamtoro Gung Persada (Infrastruktur)
7. Donna Sita
-Tabloid Wanita Indonesia (Media Cetak)
8. Sudono Salim
-PT Bank Central Asia (Perbankan)
-Asuransi Central Asia (Asuransi)
-Asuransi Jiwa Central Asia (Asuransi)
-Bank LTCB Central Asia (Perbankan)
-Resort di P. Bintan (Wisata)
-PT Citra Flour Mills Persada (Makanan)
-PT Citra Inskopindo Persada (Makanan)
9. Eka Tjipta Widjaya
-PT Citra Permata Persada (CPP) (Komputerisasi SIM) - 92,38% utk CPP,
7,62%
utk Polri
10. Setya Novanto
- Pengelolaan SIM & KTP
11. Pontjo Soetowo
- PT Sejahtera Indoco (Pariwisata)
12. Paula Ayustina Sorainsong
-PT Citra Sarana Bahari Persada
-PT Yala Perkasa Internasional - Sahamnya 12,5%
Konco Bisnis Sigit Hardjojudanto
1. Johnie Hermanto
-PT Pandanwangi Sekartaji (Listrik Panas Bumi) - Di Bedugul, Bali
-PT Panutan Selaras (BBM Premix, gas) - Didirikan 1986
-PT Adil Andaru (Golf driving range) - 5 Ha di Senayan
2. Anthony Salim
-PT Kekar Thames Airindo (Air minum) - di DKI Jakarta
-PT Garuda Dipta Semesta (Air minum) - di DKI Jakarta
3. Edwin J. Joenoes
-PT Panutan Selaras (Gas, minyak, driving range)
4. Harry Sapto
-PT Panutan Selaras (BBM Premix, gas) - Didirikan 1986
5. Ismet Taher
-PT Mabco Mitra Berbagai bidang
6. Mohammad Hasan
-PT Nusamba (Berbagai bidang)
-PT IKPT (Kontraktor)
-PT Int'l Timber Corp (Pengolahan kayu)
-Sempati Air (Penerbangan)
-Bank Duta (Perbankan)
7. Bambang Yoga Soegama
-PT Talang Gumbala (Industri gelas, petrokimia)
Konco Bisnis Siti Hediati Prabowo
1. Hary Tanoesoedibyo
- PT Bhakti Investama (Perusahan Sekuritas)
2. The The Min
- PT Maharani Intifinance (Lembaga Pembiayaan)
3 - 16 Susanti Prawironoto, Yusril Andy, Freddy Rosandi, Hotma Timbul
Gultom, Kiagoos Badaruddin, Sjahrul Nasution, Joinerri Kahar, Habib Ansyori,
Harry Hartwan, Val Licencum, Imbang Djaja, Eko Soeparto Nilam, Hartono Latip
menangani:
Maharani/Datam Group:
- PT Datam Lasog (Konstruksi, KA)
- PT Atlas Wireline Indonesia (Logging data sumur minyak/gasTambang)
- PT Bukit Granit Mining Mandiri (tambang granit)
- PT Datam Nilam Latipson (Perkapalan, forwarder)
- PT Datam Latipson Corporation (Stasioneri)
Konco Bisnis Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto)
1. Ricardo Gelael
-PT Goro Batara Sakti/ PT Goro Yudhistira Utama (Pusat perkulakan)
2. Syarief Ciciep Sutardjo
-PT Armo Batara Sakti (Pusat hiburan keluarga Sentra Ria di setiap Goro)
3. Ciputra
-PT Mandala Citra Umbulan (Air minum) - Proyek Umbulan, Surabaya
4. Ari Sigit
-PT Gading Mandala Bontang (Air minum) - Proyek di Kaltim
5. Robby Sumampow
-Proyek Resor Belitung Indah (Properti)
6. Peter F. Sondakh
7. Roger S. Penske
-Detroit Diesel Corp. (Mesin Disel) - Kerjasama PT Mahasara Buana
8. Alan Poh (Singapura)
-Lilybank Lodge (Tanah pertanian) - Tempat berburu di Selatan Selandia
Baru
9. Kenny Naning
- Hotel di Solo,
- Ambil alih Gedung Polda Metro Jaya dan Granada
10. Soemitro Surachmat
- PT Timor Putra Nasional
12. Tony Hardianto
-PT Bina Reksa Perdana (Tata niaga cengkeh, seluler, properti, TV Kabel)
-PT Kembang Cengkeh Nasional (Tata niaga cengkeh)
-PT Mobisel (Selular) - Ambil alih dari Adi dan Dali Tahir
-PT Mustika Mandala Putra (Properti)
-PT Pilar Multi Pratama (TV Kabel)
13. Irvan Gading
-PT Gading Mandala Utama - Akuisisi 55% saham taipan Moh. Amin
14. Tinton Soeprapto
-PT Sarana Sirkuitindo Utama (Sirkuit balap)
15. Gatot Ariffianto
-Humpuss Madya Pratama (Media iklan luar ruang)
16. Srisetiowati Seiful
-Humpuss Madya Pratama (Media iklan luar ruang)
Konco Bisnis Sri Hutami Endang Adiningsih (Mamiek)
1. Sudwikatmono
-PT Cellnet Nusantara (Telepon selular) - Ponsel DCS-1800
-PT Primasel (Telepon selular) - Ponsel PHS
2. Nandya Widya
-PT Mekar Unggul Sari (Agrowisata)
-Metropolitan Land (Perkebunan) Di Taman Metropolitan, Bogor
Konco Bisnis Ari Sigit
1. Asril Azhari
-PT. Arthabangun Nusantara
-PT Arhacitra Internusa
-PT Arhapuja Abadi
2. Vence Mulzer
-PT Arha Puja Abadi/Arha Bangun Nusantara (Distributor miras di Iriian
Jaya)
3. Emir Baramuli
-PT Arbamas Multi Invesco (Labelisasi minuman keras)
4. Petrus Lugito
-PT Tebet Indra Raya (Distributor miras)
5. Felix Affandi
-PT Tebet Indra Raya (Distributor miras)
6. Tomson Siddik
-PT Arhapuja Abadi (Produk logam)
7. Yoga Soegomo
-PT Pelayaran Nusantara
Ekawasita Bahari
8. Hendra Gunawan
-PT Pakarti Trimitra (Tanker, Jembatan Merak-Bakaheuni)
-PT Aryo Nusa Pakarti (Tol Waru-Tj. Perak) - Diambil alih PT. Tridaya
Estat
(Bambang Tri)
9. Eka Setiawan
10. dr. Yufandi Sujudi (Anak mantan Menkes Sujudi)
-PT. PT Arvesco Husada Obat2an Cina
11. Indra Purnama Soeharto
-PT. PT Arvesco Husada Obat2an Cina
-PT Arhawisanto Invesco (Tansmisi di Batam)
12. Wahyu Anggoro
-PT Arhawisanto Invesco (Tansmisi di Batam)
13. Ronald Tobing
-PT Arhawisanto Invesco (Tansmisi di Batam)
14. Irfan Gading
-PT Bontang Tirta Sejahtera (Pipanisasi air minum di Kaltim)
15. Agus Setiawan
-PT Arhawisanto Invesco (Tansmisi di Batam)
PT Arvesco Internusa Eng. (Tambang pasir) - Reklamasi pasir 2000 ha pantura
Jakarta
16. Ichdar Bau Kuneng
-PT Arhawisanto Invesco (Tansmisi di Batam)
-PT Graha Green Invesco/CV Arha Green (AGI) - (Properti)
-PT Arsentra Wisesa Internusa (Tender PLN, Pertamina)
17. Balhas Razoki
-PT Graha Green Invesco/CV Arha Green (AGI) - (Properti)
18. Gigi Dewanto
-PT Graha Green Invesco/CV Arha Green (AGI) - (Properti)
19. Ais Basofi
-PT Ari Mulia Putra Perdana (Tol timur Surabaya) - Dengan Bina Puri Holding,
Malaysia
20. Rizal Ibrahim Risjad
-PT Arfiss Utama (Kebun kelapa sawit) - 200 ha di Kaltim
21. Ronald Tobing
-PT Arvesco Internusa Eng. (Tambang pasir) - Reklamasi pasir 2000 ha pantura
Jakarta
22. Bim Ida Bagus Oka
-PT Arha Buana Wisata (Pariwisata) - Arus jeram di Bali
23. Jelly Tobing
-PT Arha (Plat nomor rumah) - se-Cianjur
24. Muljono Mulia
25. Paulus Haryono Tjahya
26. Wihardon
-PT Arha Putera Abadi (Sarang burung walet)
-PT Ikabina Sukses Sejahtera (Kupon parkir) Gagal
-PT Arhatel Utamindo (Suplier boks telepon umum Telkom)
-PT Arhariandy Fiber Glass (Pabrik Fiber Glass) - Di Surabaya
-PT Arha Seowoo Kilang minyak (Patungan PT Arha Buanabakt dan Seowoo
Livable
Ltd., Korsel)
-PT Arha Putra Inti International (PLTU Gambut di Duri-Dumai, Riau)
Konco Bisnis Eno Sigit
-1. Harry de Fretes (Album Musik)
Keterangan:
*) Milik pribadi di luar group keluarga Cendana
Sumber:
- Mingguan PROSPEK No. 44, 22 Juni 1998 (Diedit seperlunya)
- Berbagai sumber lainnya
----
Read this list on the Web at http://www.FindMail.com/list/fire/
To unsubscribe, email to fire-uns...@makelist.com
To subscribe, email to fire-su...@makelist.com
--
Start a FREE E-Mail List at http://makelist.com !
<A HREF=http://www.uni-stuttgart.de/indonesia/>Indonesia Daily News
Online</A><HR>
#-----------------------------------------------------------------#
#-----------------------------------------------------------------#