Pada tgl. 1 Oktober 1965,
telah terjadi suatu fakta, bahwa beberapa Perwira TNI AD, telah diculik dan
dibawa ke Lubang Buaya.
Juga merupakan suatu fakta, jenazah
para korban penculikan telah ditemukan di dasar sebuah sumur tua.
Tugas seorang
investigator kejahatan, adalah mencari siapa pelaku kejahatan, yang menyebabkan
para korban peculikan ditemukan didasar sebuah sumur tua.
Melalui olah
"TKP", untuk menemukan para pelaku, perlu diselidiki apa yang menjadi
motif para pelaku, sehingga melakukan penculikan dan pembunuhan.
Menyelidiki motif perlu,
untuk mengkelompokkan siapa2 yang patut dicurigai sebagai tersangka.
Menentukan motif
tersangka, dilakukan dengan menyelidiki "Modus Operandi" para pelaku
di TKP.
TKP apa yang terjadi pada
tgl. 1 Oktober 1965, ada 2 (dua) tempat, yakni kediaman para korban, dan Lubang
Buaya dimana ditemukan jenazah para korban.
Dari olah TKP kediaman
para korban, dapat disimpulkan bahwa motif para pelaku bukanlah
"ekonomis", karena tidak ada barang pribadi yang diambil oleh para
pelaku.
Dengan demikian, motifnya
tinggal "psikis".
Spektrum motif psikis
dapat berupa individual, politis dan SARA.
Dalam kasus penculikan
para perwira TNI AD, motif individual dapat dieliminir, karena para pelaku tidak
mengenal secara pribadi dengan para korban penculikan. Tinggal sekarang, motifnya politis
atau SARA.
Pemimpin gerakan yang
melakukan penculikan terhadap para Jenderal, dalam hal ini Letkol Untung, menyatakan
bahwa motif gerakan yang dipimpinnya, adalah untuk menangkap para Jenderal :
1. Yang telah menjadi antek2 CIA.
2. Yang telah mentelantarkan
nasib anak buah.
3. Yang akan melakukan
coup terhadap pemerintahan yang dipimpin oleh bung Karno, dengan kabinet
Dwikora-nya.
Kalau memang motifnya seperti
tersebut diatas, mengapa Letkol Untung mengambil tindakan :
1.
Mendemisionerkan Kabinet
Dwikora ?
2.
Membentuk “Dewan Revolusi” yang dipimpin oleh Letkol Untung, tanpa
menyebut peran bung Karno dalam Dewan Revolusi.
Dewan Revolusi mengambil alih semua kekuasaan kabinet Dwikora, dimana Bung Karno adalah Perdana Menterinya.
Kepada
siapakah para Perwira yang diculik akan dihadapkan ?
Hal
ini mengingat bahwa Menpangad A Yani, adalah salah satu sasaran penculikan. Sedangkan
bung Karno sebagai Panglima Tertinggi ABRI, tidak jelas peran beliau didalam “Dewan
Revolusi”.
Dari
segi investigasi kejahatan, apa yang dilakukan oleh Letkol Untung dengan G30S
nya, adalah suatu gerakan "coup" kerena :
1.
Telah
mendemisionerkan Kabinet Dwikora.
2.
Telah
membetuk Dewan Revolusi yang menggantikan peran Kabinet Dwikora, tanpa menyebut
apa yang menjadi peran Bung Karno, yang dalam Kabinet Dwikora menjabat sebagai
Peradana Menteri.
Pada tgl.
1 Oktober 1965, belum diketahui siapa dibelakang Letkol Untung, atau dengan siapa Letkol Untung bekarja sama.
Baru
pada tgl. 4 Oktober 1965, ada “petunjuk kuat” bahwa G30S ada hubungan dengan
PKI/ormasnya, dengan ditemukannya korban penculikan di Lubang Buaya. Lubang Buaya
yang letaknya diluar wilayah AURI, adalah tempat untuk melatih ormas PKI
sebagai Sukwan/Sukwati dalam rangka Dwikora.
Ada
tidaknya penganiayaan di Lubang Buaya, tidak mempengaruhi fakta bahwa jenazah
para korban penculikan, ditemukan didasar sumur tua di Lubang Buaya.
Yang
pasti, para korban penculikan tidak masuk dengan suka rela kedalam sumur tua
tersebut !
Penculikan
terhadap para Jenderal, tidak ada persamaan terhadap “Pengungsian” yang dilakukan oleh para
pemuda, terhadap Bung Karno - Bung Hatta, yang dibawa ke Rengas Dengklok.
Pada
tgl. 16 Agustus 1945, Bung Karno – Bung Hatta kembali ke Jakarta, dimana pada
pagi harinya yakni tgl. 17 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta
memproklamirkan “Kemerdekaan Indonesia”.
Sedangkan
korban penculikan pada tgl. 1 Oktober 1965, dibawa oleh para penculik ke
Lubang Buaya, untuk dimasukkan kedalam sumur tua.
