Baluik Masiak (Belut Kering)
“Samba Lado Baluik Masiak”
By : Jepe
Menjelang pulang ke Pekanbaru dari Bukit Tinggi saya sempat singgah di pasar tradisional Kota Payakumbuh untuk membeli makanan favorit saya yaitu “Baluik Masiak” begitu kira-kira namanya. Saya menemui langganan saya seorang ibu-ibu paro baya yang menggelar dagangan di pinggir jalan disebuah pasar tradisional di Payakumbuh. Mari sedkit kita bergoyang lidah dengan baluik masiak oleh-oleh khas ranah minang ini tapi dengan catatan anda harus masuk keterowongan waktu dan putar jarum jam kebelakang dimasa saya anak-anak menjelang remaja di kampung halaman saya..
Abrakadubrak..pussss !!! anda telah berada di kampung saya jorong Ujung Labuah Tanjung Barulak Kanagaraian Tanjung Emas Kabupaten Tanah Datar direntang tahun 1975 an, saat itu dikampung saya musim kesawah. Inilah sebuah puasaka kuliner dari Mak Tuo yang memang ahli menghadirkan menu-menu masakan yang khas, sebuah tradisi memasak turun temurun dari niniknya yang dikerjakan serba manual, menu-menu seperti ini dikenal dengan istilah “samba-samba buruak”
Samba buruak itu adalah “Samba Lado Baluik Masiak” begini kira-kira episode makan siang di dangau saat istirahat kesawah. Saat keringat bercucuran dan sekujur tubuh berkubang tanah liat perut terasa begitu lapar ditengah hari menjelang shalat dzuhur, sementara di dangau tengah sawah Mak Tuo saya sedang mempersiapkan makan siang buat sanak saudaranya yang turun kesawah, saya anak kecil dibekali keinginan tahuan yang kuat untuk melihat Mak Tuo saya di dapur “ala kadar” dibelakang dangau menu apa yang akan dihadirkannya bagi kami
Nasi dengan beras baru yang ditanak dalam periuk airnya mulai kering, sejenak “dikakah” nasi dalam periuk dengan tangkai sendok yang terbuat dari batok kelapa, sebelum periuk ditutup Mak Tuo saya dimasukannya Pucuk Ubi, Kacang Panjang dan Terong Ungu ukuran sedang yang dia petik tadi pagi di parak keluarga kami, lalu diatasnya ditarok beberapa buah cabe keriting (Minang : Lado bulek) dan beberapa butir bawang merah yang telah disiangi,. Sementara bara api yang sedang menyala Mak Tuo saya membakar beberapa ekor baluik masiak.
Nasi beras baru telah masak dengan sempurna, rancaknya bak kembang bunga limau (jeruk), sayur-sayuran yang diuok dipindahkan kedalam piring sekenanya saja nasi , sementara cabe keriting dan bawang merah sedikit dikasih garam ditumbuk oleh Mak Tuo saya dalam sebuah tempurung (Minang :Sayak) tua bersama belut masiak yang dibakar tadi, retak-retak lebar (ratak-ratak leba) begitu istilah atau dendang kuliner kawan saya penikmat kuliner pusaka ranah minang yang hidup dijaman sekarang, tumbukan kasar ini telah bersatu secara sempurna dalam tempurung, itu belum selesai lalu Mak Tuo saya menuangkan minyak tanak (minyak kelapa asli dibuat secara tradisional) beberapa sendok lalu terakhir diberi sentuhan segar air jeruk asam sundai, wayauuu..luar biasa harumnya dan menggugah selera ketika tempurung tua itu saya dekatkan kehidung saya, dampaknya menstimulam kulit kepala saya seperti kena sentrum arus lemah dan perut lansung bereaksi spontan berteriak menggigil kelaparan.
Nasi didalam periuk di hidangkan dalam dangau kami ditengah sawah dengan dinding kayu saparuhnya terbuka sehingga tiupan angin segar disiang hari yang terik ketika matahari “tagak tali” terasa sekali angin sepoi-sepoinya menampar tengkuk kuduk kami, samba lado baluik masiak didalam tempurung berada ditengah kami yang duduk bersila bagi kaum lelaki dan bersimpuh bagi kaum perempuan, Sambal dalam tempurung yang berkilau diterpa cahaya dari sela atap rumbia dangau begitu menggoda, layaklah diantara hidangan yang disajikan Mak Tuo saya ini “dialah kartu as, dialah primadonanya kata orang minang dialah samba lado baluik masiak ini “kapalo jamba”. Lalu sebagai padanannya disamping uok pucuk ubi, kacang panjang dan terung ungu yang nyes-nyes berair, Mak Tuo saya juga menghandirkan dalam jamuan santap siang yang penuh sensasi ala orang kampung di tengah sawah ini telur dadar itik yang selebar piring makan digoreng dengan minyak tanak juga, tidak terlalu padat dengan sedikit rongga, pinggiran yang tipis seperti renda begitu menggoda dan menikam pusat kesadaran rasa saya, ahaa..edun memang !!!
Nasi disendok dalam periuk, sepotong telur dadar, lalu di tepi piring seonggok kecil samba lado baluik masiak. Kami hanya diam seribu bahasa tiada kata lagi yang terucap, yang tersisa hanya bunyi “daceh” cepak cepong ditikam rasa ketika suap demi suap nasi yang dilumat rongga mulut, nasi dari beras baru yang manis, samba lado baluik masiak, telur dadar dan uok sayur2an menghadirkan sensasi rasa yang “berdenyut”, denyut yang berasal dari bahan-bahan alami dialam ranah minang yang subur dan indah serta diolah serba manual dari sebuah tradisi memasak yang panjang dari bundo-bundo kanduang kita.Ahh sepertinya saya kehabisan kata-kata untuk sebuah kenikmatan alami ditengah sawah ini ketika makan siang.
Sebaiknya kita keluar dari terowongan waktu itu segera dari pada kita pingsan ditendang rasa dan sensasi makan siang ditengah sawah itu dengan samba “buruak” yang punya nama “keren dan beken” samba lado baluik masiak baminyak tanak jo ba asam sundai. Anda ingin merasakan sensasinya di rumah, cobalah tapi buatlah serba manual dengan bahan-bahan pilihan yang masih segar.
Salam “Dendang Kuliner”
Pekanbaru, 4 Januari 2010
Baluik Masiak satu renteng terdiri dari 5 bilah belut kering
Harganya Rp 45.000/renteng. Satu renteng terdiri dari 10 ekor belut
kering
Da Jepe,
Harganya Rp 45.000/renteng. Satu renteng terdiri dari 10 ekor belut kering
Ndak salah go Da??
Lai ndak tamaha Uda mambali baluik masiak sapuluah ikua 45rb?
Wassalam
Rina, batam
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Kalau produk-produk rakyat ko, kalau kito mambali indak acok bana,
kadang ambo piciang kan se mato untuak mambayia harago nan inyo
sabuikkan. Bukan berarti ambo banyak pitih, tapi iko bentuk penghargaan
ambo ka pengabdian rakyaik ko manjago makanan, kesenian jo kerajinan
tradisi. Indak ado nan mambilai jo mambina mereka-meraka ko, misalnyo
tukang dadiah, ampiang, paniaram dsb. Panah ambo datang ke sebuah desa
di Larantuka Flores mancari tenunan tangan asli desa itu, iyo susah bana
inyo mambuek, jo cinto inyo karajokan. Yo rela se ambo mambayia harago
nan inyo sabuik. Ambo tahu kalau urang kampuang itu indak ka mancari
kayo jo harago nan iyo sabuikkan. Cubolah main sakali di Pasa Raya Blok
M atau Sarinah, harago tenunan nan samo, bahkan nan dijua ba onggok di
pasa Maumere itu haragonyo mintak ampun. Bara margin keuntungan nan
diambiak dek distributor jo trader tu. Samantaro tukang tanunnyo,
iduiknyo mode itu se.
Mode itu juo tukang baluik ko. Sungguah sangaik payah malukah baluik,
apo lai sajak revolusi hijau, sawah di bom jo pupuak kimia, alah jarang
baluik kini ko. Kadang dapek kadang indak. Sasudah itu, bakawan tangan
jo sambilu mambarasiahannyo, kalau lai elok rasaki, salamaik tangan dari
lukonyo, kalau indak, bakuduang jadinyo. pro Kalau buliah ambo usul ka
uda jo dunsanak, jikok batamu jo urang kampuang nan manggaleh produk
tradisionalko, agiahlah sedikit harago labiah, itu kontribusi kito
kapado amak-amak, andeh-andeh, jo etek-etek nan malanjutkan produksi
tradisi kito.
Oh yo, dek lamak bana tabayang makan disawah jo baluik panggang, payah
ambo mancarikan kato nan tapek untuak mandendangkannyo. Yo manunggu
saketek da.
Salam
Andiko Sutan Mancayo
Apa yang Andiko sampaikan ya..sangat menaruh respek dan memberikan apresiasi tinggi atas apa yang diungkapkan
"iko bentuk penghargaan
ambo ka pengabdian rakyaik ko manjago makanan, kesenian jo kerajinan
tradisi"
Kelihatannya di darat kita memang sebendi, begitu juga dilaut kita sebiduk
Tapi ironis dan menikam rasa keadilan di masyarakat banyak terutama petani dan nelayan gurem serta sentra2 kerajinan rakyat ketika para pemimpin dan elit bangsa kita ini "menghamburkan dan bermain-main" dengan uang triluan rupiah, cilakanya itu disektor moneter yang berbicara tentang suku bunga, saham, bursa efek, valas dsb dalam bahasa awamnya "manggaleh kepeang sajo"
Sementara sektor rill terutama di tingkat nelayan dan petani sungguh masih jauh, sedih memang padahal pondasi ekonomi kita dengan jumlah penduduk ratusan juta dan terkosentrasi banyaknya di masyarakat bawah adalah berdenyutnya sektor rill ditingkat masyarakat kebanyakan tapi penguasa dan elit kita memang betul2 keperpihakannya tidak ada kalaupun ada belum menyentuh pada persoalan yang paling mendasar yang dibutuhkan oleh para petani dan nelayan kita, dengan uang triliun rupiah itu berapa banyak masyarakat bawah tertolong dalam menggerakan sektor rill ini
Tapi ya sudah Andiko apa yang kita bisa lakukan kita lakukan seperti contoh kecil yang telah kita perbuat mencoba mencintai produk rakyat baik bahan makanan, buah2an dan sayura2an serta kerajinannya
Didarat kita se bendi
Ya saya suka membelanjakan uang saya jika keranah minang membeli makanan, buah2an sayur2an, oleh2 khas dan kerajinan home industri sekedar oleh2 dan kenang2an
Untuk produk tertentu saya tidak akan tawar menawar lagi semisal contoh kecil ketika membeli jagung rebus dilepas lubuk alung pinggiran jalan
Harganya Rp 1000 per biji, murah sekali "cilaka" sekali jika saya tawar lagi, saya sangat bisa merasakan seberapa besar margin atau keuntungan yang didapat penjual ini mungkin dikisaran 200 sampai 300 perak per biji, jika saya tawar Rp 900 mereka pasti mau, tapi alangkah baik hatinya penjual ini ketika tidak saya tawar saya borong 20 biji maka dilebihkannya 2 biji
Mau bukti lagi ada saksi hidup di Rantau Net ini yaitu Arif Rang Kayo Mulia ketika saya habis belanja bantuan gempa berupa obat2an di Pasa Ateh Bukit Tinggi saat ke parkiran mobil datang ibu2 tua membawa pisang buai yang segar2 dan moontok2 2 sikat si ibu berkata
"Nak bali pisang amak ko 30 Ribu sajo duo sikek ko"
Mmm..ini memang pisang kegemaran saya, saya tidak tawar lagi tapi memang secara bercanda saya bilang "28 ribu baa nyo Mak, iko pitih ambo 30 ribu baliak 2 ribu untuak uang parkir"
Wah dengan wajah sumringan ibu ini mengembalikan uang saya 2 ribu buat parkir
Berlabuhlah 2 sikat pisang buai nan rancak dan montok dalam mobil sepanjang perjalanan kami hajar
Saya ingat pesan dan pelajaran dari Emak saya tentang jangan ditawar2 lagi yang menjual atau menjojo ini kalau sudah wajar dan pas harganya "ibo awak lah tipih tapak tarompanyo bakuliliang manjojokan galeh"
Bahasa dan ungkapan yang sederhana dari Emak saya tapi penuh makna bagi saya
"LAH TIPIH TAPAK TAROMPANYO"
Anda pasti bisa merasakan denyut ungkapan kata tersebut apa artinya
Ngomong2 soal pisang buai ranah minang Andiko setahu saya yang terkenal dan enak sekali pisang dari nagari Sungayang jika pisang ini ibaratnya Marapulai maka anak daro yang pas bersanding adalah Lamang Limau Kaum..betulkah Andiko jika kita bulkan saja sebendi, sebiduk tapi juga sebendera
Sebiduk di Laut
Ini jangan ditanya "paisson" saya takan pernah pudur jika berbelanja di pantai beli ikan dengan nelayan gurem, ikan pukat terutama saya tidak akan pernah menawar lagi anak-anak ikan yang dijual peronggok ini, ingat pesan Emak "lah tipi tapak tarompanyo" atau bahasa pasianyo lah gantiang pinggang jo malatuah tapak kaki dek pasia angek maelo pukek"
Ya Andiko kampanyekan terus cinta produk ranah minang, produk rakyat walau kita hanya baut kecil dalam sistim mesin di negara kita yang luas ini tapi kita telah berbuat sesuatu untuk sedikit berdenyut sektor rill ditingkat masyarakat banyak terutama nelayan dan petani kecil, biarlah sungguh "cilaka" para penguasa dan elit itu yang "menghamburkan dan memainkan" uang rakyat triliunan rupiah dan parahnya disektor moneter yang hanya dinikmati segelintir orang saja dan itu elit2 dinegara kita ini dan pantas mereka kaya2 luar biasa..edunn seorang PNS atau pejabat tinggi denger2 bisa beli mobil Ferrari build up segala..entahlah
Andiko masih muda punya kesempatan yang sangat lebar merasakan denyut kehidupan masyarakat banyak dengan berkeliling2n jika anda beli kerajinan rakyat dengan picing mata paling tidak nanti andiko bisa buka galeri seni barang2 kerajinan rakyat ataubarang2 yang anda beli itu tentu punya cerita dibalik itu semua, sebuah cerita di negeri yang kaya tapi para penguasanya tidak berpihak pada masyarakat kecil terutama nelayan dan petani
Terima kasih berbaginya, ceritakanlah pengalaman Andiko tentang hal ini yang merupakan bagian dari kampanye mencintai produk rakyat baik makanan, buah2an, sayur2an, kerajinan, budaya, seni tradisi
Wass-Jepe
Mungkin namo-namo pisang ado babeda-beda. Nan maa nan "pisang buai"?
MakNgah baru breakfast jo Pisang Panggang. Pisang panggang ko lah manjadi tradisi lo dek Makangah sajak ketek. Ayah suko bana makan pisang panggang ko pagi-pagi. Pisangnyo Pisang Gadang namonyo di kami di Bukittinggi, pisang nan biaso dikatangahkan untuak minun kawa, ka ubek padeh, atau parabuang katu barelek.
Pisang panggang MakNgah ko indak paralu diagieh madu doh. Karano aia pisang panggang tu sandiri lah manih bana dan unik rasonyo.
Kalau saisuak ayah mamanggang pisang di tungku, Kini MakNgah pakai Toaster Oven. Duo buah pisang gadang tu dialeh jo foil. Foilnyo ditinggikan kuliliang supayo aia pisang tu indak tatumpah wakatu dipanggang (bake atau broil). Pisang tu dibake sampai iyo bana agak tapanggang kuliknyo, sahinggo aianyo mailia. Aia tu ditampuang elok-elok ka cambuang, ditambah jo santan karambia mudo. Sudah tu pisang baka tu dibukak jo sendok, dimasuakkan ka dalam cambuang tu. Ondeeh, cubolah, sabona lomak manih. Makngah tambah lo jo cereal, langkoklah breakfasnyo jo kopi pulo.
Salam,
--MakNgah
Sjamsir Sjarif
Kini sudah sumbayang luhua, istirahat karajo, tampak lo Durian di pintu
bulakang nan dibali barapo hari nan lalu. Dibukak saruang, dikaruak
isino. Katu mahampai manggigikno, malayang lo pangana jauah ka Pantai
Minang, ka suatu pulau di muko Taluak Aia Bangih. Pulau Panjang ,
terkenal dengan "Durian Kaambuik"nyo karano sagadang-gadang kambuik.
Inceknyo ketek, dagiangnyo taba, kok digigik iyo tabanam sampai ka urek
gigi ... :)
Takana lo pantun Rang Pulau Panjang maso saisuak satangah abad nan lalu:
Pulau Panjang tadorong panjang
indak dapek barumah lai.
Kasiah sayang tadorong sayang
indak dapek barubah lai ...
Dek tasabui kato "kambuik" ko takana lo pantun garah Uda Gadang ciek:
Bukan doh kambuik daun pandan,
mansiro buek ka kampia.
Bukan doh kantuik hawo badan,
ikua tu bana nan badikia ... :)
Salam,
--MakNgah
Sjamsir Sjarif
--- In Rant...@yahoogroups.com, "sjamsir_sjarif" <hambociek@...>
wrote:
>
> Renny,
>
> Mungkin namo-namo pisang ado babeda-beda. Nan maa nan "pisang buai"?
>
> MakNgah baru breakfast jo Pisang Panggang. Pisang panggang ko lah
manjadi tradisi lo dek Makangah sajak ketek. Ayah suko bana makan pisang
panggang ko pagi-pagi. Pisangnyo Pisang Gadang namonyo di kami di
Bukittinggi, pisang nan biaso dikatangahkan untuak minun kawa, ka ubek
padeh, atau parabuang katu barelek.
>
> Pisang panggang MakNgah ko indak paralu diagieh madu doh. Karano aia
pisang panggang tu sandiri lah manih bana dan unik rasonyo.
>
> Kalau saisuak ayah mamanggang pisang di tungku, Kini MakNgah pakai
Toaster Oven. Duo buah pisang gadang tu dialeh jo foil. Foilnyo
ditinggikan kuliliang supayo aia pisang tu indak tatumpah wakatu
dipanggang (bake atau broil). Pisang tu dibake sampai iyo bana agak
tapanggang kuliknyo, sahinggo aianyo mailia. Aia tu ditampuang elok-elok
ka cambuang, ditambah jo santan karambia mudo. Sudah tu pisang baka tu
dibukak jo sendok, dimasuakkan ka dalam cambuang tu. Ondeeh, cubolah,
sabona lomak manih. Makngah tambah lo jo cereal, langkoklah breakfasnyo
jo kopi pulo.
>
> Salam,
> --MakNgah
> Sjamsir Sjarif
>
Baurak puro kenangan, jo pulau panjang pulau cangkeh, bahampia jo gosong
sati, gosong Tuanku Rao urang imbauan. Jikok lalu kapa siantaronyo,
alamaik indak ka babaliak pulang. Disinan Tuanku Rao bakubua, mati
ditembak mariam ulando. Kok pulau panjang ka di baco, panah urang kayo
se pauninyo, mamijak biji cangkeh jalannyo. Kok bagurau urang ko di pasa
Aia Bangih, nan taloncek tanyo "Bara ikua baruak ang nan naiak hari
nangko", jiko di kadai nasi, jo limun inyo cuci tangan (bir haram).
Baitu bana kayo urang. Tapi tuhan datang ma agiah peringatan, mati gadih
cangkeh-cangkeh ko, ma nan siso nyo kirim Tomi jo BPPCnyo, jatuah
tahampeh kasadonyo.
Sa hampia jo Pulau Panjang, manyalek si Kabau, datuak pancang
panguasonyo. Dari lawik baliau datang, tasakek kapa di ateh bukik. Jikok
mak ngah pai kasinan babarapo tahun nan lalu, bakapa kito dari pasa Aia
Bangih. Ndak lamo riak dititi, datang manyambuik muaronyo, baserak
cemara udang, salo manyalo jo karambia gadiang. Jikok malam alah tibo,
ramilah urang di jalan kampuang, ramilah lapau dek gurau, rami subana rami.
Aia bangih Kapa balayia,
balayia taruih ka katiagan,
sarek muatan buah palo,
adiak nan manih cubolah pikia,
sudah baiyo baindakkan�.dehhh,
tanggauanglah doso, salamonyo�.
Ujuang gadiang jambatan gantuang,
kawek tarantang ka subarang,
tukanglah anak paninggahan,
raso kaputuih hati nan jo jantuang,
di dalam tangan diambiak urang,
baitu bana parasaian, sansaiiiiiiiiiiiiiii
Sakitu dulu Mak Ngah, bilo mak ngah terakhir ka Aia Bangih
Da Jepe
Ado sebuah carito, di batu nisan seorang tokoh tertulis sebait kalimat
penyesalan sebagai berikut
Ketika aku umur 20an, kuingin mengubah dunia, tapi ternyata aku tidak
mampu sampai aku umur 30an
Ketika aku umur 30an, kuingin mengubah negaraku, tapi aku tidak mampu
sampai aku umur 40an
Ketika aku umur 40an, kuputuskan untuk mengubah masyarakatku, ternyata
aku juga tidak mampu sampai aku berumur 50an
Ketika aku berumur 50an, ternyata aku menemukan cara untuk mengubah
dunia, negara dan masyarakatku yaitu dengan mengubah pola pikir dan
prilaku aku dan keluarga kecilku, namun sayang, ketika aku ingin
melakukan itu, aku tidak lagi punya kemampuan dan aku meninggal dunia
ketika aku belum melakukan perubahan apapun.
Melawan kapitalisme-konsumerisme manuruik ambo harus dimulai dari diri
sendiri, dengan mengendalikan keinginan untuk bermegah-megah, karena
disitulah tempat ketika produksi yang memasok keinginan kemegahan itu
tumbuh yang pada akhirnyo menyeret kito kepada masalah-masalah yang
indak paralu. Dalam skala yang labiah gadang misalnyo kasus pembelian
mobil mewah dek mantari-mantari kito nan haragonyo labiah dari 1 M.
Baitu pulo katiko kito ingin rakyaik sejahtera, indak ado jalan, kito
harus bali produk inyo dengan harga yang pantas. Itu yang dicontohkan JK
dengan mamakai sapatu cibaduyut katiko kampanye pilpres (terlepas dari
apo mukasuiknyo). Salah satu masalah gadang produksi rakyat salain
permodalan adolah pasar. Kalaulah ado kesepakatan katiko hari rayo
adolah hari dimano para perantau mambali bermasam-macam produk rakyat,
manyuruah anak-anaknyo ikuik sato pulo, alah bara putaran pitih tu
salama satu minggu inyo di kampuang. Kalau itu balanjuik taruih, mangko
akan banyak anak kamanakan kito nan basikola tinggi. Mode pengalaman
ambo, untuang indak baranti urang makan ikan asin jo bada masiak katiko
ambo kuliah, kalau baranti urang mambali itu, mangko indak jadi tamaik
kuliah doh, jo itu mandeh manyikolahkan, manggaleh dari pasa ka pasa.
Panah ambo caritokan di palanta ko, tentang uniang nan manggaleh katupek
gulai paku bagarobak di halte sampiang polsek di mungko Pangeran Beach.
dek urang indak baranti mambali katupeknyo, alah banyak anaknyo nan
sarjana. Tiok pagi ukatu masih karajo di Padang ambo pasokan mambali
katupek tu, salain katupek itu memang lamak, taragak lo ambo mancaliak
uniang ko manghadiri wisuda anaknyo.
Sakian dulu kanda
Didarek kito sabendi
Dilauik kito sa kapa
Kok sasek tolonglah tunjua'i
Kok tasakik tolonglah saba
Salam
Andiko Sutan mancayo
Mari kito kampanyekan "Minggu Mambeli Galeh Urang Kampuang"