Assalaaamualaikum wr wb.
SMS dari kakanda Nofrins sore tadi, membuat saya segera menekan keypad telp untuk kembali menghubungi beliau. Konfirmasi mengenai berita meninggalnya Ibunda dari H Gamawan Fauzi.
Maaf, bukannya saya tidak percaya akan tetapi tahun lalu saya ikut menghantarkan jenazah ‘Ibunda’ dari H Gamawan Fauzi. Langsung ke kampuang Surian, melewati Alahan panjang, teruuuus mengitari danau. 1 jam perjalanan lagi dari Alahan Panjang. Lekat sekali di ingatan saya, karena selang beberapa waktu kemudian kami ikut sama sama menghantar jenazah Ibunda dari pak H Bachtiar Chamsyah ke Maninjau.
Keterangan selengkapnya saya dapat dari tulisan pak Muhlis Suhaeri. Tulisannya sebagai orang ‘bukan’ Minang mungkin lebih mengelitik bagi saya karena ada beberapa angle yang berbeda.
Wassalam
ET Hadi Saputra Katik Sati
Di Komplek Kompas Ciputat
Gamawan Fauzi: Mencoba Berjalan Lurus
Oleh Muhlis Suhaeri
BAGIAN I
Rumah Besar Beratap Limas
Alahan Panjang, sebuah kampung di Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, berada di ketinggian 1.400 meter dari garis pantai. Berbagai sayuran khas daerah berhawa sejuk, ada di sini: mulai kol, daun bawang, hingga seledri. Daerah ini juga dikenal sebagai penghasil buah markisa.
Mereka yang pernah ke Alahan Panjang barangkali tak akan melupakan deretan gunung dan bukit, yang berjajar membentuk lekukan-lekukan. Warna hijau menghampar sepanjang daerah, terselingi sapuan kabut yang terbang beriring. Gemericik air mengalir deras di sepanjang aliran sungai. Jernih dan bening. Suara riaknya, bagai alunan musik.
Pada sebuah terminal dan ruas jalan, orang berlalu lalang dengan kesibukannya. Sering terlihat anak-anak kecil beriringan dan berjalan di sepanjang pinggiran jalan. Tawa dan canda memenuhi wajah polos mereka. Berbagai bangunan khas ada di sekitarnya. Unik. Khas dan berkarakter.
“Tuah sakato
Cilaku basilang...”
Tulisan itu menanda pada sebuah rumah adat, yang didominasi warna hitam pada dindingnya. Di beberapa ruasnya terseling cat warna-warni. Terlihat semarak, tanpa melepuhkan wibawanya sebagai sebuah rumah adat. Melihat ke atas, terlihat atap dari ijuk yang dianyam. Posisinya vertikal, menjulang tinggi bak hendak menjangkau langit. Khas Minangkabau. Beberapa tanaman pakis menempel pada ijuk.
Ukuran rumah tak terlalu besar. Tapi cukup untuk menampung warga yang akan mengadakan musyawarah. Mereka biasanya menggelar tikar, dan membicarakan permasalahan di nagari mereka. Semua warga yang termasuk dalam tigo tungku sajarangan biasanya hadir di sana. Setiap persoalan diselesaikan dengan satu tekad, musyawarah untuk mencapai mufakat.
Bukan hanya semboyan, musyawarah untuk mufakat sepertinya telah menjadi pedoman dan semangat yang terus dipegang masyarakat. Mereka harus bersatu padu. Ibarat sebuah peribahasa berbunyi, “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.” Rupanya, masyarakat Minangkabau sudah mengenal peribahasa itu sedari dulu. Mereka juga punya sejarah yang panjang dalam demokrasi , yang menghargai kesetaraan tiap warganya.
Tak jauh dari rumah itu, terdapat sebuah jalan kampung. Pada sebuah ruas jalan, ada sebuah bangunan besar beratap limas. Tinggi menjulang. Keseluruhan atap terbuat dari seng. Sebagian besar seng sudah mulai usang warnanya. Deretan kaca memenuhi jendela depan rumah. Warna hijau pupus membungkus kayu jendela. Lantainya terbuat dari kayu. Sebuah kamar lebar dan luas berada di depan rumah sebelah kiri. Kamar itu tempat orang tua berada. Di dalam rumah terdapat beberapa kamar. Pada tembok bagian depan tertulis sebuah nama: D.S. DT Bandaro Basa. Nama pemilik rumah.
Sebuah papan besar menggantung di depan rumah:
Surau
IRSYA DUNNAS
MELAYU
Jl. Diponegoro No. 98
Alahan Panjang
Sore itu, puluhan anak-anak usia sekolah dasar sedang mengaji dan melafalkan bait-bait Al-qur’an. Suara canda dan lantunan ayat suci, berbaur jadi satu. Mereka sumringah ketika terkena kilatan lampu blitz.
“Tahu nggak nama bupati Solok, sekarang?”
“Tahu......” jawab mereka, serentak.
Surau itu dulunya rumah tinggal. Di sana berkumpul seorang ayah dengan dua istri dan enam belas orang anak (satu meninggal). Sang ayah adalah seorang pegawai pemerintah di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (dulu disebut P&K). Dia penilik sekolah.
Dahlan Saleh, demikian nama sang ayah, juga seorang mubalig kampung, yang sering memberikan pengajian dan khotbah pada masyarakat. Masyarakat segan dan hormat pada keluarga ini. Lebih-lebih karena mereka dikenal sebagai keluarga yang gemar memberi berbagai bantuan pada warga. Siapa pun warga yang menyambangi dan membutuhkan pertolongan, akan diterima dengan baik.
Di rumah inilah, Gamawan Fauzi dibesarkan bersama dengan kakak dan adiknya. Mereka tumbuh dalam suasana kesederhanaan dan keakraban.
Dua Ibu
Dahlan Saleh sosok tegas. Wajahnya keras. Dia seorang ningrat , dengan gelar Datuk Bandaro Basa. Sejak muda, Saleh aktif di organisasi keislaman. Saleh tergabung dalam organisasi Majelis Tinggi Islam , yang berpusat di Bukit Tinggi. Organisasi ini dikendalikan oleh Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Sulaiman Ar Rasuli, dan Syekh Muhammad Djamil Jambek. Misi organisasi lebih terfokus pada upaya mendidik kaum pribumi, baik jadi guru pada pesantren tradisional atau sekolah modern.
Di masa kolonial, banyak sekolah didirikan Belanda di Alahan Panjang, yang dikontrol oleh asisten Wedana. Sekolah-sekolah ini dijalankan dengan mengadopsi sistem pendidikan modern. Dahlan Saleh termasuk orang yang meleburkan diri pada sistem ini. Dia mendirikan National Islamic School (NIS). Sekolah ini setingkat Tsanawiyah/Sekolah Menengah Pertama. Siswanya berasal dari berbagai daerah. Saat Jepang datang, sekolah ini diganti namanya menjadi Tangga Bahagia. Kini, sekolah itu tidak ada lagi.
Dahlan Saleh biasa mengajar pelajaran agama, juga bahasa Inggris.
Selain NIS, di Alahan Panjang juga ada sekolah Islam modernis. Misalnya saja Ma’haj Islami (Perguruan Islam). Yang menjadi pimpinannya, Haji Marzuki Basri Dt Rajo Sungkono. Setelah Indonesia merdeka, dia jadi camat pertama di Alahan Panjang.
Tak hanya bisa mengajar dan menjadi mubalig, Saleh aktif di kesenian. Dia biasa main biola. Kemampuan yang dia miliki dalam bermain biola, tak menurun pada anaknya satu pun. Satu-satunya bakat seni sang ayah yang menurun adalah menyanyi. Hampir semua anaknya bisa menyanyi. Tapi, yang paling menonjol dalam hal tarik suara adalah Gamawan Fauzi dan Azmin Aulia.
Dalam mendidik anaknya, Dahlan Saleh selalu memberikan didikan melalui contoh. Kalau dia menyuruh membaca, maka akan dilakukan dulu pada dirinya. Kalau dia menyuruh hidup hemat, maka dia akan hidup hemat terlebih dahulu. “Beliau sangat dihargai. Pokoknya, contoh yang baiklah buat masyarakat,” kata Ma’asbur, mantan petugas Kantor Urusan Agama Kecamatan Lembah Gumanti , seseorang yang mengenal betul sosok Dahlan Saleh.
Sebagai pegawai pemerintah, Saleh dan keluarganya sering berpindah tempat mengikuti garis tugas dari negara. Tahun 1950, Saleh bertugas di Solok. Setelahnya, dia bertugas di Bandung. Tak sampai setahun, pada 1957 Saleh mendapat tugas belajar ke Universitas Gajah Mada di Yogyakarta, bersama temannya bernama Amir Ali. Bersamaan dengan kesempatan yang diberikan untuk belajar inilah, salah seorang anaknya lahir. Dia memberi nama anak itu “Gamawan”. Gama singkatan dari Gajah Mada, dan Wan berarti orang. Yang mengusulkan Amir Ali.
Tak sampai setahun di Yogyakarta, sebuah gejolak politik terjadi di Sumatera Barat. Ada pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Akhirnya, ayahnya pulang. Akibat pemberontakan ini, hubungan dengan Jawa dan lainnya putus. Dahlan Saleh balik ke Sumatera. Sekolahnya di Yogyakarta tidak dilanjutkan. Kembali ke Jawa sudah sulit.
Setelah dua-tiga bulan pulang dari Jawa, dia langsung melapor ke kantornya di Padang. Oleh kantornya, dia kembali ditugaskan ke Mataram, Lombok (Nusa Tenggara Barat). Saleh bertugas di P&K Lombok dari tahun 1958 sampai 1965 di sana.
Kembali ke Alahan Panjang, Saleh mendirikan pondok pesantren. Namanya Pondok Pesantren DR. Mohammad Natsir. Selain itu, dia juga ikut mendirikan sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) di Solok.
Dahlan Saleh mempunyai dua istri. Dari istri pertama, Sarinam, lahir delapan anak. Sedangkan dari istri kedua, Aisyah Amin, lahir tujuh anak. Kelima belas anak itu adalah H. Adrizal Dahlan, Hj. Syamsuwati Dahlan, Hj. Yusmiati Dahlan, Hj. Risdawati Dahlan, H. Dr. A. Syukri Dahlan, Dra. Erdawati Dahlan, Hj. Mulyawati Dahlan, H. Syafrizal Dahlan, H. Gamawan Fauzi Dahlan, S.H. MM, H. Ir. Azmin Aulia Dahlan, Hj. Chandra Widyawati Dahlan, Riri Mariati Dahlan, H. Dra. Hasmiyati Dahlan, Afdal Nofalman, dan Aida Chairawati.
Meski mempunyai dua istri, tak pernah terdengar pertengkaran di rumah. Semua anak pun merasa memiliki satu ibu. Jika ibu yang satu ke pasar, maka ibu yang kedua akan menjaga anak dan menyusui anak yang memerlukan air susu, sekalipun bukan anak kandungnya. Setiap anak merasa bahwa ibu mereka dua orang. Dua-duanya sama. Para istri ini, orang yang patuh pada suami. Keduanya saling menghargai. Mereka sudah seperti adik-kakak saja. Ke mana-mana bertiga. Bisa dipahami kalau semua anak jadi akur.
Baik Sarinam maupun Aisyah Amin sosok penyabar, pengalah dan toleran. Kalau Dahlan Saleh memarahi anaknya, Sarinam dan Aisyah Amin jadi tempat mengadu. Mereka bijak: tidak membela anak, tapi juga tak menyalahkan suami. Mereka hanya membujuk dan menyabarkan anak.
Tak hanya patuh, mereka santun dan hormat pada suami.
Saleh sebenarnya bukan pemarah. Dia hanya marah bila ada anaknya yang bertengkar. Kemarahan yang dilampiaskan Saleh, bukannya memukul anak. Paling banter menjewer kuping atau memukul pantat. Itu sudah marah sekali.
Meski Saleh jarang sekali terlihat marah, setiap anak segan bikin masalah di depannya. Mungkin karena wibawanya yang amat besar. Misalnya saja, ketika ada seorang anak yang ingin berbicara dengan ayahnya untuk minta ijin. Ibaratnya, seorang anak akan membaca bismillah dulu sepuluh kali, baru berani maju. Itu pun, kadang masih tidak berani juga. Kalau sudah begitu, mereka akan meminta pada ibu untuk menyampaikan maksudnya pada ayah.
Sistem pendidikan yang diterapkan Saleh, cenderung otoriter dan keras. Kalau dia sudah berbicara, si istri tidak akan berkata apa pun. Bila sudah mengeluarkan satu kata, tidak akan ada yang berani membantah. Segala sesuatu yang menjadi keputusannya, si istri menganggap sebagai hal terbaik dan segalanya. Mungkin, antara suami dan istri ada diskusi di belakang anak. Tapi, mereka tidak pernah diberitahu. Karena ibu bersikap demikian, anak tidak punya alternatif lain. Paling bermanja dengan ibu.
Prinsip yang sama diterapkan dalam menyekolahkan anaknya. Kalau anak mau sekolah, uang sekolah akan dibayari, tapi uang jajan tidak diberikan. Alasannya, semua anak sudah makan di rumah. Sang ibu selalu membuat berbagai macam makanan. Ada kolak, gorengan dan lainnya.
Di mata anaknya, selain seorang yang punya sosok sangat keras, Dahlan Saleh juga mempunyai kedisiplinan tinggi dan sangat konsisten dalam berbagai hal. Kalau sudah memutuskan sesuatu, Saleh biasanya tidak mau mengalah. Semua anak segan pada dirinya, sampai anak tumbuh dewasa. Saat anak mulai menginjak dewasa dan sekolah di SMU, barulah ada diskusi sedikit. Dahlan Saleh banyak belajar ilmu pedagogi , terutama mendidik anak saat mereka beranjak dewasa.
Semua itu mengalir pada watak anak-anaknya, termasuk pada Gamawan Fauzi. Satu contoh, ketika Gita kecil, anak pertama Gamawan, menangis minta dibelikan balon udara, Gamawan tidak menurutinya. Dia kuatir tangis anaknya jadi senjata untuk mendesakkan keinginannya. Gamawan sering merasa berdosa kalau sudah begini. Apa boleh buat, ajaran ayahnya telah tertanam begitu kuat.
Gamawan Fauzi ingat pengalaman masa kecilnya ketika adiknya, Chandra Widyawati, merengek minta kuliah di Pulau Jawa. Dia ingin masuk ITB (Institut Teknologi Bandung). Tanggapan Dahlan Saleh? Geleng kepala. Rengekan itu berubah jadi tangisan, bahkan Widyawati menangis sampai pingsan. Dahlan Saleh tetap tak mau kompromi. “Tak, tak bisa. Kamu perempuan tak ada yang mengawasi. Tapi, kalau sekolah di Padang, di mana pun kamu boleh sekolah.”
Kekerasan sang ayah tak ada yang berani membantah. Begitu pun dengan Gamawan. Dia tidak mau melawan pendapat ayahnya, apalagi secara terbuka. Gamawan anak yang patuh. Kalau pun ada perasaan, dia tidak berani untuk menyampaikan. Dalam batas yang diijinkan orang tua itulah, Gamawan melakukan apa yang dia mau. Inilah sebabnya pilihan aktivitas sehari-hari Gamawan boleh dibilang datar-datar saja. Kegiatannya tak lebih dari olahraga, kesenian, dan hal-hal lain yang mendapatkan ijin dari orang tua. Itu pun hanya sebatas pengisi waktu luang.
Pilihan hidup Gamawan adalah pilihan hidup ayahnya: belajar dan belajar. Saleh tidak memberikan penghargaan yang cukup untuk profesi di bidang kesenian atau olahraga. Dia lebih memberikan penghargaan di bidang pendidikan, sebagai jalan hidup bagi anaknya.
Gaya hidup sang ayah yang disiplin menular kuat pada Gamawan. Dia serba disiplin dalam segala hal. Kadang terasa terlalu formal dan sistemik. Segala sesuatu dibuatkan “formatnya”. Sekali keluar dari “format”, Gamawan bisa canggung.
Saat selesai sekolah, Gamawan berusaha untuk sedikit rileks dan keluar dari hidup serba disiplin, rutin dan kaku. Apa boleh buat, dia tak pernah berhasil menunjukkannya secara terang-terangan. Misalnya saja merokok di depan ayahnya, dia masih tidak berani. Bahkan, dia masih tak berani saat tamat sekolah, bahkan telah menjadi seorang bupati. “Agak kagok. Karena semua tersistem dan terstruktur,” ujar Gamawan.
Salah seorang adik Gamawan yang lelaki, baru berani merokok di depan Gamawan, pada 2004, lalu. Padahal, Gamawan tidak pernah menegur atau memarahinya. Tapi, adiknya merasa tidak enak sendiri pada abangnya.
Keluarga Besar
Dahlan Saleh mengatur keluarganya dengan baik. Di rumahnya yang besar, di Alahan Panjang itu, Saleh membuat lima kamar. Anak laki-laki dan perempuan terpisah kamarnya. Tiap kamar diisi tiga sampai empat orang.
Untuk ukuran di daerah, keluarga ini lumayan kehidupan ekonominya, meski dengan jumlah anak banyak. Namun, orang tua mereka tidak memperlakukan anak mereka dengan royal. Setiap lebaran, misalnya, Dahlan Saleh membeli kain panjang untuk pakaian anaknya. Kain dibuat baju dan celana, kemudian membagikannya ke setiap anak. Model baju atau celananya sama semua.
Tiap hari Minggu, selalu ada anak yang akan dipotong rambutnya. Mereka antri menunggu giliran. Ayahnya dulu memotong rambut anaknya dengan paksaan. Dia biasanya menyuruh anaknya untuk kumpul segera setelah melihat rambut anaknya mulai panjang. Dahlan Saleh memangkasnya sendiri. Sampai Gamawan lulus SMP, ayahnya yang selalu memangkas rambutnya.
Dalam keluarga besar ini, orang tua selalu membagi pekerjaan pada tiap anak. Orang tua membiasakan anak, untuk mengerjakan pekerjaan rumah secara bergiliran. Semua diberi tanggung jawab sesuai dengan usianya. Yang perempuan mencuci piring, memasak atau mencuci. Lelaki menyapu halaman, mengepel lantai atau menyiram bunga. Semua mendapat pekerjaan.
Jadwal pekerjaan ditetapkan secara bergilir. Urut tiap anak. Biasanya seorang anak sudah tahu jadwalnya. Ibunya tidak usah memberitahukan lagi. Mereka sudah dibiasakan dengan disiplin, dan mengerjakan pekerjaan yang diberikan. Namun, terkadang ada juga anak yang sering melupakan tugasnya dan mesti diingatkan.
Kalau ada yang membandel dan tidak mengerjakan pekerjaannya, mereka akan “didiamkan” ayahnya. Hal itu sudah merupakan hukuman yang berat sekali.
Gamawan selalu melakukan tugas yang telah diberikan dengan sungguh-sungguh. Kalau dia mendapat tugas melap perabotan rumah, maka perabotan itu akan dilapnya dengan benar dan serius. Kalau ada adiknya tidak mengerjakan tugas yang diberikan ibunya, Gamawan akan mengambil alih tanggung jawab.
Terkadang, dia malah sengaja melakukan pekerjaan yang menjadi tanggung jawab adiknya. Gamawan orang yang rajin bila diberi pekerjaan. Makanya, orang tua sering memberi pekerjaan padanya.
Dari kecil Gamawan memang penurut dan tidak bandel. Bila sedang berada di rumah, Gamawan yang mengasuh adik-adiknya. Tak heran bila adiknya, sangat menyayangi. Sifat pengasih Gamawan telah kelihatan sedari kecil. Tak hanya pada adiknya saja, juga dengan orang di sekitarnya. Meski sering mengasuh adiknya di rumah, Gamawan juga bergaul dan tidak terisolasi dari lingkungannya. Dia sering menyempatkan diri main bola, layangan, atau yang lain dengan teman sepermainannya. Tapi, ada satu hal yang tidak boleh terlanggar. Tiap jam salat, Gamawan dan saudaranya harus pulang ke rumah untuk melakukan salat dengan berjamaah.
Orang tua mereka sangat mementingkan jam salat. Setiap selesai salat berjamaah, mereka harus mengaji selama setengah jam. Kalau maghrib biasanya anak akan mengaji di surau. Kalau tidak di surau, mereka akan mengaji dengan bimbingan kedua orang tua. Selesai mengaji setiap anak balik ke rumah untuk makan bersama. Biasanya, semuanya duduk di lantai, dan sudah diambilkan di dalam piring nasi satu-satu, lauknya dibagi sama. Dari lima belas orang anak, tidak ada yang jahil. Misalnya, mengambil lauk pauk saudaranya. Mereka duduk di lantai sambil bersila sebagaimana duduk di meja kecil ala orang Jepang.
Saat itu, tidak ada hiburan televisi atau sejenisnya. Setelah makan, mereka akan belajar secara bersama. Biasanya tiap anak masuk ke kamarnya. Atau, belajar di ruang tengah. Pekerjaan rumah yang sulit, ditanyakan pada saudara atau kedua orang tuanya.
Mereka dilarang keluar rumah malam-malam. Biasanya mereka akan mengisi waktu dengan bermain di rumah. Kebetulan rumah mereka cukup besar, dan dilengkapi beragam macam permainan. Di sana mereka mereka bisa main catur, congklak, halma atau permainan lainnya. Ayahnya menyediakan berbagai mainan, supaya anaknya betah di rumah. Mereka juga mengadakan lomba menyanyi antar anak di rumah. Hadiah untuk pemenangnya? Biasanya, tiap anak patungan dengan uang jajan yang mereka miliki. Mereka membungkus dan menggulung permen dengan rapi, dan memberikan pada pemenangnya.
Mereka menyanyikan berbagai macam lagu, terutama lagu-lagu yang sedang tenar. Biasanya lagu pop. Ada yang menyanyikan lagu Koes Plus, The Mercy's, Pance Pondaag atau lagunya Bimbo.
Abang Iza
Ketika Dahlan Saleh meninggal 12 November 2000, kemudi keluarga berpindah pada anak tertua, Adrizal Dahlan. Dia bukanlah seorang tinggi besar dan gagah seperti Dahlan Saleh. Dia kecil saja. Tingginya sekitar 160 cm. Tubuh kecil itu berotot, kekar dan keras, menandakan dia seorang pekerja keras. Sinar matahari melengaskan kulitnya. Coklat dan gelap. Si abang oleh keluarga besar Gamawan, biasa dipanggil Abang Iza.
Kepemimpinan dalam keluarga terlihat saat sang ayah meninggal. Izalah yang menjadi imam salat jenazah. Peristiwa ini langka terjadi. Demikian juga saat melepas jenazah ayahnya, si Umilah yang menyampaikan sambutan di tangga.
Pengabdiannya pada keluarga telah dimulai sejak remaja. Dia paling tidak memilih mengorbankan ambisi untuk kuliah dan memperhatikan keluarganya sepenuhnya.
Masih segar dalam ingatan Gamawan, tatkala ayahnya pindah tugas dari Lombok ke Solok. Dahlan Saleh bertanya kepada Iza: apakah dia ingin kuliah? Iza waktu itu berfikir, kalau dia kuliah, bagaimana kelanjutan sekolah adik-adiknya. Ayahnya akan menemui kesulitan dalam membiayai adiknya. Makanya, Iza memutuskan untuk tidak kuliah dan memilih berdagang. Padahal, saat itu Iza sedang mengikuti KD C (Kursus Dinas C) selevel APDN, di Mataram, Lombok.
Iza langsung bekerja dengan cara meneruskan bisnis keluarga, yang telah dirintis ayahnya. Iza pula yang menanggani semua keperluan adiknya. Mulai pendistribusian uang kuliah, uang jajan dan keperluan hidup lainnya. Perannya kian besar sejak ayahnya pensiun dari P&K.
Sebagai abang seorang bupati, Iza sama sekali tidak pernah merasakan fasilitas, sebagaimana layaknya abang seorang bupati. Lima orang anaknya, tidak satu pun yang menjadi pegawai negeri. Bahkan, salah satu putri bungsu Adrizal, Desi Andriani, menjadi satu-satunya peserta guru honor yang tidak lulus, ketika ikut seleksi calon Pegawai Negeri Sipil. Iza tidak marah kepada Gamawan, yang sebenarnya bisa membantu. Dia sangat memahami komitmen adiknya, untuk tidak melakukan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).
Sejak menjadi bupati, sampai menjabat selama dua periode, belum sampai sepuluh kali, Iza menginjakkan kaki ke rumah dinas bupati. Kecuali, pada hari dan kondisi tertentu. Misalnya, ketika Gamawan sakit atau lebaran. Dia tidak mau menggangu kegiatan Gamawan dalam menjalankan tugasnya. Justru, adiknya yang datang ke rumahnya. Ketika bertemu, Gamawan akan melakukan sebuah tradisi, yang dilakukan sejak dulu di keluarga. Dia akan selalu mencium tangan abangnya. Bahkan, menjelang lebaran, saat sibuk-sibuknya, Gamawan masih ingat untuk mencarikan baju lebaran buat abangnya.
Penghormatan Gamawan pada Iza lebih karena perannya yang begitu besar dalam menyatukan keluarga. Sampai sekarang pun, keluarga besar ini masih sangat mesra, dalam menjalin kekerabatan dengan sesama saudaranya. Meski jumlah anak di keluarga cukup banyak, mereka tidak pernah bertengkar.
Sampai sekarang, keluarga besar ini sering kumpul bersama pada saat tertentu. Misalnya, saat hari besar Idhul Fitri, pada saat mengenang almarhum Dahlan Saleh, atau ketika ada saudara mereka yang berulang tahun. Pada hari itulah, mereka menyewa sebuah villa di daerah wisata.
Seluruh keluarga besar Dahlan Saleh akan menghadiri acara tertentu. Tiap cucu akan mengungkapkan apa saja yang terekam dalam benaknya, terhadap sosok kakeknya. Acara diwarnai dengan tawa dan haru. Tiap cucu, tentu saja punya kenangan tersendiri terhadap figur kakeknya. Tujuan dari acara hanya satu: ingin tetap menyatukan keutuhan keluarga, sebagaimana amanat surat wasiat ayah mereka.
Di sela-sela aktivitas bersama, mereka kadang berdiskusi sesama saudara, bagaimana mendidik anak. Mereka sadar tidak punya keteguhan hati untuk mendidik dengan cara yang ayahnya terapkan. Mereka mendidik anak, tidak seperti ketika ayahnya mendidik mereka. Tidak tahan dan tidak tegar. Ayah mereka, Dahlan Saleh, seorang yang tegar dalam mendidik anak.
Mareka masih ingat bagaimana Dahlan Saleh mendidiknya dengan displin tinggi. Di balik semua ini, mereka juga tak akan melupakan bagaimana Dahlan Saleh mengayomi mereka dengan kasih sayang. Lebih-lebih kasih sayang dari kedua ibu mereka.
“Papa juga tidak pernah bertengkar dengan ibu,” kata Zulkarnen.
Orang tua mereka memang tidak pernah bertengkar. Barangkali inilah yang menyebabkan anak-anaknya juga tidak pernah bertengkar.
Malam hari, si ayah biasanya duduk di kursi. Anak duduk lesehan di lantai. Mereka biasanya sepakat untuk saling jaga rahasia kecil mereka. Tapi, kadang ayahnya tahu dari orang lain. Ada yang mengadu. Saat itulah, mereka diinterogasi benar atau tidaknya. Biasanya, ayahnya juga mendapat laporan dari ibu. Yang dilaporkan ibu biasanya masalah yang dianggap berat. Kalau ada yang salah, biasanya seorang anak tidak diberikan jam bermain. Tidak boleh keluar rumah.
Gamawan pernah mendapat hukuman dari ibunya. Ibunya menganggap, dia tidak disiplin dan dapat membahayakan adiknya. Ketika itu mereka baru pulang dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Jadi mereka ingin melihat kegiatan orang kampung seperti apa. Banyak hal yang tidak mereka rasakan dan alami. Karenanya, mereka ingin melihat kegiatan. Orang di kampung, biasanya mencari kayu bakar, buah cermai, atau lainnya ke hutan. Mereka melakukannya untuk persiapan bulan puasa.
Nah, suatu ketika, Gamawan dan Entik, adiknya, melihat anak kecil dan penduduk di perkampungan, berjalan ke arah pinggiran hutan. Hutan itu memang tidak terlalu lebat. Juga tak begitu jauh dari perkampungan. Entik tertarik dan ingin mengikuti kegiatan. Dia langsung mengajak abangnya. “Ayo kita main ke hutan.”
“Jangan nanti dimarahi.”
“Kayaknya seru juga nih.”
Akhirnya, keduanya berunding. Gamawan ingin meminta ijin pada ibunya.
“Jangan ijin dulu, nanti ditolak,” kata Entik.
Gamawan bukan tipe pemberontak. Kalau ada urusan, dia selalu menjadikan ibunya sebagai perantara untuk berbicara pada ayahnya. Sementara, adik perempuannya bersikap lain. Dia inginnya pergi dulu. Urusan nanti kena marah, masalah belakangan.
Entik memaksa abangnya untuk ikut ke dalam hutan. Akhirnya Gamawan mengalah. Mereka pun masuk hutan. Mereka berjalan beriringan dengan yang lainnya. Sebenarnya, mereka tidak terlalu jauh masuk ke hutan. Kebetulan saja hujan turun dengan derasnya. Keduanya telat pulang.
Sampai di rumah, ibunya langsung menanyai keduanya. Mereka mengakui pergi ke hutan, bersama anak kampung lainnya. Ibunya menganggap, tindakan Gamawan dapat membahayakan adiknya. Tak ayal, ibunya langsung marah padanya. Dia menyabet kaki Gamawan dengan lidi. Meski kena marah dan mendapat hukuman, Gamawan tetap melindungi adiknya. Dia tidak menyalahkan Entik. Atau, supaya keduanya sama-sama mendapat hukuman. Gamawan menanggung kesalahan itu sendiri saja. Dia juga tidak memberitahu, bahwa adiknya, yang sebenarnya mengajak ikut serta. Gamawan paling suka mengambil tanggung jawab, bila yang lain dimarahi orang tua. Dia mau bertanggung jawab sendirian.
“Dia itu sangat mengikuti dan menuruti apa yang telah ditetapkan orang tua,” kata Entik tentang abangnya.
Selain disiplin, orang tua mereka sangat ketat dalam menerapkan ajaran agama, terutama sang ayah. Dahlan Saleh, misalkan, biasa memercikkan air ke wajah anaknya, bila mereka tak juga bangun saat datang waktu salat subuh. Ayahnya menerapkan contoh baik dalam masalah ketaatan beribadah.
“Hai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Ayat inilah yang menjadi pijakan dalam setiap keluarga Islam, untuk mendidik anak dan keluarganya, dalam masalah beragama. Saking ketatnya mendidik dalam urusan agama, tak heran bila ada anaknya yang berbicara kasar, maka ayahnya akan menghardik anaknya. “Potong lidahnya-potong lidahnya, daripada dibakar api neraka, lebih baik sekarang dipotong.”
Setiap pukul lima pagi, ayahnya akan membangunkan anaknya. Ketika itu masih gelap. Maklumlah, di sana belum ada listrik, seperti sekarang. Setiap anak dipaksa untuk membaca Al-qur’an atau salat. Setelah besar, si anak tidak merasa menyesal dengan pendidikan yang mereka jalani.
Selain mendapat didikan agama di rumah, Gamawan juga rajin menimba ilmu agama dengan orang lain. Sejak duduk di bangku SMP, dia selalu mendengarkan pengajian, setiap malam Minggu. Setelah itu, dia akan ditanya, apa yang menjadi isi dari pengajian. Dan Gamawan pun bercerita dengan lancar tentang pengajian yang dia dengarkan.
Gamawan tidak pernah berbelok arah ketika mendengarkan pengajian. Misalnya, ijin ke pengajian tapi malah bermain. Dia tidak mau melakukan itu. Juga tidak ada niat untuk melakukannya. Gamawan orang yang patuh. Pengaruh selalu mendengarkan pengajian, membuatnya bercita-cita menjadi seorang mubalig.
Orang paling berpengaruh, pada masa kecilnya mengenai masalah agama, tentu saja kedua orang tuanya. Gamawan merasakan betul. Ada juga salah satu guru mengajinya yang cukup berkesan. Namanya, Makdang Pian, biasa dipanggil Sofyan. “Mukanya seperti pemilik surga. Sabar, jerih, bersih, dan cara bicaranya satu-satu. Orang ini menjadi idola saya. Orangnya jarang bicara,” tutur Gamawan.
Gamawan mengajinya pintar. Dia jarang kena pukul rotan. Orangnya tekun dalam belajar.
Nenek Iyek
Keluarga besar Gamawan dihormati, juga karena kharisma sang nenek. Dia nenek Gamawan dari ibu. Namanya, Nenek Iyek.
Dia ini seorang tabib. Dia tidak mau meminta bayaran. Cara menyembuhkan orang yang sakit, dengan menggunakan tumbuhan yang diurai (dipotong-potong dan diberi air). Setelah diurai, ramuan diberikan jampi-jampi lalu dikompreskan. Tumbuhan yang digunakan sebagai obat beraneka ragam. Misalnya saja, tumbuhan Si Dingin, yang biasa digunakan untuk orang sakit demam. Ada juga daun jarak dan lainnya.
Nenek Iyek juga punya jiwa sosial tinggi. Seumpama ada orang yang mengadakan acara selamatan dan tidak punya uang, dia akan membantunya. Masyarakat Alahan Panjang, menghormatinya.
Ada yang diingat warga kampung Alahan Panjang saat sang nenek menjelang ajal.
Hari menjelang maghrib.
Seperti biasa, setiap anak selalu pergi ke surau secara beramai-ramai. Di depan surau, ada sebuah jalan besar dan terlihat mulai dari atas hingga ke bawah. Ketika mereka duduk di surau , tiba-tiba terlihat sesuatu. Di sepanjang jalan telah dipenuhi ribuan orang. Lelaki dan perempuan. Setiap orang mengenakan pakaian yang sama. Semua serba putih. Yang perempuan menggunakan pakaian seperti mukena. Mereka berjalan dengan pelan dan rapat jaraknya. Sebelum rombongan sampai ke bawah, mereka berbelok ke kiri dan ke kanan jalan. Kemudian naik ke arah bukit.
Anak-anak yang berada di surau tentu saja kaget. Semua melihatnya. Mereka saling bertanya, “Dari mana datangnya orang yang menyesaki jalanan itu?”
“Eh, apaan itu? Hantu-hantu,” lainnya berbisik.
Kejadiannya lumayan lama. Sekitar setengah jam. Tak tahunya, malamnya Nenek Iyek meninggal dunia. “Mungkin, para malaikat yang akan menjemput Nenek Iyek,” kata salah seorang di antara mereka. ■
BAGIAN II
Masa Bocah
Bangunan sekolah itu sederhana. Warna catnya telah memudar. Sebuah pagar halaman berdiri memancang, tak terlalu tinggi. Jalanan di depannya kini telah beraspal.
Ruas jalan itu menanjak, menghubungkan terminal angkutan umum menuju kantor Kecamatan Alahan Panjang. Inilah Jalan Kartini, dan di ruas inilah Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Alahan Panjang, berada. Di situ Gamawan Fauzi menamatkan sekolah dasarnya.
Gamawan masih mengenang guru yang ada di sana. Salah satunya bernama Rakimah. Dia sangat mengagumi sosok gurunya yang satu ini. Di mata Gamawan, dia pendidik yang sangat perhatian pada anak didiknya. Tiap ada kenaikan kelas, Rakimah selalu memberi muridnya hadiah, baik berupa buku maupun alat tulis lainya. Gamawan pun pernah mendapat hadiah buku. Dia menyayangkan Rakimah yang hanya setahun mengajar, saat Gamawan berada di kelas satu.
Gamawan pun masih mengingat temannya semasa sekolah di Alahan Panjang. Salah satunya Rusfirman. Anak ini nakal sekali. Dia sering berantem dengan temannya. Tapi, Rusfirman termasuk anak yang cerdas di sekolahnya.
Beberapa temannya yang lain adalah Elin dan Dayu Wiratmi. Dengan kedua temannya inilah Gamawan mengukir prestasi di sekolah dasar. Mereka juara cerdas tangkas tingkat sekolah dasar sekecamatan Lembah Gumanti. Gamawan yang menjadi juru bicara dalam grup ini. Ketika menjuarai perlombaan, Gamawan duduk di bangku kelas enam. Menurut Gamawan, di bawah kepemimpinan kepala sekolah Syamsul Rizal, SD Alahan Panjang merupakan sekolah teladan di kecamatan Lembah Gumanti.
Jarak sekolah dasarnya tidak jauh dari rumah, sekira tujuh ratus meter dari tempat tinggalnya. Dia berjalan bersama temannya ketika berangkat sekolah. Selama berada di lingkungan sekolah, Gamawan tidak bersikap macam-macam. Dia orang yang sangat patuh pada gurunya.
Ketika sekolah bubaran, dia juga akan langsung pulang ke rumah. Di dalam keluarga ini, ada kebiasaan untuk salat dan makan bersama. Karenanya, setiap anak harus pulang ke rumah selepas sekolah.
Selesai menamatkan sekolah dasar, Gamawan melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri Alahan Panjang. Gamawan masuk SMP pada 1971, dan menamatkan sekolahnya pada 1973. Hanya ada dua kelas, tiap tingkatannya. Kelas satu ada 1A dan 1B, kelas dua 2A dan 2B, kelas tiga 3A dan 3B. Tiap lokal ada 40 orang. Seluruh sekolah muridnya berjumlah sekitar 240 orang.
Seperti juga SD, bangunan SMP itu tak jauh dari rumahnya, sekira lima ratus meter. Ketika itu, jalanan masih berupa pasir dan belum teraspal. Namun, sudah bisa dilewati kendaraan roda empat. Walau ada kendaraan atau sepeda, jarang ada anak memakainya. Mereka lebih senang dengan jalan kaki.
Demikian juga Gamawan. Mereka berangkat atau pulang sekolah dengan bergerombol, lengkap dengan segala tawa dan candanya. Kelak dikemudian hari, pengalaman demikian membawa kenangan. Kenangan tentang sebuah kebersamaan.
Setiap ke sekolah, mereka menggenakan seragam. Mereka mengenakan baju putih, dan celana putih tiap hari Senin sampai Kamis. Pada hari Jum’at dan Sabtu, seragam yang dikenakan warna hijau doker untuk celana, dan baju putih. Ada juga baju Pramuka. Sepatu putih dan kaos kaki putih.
Saat berangkat sekolah, siswa biasanya menjinjing buku di tangan. Bolpoin dan pensil disisipkan di saku baju. Jarang ada yang membawa tas. Mereka membawa buku sesuai dengan mata pelajaran. Namun, biasanya ada juga satu buku tebal, untuk menulis semua mata pelajaran. Setelah sampai di rumah, mata pelajaran disalin ulang. Ditulis di buku pelajaran yang sesuai. Tulisannya dihias dengan huruf indah dan bagus. Disesuaikan dengan tingkat dan rasa seni tiap anak.
Pelajaran yang sering dicatat ulang adalah geografi. Ini karena terkadang guru mengajarnya susah dimengerti.
Untuk mengatasi kesulitan belajar di ruang kelas, Gamawan rajin mengikuti les. Kegiatan ini biasanya berlangsung di rumah guru. Guru biasanya meminta murid untuk membaca buku mata pelajaran. Setelah itu, murid diadu untuk tanya jawab. Dengan cara itu, setiap murid terpacu untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya untuk kuis.
Selama di sekolah, mereka belajar mengikuti kurikulum dari tiap guru. Bila diluar jam sekolah ada pekerjaan rumah, biasanya akan mereka kerjakan bersama untuk memecahkannya. Mereka saling mengisi. Kalau ada yang lemah, akan dibantu.
Guru sering meminta Gamawan sebagai “guru bantu” untuk menolong kawannya yang tertinggal. Dia sering disuruh guru, menerangkan di depan kelas. Wataknya bawaan. Dia lebih peka menerima rumus. Terkadang suatu uraian, kalau tidak diperhatikan dari awal, amat terkait dengan lainnya. Sehingga tidak bisa diikuti. Dalam bidang pelajaran, Gamawan memang rata penguasaanya. Dari SD hingga SMP, dia tidak bergeser dari rangking satu sampai tiga. Padahal, di kelas banyak juga murid yang pandai.
Gamawan sering menjadi juara kelas. Juga anggota keluarga lainnya. Setiap juara, ibu mereka selalu memberikan semangat. Hadiahnya tak istimewa benar. Seorang anak yang jadi juara akan mendapat menu makanan yang berbeda. Bila yang lain makan pakai telur dadar dengan setengah irisan, maka ibu akan memberikan nasi goreng dengan satu telur ceplok, pada si juara.
Orang tua mungkin sudah bosan mendengar mereka menjadi juara kelas. Jadi, ketika mendengar kabar jadi juara kelas, reaksinya biasa saja. Setelah SMU, mereka tidak menjadi juara satu terus. Saingannya sudah banyak. Paling masuk sepuluh besar.
Belajar Silat
Gamawan Fauzi tak hanya mengolahragakan otaknya, tapi juga seluruh anggota fisiknya. Demikianlah, sejak bocah dia menyukai beragam aktivitas olahraga. Hampir semua permainan olahraga, dia kuasai. Mulai sepak bola, tenis meja, bola basket, bola voli, hingga bulu tangkis.
Tak hanya bermain dengan teman sekolahannya, Gamawan juga senang dan bermain bersama kawan sekampungnya. Dia sering bermain bersama Dodi, Hari Siregar, Juriati dan lainnya. Permainan yang mereka lakukan biasanya, tenis meja, bola basket, bulu tangkis dan bola voli.
Ada sebuah tempat bermain tenis lapangan di Alahan Panjang. Oleh anak-anak, lapangan ini juga dijadikan lapangan basket dan tempat bermain bola kaki. Mereka menggunakan bola tenis lapangan untuk bermain bola kaki. Bola yang mereka mainkan berupa tali yang dianyam. Pada ujungnya, ada pentol yang berfungsi meniup bola. Setelah dipompa atau ditiup, anyaman tali dimasukkan atau dilipat masuk ke dalam bola. Bola ini keras, dan karenanya sering jadi pilihan terakhir. Mereka lebih suka bermain bola dengan bola tenis.
Kalau tidak ada pekerjaan rumah dari sekolah, mereka akan main bola atau main tenis meja di depan rumah Masrul. Ada salah seorang guru olah raga yang mendampingi mereka. Namanya Yuli Amran. Guru olahraga mereka, baru saja tamat dari SMU, dan mendapat Surat Keputusan (SK) untuk mengajar di Alahan Panjang.
Rumah Masrul beberapa ratus meter dari sekolah. Jadi, mereka sering berkumpul di rumahnya. Masrul punya banyak saudara. Jika bermain tenis meja, Gamawan dan Masrul menggunakan meja makan. Untuk net (jaring), mereka menggunakan kayu balok, dan meletakkannya di tengah meja. Sejak saat itulah, keduanya kenal dan akrab.
Melihat banyak anak bermain dengan peralatan seadanya, salah seorang tetangga bernama Pak Etek, kasihan melihat mereka. Sehingga, dia membuat lapangan tenis meja, sesuai ukuran sebenarnya. Akhirnya, anak-anak itu bermain dan saling berlomba dalam kemampuan bermain tenis meja.
Gamawan juga mengajak Masrul ikut berkesenian, misalnya menyanyi. Gamawan pandai menyanyi. Sampai sekarang suaranya masih bagus. Mereka selalu ketemu, sambil belajar main gitar bersama. Selama tiga bulan berkumpul, tetap saja Masrul tidak pandai bermain gitar, maupun mengeluarkan suaranya. Dia mengatakan tak berbakat dalam bidang kesenian.
Meski Gamawan mengajak temannya untuk beraktifitas, namun dia menyesuaikan kemampuan dan kemauan temannya. Gamawan tidak memaksa seseorang untuk mengikutinya atau menekuni sesuatu, sesuai dengan dirinya. “Dia tidak mau memaksa, tapi mau mengajak,” tutur Masrul, yang sekarang bekerja di Departemen Kehutanan Solok.
Olahraga favorit Gamawan yang lain adalah beladiri. Bagi Gamawan, selain untuk menyehatkan badan, olahraga beladiri dimaksudkan untuk melindungi diri dari berbagai ancaman dan gangguan. Dia belajar silat bersama dengan adiknya, Azmin Aulia.
Mereka berlatih pada salah seorang pamannya. Di antara mereka, Gamawan paling bersemangat. Tak hanya latihan fisik, tapi juga spiritual. Khusus untuk yang disebut terakhir, di ujung pelatihan mereka dihadapkan pada ujian. Syaratnya? Menyembelih seekor ayam hitam dan dua butir kelapa. Menurut Gamawan, fungsi dari ilmu ini, bila ada seseorang marah pada mereka, maka ilmu itulah yang akan meredamnya. Sebagai tambahan, paman mereka membekali dengan sebotol minyak, yang ditaruh dalam botol ukuran kecil.
Suatu ketika, mereka berangkat dari rumah untuk menjaga kios obat. Maklumlah, malam datang berarti gelap pun menghadang. Karenanya, lampu penerangan harus mereka sediakan. Listrik belum lagi masuk kampung. Praktis hampir semua penduduk menyalakan lampu petromak sebagai pelita.
Keduanya berjalan dengan sebuah lampu petromak terjinjing di tangan. Di tengah perjalanan, Gamawan bercanda dengan temannya. Lampu petromak rontok kaos lampunya. Bahan kaos lampu dari asbes memang ringkih dan mudah rusak, bila kena goncangan.
Karena merasa punya ilmu, dan di kedai ada ayahnya yang sedang menunggu, maka Gamawan mempraktekkan ilmu yang dipelajarinya. Dia mengeluarkan botol minyak pemberian pamannya. Minyak itu biasa disebut minyak nyong-nyong. Gamawan mengoleskan minyak di dahi, dengan menyilang ke bawah dan ke samping. Tak lupa, sambil mengoleskan, dia menyebut “Allahu Akbar” tiga kali. Dengan sebuah keyakinan, Gamawan memakai minyak. Ayahnya tidak bakal marah, pikirnya.
Mereka pun berjalan ke kios obat ayahnya. Begitu melihat kaos lampunya putus, memang ayahnya tidak memarahi Gamawan, tapi langsung menendang pantatnya. Merasa kesal dan ilmunya tidak manjur, Gamawan mengambil minyak dari saku kantungnya. Seketika dia langsung membuangnya. Melihat tingkah laku anaknya, si ayah mesem saja.
Kini Gamawan mengalihkan olahraga beladiri pada kekuatan fisik semata. Dia mempelajari karate. Ketika berada di rumah, dia selalu latihan dengan cara memukul-mukul tembok. Atau mematahkan batu bata dengan tangannya. Gamawan selalu mengajak Azmin latihan karate. “Untuk membela diri,” kata Gamawan.
“Enggak. Saya nggak mau latihan karate. Nanti kalau kaya, saya akan beli pistol. Ngapain saya latihan karate, hanya bikin badan capek.”
Mungkin saking keselnya, melihat adiknya tidak pernah mau latihan beladiri, Gamawan sering mengadu-fisikkan Azmin Aulia dengan temannya. Gamawan hanya tertawa saja ketika melihat adiknya berantem. Karena tidak pernah berantem, Azmin pun kepepet dan kewalahan. “Saya sering diminta Daan untuk berantem,” kata Azmin Aulia. “Daan” yang dimaksud adalah panggilan keluarga buat Gamawan Fauzi.
Panen Padi
Kegemaran Gamawan yang lain adalah ikut panen padi. Dulu, masih banyak lahan dijadikan pesawahan. Padi dipanen setelah tumbuh tujuh bulan.
Jarak areal pesawahan dari rumah Gamawan hanya sekira satu setengah kilometer. Saat padi menguning, Gamawan biasanya datang bersama teman-temannya untuk ikut memanen.
“Rasanya luas sekali. Keluar dari rumah dan tidur di ladang, yang jauh dari perkampungan. Saat itu terasa enak sekali karena ada unsur petualangannya,” ungkap Gamawan. Petualangan yang dimaksud adalah seperti dalam buku-buku yang pernah dibacanya, antara lain Pistol Si Mancil , Lima Sekawan. Gamawan membayangkan sesuatu yang ada di buku itu, dengan kondisinya ketika menjaga padi di sawah. Bagaimana seandainya dalam kondisi gelap gulita dan tidak ada lampu sebagai penerang, tiba-tiba muncul sosok orang atau penjahat?
Apapun, di sawah, mereka biasanya membawa nasi untuk bekal makanan. Padi yang telah dipanen, biasanya tak langsung dibawa ke rumah tapi disimpan dulu di pondokan sawah. Gamawan dan teman-teman menjagai pondokan itu. Dan ketika malam datang, mereka tidur di atas gundukan padi.
Padi yang telah dipanen biasanya disimpan di pondokan selama tiga hari. Padi kemudian dirontokkan bulirnya dengan cara diinjak-injak atau diirik. Meski tak dibayar uang, mereka senang melakukan semua itu sebab mereka bisa makan pagi di sawah sendiri, kemudian makan bubur di sawah tetangga, dan beberapa jam lagi ikut makan kolak di sawah tetangga lainnya.
“He..mampir-mampir.....” kata orang yang punya sawah.
Mereka dengan senang hati datang dan membantu. Semua orang yang mereka bantu, akan memberi kolak, nasi atau jajanan lainnya.
Pekerjaan di sawah benar-benar dikerjakan secara gotong-royong. Banyak anak dari nagari lain yang yang ikut membantu. Bahkan, ikut menginap di pondokan sawah. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, itulah barangkali peribahasa yang tepat.
“Sekarang ini tidak jalan lagi,” kata Gamawan.
Masyarakat juga bergotong royong memperbaiki irigasi sawah setelah panen. Dan sebelum diperbaiki, warga setempat biasanya mengamankan ikan-ikan yang hidup di dalamnya. Mereka datang dengan membawa tangguk. Mereka memasang perangkap dengan tangan dan masuk ke sungai. Ikan-ikan kecil, yang disebut warga “ikan bada” ditangkapi dan digoreng beramai-ramai. Seorang bisa mendapatkannya sampai satu gelas kecil.
Perangkap dipasang kala sore menjelang. Mereka memasang lukah dari bambu di sepanjang aliran sungai. Umpannya? Mereka menaruh kepala ikan teri yang telah dibakar. Cara ini akan membuat ikan masuk ke perangkap. Sambil mengambil wudhu untuk salat subuh, mereka akan mengambil tangguk.
Setelah panen dan perbaikan irigasi, penduduk biasanya mulai mempersiapkan benih. Benih pun ditabur. Butuh waktu untuk benih tumbuh. Selama menunggu itulah, penduduk tenggelam dalam berbagai aktivitas di sawah. Misalkan, main layang-layang selepas panen. Angin selepas panen biasanya jauh lebih besar hembusannya. Ada juga yang percaya, hembusan angin terasa besar karena ada orang yang berdoa untuk itu.
Sebuah layangan lebarnya bisa mencapai satu setengah meter. Terkadang ekornya bisa mencapai panjang lima belas meter. Yang pendek ekornya paling sepanjang empat meter. Kalau ekornya panjang, bila digerakkan dari bawah, ekor itu bisa membentuk angka delapan.
Orang pertama kali bermain layang-layang dengan benang ramin. Pada perkembangannya, benang diganti dengan nilon. Pemutarnya dari roda papan. Ketika bermain layang-layang, biasanya ada kernetnya juga. Mereka menyebutnya stoker (tukang putar benang). Ada seni tersendiri saat menggulung benang. Benang yang tergulung bentuknya bisa menyerupai bola dan bulat. Biasanya orang main layang-layang selama satu bulan.
Masyarakat membuat layang-layang sendiri. Setiap orang berlomba untuk membuat sebagus mungkin. Ada rasa kebanggaan, bila buatannya bagus dan dilihat semua orang.
“Itu semua menjadi bagian sosial dari kehidupan setiap orang di sana,” tutur Gamawan.
Anggi, Penjual Kue
Kalau Gamawan Fauzi punya banyak fantasi, itu lantaran sedari kecil dia suka membaca.
“Papa sering membawa buku cerita untuk dibawa pulang. Sehingga anak-anak bisa membaca buku cerita. Biasanya buku tentang dongeng-dongeng. Seperti Bawang Merah Bawang Putih. Waktu itu memang belum banyak buku. Setelah dibaca anak-anak, akan dibawa lagi ke pustaka di kantornya,” kata Entik.
Ayahnya kerap juga membelikan buku. Banyak buku tertata di lemari. Biasanya buku cerita. Buku yang menjad idolanya adalah Pistol Si Mancil. Itu cerita rakyat. Ceritanya seperti kisah film Petualangan Sherina. Bagaimana anak-anak menundukkan penjahat.
Menurut Gamawan, selain sebagai ilmu pengetahuan, bacaan juga menimbulkan daya imajinasi. Cerita dari Minangkabau, seperti Cindur Mato, Sabai Nan Aluih, juga dia baca. Setelah selesai membaca buku, Gamawan sering mendatangi temannya. “Malam kita baca, besoknya kita cerita ke teman,” ujar Gamawan.
Biasanya, kalau Gamawan cerita tentang buku, sangat mengebu-gebu. Dia semangat sekali untuk bercerita pada temannya. Dari buku dongeng, Gamawan Fauzi mendapat rejeki kecil-kecilan. Dia sering mendongengi Anggi seorang penjual kue lapai. Dan sebagai upahnya, Gamawan diberi kue.
Kadang Gamawan ikut-ikutan membantu Anggi menjualkan kuenya. Tak hanya Gamawan, tiga temannya Azidal Azis, Aciek dan Davis, juga membantu Anggi. Celakanya, uang yang didapat Anggi tidak lebih banyak dari yang sudah-sudah. Kue jajaannya sering digunakan sebagai “upah” teman-temannya itu. Anggi memberikan kue biasanya kalau lagi berhenti setelah keliling kampung. Mereka makan satu kue.
Mereka ikut menjual kue godok tinta dan kue lapek bugi. Kue itu terbuat dari ubi yang luarnya diberi gula aren. Seringkali, ketiganya membantu Anggi berteriak, “Kue bugi, kue godok….,” kadang gantian membawa kuenya.
Azidal juga berjualan kue talam. Mereka bergantian membawa kue. Kue biasanya habis. Meski untuk itu, mereka harus keliling kampung dengan berjalan kaki, sekitar dua kilometer.
Ibu Anggi tentu saja heran, jualan kue habis, tapi uangnya kurang. Anggi kena marah. Ibunya mengadukan kenakalan Anggi ke guru mengaji di surau. Guru mengaji bernama Buya H. Pane. Anggi dimarahi Buya. Terkadang, Buya mengikat Anggi dan memukulnya hingga badannya memerah.
Mereka tentu saja kasihan kepada Anggi. Lantaran memberi kue pada temannya, dia mesti menjalani hukuman. Apa akal untuk menyiasatinya? Mereka berunding. Besoknya, Anggi diajari untuk mengakali ibunya. Caranya, jangan ibunya yang menghitung kue, tapi Anggi sendiri. Kue dihitung lima-lima, tapi Anggi diajari sekali ambil tujuh–tujuh. Anggi menuruti saran temannya. Sekali ambil tujuh, tapi bilang lima. Kue memenuhi baskom dan tentu saja ada lebihnya. Ketika kue habis, Anggi tetap dapat duit dan temannya dapat kue juga. Paslah. Ibunya Anggi tidak mengetahui kelakuan anaknya.
“Tenanglah Anggi berjualan, dan uang dapat,” kata Aciek.
Mereka membantu berjualan kue dari kelas empat SD hingga SMP. Sekarang ini, Anggi punya rumah makan di Muara Panas. Jualannya seminggu sekali. Pertemanan mereka langgeng hingga sekarang.
BAGIAN III
Di Kota Padang
Dua orang remaja sedang bersepeda di tengah kota Padang yang terik. Pancaran sinar matahari tak bersahabat, membakar siapa pun yang berada di ruang terbuka. Melengaskan kulit.
Mereka tetap bersepeda dengan berboncengan. Butiran keringat mem-basahi tubuh mereka.
Mereka Gamawan dan Azmin. Selalu begitu saban hari bila hendak pergi kesekolah. Jarak sekolah mereka lumayan jauh. Ada sekitar tiga kilometer dari rumah mereka di Air Tawar. Rumah ini sengaja dibeli oleh Dahlan Saleh untuk anak-anaknya yang bersekolah di kota Padang. Rumah ini digunakan bahkan sampai mereka kuliah.
Selama bersekolah di sana, mereka kena pembagian jadwal. Seminggu masuk pagi, seminggu masuk siang. Ketika sekolah masuk pagi, Azmin yang membonceng Gamawan. Pulangnya, Gamawan yang memboncengkan karena hari sudah panas. Jika sekolah masuk siang, saat berangkat yang mengendarai Gamawan. Pulangnya, ketika hari sudah tidak panas lagi, maka Azmin yang memboncengkan. Begitulah, peraturan berat sebelah mereka buat dan sepakati bersama.
“Tapi, dia mau saja dengan hal itu,” tutur Azmin, seraya mengungkapkan, orang tua mereka tidak membelikan dua sepeda. Cukup satu untuk digunakan berdua dalam meretas berbagai pengalaman di kota Padang.
Mereka sekolah di SMU 1 Padang. Yang merupakan tempat favorit dari semua anak SMP di kota Padang, bila ingin melanjutkan jenjang pendidikan Sekolah Menengah Umum (SMU). Di sana, semua anak pejabat atau pengusaha di kota Padang, berkumpul.
Dalam pergaulan SMU, keduanya merasa tidak dianggap temannya. Biasalah, anak SMU tentu saja melihat sesuatu dari penampilan temannya. Murid yang ada di sana sudah memakai motor atau diantar pakai mobil. Sementara keduanya, masih naik sepeda kayuh. Boncengan lagi. Mungkin karena itulah selama SMU, Gamawan tidak punya pacar. Kalau pun dia suka seseorang, dia sadar diri. Orang itu tidak akan terjangkau olehnya. Jadi ibarat punduk merindukan bulan. Di Alahan Panjang, mereka dihargai sebagai keluarga yang berpendidikan dan terpandang. Di kota padang, mereka tidak dianggap siapa-siapa.
Semenjak sekolah, Gamawan selalu memanfatkan waktu yang ada. Pernah suatu ketika liburan sekolah, dia pulang ke Alahan Panjang dan mengecat rumahnya sendirian. Padahal tidak ada yang menyuruh. Gamawan minta ke ibunya. “Bu, saya ingin rumah ini dibagusin ya, biar saya yang mengecat,” kata Gamawan.
Gamawan masih duduk di bangku kelas satu SMU. Dari pagi sampai petang, dia mengecat rumah. Sendirian, mulai awal Ramadan sampai akhir bulan. Jadi, hampir selama satu bulan penuh. Ketika lebaran, rumah telah dicat semua. Hasil mengecatnya dipuji orang rapi dan bagus. Seperti orang yang memang terbiasa mengecat. Padahal, dia tidak pengalaman mengecat.
Apapun, di sekolah menengah atas, Gamawan kebagian masuk jurusan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial). Hal itu membuatnya ditertawai saudaranya semua. Tapi, dia tidak mempedulikannya. Dia merasa bakatnya ada di sana. Nilainya untuk matematika, fisika atau yang lain memang rendah. Tapi, untuk bidang sosial, Gamawan bisa mencapai nilai tinggi.
Selama di Padang, Gamawan dan Azmin agak leluasa mengekspresikan diri. Mereka bisa bermain dan berkeliling ke segala tempat, yang mereka inginkan. Modalnya, tentu saja dengan sepeda yang mereka punya.
Di kota Padang sedang musimnya orang main band. Di semua tempat, orang main musik. Gamawan dan Azmin menyukai pertunjukkan mereka dan berharap punya kelompok musik seperti yang selama ini disaksikannya.
Hiburan lain, bioskop di lapangan terbuka. Masyarakat menamakannya Bioskop Misbar (Gerimis Bubar). Bioskop ini terletak di Jalan Imam Bonjol. Di luar bioskop, orang menggelar berbagai jajanan, mulai Miso (mie-bakso) hingga sate. Banyak pedagang menjajakan makanan dan minuman. Bau makanan khas, membuat perut menjadi lapar, dan lidah turut pula ingin mencicipinya. Namun apa daya, uang jajan mereka sungguh cekak.
Nah, ketika ingin makan bakso, mereka harus memutar akal. Uang yang mereka pegang, hanya cukup untuk semangkok bakso. Demikian pula bila mereka menaruh sepeda di sana, harus membayar uang parkir. Maka, dicarilah akal. “Sekarang begini saja. Daan masuk, pesan satu mangkok dan sepeda saya yang nungguin di luar,” ujar Azmin, “nanti, kalau sudah setengah, Daan keluar ya.”
“Ooo...yalah.”
Gamawan pun masuk. Azmin memegang sepeda di pelataran parkir. Azmin berharap-harap cemas, jangan-jangan baksonya dihabiskan abangnya. Tak lama, terdengar suara seperti orang batuk.
“Eheg....eheg....”
Gamawan keluar dari warung, gantian Azmin yang masuk meneruskan makan baksonya.
Main Sandiwara
Ketika sekolah di kota Padang, mereka punya perkumpulan. Namanya Ikatan Keluarga Lembah Gumanti (IKLG). Perkumpulan ini bergerak dalam berbagai latar seni, mulai sandiwara hingga musik. Ketika libur sekolah, IKLG akan mengadakan acara. Mereka menetapkan penjualan harga karcis ala kadarnya, untuk hiburan rakyat ini. Harga tiketnya, pada tahun 1971, Rp 100.
Pertunjukan biasanya digelar di Gedung Nasional. Luas gedung sekitar dua puluh kali enam puluh meter. Di dalam ruangan ada semacam hall. Ada panggung dengan pintu masuk untuk para pemain dan kru. Setiap ada pertunjukan teater, segenap remaja yang ada di daerah, akan bergotong royong menghias, menata, dan merancang pertunjukan yang bakal digelar.
Penerangan digunakan hanya lampu petromak. Panggungnya sederhana saja. Dari dulu hingga sekarang masih sama. Pengeras suara yang mereka gunakan sama seperti pengeras suara di masjid-masjid.
Untuk pementasan, biasanya setiap anak rela mengeluarkan duit dari kantongnya sendiri. Waktu pelaksanaan pementasan, biasanya ketika liburan saat bulan ramadan. Atau, saat peringatan 17 Agustus. Untuk sekali pertunjukan, pemain dan kru bisa mencapai 25 orang.
Acara biasanya dimulai dari pukul 20.00 sampai pukul 24.00. Untuk pertunjukkan musik, yang jadi penyanyi hanya dua orang, Gamawan dan Azmin Aulia. Keduanya bergantian untuk menyanyi. Terkadang, kakak mereka, Erdawati, turut pula menyanyikan lagu.
Pengalaman sungguh mengesankan. Saat mereka keluar dari panggung, masyarakat yang berada di gedung, memberi tepuk tangan meriah.
Itu dalam acara musik. Bagaimana drama? Beberapa anak berdiri di atas panggung. Mereka menempati sisi kanan dan kiri panggung. Sebuah kaleng persegi dari besi berdiri di hadapan mereka. Kaleng itu setinggi lampu petromak yang mereka bawa. Lampu ini mereka letakkan di dalam kaleng besi sehingga cahaya lampunya tidak memendar ke mana-mana.
Pada salah satu sisi kaleng, mereka membuat sebuah coakan (lubang). Fungsinya, agar cahaya bisa keluar. Pada coakan itulah, mereka memasang kertas minyak. Kertas bisa diganti-ganti, sesuai dengan warna yang mereka inginkan. Kalau kertasnya merah, tentu saja cahaya yang memendar akan menjadi merah. Begitu pun, bila kertasnya berwarna hijau, biru, kuning atau warna lain. Nah, ketika cahaya berubah, maka petromak akan ditutup dengan kertas berwarna.
Di atas panggung juga terdapat layar dan krei, yang bisa ditutup dan dibuka. Bila cerita satu babak telah selesai, mereka akan menurunkan layar. Orang yang bertugas sebagai penata artistik, akan menata ulang panggung sesuai dengan jalan cerita. Ketika latar belakang panggung telah selesai ditata, layar pun dibuka lagi. Dan babak selanjutnya bisa dimulai.
Para penonton pertunjukan, duduk dengan rapi di kursi yang telah disediakan. Kursi bisa mencapai ratusan jumlahnya. Gedung pementasan teater besar bentuknya. Tak heran, bila gedung sanggup menampung ratusan orang.
Cerita yang mereka mainkan, biasanya cerita rakyat. Misalnya saja, cerita Anggun Nan Tonga, Hikayat Maling Kundang atau yang lainnya.
Dalam pementasan, mereka dilatih Suominyah dan Sahrudin Basyir (seorang guru SMP). Saat latihan, kalau cerita mengharuskan menangis atau galak, mereka harus mempraktekkannya dengan serius. Harus menjiwai naskah. Latihannya setiap hari selama liburan sekolah. Bahkan, latihan bisa berlangsung hingga larut malam. Seusai latihan, biasanya dilanjutkan dengan bertandang ke rumah teman. Tidur di sana dan makan sahur bareng. Atau, balik ke rumah orang tua untuk makan sahur di rumah.
Pada saat pementasan, orang yang datang menonton pertujukan, mesti membayar karcis. Usai pertunjukan juga akan dilakukan lelang kue. Kuenya berupa bolu, atau singgang ayam (ayam guling). Dana yang diperoleh dari pertunjukkan, biasanya untuk membantu siswa atau mahasiswa, yang sedang sekolah atau kuliah di kota Padang. Bisa juga dipergunakan untuk membeli peralatan main band yang belum terbeli, atau disumbangkan ke masjid.
Dari sandiwara, pentas tarian, mereka membeli alat-alat musik sekadarnya. Musik bagi Gamawan remaja adalah dunianya juga. Dia bahkan punya kelompok musik, dan dengan kelompoknya dia mengisi berbagai acara. Saat lebaran, misalkan, pementasan yang mereka lakukan bisa tiga malam berturut-turut. Uang yang didapat dari tiket, tidak dinikmati langsung. Mereka menggunakannya untuk membeli peralatan musik.
Sebenarnya, mereka sudah memiliki grup musik sejak duduk di bangku SMP, pada 1971. Cuma, masih pakai gitar biasa. Sejak duduk di bangku SMU, peralatan yang digunakan mulai canggih. Sudah ada gitar elektrik, gitar bass, drum, spul, dan peralatan pendukung main musik lainnya. Untuk membeli peralatan sampai lengkap, perlu waktu tiga tahun, dari tahun 1973-1976 – dengan itu tadi, menggelar berbagai pentas, termasuk pentas musik itu sendiri.
Gamawan terbilang giat berlatih. Menurut dia, saking getolnya, begitu bangun tidur, sudah pegang gitar dan membawakan lagu dari grup atau penyanyi populer di era itu. Tapi, jangan berpikir tentang lagunya grup besar seperti Led Zeppelin, Deep Purple, Rolling Stones, The Doors atau malah Pink Floyd. Lagu-lagu dari mereka belum lagi mampu mereka mainkan.
Mereka memainkan lagu dari grup band dalam negeri, yang populer di jamannya, seperti D’ Loyd, Koes Plus, Pambers, The Mercy’s, dan lainnya. Untuk mahasiswa dan lebih senior, biasanya menyanyikan lagu The Beatles. Buat mereka, lagu itu sudah sangat aneh sekali dan sudah dianggap luar biasa.
Dalam kelompoknya, IKLG, Gamawan kebagian vokal merangkap gitar melodi. Azidal Azis sebagai rhythm, Gus Firman drummer, Islamidar bassist. Posisi itu bisa saja berganti-ganti. Azmin Aulia ketika itu juga sudah jago main gitar, drum dan menyanyi.
Mereka merupakan kawan akrab dan sering berkumpul, untuk menyalurkan kegemaran bersama. Sering pula menginap bareng di rumah Gamawan. Karenanya, di dalam kamarnya, terkadang sampai ada tujuh orang tidur bareng.
Saat mereka main gitar, orang tua Gamawan hanya berkata; “Bisa kenyang main gitar tuh?”
Gamawan memaknai ucapan ayahnya, tidak berkenan dia menekuninya. Meski begitu, ayahnya tetap membolehkan main gitar. Yang membuat inisiatif membentuk grup band, mereka sendiri. Dan mereka bermain musik secara otodidak. Tidak ada yang mengajari. Buku tentang musik juga tidak ada. Belajar gripnya juga itu-itu saja. Belum ada televisi di sana, praktis mereka pun tak bisa melihat cara orang bermain musik untuk dicontoh.
Cara mereka mencari lagu baru juga cukup sederhana. Dengan mendengarkan lagu dari sebuah tape. Kebetulan, abang Gamawan yang paling besar, Adrizal Dahlan, sudah mencari duit dan usahanya bagus. Bang Iza inilah yang membeli kaset. Mereka datang ke rumah bang Iza dan mendengarkan musik yang diinginkan. Mencari-cari saja, apa gripnya. Cara lain, mereka belajar dengan teman selama di kota Padang.
Gamawan suka dengan grup Pambers, dan Azmin lebih mengidolakan Koes Plus. Cara menentukan lagu untuk mereka latihan, lagu mana yang menurut mereka enak untuk dimainkan. Lagu itulah yang akan mereka pelajari.
Pengalaman yang mereka dapatkan dalam bermain musik, adalah tentang kekompakan. Dan ini pengaruh Gamawan. “Jadi gimanalah ya, ada yang membuat saya betul-betul heran juga. Pak Gamawan itu sabar. Dan mungkin ketelatenanya, dia juga orang yang tidak nakal,” ujar Azidal, teman Gamawan sejak kecil – yang hingga kini masih tetap berteman; suatu tali persahabatan yang panjang, hampir sepanjang usia mereka.
Dengan kesabarannya, Gamawan mengkordinasikan temannya. Ibaratnya, sutradara, pemainnya, acaranya, dialah pokoknya. Biasanya, kalau ada pesta, pernikahan, sunatan atau apa, mereka akan datang dan bermain di sana sekalipun mereka tidak diundang. Dan di tempat orang hajatan, paling cuma dijamu dengan makan saja.
Tak apa, pikir mereka. Terpenting, hobi tersalurkan.
Kuliah Ilmu Sosial
“Saya satu-satunya keluarga yang tidak mengambil eksak,” kata Gamawan.
Ketika duduk di bangku sekolah dasar, nilai mata pelajaran pengetahuan umum sepuluh, bahasa sepuluh dan matematika delapan. Di Sekolah Menengah Pertama, nilainya juga begitu. Nilai sosialnya lebih tinggi. Begitu pun saat duduk di Sekolah Lanjutan Umum. Sebenarnya, dia diperbolehkan mengambil IPA. Namun, dia memilih IPS.
Ada pengalaman menarik semasa kecil, yang membuatnya memutuskan untuk mengambil jurusan hukum. Dari kecil, salah seorang kakak ayahnya, selalu memanggilnya “jaksa”. Pamannya, Burhan Sutan Batuah, seorang saudagar kain, memulai sebutan itu saat bertandang ke rumah orang tuanya. “Jaksa mana?”
Gamawan tidak tahu, apa pula penyebab pamannya itu memanggilnya “jaksa”.
“Mungkin saya kritis,” kata Gamawan.
Pamannya sangat sayang pada Gamawan. Burhan meminta pada orang tua Gamawan, untuk mengajaknya tinggal di rumahnya. Dahlan Saleh mengijinkan. Gamawan pun tinggal di rumah Burhan selama enam bulan. Saking sayangnya, Gamawan sering dimandikan istrinya. Waktu itu masih SD. Pamannya ini mempunyai anak yang umurannya sebaya. Namanya, Zolina. Biasa dipanggil Elin. Sekarang tinggal di Indarung.
Ada satu lagi paman dari ibu yang sekaum, sekandung. Dia seorang pedagang kopi namanya Datuk Rajo Nan Sati. Dia juga tak jauh-jauh menggelari Gamawan dalam istilah hukum. Gamawan dipanggil “Meester in de Rechten”.
Pamannya pernah bercerita pada Gamawan. Saat berperkara, yang membelanya adalah “Meester in de Rechten”. Profesi pengacara sepertinya menjadi idolanya. Makanya, kalau ketemu Gamawan, memanggil Meester in de Rechten.
Dialah pemilik gelar Rajo Nan Sati. Gelarnya turun ke Gamawan. Padahal, seharusnya ada generasi ditengah lagi, yang berhak menerima gelar. Harusnya paman Gamawan terlebih dahulu. Tapi, pamannya setuju. Dan mereka datang beramai-ramai ke rumah.
Pengalaman masa kecil itulah yang mendorong Gamawan membuat sebuah pilihan untuk mengikuti kuliah hukum. Dia memulai pilihannya dengan mendaftar di Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand), satu-satunya fakultas yang dia lamar dan inginkan. Dia yakin sekali dengan hal itu. Tak ada keberatan dari orang tua. Mereka bahkan mendorong pilihan Gamawan ini. Dan pilihan Gamawan membuat keluarga mereka penuh warna: ada yang berlatar kimia, teknik, agama, kedokteran, ada juga pertanian.
Saat kuliah, Gamawan masih naik sepeda ke kampus. Padahal, Azmin sudah diberikan motor. Gamawan tidak pernah protes dengan hal itu. Dia terima apa adanya. Walaupun, dalam struktur keluarga, Azmin adalah adiknya.
Meski sama-sama kuliah di Unand, tapi fakultas mereka lain sehingga tempat kuliah mereka pun berjauhan. Adiknya kuliah di Fakultas Pertanian. Letak fakultasnya sekitar lima kilometer dari rumah. Sementara Fakultas Hukum, terletak satu kilometer dari rumahnya. Pada waktu kuliah, Azmin dan Gamawan punya kehidupannya sendiri. Gamawan aktif di berbagai kegiatan, mulai senat mahasiswa, klub belajar, HMI dan lainnya. Adiknya lebih senang di kegiatan band.
Mungkin, inilah masa agak sulit dalam keluarga. Bayangkan, semua anak telah mulai kuliah dan membutuhkan biaya. Padahal, Dahlan Saleh sudah mulai pensiun. Untunglah, seluruh anak Dahlan Saleh kuliah di perguruan tinggi negeri. Lebih beruntung lagi, sejak masuk pertama kali hingga selesai kuliah, Gamawan tidak membayar uang kuliah. Dia mendapat beasiswa.
Gamawan mengambil jurusan hukum pemerintahan, bukan hukum pidana atau hukum perdata, dalam penjurusannya. Pilihan itu lahir dari Gamawan sendiri, saat penjurusan biasanya tingkat tiga. Selama kuliah, Gamawan melihat hukum pemerintahan lebih dinamis, dibanding dengan hukum pidana atau perdata. Hukum pidana pasalnya tidak berubah, dan hanya kasusnya saja yang berubah. Begitu pula dengan hukum perdata, permasalahannya seputar perjanjian, perikatan, dan kontrak.
Pendidikan yang keras dan ketat dalam keluarga, membuat dia tidak bersikap macam-macam selama menjalani perkuliahan. “Sebagai seorang pemuda dan mahasiswa, sosoknya ketika kuliah sangat sopan. Tapi, dia bisa masuk ke semua orang,” kata Handra.
Dia bisa masuk ke semua pergaulan, mulai dari mahasiswa, orang biasa, bahkan sampai preman sekali pun. Gamawan bisa berinteraksi di sana. “Yang pertama kali saya garis bawahi dari Gamawan adalah masalah attitude,” kata Ilhamdi. Sikap dan pembawaan Gamawan dinilai beberapa temannya tidak banyak tingkah.
Aktif Berorganisasi
“Dia sangat efektif dalam mengelola waktu,” kata Ilhamdi.
Selama kuliah, Gamawan mengikuti banyak kegiatan. Bahkan bisa dikatakan terlalu banyak sisi kehidupan ingin dicoba, sejak lini olah raga sampai kesenian. Dia malah menekuni aktivitas Resimen Mahasiswa (Menwa). Kepemimpinannya muncul sejak awal duduk di bangku kuliah. Pada tahun pertama, misalnya, Gamawan sudah menjadi wakil senat.
Pergulatan pemikiran pun dia jalani. Dia berdiskusi dengan siapa saja. Ada hal-hal baru, pasti akan dia diskusikan. Gamawan tidak tergantung dengan ruangan. Bisa di mana saja. Di warung, pojok kampus atau di mana pun.
Setelah peristiwa Malari 1974 , hampir semua kegiatan kemahasiswaan dikontrol pemerintah. Pemerintah Orde Baru memperketat semua kegiatan mahasiswa. Organisasi-organisasi mahasiswa seolah tidak mampu berkutik. Apalagi setelah diterapkannya NKK/BKK pada tahun 1978, sebagai kepanjangan tangan dari militer di kampus, untuk menggantikan Dewan Mahasiswa.
Iklim yang tak kondusif untuk berorganisasi, tak membuat Gamawan ikut-ikutan jadi mahasiswa apatis. Dia masuk berbagai organisasi, antara lain HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Di organisasi ini, Gamawan bertemu dengan kolega-koleganya dari berbagai kampus di Sumatra. Gamawan bisa datang ke Medan atau daerah lain di Indonesia. Sewaktu ada konggres HMI di Medan, tahun 1982, dia telah menjadi seorang master of training.
Selama mengikuti berbagai kegiatan kampus itulah, terlihat sosok Gamawan yang berbeda dengan mahasiswa lain. Misalnya saja, selama menjadi aktifis kampus. Aktifis kampus identik dengan tidur di kampus, dan suka hura-hura. “Kalau Gamawan tidak. Dia baik-baik dan konsisten. Ini mungkin saya kira masalah agama,” tutur Ilhamdi, senior Gamawan.
Selama menjadi ketua Senat Mahasiswa Unand, Ilhamdi tentu saja memperhatikan dan mencari tahu, siapa yang kira-kira bisa mengantikan sebagai ketua senat. Untuk menjadi ketua senat, tidak cukup hanya pintar. Tapi, harus berani bertarung dan sedikit “berwatak preman”. Sementara Gamawan merupakan sosok yang kalem.
Tapi, sejatinya menurut Ilhamdi, untuk menjadi seorang pemimpin ada tiga kriteria yang harus dimiliki. Pertama, dia harus mencari tahu dan memberi tahu. Kedua, menjadikan dirinya suri teladan. Hal itu tentu saja dibuktikan dengan ucapan dan perbuatan. Ketiga, suka diskusi dan berdebat, dan siap menerima kritikan.
Bagi Ilhamdi, Gamawan memenuhi tiga kriteria itu. “Gamawan suka dialog. Dia memahami kompleksitas,” kata Ilhamdi.
Pada saat mau mendaftar sebagai kandidat ketua senat, Gamawan dianjurkan untuk mendaftar tahun berikutnya saja oleh teman-temannya. Akhirnya dia mengalah, dan mengikuti pelatihan kader HMI tingkat intermediate di Medan.
Yang menjadi calon ketua senat saat itu adalah Iskandar Lubis. Dan Lubis menjadi ketua senat. Sebagai wakilnya, Gamawan terpilih menjadi wakil ketua senat. Setelah Iskandar Lubis lulus dari Unand, Gamawan menggantikan posisi Iskandar Lubis menjadi ketua senat.
Gamawan aktif di senat dari tahun 1979-1981. Selama satu setengah tahun dia menjadi wakil ketua senat dan setengah tahun berikutnya menjadi ketua senat.
Vita Nova
Selain mengikuti berbagai kegiatan, Gamawan juga ikut dalam sebuah kelompok belajar. Pada tahun 1978, dia aktif di kegiatan ini. Di sana, dia bersama delapan orang lainnya. Salah satunya adalah Vita Nova. Vita mengambil jurusan Hukum Perdata.
Dalam kelompok belajar, mereka mendiskusikan mata kuliah yang didapatkan. Begitu pun kalau ada tugas dari satu mata kuliah, mereka akan bekerja sama untuk membuat tugas. Vita juga ikut dalam kegiatan HMI. Namun, dia kurang begitu aktif.
Dalam setiap ujian kuliah, mereka terus berpacu agar sampai ujian akhir. Kebetulan, hasil ujian yang mereka peroleh, selalu menonjol dan bagus.
Selain kegiatan belajar bersama, mereka pun pernah mengadakan acara kemah bersama. Acara ini juga dibarengi dengan acara bakti sosial di masyarakat. Kebetulan, Gamawan yang memimpin kegiatan.
“Saya banyak faktor keberuntungan, bisa dekat dengan bapak. Ada suatu acara dan kita selalu sama-sama ikut,” ujar Vita. Misalnya saja, ketika ada penelitian tanah ulayat di Bukit Tinggi, 1981. Proyek penelitian dilakukan oleh dosen. Dan mereka terpilih untuk ikut. Banyak hal bertemu dalam rangka belajar, dan kalau ada acara.
Pada tahun 1979, Gamawan menyelesaikan mata kuliahnya. Begitu pun Vita Nova. Mereka melakukan praktek lapangan. Padahal, teman yang seangkatannya, belum mendapat jatah untuk melakukannya. Akhirnya, mereka bergabung dengan angkatan di atasnya (angkatan 1976), untuk melakukan praktek lapangan.
Saat praktek lapangan, mereka bersama. Kebetulan, keduanya selesai lebih cepat dari teman lainnya. Dalam praktek lapangan, jumlah mereka di satu tempat tidak lebih dari sepuluh orang. Mereka melakukan praktek lapangan di Kabupaten Limapuluh Kota, namun beda kecamatan. Vita di Kecamatan Luhak.
Gamawan mengisi kegiatannya di sana, dengan penyuluhan hukum ke masyarakat. Seminggu sekali dia pulang ke Padang. Ketika pulang itulah, mereka janjian pulang bareng. Kalau keduanya tidak pulang ke Padang, Gamawan akan datang ke tempat Vita melakukan praktek lapangan. Di sana, dia juga melakukan penyuluhan hukum pada masyrakat. Begitu pun sebaliknya. Ketika berkunjung, mereka biasanya saling membawa makanan.
Kebetulan, ketika mereka melakukan praktek lapangan, keduanya sama-sama indekos. Induk semang mereka juga baik dan menganggap mereka seperti anak sendiri. Selesai melakukan praktek lapangan, mereka kembali ke kampus. Selama kuliah, Gamawan tidak ada mata kuliah yang mengulang.
Dia lulus pertengahan Maret 1982, dan diwisuda bareng angkatan 1976. Dia lelaki paling lulus tercepat di angkatannya, empat tahun delapan bulan. Begitu pun Vita Nova. Dia lulus pada September, 1982, sekaligus jadi perempuan yang lulus tercepat di angkatannya. ■
BAGIAN IV
Lepas Kuliah
“Mulai sekarang bapak jangan pikirin saya,” ujar Gamawan Fauzi pada orang tuanya, begitu menamatkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Andalas. Bukan sebuah pernyataan untuk mulai melakukan pemberontakkan. Dia hanya meminta sang ayah berhenti menopang kebutuhan dirinya. Gamawan ingin hidup mandiri.
Permintaan nekad, sesungguhnya. Saat itu, Gamawan belum lagi punya penghasilan sepeser pun. Jangankan jadi pegawai suatu instansi, bahkan dia baru saja mengajukan surat-surat lamaran, mulai Dinas P&K, pemerintah daerah, hingga bank. Sementara menunggu panggilan, dia bekerja sebagai pengacara di Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Padang, pada akhir April 1981. Dan ini tak bergaji. “Tak apa-apa,” katanya. Hidup tanpa gaji, tak membuat Gamawan bekerja asal-asalan. Dia sering bekerja sampai larut malam, malahan menginap di LBH. Alhasil pondokannya di kampung Air Tawar, kota Padang, sering tak berpenghuni.
Bekerja di LBH di masa itu bukan pekerjaan ringan. Lebih-lebih bila bersentuhan dengan isu hak azasi manusia. Pemerintahan Orde Baru yang represif tidak mengizinkan warganya untuk membuka mulut lebar-lebar. Fase ini disebut-sebut sebagai fase terberat bagi berlangsung proses demokrasi di negeri ini. Nyali Gamawan tak kendur menghadapi situasi ini. Dia bekerja sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dia melakukan advokasi berbagai kasus di kota Padang dan sekitarnya.
Melihat Gamawan rajin bekerja dan dinilai mampu dalam melakukan tugasnya, direktur LBH saat itu berkata padanya, “Kamu di sini sajalah.”
“Ok.”
Kini Gamawan jadi pekerja tetap dengan gaji Rp 75 ribu sebulan. Hitungannya, setara dengan “tiga emas.” Dan “satu emas” sama dengan tiga gram. Dia dibolehkan mengambil dua perkara perdata, sebagai ekstra. Ini sebuah kompensasi, karena gaji sebesar itu tidak akan cukup.
Selama menjadi pengacara, Gamawan merasa heroik, merasa jadi seorang pejuang. Heroisme yang diingatnya adalah ketika menangani kasus yang menimpa seorang pedagang kopi di Nagari Sicincin, Padang Pariaman. Kebetulan dia berkonflik dengan seseorang, yang punya saudara di Komando Distrik Militer (Kodim). Kasus ini disulut oleh konflik keluarga. Pedagang kopi ini rupanya seorang eks Tapol (tahanan politik).
Gamawan melaporkan si tentara kepada Letnan Kolonel Iman Nurimam, Komandan Kodim (Dandim). “Staf bapak telah merusak orang lain,” kata Gamawan, seraya menuturkan bahwa si tentara menendang si pedagang kopi dengan sepatu larsnya berkali-kali. Sebagai bukti, Gamawan memperlihatkan luka lebam di betis pedagang kopi.
Bukannya laporan ditanggapi, Dandim malah mengancam Gamawan, “Saudara jangan macam-macam, ya!”
Suatu ketika, Gamawan pernah ketemu dengannya pada suatu rapat sesama bupati. Tapi, Dandim itu tidak mengenalinya. Gamawan masih mengingatnya. Dia hanya tertawa saja dalam hati. Si Dandim telah menjadi bupati salah satu kabupaten di Kalimantan.
Pernah suatu kali Gamawan berada di persidangan, dalam sebuah kasus perdata. Kliennya malah diacam seorang preman terkenal di daerah itu. Kliennya meronta-ronta dan hendak lari dari tempat persidangan. Gamawan memegangi kliennya dan menghadapi preman.
“Saya ini ditugaskan bupati. Bapak siapa?”
“Saya pengacaranya.”
“Kalau begitu, kita berhadapan.”
“Boleh.”
Si preman membawa-bawa nama Bupati. Gamawan tak suka dengan orang seperti ini.
Akhirnya, Gamawan melaporkan preman pada ketua pengadilan. Yang dilapori, memerintahkan polisi untuk menangkap si preman. Gamawan masih ingat, saat itu yang menangani Kapten Pardede.
“Pak, mau dilanjutkan atau bagaimana?” kata kapten Pardede.
“Ini kan sudah ancaman.”
Preman dibentak-bentak polisi. Gamawan mengira bakal dicegat preman. Dia sudah bersiap-siap. Ternyata tidak ada apapun, saat dia pulang ke rumah.
Berbagai kasus yang ditekuni tak membuat hidup Gamawan berkecukupan. Dia tetap hidup dari gajinya. Sekalinya ada pemasukan dari luar, paling-paling berupa buah-buah atau ayam. “Setahun sebagai pengacara. Tapi, saya melarat betul,” ujar Gamawan. Dia menerimanya dengan hati lapang. Dia sadar, sebagai pengacara LBH, urusannya lebih banyak bersentuhan dengan mereka yang tak punya uang untuk membayar perkara.
Nasib pelan-pelan berubah. Beberapa panggilan kerja, buah dari surat lamarannya, mulai berdatangan. Gamawan bahkan diterima di beberapa instansi pada saat bersamaan. Dia diterima menjadi dosen di Kopertis (Kordinatorat Perguruan Tinggi Swasta), bank, pemerintah daerah dan departemen pendidikan. Untuk menetapkan pilihan, Gamawan melakukan salat istiharah. Dia akhirnya memilih kerja di pemerintah daerah.
Jadi Pegawai Negeri
Gamawan diangkat sebagai pegawai negeri pada bulan November 1983.
Sesuai pengangkatan, Gamawan ditugaskan di Kantor Dinas Sosial dan Politik (Ditsospol) di daerah Pesisir Selatan.
Tugas itu tak pernah dijalaninya.
“Kamu tinggal sini ya, tolong bikin surat,” kata Nawawi Syatha, kepala Direktorat Sosial Politik Sumatera Barat, memerintahkan anak buahnya untuk membuat surat keputusan baru bagi Gamawan. Syatha melakukan perubahan surat itu setelah melihat potensi Gamawan saat menjalani orientasi dan pendidikan bagi calon pegawai baru bersama 30 orang lainnya.
Dalam orientasi, Syatha melakukan wawancara langsung pada Gamawan. Dari hasil wawancara itu, Syatha terkesan pada Gamawan. Katanya, dia sangat menguasai hukum tata negara, yang saat itu memang dibutuhkan oleh Pemda Sumbar.
Syatha juga punya pandangan kalau Gamawan adalah seorang pemeluk muslim yang taat, jujur dan teguh dalam memegang prinsip. “Kalau memang merasa betul, akan dia perjuangkan sampai berhasil. Apa yang menjadi pendiriannya itu.”
Kadang Syatha bahkan diceramahi soal agama. Syatha sendiri tak keberatan untuk “berguru agama” pada Gamawan, mulai masalah salat, puasa, dan lainnya. Syatha sering diingatkan Gamawan kalau belum salat. “Soalnya pada waktu itu, saya juga masih plentang-plentong dalam hal menjalankan agama, terutama masalah salat lima waktu,” kata Syatha.
Baru beberapa hari setelah mulai bertugas di Ditsospol, Gamawan terpilih mengikuti seleksi pendidikan Intelijen Strategi di Jambi. Seharusnya Gamawan waktu itu belum berhak mendapat jatah pendidikan. Pemda Sumbar mengirim tujuh orang untuk mengikuti tes itu. Tiga di antaranya lulus, termasuk Gamawan. Saingan Gamawan, banyak berguguran saat tes IQ , yang berlangsung mulai pukul 08.00 hingga 19.00 itu. Beberapa di antaranya muntah-muntah.
Gamawan kemudian dikirim ke Bogor. Selama tiga bulan pelatihan, dia terus menunjukkan prestasinya. Dalam evaluasi belajar yang diadakan sepekan sekali, Gamawan selalu berada pada posisi lima besar. Padahal, waktu itu pesertanya adalah orang-orang yang telah memiliki pangkat atau jabatan. Pesertanya sendiri tak hanya pegawai negeri, tapi juga tentara, polisi, yang pangkatnya setingkat kapten atau mayor, dan para pegawai pemerintahan yang pangkatnya sudah setingkat kepala seksi. Gamawan sendiri masih staf biasa. Karena terpilih pada peringkat lima besar, Gamawan jadi komandan regu untuk seluk-beluk pelatihan bergaya militer.
Meskipun banyak peserta lain memiliki latar belakang militer, Gamawan tidak merasa canggung. Latihan fisik ala militer dia lakoni dengan baik. Maklum, dia juga pernah di resimen mahasiswa, selain belajar karate.
(Ketika di resimen mahasiswa ini Gamawan pernah merasakan gemblengan ala militer selama satu bulan. Di pendidikan dasar resimen mahasiswa yang dilaksanakan di Komando Pendidikan dan Latihan (Kodiklat) Lapai, Sumatera Barat, Gamawan juga dilatih menggunakan pistol dan senjata laras panjang. Awal pendidikan Gamawan sangat senang karena bisa merasa pegang senjata. Ketika pelatihnya memberikan senjata itu padanya, Gamawan mengacung-ngacungkan senjata itu pada teman-teman lainnya. Ulah Gamawan ini diketahui oleh Letkol Soemarno, komandannya.
“Hei, sini kamu. Senjata itu bukan untuk mainan!”
“Siap, Pak!”
“Sekarang, kamu menghadap tiang bendera dan beri hormat pada tiang bendera itu.”
Gamawan melaksanakan hukuman dari komandannya itu selama setengah hari, dari pukul 13.00 hingga pukul 17.00. Sementara peserta lainnya mengikuti aktifitas lainnya, Gamawan tetap di tengah lapangan, berdiri tegap dengan tangan di atas pelipis.)
Sepulang dari Bogor, Gamawan ditempatkan di Seksi Pengamanan Budaya dan Orang Asing, di bawah kepemimpinan kepala seksi Amri Zakaria.
Tugas pertama yang Gamawan lakukan adalah membuat nota pelaporan kerja. Kafrawi, salah satu staf di sana mengajari Gamawan bagaimana cara membuat laporan, dari sistematikanya, isi, data, fakta, analisa, sampai kesimpulan.
Menurut Kafrawi dan Sarimo, juru tik di situ, hanya dalam waktu dua minggu, Gamawan menguasai pekerjaannya itu. “Masalah menyelesaikan pekerjaan, Gamawan luar biasa cepatnya,” kata Kafrawi, yang waktu masih golongan II A sementara Gamawan sudah III A.
Satu tahun di Ditsospol, Gamawan diangkat menjadi kepala seksi menggantikan Amri Zakaria pada 1985.
Sekadar untuk tahu saja, seksi yang dipegang Gamawan sering disebut “seksi basah”. Banyak sekali peluang untuk mencari uang, karena berkaitan dengan orang asing dan menyangkut masalah perizinan. “Kalau ada yang minta izin, kita buatkan. Dan ada teman-teman yang agak jahil minta uangnya, kemudian ada duta besar datang kita dampingi. Dalam pendampingan itu motivasi adalah mengharapkan imbalan segala macam,” kata Kafrawi.
Tabiat itu berubah sejak Gamawan berada di sana. Praktek “jual beli perizinan” segera dimonitor dan Gamawan mengharamkan pegawainya memungut uang satu sen pun. Begitu juga kalau mereka mendampingi tamu-tamu negara, entah duta besar atau orang-orang asing lainnya.
Pernah suatu saat para staf Gamawan kedatangan tamu yang akan mengadakan penelitian di Padang. Mereka membuat kesepakatan untuk menarik biaya pada orang yang akan melakukan penelitian itu. Padahal, Gamawan sudah mengingatkan kepada seluruh stafnya agar tidak menerima uang dari siapa pun. Juga kepada Kafrawi.
“Kalian tidak boleh terima-terima uang dari orang.”
“Ya, Pak, ” jawab Kafrawi.
Tapi di belakang Gamawan, Kafrawi dan kawan-kawan melakukan kesepakatan untuk memungut biaya dari orang-orang yang akan pengurus perizinan tersebut. Karena kebetulan waktu itu ada salah satu staf yang akan mengurus kenaikan pangkat berkala dan dimintai uang di bagian kepegawaian. Kafrawi menyampaikan perihal pungutan biaya kenaikan pangkat itu.
“Pak, kami mau pungut biaya dari orang-orang yang ingin membuat izin.”
Gamawan menolak tegas permintaan izin itu. Dia bahkan marah. Namun Kafrawi masih tetap menyampaikan argumen. “Kita kalau mau ngurus surat kenaikan pangkat, dimintai biaya. Kalau tidak kasih, kita tidak bisa naik pangkat. Kenapa kita juga tidak pungut biaya yang membuat izin pada kita?”
Gamawan tetap menolak. “Kita sudah punya gaji. Walaupun kita dipungut bayaran oleh orang lain, kita jangan menarik bayaran dari mereka. Itu urusan orang, urusan kita harus bekerja dengan jujur.”
Dengan alasan sudah mendesak, Kafrawi dan kawan-kawan akhirnya tetap melakukan pungutan dengan dalih biaya fotokopi perizinan. Akhirnya waktu itu terkumpul hampir Rp 700.000. Disepakati uang itu dibagi rata. Untuk Gamawan, disiapkan Rp 375.000.
Ketika Kafrawi menyampaikan uang itu, Gamawan sangat kesal dan marah. Dia menolak uang itu. Waktu itu semua staf bingung. Mau diapakan uang yang dijatahkan untuk Gamawan itu. Akhirnya mereka berembug lagi dan menemukan kesepakatan untuk membelanjakan uang itu untuk keperluan kantor. Dibelilah kompor listrik. Gamawan tidak tahu.
PNS yang Kritis
Sejak pertama menjalani orientasi sebagai pegawai negeri, Gamawan dikenal kritis. Beberapa tutor tidak suka dengan Gamawan yang juga menjadi ketua kelas, bahkan ada yang tidak mau mengajar lagi karena sering “dijudesi” Gamawan.
“Itu anak yang baru kok sok-sok-an....” kata salah satu kepala seksi yang mengajar Gamawan.
Gamawan enteng-enteng saja dalam mengajukan berbagai pertanyaan. Kalau ada yang mengancam akan memecat dia karena sikapnya yang demikian, Gamawan seperti tak peduli. “Kalau mau dipecat, ya pecat sajalah,” katanya.
Sikap Gamawan justru membuat Nawawi Syatha terkesan. Dia senang sikap kritis Gamawan. Karenanya Nawawi Syatha kerapkali membawa Gamawan dalam rapat-rapat di Ditsospol. Dalam sebuah rapat tentang bagaimana memberikan hukuman terhadap suatu kejahatan, Gamawan tidak setuju dengan konsep negara melakukan tindakan langsung. “Pak, kita memang memahami tindakan itu demi stabilitas, tapi saya lihat tidak ada lagi hak (azasi) kok di sini. Tidak sedikit pun (hak azasi) dihargai. Bagaimana hak asasi mendapat peluang di sini,” kata Gamawan.
Pelanggaran itu, menurutnya, jangan langsung disikapi dengan tindakan langsung, harus juga dilihat dari aspek lainnya, sehingga penindakan bisa dimulai dari teguran dan kesempatan untuk memperbaiki dirinya, dipanggil dan dinasehati. “Tidak usah langsung dikerangkeng.”
Di mata Nawawi Syatha, Gamawan orangnya cukup “vokal”. Pada zaman orde baru, jarang memang pegawai negeri yang berani menyarankan sesuatu sesuai hati nuraninya. Tidak bagi Gamawan. Kalau dia merasa benar, Gamawan langsung memberikan saran. Gamawan bahkan berani menyatakannya kepada Nawawi Syatha sekalipun. “Dia berani dan terbuka, banyak orang menilainya sebagai pegawai yang vokal.”
Dalam setiap rapat untuk memecahkan masalah, Gamawan selalu punya usul untuk melakukan tindakan pengamanan. Umpamanya pengamanan dalam tubuh KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia), yang dianggotai berbagai unsur organisasi kepemudaan, termasuk Himpunan Mahasiswa Islam(HMI) dan Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Gamawan tahu, di sana banyak “suara vokal”. Gamawan menawarkan solusi dengan membatasi ruang gerak suara tersebut, misalnya dengan memasukkan ke dalam struktur KNPI, tapi tanpa ruang yang luas untuk bergerak. “Kadang orang yang vokal itu tidak selamanya idealis. Bisa saja dia tidak mendapat perhatian,” kata Gamawan.
Kafrawi menilai cara itu moderat, memperbaiki tanpa merusak.
Gamawan punya falsafah “andai kata saya ini dia” dalam menyelesaikan masalah apapun. Karena falsafah itulah terkadang Kafrawi dan rekan-rekan lain sekantornya merasa Gamawan pegawai yang “ekstrim”. Dia selalu mengoreksi pemerintah berdasarkan versi dia. Dia termasuk orang yang melihat bahwa pemerintah ini terlalu bersikap semena-mena.
Keinginan untuk mengoreksi bisa datang setiap saat, termasuk ketika Direktur Jenderal Sosial Politik (Dirjen Sospol) Hari Soegiman datang ke Padang dan melakukan dialog dengan Kepala Kantor Direktorat Sosial Politik Sumatera Barat dan staf-stafnya. Gamawan menggunakan kesempatan itu untuk melontarkan kekritisannya. “Pak Hari mengapa ada undang-undang melarang partai-partai untuk membentuk ormas-ormas yang berafiliasi dengan partai, padahal kita sendiri melakukan itu.”
“Anda siapa?” balas Soegiman.
“Gamawan, Pak.”
“Anda tahu, masalah itulah yang saat ini sedang dibahas di pusat.”
Saat Gamawan mau mengajukan pertanyaan lagi pada Hari Soegiman, yang khawatir justru Nawawi Syatha, atasannya itu. “Gamawan itu kan orangnya kritis, saya khawatir dia nanya yang macam-macam.”
Hal terberat yang pernah dialami Gamawan selama di bidang pengamanan adalah isu kristenisasi. Muasalnya, di wilayah Batu Sangkar ada isu akan didirikan gereja, padahal di situ seluruh penduduknya beragama Islam. Isu berawal ketika ada seorang non-muslim membeli tanah selebar 100 meter persegi. Awalnya, tanah itu dibangun sebuah rumah biasa, tapi lama-lama dijadikan tempat kebaktian dan diduga akan dijadikan rumah ibadah yang permanen. Penduduk langsung bereaksi.
Gamawan dan beberapa staf pergi ke lapangan untuk melihat fakta tersebut. Gamawan berfikir, bagaimana ibadah itu tidak dihentikan, karena mereka juga butuh beribadah. Untuk menghindari gejolak sosial, Gamawan menawari mereka untuk kebhaktian di Aula Kodim. Keresahan usai.
Menyambung Kisah-Kasih
Sebelum membahas karir Gamawan sebagai pegawai negeri, mungkin ada baiknya melakukan kilas balik untuk melihat kembali latar Gamawan meninggalkan LBH dan memutuskan jadi pegawai negeri. Sesungguhnya ada banyak versi, dan orang boleh menebak sesuka hati latar belakang itu. Satu hal yang tak terbantahkan, di sana Gamawan punya kesempatan untuk merentangkan tali kasih dengan teman sekampusnya, Vita Nova. Tapi, siapakah Vita Nova yang selama ini ada di hati Gamawan itu?
Vita terlahir di Jakarta. Tepatnya, di Rumah Sakit Budi Kemuliaan. Kata si empunya cerita, Vita Nova bisa berarti “hidup baru”. Nama ini diambil dari sebuah novel karya pengarang Perancis, Dante. Orang tua Vita Nova merasa memiliki suasana dan hidup baru saat mereka melahirkan anak pertamanya.
Ayah Vita Nova bernama H. Firdaus Chaerani, SH. Dia seorang hakim. Jabatan ini membuat hidupnya selalu berpindah-pindah, seiring penugasan. Beberapa daerah pernah ditempati hingga Vita harus belajar di banyak sekolah. Masa sekolah dasar (SD) hingga SMP dihabiskannya di Koto Malatak, Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Ketika ayahnya harus pindah tugas ke Aceh, Vita memilih tetap tinggal di Bukit Tinggi. Dia sekolah dan tinggal di sana bersama neneknya. Vita sekolah di SMA 1 Bukit Tinggi.
Ibunya, Juana, meninggal ketika ayahnya mendapat tugas di Yogyakarta. Kemudian ayahnya menikah lagi. Ketika Vita Nova mengambil kuliah di Padang, ayahnya menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Riau dan Kerinci (1976-1982). Firdaus pensiun dengan pangkat terakhir sebagai Hakim Agung.
Menurut Vita, karena pengalaman dengan hidup selalu berpindah itulah, yang membuat dirinya tidak mau menjadi seorang hakim sebagaimana sang ayah. Vita lebih memilih kerja di pemerintah daerah. Hitungannya, kalaupun harus pindah tugas, paling-paling di seputar Sumatera Barat.
Saat menjalani tes kepegawaian di penghujung tahun 1982, Vita Nova tak sendirian. Dia menjalaninya bersama kekasihnya, Gamawan. Tahun 1983, bersama 23 orang lainnya, Gamawan dan Vita Nova dinyatakan lulus.
Vita Nova ditempatkan di Inspektorat Wilayah Batu Sangkar, Kabupaten Tanah Datar. Dia bertugas sebagai tenaga pengawas.
Sama-sama menyandang status pegawai negeri, membuat hubungan mereka makin serius. Dan, akhirnya, mereka naik pelaminan. Pada 12 Oktober 1984, keduanya menikah tanpa perayaan besar-besaran.
“Bapak itu penyayang keluarga. Beliau orangnya baik, pintar dan taat agama. Bapak tidak pernah bicara kasar, dan ini memang sudah didikannya. Bergaulnya juga supel dan tidak memilih teman. Sampai jadi bupati saya lihat seperti itu juga dan tidak berubah,” tutur Vita Nova, menceritakan mengapa dia memilih Gamawan sebagai pasangan hidupnya.
Pernikahan itu sendiri diputuskan keluarga kedua belah pihak. Gamawan sendiri malahan tak bisa menghadiri acara lamaran. Dia sedang berada di Bogor, mengikuti pendidikan strategi intelejen selama tiga bulan. Pendidikan ini dilaksanakan secara nasional. Pesertanya seluruh kepala sosial politik tingkat pemerintah daerah dua (kabupaten/kotamadya) se-Indonesia. Pendidikannya ala militer, mulai fisik sampai teori.
Dalam pendidikan ini, Gamawan mendapatkan peringkat ke satu sekaligus peserta terbaik. “Pulang dari sekolah kulitnya hitam. Karena naik gunung segala, macam pendidikan militerlah,” tutur Vita.
Menikah tidak berarti mereka hidup dalam satu atap. Sering sekali mereka terpisahkan oleh tugas, dan hanya bertemu seminggu sekali. Banyak teman Gamawan yang menasehati agar Gamawan tak terlampau tenggelam dalam pekerjaan, bahkan sampai mengorbankan hari pertemuan dengan istrinya. “Kamu kan sudah berkeluarga, temui dululah istrimu,” ujar Kafrawi, teman kerja Gamawan.
Satu bulan menjelang anaknya lahir, Vita mengajukan cuti kerja. Dan menjelang kelahiran anaknya, dia pindah ke kota Padang. Vita tak lupa mengajukan izin pada atasannya agar pindah tugas untuk lebih berdekatan dengan suaminya. Apa boleh buat, ijin itu tak didapatkan. Kini giliran Gamawan bertindak. Dia meminta beberapa kenalannya agar Vita bisa pindah tugas, meski sifatnya non-job (tanpa jabatan).
Akhirnya, Vita pindah ke Padang, tanpa satu pun jabatan disandangnya. Dia bersyukur. Kebahagiaan tak selamanya datang dari tempat kerja, tapi bisa dari dirinya sendiri. Pada 5 Desember 1985, anak pertamanya lahir.
Menjelang kelahiran anaknya, Gamawan masih sibuk sebagai panitia penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Dia bahkan ikut mengetes para peserta. Gamawan tidak menemani istrinya di rumah sakit. Siang maupun malam, dia berada di kantor gubernuran. Untunglah saudara-saudara Gamawan setia menunggui Vita. Gamawan datang pada detik-detik anak pertamanya lahir. Saat anak itu lahir, Firdaus, mertua Gamawan, tanpa ragu lagi memberi si bayi sebuah nama unik: Testa. Ini akronim untuk “tes calon pegawai negara”.
Hari berikutnya, Gamawan selalu ada di rumah sakit. Tapi, dia selalu datang pada malam hari. Gamawan seolah tidak berpikir tentang kesehatannya dan tidak merasakan sakit. “Saya tidak masalah tidak ditunggui,” kata Vita pada suaminya.
Masa melahirkan usai. Mereka kembali pada rutinitas masing. Kini Vita sudah kembali masuk kerja, dan mendapatkan lowongan jabatan. Dia selalu berkeliling ke wilayah di Sumatera Barat untuk melakukan peninjauan dan pemeriksaan. Bahkan, sebelum Gamawan menjadi bupati di Solok, Vita yang melakukan pemeriksaan terhadap Bupati Solok sebelumnya, Nurmawan. Vita bertugas selama enam bulan memeriksa Solok. Dia juga melakukan wawancara dan datang ke rumah Nurmawan.
Penulis Pidato
Nawawi Syatha sudah melihat kemampuan Gamawan saat dia menguji empat orang pegawainya untuk membuat naskah pidato. Masih segar dalam ingatan Nawawi Syatha saat memanggil empat orang calon stafnya yang baru. Mereka adalah Gamawan, Joni Anwar, Jufri dan Periadi.
Syatha memerintahkan mereka untuk membuat teks pidato, dengan tema yang mereka pilih sendiri. Setelah membuatkan teks pidato, mereka dipanggil Anwar, Kepala Tata Usaha (KTU). Mereka diminta untuk tetap di Ditsospol Propinsi Sumatra Barat. Setahun kemudian, Jufri dipindahkan ke Sawah Lunto, Joni Anwar ke Solok. Hanya Gamawan dan Periadi yang tetap tinggal di sana. Tapi, Periadi tidak pernah diminta lagi untuk membuat teks pidato. Pembuatan teks beralih ke Gamawan seluruhnya. Syatha melihat Gamawan cocok dengan pekerjaan tersebut.
Tak jarang, Syatha dan Gamawan bekerja selama sebelas jam tiap harinya. Gamawan sering datang ke kediaman Nawawi Syatha untuk bersama-sama diskusi dan membuat pidato-pidato gubernur. “Gamawan sangat tekun. Dia membantu saya dari pagi sampai jam sebelas malam. Saban hari,” kata Syatha.
Pidato gubernur saat itu berbeda dengan masa sekarang. Teks harus mencakup beberapa hal. Pertama, harus bersifat laporan pada presiden. Jadi presiden tahu apa yang akan dilakukan dan dikerjakan di masing-masing daerah. Kedua, sebagai bahan informasi untuk informasi-informasi penting seperti kepolisian, militer, kejaksaan, dan pengadilan. Ketiga, bersikap imbauan dan dorongan pada masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam melaksanakan pembanguan di daerah. Keempat, bersifat instruksi atau petunjuk atau koreksi terhadap aparatur daerah.
Menurut Syatha, membuat itu tentu saja memerlukan pemikiran, pendapat dan pandangan. Pidato untuk hari besar, rapat kerja, atau acara apapun harus ada empat komponen itu. Hal itu tentu disesuaikan dengan kondisi dan keadaan yang sedang berlangsung.
Suatu ketika, sambil bercanda Syatha mengatakan, “Sebenarnya yang jadi gubernur itu saya dan Gamawan, bukan Pak Azwar Anas dan Pak Hasan Basri Durin. Keduanya seolah-olah hanya juru bicara saya dan Gamawan.”
Syatha menilai, keberhasilan Direktorat Sospol menjalankan tugas membuat pidato-pidato gubernur, tak lepas dari peran Gamawan. Dia bisa melakukan tugas itu dengan baik. Syatha tak memungkiri, banyak pikiran-pikiran Gamawan yang tertuang di dalam kebijaksanaan pembangunan Sumatera Barat waktu itu, antara lain tentang disiplin nasional, kewaspadaan nasional. “Daerah lain belum ada mengemukakan tentang itu, kami sudah meneriakkan disiplin nasional. Saat itu tahun 1983. Dia baru menjadi pegawai satu tahun. Dalam menciptakan pikiran-pikiran itu kami sering berdiskusi. Saya tidak mendikte terus dia. Setiap masalah kita diskusikan.”
Sebelumnya, banyak senior Gamawan membuat pidato gubernur. Syatha sering memarahi mereka karena konsep-konsep pidato yang tidak benar.
Pegawai di Ditsospol sudah tidak kaget dengan sikap kepala kantornya yang sangat keras dan tegas. Maklum, dia seorang militer. Pangkatnya sendiri kolonel. Semua pembuat konsep pernah dimarah Syatha, dan satu-satunya yang tidak pernah kena marah adalah Gamawan. Menurut Syatha, itu karena Gamawan selalu menyelesaikan tugas dengan baik, meski harus bekerja melebihi jam kantor.
Sudah jadi rahasia umum, banyak pegawai yang bekerja diluar jam kerja menuntut uang lembur, paling tidak untuk beli rokok atau nasi bungkus. Tapi Gamawan tidak pernah menuntut itu. Beli nasi bungkus, ya pakai gajinya itu. Kafrawi dan Sarimo yang terpaksa ikut “lembur” mau tidak mau rela makan nasi bungkus dengan lauk apa adanya. Bahkan tidak jarang mereka beli nasi satu bungkus, tapi nasinya sepetak, tambik lauknya satu.
Begitu juga kalau mau merokok. Karena uangnya pas-pasan, Gamawan sering beli rokok batangan. Kafrawi masih ingat suatu saat mengajak Gamawan beli rokok, “Pak kita beli rokok, yok.” Gamawan memenuhi ajakan Kafrawi. Pergilah mereka ke sebuah kios di dekat kantor Sospol.
“Rokoknya apa, Pak?”
“Bentoel Biru.”
Kafrawi menduga Gamawan akan membeli satu bungkus. Nyatanya, hanya mau beli dua batang, padahal rokok tersebut tak diecer. Mereka pun sibuk membujuk si pedagang agar mau jual eceran.
Menurut Kafrawi, hidup Gamawan seadanya. Bahkan sampai Gamawan mendapat kenaikan pangkat dengan menduduki golongan III A. Kalau pegawai lain golongan III A sudah pakai safari, gagah-gagah, tapi Gamawan, karena hanya mengandalkan gaji dan tidak mau minta-minta dari orang lain, Gamawan hanya punya seragam satu stel putih-putih dan satu stel biru. Sering setelah dipakai, langsung dicuci untuk dipakai keesokan harinya.
Masuk Biro Humas
Dalam buku 100 Tokoh Sumatera Barat, nama Gamawan tertulis di sana. Di dalam buku itu ditulis, “Kalau malam hari masih ada mobil terpakir di halaman kantor gubernur, itu pasti adalah mobilnya Gamawan Fauzi.”
“Kebiasaan Gamawan kerja keras hingga larut malam itu sudah diketahui seluruh pegawai kantor gubernur. Bahkan Gamawan pernah tidak pulang ke rumah dari hari Sabtu hingga hari Senin. Itu saat Gamawan bekerja di Biro Hubungan Masyarakat (Humas).
Waktu itu, Pemda Sumatera Barat sedang mempersiapkan diri untuk meraih penghargaan bidang pembangunan dari pusat. Gubernur Hasan Basri Durin membutuhkan makalah sebagai materi presentasi. Materi itu sebenarnya sudah dibuatkan oleh salah satu bagian di kantor gubernur, tapi jumlahnya 200 halaman. Hasan Basri Durin marah. “Berapa banyak waktu yang terbuang untuk membacakan makalah sebanyak ini.”
Gubernur kemudian memanggil Gamawan. “Coba kamu jadikan ini sekitar 60 halaman.”
Karena materi paparan itu akan disampaikan pada hari Senin, sedang Gubernur menyuruhnya pada hari Sabtu, apa boleh buat Gamawan tak pulang ke rumah. Hari Senin, Gamawan datang untuk menyerahkan naskah itu. Gubernur kaget melihat Gamawan memakai seragam warna hijau, padahal kalau hari Senin, peraturannya menggunakan baju seragam PNS warna coklat.
“Mengapa kamu pakai baju sipil hijau,” tanya Hasan Basri, saat Gamawan menemuinya untuk menyerahkan naskah presentasi.
“Dari hari Sabtu belum pulang Pak, mengerjakan naskah ini.”
Karir Gamawan di Biro Humas diawali ketika Akmal Firdaus, yang sebelumnya salah satu seksi di Direktorat Sosial Politik mengajak Gamawan untuk pindah ke Humas. Tepatnya tahun 1988 Akmal diangkat sebagai kepala Biro Humas.
Kebetulan ada satu jabatan kosong di Bagian Penerangan dan Pemberitaan. Akmal melihat, Gamawan sangat cocok untuk menduduki jabatannya itu. Alasan lain yang mendorong Akmal mengajak Gamawan pindah ke Humas, karena suasana kerja di Sospol kurang kondusif sehingga tidak menguntungkan untuk pengembangan karir.
Setiap Gamawan diskusi dan habis bertemu gubernur, selalu berdiskusi dengan Akmal. Akmal secara langsung juga mendapat informasi baru yang belum tentu dia dapatkan.
Misalnya saat merebak masalah SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah). Saat itu semua daerah tidak bisa menolak karena sudah menjadi peraturan yang ditetapkan pemerintah. Gubernur pun berdiskusi dengan aparatnya.
“Bagaimana kalau di Sumbar ditolak?” kata Hasan Basri Durin.
“Ya tidak bisa, Pak. Kita kan negara kesatuan. Tapi kalau dibebaskan, warga di sini akan berjudi semua. Kalau begitu, masalah SDSB tidak sekedar menerima dan menolak. Tapi lebih kepada posisi bagaimana melakukannya sehingga perintah dari pemerintah pusat bisa terlaksana dan masyarakat merasa dia tidak diajak untuk berjudi,’’ kata Gamawan.
Akhirnya Sumatra Barat menerima instruksi pusat dan tetap memberikan perizinan, tapi diatur lokasi penjualannya. SDSB tak boleh dijual di dekat rumah ibadah, dekat sekolah, kantor-kantor pemerintah. SDSB hanya dibolehkan di dekat daerah Pecinan.
Didukung Wartawan
Pagi, 6 Oktober 2004. Tujuh orang wartawan, dari media cetak dan elektronik berkumpul di ruang makan kediaman dinas bupati Solok. Gamawan berbincang akrab dengan wartawan. Para kuli tinta itu selalu menyampaikan berbagai informasi yang mereka tangkap di lapangan. Karena waktu itu, Gamawan baru saja menerima anugerah Bung Hatta Anti Corruption Award 2004, maka pembicaraan banyak ke masalah penghargaan itu.
“Pak, ada pihak luar yang mengatakan, penghargaan Bung Hatta itu adalah hasil rekayasa. Bapak yang membuat sendiri acara itu untuk kepentingan politik,” kata salah satu koresponden televisi swasta.
Seperti biasa, Gamawan menanggapinya dengan tersenyum. “Biar sajalah orang menilai seperti itu. Kita tidak perlu menanggapi.”
Sambil menyantap lontong sayur yang dihidang sebagai menu sarapan pagi itu, wartawan dan Gamawan terus bertukar pikiran. Gamawan banyak menyerap informasi dari teman bicaranya.
Keakraban Gamawan dengan wartawan, bukan saja saat Gamawan menjadi orang nomor satu di Solok atau saat Gamawan menjadi kepala Biro Humas, tetapi sejak Gamawan bertugas di Direktorat Sosial Politik.
Secara individu, Gamawan mampu melakukan komunikasi dan hubungan dengan para wartawan, itu karena dia mempunyai komitmen yang jelas untuk saling menghormati pekerjaan masing-masing. Dia membiarkan wartawan bekerja dengan baik. Baru kalau mereka dianggap sudah keterlaluan, Gamawan tidak akan segan-segan untuk menegur dan memprotes tindakan wartawan yang dia nilai tidak melakukan liputan sebagaimana mestinya. Misalnya, hanya untuk tujuan mencari uang dengan cara melakukan pemerasan.
Karena kedekatannya dengan wartawan itu, ketika tahun awal 1994 gubernur mengangkat Gamawan sebagai kepala Biro Humas, Gamawan mendapat dukungan dari para wartawan. Saat itu usia Gamawan baru 34 tahun. Dia tercatat sebagai kepala Biro termuda di lingkungan Pemda Sumatera Barat.
Hasan Basri Durin, sang gubernur, sebelumnya memang tak terlalu memperhatikan publikasi. Bisa dipahami kalau dia dianggap tidak dekat dengan kalangan pers. Baru saat Gamawan menjadi kepala biro, situasi berubah. Gamawan yang waktu itu bekerja di Humas dan merangkap Sespri Gubernur mencoba memfasilitasi pertemuan antara gubernur dengan wartawan, sehingga mereka bisa duduk satu meja, ngobrol. Sejak itu hubungan gubernur dengan wartawan menjadi dekat, dan berita-berita di kantor gubernur terpublikasi dengan baik.
Di situlah Hasan Basri melihat keberhasilan Gamawan sebagai orang Humas, sementara pekerjaaannya sebagai sekretaris pribadi yang menumpuk itu, juga dijalani dengan baik.
Gamawan sendiri sangat tertarik pada dunia kewartawanan. Tahun 1991 Gamawan mendirikan sebuah koran, Tuah Sakato. Ini dimaksudkan agar program-program pemerintah lebih terpublikasikan. Korannya mendapat sambutan luas. Banyak dunia bisnis yang hendak memasang iklan. Sayangnya, beberapa pemilik koran di Sumatera Barat memprotes gerak lincah Tuah Sakato karena dianggap mengambil ladangnya.
Gubernur mendukung penerbitan tersebut. Dia meningkatkan anggaran Humas. Kombinasi keberhasilan prestasinya itu, Gamawan sebagai sekretaris pribadi gubernur dan aparat humas membuatnya jadi “anak emas” Hasan Basri Durin. Kerap gubernur mengatakan pada Gamawan, jika ada kesulitan masalah keuangan segera sampaikan saja. Namun Gamawan mengatakan, dirinya tidak pernah memanfaatkan itu. ■
BAGIAN V
Meniti Tangga Kepemimpinan
Solok, pertengahan tahun 1995. Suksesi kepemimpinan sedang berlangsung. Kebanyakan anggota legislatif di sana, khususnya dari Partai Golkar yang jadi fraksi terbesar, menginginkan tokoh yang lebih muda, energik dan berprestasi untuk mengganti bupati sebelumnya, H. Nurmawan. Nama Gamawan Fauzi nyaring disebut. Dan Gubernur Hasan Basri Durin mendukungnya.
Karir Gamawan sebagai bupati berawal dari silaturrahmi dalam suasana Idul Fitri 1994. Ia bertandang ke rumah dinas gubernur. Di ruang makan, Hasan Basri Durin menceritakan perihal kedatangan pemuka-pemuka masyarakat Kabupaten Solok. “Gamawan, kemarin orang-orang Solok datang kepada saya, mereka minta kamu memimpin Solok.”
Gamawan tidak menanggapi serius cerita pimpinannya itu. Perhatiannya mulai tumpah ketika Hasan Basri menanyakan kesediaan Gamawan. “Bagaimana, kamu bersedia?”
Gamawan diam sejenak.
“Kalaulah apa yang disampaikan oleh orang Solok itu saya tanggapi dengan serius, apakah Bapak nantinya tidak rugi.”
“Saya justru akan senang kalau staf yang bina bisa punya karir yang lebih baik. Soal terpilih atau tidak, orang Solok yang menentukan. Saya tidak memberikan rekomendasi atau mendorong. Saya hanya merestui saja.”
Gamawan mengikuti saran Hasan Basri Durin agar ikut dalam pemilihan. Ketika suksesi berlangsung, nama Gamawan banyak dibicarakan orang-orang Solok. Ada yang memuji, ada yang mendukung, tapi ada juga yang memandang Gamawan tidak akan mampu memimpin Solok karena usianya masih sangat muda. Baru 37 tahun.
Pada proses penjaringan “bakal calon” (Balon), ada lima orang yang masuk dalam penjaringan pertama. Dua diantaranya profesor dari perguruan tinggi, masing-masing Yunazar Manjang (Rektor Universitas Bung Hatta) dan Murshal Einstein (Direktur Akademi Seni Karawitan Indonesia-ASKI). Tiga orang lainnya Ir. Afdal Thamsin MS, Drs. Harnur Rasyid dan Gamawan Fauzi.
UU no 5 tahun 1974 mengamanatkan tentang keharusan suatu daerah untuk punya kepala pemerintah, dan bupati disebut sebagai wakil dari pemerintah pusat. Terlihat jabatan tersebut tidak murni-murni amat sebagai ketua daerah. Yang memproses calon kepala daerahnya adalah badan legislatif, sementara gubernur sebagai alat pemerintah pusat “melakukan pencermatan persyaratan seseorang untuk menjadi kepala wilayah.”
Berangkat dari peraturan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menyimpulkan bahwa untuk kepala daerah tentu lebih ideal adalah seorang personil yang sebelum ini duduk di jari-jari pemerintahan daerah. Gubernur setuju. Kedua lembaga kekuasaan itu kemudian menyerahkan penjaringannya kepada masyarakat sebagai representasi penguasa tertinggi dalam sistem demokrasi. Dari nama yang masuk, DPRD punya kewenangan untuk memilah-milah. Pertama, berdasarkan jumlah surat yang masuk. Kedua, berdasarkan latar belakang calon-calon yang diajukan.
Ada puluhan nama yang masuk melalui surat. Termasuk di antaranya Dahlan Bey, ketua DPRD Solok. Akhirnya lima nama itulah yang diusulkan ke gubernur, dan gubernur mengajukannya ke pemerintah pusat. Dari pusat, turun tiga nama. Mereka, Gamawan, Afdal Thamsin dan Harnur Rasyid.
Gamawan didukung oleh Fraksi Golkar – saat itu masih bernama Fraksi Karya Pembangunan (FKP).
Banyak kalangan yang meragukan kepemimpinan Gamawan. Seorang dosen Universitas Andalas (Unand), Ilhamdi Taufik, yang pernah menjadi kakak tingkat Gamawan saat kuliah, juga meragukan Gamawan. “Saya was-was saat Gamawan maju dalam pencalonan, apa iya sih dia mampu.” Taufik melihat, Gamawan maju karena “dikarbit” Hasan Basri Durin. Sekiranya benar, banyak yang mengatakan, gubernur “mengarbit” karena Gamawan memang dipandang mampu.
Gamawan berurusan dengan tiga kelompok. Pertama kelompok yang tidak mendukung pencalonan ini, kedua kelompok netral dan ketiga kelompok pendukung. Kelompok yang tidak mendukung Gamawan yang terdiri atas para birokrat-birokrat senior, memastikan Gamawan tidak akan terpilih. Seiring ini, muncul berbagai komentar miring. “Apakah sudah tepat, DPRD menetapkan pilihan pada Gamawan. Oleh yang tua saja Solok tidak maju-maju, apalagi oleh yang muda.”
Burhanudin Chatib, ketua Majelis Ulama Solok – ketika masih jadi anggota DPRD saat itu menceritakan bagaimana sikap salah seorang rekannya sesama anggota DPRD yang tidak setuju Gamawan mencalonkan diri jadi bupati. Perawakan Gamawan yang kecil dianggap oleh anggota DPRD itu tidak cocok menjadi kepala daerah, belum pantas dan masih sangat muda. “Masak tukang bawa tas gubernur, mau jadi bupati.”
Chatib salut pada Gamawan. Bagaimanapun orang menghina dia, Gamawan tetap bersikap baik. Kalau ketemu orang yang menghinanya, Gamawan datar-datar saja. “Itulah jiwa besarnya,” kata Burhanuddin Chatib.
Jelas Gamawan harus menghadapi persoalan yang cukup berat. Masalah yang paling berat dihadapi Gamawan adalah mencoba mendobrak sikap tidak bersahabat dari kelompok yang tidak mendukung Gamawan. Mereka terlanjur menyatakan Gamawan tidak akan terpilih. Untunglah, meski jumlahnya sedikit, para pendukung Gamawan tak berubah pendirian. Bagi mereka, dukungan tidak terlepas dari kultur masyarakat di Minangkabau yang egaliter. Banyak yang memandang, pemimpin bisa siapa saja. Mereka tak mengadopsi konsep raja-raja. Egalitarian Minang terekspresikan dalam pemeo “pemimpin ditinggikan satu ranting saja, didahulukan selangkah saja.”
Gamawan Fauzi akhirnya memenangkan pemilihan. Dia jadi Bupati Solok termuda.
Bukan Bupati Nagari
10 Agustus 1995, di ruang rapat Sekretaris Wilayah Daerah (Setwilda) Solok, Koto Baru. Gamawan baru seminggu dilantik. Hari itu, dia mengumpulkan pejabat eselon dan para camat/kepala perwakilan untuk perkenalan dan sekaligus silaturrahmi.
Setwilda Rusdi Lubis terkejut ketika Gamawan meminta memimpin pertemuan. Hal itu tidak lazim pada pemerintahan sebelumnya. Yang hadir malahan mengira Gamawan akan memberikan dan penjelasan-penjelasan dan instruksi.
“Bapak-bapak, saat ini biarlah saya menjadi pendengar. Silakan memperkenalkan diri dan ceritakan persoalan masing-masing,” kata Gamawan.
Mereka yang hadir, merasakan ada perubahan “adat birokrat”. Karena sebelumnya, setiap pejabat baru, selalu langsung memberikan instruksi tanpa mau diskusi dengan staf-stafnya.
Secara bergantian, para staf yang terdiri dari kepala dinas kepala badan melaporkan kondisi terakhir dan persoalan-persoalan pada lembaga pemerintahan yang mereka pimpin.
Setelah dua jam menerima masukan, Gamawan baru memperkenalkan diri. “Saya akan memperlakukan Bapak-bapak sebagai orang dewasa, dan marilah kita bangun Kabupaten Solok ini dengan Lillahi Ta’ala. Susunlah impian bapak-bapak, nanti kita jadikan program daerah. Saya memang berasal dari sebuah nagari di hamparan kabupaten ini, dari sebuah keluarga besar dengan bermacam profesi. Tetapi yakinlah, saya tidak akan menjadi bupati keluarga, bupati suku dan nagari, saya akan konsisten menjadi Bupati Solok.”
Di masa Orde Baru, dengan yang mengedepankan politik represif dan kepala pemerintahan sering berlaku bak raja, kalimat yang diungkapkan Gamawan dirasakan sebagai “embun penyejuk”. Suasana kaku yang biasanya mewarnai pertemuan para birokrat, tiba-tiba mencair.
Gamawan mengatakan, persoalan dukung-mendukung pada salah satu calon adalah hal yang biasa, sehingga mungkin ada di antara pejabat Pemda tak berpihak pada Gamawan. Namun dia menandaskan bahwa itu sebagai proses demokrasi, dan dia meminta kepada semuanya yang hadir untuk melupakan hal itu. “Sekarang saya sudah terpilih menjadi bupati dan sudah dilantik, perbedaan dukungan sudah harus kita hilangkan. Mari kita mulai bekerja bersama-sama membangun Solok.”
Gamawan menerima berbagai bentuk pemikiran dari semua staf, kepala dinas dan kepala kantor. Kemudian pemikiran-pemikiran itu terus dibahas, setelah dianggap dapat dilaksanakan, pemikiran itu dituangkan dalam perencanaan. Dia berusaha menyelaraskannya pada pendekatan sosial budaya. Gamawan ingin apa yang sudah berkembang di masyarakat harus tetap didukung, sementara perubahan-perubahan inovatif terus dilakukan.
Salah satu program prioritas yang menjadi perhatian Gamawan saat itu adalah membebaskan masyarakat dari keterasingan. Ada ada 11 daerah yang masih terisolasi. Gamawan menyadari, masyarakat di pedalaman berhak menikmati kemerdekaan dan harus hidup sejajar dengan masyarakat lainnya yang telah menikmati hasil-hasil pembangunan.
“Lebih dari 50 tahun kita merdeka, ternyata masih banyak rakyat kita yang belum menikmati kemerdekaan itu.”
Gamawan ingin mewujudkan keinginan itu segera. Dua minggu setelah dilantik menjadi bupati, Gamawan mengajak stafnya menuju Desa Batanghari Pesisir. Salah satu desa dari 11 desa yang penduduknya masih hidup terpencar di hutan dan sangat jauh dari kehidupan luar.
“Siapa Kamu?”
Gamawan beruntung menikah dengan seorang pegawai negeri, yang mengerti betul apa tugas dan kewajiban seorang bupati. Maka, begitu jadi istri bupati, Vita seperti sudah paham benar apa yang harus dilakukannya. Dia segera menata jajaran keluarga para pejabat dan istri para pegawai negeri yang tergabung dalam Dharma Wanita. Berbagai kegiatan dirancangnya, mulai denyut organisasi sampai pengobatan gratis. Dalam menjalankan tugasnya ini, tak jarang Vita harus pergi ke daerah-daerah terpencil. Mobil yang mereka tumpangi, malahan harus melewati berbagai jalan curam, berliku-liku lengkap dengan jurang yang menganga terjal.
“Kalau ibu merasa takut dan ngeri, ibu tutup mata saja,” kata salah seorang ibu Dharma Wanita.
“Saya sudah biasa melakukan perjalanan seperti ini.”
Di sela-sela kengerian, sering muncul satir. Misalkan, Vita pernah datang ke suatu desa untuk menghadiri suatu acara. Tiba-tiba seorang perempuan tua menghampiri dan bertanya padanya, “Siapa nama kamu?”
Tentu saja, seorang anggota Dharma Wanita maju ke depan dan memberitahu perempuan itu. “Tidak boleh ngomong pakai ‘kamu’. Itu kan ibu bupati.” Tentu saja perempuan itu kaget. “Ibu Bupati kan biasanya sudah tua-tua,” ujar perempuan tersebut. Dia merasa, Vita seumuran dengan cucunya, dan karenanya layak disapa ‘kamu’. Saat Gamawan jadi bupati, usia Vita memang masih berada di bawah 40 tahun.
Selama menjabat dan membuat peraturan atau keputusan, Gamawan jarang berdiskusi dengan istri atau anaknya. Lebih-lebih di rumah. Gamawan memisahkan antara urusan keluarga dan urusan pekerjaan. Dia tidak membicarakan masalah kantor di keluarga. Kadang Vita malah tahu dari orang lain. “Ibu tidak mau mencampuri tugas suami,” kata Vita. Perkecualian, bila ada keputusan penting yang dianggap meresahkan. Misalnya saja, soal mutasi hingga meresahkan anggota Dharma Wanita yang diayominya.
“Saya hanya memotivasi yang benar saja,” ujar Vita, seraya menambahkan bahwa masukan darinya sebatas untuk masalah-masalah yang kelewat berat. Dalam pemberantasan masalah korupsi, misalkan, Vita kadang menyarankan suaminya untuk tak terlalu keras. Tapi, khusus urusan ini, Gamawan biasanya tetap fokus pada rencana-rencana aksinya, sekalipun dianggap terlampau keras.
Gamawan selalu berkata pada istrinya, “Saat jadi pemimpin, yang terbaik harus kita coba dan terapkan. Kalau sudah nggak di sini, kapan lagi membawa orang di jalan yang benar dan sesuai dengan agama.”
Kadang istrinya yang merasa was-was, kalau ada pihak yang tidak senang.
Sampai sejauh ini Vita memang belum pernah merasa diancam pihak manapun akibat sepak-terjang sang suami. Yang barangkali pantas diresahkan adalah makin terbatasnya waktu bagi keluarga untuk berkumpul. Vita sadar ini. Gamawan bukan saja milik keluarganya, tetapi warga Solok seumumnya.
Sejak menjadi bupati, Gamawan memiliki komitmen untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Dia sudah membuat program untuk itu. Termasuk mengatasi kredibilitasnya sebagai bupati. Muasalnya, ketika menjabat sebagai bupati, usianya cukup muda dibandingkan yang lain. Barangkali inilah yang membuat kepercayaan publik pada awal pemerintahannya, kurang. Gamawan berusaha dengan keras untuk memperbaikinya agar semua pihak percaya pada kemampuan dirinya. Saat menjadi bupati, umur Gamawan memang baru 38 tahun.
Soal kredibilitas macam ini pun sebenarnya telah muncul setahun sebelumnya, saat Gamawan jadi kepala Biro Hubungan Masyarakat. Umurnya baru 37 tahun. Padahal, kepala-kepala biro seumumnya di atas usia 45 tahun. “Ini karena kemampuan bapak. Bukannya sombong lho,“ ujar Vita.
Bagi Gamawan, jabatan merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan. Jabatan merupakan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Karena itulah dia berusaha untuk tak memanfaatkan jabatan. Dia selalu berpikir untuk berbuat terbaik bagi semuanya. Misalkan, sejak dia jadi bupati, tidak ada pemborong proyek atau pengusaha yang coba-coba datang ke rumahnya. Lebih dari itu, dia pun berusaha agar semua pegawainya tidak mengutip uang itu-ini kepada para pemborong atau pengusaha yang hendak beraktivitas di wilayahnya. Kadang kebijakan ini membuat sejumlah kalangan terkaget-kaget. Selama ini mereka biasa diminta persenan atas nama bupati.
Hidup bersih juga jadi pilihan Vita. Dia baru mengijinkan kontraktor mengeluarkan sumbangan saat negara membutuhkannya. Vita ingat tatkala keluarganya pindah ke rumah dinas bupati dan tinggal di kompleks perumahan Pemda. Sebagai ketua PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga), dan penasehat organisasi perempuan, dia belum lagi punya kantor. Para kontraktor pemerintah yang selama ini merasa nyaman bekerja tanpa upeti, berkumpul untuk menyumbang dana bagi pendirian gedung gedung PKK di Kabupaten Solok. Dalam waktu relatif singkat, terkumpullah Rp 130 juta. Mereka kemudian mencari orang dari Dinas Pekerjaan Umum untuk membangunnya. Mereka yang mengerjakan tidak mendapatkan honor apapun. Biaya pembangunan praktis hanya membayar para tukang.
Sekarang ini, Darma Wanita di Kabupaten Solok mempunyai sebuah gedung lumayan bagus dan besar.
Nasi Rantangan
Kerja keras yang dilakukan Gamawan tak hanya membuahkan beragam prestasi dalam pembangunan di Solok, tapi juga ancaman kesehatan. Tubuhnya kadang drop akibat terlampau banyak melakukan aktivitas. Beberapa tahun terakhir ini, umpamanya, Gamawan sering mengeluhkan sakit di perut. Dia punya penyakit maag. Demikian juga Vita.
Untuk menyiasati kegiatan Gamawan yang cukup tinggi, istrinya selalu mengusahakan makanan untuk meningkatkan energi. Vita selalu menasehati suaminya, untuk tak bekerja macam robot dan mengumpulkan penyakit. Terkadang Vita menakuti-nakuti suaminya dengan berbagai akibat dari suatu penyakit. Yang dinasehati malah tersenyum saja, sampai akhirnya suaminya benar-benar kritis. Dan menderita kelelahan luar biasa. Vita langsung membawanya ke Jakarta untuk berobat penyakit dalam. Gamawan menolak rawat inap. Dia memilih pulang ke Solok dan menjalani berobat jalan. Dia juga tidak minta jatah cuti.
Gaya hidup semacam itu membahayakan kesehatannya. Dan benar saja, pada April 2004, Gamawan lagi-lagi mengalami masalah kesehatan. Di kandung empedunya, terdapat batu. Kata dokter, ini pengaruh lemak dan makanan di Minangkabau yang umumnya berkolesterol. Belum lagi kelelahan.
Lagi-lagi Gamawan dilarikan ke Jakarta. Di MMC (Metropolitan Medical Centre) di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Gamawan harus dioperasi. Para pegawai Pemda di Solok bahkan tidak tahu, kalau bupatinya dioperasi. Batu diempedu sudah dibuang sekarang.
Kini Vita memilih mendekati para ajudan bupati agar mereka ikut menjaga kesehatan Gamawan dengan cara mengingatkan untuk tidak menyantap makanan berlemak. Pada saat yang sama, Vita selalu membekali suaminya nasi rantangan yang dititipkan kepada sopir dinas. Nasi itu sering tidak termakan.
Makanan benar-benar jadi perhatian Vita kini. Dia mulai keras memperhatikan apa saja yang dikonsumsi suaminya. Pengawasannya yang terlampau ketat, melahirkan jabatan baru bagi Vita: pengawas gizi suami. Gamawan sering berceletuk pada stafnya, “Awas ada pengawas.”
Ada hikmahnya juga. Kini Vita punya alasan kuat agar Gamawan sarapan dulu sebelum pergi kerja. Dan saat makan inilah, mereka punya waktu untuk saling bicara, dan mulai meningkatkan kembali intensitas pertemuan keluarga.
Pengawasan yang dilakukan Vita tak hanya pada makanan. Dia juga mengawasi aktivitas suami di kantor. Vita meminta bagian pengamanan untuk melihat kondisi Gamawan saat menerima tamu-tamu. Petugas pengamanan ini dihimbau agar tak mengganggu saat-saat istirahat Gamawan. Vita merasa, jika ini tak dilakukannya, suaminya akan terus saja menemui tamu yang datang.
Tamu-tamu Gamawan tak hanya kalangan masyarakat, tapi juga pejabat. Yang disebut terakhir ini, malah memerlukan waktu ekstra sebab terkadang mereka juga datang ke rumah. Waktunya? Bisa kapan saja, tak terkecuali tengah malam. Ini terutama wakil bupati, yang merasa perlu untuk terus menyinkronkan tugas-tugasnya. Sampai-sampai Vita berkata, “Tak bupati tak wakil bupati. Sama saja.”
Belakangan, aktivitas tengah malam bupati tak hanya dengan wakilnya saja. Tapi juga dengan kalangan warga biasa. Anggota masyarakat sering menyambanginya sekadar untuk silaturahmi. Mereka biasanya duduk-duduk di teras rumah sampai Gamawan keluar sendiri dan mempersilakan masuk.
Gamawan Fauzi merasa, dirinya perlu bekerja keras untuk membangun Solok, terutama memacu lini pendidikannya. Ketertinggalan Solok dalam pendidikan, bagi Gamawan, itu lantaran sebelumnya sektor pendidikan bukan program yang populer sehingga tidak akan ada dana yang mendukung program itu.
Ambisi untuk membangun dunia pendidikan kini terganjal dana. Dia berpikir bagaimana mencari uang untuk membangun sektor pendidikan ini. Sadar pemerintah belum mampu membiayai sektor ini, Gamawan ingin melibatkan pihak swasta. Gamawan menemukan ide untuk membangun sebuah yayasan yang mengelola pendidikan. Yayasan itu diberi nama Solok Nan Indah.
Untuk mendanai yayasan, Gamawan “menjual” suara emasnya yang dirilis dalam album lagu-lagu pop Minang. Hasil rekaman pertamanya menghasilkan dana sebasar Rp 580 juta. Rilis album pertama, di Solok berhasil meraih Rp 350 juta dan rilis album ke dua yang dilaksanakan di Jakarta menghasilkan Rp 230 juta, yang kemudian menjadi dana abadi yayasan. Bunganya untuk membiayai anak-anak tidak mampu yang berprestasi.
Gamawan juga tidak ingin rakyatnya ada lagi yang buta huruf. Dia memerintahkan stafnya untuk melakukan pendataan penduduk yang buta aksara. Waktu itu, ditemukan 18.000 jiwa warga Solok yang buta Aksara. Lewat program kejar paket A , data terakhir pada tahun 2004, hanya tinggal 2.150 jiwa yang masih buta aksara.
Dimulai dari Rumah
Komitmen Gamawan Fauzi untuk mengentaskan warganya dari buta huruf tak hanya dilakukan secara formal, resmi, lewat seabreg peraturan. Gamawan juga memacunya dengan cara-cara yang lebih santai, misalkan menganjurkan program anak asuh. Dan dia memulainya dari diri sendiri.
Orang yang bertandang ke rumah Gamawan, mungkin akan bertemu dengan seseorang bernama Yon, nama pendek untuk Yonha Herman. Dia pernah bekerja sebagai tukang bersih-bersih di rumah dinas Gamawan.
Januari 2004, Yon baru saja menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Mohamad Yamin Solok. Sebelumnya, Yon tak pernah membayangkan dapat menyandang gelar sarjana hukum. Ekonomi orang tua benar-benar merisaukan. Untuk membantu ekonomi keluarga, Yon bekerja sebagai cleaning service. Nasib Yon, mulai berubah ketika tahun 1997 Yon mendapat tugas dari CV Rahmat, sebuah perusahaan cleaning service untuk bertugas di kantor bupati Solok. Yon berpapasan dengan Gamawan.
“Siapa namamu?”
“Yonha Herman, Pak.”
“Masih sekolah?”
“Masih, Pak.”
“Di mana kamu tinggal?”
“Kost, Pak.”
”Mau tinggal di rumah saya?”
“Mau, Pak.”
Sejak itu nasib Yon mulai berubah. Dia bisa sekolah dengan tenang sambil tetap bekerja membantu bersih-bersih di rumah kediaman bupati. Tiap pagi Yon menyapu halaman rumah bupati. Semua biaya ditanggung Gamawan hingga tahun 1998 Yon berhasil menyelesaikan SMA-nya.
Gamawan menawari Yon untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Kini Yon adalah satu-satunya sarjana di kampungnya di Hiliran Gumanti. Dia menjadi kebanggaan orang tua dan kampung.
Yon hanyalah salah satu anak desa yang mendapat perhatian Gamawan. Beberapa petugas kebersihan maupun pembantu rumah tangga di rumah Gamawan, semuanya disekolahkan juga. Elvi Suryana, misalnya, yang sudah sepuluh tahun bekerja pada keluarga Gamawan, sekarang masuk sekolah SMP terbuka.
Kata-kata Umi
Sukses yang diraih Gamawan di beberapa sektor membawanya ke ujian baru. Dia dihadapkan pada dukungan banyak orang untuk mencalonkan kembali sebagai bupati. Gamawan gamang.
“Jika jabatan itu akan memberikan manfaat untuk orang banyak maka terimalah, dan jika rasanya tidak akan bermanfaat untuk orang banyak, jadilah makmum yang baik.”
Kata-kata itu terlontar dari Umi , panggilan untuk Aisyah Amin, wanita yang melahirkan Gamawan. Kata-kata Umi jadi jawaban atas kebimbangan hati Gamawan untuk kembali maju pada pemilihan bupati periode 2000-2005. Dari sana Gamawan bermunajab pada Tuhan sampai akhirnya memutuskan untuk bersedia dicalonkan lagi menjadi bupati periode kedua. Itupun setelah Gamawan mendiskusikan terlebih dahulu dengan orang-orang terdekatnya, termasuk anak dan istrinya.
“Keputusan itu kami serahkan pada papa. Kalau papa masih ingin maju lagi, kami hanya bisa mendukung,” kata Vita Nova.
Gamawan akhirnya memutuskan untuk mencalonkan diri kembali sebagai bupati Solok. Apalagi dia didukung oleh warga Solok. Dukungan pada Gamawan sudah menguat setahun sebelum masa jabatannya habis. Masyarakat menyampaikan langsung keinginan mereka sampaikan pada Gamawan saat Gamawan melakukan kunjungan kerja ke nagari –nagari agar Gamawan mau mencalonkan lagi menjadi bupati Solok untuk kedua kalinya.
Gamawan menyadari, pada fase kedua ini adalah fase terberat baginya. Dia akan mendapat perlawanan sengit dari rivalnya, Afdal Thamsin yang mendapat dukungan cukup besar dari partai yang ada di DPRD.
Situasi politik yang dihadapi Gamawan berbeda dengan saat dia pertama kali menjadi bupati. Pada masa Orde Baru, Gamawan mendapat dukungan gubernur dan Golkar, sebagai partai yang mendominasi suara di DPRD. Namun, sejak reformasi bergulir tahun 1998, pola suksesi berubah total. Sebagian nasib Gamawan ditentukan oleh para penguasa partai. Beruntung, Gamawan mendapat dukungan dari partai Golkar, PPP, PAN dan PBB, serta beberapa partai kecil lainnya.
Persoalan tidak sampai di situ. UU No 22 tahun 1999, yang mengatur tentang pemilihan bupati, mengamanatkan adanya sistem paket kepala daerah. Bupati harus mencalonkan diri bersama wakilnya. Golkar, PPP dan PAN, PBB sebagai partai terbesar mengajukan nama-nama untuk dipasangkan bersama Gamawan. Partai Golkar, misalnya, ramai-ramai ke rumah Gamawan untuk melakukan bargaining position, agar menempatkan orang Golkar sebagai wakil.
“Pak bupati, suara kami yang ada di Fraksi Golkar semuanya akan kami berikan pada bapak, tapi kami minta bapak berpasangan dengan orang Golkar.”
Bargaining semacam itu juga dilakukan partai-partai lainnya. Gamawan ingin bersikap adil, dia tidak ingin persoalan itu terus berkembang, maka tidak satu pun nama yang dicalonkan oleh tiap-tiap partai disetujui oleh Gamawan. Dia malah memilih pasangan dari kalangan akademisi. Jalan tengah ini ternyata diterima oleh semua partai. Akhirnya Gamawan menetapkan berpasangan dengan Dr. Elfi Sahlan Ben, pembantu rektor Universitas Bung Hatta Sumbar sebagai wakilnya.
Saat proses pemilihan bupati berlangsung, ribuan massa memenuhi halaman gedung DPRD untuk menyaksikan langsung pemilihan bupati. Gamawan sendiri tidak berada di sana. Dia memilih berkumpul bersama anak dan istrinya di Bukit Tinggi. Keluarga Gamawan menunggu hasil penghitungan suara dengan berdo’a.
Di sebuah ruangan kerja di kantor bupati, sahabat Gamawan sejak kecil, Azidal Aziz, memilih mendengarkan hasil penghitungan suara melalui siaran langsung Radio Republik Indonesia (RRI). Azidal yang kerap dipanggil dengan sebutan ‘ayah’, dengan tegang mendengarkan proses penghitungan itu. Kalau nama Gamawan disebutkan, saat itulah jantungnya berdetak kencang. Akhirnya Adizal tak mampu membendung tangisnya, ketika suara dari speaker radio itu menyebutkan Gamawan meraih kemenangan dengan perolehan suara 26:13.
Sementara di rumah dinas bupati, telah menunggu ratusan pendukung Gamawan. Mereka rela menunggu Gamawan kembali dari Bukit Tinggi. Sore hari, telepon berdering di ruangan tengah. Umi meminta Gamawan untuk segera ke Padang untuk menemui Dahlan Saleh. Namun, karena di rumah masih banyak tamu, Gamawan memutuskan menemui sang ayah keesokan harinya.
Setibanya Gamawan di rumah di Padang, Saleh memilih banyak diam. “Ananda kan jadi bupati memang karena hebat, bukan karena do’a papa dan umi.”
Gamawan sangat tersentak mendengar “sindiran” itu. Dia langsung bersimpuh mencium kedua kaki ayahnya.
Hikayat Umi
Dahlan Saleh meninggalkan Gamawan dan keluarga besarnya pada 12 November 2000, atau empat bulan setelah Gamawan dilantik secara resmi sebagai bupati. Kini tinggallah Umi, yang telah renta. Penyakit stroke telah menggerogoti usianya yang kian senja, 77 tahun.
Meski lebih banyak tergolek di pembaringan, wajah Umi selalu tampak segar. Pipinya masih terlihat bersih dan mulus. Beberapa kerutan menanda pada mata dan kening. Jelas terlihat sisa kecantikan di masa mudanya. Kulitnya yang putih mulus, makin terlihat terang dibalut blus kuning bunga-bunga dan kerudung rajutan.
Di kamar berukuran 4 x 4, suasana ruangannya seperti di sebuah rumah sakit bagian VIP. Dindingnya terbalut dengan wallpaper warna hijau pupus. Setengah dari dinding dihiasi motif bebungaan. Setengah ke bawahnya lagi, berwarna hijau tua dengan motif garis-garis. Paduan hijau pupus dan putih pada ruangan, sungguh terasa meneduhkan. Sebuah AC split terpasang di sebelah sudut kiri ruangan. Di sudut ini pula tersusun rapi rak obat-obatan dan air mineral.
Umi hanya bisa menatap setiap orang yang ada di dekatnya. Sekarang dia tinggal bersama anak perempuannya yang paling bungsu, Ira. Selain ditemani Ira dan dua cucunya, Umi juga dirawat seorang suster. Anggi, putri tertua Ira, selalu mengusapkan hand body ke tangan dan kaki neneknya, setiap Umi habis mandi. Begitu pun ketika dia selesai mandi. Dia pasti mampir kamar Umi dan memberikan ciuman pada neneknya.
Meski tidak bisa berucap, Umi dapat memberikan reaksi terhadap apa yang ada di sekitarnya. Misalnya, ada foto Gamawan termuat di koran atau majalah dan menunjukkan kepadanya, Umi akan menatapnya dengan tatapan senang. Kemudian, dia menumpahkan perasaannya dengan menangis.
Demikian juga bila ada berita tentang Gamawan di televisi. Umi dapat menyaksikannya. Ada sebuah televisi terpasang di depan tempat tidurnya. Umi menonton dengan seksama. Tersenyum. Lalu, dari kedua sudut matanya mengalir air mata. Menetes dan merayap pada kedua belah pipinya. Dan ketika dipanggil namanya, dia akan segera menoleh ke sumber suara itu.
Hampir tiap hari, telepon rumahnya selalu berdering. Telepon berasal dari anaknya, yang setiap saat menanyakan kesehatan ibunya. Kalau anak dan cucunya kumpul, semuanya berebut ingin tidur di dekat Umi, dan merebut mencari kaki Umi untuk dipijit.
Biasanya, semua anak cucu itu berkumpul, kalau pas hari ulang tahun Umi, setiap 11 Maret. Hari itu merupakan hari yang sangat membahagiakannya. Untuk tidak mengurangi kebahagian Umi, anaknya seringkali pulang dengan tidak pamit. Karena kalau pamit, Umi pasti menangis.
“Umi sama sekali tidak pernah marah, dan selalu berpikiran positif,” kata Ira, putri bungsu Umi, yang saat ini bekerja di kantor Telkom, Padang.
Pernah suatu saat Umi menerima pengaduan dari seorang tetangga di Alahan Panjang, tentang perlakuan seorang ibu, yang memang dikenal tabiatnya kurang baik oleh orang sekampung. Namun, Umi berbeda menanggapinya. Dia tetap saja menganggap orang itu baik. Demikian juga ketika seorang pengemis yang masih muda minta-minta ke rumah. Ira waktu itu marah, sebab menurut Ira, tidak pantas orang masih muda mengemis. “Tidak boleh berpikiran seperti itu. Dia orang baik. Dan siapa tahu, pengemis itu malaikat yang sedang menguji iman kita,” tutur Ira, menirukan ucapan ibunya ketika itu.
Semasa sehat, Umi sangat aktif dikegiatan pengajian. Sebagai ustadzah, Umi memiliki sekitar seribuan jamaah. Tiap minggu, mereka secara bergantian membezuk Umi. Hingga saat ini, Umi punya 25 orang anak asuh, yang tetap dibimbingnya. Semasa sehatnya, setiap hari Kamis, Umi dengan rutin menemui anak asuhnya. Yang dibina pendidikannya maupun bidang keagamaannya. Sekarang ke-25 anak asuh Umi, diasuh para kadernya di Alahan Panjang.
Sebelum suaminya ditugaskan ke Mataram, Umi pernah menjadi guru SPG. Dia sangat rajin membaca buku agama. Sekarang bukunya disedakahkan pada kelompok pengajian. Sedari dulu, Umi sangat rajin memberi hadiah pada cucunya yang berprestasi. Karenanya, bila ada cucunya yang mendapatkan prestasi, mereka selalu mendatangi neneknya sambil membawa piala.
Sikapnya yang selalu baik pada siapa saja, sangat berkesan pada setiap oang yang mengenalnya. “Ibunya Pak Gamawan selalu terenyum. Selalu damai. Kita saja yang di luar melihat damai. Kita selalu ditanya, bagaimana, sehat? Sudah salat belum? Sudah makan belum?” tutur Islamiddar Nadirlan.
Sikapnya menjadi suri tauladan dan sumber inspirasi bagi anaknya. Tak heran bila Gamawan sangat mencontoh sikap ibunya. “Tidak harus mengatakan tidak dengan marah. Cukuplah dengan senyum.” Begitulah prinsip yang dipunyai Gamawan.
Dia berusaha melindungi ibunya dari berita-berita tentang dirinya yang kurang baik. “Jangan kasih kesulitan ke ibu. Berita ke ibu itu yang baik-baik saja,” katanya, sebagaimana dituturkan adik Gamawan, Chandra Widyawati.
Gamawan selalu minta izin pada ibunya untuk melakukan apapun, termasuk mencalonkan diri jadi bupati. Dia hampir tak pernah melanggar kata-kata ibunya. Pernah suatu ketika Gamawan mengabaikan kata-kata Umi, yang melarang mereka pergi malam-malam. Baru satu kilometer dari rumah, sepeda motor mereka menabrak batu. Mereka tersungkur ke jalanan.
Dia masih ingat itu. ■
BAGIAN VI
Island of Integrity Pact
Jakarta, 14 Desember 2004, suatu sore. Nama-nama terkenal hadir dalam suatu talkshow di Gedung Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Jalan Taman Surapati no 2, Jakarta. Ada Taufik Effendi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara; H.S. Dillon, Direktur Eksekutif Kemitraan Bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia; ada juga Sri Edi Swasono, seorang ekonom. Mereka sering mengisi kolom-kolom media nasional, termasuk Sri Mulyani Indrawati, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, yang membuka acara tadi. Moderatornya pun tak kurang terkenalnya. Dia Ira Kusno, seorang presenter yang lama bekerja untuk stasiun televisi SCTV.
Gamawan Fauzi barangkali sebuah kekecualian. Namanya lebih dikenal warga Solok ketimbang dalam komunitas nasional. Tapi, inilah Gamawan: forum sebesar apapun tetap dapat dikuasainya dengan dingin. Seperti kesehariannya, lelaki berkaca mata itu tetap dapat berbicara dengan tenang dan menyakinkan. Tata bahasa terstruktur dengan baik, rangkaian kalimat mengalir dengan lancar.
Talkshow itu sendiri mengambil tema “Bagaimana Kebijakan Tata Kepemerintahan yang Baik (Good Governance) dalam Pemerintahan yang Baru?” Acara ini merupakan rangkaian dari peluncuran iklan layanan masyarakat tentang tata-pemerintahan yang baik. Ruangan terisi penuh peserta diskusi, yang terdiri atas berbagai elemen masyarakat. Ada anggota LSM, birokrat, jurnalis, dan lainnya. Di antara peserta, terlihat Mar’ie Muhammad, bekas Menteri Keuangan, yang sekarang menjabat ketua Masyarakat Transparansi Indonesia.
Gamawan benar-benar menjadi bintang ketika pembicaraan sampai pada topik bahasan korupsi di kalangan kepala pemerintahan. Menurut H.S. Dillon, aparatur pemerintah seperti bupati atau gubernur, yang sikapnya baik dan bersih dari korupsi, hanya sedikit. “Jumlahnya hanya 20 orang, dari sekitar 450 orang di Indonesia.” Bisa dipahami kalau kemudian berkembang wacana bahwa banyak kepala pemerintahan, entah itu gubernur atau bupati, harus mengeluarkan uang ketika mencalonkan diri. Apa yang dilakukan setelah terpilih adalah dia harus segera mencari uang untuk menutupi modal yang telah digunakannya. Mau tak mau, mereka akan melakukan korupsi untuk mengembalikan uang yang telah dikeluarkannya.
“Bagaimana Anda mengembalikan uang itu?” tanya Ira Kusno.
“Saya jadi bupati selama 10 tahun itu tidak pakai modal,” kata Gamawan, “kebetulan saja, saya tidak datang ke partai. Justru, partai yang datang ke saya.”
Gamawan mengatakan, dirinya sudah merasa cukup dengan gaji yang diterimanya. Apalagi, untuk urusan makan, perumahan, sopir, dan kebutuhan hidup lainnya, negera telah memberikan fasilitas yang lebih. Tak ada alasan baginya untuk melakukan korupsi atau tindakan macam-macam.
Untuk memberantas korupsi, demikian Gamawan, diperlukan keteladanan dari pemimpin, selain membangun sistem yang lebih baik. “Selain itu, pemerintah mesti memperhatikan tiga hal agar aparatur pemerintah tidak melakukan korupsi. Pertama, adanya jaminan kesehatan yang baik. Kedua, adanya jaminan pendidikan anak. Ketiga, adanya jaminan untuk makan, kelak kalau aparatur itu pensiun.”
Pada akhirnya, menurut Gamawan, untuk memberantas masalah korupsi, diperlukan niat baik dari pemerintah untuk melakukannya. Ini harus didukung oleh berbagai lembaga masyarakat untuk mengawasinya, dan kalangan pers.
Dalam memerangi korupsi, Gamawan tak hanya berhenti di tingkat nasional. Dia membawa pokok-pokok pikirannya ke tingkatan lainnya seperti berbicara dalam forum Asia Pacific Good Practices to Fight Corruption pada 2003. Acara ini digelar Transparency International, yang menyajikan pemakalah-pemakalah dari berbagai berbagai negara di kawasan Asia Pasifik, sebuah kawasan yang dinilai rentan dalam masalah korupsi. Di forum ini Gamawan menyampaikan materi tentang langkah-langkah yang dia tempuh untuk memberantas korupsi di Kabupaten Solok.
Segala daya upaya yang dilakukan Gamawan untuk memerangi korupsi tak urung memberi Solok sebuah sebutan baru: The Island of Integrity Pact. Negeri Pakta Integritas, negeri penuh kejujuran.
Bukan hal mudah untuk menjaga sebutan itu tetap aktual. Tapi, Gamawan sudah tahu caranya. Dia memulainya dengan membangun tata-pemerintahan yang baik (good governance). Bahkan, tak hanya “yang baik”, dia ingin menjadi “terbaik dari yang baik”. Cita-cita besar seperti ini dia tuliskan dalam sebuah billboard di gerbang Kabupaten Solok, tak jauh dari bangunan-bangunan perkantoran yang jadi pusat pemerintahan Kabupaten Solok.
Bagaimana menjadi “menjadi terbaik dari yang baik”, ini dijelaskan secara rinci dalam buku rencana strategi Kabupaten Solok, dengan tahapan kerja lima tahun. Salah satu di antaranya mendorong tatakerja pemerintahan yang baik. “Dia selalu memikirkan bagaimana good governance diterapkan di Solok,” kata Benny Mukhtar, rekan Gamawan saat kuliah di Universitas Andalas.
Sebelum menuliskan dalam buku, tahun 1999 lalu Gamawan mengajak berbagai komponen masyarakat Solok -- mulai pejabat, anggota legislatif, kalangan lembaga swadaya masyarakat hingga akademisi – untuk duduk bersama mendiskusikannya dalam forum Duduk Basamo. Di sanalah digodok ide-ide untuk melakukan perencanaan partisipatif, yang sepenuhnya melibatkan masyarakat sebagai stakeholder pembangunan. Ide-ide inilah yang kemudian mengisi lembaran-lembaran perencanaan sebagaimana dapat disimak dalam Progam Kerja Lima Tahun Kabupaten Solok.
Untuk amannya, program tersebut dilindungi Peraturan Daerah nomor 5 tahun 1999, yang direvisi oleh Peraturan Daerah nomor 7 tahun 2001. Peraturan ini memberikan empat acuan untuk terselenggarannya program kerja partisipatif itu. Pertama, arah pembangunan yang memberikan gambaran tentang bentuk kehidupan ekonomi yang akan diselenggarakan oleh anak nagari untuk menolong dirinya sendiri. Kedua, arah pembangunan yang memberikan tatanan pada kehidupanan masyarakat yang baik untuk menyelenggarakan kegiatan ekonomi. Ketiga, arah pembangunan yang memberikan gambaran tentang sistem penyelenggaraan pemerintahan yang baik, sehingga bisa memfasilitasi anak nagari untuk mencapai kesejahteraan. Keempat, arah pembangunan yang memberikan gambaran tentang penyediaan dan prasarana pendukung untuk mencapai tujuan tersebut.
Arah pembangunan tersebut pada akhirnya menjadi misi dan visi Kabupaten Solok. Tentu saja tidak semua orang bisa memahaminya. Malahan tak sedikit orang yang berkata miring dan menjuluki Gamawan Fauzi sebagai “Buter”, akronim untuk “bupati teori”. Gamawan tetap jalan terus. Program demi program dia jalani satu per satu, sesuai urut-urutannya. Urutan pertama, membebaskan isolasi daerah, dijalaninya sejak pertama kali menjadi bupati. Artinya mudah saja, dia bertindak dulu sebelum membuat “teori”.
Membuka Isolasi
Suhu udara makin dingin. Maklum berada di daerah berketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut. Sore itu, orang-orang berbincang di suatu pinggiran jalan. Beberapa di antaranya menutupkan sarung pada tubuhnya. Tangan-tangan mereka rata-rata memegang rokok. Asap mengepul bercampur uap air. Wajah-wajah mereka sumringah saat melihat ada yang datang.
Mereka berbincang sambil mengangkut hasil kebun dan menaikkannya ke atas truk. Meski agak sempit dan hanya bisa dilalui satu mobil saja, jalanan di daerah itu sudah beraspal. Di beberapa ruas pinggir jalan masih dipenuhi belukar. Di samping belukar itu, berderet kebun sayur mayur. Penduduk menanam berbagai sayur mayur. Mulai dari kulbis, cabe, bawang dan lainnya. Tak heran, warnanya hijau dan putih memenuhi sebagian besar areal persawahan itu.
Deretan rumah berjajar memenuhi sisi jalan beraspal itu. Rumah itu terbuat dari batako. Berukuran sekira tipe rumah 36 di perumahan. Atap terbuat dari seng memayungi rumah. Di sekitar rumah iu pula penduduk menanam berbagai tanaman merambat dan sayuran.
Daerah itu bernama Sariak Bayang, masuk ke dalam wilayah Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok. Baru pada 1996 daerah tersebut dihuni warga. Dulunya, penduduk yang menghuni wilayah ini masih terpencar di hutan belantara. Tidak ada jalan yang menghubungkan daerah itu dengan daerah lain. Penduduk yang ada di sana, bila mau ke pasar untuk menjual hasil kebunnya, harus berjalan kaki beberapa hari untuk menuju pasar di Alahan Panjang. Mereka membawa hasil kebunnnya yang berupa kayu manis dan lainnya dengan menaruhnya di atas kepala. Hasil kebun itu dibawa pada hari tertentu. Kebetulan, pasar di Alahan Panjang ramai pada hari Kamis dan Sabtu. Pada hari itulah, mereka datang dan menukar hasil kebunnya dengan kebutuhan berupa gula, kopi, minyak sayur, ikan dan lainnya.
Penduduk yang ada di daerah itu merasa bersyukur punya bupati yang mau menengok nasib mereka. Mereka bercerita, baru sekali itulah, sejak kemerdekaan negeri ini diproklamasikan, ada seorang bupati datang dan mengunjungi wilayahnya. Tak hanya mengunjungi, Gamawan Fauzi bahkan membuatkan perumahan dan memberi mereka lahan pertanian, sekitar 2 hektar untuk bercocok tanam.
“Daerah kami dulu tidak bisa melihat pesawat terbang lewat,” kata Syamsir, tokoh masyarakat setempat.
Daerah asal mereka memang masih hutan perawan. Hanya ada satu-dua rumah. Itu pun berada pada jarak puluhan kilometer. Ketika pertama kali penduduk dipindahkan, anak-anak mereka riuh membuntuti kendaraan pejabat, ibarat melihat benda yang datang dari luar angkasa.
Wilayah itu letaknya 22 Km dari Muara Labuh. Perjalanan dapat ditempuh dengan melalui jalan setapak, menuruni lurah dan mendaki bukit, berjalan di tengah lebatnya hutan Barisan. Di sanalah 70 kepala keluarga warga Sariak Bayang, Kecamatan Lembah Gumanti, bermukim.
November 1995, dua bulan setelah menjabat sebagai bupati Solok, Gamawan mengajak stafnya ke daerah ini. Butuh waktu enam jam berjalan kaki untuk mencapai lokasi itu. Ketika tiba, Gamawan terheran-heran, “Masak iya, Indonesia ini sudah 50 tahun merdeka, masih ada rakyat yang hidup terpencil di lembah-lembah hutan belantara, tidak ada fasilitas apapun. Listrik, sekolah, puskesmas, pasar.”
Waktu rombongan Gamawan sampai di sana, orang yang paling sibuk waktu itu adalah Syamsir, kepala desa Sariak Bayang. Perawakan Syamsir kurus kecil. Tidak ada yang gemuk di desa itu. Rata-rata penampilan mereka lebih tua dari usianya. Misalnya usia 30 tahun, sudah seperti 40 tahun. Anak-anak juga posturnya rata-rata kecil-kecil, pertumbuhan usia tidak sesuai dengan pertumbuhan tubuh. Ada anak usia 12 tahun, tapi posturnya masih seperti anak usia enam tahun. Kecil dan kurus. Mereka tidak ada yang sekolah. Mungkin karena jaraknya yang jauh. Sekolah terdekat sekalipun yang terletak di Alahan Panjang, harus ditempuh dengan empat jam perjalanan.
Satu-satunya orang yang tamat SD di situ hanya Syamsir. Warga di sana memilihnya sebagai kepala desa, karena dialah yang paling tahu baca tulis. Untuk menyelesaikan sekolah dasarnya itu, Syamsir harus meninggalkan “kampung halamannya”. Dia sekolah di Alahan Panjang dan tinggal bersama keluarganya di sana. Setelah tamat, Syamsir kembali lagi ke Sariak Bayang, karena orang tuanya tidak mampu untuk melanjutkan sekolah Syamsir sampai tamat SLTP. Di desa itu, Syamsir tercatat satu-satunya penduduk yang sekolah. Dia dianggap orang yang paling pintar di desa itu.
Apapun, ketika Gamawan sampai di sana, malam hari dia mengumpulkan kepala keluarga di kediaman Syamsir. Mereka bicara santai, bersila, duduk dengan alas tikar daun pandan. Syamsir membuka pertemuan malam itu. “Pak bupati, Bapaklah bupati pertama yang datang ke tempat kami. Terima kasih Bapak mau menjenguk kami.”
Syamsir lantas menceritakan keadaan desa yang dipimpinnya itu. Anak-anak tidak ada yang sekolah, hasil kebun sulit dibawa ke pasar dan warganya sama sekali tidak pernah merasakan mendapat fasilitas kesehatan. “Selama ini, kalau ada yang sakit, paling kami ke dukun, atau minum obat-obatan buatan sendiri.”
Gamawan menyimak cerita Syamsir. Dia menyimpulkan, tidak ada lagi yang harus dipertahankan di wilayah itu, karena tidak bisa menjamin masa depan mereka. “Bapak-bapak, kalau bapak-bapak saya pindahkan ke tempat yang lebih enak dan tidak jauh dari kota, apa bapak-bapak bersedia?”
Syamsir menawarkan pilihan pada Gamawan agar warganya tidak dipindahkan, tapi dibuatkan jalan yang bagus saja ke wilayah yang lebih ramai. Usulan Syamsir ditampung Gamawan. Namun, setelah dihitung-hitung, dananya besar juga untuk membangun jalan menuju ke wilayah itu.
Pada rapat kerja bupati se-Sumatera Barat, Gamawan mengungkapkan rencana itu. Gubernur Sumatera Barat, Hasan Basri Durin, mendukung penuh rencana Gamawan. Dia meminta kepala dinas yang terkait untuk ikut mendukung program pemindahan itu sesuai dengan tugasnya masing-masing.
Sejak itu, konsentrasi Gamawan tertuju pada program itu. Dia memanggil Sudirman Gani, kepala kantor Pembangunan Masyarakat Desa (PMD). Laki-laki berperawakan besar tinggi itu, mempunyai tugas untuk mencari sumber dana yang sesuai dengan program. Gani kemudian melakukan lobi dengan PMD di tingkat propinsi. Awalnya, tanggapan tidak menggembirakan karena dana yang tersedia dan belum terpakai, tidak untuk program pengentasan wilayah terisolasi. Pokoknya, tidak sesuai dengan program yang ada di PMD. Kemudian Gani menemui kepala kantor PMD Sumatera Barat, Mozar Mochtar dan menjelaskan lebih detail tentang rencana itu. Program dapat disesuaikan dengan program PMD Sumatera Barat.
Awal tahun 1996, program mulai dilaksanakan. Setelah melakukan pembebasan tanah, rumah-rumah mulai dibangun. Sebanyak 70 rumah setara tipe 36 perumahan fasilitas BTN (Bank Tabungan Negara) selesai pada awal 1997. Tahun itu juga, masyarakat Sariak Bayang, pindah ke lokasi baru yang sudah dilengkapi fasilitas sekolah, puskesmas dan jalan untuk menuju pusat Kecamatan Alahan Panjang. Sejak itu mereka tidak lagi harus berjalan kaki selama satu hari untuk ke pasar. Anak-anak mereka pun mulai bersekolah.
Gamawan memahami keadaan ekonomi masyarakat yang baru dia pindahkan itu. Di tempat yang baru itu mereka tidak langsung dapat menikmati hasil perkebunan, yang baru mereka kembangkan bersamaan dengan kepindahan mereka. Untuk mengatasi masalah yang muncul, Gamawan memberikan bantuan jatah hidup kepada tiap keluarga selama dua tahun. Kini kondisi mereka jauh lebih baik dari sebelumnya. Wilayah itu, kini popular dengan sebutan SARIAK BAYANG MASA KINI.
April 1997, Menteri Transmigrasi Siswono Yudo Husodo meresmikan pemukiman itu. Setelah melihat dari dekat program pemindahan masyarakat terasing itu, Siswono bilang, “Kalau semua bupati bisa melakukan program semacam ini, pemerintah pusat tak repot-repot lagi melaksanakan program transmigrasi.”
Akhir tahun 2001, Gamawan kembali mendatangi warganya yang masih hidup terisolasi. Lokasinya di Lubuk Tareh. Wilayah ini terletak di Kecamatan Payung Sekaki, di pinggir kali yang bermuara di Garabak Data, Kecamatan Tigo lurah. Untuk sampai ke sana, dibutuhkan waktu dua hari dua malam. Berjalan kaki menuju Talang Babungo, terus ke Gerabak Data dan selanjutnya ke Jorong Data, setelah melintasi hutan belantara di wilayah ini, barulah sampai ke Lubuk Tareh.
Gamawan datang ke sana setelah melantik walinagari Sariak Alahan Tigo di Kecamatan Hiliran Gumanti, kecamatan paling timur Kabupaten Solok. Dia datang bersama Wakil Ketua DPRD Kabupaten Solok, Martius, Sekretaris Daerah Kabupaten Solok Drs. Safril Khatib, serta beberapa pejabat lainnya. Beberapa wartawan ikut dalam perjalanan ini.
Di sana, bermukim 64 kepala keluarga. Nasib mereka sama dengan penduduk Sariak Bayang saat belum dipindahkan. Rumah mereka terpencar-pencar, saling jauh, jaraknya rata-rata 500 meter baru ada satu rumah. Tidak ada sekolah, penerangan dan kesehatan. Mereka pun tak punya akses untuk membangun perekonomian karena jalan menuju kota tidak ada, apalagi pasar. Mereka hidup dengan hanya mengandalkan kemurahan alam.
Solusi dengan membangun fasilitas jalan tidak mungkin dilakukan di wilayah ini. Dan seperti pada warga Sariak Bayang, mereka dipindah ke lokasi lain yang lebih punya akses ke daerah lain.
Tahun 2002, Gamawan mulai merealisasi rencana itu, dengan membuka lahan di kaki bukit dan di pinggir sungai Garabak. Proses pembangunan wilayah itu membutuhkan waktu selama satu tahun setengah. Pertengahan tahun 2004, pembangunan 64 kepala keluarga itu selesai. Rumah-rumah semen dengan luas 4 x 6 berjajar rapi di daerah, yang dulunya hutan belantara. Gamawan tak ingin anak-anak di Lubuk Tareh ketinggalan dalam pendidikan. Dia membangun sekolah dasar dan puskesmas di tengah pemukiman itu.
Tanggal 4 Oktober 2004, Gamawan meresmikan pemukiman baru itu. Malam sebelum peresmian, seisi kampung berkumpul di lapangan. Malam itu mereka bergembira, menyanyi dan lantunan musik dangdut.
Ketika pemukiman itu diresmikan, ada satu bangunan penting yang belum selesai. Sebuah masjid. Anggaran tidak memadai untuk menyelesaikan tempat ibadah itu. Untuk menyelesaikan bangunan itu Gamawan punya cara tersendiri. Dia mengelar acara Badonce , organ tunggal mengiringi suara Gamawan. Hari itu Gamawan “melelang” suaranya.
Masyarakat Lubuk Tareh, banyak yang terkejut menyaksikan aksi Gamawan menyanyi. Mereka seperti tidak menyadari kalau yang menyanyi itu adalah bupatinya. “Bapak seperti penyanyi betulan ya,” kata seorang ibu yang tampak gembira menikmati irama dan suara Gamawan.
Usai menyanyikan lagu itu, Gamawan memimpin pengumpulan uang. “Bapak-bapak, ibu-ibu, di sebelah kanan kita, ada sebuah kerangka bangunan masjid. Pekerjaan itu terbengkalai karena kekurangan dana. Untuk menyelesaikan masjid itu memerlukan dana Rp 25 juta,” kata Gamawan.
Seorang laki-laki memakai seragam pegawai negeri sipil, yang semula duduk di tenda, berlari menuju pentas. Tangan kanannya menggenggam selembar uang seratus ribu. “Dari dinas pertanian, seratus ribu,” katanya sambil menyerahkan uang pada Gamawan yang berada di atas pentas. Gamawan menyerahkan uang itu pada jurucatat.
“Terima kasih, dari dinas Pertanian seratus ribu, yang lain ayo, bagaimana?” Gamawan terus “ngoceh” di atas pentas, persis juru lelang profesional.
Dari sebelah kiri pentas, seorang berperawakan besar tinggi berteriak. “Dari fraksi Golkar, Rp 300.000.” Pria ini anggota legislatif Kabupaten Solok.
Gamawan terus berceloteh di atas pentas.
Termin pertama, dengan “menjual satu lagu” Gamawan berhasil mengumpulkan uang sebanyak Rp 8 juta. Masih kurang banyak. Gamawan menyanyi lagi.
Pengumpulan dana dimulai lagi. Saat Gamawan sedang menyanyi, seorang ibu mengedarkan sebuah baskom kepada penduduk Lubuk Tareh yang siang itu semuanya berkumpul di lapangan. Walau mereka belum terbilang punya penghasilan cukup, mereka tetap menyumbang. Ada yang hanya Rp 500, Rp 1.000, ada juga Rp 10 ribu.
Termin kedua itu, Gamawan berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp 17 juta. Dan Gamawan menyanyi lagi hingga dana itu mencapai Rp 25 juta. “Bulan puasa nanti, masyarakat Lubuk Tareh sudah dapat memanfaatkan masjid dari hasil sumbangan bapak-bapak dan ibu-ibu ini untuk tarawih,” kata Gamawan, sambil menunjuk para penyumbang.
Memindahkan ibu kota
Dari daerah terisolasi, Gamawan Fauzi beralih ke kawasan lain. Bukan untuk memindahkan penduduk terisolasi. Kali ini, Gamawan ingin memindahkan seluruh aparatur kabupaten ke tempat lain yang lebih lega, yang memungkinkan aparatnya dapat melayani warga dengan lebih baik. Gamawan mengincar sebuah desa di pinggang Gunung Talang, yang jaraknya 37 kilometer dari kota Padang, atau sekira 27 kilometer dari Kota Solok.
Di hamparan tanah kosong bebukitan di sebelah Timur Bukit Barisan itulah dia hendak mendirikan sebuah pusat pemerintahan, mulai kantor bupati, dinas dan badan-badan pemerintahan, sampai sarana olahraga: lapangan basket, voli, tenis.
Obsesinya kesampaian.
Kini, di sana telah berdiri kompleks perkantoran yang cukup megah. Komplek ini sebenarnya baru sebagian dari impian Gamawan untuk mewujudkan kawasan Aro Suko sebagai ibukota Kabupaten Solok. Sekadar catatan, sejak tahun 1970 ibukota Kabupaten Solok telah berkembang menjadi sebuah kotamadya, yaitu Kotamadya Solok. Sejak saat itu, ibukota Kabupaten Solok berada dalam wilayah pemerintahan Kotamadya Solok.
Menurut Gamawan, sebagai daerah ibukota, Aro Suko akan dilengkapi berbagai infrastruktur, termasuk bangunan rumah sakit, pusat kegiatan keagamaan, dan komplek perkantoran lainnya. Berbeda dengan kebanyakan daerah lain, di Aro Suko tidak akan dibuatkan komplek hunian. Gamawan tak ingin latah dengan konsep pembangunan sebuah kota yang cenderung ke arah metropolitan dengan konsep gado-gado, campur aduk, tumpah ruah di satu wilayah.
Obsesi lain, Aro Suko kelak menjadi sebuah kota taman dan akan menjadi obyek wisata. Gayung bersambut, warga Solok sehati dengan ide Gamawan. Ini tercermin dari kesimpulan seminar pada Juni 2003, yang diikuti berbagai elemen masyarakat mulai komunitas perantau, perguruan tinggi, LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau), pers, lembaga swadaya masyarakat hingga para ahli tata ruang lingkungan. Beberapa pejabat yang di sana adalah Setya Budhy Algamar, Sekretaris Jenderal Penataan Ruang Departemen Kimpraswil (Permukiman dan Prasarana Wilayah), Gusmal Dt. Rajo Lelo, ketua LKAAM Solok, Arsyad Agus dari Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Universitas Andalas, dan lainnya.
Saking antusiasnya, peserta ramai-ramai menyumbang nama untuk ibukota Kabupeten Solok. Ada 27 nama yang terjaring. Banyaknya calon nama yang masuk pada seminar itu, mau tidak mau harus di seleksi dulu untuk kemudian hasil seleksi itu dibahas lebih mendalam. Wakil Bupati Elfi Sahlan Ben, memimpin langsung proses seleksi nama-nama yang masuk dibantu ketua DPRD Sa’aduddin AS Ch dan Asisten I Bidang pemerintahan Syamsir Pane.
Nama-nama calon ibukota yang diusulkan adalah Gunung Talang Raya, Gunung Talang, Aro Suko, Kasih Mapan, Suka Baru, Kayu Aro, Suko Gabaru, Sungai Nyalo, Sukarami, Suko Baru, Taman Hutan Raya, Suka Damai, Tri Arga, Kayu Aro Sukarami, Kubuang Tigo Baleh, Koto Barus, Siharo Suka, Danau Kembar, Kota Sakoto dan Gunung Selasih. Sedang untuk predikat kota ada 10 usulan yang masuk. Ada yang mengusulkan kota taman, kota sehat, kota agribisnis, kota pemerintahan, kota kehutanan, kota sehat dan berkelanjutan, kota pemerintahan dan kehutanan, kota selasih dan kota asri.
Gamawan tak ingin mengecewakan para pengusul. Dia membuat kriteria nama yang akan dipakai untuk ibu kota Kabupaten Solok. “Apapun nama yang dipilih, hendaknya bisa mencakup seluruh Kabupaten Solok, serta mencerminkan keberadaan kota baru, hingga mudah diingat dan identik dengan kabupaten itu sendiri.” Setelah melalui voting, warga Solok akhirnya merekomendasikan lima alternatif calon nama ibu kota. Kelima altenatif itu, Kayu Aro Sukarami (KAS), Aro Suko, Sungai Nyalo Sukarami dan Kota Selasih. Sedangkan predikat kota ada tiga altenatif yang disetujui: kota sehat, kota sejuk dan kota taman.
Warga Solok sepakat merekomendasikan lima alternatif calon ibukota kabupaten dan tiga identitas kota. Kelima alternatif itu akan diajukan ke legislatif guna menetapkan satu dari lima nama tersebut dengan peraturan daerah menjadi nama ibukota Kabupaten Solok.
Proses pemindahan itu sendiri diusulkan pemerintah pusat tahun 2003 melalui Pemda Sumbar. Menurut Setya Budhy Algamar, proses pemindahan alias reposisi ini membutuhkan basis teoritis dan regulasi sebagai landasan kriteria penataan ruang bagi kesesuaian reposisi ibukota kabupaten. “Secara teoritis fungsi sebagai pusat pemerintahan akan sangat berpengaruh terhadap bentuk dan luasan pusat kota sendiri, (dan ini) akan banyak ditentukan oleh kondisi fisik dan budaya kawasan setempat.”
Selain mengungkit tiga jenis konsep organisasi terkait dengan penggunaan lahan, Algamar menggariskan pula keharusaan memperhatikan enam elemen pokok bentuk kota, termasuk elemen ruang terbuka yang merupakan prioritas bagi pencapaian sebagai kota berkelanjutan. Ini dilihat dari potensi yang ada di Kayu Aro Sukarami yang merupakan kawasan pemukiman di bawah administrasi Kecamatan Gunung Talang, berpenduduk 3.151 jiwa mencakup dua kenagarian, masing-masing Batang Barus dan Koto Gaek.
Dari empat jenis kota baru, Algamar memasukkan Kayu Aro Sukarami ke dalam kota mandiri dan satelit. Kota mandiri berdasarkan pada karakteristik fungsi, bahwa kawasan pemukiman-pemukiman kecil yang didominasi hutan lebat. Sedangkan kota baru satelit, didasarkan pada karakteritik fisik (jarak) yaitu 2,5 kilometer dari kota Solok dan 37 kilometer dari kota Padang. Artinya, keterkaitan dengan kota Solok dan Padang akan sangat kuat.
Contoh kota baru mandiri adalah Palangkaraya di Kalimantan Tengah, untuk kota baru satelit Kebayoran Baru di Jakarta, Bale Endah di Kabupaten Bandung dan Banjar Baru Surabaya.
Algamar bukan satu-satunya yang tertarik untuk berdebat tentang ibukota Solok. Sejak awal perdebatan ini bahkan hampir bisa dibilang melibatkan seluruh komponen masyarakat. Dari wacana yang berkembang selama ini, kawasan Kayu Aro sering diprediksi sebagai lokasi yang memungkinkan akan ditetapkan sebagai lokasi ibukota. Itu karena, wilayah tersebut sudah memiliki potensi yang memungkinkan untuk dijadikan ibukota.
Pertama, jarak ibu kota daerah Kayu Aro, keterkaitanya dengan seluruh wilayah di Kabupaten Solok cukup seimbang. Kedua, di lokasi itu terdapat lahan yang tidak produktif yang tidak digunakan penduduk sehingga tidak mengganggu. Apalagi 27 hektar lahan itu sudah menjadi milik pemerintah, sehingga proses pelepasannya tidak sulit dan pembiayaan lebih ringan. Ketiga, masyarakat di wilayah itu sangat mendukung dan terbuka untuk menerima kawasan itu menjadi kawasan pemerintah, apalagi di sana sudah ada bangunan permanen bekas workshop bengkel besar yang tidak terpakai lagi. Bangunan itu ternyata pondasinya sangat kuat dan dapat dimanfaatkan setelah diperbaiki terlebih dahulu.
Melihat potensi yang ada di Kayu Aro itu, akhirnya badan legislatif di sana mengizinkan wilayah itu dijadikan ibukota kabupaten. Namun yang tetap menjadi perdebatan panjang adalah nama ibu kota itu. Perdebatan itu bukan saja terjadi pada acara-acara Duduk Basamo, saat sidang terakhir di DPRD juga masih terjadi perdebatan panjang. Pada sidang paripurna DPRD Kabupaten Solok, pada tahun 2003 misalnya, banyak interupsi muncul seiring debat ini. Suasana “panas” itu terjadi pada saat pembahasan nama ibukota Kabupaten Solok.
Rapat paripurna tersebut -- yang juga dihadiri Gamawan Fauzi dan stafnya -- memperdebatkan dua nama yang menjadi alternatif untuk dijadikan nama ibu kota: Kayu Aro Sukarami dan Aro Suko. Fraksi Golkar, Fraksi PPP, Fraksi PAN dan Fraksi TNI/Polri menyetujui nama Aro Suko sebagai nama ibukota. Sedangkan Fraksi Kesatuan, yang merupakan fraksi gabungan dari partai-partai kecil, lebih setuju nama ibukota Kayu Aro Sukarami.
Pilihan nama jatuh pada Aro Suko. Paduan dari Kayu Aro dan Aro Suko.
Sejak DPRD menyetujui ibukota Kabupaten Solok dipindahkan ke Aro Suko, Gamawan tak henti-hentinya melakukan melakukan pembenahan. Konsentrasinya seakan-akan terkuras untuk mewujudkan kota baru itu, sehingga menimbulkan kesan Gamawan tidak peduli dengan pembangunan di bidang lain. “Pembangunan Aro Suko itu kan sangat mencolok hasilnya, dapat dilihat langsung oleh masyarakat. Jadi orang mengira itu saja yang saya bangun, padahal banyak jalan yang di-hotmix. Nggak bener saya lupa dengan sektor lain.”
Agar pembangunan Aro Suko tidak mengganggu pembangunan sektor lain, Gamawan melakukannya secara bertahap. Tiap tahun, satu bangunan didirikan di sana. Itu dilakukan selain untuk pemerataan pada sektor lain, Gamawan juga tetap punya kesempatan untuk terus membenahi dan mengaji tataruang sesuai dengan perencanaan. Dia sangat hati-hati mewujudkan konsep kota masa depan itu. Dia bahkan tak henti-hentinya melakukan diskusi dan mendatangkan ahli tata ruang kota.
Pelaksana OTDA Pertama
Gamawan merasa bersyukur, ketika otonomi daerah dicanangkan dia masih menjadi kepala daerah. Pemerintah pusat memberikan kewenangan pada daerah untuk mengurus dirinya sendiri, dengan mengeluarkan UU nomor 2 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Dia punya kesempatan menerapkan konsep itu di Solok.
Undang-undang yang menggantikan UU nomor tahun 1974 itu adalah buah reformasi yang bergulir sejak 1998. Pemerintah terpacu untuk melakukan perombakan sistim pemerintah yang otoriter , menjadi pemerintah yang demokratis. Penerapan demokrasi lokal yang mengandung nilai-nilai demokrasi dan kemajemukan masyarakat pun segera digulirkan.
“Otonomisasi,” demikian Bung Hatta pada 1950-an lampau, “tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya prakarsa sendiri untuk mengambil keputusan mengenai kepentingan masyarakat setempat. Dengan berkembangnya prakarsa sendiri maka tercapailah apa yang dimaksud demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Rakyat tidak saja menetapkan nasibnya sendiri, melainkan juga terutama memperbaiki nasibnya sendiri.”
Konsep demokratisasi yang dituangkan dalam otonomi daerah yang mengandung makna kebebasan mengatur diri sendiri itu, disambut suka cita masyarakat Kabupaten Solok, dan Gamawan sudah menyiapkan konsep, sebelum pemerintah pusat mengesahkan pada 1 Januari 2000.
Konsep itu dirancang Gamawan sepanjang bulan Ramadhan tahun 1999, usai terawih. Gamawan masuk ke ruang kerjanya di kediaman dinasnya di Kayu Aro. Ruangan itu penuh buku. Ada buku The Seven Habit, Rich Dad and Poor Dad, Megatrend Asia, Goblal Paradox, The End of National State, dan sebagainya. Di ruang kerjanya ini Gamawan menuangkan ide-idenya, konsep-konsepnya, terutama kalau tidak ada tamu. Gamawan baru keluar dari sana pada pukul 02.00 WIB.
Konsep yang dikerjakan Gamawan itu membuahkan hasil. Ketika pemerintah pusat mencanangkan otonomi daerah, satu hari kemudian, 2 Januari 2004, Kabupaten Solok mengesahkan berlakunya otonomi daerah. Pada hari itu, ribuan orang memadati lapangan sepak bola Batu Batupang untuk menyambut datangnya pelaksanaan otonomi tadi. Perhelatan dimeriahkan oleh group band yang melantunkan lagu-lagu tradisional dan pop Minang. Tarian kolosal dibawakan oleh gabungan siswa SD dan SMP di Kabupaten Solok ikut menyemarakkan suasana.
Di atas podium, para pejabat – baik dari tingkat propinsi maupun kabupaten – hadir. Gamawan Fauzi duduk di kursi barisan tengah, Vita Nova, sang istri, mendampinginya.
Tepat pukul 10.00 WIB Gamawan memukul gong sebanyak tiga kali. Suaranya menggema ke seantero lapangan, disusul gemuruh tepuk tangan dari seluruh warga yang memadati lapangan bola, di Koto Baru.
Hari itu, resmilah Kabupaten Solok sebagai daerah yang otonom. Ini sekaligus menempatkan Kabupaten Solok ternyata sebagai kabupaten pertama di Indonesia yang mencanangkan otonomi daerah. Dua hari kemudian, 4 Januari 2004, Gamawan melantik pejabat Kabupaten Solok dan meresmikan struktur pemerintahan di era otonomi daerah itu.
Sebelum otonomi daerah diresmikan pemerintah pusat, pada masa sosialisasi UU nomor 22 tahun 1999 itu, Gamawan diundang TVRI stasiun pusat untuk mengikuti talkshow dengan tema otonomi daerah. Di layar kaca itu, Gamawan tampil bersama Ryas Rasyid, pemikir otonomi daerah dan Arbi sanit, pengamat politik Indonesia.
Sebagai bupati yang dimintai pendapatnya tentang pelaksanaan otonomi daerah, Gamawan tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk menekankan bahwa otonomi daerah adalah konsep pemerintahan yang sudah ditunggu rakyat. “Kebutuhan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.”
Pulihnya Pemerintahan Nagari
Tahun 1983, masyarakat Ranah Minang seakan tak berdaya, ketika budaya, adat, agama yang terangkai harmonis dalam sebuah Pemerintahan Nagari, harus mereka tinggalkan. Padahal, itulah sistem pemerintahan yang selama ini menyatu dalam nafas kehidupan masyarakat Minang.
Keharmonisan itu pudar seiring diberlakukannya UU No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Mereka harus melaksanakan sistem baru, dengan membongkar struktur Pemerintahan Nagari sebagai pemerintahan terendah, dan memaksakan pemerintahan desa sebagai pemerintahan terendah. Padahal, keistimewaan sistem Pemerintahan Nagari telah diakui oleh negara seperti tercantum dalam UUD 45, pasal 18 ayat 2:
“Dalam teritorial negara Indonesia terdapat kurang lebih 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenchappen, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan, oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah tersebut dengan segala peraturan negara yang mengenal daerah itu mengingat hak-hak asal usul daerah tersebut.”
Pengakuan negara diingkari sendiri oleh rezim Orde Baru. Semua wilayah di Indonesia harus menetapkan desa sebagai pemerintahan terendah dan tiap desa.
Saat dialihkan dengan sistim pemerintahan desa, keadaan parah sekali. Dalam waktu bersamaan terjadi perpecahan kelompok masyarakat. Satu nagari pecah menjadi empat desa. Kalau gotong royong di desa A si B tidak ikut, kalau di desa si B, si A tidak ikut, padahal sebelumnya mereka satu Nagari. Semuanya jadi terpecah-pecah, mereka terpisah-pisah, kultur masyarakat jadi rusak, padahal yang mengikat keluarga itu adalah kesatuan nagari, satu nagari masih keturunan ada yang hubungan geneologi, hubungan kekeluargaan, bukan hubungan teritorial semata.
Keadaan itu tidak saja berdampak pada perpecahan sosial budaya pada masyarakat Minang tapi juga berimbas pada kehidupan beragama. Surau yang sebelumnya adalah tempat menyatukan kata warga nagari, perlahan-lahan ditinggalkan. Keadaan itu berlangsung selama puluhan tahun.
Maka, ketika era otonomi telah dilaksanakan di Kabupaten Solok, Gamawan melihat peluang yang selama ini dia tunggu-tunggu. Daerah mempunyai kewenangan untuk menetapkan nama dan bentuk pemerintahan sendiri. Gamawan tidak menunda-nunda kesempatan itu, apalagi masyarakat Solok sangat bersemangat untuk menghidupkan kembali sistem Pemerintahan Nagari
Tak terkecuali dari para ninik mamak, pemangku adat di Junjung Sirih Paninggahan. Semangat itu muncul ketika mereka kesulitan untuk menyusun program desa. Dengan jumlah penduduk yang sangat sedikit akan sulit membuat program. Maka timbullah ide dari para pemangku adat itu untuk kembali lagi ke sistem Pemerintahan Nagari. Ide itu kemudian disampaikan pada Gamawan, dan Gamawan setuju.
Tahun 2000, konsep Pemerintahan Nagari mulai disusun bersama pemuka-pemuka masyarakat. Karena sistem ini pernah berlaku di Sumatera Barat, tidak terlalu sulit bagi mereka untuk menyelesaikan konsep itu. Mereka akhirnya menetapkan tiga nagari percontohan di Sumani, Kecamatan X (baca: sepuluh) Koto Singkarak, Gantung Sirih di Kecamatan Kubung dan Alahan Panjang, Kecamatan Lembah Gumanti.
Langkah Kabupaten Solok menghidupkan kembali Pemerintahan Nagari mendapat tanggapan positif dari warga. Termasuk pers. Media massa di Padang, tak henti-hentinya mengupas sistem dan terus memantau jalannya roda pemerintahan di tiga nagari percontohan tadi.
Agar sistem tersebut segera diakui oleh pemerintah Sumatera Barat, Gamawan dan pemuka masyarakat berinisiatif menyampaikan konsep itu ke tingkat propinsi. Gubernur Hasan Basri Durin langsung merespon. Tahun itu juga, Propinsi Sumatera Barat mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) nomor 9 tahun 2000 tentang ketentuan pokok Pemerintahan Nagari. Maka, ketika Pemerintahan Nagari diberlakukan kembali di Sumatera Barat, Kabupaten Solok jadi daerah yang paling siap.
Menyusul keputusan tersebut, Kabupaten Solok menerbitkan Perda nomor 4 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Nagari. Perda yang berlaku efektif tahun 2002 ini dilengkapi dengan diterbitkannya Surat Keputusan (SK) nomor 7/ tahun 2002, tentang Petunjuk Teknis (Juknis) pelaksanaanya.
Berbekal peraturan yang ada, banyak pemuka masyarakat yang datang pada Gamawan untuk meminta kebijaksanaan bupati mengizinkan pembentukan nagari baru. Tidak semua permintaan dikabulkan, sebab Gamawan tetap konsisten untuk menerapkan aturan, hanya wilayah yang memenuhi persyaratan yang bisa ditetapkan sebagai Pemerintahan Nagari. Misalnya, kasus Lurah Nan Tigo Kenagarian Salayo Kecamatan Kubung. Sekalipun pemuka di sana mengerahkan masyarakat ke Gedung DPRD, namun Gamawan tetap tak mengizinkannya, sebab mereka belum memenuhi syarat dibentuknya Nagari Induk.
Begitu juga warga di Tigo Lurah Kenagarian Koto Anau, Taratak Pauh Kanagarian Sungai Nanam. Mereka berupaya keras agar wilayahnya dijadikan sebuah nagari. Bahkan mereka menggunakan kekuatan pers untuk mewujudkan keinginan mereka, dengan sedikit “mengancam” jika Gamawan tidak memenuhi keinginan mereka. Gamawan tetap tidak mengizinkan masyarakat Tigo Lurah membentuk kenagarian, sepanjang persyaratan belum dipenuhi. Gamawan kemudian mengarahkan dan memberikan masukan-masukan pada warga di Tigo Lurah itu.
Berkali-kali Gamawan menghadapi persoalan pada proses pengembalian ke sistem Pemerintahan Nagari Tahun 2003. Misalnya, konflik tapal batas antar warga Kenagarian Muaro Pingai dengan Kenagarian Saningbakar. Akibatnya, 6.000 batang pohon jati super dirambah warga Muaro Pingai karena pohon itu dinilai hak mereka. Munculnya persengketaan tapal batas nagari ini, menurut mereka, karena masing-masing nagari berlomba-lomba untuk menaikkan pendapatan nagari seperti galian C bahan tambang dan lainnya.
Persoalan itu juga terjadi di lingkup internal pemerintah Solok, khususnya di kecamatan. Pembatasan wewenang antara bupati dan walinagari adalah pucuk persoalannya. Para camat merasa khawatir sistem itu akan mengakibatkan wewenangnya terabaikan. Khawatiran terjadi berupa munculnya overlapping kewenangan antara camat dengan walinagari. Sejumlah camat bersuara lantang, bahwa banyak walinagari yang “main tembak langsung”. Artinya walinagari sudah menjadi raja-raja kecil dan langsung tiap sebentar menghadap bupati Solok, tanpa koordinasi dengan camat. Satu contohnya, terkait dengan Dana Alokasi Untuk Nagari (DAUN). Tak jarang walinagari menaikkan proposal langsung ke BPKD (Badan Pengelola Keuangan Daerah) Kabupaten Solok tanpa ada tanda tangan camat wewenang. Yang harusnya jadi wewenang camat, tiba-tiba kini diambil walinagari.
Demi mendinginkan situasi sekaligus mengoreksi kesalah-kaprahan selama ini, Kabupaten Solok menerbitkan SK nomor 8 tahun 2002 yang secara tak langsung mengembalikan camat dan walinagari ke posisi yang sebenarnya, sebagaimana termaktub dalam bab III bagian ke –3 pasal 9 sd 11 tentang hubungan pemerintahan kecamatan dengan pemerintahan nagari.
Pasal 9 menerangkan, bahwa camat adalah perangkat daerah dan perpanjangan tangan bupati di wilayah kecamatan. Camat berkewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap nagari serta mengkoordinasikan penyelengaraan kegiatan lintas nagari dalam wilayahnya. Sementara walinagari disebutkan sebagai pemimpin Pemerintahan Nagari dalam melaksanakan kewenangan nagari, serta tugas dan kewenangannya berdasarkan pedoman Perda nomor 4/2001 tentang Pemerintahan Nagari dan Keputusan Bupati Solok no 16 tahun 2001 tentang sebagai urusan pemeritahan kabupaten kepada nagari serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Gamawan juga mengingatkan para camat maupun walinagari akan fungsinya masing-masing. Dia mengatakan, camat itu harus mengubah paradigma. Camat itu dulu kepala wilayah sesuai UU 5 tahun 74, sekarang dia pembantu bupati, bukan kepala wilayah. “Nah ini yang susah, dia harus berubah, bukan yang lain yang berubah. UU mengatakan, camat bukan kepala wilayah, dia pembantu bupati di wilayah kecamatannya. Tapi karena yang lama, yang bisa jadi waktu itu, dia kepala wilayah. UU No 5 tahun 74.”
Camat-camat yang baru tidak masalah, karena dia mengerti. Tapi beberapa pejabat camat yang lama, susah mengerti. Menurut Gamawan, camat yang masih punya paradigma lama masih sekitar 40 persen.
Walinagari sendiri, dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, bertanggungjawab kepada rakyat melalui Badan Perwakilan Nagari (BPN) dan menyampaikan laporan pada pelaksanaan tugasnya bupati melalui camat. Sedangkan tatacara penyampaian pertanggungjawaban walinagari, berpedoman pada pada SK Bupati Solok nomor 13 tahun 2001 tentang tatacara pertanggungjawaban walinagari. Hubungan antara nagari dengan pemerintah kabupaten dalam bentuk administrasi melalui atau diketahui camat.
Gamawan bisa memaklumi kontroversi selama ini. Dia melihatnya sebagai dinamika yang muncul sebagai akibat terbukanya kran demokrasi yang selama ini terbendung oleh otoritas pemerintahan Orde Baru.
Kembali ke Surau
Pemerintahan Nagari dan surau ibarat dua sisi satu mata uang.
Adat Basandi Syarak
Syarak Basandi Kitabullah
Ungkapan tersebut mengekspresikan betapa nagari dan surau tak bisa dipisahkan. Dan ini sudah berlangsung sejak abad ke 13, lengkap dengan segala pergumulannya. Berbagai kalangan mengatakan, pergumulan ini merupakan proses penyesuaian adat dan agama Islam dan bukan suatu proses saling menyingkirkan. Ini karena masyarakat Minangkabau melihat, adat dan agama sama-sama baik dan berguna sebagai pedoman hidup.
Kekuatan adat dan agama itu, bahkan mungkin tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Minang, termasuk juga dalam sistem Pemerintahan Nagari. Karenanya, konsep kembali ke nagari sangat identik dengan kembali ke surau.
Gamawan sebenarnya sudah memendam kekecewaan yang amat dalam ketika tahun 1983, rezim Orde Baru secara otoriter memaksanakan setiap daerah untuk melaksanakan UU nomor 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Semua Nagari di tanah Minang praktis terpecah berai. Bukan saja dari segi teritorialnya saja, tapi segi kehidupan, kekerabatan, keagamaan adat, budaya. Surau yang dulu menjadi tempat pembinaan akhlak masyarakat Minang juga ikut terabaikan. Sejak itu Gamawan sudah mulai prihatin. “Daya tarik surau saat ini sudah mendekati titik nol, membutuhkan waktu lama untuk mengembalikan fungsi surau seperti dulu.”
Kini Gamawan mengemban tugas berat bersama pemuka agama dan pemuka adat untuk mengembalikan nilai-nilai yang melekat pada sistem Pemerintahan Nagari. “Kembali ke nagari, bukan saja hanya bertukar nama, dari pemerintahan desa ke Pemerintahan Nagari, tetapi lebih mengandung nilai-nilai luhur sosial budaya adat serta agama.”
Gamawan menyadari, untuk kembali seperti dulu akan sulit, tidak mungkin dalam waktu singkat mengingat kerusakannya telah berlangsung cukup lama. Gamawan perlu menata kembali struktur Pemerintahan Nagari dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Hal terberat adalah menyelaraskan mengembalikan fungsi ninik mamak seperti sediakala yang selama Pemerintahan Nagari dihapus hanya berfungsi sebagai pemersatu umat saja, padahal sebelumnya ninik mamak punya peran yang besar dalam menyelesaikan persoalan-persoalan warganya. Karenanya Gamawan merasa perlu untuk menyiapkan perangkat-perangkat lainnya agar proses pengembalian nilai-nilai itu segera terealisasi, termasuk bagaimana mengembalikan adat budaya dan kegiatan keagamaan.
Gamawan mencatat begitu banyak pergeseran nilai yang terjadi akibat masyarakat Minang meninggalkan surau. Banyak orang Solok yang kehilangan jati dirinya sebagai masyarakat Minang. “Masih banyaknya tokoh masyarakat yang melindungi kemungkaran.Dan anak-anak muda gampang sekali diajak ke jalan yang sesat.” Semua ini menurut Gamawan, akibat dari tidak berfungsinya lagi dakwah dalam pembinaan umat. Apalagi sering Gamawan memperhatikan, dakwah-dakwah yang disiarkan tidak menyentuh hati, dan masih menggunakan metode klasik dan penyampaiannya kadang tidak sesuai dengan lingkungan.
Gamawan serasa ingin berlari untuk mengembalikan kondisi yang selama 17 tahun hilang. Ketika kesempatan itu ada, yaitu saat otonomi diberlakukan, Gamawan membuat konsep kembali ke surau yang dia paparkan dalam acara Duduk Basamo. Bersama pemuka adat, pemuka agama dan elemen masyarakat lainnya, Gamawan menyusun strategi untuk mempercepat proses kembali ke surau.
Langkah pertama Gamawan adalah membangun surau percontohan, sebanyak 13 unit, dengan 1.100 santri. Fungsi surau dikembalikan lagi seperti semula: sebagai tempat untuk menyatukan kata, sekaligus wahana generasi Minang dalam menempa dirinya, baik di bidang agama maupun keterampilan fisik.
Konsep surau berintikan beberapa hal. Pertama, Kantor Urusan Agama (KUA) tingkat kecamatan menetapkan salah satu surau pada setiap kecamatan untuk dijadikan pilot percontohan. Kedua, sebagai tahap awal perlu ditetapkan dan ditugaskan tenaga pembina pada surau bersangkutan untuk mengajar Al-quran, yang terdiri atas dua orang penyuluh agama muda, untuk mengajar ilmu pengetahuan adat alam Minangkabau terdiri atas satu orang datuk atau penghulu, dan untuk mengajarkan ilmu bela diri atas seorang ahli. Ketiga, kesejahteraan guru diimbau dipenuhi dari partisipasi masyarakat.
Pengembangan konsep surau juga mendapat landasan Perda nomor 7 tahun 2001 tentang arah pembangunan Kabupaten Solok 2001-2005. Arah ini dijabarkan lebih lanjut dalam 15 strategi, di antaranya peningkatan kualitas iman dan ketaqwaan masyarakat Kabupaten Solok.
Untuk itu, pemerintah bersama seluruh komponen masyarakat melakukan sejumlah kegiatan berkenaan dengan misi kembali ke surau, yang meliputi sosialisasi, pelatihan, penyuluhan, penataran, pembinaan, dialog, seminar tentang agama dan adat, selain imbauan berpakaian muslimah. Pada saat yang sama, pemerintah setempat memandang perlu meninjau kembali peraturan-peraturan berkenaan dengan zakat, penerimaan tenaga penyuluh agama, tambahan jam pelajaran agama di sekolah umum, perbaikan pelajaran agama di SMU adat, selain membangun pesantren dengan taraf nasional serta melengkapi sarana dan prasarana agama dan adat.
Perda Pakaian
Seiring menguatnya gerakan kembali ke surau, internalisasi syariat Islam ke dalam kehidupan bernegara pun semakin menguat pula. Dalam berpakaian, umpamanya, Gamawan menginginkan warganya dapat menjalankan salah satu syariat Islam, yakni menutup aurat. Perwujudannya, apalagi kalau bukan berbusana muslim dan muslimah.
Ambisi Gamawan – yang bersandar pada falsafah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” – itu mulai terkabul. Kini banyak pelajar yang mengenakan rok sampai sebatas mata kaki, blus panjang putih menutupi pergelangan tangan. Belum lagi kerudung putih menutupi kepala mereka, yang lazim disebut “jilbab”.
Pola berpakaian semacam itu merupakan ekor Perda Nomor 6 Tahun 2002, yang dikeluarkan pada 11 Maret 2002. Aturan ini menetapkan kewajiban menggunakan pakaian muslim dan muslimah di Kabupaten Solok. Gamawan merasa perlu memberlakukan hal tersebut demi membentengi diri dari pengaruh buruk era globalisasi. Dia melihat, salah satu bentuk penjajahan budaya yang mungkin terjadi adalah melalui pakaian, sehingga orang tanpa sadar berpakaian tidak sesuai dengan ajaran agama dan budaya yang dimiliki selama ini.
Gamawan berharap, Perda itu dapat mewujudkan suasana kehidupan masyarakat yang mencerminkan kepribadian muslim dan muslimah, selain untuk visi dan misi Solok yang beriman dan bertaqwa, sekaligus melestarikan pakaian adat sesuai dengan ungkapan “syara’ mangato adat mamakai”.
Menyadari bahwa berbusana muslim atau muslimah menyangkut kesadaran pribadi, maka kewajiban dan pelaksanaan berbusana muslim dan muslimah masih terbatas pada karyawan dan karyawati, mahasiswa dan mahasiswi serta pelajar SLTP, SLTA dan sederajatnya. Mereka diwajibkan berbusana muslim dan muslimah pada kantor-kantor pemerintah, swasta, sekolah, lembaga pendidikan sekolah dan luar sekolah serta acara-acara resmi. Sementara bagi warga masyarakat umum masih bersifat anjuran.
Pakaian yang dikenakan, baik laki-laki maupun perempuan, ditetapkan untuk tidak tembus pandang dan tidak memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh. Sementara ketentuan model pakaian diatur lebih lanjut dengan keputusan bupati. Sedangkan ketentuan berbusana muslim dan muslimah pada acara resmi, menyesuaikan dengan jenis acara dan ketentuan yang berlaku setempat. Namun, menurut Gamawan, panitia harus mencantumkan dalam undangan kewajiban menggunakan busana muslim dan muslimah.
Layaknya sebuah Perda, ada sanksi bagi yang melanggarnya. Bagi karyawan, dosen, guru dan lainnya akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan disiplin pegawai. Sedangkan siswa dan mahasiswa, sanksi akan diberikan secara bertingkat; mulai ditegur secara lisan, tertulis, diberitahukan kepada orang tua, tidak diperbolehkan mengikuti pelajaran di sekolah hingga dikeluarkan dari sekolah.
Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah tersebut dilakukan oleh bupati, atau pejabat lain yang ditunjuk serta tokoh masyarakat.
Tentu saja mereka yang non-Islam tak diwajibkan untuk berbusana muslim dan muslimah. Hanya, diharapkan busana yang mereka gunakan menyesuaikan dengan ketentuan yang berlaku bagi agama masing-masing.
Sebelum peraturan tersebut, pegawai kantor bupati Solok sudah mulai mengenakan busana muslim. Ini lantaran Gamawan menginstruksikannya lewat surat keputusan tentang pemakaian busana muslim bagi pegawai di lingkungan kantor bupati Solok.
Sebelum Perda diberlakukan, Gamawan menyaring berbagai pendapat yang berkembang dalam diskusi-diskusi tentang aturan bagi pegawai negeri perempuan yang harus menggunakan buana muslimah. Perdebatan umumnya menyangkut kepraktisan penggunaan busana. Banyak pegawai yang merasa akan repot jika harus menggunakan busana muslim. Sebuah persepi yang mengatakan, busana muslim identik dengan rok panjang atau baju kurung. Gamawan berpendapat, busana muslim sifatnya untuk menutup aurat. Tidak ada larangan kalau perempuan menggunakan celana panjang, tidak harus rok, yang penting blusnya panjang dan menutup pinggul
.
“Cut Nyak Dien dulu juga pakai celana panjang. Semua kita tinjau dari sisi kepraktisan. Pegawai itu kan banyak yang bertugas di lapangan. Tentunya akan sulit kalau mereka harus pakai rok panjang.”
Perdebatan soal busana muslim terus berlanjut. Bahkan ketika peraturan tersebut sedang diproses. Burhanuddin Chatib, ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Solok mengamati, perdebatan itu sempat terjadi di kalangan anggota legislatif juga. Sebagian anggota DPRD tidak setuju, karena Indonesia bukan negara Islam. Sebagian lain, dengan komposisi lebih besar, berpendapat bahwa walapun kita bukan negara Islam tapi bagaimanapun Islam mengatur kehidupan masyarakatnya, yang kebetulan di Solok Islam jadi agama mayoritas.
Dengan dukungan suara mayoritas di kalangan legislatif, yang rata-rata anggotanya tokoh agama dan tokoh adat, akhirnya peraturan itu diputuskan.
Burhanuddin Chatib mengatakan, meskipun peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pelaksanaan syariat agama awalnya banyak ditentang masyarakat, namun karena pendekatan yang dilakukan Gamawan sangat agamis, peraturan-peraturan tersebut kini telah diterima masyarakat. Peraturan-peraturan itu meliputi Perda nomor 6 tahun 2002 tentang busana muslim, Perda nomor 10 tahun 2001 tentang baca tulis Al-qur'an, serta Perda nomor 13 tahun 2003 tentang pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah.
Walaupun untuk kalangan masyarakat luas Perda ini “masih bertaraf imbauan”, Burhanuddin melihat, dampaknya cukup baik. Nagari-Nagari mulai merespon peraturan-peraturan tersebut dan dijadikan peraturan di Nagari. Warga juga sudah mulai merasa malu jika tidak menggunakan busana muslim.
“Gamawan menggunakan bahasa agama dan bahasa adat yang bagus. Di situ, saya melihat keberhasilan Gamawan,” kata Chatib, seraya menyitir ungkapan bahwa seorang pemimpin di Sumatera Barat akan berhasil apabila dia bisa berbahasa agama dan berbahasa adat. ■
BAGIAN VII
Pada Sebuah Hutan
Sebuah lagu mengalun dari tape recorder sebuah taksi:
Gontai langkah langkah rimbo
Pasawangan, makin jauah makin
Dalam maramang badan
Raso bakubua banisan tido
Di jurang dalam
Si Bunian bukik Sambuang
Nan tata ruang
Mangko kalam makin hilang
Jalan pulang
Oi urang den sayang saru juo
Tiok sumbayang
Reff:
Tuhan reso rimbo bialah den tahan
Asa jan reso urang nan den tinggakan
Tuhan hujan rinai bialah nak turun
Asa jan turun hujan aia mato
Bayang-bayang urang den sayang
Ubek palai damam kawan
Di malam langang
Terjemahan bebasnya:
Gontai langkah langkah hutan
Jarak makin jauh makin
Dalam menggetarkan badan
Rasa terkubur tanpa batu nisan
Di jurang dalam
Orang bunian hutan sambung
Nan tata ruang
Karena gelap makin hilang
Jalan pulang
Hai orang yang kusayang doakan juga
Setiap sembahyang
Reff:
Tuhan sakit hutan biarlah saya tahan
Asal jangan sakit orang yang saya tinggalkan
Tuhan hujan rintik biarlah turun
Asal jangan turun hujan air mata
Bayang-bayang orang yang saya tinggalkan
Obat capek, demam kawan
Di malam yang sepi
Lagu itu berjudul Si Bunian Bukik Sambuang ciptaan Agus Taher, komponis lokal. Gamawan Fauzi dipercayai membawakannya. Dan saat melantunkan lagu itu, Gamawan sering terlihat begitu menghayatinya. Mungkin ini lantaran pengalamannya di masa lalu, yang sedemikian dalam menusuk alam bawah sadarnya.
Pengalaman itu, tak lain saat dia raib di suatu hutan pada pertengahan Agustus 1998. Gamawan tak sendirian. Dia menghilang bersama seluruh rombongan ekspedisi, yang sedang menjelajahi daerah pedalaman sebagai bagian dari program “pembebasan masyarakat terasing.”
Cerita dimulai ketika datang usulan masyarakat dari Nagari Paninggahan. Nagari ini terletak di pinggir sebuah danau yang elok: Danau Singkarak.
Bupati menyambut rombongan tersebut di rumah dinasnya pada suatu malam. Terjadilah perbincangan antara bupati dan masyarakatnya. Dari diskusi dan perbincangan itu, bupati dilapori bahwa selama ini, warga Paninggahan yang ingin ke kota Padang, terlalu jauh jaraknya. Mereka harus melewati jalan yang sudah ada. Jalan memang sudah bagus, lebar dan beraspal, namun bagi masyarakat yang ada di sana, jalan itu arahnya memutar. Karenanya, para pemuka masyarakat memberikan sebuah masukan pada bupati.
“Pak, kita sebenarnya bisa membuat sebuah jalan alternatif ke kota Padang.”
“Apa alternatifnya?”
“Kalau saja bapak bisa membangun jalan dari pinggiran danau Singkarak ini, lalu ke Padang, kita akan menghemat sekitar 30 kilometer.”
“Kalau begitu, itu dekat ya?”
Menurut warga, selain memperpendek jarak, ada hal lain yang bisa didapat. Kalau jalan terbuka, ada potensi bahan mentah semen di sana, dan jumlahnya lumayan besar. Selain itu, jika daerah tadi terbuka, terdapat beberapa potensi alam yang bisa dikembangkan. Warga yang menanami kebunnya dengan kopi, tanaman palawija dan lainnya, bisa dengan mudah mengangkut produksinya. Tentu saja, hal itu juga akan membuat pendapatan masyarakat semakin meningkat. Multi-efek dari pembangunan jalan ini jelas banyak.
Hal yang tak kalah penting, adanya penelusuran jejak perjuangan. Para perintis kemerdekaan, melakukan perjuangan bersenjata di daerah ini.
Masukan ini menarik perhatian Gamawan. Dan dia ingin membuktikannya. Segera dia memberikan kesempatan pada stafnya untuk menganalisa. Bupati mengirim beberapa orang staf ke sana. Sepulang dari sana, mereka mengadakan rapat dengan bupati untuk membicarakan hasil penelusurannya.
Rapat pun digelar, dihadiri bupati, staf pemerintahan dan tim survai.
“Bagus Pak,” kata salah seorang tim survai.
Bupati merasa perlu untuk melihatnya langsung. “Pak, hari mau tanggal 17 Agustus. Kalau nanti terjadi apa-apa, kan bisa repot juga,” salah seorang staf mencemaskan niat Gamawan.
“Bagaimana kalau para staf dulu yang ke sana,” kata yang lain.
Yang lain justru setuju kalau Gamawan langsung ke lokasi. “Pak, kami sudah melakukan survai dan sudah kami beri tanda-tanda, dan tidak akan tersesat.”
Rapat menghasilkan keputusan untuk melakukan napak tilas massal. Waktu dan tempat pemberangkatan pun ditentukan, 11 Agustus 1998. Napak tilas dimulai dari Nagari Paninggahan dan berakhir di Lubuk Minturun, Padang Pariaman. Jarak dari Paninggahan ke Lubuk Minturun, sekitar 46 km. Dari jarak yang diketahui, diperkirakan perjalanan itu menempuh waktu sekitar dua hari.
Pagi itu, Selasa, 11 Agustus 1998, berangkatlah rombongan dari pelataran kabupaten Solok. Jumlah rombongan ada 136 orang. Banyak warga yang mendampingi. Pelepasan rombongan dilakukan di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), cabang Solok.
Dalam rombongan, terdapat para pejabat pembuat dan penentu keputusan yang ada di Kabupaten Solok. Mulai pejabat eselon II, dan kepala dinas. Mereka antara lain kepala Dinas Perhubungan, kepala Dinas Pekerjaan Umum, dan beberapa pejabat yang lain.
Para tetua adat melepas rombongan di Nagari Paninggahan, setelah sebelumnya diadakan upacara dan doa bersama untuk keselamatan seluruh rombongan.
Berunding di Tengah Hutan
Pada awal perjalanan, rombongan tidak menemui kendala. Mereka berjalan beriringan menapak lebat dan rimbunnya hutan. Tak terasa, waktu telah menjelang sore. Keadaan jalan dan hutan yang mereka lewati, mulai terasa gelap. Hutan semakin lebat. Cahaya matahari makin sulit menembus kegelapan hutan. Rombongan memutuskan untuk menginap pada salah satu punggung bukit.
Esoknya, Rabu, 12 Agustus 1998, rombongan melanjutkan lagi perjalanan. Hutan itu sungguh lebat dan rimbun, seolah belum terjamah tangan manusia. Mereka terus menyusuri jalanan. Seharian itu rombongan berjalan dan beriringan.
Persoalan mulai datang. Beberapa orang menginjak sarang tawon. Mereka kalang kabut dan terpencar. Beberapa orang tersengat. Insiden tak berlangsung lama. Mereka kembali menyatukan diri ke dalam kelompok-kelompoknya.
Persoalan yang lebih besar datang. Ternyata, tanda-tanda yang mereka buat sebelumnya sebagai penunjuk jalan, kini tidak nampak lagi. Pada sebuah punggung bukit , rombongan pun berhenti sejenak untuk mengatur siasat. Hasil dari kemufakatan, rombongan memutuskan untuk mengirim dua belas orang sebagai tim pembuka. Rombongan ini bertugas mencari tanda-tanda yang telah dibuat. Begitu melihat tanda itu, rombongan ini harus balik lagi sehingga seluruh rombongan dapat melanjutkan perjalanan.
Detik berganti menit. Menit berganti jam. Tak terasa, satu jam telah berlalu. Kedua belas orang yang bertugas mencari jejak, tak ada kabarnya. Mereka seolah hilang ditelan bumi.
Akhirnya, rombongan yang masih berjumlah 124 orang, kembali berunding. Beberapa orang yang dianggap mengerti dan mampu membaca kompas dan peta diajak berunding. Mereka harus menentukan langkah, ke arah mana jalan yang harus dilalui.
“Saya kan tak ahli baca kompas, Pak. Siapa yang ahli baca kompas, baca peta, bukan kompas yang otomatis itu, tapi peta hutan,” kata Gamawan.
Lalu, peta hutan dijabarkan dan arah pun ditelisik dengan kompas. Dari perundingan para pembaca arah ini, mereka mencapai sebuah kesepakatan, bahwa untuk mencapai kota Padang Pariaman, harus ke arah barat. Mereka menyampaikan hasil itu ke bupati.
Akhirnya, rombongan melanjutkan perjalanan ke arah barat, seperti yang telah disepakati.
Menjelang jam enam sore, jalan yang ada di hadapan mereka tidak nampak lagi. Tidak ada gambaran, mereka akan sampai di Padang Pariaman, seperti jadwal yang telah ditentukan.
Apa yang menghampar di hadapan mereka, sungguh menciutkan nyali, bagi yang tak terbiasa mengikuti kegiatan alam bebas. Bukit itu seolah tak ada putusnya. Sambung menyambung dan berbaris. Tak heran jika orang menyebutnya Bukit Barisan. Bukit itu memiliki jurang yang sangat dalam, dengan puncak menjulang seperti kerucut. Sanking dalamnya, sebuah batu yang dijatuhkan ke dasar jurang, tidak akan terdengar suaranya.
“Sudah jam enam, Pak,” kata Dusral, seorang anggota rombongan, pada Gamawan.
“Ah, cobalah kita tunggu seluruh anggota rombongan hadir dulu, dan tak boleh ada yang tertinggal,” jawab Gamawan.
Tepat pukul 19.00, semua rombongan sudah berkumpul. Mereka belum membuat rencana dan memberi kabar kepada masyarakat luas, tentang keadaan mereka.
“Jadi bagaimana rencananya, Pak?”
“Kita lanjutkan juga lah, tapi sekedar mencari tempat tidur.”
Gamawan sebenarnya cemas juga. Dia tak mau kecemasannya terlihat orang lain.
Kecewasan Gamawan lumrah. Bila dari 124 orang yang ikut rombongan ada yang kecelakaan satu orang saja, resikonya besar sekali untuk Gamawan. Di sinilah ketenangan dan pengendalian diri itu penting. Gamawan tetap memberikan komando dengan baik. Dia menyapu seluruh kecemasan dari parasnya.
Bagi Gamawan, pada situasi sulit itu, kepemimpinan seseorang seolah diuji dalam mengambil keputusan. Misalnya saja, ketika ada sebuah lembah menghampar di depan mereka. Lembah itu mereka lalui dengan cara berjalan memotong. Alasannya, kalau mereka memaksa untuk melintasinya, rombongan bisa berguguran ke lembah itu. Jalan alternatif adalah dengan melambung, meskipun untuk itu mereka harus mengeluarkan tenaga ekstra.
Hal lain lagi, tatkala hari telah mulai sore, dan mereka sudah menumpuk di satu tempat, tentu saja mereka tak bisa menginap. Kondisi alamnya tidak memungkinkan. Gamawan memimpin mereka untuk turun ke bawah dan mencari air. Di tempat yang ada airnya itulah, mereka bisa menginap.
Mereka memperkirakan berada di ketinggian 2.200 meter. Udara dingin menusuk. Sementara, makanan yang mereka bawa telah mulai menipis. Hanya makanan sisa dan air yang tertinggal.
Malam itu rombongan berjalan lagi. Namun, yang mereka cari bukan lagi jalan yang benar, tapi sungai. Mereka berusaha mengikuti arus air untuk jalur pulang, sembari melepaskan dahaga dan tempat untuk bermalam. Mereka teringat satu wejangan di awal sebelum berangkat. Kalau tersesat di rimba, yang mereka cari adalah sungai. Sungai pasti mengalirkan airnya ke bawah. Di sepanjang aliran sungai itulah, biasanya ada pemukiman penduduk.
Dari 124 orang, cuma ada enam senter untuk penerangan. Seolah tak hilang akal, mereka menggunakan botol bekas minuman energi, sebagai tambahan penerangan. Caranya? Botol dari beling ukuran segenggaman orang dewasa itu mereka beri minyak tanah di dalamnya. Untungnya, mereka bawa minyak tanah. Mereka memberi sumbu dari kain yang dirobek. Jadilah lampu damar, atau lampu jongkok.
Malam kian gelap. Seolah tak jelas, mereka berjalan di atas bukit atau di jurang. Yang pasti, mereka berjalan sambil berpegangan tangan dengan posisi miring. Tangan yang satu memegang tangan orang yang di depan, dan tangan yang satu lagi dipegang orang yang di belakang. Mereka mencengkram erat tangan orang yang ada di belakang atau di depannya. Kuatir terjatuh atau diterkam harimau.
Rombongan berjalan merayap. Dengan langkah pelan dan teratur, mereka menuruni jalan. Berjalan paling depan, ada empat orang dari dinas kehutanan. Mereka inilah yang bertugas membuka jalan dengan parang yang dimiliki. Dengan tetap saling berpegangan tangan mereka mencari celah, untuk jalan yang bakal dilalui. Gamawan berada di baris keenam dari rombongan.
Selain merentangkan tangan saling mencengkram, rombongan juga menggunakan alat bantu sebisanya. Misalnya, jika ada rotan, maka rotan itu akan mereka ikatkan pada kayu yang ada di atas. Dengan cara demikian, rotan itu dapat mereka gunakan sebagai alat bantu. Perjalanan malam itu lambat sekali. Kondisi jalan yang gelap dan turunan curam, sangat menyulitkan perjalanan.
Akhirnya, mereka menemukan sungai. Saat itu, kondisi sudah larut malam. Ketika mencapai tepian sungai, jarum jam di tangan menunjuk pukul 23.30. Untuk sejenak mereka bisa bernapas lega. Walau kegalauan dan sesuatu tak menentu, memenuhi hati dan pikiran.
Hal pertama yang dilakukan di tepian sungai, tentu saja menghitung jumlah anggota rombongan. Setiap orang diminta untuk berhitung. Sesuai dengan barisannya. Terdengar teriakan. Satu, dua, tiga, empat.........seratus dua puluh empat. Nah, berarti jumlah anggota lengkap.
Meski sudah berada di tepian sungai, tempat itu bukanlah sebuah lahan datar atau tanah lapang. Daerah itu merupakan sebuah punggung bukit yang curam. Mereka menentukan keputusan. Menginap dan istirahat di sana. Spontan saja, tiap orang meraba tanah yang dipijak. Tangan mereka meraba-raba tanah, batu, pasir atau mencari batang pohon. Sekedar menyangkutkan badan di sana dan tidak tergelincir ke bawah. Yang pasti, seketemunya saja dan tidak di dalam air.
Lewat tengah malam, sekitar pukul 12.30, mereka mengirimkan pesan lewat Organisasi Radio Amatir Indonesia (ORARI). Isinya, rombongan itu tersesat. Meski begitu, mereka berpesan, keluarga atau orang yang berada di luar, jangan panik dengan kondisi itu.
Malam itu mereka bermalam di bawah payung semesta. Yang ada hanya gelap. Sepi dan pekat. Rombongan tidak sepenuhnya tertidur. Mereka letih dan capai, sementara perut menahan lapar dan belum terisi. Hanya makanan kecil, seperti roti atau biskuit yang tersisa. Itu pun tidak cukup sebagai pengobat rasa lapar.
Keadaan psikologis mereka pun rapuh. Ini lantaran mereka tak punya gambaran keadaan apapun di sekitar mereka. Gelap hampir merata. Mereka tak tahu sedang berada di mana.
Sarapan Pagi
Kamis, 13 Agustus 1998. Sekitar pukul 05.00, sinar matahari mulai menerobos gelapnya lembah yang mereka tempati. Kilauan cahaya mentari, membangunkan seluruh rombongan. Serentak mereka bangun dan mengadakan salat berjamaah. Usai salat subuh, semuanya berkumpul.
“Ada yang masih punya bekal?”
Kepala Dinas Kesehatan, dr.Yasril Rifa’i masih menyimpan sebungkus pop mie. Mereka memasaknya. Setelah matang, pop mie itu mereka bagi kepada semuanya. Satu pop mie untuk 124 orang.
Dan minuman buat sarapan? Masih ada serbuk kopi yang rupanya masih tersisa. Ini mereka seduh dengan air. Hasilnya, sebotol kopi panas, seukuran botol minuman mineral besar. Kopi itu pun dihidangkan ke seluruh rombongan. Takarannya? Tiap satu orang, satu tutup botol minuman mineral itu. Mungkin, kata Gamawan, itulah kopi ternikmat yang pernah mereka minum.
“Saya yang terakhir. Orang lain duluan, saya kemudian,” kata Gamawan ketika ditawari kopi untuk kali pertama.
Tuntas “sarapan” mereka melanjutkan perjalanan dengan menyusuri sungai. Seharian mereka berjalan menyusuri daerah sepanjang aliran sungai. Sungai berkelok dan beriam. Sesekali memutar, karena sungai yang menghadang di depan terlalu lebar dan dalam.
Menjelang malam, mereka pun beristirahat di sekitar aliran sungai. Mereka bermalam dengan badan letih dan perut kosong.
Jum’at, 14 Agustus 1998. Pukul 07.00, hari sudah mulai terang. Mereka melanjutkan perjalanan. Berjalanlah mereka di sepanjang aliran sungai. Dari satu sungai kecil ke sungai yang lebih besar atau sebaliknya. Tiap orang harus berjuang. Mendaki bukit terjal atau menuruninya. Begitu seterusnya.
Sejak itu, tak ada lagi bekal tersisa. Mereka mengisi seluruh botol air mineral yang ada. Untuk menahan lapar, air itulah yang digunakan sebagai penganjal perut. Meski terjadi kekuatiran pada beberapa orang, air yang diminum kurang bersih atau tidak sehat. Tapi, dalam kondisi seperti itu, mereka harus yakin dengan apa yang ada di hadapannya. Dan memang, hanya air itulah yang dapat menolong mereka.
Saat itu, dari sebuah radio ORARI yang terpegang terdengar suara.
“Pa, papa gimana keadaannya?”
Yang ditanya langsung menjawab.
“Tenang saja, papa tidak apa-apa.”
Nada suara di seberang diliputi kecemasan. Sebuah kekuatiran, bakal terjadi sesuatu pada orang dicintainya. Suara yang terdengar di seberang adalah suara Gita, anak Gamawan. Dia menanyakan keadaan ayahnya. Suaranya diliputi kekuatiran. Kecemasan seorang anak terhadap ayahnya. Benny Mukhtar yang ada di dekat Gamawan, sempat meneteskan air mata.
Hari itu mereka berjalan sepanjang hari. Beriringan menelusuri lebatnya hutan. Siang itu, hujan datang mengguyur tubuh mereka. Sepanjang jalan mereka melihat pepohonan yang besar-besar. Pepohonan ini berjajar di kanan dan kiri jalan. Seandainya dua tangan orang dewasa direntangkan, tak akan bisa menjangkau diameter pohon itu.
Salah seorang staf kehutanan menilai, pohon itu umurnya sudah ratusan tahun. Kalau dijual, bisa mencapai harga sekira Rp 4,5 juta/ per batang. Ada kayu Borneo, Meranti, dan sejenisnya. Hutan itu belum tersentuh sama sekali. Rotan dan berbagai jenis tanaman langka, yang diperdagangkan dan dijual dengan harga mahal, ada di sana.
Sepanjang aliran sungai, mereka bisa melihat berbagai jenis ikan. Air sungai itu sangat jernih sekali. Bila mereka melemparkan sesuatu ke atas sungai, ikan berdatangan dan mengerumun. Tapi, mereka hanya sanggup menatap ikan itu. Tak ada alat penangkap yang bisa digunakan.
Sore hari, mereka menemukan delta, kawasan tempat bertemunya beberapa sungai. Lebar sungai itu sekitar 20 sampai 25 meter. Kedalamannya berfariasi. Mulai satu meter, dua meter, tiga meter dan banyak juga lubuk-lubuknya.
Selama perjalanan, mereka menyeberangi puluhan, bahkan ratusan sungai. Bila ada lubuk dalam dan tidak bisa dilewati, mereka akan berjalan memutar untuk menyeberanginya. Naik dan turun bukit lagi untuk mencapainya. Selama perjalanan itu pula, mereka selalu berhubungan dan dipandu ORARI. Mereka terus berjalan mengarah ke daerah yang rendah.
Malam itu, kembali seluruh rombongan berhenti di pinggiran sungai. Melepas lelah dan beristirahat. Gamawan memanggil seluruh pimpinan rombongan, untuk mengadakan diskusi. Mungkin, mereka melakukan suatu kesalahan, seperti wejangan yang diberikan sebelum berangkat. Mereka melakukan koreksi dan meminta maaf pada sang pencipta alam bila ada suatu kesalahan yang diperbuat.
Seluruh orang sudah merasa was-was. Mampukah mereka keluar? Nyatanya, sudah dua hari perut tak ada yang terisi. Dari diskusi itulah, mereka bersepakat untuk terus mengikuti jalur sungai, supaya seluruh rombongan bisa keluar dari rimba.
Sepanjang hari itu, rombongan tetap berjalan. Meski dengan perlahan. Mereka juga menghemat baterei di pesawat ORARI, dan menggunakannya sesekali saja. Hari itu, seluruh rombongan melewatkan bermalam di hutan. Di pinggir sungai seperti hari sebelumnya. Anehnya, setiap siang hari turun hujan. Dan bila malam menjelang, hujan tak tercurah. Mereka memasrahkan diri pada yang kuasa. Tak lupa, selama dalam perjalanan dan isrtirahat, mereka melakukan salat berjamaah bersama.
Malam itu, nampak seseorang sedang termenung sendirian di antara kerumunan orang. Badannya subur dengan senyum selalu terkembang di wajahnya, ketika berbicara.
“Ambo ulang tahun ni Pak,” kata lelaki itu.
“Ya, kita nikmati saja di hutan ini,” jawab Gamawan, sambil mengucapkan selamat ulang tahun dan memeluk Benny Mukhtar.
Sabtu, 15 Agustus 1998. Hari telah menjelang pagi. Mereka kembali berkumpul. Seluruh rombongan ditanya, apa ada bahan mentah yang masih tersisa. Ternyata ada. Mungkin, dia segan mengeluarkan dari awal, karena bekalnya sedikit. Ada beras setengah liter, ada juga pop me. Mereka memasak bahan itu dengan alat masak, dan mencampurnya jadi satu. Gamawan ikut mengaduk bahan itu. Hasilnya, jadilah nasi lembek hampir mirip bubur.
Nasi dibagikan kepada 124 orang. Sebagai piringnya, mereka menggunakan daun untuk alas makan. Pokoknya, asal masih dapat untuk bertahan hidup.
Selanjutnya, rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Melihat perjalanan rombongan yang sangat lamban dan tertatih, muncul usul mengirim orang yang masih punya tenaga ekstra untuk berjalan terlebih dahulu dan meneruskan perjalanan. Dari perundingan yang dilakukan, ada enam orang yang masih mampu berjalan cepat. Mereka mengusulkan diri.
“Biarlah Pak, kami yang berjalan dulu menelusuri ini, agar bisa lebih cepat dapat bantuan.”
Hal itu dapat dimaklumi, kalau mereka terus berjalan bersama 124 orang, memang tidak bisa berjalan dengan cepat. Karena harus saling menunggu yang lain. Mereka memperkirakan, rata-rata dalam satu jam, hanya mampu menempuh jarak, setengah sampai satu kilo meter saja.
Mereka sudah memasrahkan diri pada Yang Maha Kuasa. Kalau memang yang kuasa masih memberikan hidup. Tapi kalau tidak, barang kali inilah hidup. Memang tidak ada pilihan lain.
Gubernur Pimpin Pencarian
Di tempat terpisah, Gubernur Dunidja mengkoordinasikan tim pencarian, di tempat yang diperkirakan bakal menjadi keluarnya rombongan. Melalui ORARI, Dunidja memberitahukan pada rombongan, bahwa masyarakat telah diliputi kecemasan. Dia berbicara langsung pada rombongan yang tersesat.
“Ini ada helikopter terbang, nampak ndak?” suara Gubernur terdengar dari pesawat ORARI.
Dari dalam hutan, mereka tak melihat helikopter itu. Bahkan suaranya pun tak terdengar. Lebatnya pepohon yang ada di hutan menghalangi pandangan mereka. Dedaunan pohon saling bertemu, satu dengan lainnya. Sebaliknya, mereka yang berada di dalam helikopter tak melihat orang-orang yang sedang tersesat itu. Tim SAR dari udara kebingungan.
Rombongan Gamawan kembali mengabarkan, posisi mereka berada di sungai, yang lebarnya antara 20-25 meter. Tim SAR lagi-lagi kebingungan untuk mencari lokasi sungai. Dari udara, mereka melihat ada banyak sungai.
Selain menggunakan helikopter, tim penolong juga menembakkan senjata ke udara, sebagai tembakan salvo. Melalui alat komunikasi, Vita Nova meminta Gamawan untuk mendengarkan bunyi tembakan.
“Bapak, coba dengar tembakan salvo ini, dengar atau tidak?”
“Tidak.”
Padahal, bunyi tembakan itu keras. Berarti, posisi mereka masih jauh, pikir Vita.
Sabtu, 15 Agustus 1998. Ada berita dari ORARI, dari rombongan enam orang yang berangkat duluan, salah seorang di antaranya sudah masuk perkampungan. Tim SAR akan segera mengirimkan bantuan.
Pada pukul 14.00, mereka terus melanjutkan perjalanan. Akhirnya, mereka ketemu dengan rombongan yang sebelumnya sudah berangkat duluan. Mereka mendapat bantuan makanan. Ternyata, dari enam orang itu, hanya satu yang masih bisa melanjutkan perjalanan. Yang lain tercecer dan berhenti di tengah jalan. Yang selamat sampai tujuan bernama Bakri. Bajunya sampai koyak-koyak. Dia terus berjalan dan menyeberangi sungai yang ada.
Orang yang berada di perkampungan kaget, ada orang berjalan dari hutan sendirian dengan baju terkoyak. Setelah dia menjelaskan, akhirnya penduduk tahu dan menjemput rombongan yang lain. Perkampungan itu merupakan sebuah bukit. Namanya bukit Gogoan. Di bukit itulah, banyak terdapat bahan mentah untuk produksi semen.
Lima orang yang semula berangkat lebih awal, akhirnya sampai juga di perkampungan terdekat. Begitu pun dengan dua belas orang yang tadinya, berusaha mencari jejak dan tanda-tanda awal. Mereka telah sampai juga di sana. Hampir bersamaan waktunya.
Setelah melakukan sujud syukur, Gamawan langsung salat. Cukup lama dia salat.
Perkampungan itu masih jauh dari tempat di mana semua orang sedang menunggu mereka. Malam itu, mereka melewatkan tidur di perkampungan terdekat ini. Setidaknya, secara fisik mereka telah ditemukan oleh tim SAR dan penolong.
Minggu, 16 Agustus 1998, pagi. Rombongan Gamawan menuju perkampungan. Akhirnya, seluruh rombongan sampai juga di Posko Pencarian. Mereka mendapat bantuan kesehatan dan makanan. Seluruh rombongan melakukan sujud syukur. Mereka telah terhindar dari sebuah bencana besar. Bencana yang hampir saja merengut nyawa mereka.
Seluruh rombongan tiba di posko. Waktu itu orang menamakan Posko Pencarian Bupati Solok. Tempat itu ada di Kampung Serabutan, Kabupaten Pariaman.
Dalam sekejap, tempat itu telah berubah seperti pasar dan kampung baru. Orang berdatangan dari segenap penjuru ingin mendengar kabar. Begitu pun seluruh anggota keluarga yang tersesat, berkumpul di sana. Segala perasaan seolah tertumpah. Peluk bahagia dan tangis mewarnai pertemuan.
Tim penolong sibuk menangani beberapa orang yang terluka. Ada orang yang kulitnya terkena kayu Jilatang, yang kalau tersentuh, akan mengakibatkan kulit terkelupas dan seperti terbakar. Ali Danar, seorang kepala cabang Bank Bukopin Solok, mengalami patah kaki dan harus ditandu.
Empat orang mengalami halusinasi. Mereka menggigau dan bicara sendiri, seakan-akan, masih berada di hutan.
Peristiwa menghebohkan itu disiarkan secara luas oleh media massa, baik lokal , nasional, maupun internasional.
Seminggu setelah itu, Gamawan membuat syukuran di tempat itu. Seekor kambing dipotong. Syukuran itu diisi dengan doa dan berbagai sambutan dari para tetua adat, masyarakat, organisasi masyarakat dan semua pihak.
“Secemas-cemasnya bapak yang tersesat di hutan, masih cemas kami yang di luar. Karena, bapak adalah pemimpin yang selama ini selalu bersama-sama, dan diidolakan semua orang,” kata tetua masyarakat.
Pada hari kesepuluh, Gamawan juga mengadakan acara yang sama di lingkungan pegawai Kabupaten Solok. Dalam acara itu, Gamawan mengundang warga Kampung Serabutan. Dia menyediakan kendaraan dan menjemput mereka. Bagi Gamawan, mereka itulah yang banyak membantu rombongan ketika tersesat. Gamawan menganggap kampung itu adalah kampung keduanya, setelah Alahan Panjang. ■