Referensi I:
Menghormati Para
Pahlawan Bangsa
PADA hari Minggu malam 7 Mei 2017 saya makan malam bersama
Aylawati Sarwono dan Osmar Susilo Semesta di restoran La Moda, Plaza Indonesia.
Seorang pria usia baya menghampiri minta izin foto bersama sebab mengaku
terkesan oleh tulisan-tulisan saya. Saya terkejut setelah mengetahui bahwa pria
bernama Edward Nurdin itu ternyata tidak kurang dari seorang menantu Pahlawan
Nasional Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution! Pak Nurdin kemudian
memperkenalkan kami dengan isteri beliau yaitu puteri sulung Jenderal Besar TNI
AH Nasution, Hendrianti Saharah yang kebetulan juga sedang makan malam bersama
keluarga di La Moda, Plaza Indonesia.
Merupakan kehormatan besar bagi saya, ibu Ayla dan mas Osmar
untuk memperoleh kesempatan berjumpa dengan keluarga puteri sulung Jenderal
Besar TNI AH Nasution yang sangat saya kagumi dan hormati sebagai tokoh
pahlawan bangsa Indonesia.
Rupanya memang Anugerah Kehendak Tuhan bahwa pada pagi hari
7 Mei 2017 itu, saya dengan tim kerabat kerja Museum Rekor Dunia Indonesia
sedang membahas rencana anugerah MURI secara anumerta bagi Pahlawan Nasional
Abdul Haris Nasution sebagai Jenderal Besar TNI yang mewariskan mahakarya tulis
terbanyak atas masukan saran dari Komisaris Jenderal Polisi (Purnawirawan)
Jacky Mardono Tjokrodirejo.
Permisi, numpang lewat:
Pangkat saya terakhir sebelum pensiun, adalah May jend POL yang setara
dengan Irjen Pol, bukan Komjen Pol. Ini adalah yang kedua kalinya bung jaya
suprana “menaikkan,” pangkat saya menjadi setingkat dengan Komjen Pol!
Yang pertama adalah ketika saya diminta tolong oleh MURI untuk
menyerahkan piagam MURI kepada ibu Hoegeng, bahwa pak Hoegeng sebagai polisi
yang terjujur.
Saya ucapkan selamat, setelah sebulan tambah 10 hari pertemuan antara
ahli waris Bpk A.H Nasution, MURI pada tanggal 17 bulan ini menyerahkan piagam
MURI kepada Bpk A.H Nasution, sebagai Jenderal yang paling produktif menulis
buku. Bagi saya, pak Nas bukan sekedar seorang prajurit yang menguasai strategi
tentang “Perang Rakyat Semesta,” tetapi juga seorang negarawan yang sangat
piawai. Masalah kepiawaian pak Nas
sebagai negarawan ini, rasanya belum ada yang mengulasnya.
Kepiawaian pak Nas, tersurat ketika pak Nas mengutip pendapat jenderal
TITO yang antara lain menyatakan: “ Janganlah tentara mengira bahwa tentara
lebih tahu tentang apa yang diperlukan oleh rakyat. Rakyatlah yang lebih tahu
tentang apa yang baik bagi rakyat.”
Karena itu apabila nama pak Nas akan diabadikan, seyogyanya dijadikan
nama salah satu ruangan di gedung MPR/DPR RI, karena Pak Nas pernah menjabat
sebagai ketua MPRS.
Kembali ke laptop.
Kemudian pak Nurdin memperkenalkan kami ke seorang
perempuan muda sebagai puterinya dengan komentar "Ini cucu Jenderal Besar
Nasution". Kemudian pak Nurdin memperkenalkan kami ke seorang pemuda
ganteng yang berdiri di samping cucu Jenderal Besar Nasution dengan komentar
pertanyaan "Pak Jaya, tahu dia ini siapa?" Saya spontan nekad menebak
"Menantu Pak Nurdin!" Pak Nurdin membenarkan tetapi bertanya lebih
lanjut "Pak Jaya tahu dia ini cucu
siapa ?" Saya geleng-geleng kepala. Maka pak Nurdin memberitahu
"Suami cucu Jenderal Besar Nasution ini adalah cucu Jenderal Besar
Soedirman!" Penyadaran itu langsung membuat saya terpana.
Rasa terharu menyelinap masuk ke lubuk terdalam lubuk
sanubari saya kemudian tenggorok terasa tercekik sehingga nafas terhenti
sejenak. Setelah dapat bernafas kembali langsung sambil air mata berlinang saya
membungkukkan tubuh dengan susah payah sebab terganjal perut buncit saya demi
menyampaikan rasa hormat sedalam-dalamnya kepada pasangan suami isteri cucu
Jenderal Besar Soedirman yang menikah dengan cucu Jenderal Besar Nasution.
Sekaligus tentu saja sebagai penghormatan saya terhadap dua tokoh nasional
Indonesia yang sangat amat saya hormati dan kagumi.
Jasa-jasa pengabdian dan pengorbanan Jenderal Besar TNI
A.H. Nasution dan Jenderal Besar TNI Soedirman bagi bangsa, negara dan rakyat
Indonesia senantiasa menjadi pedoman suri teladan bagi diri saya pribadi yang
penuh keterbatasan dan kekurangan ini.
Saya mengucap syukur dan terima kasih tak terhingga
kepada Tuhan Yang Maha Kasih yang telah berkenan menganugerahkan kehormatan
bagi kami untuk berjumpa dengan keluarga besar puteri Jenderal Besar A.H.
Nasution dengan ternyata di dalamnya termasuk seorang cucu Jenderal Besar
Soedirman. Saya juga mengucapkan syukur dan terima kasih tak terhingga kepada
Tuhan Yang Maha Kasih yang telah berkenan mempersatukan cucu Jenderal Besar
Soedirman dengan cucu Jenderal Besar Nasution menjadi pasangan suami
isteri.[***]
Penulis menghormati jasa-jasa para Pahlawan Bangsa
Indonesia
Referensi II:
Ketika saya “diangkat”
menjadi Komjen Pol oleh bung Jaya
Suprana.
Jenderal Hoegeng
Dapat Rekor MURI Sebagai Polisi Paling Jujur Sedunia
Kapolri ke-5 almarhum Jenderal Pol (Purn) Hoegeng Iman
Santoso mendapat rekor MURI sebagai polisi paling jujur sedunia. Sosok anumerta
tersebut yang tegas dan sederhana dinilai patut dijadikan panutan.
Rekor MURI untuk Hoegeng diberikan kepada istrinya yang
saat ini sudah menginjak usia 90 tahunan. MURI pun meminta senior polisi,
Komjen Pol (Purn) Jacky Mardono Tjokrodirejo untuk mewakili menyerahkan piagam
penghargaan tersebut.
Permisi, numpang lewat:
Inilah saat pertama kali, saya mendapat “kenaikan pangkat,” jadi setingkat Komjen Pol
oleh bung Jaya Suprana.
Kembali ke laptop.
"Gusdur bilang di dunia ini hanya ada 2 polisi yang
jujur. Yang satu patung polisi, yang satu pak Hoegeng. Saya sebagai abdi
dalamnya Gusdur sangat percaya. Anugerah MURI dan Anumerta diberikan kepada
almarhum Jenderal Pol (Purn) Hoegeng Iman Santoso sebagai polisi terjujur
sedunia (versi Gusdur)," ujar Direktur MURI Jaya Suprana dalam acara yang
digelar di Gedung Gading Marina Function Hall, Jl Boulevard Barat, Kelapa
Gading, Jakut, Rabu (4/3/2015).
Istri Hoegeng terlihat terharu atas pemberian rekor
penghargaan yang didapat suaminya meski telah tiada. Tampak matanya
berkaca-kaca saat menerima piagam dari MURI.
"Sebelum saya datang ke sini saya pandangi foto
beliau di rumah. Saya bilang ke foto, bapak hari ini dapat penghargaan lagi.
Teriamasih atas penghormatan ini," ucapnya terbata-bata.
Jacky yang cukup dekat dengan Hoegeng dalam kesempatan
itu berbagi kisah mengenai sosok perwira yang menjabat sebagai Kapolri pada
tahun 1968-1971 itu. Hoegeng disebutnya seorang demokrat sejati hingga akhirnya
dicekal saat orde lama dulu di bawah pemerintahan Presiden Soeharto.
"Pak Hoegeng adalah seorang tokoh yang dikenal jujur
dan tugas. Beliau adalah seniman, pemain musik dan pelukis. Banyak yang tidak
mengenalnya. Beliau demokrat sejati, yang mengkritisi Soeharto makanya beliau
dicekal," cerita Jacky.
Legenda kepolisian itu memang salah satu orang yang menandatangani
petisi 50. Sosok Hoegeng dikenal sangat sederhana dan jujur hingga usai pensiun
sekali pun meski pernah menjabat sebagai Kapolri, ia tidak memiliki rumah dan
kendaraan pribadi.
Permisi, numpang lewat:
Pak Nas, adalah juga sosok yang
menandatangani “Petisi 50.” Pada saat pak Nas dan pak Hoegeng “dicekal” oleh orde
baru, saya nekat menjumpai kedua beliau tersebut.
Kembali ke laptop.
Hoegeng disebut Jacky sebagai senior yang mau berkorban
dan memikirkan juniornya. Saat mertua Jacky meninggal, pria asal Pekalongan itu
meminta maaf tidak bisa datang karena takut statusnya yang kala itu dicekal
akan berpengaruh.
"Beliau bilang 'saya ikut berduka cita tapi maaf
saya nggak bisa hadir, takutnya nanti kamu bisa mati karena dianggap dekat
dengan saya'. Itu waktu mertua saua meninggal, beliau sebenarnya ingin
datang," tutur Jacky yang dikenal sebagai Lurah millist Keluarga Besar
Polri itu.
Selain kepada Hoegeng, MURI juga memberikan rekor kepada
seorang dokter yang kembali ke Indonesia setelah lama bekerja di Jerman, Dr.
med. Ali Suyono Purwita, DSBU. Menurut Jaya Suprana, Ali studi lama tinggal di
Jerman. Mulai dari studi, bekerja hingga menjadi dokter spesialis dan kepala
Rumah Sakit di Jerman dan alih kewarganegaraan namun akhirnya memutuskan
kembali ke Indonesia untuk mengabdi bagi tanah air.
Demikian untuk menjadikan maklum.
Wassalam,
Jacky Mardono (83)