Orang tua saya bilang saya anak Minang, sebab ibu saya Siti Fatimatul
Zahra, orang Minang dan ayah saya Sutan Pangeran Baharsyah, juga orang
Minang. Ayah hampir tidak pernah menggunakan gelarnya dengan lengkap,
hanya menulis "St" saja didepan namanya. Beliau seorang yang pendiam dan
sangat sederhana, meski ayah dari kakeknya adalah Sultan Bagagar Alamsyah,
orang bilang raja alam Minangkabau. Soal ini bagi saya seperti mendengar
dongeng saja, meski kami pernah di undang ketika pemugaran istana itu di
Batu Sangkar, Sumatera Barat. Anehnya saya merasa agak risih jika berada
di tengah-tengah orang Minang. Sebab saya tidak pandai bercakap Minang.
Meski dapat menangkap isi percakapan mereka. Sebab orang tua saya jarang
menggunakan bahasa Minang dirumah. Mereka berbahasa Belanda diantara
mereka, dan berbahasa campuran dengan anak anak. Kebanyakan bahasa
Indonesia, sedikit Minang dan kalau lagi membujuk atau ngomel pakai bahasa
Belanda.
Saya merasa lebih dekat dengan alam Pasundan. Senang sekali jika
mendengar degung dan suling Sunda, dan agak asing dengan saluang, musik
tradisional Minang. Saya lebih dekat dengan bahasa dan adat istiadat
Pasundan, mungkin karena masa kecil saya sekeluarga tinggal di Majalengka,
di daerah Pasundan. Hingga yang saya bayangkan sebagai Indonesia kalau
lagi rindu adalah sawah yang luas yang menghijau, dikelilingi
gunung-gunung yang biru, di mana petani sedang membajak sawah dengan
kerbau. |
Namun soal makanan, paling enak makanan Padang, gulai paluit, gulai
Paku, pangek dan rendang. Saya pun senang makanan Sunda, lalapan, karedok
dan pais kancra. Anak-anak saya, Adrian and Santi, sukar mengerti. Mereka
rindu hal berbeda, pizza, bagel dan cream cheese, Brigham ice cream dengan
32 rasa.
Itu karena mereka menghabiskan masa kecil di USA, yaitu ketika suami
saya belajar di Harvard.
Saya anak bungsu dan perempuan satu satunya dengan tiga kakak laki
laki. Ada yang bilang nah, itu dia orang yang dimanja. Mungkin juga.
Tetapi sungguh tidak enak sebab saya jadi dijaga serba ketat. Menurut
cerita almarhum ibu saya, beliau ingin sekali mempuyai anak perempuan.
Ketika kakak tertua lahir, dinamai Zahar Indra, namun si buyung ini
dipanggil Neneng (panggilan buat perempaun) Meskipun tumbuh normal juga,
ia kelak jadi Chartered Accountant di London dan Belgia. Yang kedua lahir
laki laki lagi, Syarifudin , dia harus belajar tari -tarian perempuan dan
kadang dipakaikan pakaian perempuan. Sebab ibu bilang dia cantik sekali.
Siapa yang sangka si mungil ini kelak dua kali jadi menteri Pertanian
Indonesia dan dua kali pula diangkat jadi Ketua Independen Food and
Agriculture Organisation FAO) di Roma. Ketika lahir yang ketiga cowok
lagi, kabarnya ibu saya jadi kurang memperhatikan. Meskipun tentu ia tidak
ditelantarkan. Sebab kami mempunyai enam pembantu. Empat untuk masing
masing anak. Kakak bungsu ini kelak jadi dokter bedah.
Ketika saya lahir, tepat hari Natal, tengah malam tanggal 25 Desember,
saya diberi nama Siti Leila Chairani, yang artinya 'Malam yang indah
bagiku'. Nasib anak perempuan di jaman masa kecil saya, serba sulit,
karena meski disayang, namun banyak larangannya. Orangtua yang terlalu
melindungi saya, mencarikan sekolah khusus puteri yang terbaik, dari Taman
Kanak-kanak hingga SMA. Saya tidak boleh ikut berenang, tidak boleh main
ke tetangga, tidak boleh ikut acara piknik sekolah ke luar kota.
Jadi dapat dibayangkan betapa sukarnya saya menikah dengan Arief
Budiman, teman kuliah yang berasal dari keluarga Thioghoa, yang jelas
berasal dari latar keluarga yang sangat berbeda. Ketika itu Arief masih
bernama Soe Hok Djin, ia teman kuliah di Fakultas Psikolog UI.
Saya tidak berani melanggar ketetapan orang tua yang melarang hubungan
saya dengan Arief . Namun Arief nampaknya bertahan terus, sambil terus
mengkuliahi saya perlunya orang orang yang berani berontak. Akhirnya orang
tua saya memberikan dua syarat, kalau tetap akan menikah: keduanya harus
lulus dan Arief masuk Islam. Keduanya kami penuhi.
Hok Djin pun minta pada saya untuk mengganti nama Cinanya menjadi nama
Indonesia. Mula-mula saya ingin dia setia terus, jadi saya berikan nama
Satya Mitra. Ini sudah digunakan olehnya , untuk menulis artikel di koran
Indonesia Raya. Kemudian saya pikir belum tentu ia setia terus. Saya pun
bertanya nama Hok Djin itu artinya apa? Dia bilang bijaksana. Jadi saya
pilihkan nama Arief Budiman, yang dipakainya sampai sekarang.
Saya telah mengalami kehidupan dengan keragaman sosial budaya di
berbagai tempat, termasuk saat menemani suami saya menyelesaikan
sekolahnya di Amerika, dan sekarang ini menemaninya di Melbourne sejak
1997. Dengan berbagai pengalaman, termasuk pengalaman hidup dengan Arief
yang berasal dari etnis dan budaya yang berbeda, sekarang saya merasa
lebih mudah menyesuaikan diri dalam lingkungan multibudaya.
Melbourne adalah kota multibudaya yang membuat saya tidak menjadi
begitu terasing. Suatu hari, dalam kesibukan bekerja sebagai penerjemah di
Royal Children Hospital, saya menyadari bahwa dalam waktu dua setengah jam
saya telah bekerja dengan sembilan orang yang berasal dari delapan negara
dan budaya berbeda. Ini adalah peristiwa sehari hari di Melbourne.
Multibudaya membuat kehidupan di sini menjadi lebih menarik karena banyak
variasi dan kaya perbedaan. Bukankah perbedaan pada akhirnya yang bisa
membuat kita saling menghargai dan menyadari bahwa manusia pada dasarnya
sama.
Saya dan Arief tetap memiliki keinginan untu kembali ke Indonesia. Apa
sih yang menarik saya pulang ke Indonesia lagi ? Arief bilang dia capek
ngomong Inggris. Saya juga. Saya pikir orang-orang Indonesia yang telah
lama di luar negeri selalu mendambakan pulang ke tanah air, suatu saat.
Sepengetahuan saya tidak banyak warga Indonesia yang ingin menggant
kewarganegaraannya. |
Seorang teman saya yang keturunan Tionghoa yang sekarang tinggal di
Melbourne berkata, di Indonesia itu seperti surga rasanya. Segalanya serba
mudah didapat dan usaha pun mudah, sayangnya sekarang ini kondisi menjadi
relatif tidak aman.
Selama lebih dari empat tahun tinggal di Melbourne, banyak sekali
kejadian penting yang terjadi di Indonesia. Sayangnya, jarang sekali ada
berita yang menggembirakan. Yang ada hanya berita korupsi, kekerasan,
kemiskinan, kemerosotan ekonomi dan moral, hukum yang bisa dibeli,
penggusuran, sedih rasanya membaca berita semacam ini.
http://www.abc.net.au/ra/federasi/tema2/leila_indo.htm |