Kilas balik PRRI/PERMESTA

281 views
Skip to first unread message

muhammad syahreza

unread,
Mar 28, 2013, 12:48:13 AM3/28/13
to Rant...@googlegroups.com

Assalamu'alaikum wr.wb.

Sepanjang minggu ke-3 dan ke-4 bulan Januari 1957, saya, juga Pak Gatot, menjadi tamu Panglima TT-IV/Diponegoro Letkol Soeharto di Tawangmangu. Daerah pegunungan, sebelah timur kota Solo, kami menempati sebuah bungalow. Hawa disini sejuk, apalagi musim hujan. Pak Gatot sangat menikmati liburan nya disini.

Kami berunding dan membahas masalah-msalah nasional selama 2 minggu. Kalau kami sedang ngobrol bebas, Pak Gatot banyak memberi nasehat buat kami. Pak Gatot memang sesepuh Diponegoro. Kalau Pak Gatot ngobrol dengan Soeharto, saya lebih banyak diam, karena saking asyiknya mereka ngobrol dalam bahasa Jawa. Sebaliknya, kalau sedang ngobrol santai begini dengan Soeharto, apalagi kalau ngobrol kenang-kenangan kami masa gerilya, Pak Gatot lah yang menjadi pendengar.

Bertiga kami merundingkan kesatuan pandangan kami mengenai masalah-masalah TNI-AD dan politik negara. Dalam hal pergantian pimpinan AD, Pak Gatot mengatakan siap menjadi KSAD, yang penting melalui prosedur yang benar. Jadi, Panglima TT Jawa Tengah, Soeharto bukan saja pendukung perjuangan kami menentang rezim Soekarno-PKI-Nasution, melainkan ia adalah eksponen perjuangan ini juga.

Itulah mengapa dalam Munas bulan September 1957, Soeharto-lah yang justru mendorong saya dan kawan-kawan perwira daerah untuk menuntut secara lebih keras.

“Kita paksakan saja!” kata Soeharto kepada saya dan DJ.Somba berkali-kali.

Sikap posisi Soeharto tesebut, sudah kesepakatan kami di Tawangmangu, bukan hanya ia perlihatkan kepada kami. Ia bahkan sudah menanamkan garis perjuangan kami itu pada jajaran TT-IV Jawa Tengah. Sehingga banyak kalangan di negeri ini sudah tahu posisi Soeharto, termasuk Bung Hatta.

Itulah mengapa ketika pecah PRRI, awal 1958, tak kurang dari Bung Hatta yang, dalam usahanya mencegah operasi militer pusat terhadap kami di Sumatera dan Sulawesi, mengatakan bahwa pasukan-pasukan di Jawa Tengah tak akan mendukung operasi militer pusat untuk memerangi kami. Ketika KSAD memerintahkan Panglima TT-IV untuk menggempur kami, Soeharto beralasan minta waktu untuk mempersiapkan pasukan. Nanti, setelah didekati langsung oleh Presiden Soekarno, baru akhirnya dikirim juga. Karena yang meminta adalah Kepala Negara, dan diingatkan bahwa itu untuk tugas negara, maka para panglima di Jawa itu akhirnya ‘terpaksa wajib’ mengirim pasukan.

Dikemudian hari, Dokter Engelen cerita ke saya kalau bertemu Gatot Subroto di Puncak. Pak Gatot bilang, “Soeharto sudah nunggu-nunggu, ndak dihubungi”.

Ya, memang kordinasi kami payah.

Upaya Nasution Memecah-Belah Kekuatan Indonesi Timur

Bagi Nasution yang orientasinya hanya kekuasaan dan kekuasaan, politik dan politik saja, tidak dapat mengapresiasi upaya pembangunan ekonomi masyarakat yang padahal tidak boleh ditunda-tunda. Proklamasi Permesta segera terlihat sebagai tantangan dan ancaman. Maka, ia berusaha keras dengan segala cara untuk memotong perjuangan kami. Ia memecah belah kekuatan kami di Indonesia Timur. Dan ia berhasil, karena menemukan celahnya, yaitu Mayor M. Jusuf.

Sejak sebelum saya Panglima TT-VII Indonesia Timur, upaya tersebut sudah dilakukan, yaitu dengan mengadakan KoDPSST. Komando Daerah Pengamanan Sulawesi Selatan & Tenggara ini jelas-jelas merupakan pemecah belah komando Indonesia Timur, memotong dan memperkecil komando TT-VII. Ini terlihat dari 21 Batalyon Tempur yang ada di Sulawesi Selatan dan Tenggara, hanya 1 yang dibawah TT-VII. Pembagian itupun hanya berdasarkan suku. Satu batalyon kami, yaitu Yon 702 pimpinan John Ottay yang kebanyakannya orang Minahasa. Sedangkan 20 batalyon lainnya terdiri dari orang-orang dari Jawa dan Sulawesi Selatan. Begitu juga dalam staf KoDPSST, sebagai diangkat para perwira asal Sulawesi Selatan. Letkol M.Saleh Lahade menjadi Kepala Staf, Letkol Andi Mattalatta sebagai Wakil Panglima.

Sejak semuala saya tidak mempersoalkan kehadiran KoDPSST. Kalau alasan Nasution bahwa ini demi efektifitas operasi penumpasan DI/TII Kahar Muzakkar, mungkin karena ia berpikir kami dengan Kahar Muzakkar teman lama, sejak dari KRIS dan revolusi fisik di Jawa, bagi saya terserah saja. Walau pikiran saya itu adalah mengada-ada karena sesungguhnya Nasution sangat mengenal sifat saya yang obyektif dalam bekerja.

Kalau dibilang TT-VII didominasi perwira-perwira asal Minahasa itu prasangka orang yang tidak mengerti persoalan. Semua penempatan berdasarkan keputusan Reuni Brigade XVI, juga sudah sesuai dengan tingkat senioritas dan syarat-syarat lainnya, seperti lulus SSKAD. Reuni dimotori oleh Saleh Lahade dan Andi Mattalatta, jadi semua berjalan fair dan didukung oleh semua pihak berdasarkan semangat persatuan nasional. Mayor M. Jusuf yang baru pulang mengikuti pendidikan di AS, tidak disukai oleh tokoh-tokoh militer di Sulawesi Selatan sendiri, seperti Latkol M. Saleh Lahade dan Letkol Andi Mattalatta. Ia pernah ikut SSKAD, tapi tidak melalui prosedur dan ujian yang layak, Cuma karena membujuk Pak Gatot, karena ia bukan peserta reguler SSKAD, dan hanya berstatus sebagai pendengar saja. Bahkan, banyak rumor yang mengatakan bahwa M.Jusuf membujuk Pak Gatot dengan menyogok sesuatu yang saya rasakan tidak etis untuk diungkap di memoar ini. Begitu juga untuk masuk ke Fort Benning, pendidikan setingkat dibawah Fort Leavenworth, tidak melalui prosedur dari daerah, tidak melalui seleksi yang fair. Menurut Mattalatta, Jusuf langsung mendekati perwira-perwira kunci di MBAD.

Di AS, Mayor M. Jusuf berteman dekat dengan Ahmad Yani. Yani studi di Fort Leavenworth. Sepulang ke Indonesia, Jusuf tetap berhubungan baik dengan Yani yang menjadi Deputi KSAD. Setelah KoDPSST dibentuk, 3 bulan kemudian Jusuf dikasi memegang komando yang kemudian menjadi Resimen Infanteri Hasanuddin, dan mulailah semangat pengkotak-kotakan sukuisme oleh Nasution berjalan.

Begitu Permesta di Proklamirkan, Jusuf langsung melapor ke Ynai dan MBAD, dan minta intruksi militer. Artinya, memberi diri untuk menghantam kami. Padahal kenyatannya bersama M. Saleh Lahade, Dr. Engelen, Bing Latumahina, dia yang paling aktif merancang Permesta, justru sebelum saya ikut serta. Jusuf juga memprakarsai Dewan Hasanuddin, mengikuti jejak Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan Dewan Garuda di Sumatera. Mungkin tujuan Jusuf cepat-cepat melapor ke MBAD itu hanya sekadar untuk menyelamatkan diri sendiri bila ternyata Pusat menindak kami. Tapi itu sudah cukup menjadi celah penting untuk siasat Nasution bisa masuk, untuk memecah kekuatan inti dari Permesta.

KSAD Mayjen Nasution kemudiannya memanggil panglima-panglima daerah untuk rapat di Jakarta yang akan dimulai pada 15 Maret. Tapi tanggal 14 Maret mereka sudah mengumumkan SOB. Artinya, dalam rapat ia akan menekan kami dan dengan konsekuensi paling kecil yaitu kami akan ditangkap! Ahmad Hussein sampai tidak datang. Seperti itulah gambaran mengenai suasana tegang pada waktu itu, tapi saya tetap datang memenuhi panggilan. Dengan posisi saya yang seperti itu, yaitu sudah mendengar adanya rencana penangkapan, Nasution menjelaskan niatnya membagi TT-VII Indonesia Timur menjadi 4 wilayah militer yang masing-masingnya akan dipimpin oleh seorang Panglima. Sama dengan pembagian wulayah yang kami buat dalam struktur Permesta, namun bedanya kami dalam rangka memperlancar pembangunan disemua daerah, sedangkan Nasution hanya bertujuan untuk memecah belah kami.

Saya menolak keras. Sambil pura-pura tak mau menyinggung tentang tujuan Nasution yang sebenarnya berada dibelakang rencana pembubaran TT-VII itu, saya tetap bicara dalam rangka rasionalitas organisasi militer, efektifitas komando dan efisiensi administrasi sebuah organisasi teritorium tentara. Nasution tidak bisa membantah argumen saya soal-soal organisasi. Saya menyampaikan kesimpulan saya : Membubarkan TT-VII hanya akan memperpanjang dan mengakibatkan kekacauan. Saya bersuara lantang,

“Tolong jangan diteruskan. Karena tuan-tuan akam menimbulkan perang saudara!” saya tegaskan. Semua hadirin terdiam.

Sebenarnya ada juga usaha nasution untuk menyelesaikan masalah kami dengan cara lain. Diluar rapat, saya juga mengadakan pertemuan dengan Nasution dirumahnya. Waktu saya datang, pagi hari, Nasution bilang,

“Saya belum pernah menyediakan minum dan snack untuk tamu lho, tapi untuk Ventje saya harus cari dan beli tadi.”

Dalam suasana yang lebih pribadi ini, saya melihat bahwa dia berharap saya mau minta maaf. Tentu saja saya akan minta maaf kalau memang saya ada salah sama dia secara pribadi. Tapi Permesta adalah perjuangan rakyat, bukan urusan saya pribadi. Dan Permesta pasti bukan kesalahan, tidak mungkin saya akan minta maaf untuk itu! Dalam perbincangan kami itu saya sampaikan kepada Nasution kemungkinan intervensi AS secara langsung lantaran keberadaan PKI yang sudah duduk manis dalam pemerintahan. Keberadaan PKI dalam pemerintahan dimulai berdasar Konsepsi Presiden yang di umumkan pada Februari 1957. Intervensi AS berdasar doktrin resmi mereka, yang terkenal dengan Einshower Doctrine.

Dengan jaminan keamanan dari Resimen Hasanuddin Mayor M. Jusuf, Nasution berkinjung ke Makassar akhir Mei 1957. Nasution berusaha menaklukkan saya, melakukan psywar. Pernah juga Saleh Lahade memperingatkan Ahmad Yani tentang apa yang terjadi. Saleh Lahade mengatakan,

“Pangkal persoalan sebenarnya bukan karena hirarki militer, tidak ada urusan soal itu. Ini soal pembangunan dan sekaligus dengan itu membendung bahaya merah. Ahmad Yani menangkis,“Ah, itu soal politik saja Pak Saleh....... Mendengar jawaban Yani yang seperti itu, Saleh jadi putus asa menjelaskan, maka Saleh hanya berkata berkata,“Kalau begitu, silahkan! Kalau bapak-bapak mau digantung sama PKI!”(Siapa sangka kemudian ucapan Saleh Lahade ini ternyata benar-benar terbukti. Yani dibunuh oleh PKI, Nasution berhasil lolos, namun putrinya menjadi tumbal)Dalam suatu perdebatan sengit di Makassar itu, saya dan Nasution berdebat berjam-jam. Saya lantas bilang,“Saya sebetulnya bisa saja menangkap kamu! Tapi saya pikir, untuk apa coba? Tidak ada gunanya. Itu tidak akan menyelesaikan masalah!”“Ya, saya pikir juga begitu,” kata Nasution.

Bagaimanapun upaya Nasution berhasil. Ia memainkan terus sentimen perbedaan Suku. Dukungan terhadap Permesta di Sulawesi Selatan tersu menurun. Maulai dari Mayor M. Jusuf, Komandan Resimen Hasanuddin, hingga Gubernur Andi Pangerang Pettarani, semuanya dibakar dengan sentimen kesukuan. Setelah likuidasi oleh Nasution, saya tetap memimpin Permesta. Mayor DJ. Somba kemudian meminta agar saya pindah saja ke Utara. Juni 1957, Markas Permesta saya pindahkan ke Kinilow, Minahasa.

Dikemudian hari, datangkan para menteri-menteri dari Pusat mengunjungi Sulawesi Utara, lengkap dengan segala janji-janjinya tentang pembangunan nasional, serta perbaikan taraf hidup masyarakat. Namun, semuanya hannya retorika belaka. Politik memang dengan gampang saja menjanjikan suatu janji yang semu, namun tanpa realisasi sama sekali. Dengan itu, tekad Permesta tetap berjalan terus, bahkan makin merakyat.


Hormat saya

Muhammad Syahreza

Setiap rakyat Indonesia
sekecil apapun kita
semuda apapun kita
dapat membuat Indonesia menjadi lebih baik!

Mulailah dari diri kita sendiri, jika setiap kita menjadi lebih baik, maka Indonesia pasti menjadi lebih baik!


Abraham Ilyas

unread,
Mar 28, 2013, 1:57:50 AM3/28/13
to rant...@googlegroups.com
Terimo kasih angku Muhammad Syahreza.

Tambahan info tentang kurenah Nasution tsb. penting bagi kito semua.
Beliau iko kabanyo daulunyo marupokan alumni sekolah Rajo/Guru (?) di Bukittinggi,...antah kok ado kasam  nan indak kasampaian semoso pelajar, .....sehinggo operasi nan dilakukan terhadap PRRI tsb. berbeda dengan operasi militer yang sejenis kala itu, semisal terhadap penumpasan DI/TII !
Terhadap PRRI adalah operasi militer yang terbesar sepanjang sejarah militer di Indonesia !

Info satantangan sikap jenderal Suharto tsb. ....bagi ambo juo marupokan hal nan baru !
Memang lai ado copy surek pribadi Kolonel Suharto nan ditujukan ka anggota Divisi Diponegoro yang dilampirkan dalam buku berjudul : Perempuan Berselimut Konflik, Perempuan MK di masa Dewan Banteng dan PRRI
Sayang copy surek tsb tak bisa dibaco di buku tsb.

muhammad syahreza

unread,
Mar 28, 2013, 3:55:17 AM3/28/13
to rant...@googlegroups.com
Assalamu'alaikum wr.wb.

Dari info yang lain.... ado namo M. Panggabean di Sumsel waktu tu.. posisi nyo Let.Kol.

http://tuanolosimanjuntak.blogspot.com/

Peristiwa 20 Desember 1956, Pemutusan Sementara Hubungan Pemerintah Sumatera Utara dengan Pemerintah Pusat.

...

Mengenai sekitar perkembangan sosial dan politik di Sumatera Barat/Tengah, memang sudah kuketahui dari berita-berita pers atau surat kabar, namun hanya sekitar kegiatan politik yang menilai kebijakan Pemerintah Pusat yang kurang menguntungkan rakyat yaitu dibidang ekonomi, dimana dikatakan bahwa kalangan pemuka masyarakat, kaum ninik-mamak telah lahir kesepakatan dengan membentuk satu Dewan Perjuangan yang menuntut perbaikan-perbaikan ekonomi dari Pemerintah Pusat, Letnan Kolonel Ahmad Husein sebagai Komandan Resimen IV melibatkan diri dalam pergolakan tersebut. Perkembangan sosial, politik dan militer yang demikian.Tuanolo mengetahui bahwa kesibukan-kesibukan yang terjadi diruangan Kepala Staf Letnan Kolonel Jamin Gintings maupun di ruangan Panglima Kolonel Maludin Simbolon adalah yang berkaitan dengan terlibatnya Perwira-perwira utama dari Resimen IV dalam bidang sosial dan politik di Sumatera Barat/Tengah.

Kapten Sutan Sitompul sebagai atasannya bahwa renana penugasan ke Palembang untuk Menemui Letnan Kolonel Maraden Panggabean dan Mayor Nawawi adalah adalah bersifat RAHASIA, karena Panglima Kolonel Maludin Simbolon sangat memerlukan gambaran tentang situasi di sana yang meliputi perkembangan sosial, politik dan militer. Tugas berat sebagai Perwira Pertama yang semaksimal mungkin harus dilaksanakan, untuk mengetahui dengan jelas dan akurat, dan hanya dengan waktu dua hari saja sehingga diperlukan kesungguhan dan kejelian Sebagai seorang prajurit Sapta Marga apalagi sebagai seorang perwira, harus loyal menerima penugasan dari perintah atasan.
Tnggal 18 Desember 1956, Mayor Nelang Sembiring menyatakan kepadanya bahwa ia harus berangkat dengan pesawat yang pertama dan menggunakan tiket sipil. Kepergian kesana tidak sebagai dinas militer dan harus berpakaian sipil serta menggunakan surat jalan khusus yang telah dipersiapkan oleh ajudan. Dua pucuk surat dari saya, yang ditujukan kepada masing-masing agar disampaikan langsung ketangan Letnan Kolonel Maraden Panggabean dan satu lagi untuk Mayor TNI A. Nawawi, dan pada tanggal 19 Desember selambat-lambatnya sudah harus kembali dengan pesawat terbang yang terakhir. Hasil kunjungannya secara langsung segera dilaporkan kepada Panglima Kolonel Maludin Simbolon sendiri. Apabila sudah tiba di Medan pada malam harinya, Tuanolo harus melapor secara langsung kerumah Panglima Kolonel Maludin Simbolon. Penugasan Tuanolo sangat penting dan rahasia karena hasilnya diperlukan segera oleh Panglima. Itulah sebabnya Tuanolo harus mengusahakan agar kembali pada waktu yang diminta yaitu tanggal 19 Desember 1956. Segala keperluan seperti tiket, pulang pergi, biaya khusus, surat keterangan jalan dan kedua surat yang akan dibawa, besok pagi akan diserahkan sebelum pukul 07.00 pagi dari Letda Komaruddin Sinaga dirumahnya dan kedua surat tersebut harus dijaga baik-baik jangan sampai tercecer atau jatuh ketangan orang lain. Tujuan kepergian besokpun tidak perlu diberitahukan kepada siapapun terkecuali kepada keluarga sendiri. Sudah terang semuanya.

salam
Reza

Andiko

unread,
Mar 28, 2013, 10:52:02 AM3/28/13
to rant...@googlegroups.com
Mengenal Sosok Misterius Kolonel Zulkifli Lubis
Mengenal Sosok Misterius Kolonel Zulkifli Lubis
istimewa
Zulkifli muda mengikuti pelatihan militer Jepang bersama Kemal Idris dan Daan Mogot. Mereka mengikuti pelatihan Dinas Intelijen Khusus Tentara Ke-16 AD Jepang di Tangerang.




Menerbitkan buku gampang-gampang susah. Ada yang mudah, tetapi tidak sedikit yang harus memerlukan perjuangan dan kesabaran. Penulis memang harus sabar, terutama menunggu evaluasi penerbit untuk memutuskan sebuah naskah layak diterbitkan. Waktu tunggu rata-rata tiga sampai enam bulan. Dari situ akan diputuskan sebuah naskah dikembalikan atau dicetak.

Namun, "masa tunggu dan kesabaran" Peter Kasenda sangat diuji sehingga tak heran ketika diberi tahu naskahnya akan diterbitkan, dia menitikkan air mata. Betapa tidak, dosen sejarah Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta ini harus menanti 20 tahun sebelum akhirnya naskah ini diterbitkan!

Buku ini terbagi ke dalam 18 bagian, di antaranya Tanah Rencong, Mengenal Dunia Intelijen, Menantang Nasution, Daerah Bergolak, dan Peristiwa Cikini. Kolonel Lubis di antaranya dikenal sebagai pentolan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) era Presiden Soekarno dan Jenderal AH Nasution. Dia senantiasa berseberangan dengan Nasution. "Sebagaiman layaknya sosok seorang intelijen, kehidupan Zulkifli menjadi misterius. Sedikit sekali orang mengetahui siapa sebenarnya Zulkifli Lubis itu" (hal 9).

"Buku ini sarat dengan nilai-nilai perjuangan Zulkifli Lubis sejak remaja hingga puncak kariernya sebagai petinggi Angkatan Darat, penuh suka duka berikut intrik-intrik politiknya." Demikian yang ditulis di sampul belakang.

Di masa pasca kemerdekaan, negara berjuang mengonsolidasi daerah-daerah agar tak terpecah-pecah. Betapa berat perjuangan mempersatukan Nusantara pada awal-awal kemerdekaan hingga menjelang tahun enam puluhan. Meski begitu, pilihan Pemerintah Jakarta yang cenderung sentralistik dan sangat mengurangi otonomi daerah menimbulkan banyak kekecewaan para panglima militer di daerah. 

Usulan-usulan Wakil Presiden Muhammad Hatta agar lebih banyak dilaksanakan otonomi daerah, tidak ditanggapi pusat. Bahkan, sampai Hatta mengancam mengundurkan diri dan benar-benar mundur. Peristiwa ini semakin meningkatkan kekecewaan daerah, terutama Sumatra Barat, yang kemudian panglima militernya mengambil alih posisi gubernur yang kebetulan dijabat orang Jawa. 

Hal yang sama juga terjadi di Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, atau Sumatra Selatan. Di daerah-daerah itu para panglima militer mengikuti jalan sejawatnya di Sumatra Barat, yaitu mengambil alih jabatan gubernur sebagai protes terhadap pemerintah pusat di Jakarta. Upaya konsolidasi kemudian dilakukan PM Djuanda. Meski pada awalnya ada tanggapan positif karena dia ingin memperluas otonomi daerah, namun akhirnya upaya itu gagal juga.

Buku Zulkifli Lubis Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI AD dilengkapi gambar-gambar penting masa-masa pergolakan. Ada juga gambar atau foto teks asli naskah proklamasi yang dibacakan Soekarno yang ada coretannya, yang mungkin banyak kaum muda belum mengetahui naskah asli tersebut. Contoh adalah pencantuman tahun 17-8-‘05 bukan 17-8-’45 sebab itu disesuaikan dengan tahun Jepang 2605, sama dengan 1945 tahun Indonesia (internasional).

Zulkifli melarikan diri ke hutan di Sumatra karena dituduh sebagai dalang peristiwa Cikini, yaitu pelemparan bom terhadap mobil Presiden Soekarno seusai mengunjungi SD Cikini, tempat anak-anaknya menimba ilmu (hal 158). Pelariannya disertai Ibrahim Saleh. Zulkifli muda mengikuti pelatihan militer Jepang bersama Kemal Idris dan serta Daan Mogot. Mereka mengikuti pelatihan Dinas Intelijen Khusus Tentara Ke-16 AD Jepang di Tangerang. Setelah lulus, dia dikirim ke Bogor untuk pelatihan Peta . Di sini Zulkifli bertemu Soeharto (hal 31). Dia menjadi asisten pelatih di kompi Soeharto. 

Begitulah perjalanan militer Zulkifli terus menanjak sampai menjadi Wakil KSAD. Buku ini cukup lengkap untuk melihat sisi lain masa perjuangan pascakemerdekaan atas perjalanan militer terutama AD. Mereka yang mendalami sejarah militer Indonesia perlu membaca buku ini. Demikian juga masyarakat pada umumnya.

Diresensi oleh Ign Dhama Wahyu S,
Mahasiswa Atma Jaya, Yogyakarta


Judul : Zulkifli Lubis Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI AD
Penulis : Peter Kasenda
Penerbit : Kompas Media Nusantara
Terbit : Juni 2012
ISBN : 978-979-709-646-5
Tebal : xiv dan 218 halaman

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/98575
Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages