Pada 30 Juni Sutan Sinaro manulih:
____
Ha ha, lah batua tu, Habib Rizieq batua, Munarman batua.
Iyo jo urang nan keterlaluan takah iko, nio manang surang paralu sakali-sakali diagiah.
Jan awak urang Islam ko nampak lamah taruih, saba... saba .. saba... eh tantu ado batehnyo.
Baa dek bitu ?, mancaliak tuah ka nan manang, mancaliak contoh ka nan sudah.
Lai tau Abu Bakar ra. ?. Urang nan dek Nabi saw. sendiri disabuik lemah lembut, indak takah
Umar ra. nan selalu kelihatan sangar. Tapi .... haa.... ado tapi nyo.
Katiko urang lah bakalabihan, sia tu ?, ...Namonyo Fanhas... urang nan bakalabihan maino Islam,
Allah dan RasulNyo, nio manang surang. Aaa nan tajadi sudah tu ?.
Marasai kanai karipuak-an (kene belasah, habis dihajar) dek Abu Bakar, sampai "bengeup"
(bangkak-bangkak, babak belur) Fanhas.
Rasulullah saw. berang ?. ... indak dunsanak, malah turun ayat nan membela tindakan
Abu Bakar. ra. (Baco Asbabun Nuzul, ado curito lengkap nyo di situ).
Aaa juo lai, lah pado tampeknyo tu, Islam itu tinggi, dan tidak ada yang mengatasinya.
Billaahil hidaayah wat taufiq
Wassalam
St. Sinaro
------
Assalamu'alaikum Wr. Wb Pak St. Sinaro n.a.h.
Dek karano thread asli topik ko alah ditutuik Rang Dapua tadi pagi, padahal manuruik ambo kisah referensi nan diajukan tentang kejadian Abu Bakar mamukua Fanhas ko sangat menarik,
maka ambo ganti dengan judul thread yang lebih sesuai. Semoga indak melanggar aturan yang sudah dibuek Rang Dapua.
Mohon pencerahan dari Pak St. Sinaro terhadap pemahaman ambo terhadap agamo Islam nan masih tabateh ko. Iko iyo sabana ambo batanyo, khususnyo untuak Pak St. Sinaro meski indak tatutuik kamungkinan untuak sanak lain nan ahli agamo nan manjawek dan ikut memberi penjelasan sebagai bagian dari tawasau bil haq dan tawasau bish shabr.
1. Kisah "Abu Bakar vs Fanhas" ko ambo danga pertama kali di pertengahan tahun 80-an. Wakatu itu ambo duduak di bangku SMA, dan mengikuti pengajian nan diberikan sajumlah muballigh. Tigo da'i nan paling acok ambo ikuti ceramahnyo adolah duo ulama Minang dan surang non-Minang. Duo nan rang Minang adolah H. Mawardi Noor dan Buya Malik Ahmad. Surang dai non-Minang adolah Habib Alwi Jamalullail. Untuak Pak Mawardi Noor dan Habib Alwi, biasonyo ambo mangikuti ka tampek mereka ceramah nan bapindah-pindah masjid, sadang untuak Buya Malik Ahmad ambo ikuik pangajian rutin di rumah baliau dakek Pasa Tebet Barat.
Katigo ulama ko iyo sabana kareh dalam pilihan kato-kato mereka saat ceramah, terutama jika mengkritisi Orde Baru dan Pancasila saat itu. Bahkan Buya Malik nan sempat jadi unggulan calon Ketua Umum PP Muhammadiyah, sampai "keluar gelanggang" karena sikap beliau yang anti Asas Tunggal versi Orde Baru.
(Intermezzo saketek, dek karano itu kutiko diskusi novel Tadarus Cinta Buya Pujangga di kampus Universitas Bung Hatta, Padang, awal April lalu, nan dihadiri sejumlah anggota RN seperti Mak Iqbal Rahman, Bundo Evy, Bundo Hanifah Damanhuri, Uni Rita Lukman, takajuik bana ambo, dalam arti positif/maraso surprise dek karano ado surang penanya dosen di Padang banamo Fikrul Hanif -- nan acok mangirim posting foto bersejarah Minang saisuak di Facebook dan ambo kira banyak nan kenal sanak Fikrul Hanif ko di Palanta RN -- ikuik bakomentar saat diskusi. Pengantar komentar beliau adolah sbb: "Selain Buya Hamka, ado beberapa Buya lain dari Ranah Minang yang perlu disebut, salah satunya adalah Buya Malik Ahmad yang saya tahu pernah menjadi guru Bang Akmal di tahun 80-an ... dst... dst ...". Dan kini, sanak Fikrul sedang manulih buku tentang Buya Malik Ahmad dan meminta ambo sabagai salah satu penulis endorsement buku tersebut).
Dari ketiga ulama di ateh (Buya Malik, Mawardi Noor, Habib Alwi) pada waktu yang hampir bersamaan ambo mendengar kisah "Abu Bakar vs Fanhas" ini dengan inti pesan cerita nan ambo ingek bahwa "kalau Allah sudah dihina, maka kita umat Islam harus melawan, harus berani menunjukkan sikap. Lihat saja Abu Bakar yang selalu lemah lembut bahkan sampai memukul Fanhas."
Poin utama yang ambo pegang sejak itu adolah frasa: "Jika Allah dihina ..."
Pertanyaan ambo untuak Pak St. Sinaro adolah, "Apakah gaya interupsi Prof. Thamrin Amal Tomagola (TAT) yang membuat jengkel Munarman itu memang sudah SETARA dengan gaya Fanhas menghina Allah yang membuat Abu Bakar marah besar?"
2. Sasuai saran Pak St. Sinaro agar awak mambaco asbabun nuzul dari ayat yang membenarkan tindakan Abu Bakar terhadap Fanhas ini (apokah mukasuid Pak Sinaro adolah QS 3: 181-184?), sabab saingek ambo Fanhas adolah seorang Pendeta Yahudi, bukan seorang muslim.
Fanhas adalah Pendeta Yahudi yang ofensif terhadap Islam, ultra radikal, sehingga saking ofensif (dan nekadnya) bahkan menghina Allah di depan Abu Bakar. Bukan lagi menghina Nabi Saw dan kemuliaan ajaran Islam.
Mohon pencerahan Pak St.Sinaro apakah dengan karakter yang ultra ofensif seperti Fanhas itu juga ada pada karakter TAT, sehingga dia layak dipermalukan seperti pada kejadian di TV One, Jumat lalu itu?
Agar pengutipan kisah "Abu Bakar vs Fanhas" ini tidak keliru, terutama oleh ambo nan masih pendek ilmu, ambo kutipkan versi agak panjang dari buku Adab Dialog dalam Islam karangan Dr. Muhammad Sayyid Tantawi di hal. 284 sbb:
----
Diriwayatkan oleh Muhammad Ibnu Ishak dari Ikrimah dari Ibnu Abbas r.a. Dia berkata: Abu Bakar Ash Shiddiq memasuki Midras, yaitu tempat orang Yahudi belajar, didapatinya mereka sedang mengerumuni seorang lelaki yang digelari "Fanhas" ialah salah seorang ulama dan pendeta mereka. Seorang pendeta Yahudi lain yang digelari "Ashya" juga ada di antara mereka.
Lalu Abu Bakar berkata kepada Fanhas, "Celakalah engkau, Fanhas! Takutilah Allah dan masuklah Islam. Demi Allah, kamu tahu bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dia datang kepadamu dengan kebenaran yang tertulis dalam kitab kamu: Taurat dan Injil. Fanhas menjawab, "Demi Allah, Abu Bakar! Kami tidak berhajat kepada Allah yang fakir/miskin. Kami tidak perlu memohon kepada-Nya seperti Dia memohon kepada kami, karena kami kaya. Kalau Dia kaya, dia tidak akan memohon dari kami seperti didakwa oleh sahabatmu Muhammad yang melarang kalian memakan riba, tetapi membenarkannya/membiarkannya kepada kami ... dst ...
______
Atas jawaban Fanhas yang tegas-tegas menyebut bahwa "Kami tidak berhajat kepada Allah yang miskin ... dst" itulah (huruf tebal jawaban Fanhas dari ambo -- ANB), maka Abu Bakar menjadi marah luar biasa dan langsung menampar Pendeta Yahudi itu sambil berkata, "Sekiranya di antara kami dan kamu tidak ada (terhalang) oleh perjanjian, maka akan kupenggal lehermu wahai musuh Allah."
Fanhas yang tidak terima atas reaksi keras Abu Bakar kemudian melaporkan kejadian itu kepada Nabi Muhammad Saw dengan berlindung di balik Perjanjian Hudaibiyah. Fanhas berharap Nabi akan menegur keras Abu Bakar atas "pelanggaran" itu. Namun yang terjadi adalah Allah memberi tahu Rasul Saw apa yang sebenarnya terjadi melalui kalam QS 3: 181-184 yang dimulai dengan "Mereka berkata sesungguhnya Allah itu fakir dan kami kaya ..." dst, sehingga Nabi Muhammad Saw membenarkan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq kepada Fanhas.
Nah, Pak St. Sinaro n.a.h, apakah konteks diskusi Apa Kabar Indonesia Pagi, Jumat lalu, di TV One itu yang bertema "Sweeping di Bulan Ramadhan", dengan segala dinamika diskusi yang lazim terjadi (saling potong pembicaraan, misalnya) sudah sampai pada tahap "seberat dan seserius" penghinaan terhadap Allah seperti dilakukan Pendeta Fanhas secara terbuka dan terang-terangan di depan Abu Bakar?
3. Balik kepada pengalaman ambo dengan tiga muballigh di atas, terutama dengan Buya Malik yang dalam berbagai pengajian rutinnya, selalu mengingatkan agar dalam berdebat selalu berpatokan pada ajaran Quran pada QS 16: 125 terutama tiga elemen diskusi: bil hikmah (dengan bijaksana), mau'izhotil hasanah (nasehat yang baik) dan kalau dua itu sudah tidak mempan, elemen ketiga adalah wa jadilhum bil lati hiya ahsan (berdebatlah dengan cara elok, termasuk di antaranya dengan muka manis dan kata-kata lemah lembut).
Wakatu Buya Malik menjelaskan hal itu, bagi ambo taraso sekali kondisi berang Abu Bakar terhadap Fanhas adalah karena suasananya sudah bukan diskusi lagi. Pendeta Fanhas jelas-jelas sudah menghina, tak tanggung-tanggung, Allah secara langsung. Sementara jika suasananya masih dalam diskusi, perdebatan, berapa pun panasnya, justru umat Islam yang diasumsikan sudah paham mutiara hikmah dan akhlak mulia, akan tetap bersikap tenang, ngemong, terhadap lawan diskusi yang mungkin karena kurang pengetahuan dan pengalaman, bersikap keras kepala dan berulangkali meremehkan, bahkan sampai menghina lawan diskusi.
"Justru kemuliaan akhlak muslim lah yang membuat orang-orang non muslim akhirnya tersadar dari kegelapan hati mereka, dan Allah memberikan hidayah." pesan Buya Malik Ahmad dalam salah satu pengajian beliau. "Inilah yang membedakan Islam dengan ajaran-ajaran lain."
Buya Malik lalu memberi contoh bagaimana dalam perang Khandaq, Ali bin Abi Thalib sudah menjatuhkan seorang musuh dari kalangan kafir dan sudah menghunus pedangnya, ketika mendadak sang lawan meludahi wajah Ali.
Ajaib, bukannya Ali "menuntaskan pekerjaan" yang tinggal satu ayunan pedang lagi untuk membunuh lawan, tangan Ali malah terdiam, membeku di tempat, sehingga lawannya terheran-heran dan bertanya, "Mengapa engkau tak jadi membunuhku?"
Ali menjawab,”Harta benda dan hidupmu menjadi berharga bagiku. Aku tak berhak membunuhmu. Aku diperbolehkan membunuh hanya dalam perang suci, dalam perang yang diperintahkan oleh Allah. Barusan aku telah mengalahkanmu dalam peperangan, memukulmu jatuh, dan hampir saja membunuhmu. Namun ketika engkau meludahi wajahku, kemarahanku sendirilah yang bangkit untuk menghabisimu. Jika jadi membunuhmu, aku melakukannya bukan karena Allah, tetapi karena kemarahan dan kepentinganku sendiri. Maka, orang-orang akan menyebutku bukan sebagai kesatria sejati, tetapi sebagai pembunuh. Sewaktu engkau meludahi wajahku, nafsu pribadi menguasai diriku, sehingga alih-alih membabatmu lantaran kepentinganku sendiri, aku memilih membabat nafsuku demi Allah Swt. Sekarang engkau boleh bebas.”
Mendengar jawaban itu, sang kafir terbuka matanya melihat kemuliaan Islam, sehingga akhirnya memutuskan untuk memeluk Islam.
Ambo yakin, Pak St. Sinaro dengan pengetahuan tentang Islam yang sudah sangat tinggi, tentu sudah tahu pula tentang kisah Ali bin Abi Thalib nan batal mambunuah musuah di Perang Khandaq itu.
Pertanyaan terakhir ambo untuak Pak Sinaro adolah: kalau sahabat Nabi sekaliber Ali bin Abi Thalib sajo masih sangat hati-hati dan berpikir berulang kali dalam menyalurkan amarahnyo kepada urang kafir, padahal itu terjadi dalam sebuah suasana perang, hanya karena Ali ingin memastikan bahwa niatnya untuk melakukan sesuatu tindakan betul-betul hanya karena Allah, bukan karena melampiaskan kemarahan pribadi karena dirinya tersinggung akibat diludahi, maka bagaimana kita, umat Islam sekarang, yang kualitas iman dan kesabaran, keberanian, keteguhan, keuletan, sangat jauh dari Ali bin Abi Thalib, selalu merasa yakin dengan cepat bahwa yang kita lakukan terhadap orang lain, pasti hanya karena Allah semata, dan bukan karena perasaan individual yang sedang tersinggung? Mungkin karena pembicaraan kita yang berapi-api diinterupsi oleh lawan debat misalnya.
Memang tak seorang pun ingin pembicaraannya, apalagi di wilayah publik, selalu dipotong lawan debat yang tak tahu adab diskusi. Tetapi bukankah itu justru merupakan kesempatan besar untuk menunjukkan bagaimana seharusnya bersikap sesuai dengan ajaran Islam (QS 16: 125)? Sebuah peluang emas untuk menunjukkan apa itu akhlaqul karimah yang sebenarnya?
Mohon penjelasan dari Pak St. Sinaro n.a.h.
Wassalam,
ANB
45, Cibubur