Paruh Baya: Bukan Puber Kedua..!

40 views
Skip to first unread message

Arnoldison

unread,
May 15, 2007, 12:10:39 PM5/15/07
to Rant...@googlegroups.com

Paruh Baya: Bukan Puber Kedua..!
Penulis: Shinto B. Adelar, Psikolog

Ketika memasuki usia paruh baya, seseorang sering
berperilaku "mencurigakan". Ada yang genit, suka bersolek, dan
menggoda lawan jenis. Ada pula yang menjadi alim dan sibuk dengan
kegiatan spiritual. Inikah masa krisis dalam kehidupan seorang
manusia?

Anda pernah melihat pasangan atau saudara kita tiba-tiba berubah
tingkah ketika memasuki usia 40 tahun? Tiba-tiba suka bersolek,
menyukai mobil sport mencorong, genit, suka main mata, bahkan punya
pacar lagi atau meninggalkan pasangan dan anak-anaknya untuk menikahi
orang lain. Atau makin suka bicara seputar seks dan dengan berbagai
cara berupaya keras mempertahankan "kemudaan"-nya; aktif mengikuti
kegiatan yang menurut anggapan umum lebih cocok untuk orang muda
seperti berdansa dan berolahraga seperti arung jeram, mendaki gunung,
atau bermain ski. Inikah indikator bahwa sesuatu terjadi pada kaum
paruh baya? Apakah mereka mengalami krisis?

Cukup banyak orang meyakini adanya midlife crisis (krisis paruh baya)
sejak istilah itu dilontarkan oleh Gail Sheehy, Steve Levinson, dan
rekan-rekan pada 1970-an. Sampai saat ini cukup banyak orang yang
dengan serta merta mencurigai krisis paruh baya sebagai kambing hitam
adanya perubahan tingkah laku mencolok yang ditampilkan orang-orang
yang usianya mendekati kepala empat.

Bersisi ganda

Tidak dapat dipungkiri bahwa gejala-gejala tadi dialami oleh cukup
banyak orang. Namuan perlu dipertanyakan apakah perubahan itu memang
indikator terjadinya krisis.

Robert R. McCrae dan PT. Costa (1984) dalam penelitiannya terhadap
pria paruh baya ternyata tidak menemukan bukti cukup kuat mengenai
adanya krisis paruh baya. Sampai ada bukti lain meyakinkan, gejala
perubahan tingkah laku yang kita alami atau amati pada seseorang
sebaiknya kita anggap sebagai indikator adanya transisi usia paruh
baya. Masa peralihan mengandung perubahan, namun tidak selalu
mengakibatkan krisis.

Kalau kita telaah lebih lanjut, usia 40 dapat dikatakan
sebagai "siang harinya kehidupan". Pada usia ini kita mulai berhitung
berapa lama lagi waktu yang tersisa sebelum ajal menjemput. Ketika
menghitung hari itulah, seakan-akan seseorang secara tiba-tiba
disadarkan bahwa hanya tinggal sedikit waktu yang tersisa dalam
hidupnya yang hanya satu kali ini.

Kesadaran akan hal itu dapat membuat sebagian kaum paruh baya menjadi
lebih banyak merenung dan melakukan introspeksi mengenai berbagai hal
yang perlu atau akan dilakukannya sepanjang sisa paruh kedua
kehidupannya, ambisinya, dan cita-citanya. Sejalan dengan ini Carl
Jung (1933) pakar psikologi menyatakan bahwa usia 40-an adalah masa
yang tepat utuk the illumination of the self, menggali pemahaman diri
agar tercapai pencerahan diri.

Dalam masa peralihan ini, kaum paruh baya akan menghadapi berbagai
pengalaman dan kesempatan yang dapat membuat mereka meninjau kembali
berbagai aspek mengenai diri dan kehidupannya. Kaum paruh baya
bukanlah kelompok yang homogen, melainkan cukup bervariasi.

Mereka cukup bervariasi dalam karakteristik kepribadiannya,
karakteristik demografisnya, aspirasinya, cita-citanya, dan hal-hal
yang diutamakan dalam kehidupan mereka. Ada yang sudah menikah dan
berketurunan ada yang tidak, ada yang berkarier, ada yang tidak, ada
yang sudah mantap dalam berbagai aspek kehidupannya, ada yang masih
gonjang-ganjing. Karena itu jangan terjebak dalam pandangan
stereotipe mengenai kaum paruh baya.

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, semakin diketahui bahwa
krisis paruh baya dapat bersisi ganda. Krisis dapat berarti gejolak
yang berkonotasi negatif, namun juga dapat membuka peluang baru.

Di masa paruh baya ini dapat terbuka peluang untuk mengevaluasi dan
mengeksplorasi kembali berbagai aspek diri seseorang yang selama ini
tidak tersentuh atau agak terabaikan akibat kesibukan memenuhi
berbagai tuntutan kehidupan sebagai "orang muda". Kemantapan karier,
kehidupan keluarga, dan segi finansial amat mendukung seseorang untuk
dapat secara lebih santai menekuni kembali hobi yang sudah lama
terabaikan.

Dalam pandangan orang lain, perubahan tingkah laku ini mengesankan
bahwa seakan-akan mereka baru mulai menekuni kegiatan yang tidak
pernah dilakukan sebelumnya, padahal kegiatan atau hal itu sebenarnya
pernah menjadi hobinya di masa remaja, dicita-citakan, atau
diimpikannya sejak kecil. Jung dan Bernice L. Neugarten (1977)
mengemukakan, pada usia 40-an orang cenderung melakukan berbagai hal
yang seakan-akan berlawanan dengan yang biasa dia lakukan sebelum
usia 40-an.

Namun, kita tidak dapat semata-mata mengambinghitamkan usia sebagai
penyebab perubahan itu. Perubahan dan perkembangan dalam masyarakat
secara luas pun memberi pengaruh terhadap tingkah laku kaum paruh
baya. Pada umumnya, dan dalam dua dekade ini, di Indonesia semakin
banyak kaum paruh baya yang memberi prioritas tinggi terhadap aspek
spiritual atau keagamaan dalam kehidupannya. Dari kaum muda yang suka
hura-hura, seseorang berubah menjadi kaum paruh baya yang alim dan
sibuk dengan kegiatan spiritual.

Memasuki usia paruh baya sebenarnya semakin banyak yang menunjukkan
sikap lebih matang dan lembut, tidak lagi ceplas-ceplos tanpa
tenggang rasa. Bagi sebagian kaum paruh baya yang cukup mapan dan
berhasil, inilah waktunya bagi mereka untuk menyempurnakan hidup.

Untuk menggambarkan persepsinya mengenai masa paruh baya, seorang
perempuan Amerika mengibaratkan kehidupannya sebagai sebuah rumah.
Dalam pandangannya, usia 40 tahunan adalah masa memberi sentuhan
akhir untuk mempercantik rumah yang sudah dibangun sepanjang masa 40
tahun sebelumnya. Dalam usaha ini kadang kala seseorang merasa tidak
memiliki ide atau tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk
memperindah rumah yang sudah dia bangun itu.

Kesadaran mengenai sisa waktu kehidupan mungkin juga mendorong
sebagian kaum paruh baya untuk mengejar ketinggalannya dalam berbagai
aspek kehidupan. Bagi yang kurang puas dalam interaksi dengan lawan
jenis, sekaranglah masanya menguji diri, apakab masih memiliki daya
tarik? Sejalan dengan tema itu, mungkin saja ia jadi tampak seperti
genit, melirik-lirik, merayu lawan jenis, atau bahkan selingkuh dan
punya pacar lagi. Apalagi masyarakat masa kini juga menunjukkan
perhatian besar terhadap penampilan dan kebugaran fisik.

Tidak hanya kaum muda, kaum paruh baya pun seakan-akan memuja
kemudaan. Kemantapan kehidupan dari segi finansial sebagian kaum
paruh baya juga menunjang mobilitas dan usaha meraih kesempatan yang
pernah terlewatkan. Keberhasilan yang dicapainya selama ini
memantapkan rasa percaya diri kaum paruh baya, sehingga mereka
menjadi lebih berani dan yakin dalam melakukan sesuatu. Mereka tidak
lagi terlalu mudah terusik oleh atau memusingkan pandangan orang
lain, dan sudah memiliki nilai-nilai moral yang independen.

Karena itu, sebagian dari mereka menjadi lebih berani bereksperimen
atau mencoba hal-hal baru, baik dalam rangka mumpung masih bisa atau
menganggap bahwa nothing to lose. Coba saja, toh tidak ada ruginya,
lebih rugi lagi kalau tidak pernah mencoba.

Hanya Mitos

Sekadar untuk diketahui, yang namanya usia tidak hanya ditunjukkan
dengan sekian tahun. Ada berbagai jenis usia. Selain itu, usia pun
dapat memiliki makna ganda.

Ada usia kronologis, yaitu jumlah tahun yang telah kita lalui sejak
dilahirkan; usia biologis berkaitan dengan sisa waktu kehidupan
sebelum ajal; usia psikologis berkaitan dengan kemampuan adaptasi
maupun perasaan subjektif seseorang mengenai usianya; dan ada usia
sosial yang berkaitan dengan peran, tanggung jawab, dan hak yang
dimiliki seseorang dalam komunitasnya. Usia sosial inilah yang kerap
dijadikan patokan kelayakan tingkah laku seseorang yang mungkin saja
tidak sesuai dengan usia psikologis seseorang.

Dalam masyarakat ada patokan untuk model atau warna pakaian yang
dianggap pantas untuk kaum remaja, kaum muda, atau kaum paruh baya.
Peran dan usia seseorang menentukan harapan orang lain mengenai
caranya berbicara, berinteraksi, maupun jenis kegiatan yang patut dia
ikuti.

Seseorang juga cenderung memperlakukan atau menilai orang lain
berdasarkan persepsinya mengenai usia orang itu. Hal ini tercermin
dan komentar seperti, "Pakde gaya sekali. Sudah tua masih pakai baju
merah". Atau, "Aduh, sudah sweet sewidak (60 tahun - Red.) kawin
lagi", atau "Makin tua makin wah dandanannya".

Kaum paruh baya dianggap hermasalah dan mengundang gunjingan para
tetangga bila tingkah lakunya berubah dan dianggap tidak sesuai untuk
usianya atau peran sosial yang disandangnya. Kadangkala dalam kaitan
dengan patokan sosial, kaum paruh baya pun seakan-akan mengalami
diskriminasi. Mereka akan lebih berisiko mengalami sanksi sosial
berupa cemoohan atau gunjingan apabila melakukan suatu tindakan yang
dianggap lebib pantas dilakukan oleh kaum yang lebih muda usia.

Misalnya, menjalani operasi plastik untuk kecantikan, menjalani
proses sedot lemak untuk merampingkan tubuh, atau menghilangkan
keriput di seputar mata. Kaum paruh baya kerap dinilai "lupa umur"
apabila gemar berdansa, berkaraoke ria, atau menikmati alunan musik
yang sedang digemari kaum muda. Padahal, kalau hal itu dilakukan oleh
kaum muda, dianggap sah-sah saja. Ya, kalau dipikir-pikir, norma
sosial yang berkaitan dengan kepantasan usia kerap bersifat
diskriminatif dan tidak memiliki alasan mendasar yang rasional.

Lain padang lain belalangnya, lain daerah lain pula aturannya. Usia
sosial bersumber dari masyarakat dan berisi aturan mengenai kapan
(dalam rentang usia berapa) seseorang harus menunjukkan tingkah laku
tertentu. Norma usia itu juga mengalami perubahan atau pergeseran.
Kalau kita amati sekarang ini, tampak semakin banyak nenek yang
berjiwa muda, melakukan kegiatan dan produktif seperti kaum muda,
mewarnai rambutnya yang beruban dengan aneka warna, tetapi dapat
tetap terlihat anggun. Banyak pria matang, bahkan kakek yang tetap
produktif dan bersemangat meski di usia yang sudah jauh melampaui
masa paruh baya. Usia subjektif umumnya memang tidak sejalan dengan
usia kronologis.

Dalam beberapa penelitian diketahui, usia subjektif psikologis
ternyata paling tidak sinkron dengan usia kronologis. Ketika remaja,
orang merasa sudah dewasa; tetapi di usia paruh baya ke atas
kebanyakan tidak merasakan perubahan usia psikologis subjektif yang
berarti. Perubahan usia subjektif baru terjadi bila kaum paruh baya
mulai mengalami berbagai kemunduran fisik, menyandang status baru
dengan lahirnya sang cucu atau mengalami kematian teman sebayanya
seorang demi seorang.

Jadi, apakah di usia paruh baya seseorang harus mengalami krisis? Itu
hanya mitos. Yang ada adalah masa peralihan berkaitan dengan
perubaban status, peran, kedudukan sosial, perubahan interaksi
keluarga, dan lain-lain. Jauh lebih banyak orang yang melalui masa
ini dengan tenang, aman, dan damai daripada yang penuh gejolak atau
pencilatan, lirak-lirik, bergenit-genit apalagi berselingkuh.

Cukup banyak orang yang menyikapi masa paruh baya sebagai masa untuk
evaluasi, introspeksi, dan kemudian mengembangkan aspek spiritual
dalam diri mereka, menumbuhkan sikap bijak baik dalam interaksi
sosial maupun menghadapi kehidupan secara lebih luas. Dengan
demikian, salah satu anak tangga kehidupan dapat dilalui dengan
bergairah menuju terbangunnya pribadi yang lebih bijaksana. (Intisari)

Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages