Bus Sinar Riau yang kami tumpangi pelan-pelan meninggalkan daerah pelayangan, bus tidak bisa berjalan cepat karena jalanan sempit, di samping itu juga becek dan licin. Kendaraan yang parkir di sebelah kanan kami, yang menunggu antrian untuk naik pelayangan cukup banyak, tapi rasanya tak sebanyak di tempat kami antri tadi.
Setelah kami lepas di ujung antrian, barulah bus bisa berjalan agak cepat. Tapi kondisi jalan tetap menjadi kendala, lumpur, licin dan berlubang-lubang. Namun semakin jauh kami dari lokasi pelayangan, kerusakan jalan makin berkurang, sehingga bus bisa melaju lebih cepat. Dan itu juga dibantu oleh jalanan yang mulai sepi dari perkampungan penduduk. Yang kadang-kadang memperlambat laju bus adalah tikungan tajam, sehingga sopir harus memperlambat kendaraan.
Jalan yang kami tempuh tidak selamanya hutan dikiri kanan, ada kalanya kami bersisian dengan Sungai Kampar, yang baru saja kami seberangi dengan pelayangan. Namun gelapnya malam membuat aku ak dapat melihat indahnya aliran sungai yang berkelok berliku-liku itu.
Ditengah obrolan penumpang yang agak ramai, karena belum ada yang tidur. Sopir memberitahu bahwa tidak lama lagi bus akan masuk lubang kalam. Aku bingung, karena aku tidak tahu apa itu lubang kalam. Tapi untuk bertanya aku juga tak berani, cuma dalam bayanganku apakah bus ini akan terjun masuk lubang dan langsung sampai di Pekanbaru?
Jantungku berdebar kencang, aku lebih cemas dibanding olengnya pelayangan sewaktu di lindas mobil yang pertama naik pelayangan tadi. Berapa besar lubang di tanah yang akan menelan bus yang kami tumpangi ini? Bagaimana kalau sampai di lubang kalam itu kami tidak bisa keluar lagi, apakah kami akan mati semua? Aku benar-benar takut, keringat dingin membasahi tubuhku. Rasanya ingin aku kembali pulang ke kampung dan tak ikut ke Pekanbaru menemui kakakku. Tapi bagaimana aku akan turun disini, di tengah hutan ini? Tengah malam ini?
Dalam kegelisahan hatiku, mataku menatap tak berkedip terhadap jalan di depan yang akan kami lalui. Disebelah mana lubang kalam itu, seperti apakah dia?
Tiba-tiba jalan didepan kami terlihat seperti buntu, karena di depan kami aku melihat bayangan bukit, tapi aku tak melihat bayangan jalan yang diterangai cahaya bulan yang samar-samar seperti jalan yang kami lewati tadi.
“Ko nyo ah, lubang kalam tu!, supir memberi tahu para penumpang bahwa kami akan memasuki lubang kalam itu.
Aku semakin erat berpegangan ke besi yang melintang di dekat dasbor bus. Sambil tetap berpikir entah akan bagaimana kami semua ini nantinya.
Begitu kami sampai di depan pintu lubang kalam, terlihat olehku lubang kalam itu menembus bukit. Pintunya bulat seperti setengah lingkaran. Setelah bus kami mulai memasukinya, dalam hati aku bertanya, apakah lubang ini sampai ke Pekanbaru? Tapi dengan telah beradanya kami di dalam lubang kalam itu, rasa takut dan cemas yang tadi kurasakan mulai berkurang, keringat dinginkupun berangsur hilang, apa lagi cahaya lampu depan bus Sinar Riau itu cukup terang menerangi jalan didepan kami. Dan disanalah aku baru mengerti, apa artinya lubang kalam. Yaitu jalan yang menembus bukit!.
Aku baru benar-benar bisa bernafas lega setelah bus yang kami tumpangi keluar lagi dari lubang kalam itu, dan aku kembali dapat melihat jalan biasa seperti yang kami lewati selama ini. Melihat pantulan air sungai yang diterangi bulan, dan pohon-pohon kayu yng tumbuh di pinggir jalan. Debaran jantungku telah normal lagi, rasa takutpun telah hilang, seiring juga dengan mengeringnya keringat dingin yang tadi membasahi tubuhku.
Bersambung
Lubang kalam-lubang gelap = terowongan
“Ko nyo ah, lubang kalam tu! = ini dia terowongannya!
--
Source: http://sosbud.kompasiana.com/2010/05/31/pergi-merantau-11-154777.html
AssalamuAlaikum W. W.
Baranti sabanta dimuko Lubang Kalam kira2 th 1981
@Hayatun Nismah Rumzy#
On 22 Mei 2013, at 11:43, Aryandi Ilyas <aryan...@gmail.com> wrote:
--
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
1. E-mail besar dari 200KB;
2. E-mail attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi;
3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://rantaunet.wordpress.com/2011/01/01/tata-tertib-adat-salingka-palanta-rntaunet/
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/
---
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Grup Google.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+berhenti berlan...@googlegroups.com .
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.
Iko Penggalan Kaduo Curito ambo.....
Curito pelarian Tentara TP-PRRI kareno takuik jo OPR
Tapi antah bilo ka salasai manulihnyo he..he
---------------------------------
Merapi dan Singgalang tampak jelas dan membiru disisi kanan jalan
Panas matahari sore yang cerah mengantarkan pandangan mulai rel kereta api,dataran sawah yang menguning, sampai kebiruan dikaki gunung terus ke puncaknya
Sedikit awan tampak menggantung dipinggang Merapi
Sayang perasaan Mansun tidak secerah suasana itu
Ada segumpal kesedihan muncul diwajahnya
Masih terbayang isakan ibu dan adiknya serta wajah sabak Bapaknya, sewaktu mereka memagutnya sebelum menaiki bus tadi
Karena itu dia tidak kurang sedihnya dengan perpisahan ini. Tapi dia berusaha tetap tegar. Sedapat mungkin tidak dinampakkannya kesedihan itu sewaktu masih di Loket Sinar Riau sebelum keberangkatan bus tadi
Akhirnya beberapa saat setelah bus bergerak, pertahanannya jebol juga
Untung dia duduk dikursi nomor lima, barisan pertama disisi kanan dibelakang sopir
Sambil memandang ke arah Merapi dikanan, air matanya mengalir membasahi pipi, jatuh pada kemejanya yang mulai lusuh
Sudah biasa pada masa itu, orang berpakaian seadanya kalau bepergian jauh. Apalagi kalau sampai bermalam diperjalanan. Karena bisa saja pakaian kita akan menjadi kotor baik oleh kita sendiri, maupun disebabkan orang lain
Tiupan angin lumayan keras masuk kedalam Bus Sinar Riau yang mulai berlari kencang
Jendelanya terbuka,dibagian atas jendela tampak gulungan terpal
Gulungan terpal ini berguna untuk menutup jendela kalau hujan turun.
Walau telah ditutup dan dipasang jepitan disamping dan bawahnya
Penumpang yang duduk dipinggir masih juga basah bajunya karena air hujan yang masuk disela terpal itu
Diloteng bus bergantungan sejumlah botol air minum dan makanan kecil bahkan nasi bungkus yang dibawa penumpang
Membawa makanan sendiri dalam perjalanan jauh ,selain lebih irit dan ekonomis bagi para perantau juga karena mobil sering rusak dan pecah ban dijalan
Kondisi jalan yang hancur berlobang -lobang serta mobil yang usang dan diperbaiki seadanya, adalah salah satu penyebabnya
Sehingga kalau mobil terpaksa berhenti dipesawangan , kita tidak akan kelaparan. Karena persediaan makanan yang dibawa dari rumah itu akan sangat membantu
Mobil terus melaju melewati Pasar Baso, menurun Ampuah, kecepatan bertambah setelah di jalan Luruih
Setelah melewati jembatan Titih perbatasan Agam-Lima Puluh kota, tampak deretan kendaraan yang dihentikan
Rupanya ada pemeriksaan atau Razia Kartu Penduduk dan Surat Jalan
Hampir setengah jam perjalanan terhenti disini, untung semua penumpang lengkap surat2nya. Sehingga tidak ada yang bermasalah atau terganggu perjalanannya
Memasuki kota Payakumbuh, didepan Kantor Bupati, bus berbelok kekanan kearah pasar. Kemudian berhenti didepan Loket Sinar Riau
Disini kernet sibuk memasang papan penyambung disetiap baris tempat duduk
Rupanya masih ada tambahan penumpang yang akan duduk dibangku serap.
