Kekuasaan Wanita Minang = Menjajah Pria
oleh: Desni Intan Suri
Dunia Perempuan | Rabu, 02/12/2009 22:21 WIB
Suatu kali aku dan suami berkenalan dengan seorang pria yang bukan dari daerah
Sumbar. Dalam pembicaraan kami yang menceritakan daerah masing-masing ia
memberikan pendapat dan kesannya terhadap wanita minang kabau. Kesan dan
pendapatnya itu membuatku terkaget-kaget.
“Gimana mas rasanya punya istri orang minang?” kata si pria ini
pada suamiku. Suamiku sempat bingung menjawabnya, tapi dijawabnya juga “
yaa..rasanya ya ..rasa punya istri…” kata suamiku sambil tertawa.
“Bukan, maksud saya beristrikan wanita minang gimana rasanya? Katanya
ngotot. Akupun tergoda untuk menimpalinya “ maksudnya rasa apanya nih
pak..jelaskanlah..” kataku. Dia tersenyum dan tetap mengarahkan
pandangannya kesuami ku : “ setahu saya wanita minang itu sangat dominan
dalam rumah tangga…bahkan kesannya seperti kaum pria dijajah saja. Adat
minang kabau saja sudah menampakkan hal itu. Tak heran watak wanitanya menjadi
berkuasa seperti itu. Saya merasa adat minang kesannya seperti membuang anak
laki-laki. Coba saja lihat, secara rohaniah yang memiliki rumah adalah wanita
,kaum pria hanya menumpang. Kalau sudah menjadi suami ,kedudukannyapun lemah
sebagai seorang bapak dari anaknya, yang memutuskan kehidupan anaknya terutama
dalam masalah perkawinan justru adik laki-laki istrinya.Masyarakat minang itu
juga menganut sistim matriakat yang mana kekuasaan terletak ditangan Ibu atau
wanita.hm…ini benar-benar bikin wanita diatas angin. Dalam keluarga saya
ada dua orang yang sempat beristrikan orang minang ,dua-duanya berakhir dengan
perceraian dengan didahului pertengkaran demi pertengkaran. Istri-istri mereka
sangat dominan bahkan terkesan tidak menghargai suami. “.
Aku segera ingat dengan teman karibku Nirita yang baru saja dua hari yang lalu
curhat datang kerumah. Nirita adalah teman kecilku sejak disekolah dasar. Garis
nasib kemudian berbeda jauh diantara kami. Aku sekarang berstatus Ibu rumah
tangga yang berwiraswasta, sedangkan ia adalah seorang Manager Public Relation
dan marketing di sebuah hotel berbintang. Ia meminta saranku ketika ia merasa
harus mengakhiri kehidupan perkawinanya dengan Syaiful yang dulunya juga adalah
teman satu perguruan tinggi denganku. “Dia lamban sekali ..aku bosan
mendorongnya terus,dia maunya mengembangkan dunia tulis menulisnya padahal
diakan sarjana tehnik mesin..apalah yang akan dapat dari dunia tulis
menulis..aku udah susah-susah cariin kerjaan bergengsi buat dia ..eh
dicuekin..maunya dia apa? Hasil tulis menulisnya cuma cukup beli korek
kuping..tak lebih..!".
Aku juga ingat dengan Lulu anak bibiku. Sampai umurnya mencapai 53 tahun saat
ini, tak ada minatnya sedikitpun untuk berumah tangga. Sekarang ia bekerja
disebuah stasiun televisi swasta di Australia. Ketika kami semua mencoba-coba
menyodorkan ‘calon” padanya, semua dijawabnya dengan kata-kata
” Ngga level…!”. Sampai saat ini, ia masih merasa bahwa
levelnya adalah lebih tinggi dari pria manapun yang diperkenalkan padanya.
Akhirnya kami menyerah dan membiarkan ia memilih kehidupannya sendiri.
Dirumah aku termenung-menung sendiri memikirkan kalimat-kalimat
“dakwaan” dari pria kenalan baru kami tadi sewaktu diperhelatan
kenalan suamiku. Kuhubung-hubungkan semua ini. Kucoba pula mengoreksi diriku
sendiri, apakah aku bersikap seperti yang ia sebutkan itu kepada suamiku
sendiri?. Pikiranku itu terbaca oleh suamiku. Ia tersenyum-senyum menggodaku .
“ Tersinggung ni yeee… dibilang penjajah… katanya
tergelak-gelak. “ Tidak juga…cuma mencoba koreksi diri
saja…” kataku kalem mencoba menutupi perasaanku sebenarnya..
Suamiku manggut-manggut sambil menepuk-nepuk punggungku
“tenang…tenang..aku ngga merasa dijajah kok….” Katanya
memperlebar senyumnya .
Esok paginya ketika aku sedang menyiapkan sarapan pagi keluarga, aku didatangi
Ranti tetangga baru kami. Ia baru dua bulan menngontrak rumah sebelah kiri
rumah kami. Ia seorang wanita minang berasal dari Padang panjang. Begitu dia
tahu aku juga orang minang, hampir tiap hari dia main kerumah kami. Katanya ia
bekerja disebuah perusahaan muliti nasional . Waktu baru berkenalan kami sempat
heran ,katanya dia sudah mempunyai suami dan tiga orang anak, tapi kok dirumah
itu yang keliatan hanya dia saja. Baru kemudian kami paham setelah ia
menceritakan kehidupan rumah tangganya kepadaku. ‘ Suamiku pengangguran
tingkat tinggi..sudah masuk tahun kelima sekarang..ada teman yang nawarin kerja
padaku dijakarta ini,gajinya cukup besar..yaa daripada anak-anakku ngga makan
aku terima pekerjaan itu…, di Padang udah susah cari kerja sementara
anak-anakkan perlu makan dan biaya sekolah..sekarang dia yang ngurusin
anak-anak aku kerja..,harus ada salah satu kami bertindak kalau mau
bangkit…ya kan Des?aku akan mencari peluang kerja buat dia disini , baru
setelah itu memungkin bagi kami untuk kumpul lagi…”katanya waktu
itu.
Aku memandang kepergian Ranti dari balik jendela dapur. Ia hanya datang untuk
mengembalikan piringku sebelum pergi kekantornya. Kemarin kuisi nasi uduk
bikinanku untuknya. Pikiranku dipenuhi dengan beberapa pertanyaan dan
menerawang kemana-mana. Apakah wanita minang seperti Ranti juga disebut sebagai
seorang wanita yang dominan?. Apakah keluhan yang disampaikan Nirita atau Lulu
padaku dulu mewakili pola watak wanita minang kabau secara keseluruhannya?.
Apakah benar adat minangkabau yang matriakat membuat wanita minang kabau
membabi buta memburu kesetaraan gender?. Apakah hak dan kekuasaannya yang
diberikan kepada mereka dalam adat membuat mereka menjadi melemahkan kedudukan
pria sebagai pendamping hidup mereka?.
Kalau menelusuri kehidupan kekeluargaan orang minang sendiri memang adat minang
seperti sudah melahirkan watak perantau bagi pria minang, dan watak bundo
kanduang bagi wanita minang.Kaum laki-laki diminang, dianggap sebagai kaum yang
“menumpang” dirumah gadang. Rumah yang sesungguhnya bagi kaum
laki-laki minang adalah Surau. Dari kecil mereka sudah diajar mengaji dan
belajar silat berpindah-pindah dari satu surau/tempat ke lainnya. Namun inipula
yg kemudian menjadi sumber dinamika pria minang untuk menjadi
pengembara/perantau .
Sebaliknya untuk kaum wanita minang telah diberikan sebuah kekuasaan dalam
kepemimpinan dan tanggung jawab yang besar untuk mereka. Kekuasaan dan tanggung
jawab yang besar dimulai dari sebuah mitos mengenai seorang pemimpin wanita
yang disebut Bundo Kanduang. Sebetulnya banyak pendapat mengenai asal muasal
sosok Bundo Kanduang ini. Tapi dalam cerita /kaba cindua mato ada bahagian yang
menyebutkan bahwa keberadaan Bundo kanduang sama dengan awal adanya alam ini.
Jangan salah pengertian dengan kata” alam” disini. Alam dalam
bahasa kiasan minang bukan berarti sejak jaman Adam dan Hawa ada, tapi alam
disini berarti sebuah wilayah kekuasaan. Jadi dalam cerita/kaba cindua mato
keberadaan Bundo kanduang itu diawali dari sebuah kerajaan yang dipimpinnya.
Nah, dalam kepemimpinan Bundo Kanduang ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang
arif dan bijaksana dan mempunyai tingkat kharisma yang sangat tinggi diantara
bawahan dan penghuni rumah gadang yaitu Istana pagaruyung dulunya. Ia disegani
dan sangat dihormati karena kepiawaian serta kecerdasan dalam buah pikirannya
untuk mengelola tanah pusako dan memimpin semua yang tinggal dalam rumah gadang
tersebut.
Untuk selanjutnya dengan berjalannya waktu Bundo kanduang kemudian dijadikan
sebuah limbago yang menajdi panggilan untuk golongan kaum wanita minang
kabau.Dalam hal ini wanitapun telah ditetapkan untuk mempunyai beberapa
tanggung jawabnya terhadap rumah gadang dan tanah pusako dikampung halaman .
Perlu ditekankan disini, bahwa yang diberikan kepada wanita adalah “hak
tanggung jawab “ bukan kekuasaan. Artinya istilah “matriakat yang
berarti “ibu yang berkuasa” sudah ditinggalkan. Sedangkan hak
tanggung jawab yang dibebankan ke pada kaum wanita minang tersebut diantaranya
yang inti adalah :
1.Sebagai untuk menarik garis keturunan yang disebut sebagai sistim garis
keturunan ibu atau matrilineal
2.Sebagai yang bertanggung jawab atas kepemilikan rumah gadang
3.Sebagai yang bertanggung jawab atas sumber ekonomi seperti sawah,ladang
,tanah garapan dll
4.Sebagai tempat penyimpanan hasil ekonomi dengan pepatah “umbun puruak
pegangan kunci,umbun puruak alunan bunian” maksudnya wanita adalah
sebagai pemegang kunci ekonomi harta pusako
5.Sebagai penanggung jawab dalam pengaturan rumah tangga dan menentukan baik
buruknya jalan roda rumah tangga. Disini wanita yang berfungsi sebagai Ibu
dianggap sangat berpengaruh dalam pembentukan watak manusia . Ini terlihat
dalam pepatahnya : “ Kalau karuah aie dihulu, sampai kamuaro karuah
juo.Rintiak anaknyo,turunan atok ka palimbahan”.
6.Sebagai penanggung jawab pemeliharaan harta pusako, anak dan kemenakan.
Jelaslah sudah, dari tanggung jawab yang diberikan adat kepada kaum wanita
disini membuat kaum wanita minang kabau dituntut untuk menjadi
cerdas,cerdik,pandai dan berilmu pengetahuan yang tinggi. Sedangkan kaum pria
yang dianggap sebagai kaum yang “menumpang” secara tak langsung
pula mempengaruhi nilai tingginya harga diri mereka dikampung halaman sendiri.
Contohnya saja dalam memproduktivitaskan tanah pusako wanita dan laki-laki
boleh berdampingan mengolahnya. Namun begitu ada hasilnya, kaum wanita
boleh-boleh saja langsung memakan hasilnya tersebut ditengah rumah bersama
keluarganya. Sebaliknya kaum laki-laki akan menitipkannya dulu dilumbung rumah
gadang. Adalah sebuah harga diri bagi kaum pria memakan hasil itu kalau tidak
terpaksa betul. Kaum pria malah memantangkan diri mengambil haknya,karena
mereka lebih merasa mempunyai harga diri bila hidup dari hasil jerih payah
sendiri.
Perbedaan yang tajam ini membuat kaum pria mengembara mencari kesuksesan dan
keberhasilan dalam hidupnya sendiri. Sementara tampuk tanggung jawab di kampung
halaman jatuh ketangan wanita. Hal inilah yang membuat kaum wanita minang
terkenal dengan sikapnya sebagai pekerja keras. Tidak mau hanya berpangku
tangan atau berleha-leha saja walau ia sudah mempunyai harta sekalipun. Jiwa
bisnis wanita minangpun sangat tinggi,karena dengan tanggung jawab yang
diberikan pada mereka dalam mengatur roda perekomonian tanah pusako membuat
mereka harus cerdik dan pandai dalam perdagangan.
Walaupun pada catatan pada Badan Pusat Statistik Sumbar masih menunjukkan angka
keterlibatan wanita dilapangan kerja masih dbawah angka pria, namun yang
terlibat membuka lapangan kerja sendiri atau berwiraswasta lebih banyak
dilakukan oleh kaum wanita di Sumbar. Diantaranya banyak yang membuka lapangan
kerja dibidang kewanitaan yang berbentuk makanan, kerajinan tangan,jahit
menjahit dll. Waktu kami baru-baru ini pulang kampung, kami melewati kawasan
pasar kotobaru yang kebetulan sedang ada “hari Pasar”. Perjalanan
kami sedikit terkena macet dengan keramaian pasar tersebut. Uniknya pasar ini
adalah, para pedagangnya semua didominasi oleh kaum perempuan. Hampir setiap
sudut kami lihat yang menawarkan beragam sayuran dan rempah-rempah dapur adalah
rata-rata para wanita. Namun catatan BPS juga menyatakan bahwa angka putus
sekolah lebih banyak terdapat pada prosentase untuk kaum pria . Artinya,
semakin masuk kedalam jaman modern semakin terlihatlah kesadaran kaum wanita minangkabau
untuk tampil lebih cerdas dan berilmu pula.
Dari kenyataan-kenyataan yang ada ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa adat
minang kabau bukan bertujuan untuk membentuk wanita bersikap otoriter atau
berkuasa melebihi kekuasaan kaum pria apalagi meletakkan posisi kaum pria
dibelakang kaum wanita. Adat minang kabau selama ini sesungguhnya mengajarkan
dan mendidik dua gender ini untuk bisa tampil dalam kekuatan mereka
masing-masing dengan kepribadian yang kokoh untuk mampu hidup diatas kaki
sendiri tanpa mengemis-ngemis apalagi bersikap culas,licik dalam memperjuangkan
kehidupannya sendiri. Wanita minangkabau dengan tanggung jawab yang dibebankan
pada mereka membuat mereka bisa memahami sifat kepemimpinan yang arif dan
bijaksana. Sebaliknya kaum pria yang lebih diberikan kesempatan mengembara atau
merantau membuat mereka tampil sebagai kaum yang kenyang akan pengalaman hidup
hingga mereka lebih ahli menyelami dan mengukur kehidupan itu sendiri untuk
target keberhasilan mereka.
Seharusnya memang begitu. Tapi sebuah tata aturan dalam kehidupan yang
dirancang manusia tidak semuanya akan bisa tertata dengan lancar dan rapi
sesuai yang dikehendaki. Ada saja yang melenceng dari aturan yang sebenarnya.
Dalam hal ini rasanya aneh bila kita menyalahkan adat,karena sebuah adat tentu
lahir dari tata aturan yang tujuannya adalah untuk sebuah kebaikan. Sebuah
egolah yang merusak tata aturan tersebut. Ego tersebut akan tampil tidak hanya
dari bersendirian dari kedua gender ini karena mereka saling kait mengait untuk
membuat ego tersebut berkembang menjadi sikap individualistis yang saling
menyalahkan. Wanita yang berkuasa karena berada pada sistim matriakat akan
mempergunakan egonya untuk membelakangi kaum pria. Sebaliknya kaum pria yang
merasa hidup dengan wanita matriakat dalam kekuasaan berharta ,akan
mempergunakan kesempatan pula untuk bermalas-malasan dengan hanya duduk
menopang dagu memakan harta istri/wanita. Sikap dari kedua gender ini akan
melahirkan ego yang ditindas dan menindas.
Maka tak ada salahnya kalau aku merasa terdorong untuk mengupas masalah
ini,karena disebabkan begitu kentalnya darah minang melekat pada diriku. Dan
dengan jujur kusampaikan bahwa watak wanita minang yang terbentuk dari adatnya
adapula melekat dalam diriku. Aku yakin, semua wanita minang yang merasa
mempunyai darah minang yang kental mengalir pada dirinya akan merasakan hal
yang sama denganku. Dan dengan jujur pula aku sampaikan bahwa akupun pernah
melalui masa “transisi” berumah tangga dalam menselaraskan
kehidupan kami, agar tetap seimbang. Perbedaan pandangan dan prinsip hidup
pernah terbagi dua antara kami suami istri karena berasal dari adat dan budaya
yang berbeda. Aku dari minang, suamiku dari Jawa. Namun ini bukanlah masalah
adat, tapi adalah dari “ego” kita masing-masing. Aku yakin, sikap
Nirita,Lulu maupun Ranti juga lahir karena ego bukan karena adat. Adat memang
membentuk wanita minang menjadi sosok yang kuat,tegas dan mandiri. Tapi adat
tidak mengolah mereka menjadi sosok yang merasa lebih benar dan jauh dari
timbang rasa. Ada kalanya memang wanita minang harus terpaksa tampil lebih dulu
seperti yang dilakukan Ranti. Sikap mandiri darah minangnya membuat ia tampil
sebagai pengambil keputusan disaat kehidupan sudah menuntut untuk adanya sebuah
keputusan. Sebaliknya sikap Nirita dan Lulu adalah sikap keras dan tegas yang
lebih mencondongkan ego,sehingga timbullah kesalah pahaman dalam keterlanjuran
sikap berkuasa bagi wanita minang itu sendiri disini. Mungkin keruwetan buhul
perkawinan dua orang saudara kenalan baru kami diperhelatan dua hari yang lalu
juga begitu adanya.
Akhir kata, memang tuntutan untuk kesetaraan gender atau emansipasi atau apalah
namanya haruslah dikaji ulang.Bila tuntutan itu ternyata menimbulkan sebuah
kesombongan, sikap menguasai dan merasa harus melebihi kaum pria atau bahkan
yang lebih parah lagi adalah merendahkan dan melecehkan martabat kaum
pria,tentulah ini sudah salah pemahamannya. Artinya, bila ia seorang wanita
lajang iapun harus memahami batas-batas pergaulannya yang tidak merusak
norma-norma kaedah dirinya sendiri sebagai wanita. Baik itu batas dalam
memperoleh pendidikan, lapangan kerja maupun sebuah kekuasaan. Bila ia seorang
istri, tentulah yang pertama yang menjadi panutan dan tempat ia bersepakat
adalah suami sendiri.Walaupun pendidikan, kedudukan atau penghasilannya lebih
memadai dari sang suami adalah suatu kewajiban utama baginya untuk tetap berada
dibelakang suaminya. Selayaknyalah ia harus terlebih dahulu mendengar dan
bertindak sesuai arahan suami kecuali bila keadaan tidak memungkinkan lagi
untuk berbuat demikian. Semoga tulisan ini dapat menjadi pedoman diriku
sendiri, teman2ku wanita maupun pria, baik yang berdarah minang maupun bukan.
Kuala Lumpur , 21 November 2009
referensi : dari buku2 karangan Zuriati dan Amir M.S serta blog2 di internet
serta hasil pandangan pribadi.
*) ditulis dalam catatan pada FB oleh Desni Intan Suri
http://www.padangmedia.com/?mod=artikel&j=2&id=250
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
Kekuasaan Wanita Minang = Menjajah Pria
oleh: Desni Intan Suri
Dunia Perempuan | Rabu, 02/12/2009 22:21 WIB
Suatu kali aku dan suami berkenalan dengan seorang pria yang bukan dari daerah
Sumbar. Dalam pembicaraan kami yang menceritakan daerah masing-masing ia
memberikan pendapat dan kesannya terhadap wanita minang kabau. Kesan dan
pendapatnya itu membuatku terkaget-kaget.
“Gimana mas rasanya punya istri orang minang?” kata si pria ini
pada suamiku. Suamiku sempat bingung menjawabnya, tapi dijawabnya juga “
yaa..rasanya ya ..rasa punya istri…” kata suamiku sambil tertawa.
“Bukan, maksud saya beristrikan wanita minang gimana rasanya? Katanya
ngotot. Akupun tergoda untuk menimpalinya “ maksudnya rasa apanya nih
pak..jelaskanlah..” kataku. Dia tersenyum dan tetap mengarahkan
pandangannya kesuami ku : “ setahu saya wanita minang itu sangat dominan
dalam rumah tangga…bahkan kesannya seperti kaum pria dijajah saja. Adat
minang kabau saja sudah menampakkan hal itu. Tak heran watak wanitanya menjadi
berkuasa seperti itu. Saya merasa adat minang kesannya seperti membuang anak
laki-laki. Coba saja lihat, secara rohaniah yang memiliki rumah adalah wanita
,kaum pria hanya menumpang. Kalau sudah menjadi suami ,kedudukannyapun lemah
sebagai seorang bapak dari anaknya, yang memutuskan kehidupan anaknya terutama
dalam masalah perkawinan justru adik laki-laki istrinya.Masyarakat minang itu
juga menganut sistim matriakat yang mana kekuasaan terletak ditangan Ibu atau
wanita.hm…ini benar-benar bikin wanita diatas angin. Dalam keluarga saya
ada dua orang yang sempat beristrikan orang minang ,dua-duanya berakhir dengan
perceraian dengan didahului pertengkaran demi pertengkaran. Istri-istri mereka
sangat dominan bahkan terkesan tidak menghargai suami. “.
Aku segera ingat dengan teman karibku Nirita yang baru saja dua hari yang lalu
curhat datang kerumah. Nirita adalah teman kecilku sejak disekolah dasar. Garis
nasib kemudian berbeda jauh diantara kami. Aku sekarang berstatus Ibu rumah
tangga yang berwiraswasta, sedangkan ia adalah seorang Manager Public Relation
dan marketing di sebuah hotel berbintang. Ia meminta saranku ketika ia merasa
harus mengakhiri kehidupan perkawinanya dengan Syaiful yang dulunya juga adalah
teman satu perguruan tinggi denganku. “Dia lamban sekali ..aku bosan
mendorongnya terus,dia maunya mengembangkan dunia tulis menulisnya padahal
diakan sarjana tehnik mesin..apalah yang akan dapat dari dunia tulis
menulis..aku udah susah-susah cariin kerjaan bergengsi buat dia ..eh
dicuekin..maunya dia apa? Hasil tulis menulisnya cuma cukup beli korek
kuping..tak lebih..!".
Aku juga ingat dengan Lulu anak bibiku. Sampai umurnya mencapai 53 tahun saat
ini, tak ada minatnya sedikitpun untuk berumah tangga. Sekarang ia bekerja
disebuah stasiun televisi swasta di Australia. Ketika kami semua mencoba-coba
menyodorkan ‘calon” padanya, semua dijawabnya dengan kata-kata
” Ngga level…!”. Sampai saat ini, ia masih merasa bahwa
levelnya adalah lebih tinggi dari pria manapun yang diperkenalkan padanya.
Akhirnya kami menyerah dan membiarkan ia memilih kehidupannya sendiri.
Dirumah aku termenung-menung sendiri memikirkan kalimat-kalimat
“dakwaan” dari pria kenalan baru kami tadi sewaktu diperhelatan
kenalan suamiku. Kuhubung-hubungkan semua ini. Kucoba pula mengoreksi diriku
sendiri, apakah aku bersikap seperti yang ia sebutkan itu kepada suamiku
sendiri?. Pikiranku itu terbaca oleh suamiku. Ia tersenyum-senyum menggodaku .
“ Tersinggung ni yeee… dibilang penjajah… katanya
tergelak-gelak. “ Tidak juga…cuma mencoba koreksi diri
saja…” kataku kalem mencoba menutupi perasaanku sebenarnya..
Suamiku manggut-manggut sambil menepuk-nepuk punggungku
“tenang…tenang..aku ngga merasa dijajah kok….” Katanya
memperlebar senyumnya .
Esok paginya ketika aku sedang menyiapkan sarapan pagi keluarga, aku didatangi
Ranti tetangga baru kami. Ia baru dua bulan menngontrak rumah sebelah kiri
rumah kami. Ia seorang wanita minang berasal dari Padang panjang. Begitu dia
tahu aku juga orang minang, hampir tiap hari dia main kerumah kami. Katanya ia
bekerja disebuah perusahaan muliti nasional . Waktu baru berkenalan kami sempat
heran ,katanya dia sudah mempunyai suami dan tiga orang anak, tapi kok dirumah
itu yang keliatan hanya dia saja. Baru kemudian kami paham setelah ia
menceritakan kehidupan rumah tangganya kepadaku. ‘ Suamiku pengangguran
tingkat tinggi..sudah masuk tahun kelima sekarang..ada teman yang nawarin kerja
padaku dijakarta ini,gajinya cukup besar..yaa daripada anak-anakku ngga makan
aku terima pekerjaan itu…, di Padang udah susah cari kerja sementara
anak-anakkan perlu makan dan biaya sekolah..sekarang dia yang ngurusin
anak-anak aku kerja..,harus ada salah satu kami bertindak kalau mau
bangkit…ya kan Des?aku akan mencari peluang kerja buat dia disini , baru
setelah itu memungkin bagi kami untuk kumpul lagi…”katanya waktu
itu.
Aku memandang kepergian Ranti dari balik jendela dapur. Ia hanya datang untuk
mengembalikan piringku sebelum pergi kekantornya. Kemarin kuisi nasi uduk
bikinanku untuknya. Pikiranku dipenuhi dengan beberapa pertanyaan dan
menerawang kemana-mana. Apakah wanita minang seperti Ranti juga disebut sebagai
seorang wanita yang dominan?. Apakah keluhan yang disampaikan Nirita atau Lulu
padaku dulu mewakili pola watak wanita minang kabau secara keseluruhannya?.
Apakah benar adat minangkabau yang matriakat membuat wanita minang kabau
membabi buta memburu kesetaraan gender?. Apakah hak dan kekuasaannya yang
diberikan kepada mereka dalam adat membuat mereka menjadi melemahkan kedudukan
pria sebagai pendamping hidup mereka?.
Kalau menelusuri kehidupan kekeluargaan orang minang sendiri memang adat minang
seperti sudah melahirkan watak perantau bagi pria minang, dan watak bundo
kanduang bagi wanita minang.Kaum laki-laki diminang, dianggap sebagai kaum yang
“menumpang” dirumah gadang. Rumah yang sesungguhnya bagi kaum
laki-laki minang adalah Surau. Dari kecil mereka sudah diajar mengaji dan
belajar silat berpindah-pindah dari satu surau/tempat ke lainnya. Namun inipula
yg kemudian menjadi sumber dinamika pria minang untuk menjadi
pengembara/perantau .
Sebaliknya untuk kaum wanita minang telah diberikan sebuah kekuasaan dalam
kepemimpinan dan tanggung jawab yang besar untuk mereka. Kekuasaan dan tanggung
jawab yang besar dimulai dari sebuah mitos mengenai seorang pemimpin wanita
yang disebut Bundo Kanduang. Sebetulnya banyak pendapat mengenai asal muasal
sosok Bundo Kanduang ini. Tapi dalam cerita /kaba cindua mato ada bahagian yang
menyebutkan bahwa keberadaan Bundo kanduang sama dengan awal adanya alam ini.
Jangan salah pengertian dengan kata” alam” disini. Alam dalam
bahasa kiasan minang bukan berarti sejak jaman Adam dan Hawa ada, tapi alam
disini berarti sebuah wilayah kekuasaan. Jadi dalam cerita/kaba cindua mato
keberadaan Bundo kanduang itu diawali dari sebuah kerajaan yang dipimpinnya.
Nah, dalam kepemimpinan Bundo Kanduang ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang
arif dan bijaksana dan mempunyai tingkat kharisma yang sangat tinggi diantara
bawahan dan penghuni rumah gadang yaitu Istana pagaruyung dulunya. Ia disegani
dan sangat dihormati karena kepiawaian serta kecerdasan dalam buah pikirannya
untuk mengelola tanah pusako dan memimpin semua yang tinggal dalam rumah gadang
tersebut.
Untuk selanjutnya dengan berjalannya waktu Bundo kanduang kemudian dijadikan
sebuah limbago yang menajdi panggilan untuk golongan kaum wanita minang
kabau.Dalam hal ini wanitapun telah ditetapkan untuk mempunyai beberapa
tanggung jawabnya terhadap rumah gadang dan tanah pusako dikampung halaman .
Perlu ditekankan disini, bahwa yang diberikan kepada wanita adalah “hak
tanggung jawab “ bukan kekuasaan. Artinya istilah “matriakat yang
berarti “ibu yang berkuasa” sudah ditinggalkan. Sedangkan hak
tanggung jawab yang dibebankan ke pada kaum wanita minang tersebut diantaranya
yang inti adalah :
1.Sebagai untuk menarik garis keturunan yang disebut sebagai sistim garis
keturunan ibu atau matrilineal
2.Sebagai yang bertanggung jawab atas kepemilikan rumah gadang
3.Sebagai yang bertanggung jawab atas sumber ekonomi seperti sawah,ladang
,tanah garapan dll
4.Sebagai tempat penyimpanan hasil ekonomi dengan pepatah “umbun puruak
pegangan kunci,umbun puruak alunan bunian” maksudnya wanita adalah
sebagai pemegang kunci ekonomi harta pusako
5.Sebagai penanggung jawab dalam pengaturan rumah tangga dan menentukan baik
buruknya jalan roda rumah tangga. Disini wanita yang berfungsi sebagai Ibu
dianggap sangat berpengaruh dalam pembentukan watak manusia . Ini terlihat
dalam pepatahnya : “ Kalau karuah aie dihulu, sampai kamuaro karuah
juo.Rintiak anaknyo,turunan atok ka palimbahan”.
6.Sebagai penanggung jawab pemeliharaan harta pusako, anak dan kemenakan.
Jelaslah sudah, dari tanggung jawab yang diberikan adat kepada kaum wanita
disini membuat kaum wanita minang kabau dituntut untuk menjadi
cerdas,cerdik,pandai dan berilmu pengetahuan yang tinggi. Sedangkan kaum pria
yang dianggap sebagai kaum yang “menumpang” secara tak langsung
pula mempengaruhi nilai tingginya harga diri mereka dikampung halaman sendiri.
Contohnya saja dalam memproduktivitaskan tanah pusako wanita dan laki-laki
boleh berdampingan mengolahnya. Namun begitu ada hasilnya, kaum wanita
boleh-boleh saja langsung memakan hasilnya tersebut ditengah rumah bersama
keluarganya. Sebaliknya kaum laki-laki akan menitipkannya dulu dilumbung rumah
gadang. Adalah sebuah harga diri bagi kaum pria memakan hasil itu kalau tidak
terpaksa betul. Kaum pria malah memantangkan diri mengambil haknya,karena
mereka lebih merasa mempunyai harga diri bila hidup dari hasil jerih payah
sendiri.
Perbedaan yang tajam ini membuat kaum pria mengembara mencari kesuksesan dan
keberhasilan dalam hidupnya sendiri. Sementara tampuk tanggung jawab di kampung
halaman jatuh ketangan wanita. Hal inilah yang membuat kaum wanita minang
terkenal dengan sikapnya sebagai pekerja keras. Tidak mau hanya berpangku
tangan atau berleha-leha saja walau ia sudah mempunyai harta sekalipun. Jiwa
bisnis wanita minangpun sangat tinggi,karena dengan tanggung jawab yang
diberikan pada mereka dalam mengatur roda perekomonian tanah pusako membuat
mereka harus cerdik dan pandai dalam perdagangan.
Walaupun pada catatan pada Badan Pusat Statistik Sumbar masih menunjukkan angka
keterlibatan wanita dilapangan kerja masih dbawah angka pria, namun yang
terlibat membuka lapangan kerja sendiri atau berwiraswasta lebih banyak
dilakukan oleh kaum wanita di Sumbar. Diantaranya banyak yang membuka lapangan
kerja dibidang kewanitaan yang berbentuk makanan, kerajinan tangan,jahit
menjahit dll. Waktu kami baru-baru ini pulang kampung, kami melewati kawasan
pasar kotobaru yang kebetulan sedang ada “hari Pasar”. Perjalanan
kami sedikit terkena macet dengan keramaian pasar tersebut. Uniknya pasar ini
adalah, para pedagangnya semua didominasi oleh kaum perempuan. Hampir setiap
sudut kami lihat yang menawarkan beragam sayuran dan rempah-rempah dapur adalah
rata-rata para wanita. Namun catatan BPS juga menyatakan bahwa angka putus
sekolah lebih banyak terdapat pada prosentase untuk kaum pria . Artinya,
semakin masuk kedalam jaman modern semakin terlihatlah kesadaran kaum wanita minangkabau
untuk tampil lebih cerdas dan berilmu pula.
Dari kenyataan-kenyataan yang ada ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa adat
minang kabau bukan bertujuan untuk membentuk wanita bersikap otoriter atau
berkuasa melebihi kekuasaan kaum pria apalagi meletakkan posisi kaum pria
dibelakang kaum wanita. Adat minang kabau selama ini sesungguhnya mengajarkan
dan mendidik dua gender ini untuk bisa tampil dalam kekuatan mereka
masing-masing dengan kepribadian yang kokoh untuk mampu hidup diatas kaki
sendiri tanpa mengemis-ngemis apalagi bersikap culas,licik dalam memperjuangkan
kehidupannya sendiri. Wanita minangkabau dengan tanggung jawab yang dibebankan
pada mereka membuat mereka bisa memahami sifat kepemimpinan yang arif dan
bijaksana. Sebaliknya kaum pria yang lebih diberikan kesempatan mengembara atau
merantau membuat mereka tampil sebagai kaum yang kenyang akan pengalaman hidup
hingga mereka lebih ahli menyelami dan mengukur kehidupan itu sendiri untuk
target keberhasilan mereka.
Seharusnya memang begitu. Tapi sebuah tata aturan dalam kehidupan yang
dirancang manusia tidak semuanya akan bisa tertata dengan lancar dan rapi
sesuai yang dikehendaki. Ada saja yang melenceng dari aturan yang sebenarnya..
Dalam hal ini rasanya aneh bila kita menyalahkan adat,karena sebuah adat tentu
lahir dari tata aturan yang tujuannya adalah untuk sebuah kebaikan. Sebuah
egolah yang merusak tata aturan tersebut. Ego tersebut akan tampil tidak hanya
dari bersendirian dari kedua gender ini karena mereka saling kait mengait untuk
membuat ego tersebut berkembang menjadi sikap individualistis yang saling
menyalahkan. Wanita yang berkuasa karena berada pada sistim matriakat akan
mempergunakan egonya untuk membelakangi kaum pria. Sebaliknya kaum pria yang
merasa hidup dengan wanita matriakat dalam kekuasaan berharta ,akan
mempergunakan kesempatan pula untuk bermalas-malasan dengan hanya duduk
menopang dagu memakan harta istri/wanita. Sikap dari kedua gender ini akan
melahirkan ego yang ditindas dan menindas.
Maka tak ada salahnya kalau aku merasa terdorong untuk mengupas masalah
ini,karena disebabkan begitu kentalnya darah minang melekat pada diriku. Dan
dengan jujur kusampaikan bahwa watak wanita minang yang terbentuk dari adatnya
adapula melekat dalam diriku. Aku yakin, semua wanita minang yang merasa
mempunyai darah minang yang kental mengalir pada dirinya akan merasakan hal
yang sama denganku. Dan dengan jujur pula aku sampaikan bahwa akupun pernah
melalui masa “transisi” berumah tangga dalam menselaraskan
kehidupan kami, agar tetap seimbang. Perbedaan pandangan dan prinsip hidup
pernah terbagi dua antara kami suami istri karena berasal dari adat dan budaya
yang berbeda. Aku dari minang, suamiku dari Jawa. Namun ini bukanlah masalah
adat, tapi adalah dari “ego” kita masing-masing. Aku yakin, sikap
Nirita,Lulu maupun Ranti juga lahir karena ego bukan karena adat. Adat memang
membentuk wanita minang menjadi sosok yang kuat,tegas dan mandiri. Tapi adat
tidak mengolah mereka menjadi sosok yang merasa lebih benar dan jauh dari
timbang rasa. Ada kalanya memang wanita minang harus terpaksa tampil lebih dulu
seperti yang dilakukan Ranti. Sikap mandiri darah minangnya membuat ia tampil
sebagai pengambil keputusan disaat kehidupan sudah menuntut untuk adanya sebuah
keputusan. Sebaliknya sikap Nirita dan Lulu adalah sikap keras dan tegas yang
lebih mencondongkan ego,sehingga timbullah kesalah pahaman dalam keterlanjuran
sikap berkuasa bagi wanita minang itu sendiri disini. Mungkin keruwetan buhul
perkawinan dua orang saudara kenalan baru kami diperhelatan dua hari yang lalu
juga begitu adanya.
Akhir kata, memang tuntutan untuk kesetaraan gender atau emansipasi atau apalah
namanya haruslah dikaji ulang.Bila tuntutan itu ternyata menimbulkan sebuah
kesombongan, sikap menguasai dan merasa harus melebihi kaum pria atau bahkan
yang lebih parah lagi adalah merendahkan dan melecehkan martabat kaum
pria,tentulah ini sudah salah pemahamannya. Artinya, bila ia seorang wanita
lajang iapun harus memahami batas-batas pergaulannya yang tidak merusak
norma-norma kaedah dirinya sendiri sebagai wanita. Baik itu batas dalam
memperoleh pendidikan, lapangan kerja maupun sebuah kekuasaan. Bila ia seorang
istri, tentulah yang pertama yang menjadi panutan dan tempat ia bersepakat
adalah suami sendiri.Walaupun pendidikan, kedudukan atau penghasilannya lebih
memadai dari sang suami adalah suatu kewajiban utama baginya untuk tetap berada
dibelakang suaminya. Selayaknyalah ia harus terlebih dahulu mendengar dan
bertindak sesuai arahan suami kecuali bila keadaan tidak memungkinkan lagi
untuk berbuat demikian. Semoga tulisan ini dapat menjadi pedoman diriku
sendiri, teman2ku wanita maupun pria, baik yang berdarah minang maupun bukan.
Kuala Lumpur , 21 November 2009
referensi : dari buku2 karangan Zuriati dan Amir M.S serta blog2 di internet
serta hasil pandangan pribadi.
*) ditulis dalam catatan pada FB oleh Desni Intan Suri
Uni Lucille,
Sebenarnya pandangan “ Kekuasaan Wanita Minang = Menjajah Pria “ lebih banyak berasal dari non Minang.
Seiring berjalannya zaman, peran pria yg sebelumnya lebih dominan dirumah saudara perempuan bergeser kerumah istrinya.
Ada hal2 tertentu yg tidak bisa berubah, selagi kita dalam lingkungan keluarga Minang, yaitu peran wanita Minang sebagai Bundo Kanduang.
Peran pria dirumah saudara perempuan sudah banyak diambil alih “sumando” sebagai bapak dari keponakan yaitu memberi nafkah, pengajaran, dll.
Mungkin ada pandangan lain dari warag RN.
Salam
Nofiardi RM 42
From: rant...@googlegroups.com [mailto:rant...@googlegroups.com] On Behalf Of Firdha Samsir Alam
Sent: Thursday, December 03, 2009
9:40 AM
To: rant...@googlegroups.com
Cc: aku_m...@yahoo.com
Subject: [BULK EMAIL]-
[R@ntau-Net] Re: Kekuasaan Wanita Minang = Menjajah Pria
Importance: Low
saya sangat tertarik isi email nofairdi, boleh dong
sedikit saya tambahi berdasarkan pengalaman pribadi saya apa lagi saya bangga
jadi wanita berdarah minang .... tegar, tabah dan paling utama bertanggung
jawab terhadap keluarga itulah perempuan Minang.... di lingkungan saya sendiri
saya perhatikan janda-janda baik itu janda cerai mati atau janda cerai
hidup tapi tetap tegar dalam mencari nafkah untuk anak - anak
mereka.... didikan itu yang diterima dari ibu mereka... perempuan minang
mampu bertangung jawab .... kita lihat banyak kaum laki - laki dari minang yang
setelah bercerai (hidup) meninggalkan anak - anak mereka begitu saja tanpa ada
rasa tanggung jawab dari mereka karena adat Matriakat yang ada di Minang bahwa
setiap anak -anak berada dipihak ibu kalau terjadi perceraian .... hal
ini mengakibatkan banyak anak - anak yang ditinggalkan begitu saja oleh sibapak
tanpa ada tanggung jawab dari bapak tersebut.... walau dalam persidangan
perceraian sekalipun ditentukan berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh si
bapak untuk anak - anak tsb tapi itu hanya. tinggal janji diatas kertas
(Banyak hal ini terjadi ), Tapi perempuan Minang bukanlah perempuan cengeng
yang meratapi nasib mereka... mereka bangkit dan tegar tuk hadapi hidup ini.
Tidak ada kebudayan Minang kabau (matrilineal) yang mendidik anak perempuannya
kelak jadi seorang ibu rumah tangga yang berkuasa kepada suaminya tetapi
bertanggung jawab iya.. lagi pula saya setuju kalau rumah orang tua
diberikan ke anak perempuan ... dan anak laki - laki menjaga supaya rumah itu
tetap aman dan terlindung dari segala pihak yang mungkin saja berniat buruk
terhadap rumah tsb.
menjadi Perempuan Minang bagaikan induk ayam yang mengais tanah mencari
cacing untuk makan anak- anak nya.... setelah anak-anaknya makan
baru si induk makan....
jadi cengeng, manja ,malas, otoriter dan mati karancak-an bukan lah tipe
perempuan Minang..... salut tuk desni intan suri.... salaam
Adidunsanak
Sato bakomen saketek. Wanita minang nan indak tahu jo adat Minang mgkn iyo bisa sajo manjadi perempuan bakuaso ateh suaminyo apolai suaminyo tingga di rumah induak si wanita tsb. Dan apolai kalau suaminyo indak tahu jo padok (karajo). Nampaknyo iyo ka dikuasoi bana si suami dek si wanita.
Mangkonyo kito sebagai suami harus punya sikap bertanggung jawab ateh keluarga. Bukan menghandalkan istri dalam mencari nafkah dan kebutuhan anak-anak.
Mgkn itu seketek komen dari ambo nan daif ko….
Wassalam
Mlnmrj
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Ren, ambo ikuik “QUIZ” Reni ciek yo. Dek karano ambo laki2 Minang, mudah2an jawaban ambo lai taetong:
Jawaban ambo langsuang di bawah pertanyaan/ statement Renny:
1. apo ado laki2 minang wakatu istri melahirkan mencucikan kain atau bekas melahirkan istrinya?
Kalau iko ambo ndak tau, Ren. Waktu istri ambo melahirkan, kebetulan kami punyo pembantu dan ado mesin cuci di rumah ….
2. apo ado laki2 minang yg mau mengasuh anaknya ( aku sering liat laki2 jawa yg memberi makan anaknya di perkarangan rumah, atau dijalan sambil mengendong anak dgn kain
I did it, Ren. Cuma bedanya ambo gendong anak ndak pakai kain do, ambo dulu menggendong langsuang, atau kalau jauah didorong dalam trolley. Sampai kini pun nan manta japuik anak ka tampek kosnyo di depok tetap ambo, ren
3. apo ado laki2 minang yg makan dgn apa adanya ? seperti org jawa dan sunda makan dgn tempe atau krupuk tetap nikmat....
Ambo baraja makan cuma dengan tempe tapi nikmat itu waktu kuliah Ren, di warteg dan menikmati tuh … jadi untak ambo itu bukan suatu hal yang istimewa. Kalau karupuak, dulu ambo acok makan karupuak baguak (emping) pakai kuah sajo, tapi kini ndak lai, dek takuik asam urat.
Tapi, anyway, kalau memang gaji nan disarahkan ka rumah memang cuma cukuik untuak tempe, mau nagih daging, ya ga bener donk …
sekali lagi mohon maaf. karna selama saya hidup dan melihat sekeliling saya, saya rasa laki2 minang lebih beruntung menikahi wanita minang,
Kiro2 pandapek Renny itu valid ga … kalau valid mungkin beko buliah lo ambo bapikia untuak menikahi wanita minang …J
sepahit2 apapun hidup, wanita minang tetap tegar, tidak ada istilah ado piti uda disayang tak ado piti uda ditendang di wanita minang,beda dgn wanita2 lainya ....
Kalau iko mungkin ga valid, atau setidaknyo ga 100% valid. Kalau ambo indak bapitih Alhamdulillah lai ndak ditendangnyo dek istri ambo nan urang Solo-Sangir do, tapi disuruah ambiaknyo dari dompetnyo, atau kartu ATM nyo dipinjamkannyo ka ambo sambia ma-sms no PIN nyo J
Riri
Bekasi, l, 47
renny,ancol
Ass.wr.wb.
Reny:
tanyo banyak ciek...
maaf sabalunyo
1. apo ado laki2 minang wakatu istri melahirkan mencucikan kain atau bekas melahirkan istrinya?
2. apo ado laki2 minang yg mau mengasuh anaknya ( aku sering liat laki2 jawa yg memberi makan anaknya di perkarangan rumah, atau dijalan sambil mengendong anak dgn kain
3. apo ado laki2 minang yg makan dgn apa adanya ? seperti org jawa dan sunda makan dgn tempe atau krupuk tetap nikmat....
sekali lagi mohon maaf. karna selama saya hidup dan melihat sekeliling saya, saya rasa laki2 minang lebih beruntung menikahi wanita minang,
sepahit2 apapun hidup, wanita minang tetap tegar, tidak ada istilah ado piti uda disayang tak ado piti uda ditendang di wanita minang,beda dgn wanita2 lainya ....
BakhtiarM:
Reny, itu tergantung situasi. Kalau suami-istri keduanya kerja, bagaimanapun dalam rumah tangga harus share.
Selama sekolah di US, jangankan waktu melahirkan, se-hari tugas suami mencuci pakaian, perbaiki mobil, ngurus anak, membersihkan popoknya sampai umur dua tahun. Di US karena pakai pamper, biasanya anak baru ke toilet setelah dua tahun. Ambo mengasuh anak, sambil belajar, karena isteri kerja.
Ambo masak sendiri, sekarang juga begitu. Segala masakan bisa, buka buku, tapi tentunya tidak seenak masakan isteri.
Isteri di Bandung, kalau ambo di Jakarta masak sendiri, pagi2 beli ayam, ikan, sayur dll, sama yg pakai gerobak, murah meriah, masak sendiri. Makan diluar, kurang hygienis, sering sakit perut, akhirnya memutuskan masak sendiri.
Kalau Reny singgah di rumah ambo di Jkt, ambo masakan, apo nan katuju, ambo masak.
Masalah ado piti uda disayang, tak ado pitih uda ditentang, samo sajo, suku manapun juga, tergantung orangnya.
Yang Reny mungkin protes, uda kayo rayo, tambah ciek lai.
Wass.wr.wb.
Bakhtiar Muin
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Kekuasaan Wanita Minang = Menjajah Pria
oleh: Desni Intan Suri
Dunia Perempuan | Rabu, 02/12/2009 22:21 WIB
Suatu kali aku dan suami berkenalan dengan seorang pria yang bukan dari daerah
Sumbar. Dalam pembicaraan kami yang menceritakan daerah masing-masing ia
memberikan pendapat dan kesannya terhadap wanita minang kabau. Kesan dan
pendapatnya itu membuatku terkaget-kaget.
“Gimana mas rasanya punya istri orang minang?” kata si pria ini
pada suamiku. Suamiku sempat bingung menjawabnya, tapi dijawabnya juga “
yaa..rasanya ya ..rasa punya istri…” kata suamiku sambil tertawa.
“Bukan, maksud saya beristrikan wanita minang gimana rasanya? Katanya
ngotot. Akupun tergoda untuk menimpalinya “ maksudnya rasa apanya nih
pak..jelaskanlah..” kataku. Dia tersenyum dan tetap mengarahkan
pandangannya kesuami ku : “ setahu saya wanita minang itu sangat dominan
dalam rumah tangga…bahkan kesannya seperti kaum pria dijajah saja. Adat
minang kabau saja sudah menampakkan hal itu. Tak heran watak wanitanya menjadi
berkuasa seperti itu. Saya merasa adat minang kesannya seperti membuang anak
laki-laki. Coba saja lihat, secara rohaniah yang memiliki rumah adalah wanita
,kaum pria hanya menumpang. Kalau sudah menjadi suami ,kedudukannyapun lemah
sebagai seorang bapak dari anaknya, yang memutuskan kehidupan anaknya terutama
dalam masalah perkawinan justru adik laki-laki istrinya.Masyarakat minang itu
juga menganut sistim matriakat yang mana kekuasaan terletak ditangan Ibu atau
wanita.hm…ini benar-benar bikin wanita diatas angin. Dalam keluarga saya
ada dua orang yang sempat beristrikan orang minang ,dua-duanya berakhir dengan
perceraian dengan didahului pertengkaran demi pertengkaran. Istri-istri mereka
sangat dominan bahkan terkesan tidak menghargai suami. “.
Aku segera ingat dengan teman karibku Nirita yang baru saja dua hari yang lalu
curhat datang kerumah. Nirita adalah teman kecilku sejak disekolah dasar. Garis
nasib kemudian berbeda jauh diantara kami. Aku sekarang berstatus Ibu rumah
tangga yang berwiraswasta, sedangkan ia adalah seorang Manager Public Relation
dan marketing di sebuah hotel berbintang. Ia meminta saranku ketika ia merasa
harus mengakhiri kehidupan perkawinanya dengan Syaiful yang dulunya juga adalah
teman satu perguruan tinggi denganku. “Dia lamban sekali ..aku bosan
mendorongnya terus,dia maunya mengembangkan dunia tulis menulisnya padahal
diakan sarjana tehnik mesin..apalah yang akan dapat dari dunia tulis
menulis..aku udah susah-susah cariin kerjaan bergengsi buat dia ..eh
dicuekin..maunya dia apa? Hasil tulis menulisnya cuma cukup beli korek
kuping..tak lebih..!".
Aku juga ingat dengan Lulu anak bibiku. Sampai umurnya mencapai 53 tahun saat
ini, tak ada minatnya sedikitpun untuk berumah tangga. Sekarang ia bekerja
disebuah stasiun televisi swasta di Australia. Ketika kami semua mencoba-coba
menyodorkan ‘calon” padanya, semua dijawabnya dengan kata-kata
” Ngga level…!”. Sampai saat ini, ia masih merasa bahwa
levelnya adalah lebih tinggi dari pria manapun yang diperkenalkan padanya.
Akhirnya kami menyerah dan membiarkan ia memilih kehidupannya sendiri.
Dirumah aku termenung-menung sendiri memikirkan kalimat-kalimat
“dakwaan” dari pria kenalan baru kami tadi sewaktu diperhelatan
kenalan suamiku. Kuhubung-hubungkan semua ini. Kucoba pula mengoreksi diriku
sendiri, apakah aku bersikap seperti yang ia sebutkan itu kepada suamiku
sendiri?. Pikiranku itu terbaca oleh suamiku. Ia tersenyum-senyum menggodaku .
“ Tersinggung ni yeee… dibilang penjajah… katanya
tergelak-gelak. “ Tidak juga…cuma mencoba koreksi diri
saja…” kataku kalem mencoba menutupi perasaanku sebenarnya..
Suamiku manggut-manggut sambil menepuk-nepuk punggungku
“tenang…tenang..aku ngga merasa dijajah kok….” Katanya
memperlebar senyumnya .
Esok paginya ketika aku sedang menyiapkan sarapan pagi keluarga, aku didatangi
Ranti tetangga baru kami. Ia baru dua bulan menngontrak rumah sebelah kiri
rumah kami. Ia seorang wanita minang berasal dari Padang panjang. Begitu dia
tahu aku juga orang minang, hampir tiap hari dia main kerumah kami. Katanya ia
bekerja disebuah perusahaan muliti nasional . Waktu baru berkenalan kami sempat
heran ,katanya dia sudah mempunyai suami dan tiga orang anak, tapi kok dirumah
itu yang keliatan hanya dia saja. Baru kemudian kami paham setelah ia
menceritakan kehidupan rumah tangganya kepadaku. ‘ Suamiku pengangguran
tingkat tinggi..sudah masuk tahun kelima sekarang..ada teman yang nawarin kerja
padaku dijakarta ini,gajinya cukup besar...yaa daripada anak-anakku ngga makan
aku terima pekerjaan itu…, di Padang udah susah cari kerja sementara
anak-anakkan perlu makan dan biaya sekolah..sekarang dia yang ngurusin
anak-anak aku kerja..,harus ada salah satu kami bertindak kalau mau
bangkit…ya kan Des?aku akan mencari peluang kerja buat dia disini , baru
setelah itu memungkin bagi kami untuk kumpul lagi…”katanya waktu
itu.
Aku memandang kepergian Ranti dari balik jendela dapur. Ia hanya datang untuk
mengembalikan piringku sebelum pergi kekantornya. Kemarin kuisi nasi uduk
bikinanku untuknya. Pikiranku dipenuhi dengan beberapa pertanyaan dan
menerawang kemana-mana. Apakah wanita minang seperti Ranti juga disebut sebagai
seorang wanita yang dominan?. Apakah keluhan yang disampaikan Nirita atau Lulu
padaku dulu mewakili pola watak wanita minang kabau secara keseluruhannya?.
Apakah benar adat minangkabau yang matriakat membuat wanita minang kabau
membabi buta memburu kesetaraan gender?. Apakah hak dan kekuasaannya yang
diberikan kepada mereka dalam adat membuat mereka menjadi melemahkan kedudukan
pria sebagai pendamping hidup mereka?.
Kalau menelusuri kehidupan kekeluargaan orang minang sendiri memang adat minang
seperti sudah melahirkan watak perantau bagi pria minang, dan watak bundo
kanduang bagi wanita minang.Kaum laki-laki diminang, dianggap sebagai kaum yang
“menumpang” dirumah gadang. Rumah yang sesungguhnya bagi kaum
laki-laki minang adalah Surau. Dari kecil mereka sudah diajar mengaji dan
belajar silat berpindah-pindah dari satu surau/tempat ke lainnya. Namun inipula
yg kemudian menjadi sumber dinamika pria minang untuk menjadi
pengembara/perantau .
Sebaliknya untuk kaum wanita minang telah diberikan sebuah kekuasaan dalam
kepemimpinan dan tanggung jawab yang besar untuk mereka. Kekuasaan dan tanggung
jawab yang besar dimulai dari sebuah mitos mengenai seorang pemimpin wanita
yang disebut Bundo Kanduang. Sebetulnya banyak pendapat mengenai asal muasal
sosok Bundo Kanduang ini. Tapi dalam cerita /kaba cindua mato ada bahagian yang
menyebutkan bahwa keberadaan Bundo kanduang sama dengan awal adanya alam ini.
Jangan salah pengertian dengan kata” alam” disini.. Alam dalam
bahasa kiasan minang bukan berarti sejak jaman Adam dan Hawa ada, tapi alam
disini berarti sebuah wilayah kekuasaan. Jadi dalam cerita/kaba cindua mato
keberadaan Bundo kanduang itu diawali dari sebuah kerajaan yang dipimpinnya.
Nah, dalam kepemimpinan Bundo Kanduang ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang
arif dan bijaksana dan mempunyai tingkat kharisma yang sangat tinggi diantara
bawahan dan penghuni rumah gadang yaitu Istana pagaruyung dulunya. Ia disegani
dan sangat dihormati karena kepiawaian serta kecerdasan dalam buah pikirannya
untuk mengelola tanah pusako dan memimpin semua yang tinggal dalam rumah gadang
tersebut.
Untuk selanjutnya dengan berjalannya waktu Bundo kanduang kemudian dijadikan
sebuah limbago yang menajdi panggilan untuk golongan kaum wanita minang
kabau.Dalam hal ini wanitapun telah ditetapkan untuk mempunyai beberapa
tanggung jawabnya terhadap rumah gadang dan tanah pusako dikampung halaman .
Perlu ditekankan disini, bahwa yang diberikan kepada wanita adalah “hak
tanggung jawab “ bukan kekuasaan. Artinya istilah “matriakat yang
berarti “ibu yang berkuasa” sudah ditinggalkan. Sedangkan hak
tanggung jawab yang dibebankan ke pada kaum wanita minang tersebut diantaranya
yang inti adalah :
1.Sebagai untuk menarik garis keturunan yang disebut sebagai sistim garis
keturunan ibu atau matrilineal
2.Sebagai yang bertanggung jawab atas kepemilikan rumah gadang
3.Sebagai yang bertanggung jawab atas sumber ekonomi seperti sawah,ladang
,tanah garapan dll
4.Sebagai tempat penyimpanan hasil ekonomi dengan pepatah “umbun puruak
pegangan kunci,umbun puruak alunan bunian” maksudnya wanita adalah
sebagai pemegang kunci ekonomi harta pusako
5.Sebagai penanggung jawab dalam pengaturan rumah tangga dan menentukan baik
buruknya jalan roda rumah tangga. Disini wanita yang berfungsi sebagai Ibu
dianggap sangat berpengaruh dalam pembentukan watak manusia . Ini terlihat
dalam pepatahnya : “ Kalau karuah aie dihulu, sampai kamuaro karuah
juo.Rintiak anaknyo,turunan atok ka palimbahan”.
6.Sebagai penanggung jawab pemeliharaan harta pusako, anak dan kemenakan.
Jelaslah sudah, dari tanggung jawab yang diberikan adat kepada kaum wanita
disini membuat kaum wanita minang kabau dituntut untuk menjadi
cerdas,cerdik,pandai dan berilmu pengetahuan yang tinggi. Sedangkan kaum pria
yang dianggap sebagai kaum yang “menumpang” secara tak langsung
pula mempengaruhi nilai tingginya harga diri mereka dikampung halaman sendiri.
Contohnya saja dalam memproduktivitaskan tanah pusako wanita dan laki-laki
boleh berdampingan mengolahnya. Namun begitu ada hasilnya, kaum wanita
boleh-boleh saja langsung memakan hasilnya tersebut ditengah rumah bersama
keluarganya. Sebaliknya kaum laki-laki akan menitipkannya dulu dilumbung rumah
gadang. Adalah sebuah harga diri bagi kaum pria memakan hasil itu kalau tidak
terpaksa betul. Kaum pria malah memantangkan diri mengambil haknya,karena
mereka lebih merasa mempunyai harga diri bila hidup dari hasil jerih payah
sendiri.
Perbedaan yang tajam ini membuat kaum pria mengembara mencari kesuksesan dan
keberhasilan dalam hidupnya sendiri. Sementara tampuk tanggung jawab di kampung
halaman jatuh ketangan wanita. Hal inilah yang membuat kaum wanita minang
terkenal dengan sikapnya sebagai pekerja keras. Tidak mau hanya berpangku
tangan atau berleha-leha saja walau ia sudah mempunyai harta sekalipun. Jiwa
bisnis wanita minangpun sangat tinggi,karena dengan tanggung jawab yang
diberikan pada mereka dalam mengatur roda perekomonian tanah pusako membuat
mereka harus cerdik dan pandai dalam perdagangan.
Walaupun pada catatan pada Badan Pusat Statistik Sumbar masih menunjukkan angka
keterlibatan wanita dilapangan kerja masih dbawah angka pria, namun yang
terlibat membuka lapangan kerja sendiri atau berwiraswasta lebih banyak
dilakukan oleh kaum wanita di Sumbar. Diantaranya banyak yang membuka lapangan
kerja dibidang kewanitaan yang berbentuk makanan, kerajinan tangan,jahit
menjahit dll. Waktu kami baru-baru ini pulang kampung, kami melewati kawasan
pasar kotobaru yang kebetulan sedang ada “hari Pasar”. Perjalanan
kami sedikit terkena macet dengan keramaian pasar tersebut. Uniknya pasar ini
adalah, para pedagangnya semua didominasi oleh kaum perempuan. Hampir setiap
sudut kami lihat yang menawarkan beragam sayuran dan rempah-rempah dapur adalah
rata-rata para wanita. Namun catatan BPS juga menyatakan bahwa angka putus
sekolah lebih banyak terdapat pada prosentase untuk kaum pria . Artinya,
semakin masuk kedalam jaman modern semakin terlihatlah kesadaran kaum wanita minangkabau
untuk tampil lebih cerdas dan berilmu pula.
Dari kenyataan-kenyataan yang ada ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa adat
minang kabau bukan bertujuan untuk membentuk wanita bersikap otoriter atau
berkuasa melebihi kekuasaan kaum pria apalagi meletakkan posisi kaum pria
dibelakang kaum wanita. Adat minang kabau selama ini sesungguhnya mengajarkan
dan mendidik dua gender ini untuk bisa tampil dalam kekuatan mereka
masing-masing dengan kepribadian yang kokoh untuk mampu hidup diatas kaki
sendiri tanpa mengemis-ngemis apalagi bersikap culas,licik dalam memperjuangkan
kehidupannya sendiri. Wanita minangkabau dengan tanggung jawab yang dibebankan
pada mereka membuat mereka bisa memahami sifat kepemimpinan yang arif dan
bijaksana. Sebaliknya kaum pria yang lebih diberikan kesempatan mengembara atau
merantau membuat mereka tampil sebagai kaum yang kenyang akan pengalaman hidup
hingga mereka lebih ahli menyelami dan mengukur kehidupan itu sendiri untuk
target keberhasilan mereka.
Seharusnya memang begitu. Tapi sebuah tata aturan dalam kehidupan yang
dirancang manusia tidak semuanya akan bisa tertata dengan lancar dan rapi
sesuai yang dikehendaki. Ada saja yang melenceng dari aturan yang sebenarnya..
Dalam hal ini rasanya aneh bila kita menyalahkan adat,karena sebuah adat tentu
lahir dari tata aturan yang tujuannya adalah untuk sebuah kebaikan. Sebuah
egolah yang merusak tata aturan tersebut. Ego tersebut akan tampil tidak hanya
dari bersendirian dari kedua gender ini karena mereka saling kait mengait untuk
membuat ego tersebut berkembang menjadi sikap individualistis yang saling
menyalahkan. Wanita yang berkuasa karena berada pada sistim matriakat akan
mempergunakan egonya untuk membelakangi kaum pria. Sebaliknya kaum pria yang
merasa hidup dengan wanita matriakat dalam kekuasaan berharta ,akan
mempergunakan kesempatan pula untuk bermalas-malasan dengan hanya duduk
menopang dagu memakan harta istri/wanita. Sikap dari kedua gender ini akan
melahirkan ego yang ditindas dan menindas.
Maka tak ada salahnya kalau aku merasa terdorong untuk mengupas masalah
ini,karena disebabkan begitu kentalnya darah minang melekat pada diriku. Dan
dengan jujur kusampaikan bahwa watak wanita minang yang terbentuk dari adatnya
adapula melekat dalam diriku. Aku yakin, semua wanita minang yang merasa
mempunyai darah minang yang kental mengalir pada dirinya akan merasakan hal
yang sama denganku. Dan dengan jujur pula aku sampaikan bahwa akupun pernah
melalui masa “transisi” berumah tangga dalam menselaraskan
kehidupan kami, agar tetap seimbang. Perbedaan pandangan dan prinsip hidup
pernah terbagi dua antara kami suami istri karena berasal dari adat dan budaya
yang berbeda. Aku dari minang, suamiku dari Jawa. Namun ini bukanlah masalah
adat, tapi adalah dari “ego” kita masing-masing. Aku yakin, sikap
Nirita,Lulu maupun Ranti juga lahir karena ego bukan karena adat. Adat memang
membentuk wanita minang menjadi sosok yang kuat,tegas dan mandiri. Tapi adat
tidak mengolah mereka menjadi sosok yang merasa lebih benar dan jauh dari
timbang rasa. Ada kalanya memang wanita minang harus terpaksa tampil lebih dulu
seperti yang dilakukan Ranti. Sikap mandiri darah minangnya membuat ia tampil
sebagai pengambil keputusan disaat kehidupan sudah menuntut untuk adanya sebuah
keputusan. Sebaliknya sikap Nirita dan Lulu adalah sikap keras dan tegas yang
lebih mencondongkan ego,sehingga timbullah kesalah pahaman dalam keterlanjuran
sikap berkuasa bagi wanita minang itu sendiri disini. Mungkin keruwetan buhul
perkawinan dua orang saudara kenalan baru kami diperhelatan dua hari yang lalu
juga begitu adanya.
Akhir kata, memang tuntutan untuk kesetaraan gender atau emansipasi atau apalah
namanya haruslah dikaji ulang.Bila tuntutan itu ternyata menimbulkan sebuah
kesombongan, sikap menguasai dan merasa harus melebihi kaum pria atau bahkan
yang lebih parah lagi adalah merendahkan dan melecehkan martabat kaum
pria,tentulah ini sudah salah pemahamannya. Artinya, bila ia seorang wanita
lajang iapun harus memahami batas-batas pergaulannya yang tidak merusak
norma-norma kaedah dirinya sendiri sebagai wanita. Baik itu batas dalam
memperoleh pendidikan, lapangan kerja maupun sebuah kekuasaan. Bila ia seorang
istri, tentulah yang pertama yang menjadi panutan dan tempat ia bersepakat
adalah suami sendiri.Walaupun pendidikan, kedudukan atau penghasilannya lebih
memadai dari sang suami adalah suatu kewajiban utama baginya untuk tetap berada
dibelakang suaminya. Selayaknyalah ia harus terlebih dahulu mendengar dan
bertindak sesuai arahan suami kecuali bila keadaan tidak memungkinkan lagi
untuk berbuat demikian. Semoga tulisan ini dapat menjadi pedoman diriku
sendiri, teman2ku wanita maupun pria, baik yang berdarah minang maupun bukan.
Kuala Lumpur , 21 November 2009
referensi : dari buku2 karangan Zuriati dan Amir M.S serta blog2 di internet
serta hasil pandangan pribadi.
*) ditulis dalam catatan pada FB oleh Desni Intan Suri
Renny.
Kalau buliah ambo manjawab saketek.
Kalau membicarakan adat ini sebaiknya ditentukan kurun waktunya, dan tidak dicampur adukan satu sama lian.
Sebagaimana diketahui, adat adalah kebisaan yang dianut oleh sekelompok masyarakan, dan diakui bahwa aturan itu berlaku diantara mereka demi kepentingan hidup bersama. Sudah barang tentu adat yang akan dipakai adalah mengalami perobahan sesuai kebutuhan masyarakat yang memakainya.
Demikan juga diadat Minangkabau (tolong jangan dipisah penulisannya ya, sebab artinya bisa berubah menjadi si minang adalah kabau), ada istilah sakali aia gadang sakali tapian barubah. Buya Hamka juga mengemukakan, tidak ada yang tidak berobah, yang abadi hanya adalah perobahan itu sendiri.
Kembali kekurun waktu, dalam adat Minang asli, alias saisuak (walau ada juga yang memberlakukan/mempertahan saat sekarang), rang sumando adalah abu diateh tunggua, kalau ado angin inyo bisa tabang. Ini mengisyaratkan bahwa bapak adalah datang dan memang menompang dirumah istri (keluarga istri). Karena dia datang juga hanya membawa badan dan pakaiannya saja. Kemudian bila terjadi perceraian, maka sisuami ya pergi badan dan pakaiannya saja, sumua harta dan juga anak harus ditinggal untuk membesarkan anak. Dengan demikian si wanita terjaga. Kalau dikampungku sekarang, pulau jawa terutama, bila terjadi perceraian maka siwanita diusir begitu saja, sehingga banyak yang salah jalan jadinya. Semua ada kelebihan dan kekurangannya.
Yang diatas adalah adat zaman behaula, dimana mamak adalah beperan besar dalam mengurus kemenakannya, sebab harta kan dibawah pengawasan mamak dan pemanfaatannya adalah ditangan saudara perempuan si mamak ini, atau dengan kata lain adalah siibu yang bertugas mengurus anak2nya, terutama bila terjadi perceraian.
Walai ini adat lama dan sudah mulai ditinggalkan saat ini, tapi masih banyak yang ingin mempertahankannya dan sehingga yang adat itu seolah barang antic yang tersimpan diloteng Rumah, yang jarang digunakan. Malah sudah tidak mau digunakan lagi.
Kalau berbicara untuk saat ini, maka di ranah Miangkabau sekalipun, sudah berubah kekaluarga batih, seprti yang Renny lihat juga di Jakarta ini, Amcol di Jakarta bukan? Renny kan selalu tulis Ancol dengan bangga.
Saya yang sudah berumur setengah abad lebih ini, dari dulu sudah dididik sebagai keluarga batih oleh kedua orang tua saya, apa lagi sekarang. Bapa saya dengan lantang menyatakan, bahwa kalau membuat Rumah maka harus ditanah yang dibeli, jangan ditanah kaum, banayak sengketanya dan bisa berlarut-larut. Mungkin ayah saya takut seperti abu diateh tunggua kali yo.
Sekarang, keluarga di ranah Minangkabau sudah mengelola keluarga batih tersebut. Dan peran mamak Cuma sebagai pembimbing kemenakan, tidak lagi pemngkunya. Istilah adatnya: anak dipangku kabanakan dibimbiang, rang kampuang dipatenggangkan.
Jadi kelihatan adat Minangkabau dewasa ini sudah ambivalen, nan jkalau bisa disalasaikan dek pak Saaf (nan selalu gregetan) dalam “Kongres Adat Miangkabau” di bulan Mei/Juni 2010 nanti. InsyaAllah ado hasiano. Iko bahan nan paliang utamo yo pak Saaf. Tolong catat yo sanak Ephi Lintau.
Keluarag batih yang nyata diranah kini, sama seperti yang diadatkan ditanah Betawiko, bapak bertanggungjawab penuh terhadap anaknya, walau sianak diberi suku menurut ibunya. Maka pak Saaf mempromosikan “Basuku ka Ibu, banasab ka ayah”. Mako disiko jadilah namo ambo: Darul Makmur gala St. Parapatiah suku Sikumbang bin Abdullah bin Sikek van Canduang. Panjang kan?
Salam
Darul M St. Parapatiah
Sebelah Ancol (Cempaka Mas)
From:
rant...@googlegroups.com [mailto:rant...@googlegroups.com] On Behalf Of Reni
Sisri Yanti
Sent: Friday, December 04, 2009 9:55 AM
To: rant...@googlegroups.com
Subject: [R@ntau-Net] Re: Kekuasaan Wanita Minang = Menjajah Pria
pagi uni firdha
Saudaraku yang baik ,di Rantau Net. Membaca judul KEKUASAAN WANITA MINANG = MENJAJAH PRIA. rasanya Aneh dan Lucu. Karena yang banyak saya lihat dan saya ketahui, Wanita minang itu berbuat dan bertindak berdasarkan ajaran Islam . Suami tetap merupakan Imam bagi keluarganya , masalah peranan suami seperti yang ditulis Renny pada poin 1, 2 ,3 tergantung kesepakatan dalam rumah tangga, kalau saya termasuk wanita yang kurang suka melihat suami menggendong anak dijalan pakai kain atau menyuapkan anak makan sambil jalan , lakukanlah didalam rumah , dengan melakukan pekerjaan wanita dalam rumah tangga ,bukan berarti mereka dijajah atau takut istri, melainkan karena sayangggggg banget sama bini. Kita di Minang memang mempunyai sistim Matriarkhat , dan itu sangat baik sekali,
tergambar dari perlindungan kepada kaum wanita ,supaya tidak tersia-sia hidupnya , Maaf karena PRIA ,umumnya mempunyai sifat poligami ,< tergantung pada pengendaliannya>, maka hak waris jatuh kepada perempuan. Kalau Wanita Minang itu Perkasa ,sebagai IBU saya percaya , dikala dia menjadi pegawai , atau berdagang diluar rumah Dia sudah menyiapkan keperluan keluarganya mulai dari makan sampai kebersihan dalam rumah ,hal ini akan berlanjut terus turun temurun , karena itu sudah dicontohkan sebelumnya oleh IBU2 kita. Kalau ada segelintir Ibu2 <wanita> yang berkuasa dirumahnya, saya rasa bukan hanya di Minangkabau dan itu sudah karakter pribadi dari perempuan itu sendiri. Apa yang dilakukan Bung di Rumah untuk keluarga itu sudah sangat baik. BERBAHAGIALAH MENJADI WANITA
MINANG. Wassalam |
Reni, Jangan dilihat negatifnya ya.
kalau selalu ditulis, kan ya dibanggakan kan?
Saya juga menulis nama saya “Darul M 57 Jkt” karena saya bangga jadi warga Jkt keturunan Minang.
Karena saya memang menulis dengan gaya candak, dimana kadang2 memang tulisan itu bisa jadi multi tafsir.
Misalnya
Minang kabau
Coba bandingkan
Darul tere
Yang terakhir artinya Darul adalah tere kan
Jadi kalau dianalogkan
Minang kabau = Minang adalah kabau. Saya akan merasa tersinggung, tapi karena kita sudah biasa menuliskan kata dasar, maka harus dipisah, bengong setelah mau menulis pertanggungjawaban. Apa mau ditulis pertangungan jawab atau pertanggung jawaban. Kalau yang terakhir ini bisa kata perintah yang berart menyuruh supaya jawaban jangan dilengkapkan atau dijawab setengahsetengah.
Eh kamana perginya ya.
Salam
St.P
No virus
found in this incoming message.
Checked by AVG - www.avg.com
Version: 8.5.426 / Virus Database: 270.14.91/2541 - Release Date: 12/03/09
19:36:00
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Ass.wr.wb.
Jepe:
"Manga lo uda manggendong anak dihalaman bantuak itu,
karajo nan indak2 sajo mah, masuak kadalam capek"
Jadi memang kurang lazim rasanya lelaki minang yang punya istri orang minang
menggendong dan mengayun2 anak dengan kain panjang dan menggendong anak
berjam-jam di halaman dansebuah kegiatan yang rutin setiap hari kalau di minang
atau dilihat tetangga yang orang minang juga memang kurang enak
BakhtiarM:
Kalau di Amerika Serikat, ke-mana2 bapa yg mengendong anak. Alat pengendongnya juga enak, masih kecil didepan, kalau sudah agak besar gendong dipunggung. Seingat saya, ke-mana2 saya yg mengendong anak, apalagi anak yg pertama besar sekali dan berat. Setelah agak besar pakai kereta dorong. Bagaimana dengan share di rumah tangga? Laki2 biasanya kurang sensitive terhadap kebersihan, jadi biasanya isteri yg bersih2. Kalau isteri capek, suami tolongin vacum cleaner, laundry, strika, suami cuci piring, beres2in setelah istri masak.
Dalam dunia modern, dimana tidak ada pembantu, dalam rumah tangga seharusnyalah share dalam rumah tangga, karena ke-dua2nya kerja.
Dalam dunia modern dimana family jadi sangat kecil, paling ada kakek/nenek, itupun kalau masih hidup, peranan seorang ayah dalam membesarkan anak adalah sangat penting dalam membentuk karakter anak. Cara ibu dan ayah dalam membesarkan anak cukup significan bedanya, sehingga bisa saling melengkapi.
Wass.wr.wb.
Bakhtiar Muin
ambo salut kapado mahasiswa indonesia
nan setelah berjuang habis2an di lua nagari,
lalu mengabdi ka kampuang halaman utk membangun.
tapi itu nan beruntuang mandapek lapangan
karajo di tanah ayie utk membuktikan
keakhlian di bidangnyo.
kalau ado dunsanak mancaliek acara Kick Andy hari ko
alangkah ruginya negara katiko mareka nan pulang
mambao gelar keahklian ka indonesia, ndak dapek
karajo alias menganggur lalu pulang ka
tampek inyo baraja baliak.
atau negara ndak pernah maraso rugi?
apo komentar atau imbauan Angku Bakhtiar thd
keadaan 'brain drain' di kampuang awak.
wassalam
boes
(nan maninggakan tanah ayie
katu ampie pansiun)
Bakhtiar Muin wrote:
>
> BakhtiarM:
>
>
>
> Kalau di Amerika Serikat, ke-mana2 bapa yg mengendong anak. Alat
> pengendongnya juga enak, masih kecil didepan, kalau sudah agak besar
> gendong dipunggung. Seingat saya, ke-mana2 saya yg mengendong anak,
> apalagi anak yg pertama besar sekali dan berat. Setelah agak besar pakai
> kereta dorong. Bagaimana dengan share di rumah tangga? Laki2 biasanya
> kurang sensitive terhadap kebersihan, jadi biasanya isteri yg bersih2.
> Kalau isteri capek, suami tolongin vacum cleaner, laundry, strika, suami
> cuci piring, beres2in setelah istri masak.
>
>
>
> Dalam dunia modern, dimana tidak ada pembantu, dalam rumah tangga
> seharusnyalah share dalam rumah tangga, karena ke-dua2nya kerja.
> ///
>
> Wass.wr.wb.
>
> Bakhtiar Muin
>
>
Pak Bakhtiar yang budiman
Terima kasih atas share atau berbagi pengalamannya tentang hal ini, dalam masalah menggendong anak ini apa yang bapak bilang di jaman modern ini kita lelaki Minang nan merantau dan kebetulan istri saya orang minang pada prinsipnya saya setuju apa yang bapak sampaikan
Tapi saya nggak tahu juga istri saya kurang "sreg" jika saya menggendong-gendong anak di halaman berlama2 atau sebuah rutinitas sehari2, ini saya pikir bisikan ibunya (mertua saya) juga
Jika saya amati waktu kecil dan remaja dikampung faktanya lelaki minang yang beristri memang jarang sekali "pamer" gendong2 anak berlama-lama di halaman rumah seperti untuk menina bobokannya,
Tapi jika menggendong anak gaya modern seperti Bapak ceritakan saya juga melakukannya semisal jalan2 ke pusat perbelanjaan dengan ransel didepan dada sambil memeluk punggung si bayi semisal si bayi sudah berumur 1 tahunan, jalan2 pagi sambil mencari udara dan panas pagi yang sehat, didalam rumah ketika dia terbangun dari tidur tapi ibunya lagi sibuk semisal ke dapur
Saya setuju juga jika lelaki minang terutama di rantau harus juga berbagi/bisa atau sekali2 mengambil tugas peran istrinya
Ini kadang2 dalam berumah tangga itu istri kita lagi sakit, pusing, tidak enak badan akibat faktor emosional "tamu bulanan" atau kesibukan lainnya nah saya Insya Allah yang nama memasak mulai merebus air sampai memasak menu sederhana bisa saya lakukan karena saya terbiasa hidup survive di hutan (mandah)
Sekedar memasak nasi goreng, mie instan rebus, telor dadar dan ceplok, pepes2 ikan yang nggak ribet, goreng tahu tempe bacem, tumis kangkung terasi kalau perlu menggulaipun saya bisa tapi ini bagi saya bukan karena mengambil tugas istri tapi lebih kepada saya lagi "good mood" dan memang menyukainya
Begitu juga mencuci, bagi saya termasuk "cabang olah raga tradisional" di rumah tangga he he he apalagi celana jean saya yang kortor2 dari lapangan ini wajib saya yang mencuci, diakhir pekan serahkan kepada saya sebaskom pakaian keluarga yang berat2 untuk dicuci dengan senang hati saya cuci tapi jangan suruh saya men strika karena saya "pembosan" bukan tidak bisa tapi distrika bagian muka baju bagian balakangnyo lah basandiang lo, apalagi pakaian dari katun wahh bakalan banyak lipatan kecil asyik dibolak balik seterika saja, tapi kalo celana jean boleh lah
Saya setuju pendapat bapak kita dalam berumah tangga harus share suami istri dalam tugas rutin pekerjaan sehari2 dirumah walau ada pembantu, ada hal hal tertentu yang sifatnya sangat pribadi yang sekira kita tidak bisa dikerjakan atau ditangani oleh pembantu
Bapak Mukhtar memang saya pikir salah satu tipikal lelaki minang yang merantau tapi begitu "care" dengan istri dan anak2nya serta dengan senang hati turun tangan untuk hal2 yang sekiranya bisa saja dikerjakan oleh istri atau pembantu seperti yang bapak ceritakan, tapi kadang2 kembali kepada pribadi masing2 selagi kita menyukai dan senang hati melakukannya maka segala sesuatu terasa ringan jangankan menggendong anak, memasak dan mencucipun kita nikmati karena bukan buat siapa2 tapi buat istri dan anak tercinta, begitukan Pak, Insya Allah
Salam buat keluarga Bapak
BOS:
kalau ado dunsanak mancaliek acara Kick Andy hari ko
alangkah ruginya negara katiko mareka nan pulang
mambao gelar keahklian ka indonesia, ndak dapek
karajo alias menganggur lalu pulang ka
tampek inyo baraja baliak.
atau negara ndak pernah maraso rugi?
apo komentar atau imbauan Angku Bakhtiar thd
keadaan 'brain drain' di kampuang awak.
BakhtiarM:
Ini baru cita2, suatu idealisme dengan cukup banyak kendala.
Promisenya begini: Culture orang Minang dalam memajukan keluarga hampir sama dengan Yahudi dan China Overseas. Sehingga rata2 pendidikan orang Minang prosentasenya lebih tinggi dari rata2 suku2 lain di Indonesia. Orang Minang ada bakat berdagang. Orang dagang itu sifatnya expansive. Hanya saja tingkat pendidikan pedagang Minang, jauh dibawah Yahudi dan China Overseas.
Kelemahan orang Minang pada umumnya tidak tekun untuk bekerja dan kurang ramah dalam berbisnis. Tapi kalau ada kesadaran, kita harus maju, seperti yg sudah di contohkan oleh orang2 Johor di Malaysia. Kerjasama intelektual, pemerintahan Johor, pengusaha pribuminya, menghasilkan usaha yg luar biasa besarnya. Dalam berusaha intinya adalah pegang komitmen dan kejujuran. Jangan jadi orang pangicuah.
Alam Minang yg begitu indah, nyaman utk hidup, berpendidikan, dan bakat dagang, modal utama untuk Sumbar Maju.
Jadi dengan membangun infrastruktur yg bagus, pusat pendidikan yang bagus, sarana wisata yg bagus, cita2 ambo, Sumbar bisa jadi pusat kegiatan perekonomian Sumatera, bersaing dgn Sumatera Utara untuk daerah sumatera, seperti halnya Singapura, pusat magneet utama di Asia Tenggara.
Brain drain tidak bisa dicegah dengan regulasi, tapi menciptakan suasana sehingga kita bisa bersaing, dan Sumbar jadi Magnet tersendiri buat Sumatera.
Sumbar membutuhkan leader yg visioner, bisa melihat kedepan, dan mampu menerapkan idea2 itu sehingga bisa diterima orang banyak.
Bayangkan, kalau Sumbar mempunyai sarana tranportasi yg canggih, komunikasi yg canggih, pusat2 pendidikan yg kompetitif dan berkwalitas, si dukung oleh alam yg indah, Sumbar akan menjadi daerah yg luar biasa, tempat permukinan bagi orang2 pintar yg sangat menyenangi alam yg indah.
Bagi anda2 yg suka travel keliling Amerika, pantai barat Amerika, San Fransisco, Los Angeles, Silicon Valley, magnet Amerika di pantai barat. Kalau anda2 lihat, Baverly Hills, Hollywood, dan sepanjang highway 101, banyak istana2 orang kaya Amerika, kalau dibandingkan dengan gunung2 di Sumbar, Sumbar jauh lebih indah.
Kalau kita bisa buat sarana yg bagus di Sumbar, nantinya Sumbar bisa jadi magnet bagi orang2 yg menguasai perekonomian dunia. Jangan jadikan Sumbar jadi Batam kedua. Jadikan Sumbar jadi pusat parawisata yg bergengsi- tidak kumuh, pusat perdagangan, pusat informasi, pusat pendidikan.
Mudah2an ambo bisa di tarimo di kampuang, setelah 17 tahun di Amerika, 24 tahun di Jawa.
Semoga bermanfaat,
Wass.wr.wb.
Bakhtiar Muin
Pak Bachtiar Muin Nan Budiman, Alhamdulillah... Sudah mulai banyak muncul kesadaran yang sama para perantau kita seperti pak Bachtiar. Semoga cita2 dan idealisme yg bapak sampaikan bisa kita sinergikan untuk membangun sumatera barat ke depan. Untuk implementasi, tantangannya memang berat, bahkan bisa dikatakan sangat berat. Banyak orang rantau dan orang rantau yang pulang kampung hanya "MA HA HAN TUAH " ketika pulang kampung atau mau menetap di kampung. Tidak banyak yang serius dan mengerti dengan tantangan-tantangan yang ada. terlalu banyak kritik dan saran yang tidak konstruktif. Tidak banyak yang menyadari situasi sudah banyak berubah, sosio kultural kita sudah jauah bergeser. Harus mulai dan cicil dengan agenda-agenda kecil. tentu bagian dari agenda-agenda besar yang telah dirancang sebelumnya. Karnanya, ketika kita berdiskusi di restoran bumbu desa beberapa waktu lalu, saya tidak bisa berkomentar.Karna, sudah terlalu banyak cerita... Hemat ambo, mesti kito mulai .. .. Kami para Saudagar Muda Minangkabau Sumatera Barat, sedang dan akan terus berkarya serta siap bersinergi untuk masa depan Sumatera Barat di Sumatera Barat...Amin.. Teddy Alfonso Sikumbang Sekretaris Umum Saudagar Muda Sumatera Barat --- On Sat, 12/5/09, Bakhtiar Muin <bms...@gmail.com> wrote: |
Ass.wr.wb.
Teddy Alfonso Sikumbang |
|
BakhtiarM:
Dari mana memulainya, itulah yg jadi pikiran ambo saat ini? Mudah untuk dikatakan, sulit untuk dilaksanakan.
Sebulan di kampung, sekarang sudah kembali ke Jakarta. Pembangunan tanpa grand design yg matang dan workable. akan menyisakan kepedihan, dan kekecewaan yg dalam. Tiga factor kelebihan Sumbar adalah keindahan alam, SDM yg lumayan, dan bakat berdagang. Untuk meningkatkan pendapatan dari sumber keindahan alam, tentunya perlu membangun infrastrukturnya, sehingga nyaman bagi touris. Duitnya dari mana? Misalnya saja, agar perjalanan dari Padang- Bukit Tinggi dipersingkat waktunya, dari dua jam menjadi 1,25 jam. Menambah lajur jalan saja dari dua lajur jadi tiga, agar kendaraan yg mau cepat leluasa memotong kendaran yg lambat, butuh dana paling sedikit satu trilliun.
Menata tempat2 wisata, seperti danau singkarak, danau maninjau, memindahkan penduduk yg sudah begitu ramai dipinngir danau membutuhkan usaha yg sangat besar dan dana yg sangat besar.
Dalam perdagangan, barang yg keluar dari sumbar, semen, kelapa sawit, batu bara. Barang2 yg masuk ke Sumbar lewat pelabuhan container, masuknya penuh barang2 keperluan Sumbar, keluarnya hanya 30% container yg terisi. Ini cerminan ekonomi Sumbar. APBD sumbar 1, 7 T, dari PAD hanya sekitar 500-600M. Jadi hampir sama dengan data container, Sumbar sanggup membiayai dirinya 30%, 70% sumbangan dari pemerintah pusat.
Dunsanak Teddy, ambo binguang kalau mau wisata di Sumbar. Pergi kedanau Maninjau dan Singkarak, penuh rumah dipinggir danau, mau berenang, dimana tempat yg nyaman, danau dijadikan septic tank, mengapung kuning2 didanau, bagaimana mau berenang, suasana kotor begitu. Lewat kelok Sembilan, ada daerah yg bagus sekali, tapi tidak ada fasilitas wisatanya. Wisata pantai air manis di Padang, kotornya bukan main, sampah berserakan di-mana2.
Akhirnya masih lumayan, ke Lombok, naik boat, didepan pantai senggigi, berenang dan menyelam lihat terumbu karang dan ikan2 yg bagus, Pulangnya keliling2 di Bali.
Wass.wr.wb. Bakhtiar Muin
|
// Dari mana memulainya, itulah yg jadi pikiran ambo saat ini?
// Mudah untuk dikatakan, sulit untuk dilaksanakan.
Kita mulai dari bapak dan ibu guru SD, dengan motto " Sumbar berbenah dari Bawah".. Mulai dari kelas satu SD .. selain nilai kelas yang wajib bagus ada satu lagi program wajib sebagai sarat untuk naik kelas. "membersihkan sampah". Setiap anak punya daerah atau kawasan bersihnya yang wajib bersih sampai dia lulus SD.
dan terus SMP.. area atau kawasan diperlebar.. dst.
Maaf dusanak.. ini ide agak nyeleneh saketek.. (kalau bersih terjaga, mau apa saja tinggal memetik jari"
Ass.wr.wb.
Waalaikumsalam, wr.wb
Beruntung ranah minang telah melahirkan sepasang tenaga pendidik yang pulang ingin membangun negeri. Saya salah satu orang yang percaya hanya dengan pendidikan dan process panjang suatu kemajuan itu bisa dicapai. Tak ada jalan pintas untuk maju.
Semoga kesusksesan selalu bersama anda berdua.. Amin.
'Menjelang kelahiran saya kedunia, ibu dari nenek saya menanam dua batang cengkeh ditanah terbatas yang kami punyai di ditepi danau maninjau.., orang orang kampung beertannya sambil tertawa .. awak lah gaek kapanga juo dittanam cangkeh tu lai...., dengan tersenyum beliau menjawab menjawab. "Ambo mananam untuk cucu ambo nan ka lahia, jan sampai beko inyo gadang ibo lo hatinyo mancaliak urang mamanjek cangkeh." beliua dikenal dengan nama uwaik Maryam,
// th 1975 saya berkesempatan jadi orang pertama mamanjat dan memetik dua batang cengkeh tersebut... pada saat orang orang lain berpesta pora dengan musim cangkeh.. di kelok kelok...
Bila kita berbuat sesuatu tanpa berfikir kita dapat apa... itulah sebuah tindakan mulia..kata almarhum nenek saya..
Wassalam
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah dan ucapan salamai ka uni Yessi dan keluarga beserta kawan2 nan lain nan alah mamulai!
Jadi sayo do'akan semoga konco sadoalahe berhasil mambangun kampuang!
Bangun lah kampuang awak jo hati, dan jaaan bangun kampuang awak jo sikap kapitalis!
Sekali lagi selamat!
Wassalam
|