Universitas Andalas Teliti Naskah Kuno di Calau Sijunjung

270 views
Skip to first unread message

Nofend St. Mudo

unread,
Sep 16, 2011, 8:07:39 AM9/16/11
to Rant...@googlegroups.com
Kab. Sijunjung | Jumat, 16/09/2011 11:01 WIB

Muaro Sijunjung, (ANTARA) – Ragam budaya dan peninggalan benda-benda
kuno di Kabupaten Sijunjung, Sumbar, kini mulai menarik perhatian para
ilmuwan. Salah satunya adalah para dosen Fakultas Sastra Universitas
Andalas (Unand) Padang, yang kini tengah melakukan penelitian terhadap
kitab kuno di Calau Muaro Nagari Muaro Kecamatan Sijunjung.

“Kita senang dan bangga dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh
Universitas Andalas Padang yang bekerjasama dengan Tokyo University of
Foriegn Studies (TUFS) terhadap naskah-naskah kuno yang ada di Calau.
Ini tentu nantinya akan dapat menguak sejarah yang sangat bermanfaat
bagi masyarakat Calau khususnya dan Muaro secara umum,” ujar Ketua
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) LP3I Kabupaten Sijunjung, Zulkarnain
di kediamannya, Jumat.

Menurut Zulkarnain, kedatangan para ilmuwan dari Unand dan TUFS itu
adalah, dalam rangkaian kegiatan bhakti masyarakat yang dilakukan
Unand bersama TUFS berupa konservasi naskah kuno, dimana di Kabupaten
Sijunjung ada 2 lokasi yang dijadikan objek yaitu, naskah kuno yang
terdapat di surau M. Yasin Tanjung Ampalu dan di Calau Nagari Muaro.

“Untuk naskah yang terdapat di surau Syech M. Yasin telah selesai
dilakukan, sekarang tim ini tengah melakukan penelitian di surau
Syech. Abdul Wahab di Calau,” katanya.

Kegiatan yang dilakukan oleh tim ini, selain melakukan penelitian juga
sekaligus memperbaiki kembali kitab-kitab yang rusak dan robek, tanpa
mengubah naskah asli, baik kertas maupun tulisan dalam kitab tersebut.

“Dari hasil penelitian mereka, kitab-kitab tersebut sudah berumur
sekitar 300 tahun dan ditulis dengan tulisan tangan menggunakan kertas
dari Eropah. Dengan adanya konservasi dan perbaikan terhadap
kitab-kitab yang rusak, kita berharap kitab yang amat bersejarah dalam
pengembangan ajaran Islam di Kabupaten Sijunjung ini kembali utuh
seperti sedia kala,” harapnya. (eri)

http://www.antara-sumbar.com/id/berita/kab-sijunjung/d/18/185604/universitas-andalas-teliti-naskah-kuno-di-calau-sijunjung.html

--

Wassalam
Nofend/34+ CKRG

sjamsir_sjarif

unread,
Sep 16, 2011, 8:57:55 AM9/16/11
to rant...@googlegroups.com
Rupanya ada dua Calau di daerah Sijunjung. yang saya kenal baik Calau yang di sumopur Kudus, Kampung Buya Ma'arif.

Ada yang tahu apa arti kata Calau? Mudah-mudahan para pengreset dapat pula maresek-resek apa asal katanya.

Tentu sebaiknya halaman-halam buku tua itu discan dan disimpan dalam alat-alat computer storage modern yang dapat diakses dengan mudah di perpustakaan-perpustakaan dimasa depan.

Salam,
--MakNgah
Sjamsir Sjarif
Di Tapi riak nan Badabua.
Santa Cruz, California
Sept 16, 2011

Nofend St. Mudo

unread,
Sep 16, 2011, 9:47:44 AM9/16/11
to rant...@googlegroups.com
Mak Ngah.

Sebelum dapek tambahan teng asal kato "calau" ko tarutamo dari sanak
awak nan dari "Muaro Sijunjuang" barikuik ambo tambahkan link tentang
sejarah nan akan ditaliti ko.

Laporan penelitian melacak jejak Hamzah Fansuri di Kampung Calau,
Muaro Sijunjung
studi kasus faham Wahdat al-Wujud
oleh Drs. Nurfaizal.
Published 2002 by Lembaga Penelitian dan Pengembangan, Institut Agama
Islam Negeri Sulthan Syarif Qasim in Pekanbaru .
http://openlibrary.org/works/OL2326493W/Laporan_penelitian_melacak_jejak_Hamzah_Fansuri_di_Kampung_Calau_Muaro_Sijunjung

Surau Syech Abdul Wahab di Calau Ramai Dikunjungi
Selasa, 02/08/2011 23:50 WIB

padangmedia.com - Diperkirakan pada abad ke -17 Masehi, seorang ulama
yang bernama Abdul Wahab datang ke daerah Sijunjung, atau tepatnya
dinagari Muaro untuk mengajarkan agama Islam kepada masyarakat
setempat. Menurut sejarah yang diterima dari berapa orang yang
mengetahui riwayatnya, Syech Abdul Wahab datang dari Tanjung Bonai Aur
Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung.

Syech Abdul Wahab dikenal dengan sebutan “Tuanku Dibawah Manggis”,
yang berusia lebih kurang 100 tahun dan belajar ilmu agama di Lubuak
Sikarah, dulunya dikenal dengan sebutan Kubuang Tigo Baleh, Ia juga
belajar ilmu agama dengan seorang guru dari Pangian, Kecamatan Lintau
Buo Kabuaten Tanah Datar.

Menurut sejarah yang di terima turun-temurun, Syech Abdul Wahab
mengajarkan agama Islam di perkampungan Calau. Ia termasuk orang yang
dicari-cari oleh pemerintah Belanda. Seperti dijelaskan Umar Tuangku
Mudo yang meneruskan kekhalifahan Calau, Syech Abdul Wahab dikenal
sebagai ulama yang sangat benci kepada pemerintah Belanda. Disamping
itu di Nagari Tanjung Bonai Aur, ia juga berselisih faham tentang
I’tikat pengajian Sifat Duo Puluah dengan Tuangku Nan Basiriang .
Menurutnya, kalau paham itu dipakai dan terbawa mati maka akhir
hayatnya kelak akan menjadi harimau. Syech Abdul Wahab khawatir lama
kelamaan nanti bisa tertarik dengan paham itu.

Alasan itulah Syech Abdul Wahab memutuskan untuk menyingkir dari
daetah Tanjung Bonai Aur sekaligus mancari tempat persembunyian dari
Pemerintah Belanda. Di Tanjung Bonai Aur surau beliu terletak dibawah
sebuah batang manggis dan memiliki pancuran tampek mandi sebanyak
tujuh buah. Makanya beliau disebut Tuanku Dibawah Manggis.

Dari tanjung Bonai Aur, ia mengikuti hilir Sungai Batang Sinamar
sampai kemuara Batang ombilin, Batang Palanki dan Batang Sukam yaitu
Batang Kuantan. Lalu ia menepi di daerah yang bernama “Kederasan Baru”
atau Patahan, diperkirakan sebelah hilir dari lokasi runtuhnya Bukit
yang dibelah oleh sungai batang Kuantan pada tanggal 7 april 1968.
Ditempat tersebut terdapat dua peninggalannya selama 3 tahun menetap
di sana yakni batu yang disusun untuk tempat sholat. Menurut seorang
saksi yang melihat tempat tersebut sebelum runtuhnya bukit yang
dibelah dua oleh sungai batang kuantan, batu ini masih bisa dilihat.
Peninggalaan lain adalah sebuah areal persawahan yang dibuat sendiri
oleh Sech Abdul Wahab.

Tak berapa lama menetap disana, Syech bertemu dengan Dt. Tapawuok yang
sekarang bergelar Dt. Tan Marajo. Sang Dt. Tan Marajo sering
berpergian. Iapun membawa Syech Abdul Wahab dari Muaro Kulampi ke
Ranah Katimahar yang sekarang menjadi nagari Muaro. Kala itu Ranah
Katimahar masih dalam tahap pembuatan sebuah nagari.

Setibanya di Ranah Katimahar, atau nagari Muaro sekarang, dicarikanlah
tempat tinggal yang cocok untuknya. Tujuannya agar Syech Abdul Wahab
dapat beribadah dengan khusuk serta aman dalam menyebarkan ilmu agama
Islam kepada masyarakat setempat. Tempaat itupun diminta kepada Ninik
mamak nagari muaro karena akan dijadikan tempat beribadah dan tempat
mengajarkan ilmu pengetahuan agama serta sekaligus menjadi hak kaum
muslimin. Setelah disetujui dan disepakati oleh ninik mamak nagari
muaro barulah beliau membangun tempat tersebut dengan membuat surau.

Surau yang pertama dibangun yaitu Surau Tinggi yang berbentuk
menyerupai rumah adat di Minang kabau yang memiliki tanduk. Hal
tersebut bermakna kesepakatan ninik mamak orang adat dengan orang
agama ( Ulama ), kemudian beliau membangun Surau Tuo dan Surau Masjid.
Ketiga surau inilah yang menjadi surau pokok di Kampung Calau.

Menurut sejarahnya di Surau Tuo beliau tempatkan guru beliau yang
berasal dari Pangian Lintau Buo. Sedangkan pada Surau Masjid itu
pembangunannya dimotori oleh orang-orang dari Nagari Padang Laweh yang
ada pada masa itu. Sedangkan di Surau Masjid ini beliau tempatkan
murid beliau yang merupakan orang Nagari Sijunjung yang saat itu
tinggal diantara Batang Hari dengan Sungai Pugu yang juga merupakan
kemenakan dari Tuangku yang bertempat di Pudak Sijunjung.

Batas daerah yang diberikan oleh ninik mamak nagari Muaro seakan-akan
berbentuk sebuah perkampungan. Sebelah utara berbatas dengan Bandar
yang digali dan Bandar inilah yang dinamakan dengan Calau. Sebelah
selatan berbatas dengan sungai kecil sebelah barat berbatas dengan
pagar kawat. Di Kampung Calau ini, selain mengajarkan ilmu agama.
Syech Abdul Wahab juga membangun perekonomian dengan menanam kelapa
pada lingkungan Kampung Calau, membuat kolam ikan. Diantara kolam itu
ada tiga buah kolam yang hasilnya diperuntukan bagi kepentingan surau.

Selain itu Syech Abdul wahab juga mendapat persetujuan dari Ninik
mamak dalam nagari dan Tuangku Malin Khatib Rajo untuk mencetak sawah
sebanyak 5 piring dan ditambah dengan 13 piring sawah kecil yang
mengelilingi sawah yang lima piring tadi. Keseluruhan hasil yang
diperoleh dari sawah tersebut juga diperuntukan untuk kepentingan
surau.

Menurut riwayat beliau mempunyai 3 orang istri yang pertama berasal
dari Nagari Tanjung Bonai Aur, yang kedua berasal dari padang Laweh
dan yang ketiga di Muaro.

Menurut sejarahnya, Allah memberikan karomah kepada Syech Abdul wahab.
Sewaktu ia sedang mencukur rambut, belum selesai, ia minta berhenti
sebentar dengan alasan sadang mengantuk. Setelah beberapa saat
kemudian, ia meminta kepada tukang cukur tersebut untuk melanjutkanya
kembali. Berselang beberahari kemudian, datanglah serombongan jamaah
yang mengantarkan hadiah sebagai ucapan terima kasih kepada beliau
atas jasanya. Ia dianggap telah menyelamatkan jemaah dari bahaya
tenggelamnya kapal yang tompangi oleh jamaah tersebut pada hari dan
waktu yang bertepatan dengan saat beliau sedang mencukur rambut.

Karomah kedua, saat membuat mata air dengan menusukan tongkatnya
ketanah sehingga mengeluarkan air yang sampai sekarang airnya masih
tetap mengalir dan menjadi sumber air bagi jamaah yang berada di
Calau. Bahkan sewaktu Nagari Muaro mangalami musim kemarau dan
kekeringan selama tujuh bulan, air dari mata air tersebut tetap
mengalir dan tak pernah kering

Peristiwa lain, Syech pernah mengangkat tiga buah batu yang mengapung
dan berputar dari sungai sendirian, yang dihanyutkan oleh gurunya dari
Pudak Nagari Sijunjung. Semua orang tidak mampu mangangkatnya, tetapi
Syech dengan mudah melakukannya.

Peninggalan Syech Abdul wahab adalah Kitab-kitab tulisan tangan yang
tintanya berasal dari getah kayu Juar dan kulit kitabnya terdiri dari
kulit binatang yang sudah dikeringkan serta dari pelepah daun pinang.
Selain itu juga ada tongkat dari Manau Sonsang dan beberapa buah
tongkat besi dan kayu yang didalamnya berisi senjata yang bisa dicabut
jika suatu saat diperlukan. Juga ada beberapa buah Topi yang terbuat
dari bermacam bahan dan motif, jam dinding, uang logam dari berbagai
tahun, tasbih, cincin, beberapa buah anak kunci lemari kuno, carano
dan Kombuik Bantai ( semacam keranjang atau berupa karung kecil yang
terbuat dari kain berwarna merah - hitam dan memakai tali rantai ).

Setelah Syech Abdul Wahab meninggal, beliau digantikan oleh Syekh
Jalaluddin yang juga berasal dari Tanjung Bonai Aur dengan gelar Imam
Aur dan masih sepasukuan dengan Syekh Abdul Wahab yang juga berumur
lebih kurang sekitar 100 tahun dan beliau mempunyai 5 orang istri yang
semauanya berasal dari Nagari Muaro.

Kemudian Khalifah dari Syekh Jalaluddin adalah Syekh Ahmad yang
merupakan anak kandung dari Syekh Jalaluddin dengan gelar Tuangku
Labai dari nagari Muaro. Kemudian Kalifah dari Syekh Ahmad adalah
Syekh Usman yang bergelar Tuangku Bagindo Khatib yang masih merupakan
saudara kandung dari Syekh Ahmad, anak dari Syekh Jalaluddin.

Menurut ceritanya, Tuangku Bagindo Khatib ini menjabat sebagai
khalifah hanya lebih kurang selama empat tahun saja kemudian beliau
wafat, Berdasarkan catatan, Syekh Ahmad meninggal tahun 1932 M dan
Tuangku Bagindo Khatib meninggal tahun 1936 M.

Setelah Tuangku Bagindo Khatib wafat Khalifah diserahkan kepada
Tuangku di Sijunjung yang bernama Kitab dan bergelar Tuangku Malin
Bayang yaitu murid dari Syekh Ahmad. Karena Tuangku Malin Bayang
sehari-hari berada di Sijunjung maka dimintalah bermufakat para
Tuangku yang berada di Calau waktu itu, untuk menjabat sebagai penanti
tamu dicalau. Dari hasil mufakat ditunjuklah 4 orang yaitu, Muhammad
Rasyad yang bergelar Tuangku Kuning berasal dari Toluok, Lintau Buo
sebagai yang dituakan, Abdul Munap bergelar Tuangku Bagindo Khatib
yang lebih dikenal dengan Angku Jangguik dari Muaro kemudian Murid
bergelar Tuangku Malin Mancayo dari Muaro dan Lisuik dengan gelar
Tuangku Malin Mudo.

Setelah keempat Tuangku ini meninggal dunia, maka hasil dari mufakat
jabatan ini dipegang oleh Kamaluddin dengan gelar Tuangku Imam Aur
berasal dari tanjung Bonai Aur, kemudian dilajutkan dengan Husin yang
bergelar Tuangku Imam Kopah karena berasal dari Kopah, Riau dan
dibantu oleh Buya Khairuddin asal Aie Angek. Kemudian dilanjutkan oleh
Syafri, bergelar Tuangku Malin Saidi dari Sijunjung dan kemudian
diteruskan oleh Umar SL dengan gelar Tuangku Mudo dari Muaro yang
menjabat sampai sekarang.

Dijelaskan Umar SL Tuangku Mudo, hingga saat ini, setiap bulan Safar
banyak peziarah yang datang untuk melakukan Zikir dan Berdoa bersama
untuk arwah Syech Abdul Wahab. Kebanyakkan dari peziarah datang dari
Ulakan Pariaman karena dikisahkan juga bahwa Syech Abdul wahab
merupakan teman seperjuangan Syech Burhanuddin dalam merintis dan
mengembangkan ajaran agama islam di Sumatra Barat yang makamnya berada
di Ulakan Pariaman. ( yir )

http://www.padangmedia.com/?mod=ramadhan&id=193


Pada 16 September 2011 05:57, sjamsir_sjarif <hamb...@yahoo.com> menulis:
> Rupanya ada dua Calau di daerah Sijunjung. yang saya kenal baik Calau yang di sumopur Kudus, Kampung Buya Ma'arif.
>
> Ada yang tahu apa arti kata Calau? Mudah-mudahan para pengreset dapat pula maresek-resek apa asal katanya.
>
> Tentu sebaiknya halaman-halam buku tua itu discan dan disimpan dalam alat-alat computer storage modern yang dapat diakses dengan mudah di perpustakaan-perpustakaan dimasa depan.
>
> Salam,
> --MakNgah
> Sjamsir Sjarif
> Di Tapi riak nan Badabua.
> Santa Cruz, California
> Sept 16, 2011

--

Wassalam
Nofend/34+ CKRG

Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages