Lagi, Warga Tanahdatar Bunuh Diri

259 views
Skip to first unread message

Darwin Chalidi

unread,
Feb 10, 2014, 8:47:06 PM2/10/14
to Rantau Net

Ado apo gerangan kok sampai bantuak iko?


Lagi, Warga Tanahdatar Bunuh Diri

Dua Pekan, Lima Orang Tewas Tergantung

 Padang Ekspres • Senin, 10/02/2014 11:05 WIB • Mustafa Akmal • 1229 klik

Batusangkar, Padek—Kabupaten Ta­nahdatar kembali digemparkan dengan kasus bunuh diri. Kemarin (9/2) Nelfila, 47, warga Jorong Lurah Ampang, Nagari Pasirlaweh, Kecamatan Sungai Tarab, ditemukan tergantung. Dengan de­mikian, sudah 5 warga Tanahdatar yang ditemukan meninggal bunuh diri da­lam dua pekan terakhir.

 

Informasi yang dihimpun Padang Ekspres, Nelfila ditemukan tewas dalam posisi tergantung oleh Indah Wirna, 62, bibi korban. Saat itu sekitar pukul 7.00 dia melihat pintu rumah gadang yang ditempati Nelfila tak kunjung terbuka. Padahal, biasanya Nelfila sudah bangun dan beraktivitas.

 

Dia pun berinisiatif memba­ngun­kan Nelfila. Ketika dia naik ke rumah gadang, dia mendapati pintu tidak dikunci. Indah pun masuk ke dalam rumah. Alangkah kagetnya dia ketika melihat Nelfila tergantung dengan seutas tali nilon warna kuning.

 

Tangis dan jeritan pun pecah. Pe­ki­kan Indah membuat buncah warga pagi itu. Tetangga pun berdatangan ke ru­mah duka. Namun, mereka baru menu­run­kan jenazah yang tergantung setelah pe­tugas dari Polsek Sungai Tarab datang ke lokasi.

 

Tim yang  dipimpin AKP Heri Satriawan langsung mela­kukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) bersama petugas dari Puskesmas Sungai Tarab I yang dipimpin dr Dewi.

 

Dari pemeriksaan awal pe­tu­gas, tidak ditemukan tanda-tanda penganiayaan. Diper­kirakan korban tewas enam jam sebelum ditemukan bibinya. Artinya, gantung diri itu terjadi antara jam 02.00-03.00.

 

Saat kejadian, Nelvila yang sudah menjanda itu memang sendirian di rumah. Anak ter­tuanya yang merupakan maha­siswa di Batusangkar pergi ber­li­bur ke tempat kakak Nelvila di Padang. Kebetulan, anak ke­duanya memang tinggal ber­sama kakaknya tersebut.

 

Tak Disangka

 

Meninggalnya Nelvila seca­ra tragis sangat mengejutkan tetangga. Tidak ada yang me­nyangka dia nekat mengakhiri hidupnya dengan cara tersebut. Di mata warga, Nelvila terma­suk wanita ulet dan tangguh dalam berusaha. “Dia sering berjualan pisang di Batu­sang­kar. Kadang dia juga meng­ambil coklat di kebunnya,” ujar Taty, tetangga korban.

 

Namun, menurut warga be­berapa hari belakangan Nel­vina memang lebih pendiam dibanding sebelumnya.

Kepada Indah Wirna dia sempat bercerita tentang berat­nya beban yang ditanggungnya, apalagi dengan statusnya janda. Namun, Indah tak menyangka itu akan membuatnya jadi ne­kat bunuh diri.

 

Wali Nagari Pasia Laweh Muktar Pingai meragukan Nel­vila mengakhiri hidup akibat beratnya tanggungan hidup. Selain dikenal sebagai wanita ulet, keluarganya juga mem­bantunya dalam memenuhi kebutuhan anaknya. “Kakak­nya dosen di Padang. Dia selalu membantu korban membiayai sekolah anaknya,” jelas Muktar.

 

Jenazah korban dima­kam­kan di pemakaman kaum di jorong tersebut, setelah sebe­lum­nya dishalatkan di mushala sesudah shalat zuhur.

 

Kapolsek Sungai Tarab AKP Heri Satriawan mengatakan, walau tidak ada tanda keke­rasan, pihaknya masih me­nyelidiki kasus ini. Apalagi, kasus seperti ini sudah ber­ulang­kali terjadi dalam dua pekan terakhir. “Saksi-saksi sudah kita mintai keterangan dan barang bukti (BB) sudah kita amankan,” ujarnya.

 

Nelvila adalah warga Ta­nahdatar kelima yang bunuh diri dalam waktu dua minggu belakangan. Sebelumnya dua pelajar yang duduk di bangku sekolah menengah, yaitu Resy Novita Anjela, 15, dan Tiara Salsabila, 14 juga ditemukan tewas tergantung. Kemudian, Natasya, 20, di Kubang Landai Nagari Saruaso, dan Leli Mar­lina, 25. (mal)

Akmal Nasery Basral

unread,
Feb 13, 2014, 9:53:34 AM2/13/14
to rant...@googlegroups.com
--
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
1. Email besar dari 200KB;
2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi;
3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/
---
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Grup Google.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+berhenti berlan...@googlegroups.com .
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.

Akmal Nasery Basral

unread,
Feb 13, 2014, 10:10:11 AM2/13/14
to rant...@googlegroups.com
Pada 11 Februari 2014 08.47, Darwin Chalidi <dcha...@gmail.com> menulis:

Ado apo gerangan kok sampai bantuak iko?


ANB: 

"Robohnya Iman Kami", mah Mak Darwin. Di ranah ABS SBK, seharusnya tak ada warga yang bunuh diri karena alasan apapun, apalagi karena tekanan ekonomi.
Ini sudah siaga merah. Trenyuh dan berkaca-kaca mata ambo membaca data dalam 6 pekan awal tahun 2014 ini sudah 5 jiwa bunuh diri (sadonyo padusi). 

Ya Allah ampunilah dosa-dosa kami jika selama ini kami hanya sibuk memperhatikan hidup sendiri, dan lalai meniru teladan Ibrahim al-Khalil a.s. yang tak putus mendoakan keamanan dan kesejahteraan kaumnya (QS 2:126).

* * *
--

Dr. Saafroedin Bahar

unread,
Feb 13, 2014, 10:23:14 AM2/13/14
to rant...@googlegroups.com, rant...@googlegroups.com
Bung Akmal, Sanak Darwin, dengan tetap berduka, kita perlu mencari akar penyebabnya yg paling dalam : ada apa di Tanah Datar ? Sudah begitu rapuhkah ikatan sosial sehingga dalam keterasingannya mereka memutuskan untuk bunuh diri ?
Wassalam,
SB,77, Sby.

Sent from my iPad

Akmal Nasery Basral

unread,
Feb 13, 2014, 10:37:23 AM2/13/14
to rant...@googlegroups.com
Ya Pak Saaf, itu juo salah satu mukasuik ambo. Jangan sampai nanti ada penelitian di Indonesia mengenai perilaku bunuh diri, peringkat tertinggi justru dipegang Sumbar. 

Hal yang "menarik" dari data 5 pelaku bunuh diri adalah umur mereka bervariasi dari ABG (14 dan 15 tahun), dewasa muda (20-an tahun), dan korban terakhir yang sudah mendekati 50 tahun, dan memiliki anak yang mulai dewasa pula. Apakah "keterasingan" (alienation?) memang merupakan faktor utama? Kalau ya, keterasingan dari apa? Keterasingan dari masyarakat dan lingkungan sendiri?

Para sosiolog dan antropolog Minang tampaknya punya pekerjaan rumah "baru" yang tidak boleh dianggap remeh. Dan apakah data 5 korban (pelaku) bunuh diri sudah valid? Atau baru "puncak gunung es"?  

Wass,

ANB

Andre Suchitra

unread,
Feb 13, 2014, 7:56:50 PM2/13/14
to rant...@googlegroups.com
Dunasanak sa palanta nan ambo hormati,

Mungkin ado yang nio studi korelasi isi sinetron Indonesia dalam 1-2 tahun terakhir dengan jumlah bunuh diri. Apokah ado carito2 bunuh diri nyo?

ado yg ibu rumah tangga, ado yg remaja, dewasa.

Mgkn ado juo faktor2 ekonomi dan psikologi.

Klo bisa studi nasional. Mungkin para sosiolog antropolog di rantau ko ado yg tertarik.

Ambo sacaro empirik dan masih menduga. Jd lun berani menarik kesimpulan.

andre
25/L/singapur

Dr. Saafroedin Bahar

unread,
Feb 14, 2014, 1:02:00 AM2/14/14
to rant...@googlegroups.com, rant...@googlegroups.com
Bung Andre, Bung Akmal, rasonyo dulu alah ado studi sosiologis ttg fenomena bunuh diri iko, dirintis dek Max Weber. Manuruik buku baliau, memang ado korelasi positif antaro malamahnyo kohesi sosial jo bunuh diri. Kalau ambo indak salah, di Indonesia dahulu bunuh diri iko banyak tajadi di kabupaten Gunung Kidul, Jawa Tengah.
Untuk Sumatera Barat rasonyo alun ado studi sarupo itu. Walaupun baitu, manggunokan paradigma Weberian nan dihadokkan ka kenyataan raraknyo ikatan adat dan agamo maso kini, indak mustahil gejala iko bisa maruyak di Sumatera Barat. Mudah-mudahan jan sampai baitulah handaknyo.
Btw baa caro mandorong sivitas akademika di Sumatera Barat maadokan penelitian ttg soal iko ? Sia nan ado kontak jo baliau-baliau tu ?
Wassalam,
SB, 77, Sby.

Sent from my iPad

Akmal Nasery Basral

unread,
Feb 14, 2014, 1:45:38 AM2/14/14
to rant...@googlegroups.com
Pak Saaf n.a.h.
studi Max Weber tentang kaitan antara etika Protestan dan meningkatnya kapitalisme. Kalau yang melakukan studi bunuh diri itu Emile Durkheim di akhir abad ke-19.
Kesimpulan Durkheim berdasarkan data bunuh diri di Eropa yang dikumpulkannya waktu itu a.l:

1. Gejala psikologis tidak berpengaruh langsung terhadap para pelaku bunuh diri, karena bunuh diri merupakan satu gejala sosial tersendiri yang bisa menjadi petunjuk dari derajat integrasi sosial dan kekuatan struktur sosial di sebuah masyarakat.

2. Angka bunuh diri lebih tinggi di masyarakat Protestan dibanding Katolik (faktor agama), lebih tinggi pada keluarga kecil dibanding keluarga besar (faktor keluarga), dan lebih banyak terjadi di masa tenang dibandingkan masa pergolakan politik (faktor sosial politik).

Tipe bunuh diri dibagi Durkheim ke dalam empat jenis:

1. Egoistis (pelaku bunuh diri merasa bukan bagian dari masyarakat sekitar).
2. Altruistis (pelaku bunuh diri merasa mendapatkan "bisikan" untuk mengorbankan diri dengan alasan agama).
3. Anomic (pelaku bunuh diri merasa norma lama tak bisa dipertahankan, tapi norma baru belum bisa diadaptasi).
4. Fatalistis (pelaku bunuh diri merasa masa depannya sudah tertutup total, tak ada harapan hidup).

Kalau kita pinjam model analisis Durkheim ko (tentu tidak semua asumsi dasarnya cocok) untuk melihat pola bunuh diri di Sumbar 2014, kelihatannya tipe yang terjadi adalah tipe 3 dan 4. 

Tipe 3 terlihat pada korban para remaja yang biasanya gamang antara keharusan bersikap "tradisional" dengan pilihan bersikap "modern", yang bisa menimbulkan efek buruk perundungan (bully) yang kini makin marak di kalangan remaja dan menyusup dalam lingkungan sekolah/kampus. Mereka yang menjadi korban "bully" biasanya dianggap yang kurang "modern" oleh para pem-bully dalam segala bentuk (mulai dari kecaman kata-kata sampai hukuman fisik) sehingga membuat korban merasa frustasi.

Tipe 4 terlihat pada korban bunuh diri terakhir (yang berusia 47 tahun itu). Sangat disayangkan bagaimana korban yang juga seorang ibu sampai tak bisa mengeluarkan beban hatinya kepada anaknya sendiri (yang kuliah di Padang). 

Sekitar awal 80-an pernah ada kasus bunuh diri yang menggegerkan Indonesia karena pelaku/korbannya adalah Marlia Hardi, tokoh sandiwara televisi "Keluarga Marlia Hardi"  (belum ada sebutan "sinetron" waktu itu) yang dikenal sebagai Bu Mar, seorang ibu sangat bijak, santun, ramah, dan menjadi tumpuan masalah anak-anak dan tetangganya yang bermasalah. Tayangan rutin ini dulu begitu populer  akhir 70-an/awal 80-an, meski kalau diingat sekarang, tayangan populer itu sebetulnya agak tak lazim dalam struktur keluarga batih Indonesia, karena tak ada tokoh ayah dalam serial itu.

Jadi ketika Marlia Hardi ditemukan gantung diri di dalam rumahnya akibat terjerat utang arisan call (yang saat itu sangat populer), masyarakat syok dan tidak percaya bahwa orang "sereligius" dan "sebijaksana" Bu Mar bisa melakukan itu. 

Kembali ke kasus di Sumbar, jika satu kasus bunuh diri saja sudah merupakan tragedi, maka 5 kejadian ini di awal 2014 (di mana para korban tak saling kenal satu sama lain) sudah menunjukkan adanya satu gejala sosial yang lebih dari mengkhawatirkan. Sebuah patologi sosial yang membusuk dari dalam struktur masyarakat sendiri.

Ambo punya firasat buruk, angka bunuh diri di Sumbar ini masih akan terus naik di sepanjang tahun ini. Semoga ambo keliru, jika seluruh pemangku kepentingan Minangkabau bergerak lebih cepat untuk mengetahui akar masalah ini dan membuat pola antisipasi yang lebih masif. 

Wass,

ANB

* * *

Dr. Saafroedin Bahar

unread,
Feb 14, 2014, 8:08:54 AM2/14/14
to rant...@googlegroups.com, rant...@googlegroups.com
Benar Bung Akmal, bukan Max Weber tetapi Emile Durkheim. Paradigma Durkheim ini bisa kita gunakan utk memberi eksplanasi, interpretasi , bahkan prediksi awal ttg apa yg telah, sedang, dan akan terjadi di Sumatera Barat.
Hanya saya kurang tahu, apakah studi masalah ini cukup menarik bagi urang awak.
Wassalam,
SB, 77, Sby.

Sent from my iPad

Akmal Nasery Basral

unread,
Feb 14, 2014, 7:16:51 PM2/14/14
to rant...@googlegroups.com
Pak Saaf. ini ado tulisan populer yang cukup menarik tentang fenomena bunuh diri di Indonesia

Indonesia Tanpa Bunuh Diri

 Benny Rhamdani 

REP | 10 September 2013 | 08:2

582    Komentar: 0    0

13787763461682931009

Cegah bunuh diri. (foto: http://www.genevieveng.com/)

Organisasai Kesehatan Dunia (WHO) sejak  2003 telah menganggap serius issu bunuh diri, hingga merasa perlu menggandeng International Association of Suicide Prevention (IASP) untuk memperingati Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia setiap tanggal 10 September. Tema pada 2013 adalah Stigma : Rintangan Besar untuk Pencegahan Bunuh Diri.

Data di WHO menyimpulkan bunuh diri telah menjadi masalah besar bagi kesehatan masyarakat di negara maju dan menjadi masalah yang terus meningkat jumlahnya di negara berpenghasilan rendah dan sedang. Hampir satu juta orang meninggal setiap tahunnya akibat bunuh diri. Ini berarti kurang lebih setiap 40 detik jatuh korban bunuh diri. Jumlah ini melebihi akumulasi kematian akibat pembunuhan dan korban perang.

Pada  2009 posisi empat besar negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi berasa dari Eropa Timur, yakni   Rusia , Latvia, Belarus dan Slovenia. Sedangkan kelompok negara yang rendah tingkat bunuh dirinya adalah Amerika Latin, negara-negara mayoritas berpenduduk muslim dan beberapa negara  di Asia.


Keluarga Sebagai Pondasi

Di RSUD Cianjur, Jawa Barat, dalam satu bulan pada Mei 2013 terlapor 5 orang yang meninggal karena bunuh diri. Itu baru di Cianjur dan satu rumah sakit. Jika melihat data WHO pada 2010, angka bunuh diri di Indonesia mencapai 1,6 hingga 1,8 per 100.000 jiwa.  Tentu jika tidak ada upaya bersama pencegahan bunuh diri, angka tersebut bisa tumbuh dari tahun ke tahun. WHO malah meramalkan pada 2020 angka bunuh diri di Indonesia secara global menjadi 2,4 per 100.000 jiwa.

Bisakah Indonesia bebas dari kasus bunuh diri? Mungkin saja jika semua masyarakatnya memiliki kesadaran untuk berhenti berpikir melakukan bunuh diri. Tapi mengingat pencetus bunuh diri semakin beragam, mulai dari faktor ekonomi, pendidikan, sosial, kesehatan, kejiwaan, dan spiritual., hal  yang bisa dilakukan adalah mencegah semaksimal mungkin terjadinya bunuh diri di lingkungan lingkungan terkecil dan terdekat, yakni keluarga.

Sumber utama bunuh diri adalah depresi. Dan umumnya depresi berhubungan dengan lingkungan sosial, termasuk jejaring sosial. Menurut pakar kejiwaan Kendal dan Hammen, depresi banyak berkaitan dengan kondisi keluarga. Artinya, anggota keluarga bisa menjadi peredam depresi anggota lainnya. Seorang Ibu seharusnya membangkitkan anaknya yang gagal ujian, bukan memarahinya. Seorang isteri harus bisa menghibur suami yang kehilangan pekerjaan. Seorang suami bisa menghibur isteri yang baru saja mengalami keguguran.

Jika ada seorang anggota keluarga yang bunuh diri, bisa dipastikan ada yang buruk di dalam keluarganya sehingga anggota keluarga tersebut merasa tidak akan mendapat perlindungan dan dukungan sosial pada saat menghadapi tekanan. Alih-alih mencegah bunuh diri, malah ikut memacu perilaku bunuh diri.

Itu sebabnya penting sekali bagi satu keluarga menerapkan sistem keterbukaan komunikasi, walau harus tetap menjaga privasi anggota keluarga sebagai individu. Keterbukaan di sini adalah setiap anggota keluarga bisa menyampaikan persoalan hidupnya tanpa harus diceramahi, digurui atau bahkan disalahkan oleh anggota keluarga lainnya. Dengan keterbukaan ini, bahkan jika masalah yang dihadapi sudah mencapai depresi berat, bukan hal sulit untuk membawa ke ranah medis.

Tantang terbesar di Indonesia untuk mencegah bunuh diri adalah melibatkan lembaga medis kejiwaan. Stigma masyarakat bahwa orang yang datang ke rumah sakit jiwa atau psikiater adalah orang gila menjadi tembok yang harus dipecahkan. Di sinilah keluarga dapat menjadi pendukung ketika seseorang mulai merasa depresi, dan secara emosional menyatakan ingin bunuh diri apalai jika sudah ada upaya melakukan bunuh diri. Dengan membawa ke  institusi yang tepat, setidaknya sebuah langkah besar pencegahan bunuh diri sudah dilakukan.

Agama Sebagai Pelindung

Sebuah studi statistik lintas bangsa  oleh Miles E Simpson dan George H Conklin menyimpulkan, persentase Muslim dalam penduduk suatu bangsa menunjukkan relasi yang signifikan dengan tingkat bunuh diri bangsa tersebut. Tidak heran jika di dalam data  WHO negara-negara mayoritas muslim berada di peringkat bawah.

Kesadaran untuk mencegah bunuh diri sudah bisa ditumbuhkan dengan membaca firmah Allah surah An-Nisa’ : 29; Janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadamu. Jelas sebagai muslim yang semestinya bertaqwa akan menjauhi larangan yang bisa mengantar ke neraka itu. Jika ada muslim  yang bunuh diri, masyarakat biasanya langsung menganggap orang tersebut telah mengalami penurunan keimanan karena agama cenderung mengurangi depresi mental dan pedihnya tragedi kehidupan.

Bagaimana dengan pelaku bom bunuh diri yang pelakunya kebanyakan seorang muslim? WHO menyebut tindakan tersebut sebagai bunuh diri sekunder. Karena tujuan utama orang tersebut adalah membunuh orang lain.

Bahtsul Masail NU dalam Munas Alim Ulama di Pondok Gede tahun 2002 juga telah memutuskan tentang hukum intihar (mengorbankan diri). Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa bom bunuh diri yang dilakukan oleh para teroris tidak akan mengantarkan mereka kepada level syuhada. Karena sejatinya motif mereka adalah adalah putus asa saat mencari jalan solusi kehidupan yang benar. Dengan kata lain, tidak dianjurkan dalam Islam.

Jika semua mau melibatkan peran keluarga dan meningkatkan keimanan, tak heran jika suatu hari nanti Indonesia menjadi negara tanpa satu pun kasus bunuh diri.

Darwin Chalidi

unread,
Feb 14, 2014, 7:23:07 PM2/14/14
to Rantau Net
Sumber utama bunuh diri adalah depresi. Dan umumnya depresi berhubungan dengan lingkungan sosial, termasuk jejaring sosial. Menurut pakar kejiwaan Kendal dan Hammen, depresi banyak berkaitan dengan kondisi keluarga. Artinya, anggota keluarga bisa menjadi peredam depresi anggota lainnya.

Apakah kejadian di Ranah termasuk kategori ini dinda ANB. Mudah2an keluarga besar yang bersangkutan sadar ada masalah besar dalam keluarga mereka untuk dirembukkan dan dicarikan solusinya

Salam, Darwin Chalidi


Dr. Saafroedin Bahar

unread,
Feb 16, 2014, 12:03:57 AM2/16/14
to rant...@googlegroups.com, Rantau Net
Bung Akmal, sanak Darwin, sudah saya baca, dan terima kasih. Dalam konteks Minangkabau lantas apa yang harus kita lakukan ?
Wassalam, 
SB, 77, Sby. 

Sent from my iPad

Akmal Nasery Basral

unread,
Feb 18, 2014, 12:06:00 AM2/18/14
to rant...@googlegroups.com
@Pak Saaf: Kasus bunuh diri selalu bersifat post factum. Orang baru terkejut setelah kejadian berlangsung, dan mendengar kabar menyedihkan itu entah dari mulut ke mulut, atau dari media massa yang memberitakan. 

Ahad malam duo hari lalu ambo mangikuti pangajian nan disampaikan Ust. Triasmoro Kurniawan, ustad asal Solo nan mengkhususkan diri dalam tema Keluarga Samara (Sakinah Mawaddah wa Rahmah). Dek karano ambo baru patamo pulo batamu baliau, ambo sampek mandugo tema nan inyo bawokan akan sangat "normatif", minim contoh dan ilustrasi riil dari kehidupan sehari-hari, seperti lazimnyo tema ko disampaikan banyak ustadz atau ustadzah lain. 

Tanyato Ust. TK ko salain manguasai bana materi, juo banyak menyampaikan kasus riil tentang bunuh diri. Salah satunyo di Sragen tahun lalu, di mana pelaku/korban no adolah surang nenek berusia 65 tahun, dan dia baru "sukses bunuh diri" setelah pada percobaan keempat! Percobaan pertama mencoba menabrakkan diri ke kendaraan yang melaju, hanya luka parah. Masuk RS dan ditransfusi darah, justru mencoba bunuh diri lagi saat transfusi dengan berusaha meminum darah transfusi. Masih bisa diselamatkan. Pulang ke rumah, coba bunuh diri lagi minum obat nyamuk. Masih selamat juga. Kali keempat, inyo lompek ka dalam sumua. Na'udzubillahi min dzaalik.

Usai ceramah ambo tanyoan sacaro pribadi ka liau soal data bunuh diri di Sumbar ko. Inyo sampek takajuik mandanga baru awal Februari alah 5 urang warga bunuh diri dan kasadonyo padusi. Jawaban pendeknyo, "kunci mengurangi angka bunuh diri adolah kelancaran komunikasi dalam keluarga. Semakin tidak lancar komunikasi dalam keluarga, semakin tinggi pula peluang orang yang sedang bermasalah untuk berpikir pragmatis mengambil jalan cepat bunuh diri."

Dalam konteks Sumbar, kini tergantung apokah para aparat pemerintahan daerah dan para ulama menganggap data yang (sampai kini) sudah 5 warga bunuh diri itu (dan sadonyo padusi) merupakan "kondisi gawat" atau "biasa-biasa saja". Kalau sudah dianggap "kondisi gawat" (iko manuruik ambo pribadi) tentu harus ada antisipasi bagaimana sosialisasi pentingnya kelancaran komunikasi dalam keluarga diprioritaskan oleh semua pihak. (Kalau awak mancaliak duo kasus partamo di awal tahun ko di mana pelaku bunuh diri adolah remaja usia 13 dan 14 tahun, iko juo manunjuakkan keluarga korban indak mendapat kepercayaan dari kedua korban sebagai tempat menyalurkan masalah mereka. Atau mungkin keduanya sudah menyampaikan masalah mereka, namun tak ditanggapi serius oleh keluarga mereka. Sebab logika dasarnya, kalau korban dalam kondisi sumpek itu bisa mendapatkan tempat untuk bercerita dan menumpahkan masalahnya, besar kemungkinan mereka tak perlu mengambil keputusan tragis untuk bunuh diri).

Tetapi kalau data-data di Sumbar ini dianggap biasa saja ("ah, di tempat lain juga ada orang bunuh diri kok" atau "di tempat lain justru angka bunuh diri lebih tinggi dari di Sumbar") maka siap-siaplah kita sepanjang tahun ini untuk membaca akan adanya lagi kejadian bunuh diri, apa pun penyebabnya, di ranah. Tentu saja benar bahwa di daerah lain juga ada orang yang bunuh diri. Namun kalau peristiwa ini terjadi di Sumbar, bukankah menjadi sangat-sangat-sangat tragis jika dikontraskan dengan filosofi Minang yang ABS SBK? 

Wass,

ANB
45, Cibubur

* * *

Darwin Chalidi

unread,
Feb 18, 2014, 12:14:05 AM2/18/14
to Rantau Net

Dinda ANB NAH.
lihat cuplikan cerita Walkot Risma dari Surabaya. Beliau berusaha seperti Khalifah Umar Bin Khatab dlm menyelesaikan masalah warga miskin dll.
Apakah bisa kita harapkan Walinagari untuk manyapo warga setiap pagi sambia bakuliliang didaerahnyo.
Insya Allah langsung terdeteksi kejadian2 msu bunuh diri di masiang2 nagari.
Apa mau karajo kareh atsu bukan urusan ssng Wali.

Darwin Chalidi

Riyan Permana Putra

unread,
Feb 18, 2014, 12:49:20 AM2/18/14
to rant...@googlegroups.com
Pantaskah Ulama kita salahkan dengan gagalnya sosialisasi agama Islam di Ranah Minang. Sehingga mengakibatkan mudahnya bunuh diri dikalangan pemuda2i. Riyan. Depok. 24.

Akmal Nasery Basral

unread,
Feb 18, 2014, 3:01:45 AM2/18/14
to rant...@googlegroups.com
Siapa yang menyalahkan ulama, Riyan?

Wass,

ANB
45, Cibubur

Riyan Permana Putra

unread,
Feb 18, 2014, 3:19:22 AM2/18/14
to rant...@googlegroups.com
Menurut saya ulama pantas kita salahkan. Tak bertaji lagikah ulama di Ranah Minang? Apakah itu pantas Pak? Atau untuk tidak menggeneralisasi masalah guru saja kita salahkan? Ditambah orang tua yang jarang memperhatikan anaknya. Di kampung2 di Ranah Minang anak muda mulai malas ke surau. Mulai merebak narkoba. Narkoba masuk kampung. Anak2 muda Minang butuh suntikan pendidikan agama sampai pendidikan umum yang mencerahkan. Tetapi apa kita tak bisa berharap banyak kepada DPRD dan Gubernur. Setelah mereka mengesahkan anggaran pendidikan di Sumbar yang hanya 5 %. Sungguh memiriskan. Bagaimana menurut Pak ANB? RPP, 24, Depok

Akmal Nasery Basral

unread,
Feb 18, 2014, 3:45:36 AM2/18/14
to rant...@googlegroups.com
O, kalau menurut Riyan ulama pantas disalahkan atas kejadian ini, tentu saja Riyan berhak berpendapat begitu. 

Soal anggaran pendidikan di Sumbar yang hanya 5%, ambo indak tahu. Mungkin dunsanak awak nan di ranah atau jurnalis seperti kanda Syaff Al bisa memberikan pencerahan. Memang idealnya di kisaran angka 20% untuk anggaran pendidikan. Ini yang perlu diperdalam para jurnalis untuk check and balance. Apalagi kalau dari yang 5 % itu masih tidak efektif pula. 

Wass,

ANB

Dr. Saafroedin Bahar

unread,
Feb 18, 2014, 5:50:31 AM2/18/14
to rant...@googlegroups.com, rant...@googlegroups.com
Bung Akmal, novel Bung Akmal ttg Buya Hamka ( GCBP ) telah menunjukkan bahwa komunikasi internal keluarga ini sudah lama bermasalah, baik dengan bapak dan/atau dengan mamak. Sifatnya sistemik dan struktural, sehingga bisa berakibat rontoknya kohesi sosial. Saya rasa itu yg telah, sedang, dan terjadi di Sumatera Barat. Bunuh diri lima orang secara beruntun itu mungkin hanya merupakan puncak dari gunung es patologi sosio-kultural Minangkabau ini. 
Peranan pemerintah daerah sama sekali tidak bisa diharapkan. 
Mudah-mudahan pengamatan saya ini salah.
Wassalam. 
SB, 77, Sby.

Sent from my iPad
Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages