Selasa, 10 February 2009
Begitu dilepas, Bintang Sikumbang, Putra Kampai Ex
Dora dan Labuan Simmay masing-masing milik, H. Azwar Sutan Sinaro (Bukittinggi)
H. Irzal Ilyas Dt Lawik Basa (Kota Solok) dan Ampera Dt Labuah (Dharmasraya),
menghentak.
Kuda-kuda itu berlari bagai angin. Mula-mula Putra Kampai memimpin, tapi
tiba-tiba secepat kilat Bintang Sikumbang menebas langkah Putra Kampai hingga garis
finis. Ia pun menang. Alhasil berhak memboyong piala dan uang tunai dari H.
Fedlizon, SS,M.Sc, caleg DPR-RI Dapil Sumbar 1 nomor urut 1 dan piala bergilir
H. Faizal Djamal, caleg DPR-RI Dapil Sumbar 2 dari Partai Bintang Reformasi.
Bintang Sikumbang, Putra Kampai dan Labuan Simmay dan sederet lainnya seperti
Mata Hati, Mia Zakarva dan Maleek Adyat milik Mr. William E Moris (Riau) adalah
nama-nama kuda pilihan yang bertanding di berbagai gelanggang pacu kuda
tradisional. Mungkin bagi sebagian orang, apalah arti sebuah nama. Tapi
nama-nama kuda yang disandangkan pemiliknya pada kuda-kuda kesayangannya itu
bukan sembarang nama.
Pemberian nama itu ada yang terkait dengan sejarah pemiliknya, ada yang
diilhami dari hasil salat istikharah, ada yang diambil dari sifat kuda sendiri
hingga nama asal daerah kelahiran. Yang terakhir ini justru menjadi kebiasaan
umum di kalangan pemilik kuda.
Maklum, tradisi di gelanggang pacu kuda diikuti petaruh nasib pada nama dan
derap kaki kuda yang berpacu, tapi sayangnya instruksi Kapolri untuk membasmi
penyakit masyarakat ditindaklanjuti petugas keamanan, sehingga suasana Pacu
Kuda Seizoen 2008-2009 di Gelanggang Ampang Kualo diwarnai penangkapan
tersangka petaruh.
Sudah menjadi pemandangan umum bila
pacuan kuda adalah arena paling subur buat perjudian. Pacuan kuda
menjadi ajang pertaruhan dengan nilai puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Pacuan kuda juga seakan menjadi langkah cepat menjadi konglomerat, sekaligus
jalan cepat menuju sekarat.
Tapi tidak demikian dengan pacu kuda tradisional. Bendera merah dan putih, yang
menandai kemenangan di garis finis, berusaha tetap dibersihkan dari unsur-unsur
perjudian. Namun secara diam-diam masih terlihat.
Bukan hanya itu semata-mata, tetapi juga perilaku masyarakat yang memasuki ban
pacu baik mensupport kuda yang ditunggangi para joki maupun lainnya tanpa
memikirkan keselamatan diri. Akibatnya Pacu Kuda Sizoen 2008-2009 Sumatra Barat di Gelanggang Ampang Kualo diwarnai
korban kecelakaan. Dua warga harus dilarikan ke RST Solok karena terinjak kuda
yang sedang berpacu.
Ketua Pordasi Pordasi Cabang Ampang Kualo Solok H. Daswippetra Dt Manjinjing
Alam, SE usai pembukaan Pacu Kuda Seizoen 2008-2009, Sabtu (7/2) oleh Gubernur
diwakili Ir. H. Suryadharma menuturkan, selain sebagai ketua Pordasi, tokoh
politik PPP itu juga pemilik kuda Pamenan Dunie. Nama ini dipakai untuk
mengabadikan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam pacu kuda.
Sementara itu Yulfia Laheri, SE dan Zulkifli Joran masing-masing pemilik kuda
Euro Star dan kuda Rice Queen (Kota Solok) menuturkan perawatan miliknya
tergolong ala kadarnya dan murah. Kalau kuda pacu harus dilatih begini-begitu,
makanannya yang enak-enak, pemberian vitamin tidak boleh telat, dipijit dan
sebagainya. Seminggu bahkan sebulan sebelum bertanding, perawatannya sangat
ketat dan membutuhkan biaya cukup besar.
Sedangkan hadiah yang diperoleh habis untuk penjaga kuda dan joki. Peran joki
sangat vital dalam berloma. Joki biasanya sekaligus perawat kuda, sehingga tahu
betul sifat dan keunggulan kuda. Kuda-kuda bagus bisa gagal meraih juara bila
jokinya tidak mampu mengendalikan.
Semaraknya pertandingan pacu kuda, tampaknya juga diikuti greget yang lain di
luar arena, yaitu jual-beli kuda. Antar pemilik kuda atau pemain baru yang
ingin terjun di pacu kuda, saling lirik dan saling tawar.
Kuda-kuda pilihan yang biasa diperlombakan, lebih-lebih yang kerap menjadi
juara akan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Harganya cukup sangat
menggiurkan. Kuda pacu dibeli seharga Rp7,5 juta. Setelah menjuarai beberapa
kali pertandingan, kudanya ditawar orang dengan harga dua kali lipat dan malah
sekian kali lipat.
Keikutsertaan pemilik kuda di alek pacu kuda tradisional tidak melulu memburu
hadiah. Mereka rata-rata menganggap balap kuda ini sebagai sarana untuk badunia
(kesenangan).oWannedi Saman
http://hariansinggalang.co.id/index.php?mod=detail_berita.php&id=258