Pada sebagian bus, bangku serap itu masih dilengkapi sandaran kayu tipis yang dicantelkan pada tempat duduk dikiri kanannya
Ikatan terpal penutup barang diatas bus dibuka lagi untuk menaikkan berbagai barang milik penumpang yang baru naik
Selain penumpang biasa yang umumnya ingin mengadu nasib diperantauan, hampir sepertiga penumpang bus adalah pedagang yang bolak balik ke Pekanbaru
Mereka membawa sayur dan bahan makanan lain untuk dijual di Pekanbaru
Ada juga yang dikirim lagi dengan mobil lain sampai ke Duri, Sungai Rangau dan Dumai. Bahkan ada yang dikirim dengan kapal sampai ke Selat Panjang, Bengkalis, Tanjung Balai Karimun dan Tanjung Pinang
Sayang berbagai sayur itu, sudah berobah ronanya sewaktu sampai dikota tujuan. Tidak segar lagi karena telah beberapa hari diperjalanan
Bahkan masyarakat Kepulauan Riau sudah terbiasa menkonsumsi cabe kering yang sudah dijemur, tidak cabe basah dan segar seperti kebanyakan dikota lain
Bus bergerak lagi ke Timur. Setelah melewati Timbangan LLAD Tanjuang Pati, bus dihentikan lagi untuk pemeriksaan rutin oleh sejumlah petugas
Akhirnya bus baru sampai di Lubuk Bangku setelah Magrib. Semua penumpang turun untuk makan malam, shalat Magrib dan Isya
Rumah Makan disini terkenal dengan menu singgang ayam atau rendang ayam yang dihidangkan dengan kawat penjepit seperti untuk ikan bakar. Ada juga goreng belut, dan ikan mas serta garing yang merupakan ikan sungai air deras yang nikmat dan lumayan manis
Hampir jam sembilan perjalanan dimulai lagi. Bus berjalan meliuk-liuk menapaki setiap kelokan. Derungan gas yang diinjak sopir ,seakan bus ini kepayahan dan tidak sanggup mendaki Kelok Sembilan yang lumayan tajam
Setelah sampai di Hulu Air beberapa saat sesudah itu jalan mulai menurun, tapi lobang semakin bertambah ditengah jalan. Sopir terpaksa mengendarai mobil dengan zig-zag untuk menghindari lobang2 itu
Akibatnya penumpang seakan dibanting kekiri dan kekanan secara bersamaan. Sehingga sekilas tampak seperti jemaah sedang khusuk berzikir di Mesjid
Sebelum masuk Koto Alam jalan mobil terseok-seok. Rupanya ban kiri belakang kempes. Sesudah diganti, mobil bergerak kembali
Tapi sesudah melewati jembatan Pangkalan, kelihatan sopir sibuk dan kepayahan mengendalikan mobil dan segera menepikan busnya
Kali ini ban kiri depan yang bocor, beberapa penumpang laki-laki turun dari mobil, karena didalam duduknya lumayan sempit dan sumpek. Apalagi aroma muntah beberapa penumpang cukup menusuk hidung
Sampai di Tanjung Balit mobil berhenti. Sopir dan beberapa penumpang turun untuk minum kopi,sementara kernet menempel ban dalam yang bocor tadi dibengkel tambal ban disamping Rumah Makan
Pekerjaan kernet pada waktu itu lumayan berat. Karena harus bongkar pasang ban, disamping ikut memperbaiki bus kalau mogok dijalan
Waktu itu belum ada compressor untuk memompa ban mobil. Kernet terpaksa basionjak, memompa sendiri kalau ada ban yang harus ditambah anginnya
Beberapa ibu2 sibuk membujuk bayinya yang mulai rewel dalam suasana setengah gelap dan sumpek itu.
Perjalanan selanjutnya menuju Muara Mahat lumayan lancar.
Karena tumpukan barang diatap bus lebih tinggi dari portal Jembatan Muara Mahat , bus terpaksa berhenti lagi.
Sebagian barang diturunkan dan dibawa kuli keseberang
Sementara menunggu bongkar-muat, penumpang bisa duduk dikedai nasi yang dibuka 24 jam
Diseberang jembatan barang disusun lagi, terpal penutup dipasang dan diikat disekeliling atap bus
Sebelum penyeberangan Rantau Berangin, acara ban kempes masih terjadi lagi
Di Rantau Berangin mobil diseberangkan dengan rakit penyeberangan.
Sekali menyeberang bisa membawa empat mobil dengan lama penyeberangan sepuluh sampai lima belas menit
Tapi acara menaikkan dan menurunkan serta menyusunnya diatas rakit, lumayan memakan waktu
Kalau musim penghujan airnya besar dan kuat arusnya, dimusim kemarau air sedikit dan dangkal. Pada kedua kondisi ini kapasitas rakit tidak optimum, sehingga antrian kendaraan dikedua sisi sungai akan lebih panjang
Perjalanan dilanjutkan, kota Bangkinang dilewati. Kemudian bus berhenti lagi untuk menunggu giliran naik rakit penyeberangan di Danau Bingkuang
Dikedua sisi sungai baik di Rantau Berangin maupun Danau Bingkuang tersedia Kedai Nasi dengan menu utama ikan dan udang sungai disamping menu lain yang biasa ditemui di Rumah Makan Padang
Azan Subuh mulai terdengar, sejumlah penumpang melaksanakan shalat Subuh disini
Perjalanan selanjutnya lumayan lancar, bus dapat berlari kencang karena lobang mulai berkurang
Apalagi jalan mulai lurus terutama setelah Rimba Panjang. Pelabuhan Udara Simpang Tiga dilewati, bus naik jembatan timbang lagi
Hampir jam delapan pagi, bus masuk Loket di Pasar Pusat
Terminal Busnya masih berlantai tanah yang berlobang-lobang dan berdebu . Penumpang membeli karcis pada bangunan kotak mirip sarang burung
Belasan kotak berukuran sekitar 2x2 meter disusun seperti Letter U di Terminal tersebut
Di Pasar Pusat sendiri bangunan permanen yg bertingkat sedang dibangun di pinggir jalan Asia
Los-Los didalamnya masih banyak yang beratap rumbia
Di kota ini baru ada dua jalur jalan beraspal yaitu jalan Asia dan Bangkinang. Jalan Asia nanti diubah namanya jadi jalan Sudirman. Sementara jalan Bangkinang menjadi jalan A. Yani
Barang2 Mansun tidak banyak. Hanya sebuah koper besi yang dibeli almarhum Inyiaknya di Mekah waktu naik haji dulu. Koper itu dilengkapi dengan dua buah gembok kecil sebagai pengaman. Barang lain berupa buntil kain bekas tempat tepung terigu. Karung ini lumayan berat karena berisi rendang, kerupuk kulit mentah, kerupuk ubi mentah serta sejumlah makanan lain. Termasuk sejumlah kiriman makanan dari orang dikampung untuk familinya di Pakanbaru.
Koper dan buntil dijinjing dikiri-kanan, Mansun bergerak ke pinggir jalan raya.
Disetopnya oplet dan dinaikinya. Disini hanya ada satu trayek oplet yaitu Pasar Pusat- Bom Baru.
Setelah lewat Pasar Tengah, kernet menanyakan : "Ada yang ke Pasar Bawah ". Ya jawab Mansun sambil menunjuk
Oplet memutari Pasar Bawah, setelah dia membaca tulisan Seroja Tailor, dimintanya sopir berhenti
Mansun turun dan menyeberangi jalan. Menuju tempat bakonya menjahit itu
Kedai itu masih tertutup. Dia sengaja meletakkan barangnya dekat gembok yang mengunci kedai itu. Walau panas mulai menyengat, dia tetap duduk disamping kopernya. Apalagi tidak tampak tempat yang keteduhan disekitar tempat itu
Hampir setengah jam kemudian seorang lelaki mendekat, kelihatan dia akan membuka kedai itu. Tapi terhalang koper Mansun
Dengan ramah dia bertanya : " Waang Mansun, anak Mak Basa ?". "Iyo, Tuan" Jawab Mansun.
"Kapatang Tek Ijah nan manjua pisang mangecekkan waang ka datang. Molah kito karumah"
Mansun berdiri mengikuti Tan Ican menuju rumahnya
Koper dan buntilnya dijinjingnya lagi
Jalan kecil itu tampak agak sejajar dengan sungai , karena dibelakang rumah yang disisi kanan jalan nampak sungai dengan perahu yang lalu-lalang
Sebuah rumah panggung bertiang lebih tinggi sedikit dari orang dewasa dinaiki mereka, dibelakangnya mengalir Sungai Siak.
Disitu juga ada pelantar kecil untuk keperluan bongkar muat kapal dan perahu
Disisi kiri rumah ada kedai kopi, sekitar setengah lusin orang sedang sarapan disana. Beberapa orang masih terlelap, berbaring dibangku panjang dibelakang kedai
Tiba2 Tan Ican memanggil Mansun yang sedang asyik memandang keluar jendela
" Marilah minum , sudah itu istirahat lah dulu dikamar depan. Kalau mau mandi dulu bisa juga dibelakang"
"Iyo..Tuan" hanya itu keluar dari mulut Mansun
Dia bergerak keruang tengah. Tan Ican sudah duduk menikmati secangkir teh , dimeja juga ada beberapa piring yang berisi kue2. Makanan yang jarang sampai ke Bukittinggi karena dari kalengnya nampak berasal dari Singapura
Setelah sedikit basa-basi menanyakan keadaan dikampung, Tan Ican menyuruh Mansun istirahat dulu karena dia akan membuka kedainya dan mulai beraktifitas seperti biasa
Mansun ikut tegak mengantar Tan Ican turun. Kemudian diedarkan lagi pandangannya kesekeliling rumah.
Dia menuju kebelakang rumah. Zulma istri Tan Ican sedang sibuk mencuci di Pelantar.
Anak gadis kecilnya mandi dengan menimba air dari sungai Siak, yang lebih besar lelaki sudah pandai berenang di sungai yang kecoklatan mirip air teh itu
"Co ikolah kami disini, mandi tetap disungai walau agak coklat tapi lumayan bersih." Ini Hana katanya menunjuk si kecil. Itu Irfan, kelas dua SR sekola di Kampung Bukit, masuk siang sebentar lagi
" Itulah kak, ambo akan menyusahkan kakak pula kesini" sambung Mansun
" Itu sudah biasa dan kewajiban orang berdunsanak. Tuan dulu mandapek ka urang awak juo" jawab istri Tan Ican menyatakan bahwa suaminya pertama kali datang ke Pekanbaru juga kerumah famili juga lebih dahulu
Kemudian dia cerita banyak tentang tempat tinggal mereka itu dan keadaan sekitarnya. Termasuk pekerjaan sejumlah pemuda orang kampung mereka
Rupanya tempat ini termasuk kawasan Pelabuhan Manggis, mungkin karena banyak pohon manggis dipekarangan rumah disitu
Sebagian besar lelaki orang kampungnya yang merantau kesini, yang berusia diatas empat puluh tahun. Memang banyak dulu yang pergi merantau hanya bermodal tulang empat kerat. Ada yang bekerja sebagai tukang angkat barang di Pelabuhan atau Gudang Beras. Yang lain bekerja di Toko Cina selain mengangkat barang termasuk juga jadi petugas kebersihan dan penjaga malam. Yang agak beruntung bisa jadi mandor mengawasi barang keluar masuk
Yang lain ikut mengantar barang ke Toko lain atau para pemesan
Istri2 mereka banyak yang menjual sayur atau barang2 lain yg banyak dibawa orang dari Mudik.
Umumnya mereka menjualkan barang pedagang dari Mudik itu, sehingga tidak perlu mengeluarkan modal lebih dahulu
Suami-istri yang dikarunia rezeki lebih kemudian bisa menambah barang dagangannya di Los-Los Pasar kemudian menjelma menjadi Kedai Kecil bahkan beberapa Toko Besar adalah milik perantau yang berhasil
Bagi mereka yang ada membawa modal dari kampung ada yang mulai dengan menyewa petak kedai2 kecil di Pasar Bawah atau Pasar Pusat yang baru berkembang
Beberapa pemuda yang masih tidur dibangku panjang itu rupanya hampir tiap malam bersampan, kemudian menurunkan beberapa potong barang dari kapal. Menyimpannya dirumah-rumah tertentu dipinggir sungai Siak kemudian dengan sembunyi-sembunyi membawanya ke Pasar
Anehnya kalau dikapal dan waktu menurunkan ber kucing2an dengan Petugas.
Kalau sudah sampai dipasar, barang2 luar negeri aman2 saja. Hampir tidak pernah ada gangguan dari Petugas
Walau bagi sebagian orang kejar-kejaran dengan petugas, bisa menimbulkan stres tertentu. Kelompok ini menikmati saja aktifitas mereka yang kadang menegangkan itu
Kalau tukang angkat barang saja bisa lumayan penghasilannya, tentu dapat dibayangan pendapatan pemilik barang yang memesannya keluar negeri untuk kemudian didistribusikan di dalam negeri
Itulah usaha yang masa itu banyak disebut sebagai SMOKEL
Bagi mereka kadang terasa sangat mudah mencari uang. Asal mau keluar malam dan sanggup bergadang. Mengayuh sampan bersama dan menurunkan barang dari kapal dengan cepat
Sejumlah uang untuk biaya hidup berhari -hari sampai beberapa minggu telah tersedia
Sayangnya karena mudahnya mendapatkan uang itu, banyak dari mereka yang lupa diri
Dengan uang banyak ditangan, berbagai pikiran merasuki kepala mereka. Kebanyakan mengisi waktu luangnya dengan main kartu. Akibatnya kehidupan mereka begitu2 saja. Karena uangnya segera menyusut dimeja judi,minuman keras bahkan sampai main perempuan
Sejumlah kecil mereka ada yang berkirim ke kampung bisa untuk memperbaiki rumah bahkan membangun rumah baru. Banyak juga yang digunakan orang tuanya untuk membeli ternak dan sawah
Selesai sembahyang Lohor dia mulai jalan2 sekeling Pasar Bawah, setelah sebelumnya menyerahkan ke Kak Zulma buntil berisi makanan, termasuk kiriman untuk orang kampungnya yang merantau kesini
Dipasar dia ketemu beberapa orang kampungnya yang berjualan disitu. Begitu juga di Pelabuhan beberapa orang yang dipanggilnya Mamak sedang mengangkat barang dari Kapal ke Gudang
Sehabis makan malam, sambil duduk diteras Tan Ican bercerita lebih lengkap mengenai kemungkinan berusaha disini.
Ada yang mudah dapat uang, mudah pula menguapnya. Sementara yang lain terpaksa bercucuran keringat untuk menafkahi anak-istrinya
Besoknya perjalanan Mansun lebih jauh dari hari pertama dia keliling ke Pasar Tengah dan masuk ke pelosok-pelosok Pasar Pusat.
Sebelum pulang kerumah, dia mampir ke Los Pisang tempat kak Caya menjual pisang. Sarin anak kak Caya adalah temannya yang ikut keluar kemaren
Sebelum keluar bersama PRRI, Sarin membantu ayahnya menjual kulit manis. Mereka keliling kampung dan Nagari yang bersebelahan mencari kulit manis. Kalau melihat ada pohon kulit manis yang sudah layak ditebang, pemiliknya dihubungi. Kalau mereka sudah ingin menjual tanamannya, tawar-menawar dilakukan. Sampai terjadi transaksi jual beli atau gagal sama sekali
Mansun dan Sarin telah berteman sejak kecil. Mereka sering berada dikelas yang sama di SR, sama mengaji dan tidur disurau
Malam hari sering mereka menyuluh mencari ikan disungai. Beberapa kenakalan kecil khas anak2 juga sering mereka lakukan bersama kawan2 yang lain.
Powered by Telkomsel BlackBerry®