Masalah
G30S adalah ambisi pribadi DN Aidit, perlu dibuktikan dengan ada tidaknya
kesaksian dari anggota Polit Biro PKI, yang menyatakan bahwa mereka tidak
sepaham dengan DN Aidit. Siapa gerangan yang melindungi DN Aidit semenjak tgl 1
Oktober 1965, sampai tertangkapnya DN Aidit ?
Apakah
gagasan pembentukan “Angkatan Kelima” yang nantinya akan merupakan “Sayap Militer”
bagi PKI, hanya gagasan Aidit ?
Mohon
tulisan saya ini, dikaji dengan artikel dibawah ini.
Wassalam,
Jacky
Mardono (82).
___________________________________________________________________
Jumat, 03 Oktober 2014
Salim Said: PKI Tidak Lakukan Pemberontakan 30 September
Penulis: Reporter Satuharapan22:56 WIB | Rabu, 01 Oktober 2014 Salim Said: PKI Tidak Lakukan Pemberontakan 30 September
Bondan Kanumoyoso (kiri) staf pengajar Departemen Sejarah FIB UI dan Salim Said (kanan) penulis buku Dari Gestapu ke Reformasi menjelaskan peristiwa Gerakan 30 September, di Ruang Sinema, Perpustakaan UI, Depok Rabu (1/10). (Foto: Ardy Pradana Putra)
DEPOK,
SATUHARAPAN.COM - “PKI secara lembaga tidak melakukan pemberontakan pada 30 September 1965,” kata Salim Said, jurnalis senior dan penulis buku Dari Gestapu ke Reformasi dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Perpustakaan UI dan Penerbit Mizan di Ruang Sinema, Gedung Perpustakaan Pusat UI, Depok Rabu (1/10) sore.
Diskusi dimoderatori oleh Bondan Kanumoyoso, staf pengajar Departemen Sejarah FIB UI.
“Gerakan 30 September merupakan ambisi pribadi DN Adit (Ketua Umum PKI), banyak anggota PKI yang tidak tahu rencana Gerakan 30 September, Aidit melakukan Gerakan 30 September tanpa sepengetahuan Komite Pusat dan Politbiro PKI,” kata Said.
Menurut Said, penyebutan G 30 S/PKI dan kampanye bahaya laten komunis berlebihan.
Said menjelaskan pembunuhan tujuh jenderal merupakan kecelakaan dan salah koordinasi. Seharusnya tujuh jenderal itu diculik dan diserahkan kepada pimpinan Angkatan Darat (AD), mirip Peristiwa Rengasdengklok. Penculikan itu disebabkan oleh konflik internal AD dan Soekarno yang mencurigai Yani dan kelompoknya berkhianat kepada negara, tapi pasukan penculik yang dipimpin oleh Sjam, anak buah Aidit, membunuh ketujuh jenderal itu.
“Saya sudah membaca dokumen percakapan rahasia Aidit dan Mao Zedong (Pemimpin Tiongkok) di Tiongkok perihal gerakan 30 September,” kata Said.
Ketika ditanya kemungkinan konspirasi CIA dalam peristiwa Gerakan 30 September. Said mengatakan sampai saat ini belum ada bukti yang menunjukan CIA terlibat Gerakan 30 September.
“Memang ada bantuan dana yang besar dari CIA kepada militer AD, namun itu sesudah terjadi peristiwa gestapu, sampai saat ini belum ada bukti CIA terlibat,” ujar Said.
Ia menambahkan menurut hasil otopsi, ketujuh jenderal itu tidak meninggal akibat disiksa seperti yang digambarkan di film Pengkhianatan G 30 S/PKI. Isu penyiksaan digunakan untuk kampanye antikomunis yang dilakukan oleh militer, karena pada saat itu komunisme merupakan ancaman besar.
Selain menceritakan kesaksian seputar Gerakan 30 September, Said juga menjelaskan intrik politik menjelang jatuhnya rezim orde baru (orba). “Saya tahu persis konflik antara LB Moerdani (Panglima ABRI saat itu) dan Soeharto,” kata Said. ia menambahkan “Jika tidak terjadi reformasi, maka yang menggantikan Soeharto adalah anaknya, Tutut, saya mengikuti dinamika politik di MPR”.
Sekilas Salim Said
Salim Said mengawali kariernya sejak kuliah, ia menjadi jurnalis dan menjadi aktivis KAHMI pada 1960-an. Alumnus Fakultas Psikologi UI itu juga aktif di dunia teater dan perfilman di Indonesia. Said meraih gelar Doktor dari Ohio University pada tahun 1985 dan sempat menjadi redaktur majalah Pelopor Baru dan Angkatan Bersenjata. Selain berkarier di bidang jurnalistik dan dunia seni, ia pernah menjabat duta besar RI untuk Republik Ceko.
Kesaksian Said mengalami pergolakan politik 1965 dan reformasi dijelaskan dalam buku Dari Gestapu ke Reformasi.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja