DARMAN MOENIR : Apa Salah 35 Ribu Hanya Tamat SD?
August 13, 2014
DIAWALI dengan kalimat “Sungguh memprihatinkan,” berita dengan judul 35 Ribu Ninik-mamak di Sumbar Hanya Tamat SD (Singgalang, 11/8), mendatangkan sejumlah pertanyaan. Apa yang salah bila puluhan ribu ninik-mamak hanya tamat Sekolah Dasar? Dan mengapa harus prihatin? Adakah kondisi itu memang berdampak terhadap budaya dan adat Minangkabau ke depan? Apa pula tali-temalinya dengan arus global?
Berita itu diulas dalam bentuk parodi berbahasa Minangkabau oleh eSPe St. Soeleman di kolom Palanta dengan judul Sikola Datuak (Singgalang, 12/8).
Menurut Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar, M. Sayuti Datuak Rajo Pangulu, hasil penelitian di perguruan tinggi menemukan, dari 60 ribu ninik-mamak, 60 persen hanya tamat SD. Sampai di sana, konkret. Dunia akademik memang melakukan penelitian.
Namun, M. Sayuti menyebut realitas harus disikapi: kemampuan dan wawasan para ninik-mamak harus ditempa. Beban ninik-mamak ke depan berat. Mereka harus dibekali ilmu dan wawasan agar tidak mudah terjebak dalam menyelesaikan masalah.
Di hadapan Gubernur Irwan Prayitno Datuak Rajo Bandaro Basa, Walikota Padang Mahyeldi Ansharullah Datuak Marajo, puluhan ninik-mamak, di acara batagak gala Syofyan Datuak Bijo di Kota Tangah, Kota Padang, M. Sayuti menjelaskan, LKAAM pada saat ini sedang menggodok sekolah terkait pendalaman adat dengan melibatkan tujuh profesor. Menarik, M. Sayuti pun memohon dukungan gubernur, walikota, pemerintah daerah agar adat tetap lestari dan terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari.
Sikap memprihatinkan sungguh tidak perlu. Juga tidak perlu meragukan kemampuan dan wawasan ninik-mamak. Betapa lagi menduga ninik-mamak mudah terjebak dalam menyelesaikan masalah. Frasa ini bias, kabur, untuk tak menganggap melecehkan. Terjebak oleh apa? Siapa menjebak? Bagaimana sampai terjebak? Dan mengapa terjebak? Adakah temuan konkret ninik-mamak terjebak dalam menyelesaikan masalah?
Mengedepankan dan memelihara sikap ini memancing emosi tersinggung, bukan saja para ninik-mamak tetapi lebih-lebih lagi anak-kemenakan. Tak seorang pun anak-kemenakan rela ninik-mamak mereka direndahkan, dinistakan. Di hadapan orang banyak, diekspos surat kabar lagi.
Seorang ninik-mamak, seorang datuak, seorang penghulu, atau apa pun sebutan yang diberikan, adalah orang pilihan. Tak semua lelaki Minangkabau bisa menjadi datuk. Untuk menobatkan seorang atau sakaligus beberapa orang datuk, itu tadi, harus dan wajib ada acara tagak gala, batagak pangulu. Untuk itu, paling tidak seekor kerbau disembelih, dan pelewaan yang megah-meriah diselenggarakan. Bahkan pernah perayaan bertegak gelar berlangsung selama tujuh hari tujuh malam.
Biarpun hanya tamat SD, datuk tetap orang pilihan: pilihan kaum, pilihan suku, pilihan kampung, pilihan negari. Biarpun hanya tamat SD, jangan pernah beranggapan, wawasan, pengetahuan dan kemampuan seorang datuk tentang adat, tentang adat-istiadat, tentang adat yang teradat, dan tentang adat yang sebenar-benarnya adat, terbatas, kurang, tidak memadai! Apalagi menganggap tidak ada. Ini anggapan naif.
Pula, tamat SD, SMP, SMA, S1, S2, S3, bukankah itu jalur (pendidikan) formal, akademik? Sebelum LKAAM eksis, para datuk yang mungkin cuma tamat SD (dulu SR, Sekolah Rakyat), sudah berkiprah luar biasa di andiko, di kaum, di suku, di negari mereka, di alam kita, Minangkabau. Di zaman MTKAAM (Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau) awal, dengan Ketua Umum Datuak Suri Maradjo di Simabua, Tanah Data, bahkan di zaman penjajahan Belanda dan Jepang, datuk-datuk yang rata-rata mampu membaca huruf Arab gundul, memberikan sumbangan sangat signifikan untuk kemaslahatan anak-kemenakan, untuk kebaikan umat manusia.
Lalu, gagasan mendirikan sekolah untuk mendalami adat? Sekolah apa? Perguruan Tinggi? Bukankah sudah ada Jurusan Minangkabau di PT daerah ini? Bukankah Kurikulum 2013 pun menyediakan ruang untuk muatan lokal, termasuk mendalami adat? Dengan demikian, ada yang khawatir, rencana ini semata upaya mengail di kolam pemda untuk mendapatkan dana. Dan kekhawatiran ini beralasan.
Sudahlah, sekolah mendalami adat itu, ada di surau, di galanggang, di palanta, di kehidupan sehari-hari. Itulah Universitas Alam Terkembang Jadi Guru. Banyak ninik-mamak, yang bahkan tidak tamat SD, luar biasa campin bapakolahan (dialog adat), sangat paham soal adat, mampu memapar Minangkabau sehari-semalam, paham soal agama, sosial-budaya, dan soal politik. Mereka tidak mau dijerumuskan untuk memilih pasangan tertentu dalam pilpres baru lalu. Dan mereka juga tidak dibimbing oleh satu atau tujuh Guru Besar. Pula, sudah adakah profesor adat Minangkabau. Profesor (tentang) Enau, Profesor (tentang) Kerbau, ada. Tetapi profesor tentang adat Minangkabau?
Jadi, tolong hati-hati mangecek, Angku Datuak M. Sayuti Datuak Rajo Pangulu. Banyak anak-kemenakan tersinggung. Dan itu sungguh-sungguh tidak sehat. (*)