Senin, 16 February 2009

BATUSANGKAR—Halamannya luas, rumput-rumput tertata rapi, batu-batu
berumur ratusan tahun berjejal menjadi pagarnya. Dua rangkiang masih terlihat
kokoh. Sebuah bedug (tabuah) yang ditopang penyanggah kayu menggantung kokoh di
sebuah bangunan lepas pada arah kanan. Rumah gadang bagonjong beratap ijuk
terlihat tenang dan damai menantang zaman, bangunannya begitu kuat menahan hempasan
musim.
Kemegahannya terlihat pada lukisan dan reliefnya yang “hidup” dan
tidak menunjakkan wajah tuanya. Berada di lokasi ini, dan saat memasuk ke
dalamnya seakan ruang dan waktu menyihir untuk kembali ke masa lalu, tatakala
Makudun Syah Dt. Bandaro Kuniang penguasa kelarasan Bodi Chaniago masih
memimpin negeri ini.
Makudun Syah Dt. Bandaro Kuniang mendirikan rumah gadang pada tahun 1906 di
kawasan Kubu Rajo Nagari Limo Kaum sebagai tanda bahwa pucuak bulek Bodi
Chaniago menjadi sebuah kelarasan di Minangkabau. Lebih jauh memasuki rumah
gadang ini dihiasi dengan ukiran, warna kekuning-kuningan mendominasi sebagai
warna tanda kelarasan Bodi Caniago, terpajang foto Makudun Syah Dt. Bandaro
Kuniang bersama pasukannya.
Ada lima bilik untuk penghuninya terutama untuk perempuan, bilik arah kiri
untuk yang berusia tua dan di pangkal rumah arah kanan bagi yang muda.
Kayu-kayu lama yang kuat masih tahan menopang 30 tonggaknya, anjuang paranginan
di atas dan bawahnya bertingkat tiga kesemuanya terpahat kuat tanpa paku-paku.
Ada Enam Rukun Iman dan Lima Rukun Islam yang dilambangkan tiap tonggak, bilik
dan inteterior ruangnya. Kekentalan sendi syarak dan adat juga terlihat pada
tiap jendela dan pintu masuk bertuliskan huruf-huruf Arab.
Atas kebesaran dan keunikan sejarahnya yang menumental dengan kemegahan dan
kekokohannya rumah gadang ini menjadi aset wisata budaya di Tanah Datar. Kerap
ke sini berdatangan pengunjung dari domestik dan mancanegara. Bahkan sejumlah
sinetron yang berlatar budaya Minangkabau, seperti Sengsara Membawa Nikmat,
Sabai Nan Alui dan lainnya terlahir di rumah gadang ini.
Namun, di tengah usia tuanya rumah gadang ini tak kuat menahan deraan musim dan
kehidupan, ini terlihat dari sebagian kayu pada dinding, lantai dan tonggak
kecil lainnya telah mulai rapuh akibat dimakan rayap, begitu juga dengan atap
dari anjuangnya yang telah rusak. Sutan Machmud, yang menjadi sumando di rumah
gadang itu menyebutkan pada Singgalang, Sabtu (14/2) , pada zamannya sebagai
Pucuak Bulek Kelarasan Bodi Chaniago, Dt.Bandaro Kuniang menjadikan rumah
gadang sebagai sarana musyawarah bagi pengikutnya, setelah musyawarah awal
dilaksanakan di Balairung Sari Nagari Tabek, dan keputusan dilaksanakan di
rumah gadangnya.
Dikatakannya, kelarasannya yang tersebar pada seluruh wilayah Minangkabau,
seperti Sangir, Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Sungai Lasi XI Koto, Bayang Nan
Tujuah, Sei Geringing, Sungai Limau 12 Koto, dan sebagian besar Agam. Kesemua
pemangka adat dari kawasan ini berdatangan ke Kubu Rajo untuk bermusyawarah
yang dipimpin oleh Dt. Bandaro Kuning.
“Artinya rumah gadang ini sebagai lambang dari kelarasan Bodi Caniago
sampai saat ini tetap terawat dan terjaga,” ucapnya sembari menyebut,
sepanjang ratusan tahun usianya hanya atap ijuknya pernah diganti pada seekitar
tahun 80-an Sedangkan, penghuni rumah gadang ini Animar yang menjadi generasi
ke-IX dari keturunan Dt. Bandaro Kuniang mengatakan, rumah gadang ini sebagian
memang telah mengalami kerusakan. Sebagai penghuni ia berniat memperbaiki,
namun ia mengaku punya keterbatasan biaya untuk itu.
Hal yang sama pun terjadi pada barang-barang peninggalan rumah gadang, dan
kitab-kitab tua lainnya telah raib entah kemana. Animar ketika itu bersama
Dayat anaknya berharap agar Pemkab Tanah Datar punya kepedulian dan perhatian
untuk ini, karena rumah gadang itu mengandung nilai sejarah budaya Minangkabau
yang harus dilestarikan. (yusnaldi)
http://hariansinggalang.co.id/index.php?mod=detail_berita.php&id=331