Surat Ulu dan “Aksara Minangkabau”
Dengan adanya aksara surat ulu di sebagian besar wilayah Sumatra bagian selatan, dan aksara surat Batak di Sumatra Utara, timbullah pertanyaan mengapa daerah Minangkabau tidak memiliki aksara tersendiri.
Prasasti-prasasti Akarendrawarman dan Adityawarman, dan demikian juga naskah Tanjung Tanah, menggunakan aksara Malayu. Karena kebanyakan prasasti ditemukan di daerah Minangkabau, maka tidak salah kalau aksara tersebut disebut sebagai aksara asli Minangkabau-Malayu. Aksara Malayu ini masih jelas termasuk kelompok aksara pasca-Palawa yang berkembang di Nusantara mulai dari aksara Sriwijaya hingga pada aksara Jawa Kuno. Dengan demikian aksara tersebut jelas termasuk dalam keluarga tulisan pasca-Palawa, tetapi berbeda dengan aksara yang dianggap lebih khas Sumatra seperti surat ulu atau surat Batak.
Kenyataan bahwa sampai sekarang belum ditemukan naskah yang beraksara Minangkabau yang mirip dengan surat ulu atau surat Batak tidak berarti bahwa Minangkabau tidak pernah memiliki aksara seperti itu. Kozok menunjukkan dalam buku yang menguraikan perkembangan surat Batak bahwa aksara tersebut mula-mula terbentuk di daerah Mandailing dan dari situ menyebar ke Toba dan Simalungun, lalu ke Dairi dan Karo (Kozok, 1999).
Mengingat persamaan yang nyata antara struktur, bentuk dan wujud surat ulu dan surat Batak, maka jelas bahwa kedua aksara memiliki asal usul yang sama. Secara struktural surat ulu dan surat Batak memiliki persamaan bahwa kedua aksara tidak memiliki pasangan untuk gugusan konsonan sebagaimana terdapat pada aksara Palawa, dan semua jenis aksara pasca-Palawa, termasuk aksara Jawa dan Bali. Hal tersebut sangat masuk akal karena bahasa-bahasa Sumatra, khususnya bahasa Melayu dan juga bahasa Batak memiliki struktur fonologi yang sederhana, dengan pola konsonan-vokal-konsonan, dan apabila terdapat gugusan konsonan maka konsonan pertama biasanya berupa bunyi sengau, seperti dalam kata hampa (m-p), sangka (ng-k), pantai (n-t), pandang (n-d), lancar (n-c), senja (n-j) dsb. Karena pola bahasa yang sedemikian maka penghilangan sandangan sangat memudahkan penulisan aksara Sumatra. Dibandingkan dengan aksara Jawa, atau aksara pasca-Palawa, aksara Sumatra lebih mudah untuk dipelajari, dan sangat sesuai untuk bahasa-bahasa setempat. Karena kombinasi sengau velar (ng) dengan konsonan velar (k dan g), sengau labial (m) dengan konsonan labial (p, b), dan sengau dental (n) dengan konsonan dental (t, d) serta konsonan palatal (j, c) sangat umum terdapat dalam bahasa-bahasa Sumatra maka di berbagai daerah ditambahkan aksara khusus seperti mba (Batak Karo dan semua surat ulu), ngga (semua surat ulu), nda (Batak Karo dan semua surat ulu), nja (semua surat ulu), sementara aksara khusus untuk mpa, ngka, nta, dan nca hanya terdapat di sebagian surat ulu. Dengan demikian jumlah aksara pada surat Sumatra bervariasi antara 19 (Batak Toba) dan 20 (Lampung) sampai 28 dan 30 (Lembak dan Serawai).
Jumlah sandangan atau tanda diakritik juga bervariasi. Sandangan yang terdapat pada semua surat Sumatra ialah e dan i serta o dan u (beberapa daerah hanya memiliki satu sandangan untuk i dan e, dan untuk o dan u), ng (sebagai penutup suku kata: “halang”), dan tanda bunuh. Di samping itu kebanyakan aksara menambah sandangan e-pepet (bunyi e ini berbeda dengan bunyi é seperti dalam kata keréta) dan h (sebagai penutuk suku kata: “tambah”), dan malahan ada beberapa surat yang menambah r dan n sebagai penutup suku kata.
Penjelasan yang agak panjang lebar di atas kiranya perlu untuk menanggapi gagasan adanya aksara Minangkabau.
Pada Seminar Sedjarah dan Kebudajaan Minangkabau di Batusangkar, 1-10 Agustus 1970, dikemukakan bahwa telah ditemukan aksara Minangkabau "dalam kitab tambo Dt. Suri Diradjo dan tambo Dt. Bandaro Kajo" yang konon ditemui di Pariangan, Padang Panjang. “Penemuan” ini lalu disebarkan dalam artikel sebuah surat kabar di Padang. Penulis memiliki kliping dari artikel tersebut yang sayang sekali tidak terdapat keterangan tentang surat kabar mana yang menerbitkannya maupun tanggalnya. Ringkasan artikel tersebut kemudian dimuat dalam buku H. Datoek Toeah, Tambo Alam Minangkabau, diedit kembali oleh A. Damhoeri. Bukittinggi: Pustaka Indonesia, [1976], hal. 346-51.
Aksara yang menurut penulis artikel tersebut adalah aksara Minangkabau berdasarkan aksara ulu, tetapi di sana-sini terdapat variasi sehingga kelihatan asli Minangkabau.
Penulis menjadi ragu jika melihat bahwa aksara Minangkabau itu memiliki aksara khusus untuk a dan ha. Padahal di semua aksara ulu hanya terdapat satu aksara yang – menurut konteksnya – dapat dibaca a atau ha. Hal itu masuk akal karena bunyi a memang sudah menjadi bagian pada setiap aksara (ka, ga, nga, ta, da, na, dsb). Kata yang berawalan a seperti anak, adat, atap ditulis dengan aksara yang juga dapat dibaca ha. Hal itu juga masuk akal karena dialek-dialek Melayu tidak selalu membedakan antara a dan ha di awal kata, misalnya adang dan hadang, ati dan hati, dsb.
Keraguan penulis berubah menjadi tidak percaya ketika melihat bahwa dalam aksara Minangkabau itu tidak termasuk sandangan ng. Dalam semua aksara Sumatra kata seperti “gadang” ditulis dengan dua aksara, yaitu ga dan da ditambah dengan sandangan ng. Sedangkan aksara Minangkabau itu menulisnya dengan tiga aksara ditambah tanda bunuh, yaitu ga, da, nga, tanda bunuh. Hal tersebut mustahil sama sekali.
Selain itu penulis juga sangat menyayangkan bahwa naskah yang dikatakan beraksara Minangkabau itu tidak pernah ditunjukkan kepada siapa-siapa apalagi didokumentasikan lengkap dengan foto dan sebagainya. Karena keberadaan naskah tersebut tidak pernah terbukti, dan aksaranya menimbulkan pertanyaan yang sangat meragukan keasliannya, maka seharusnya aksara tersebut tidak pernah ditanggapi secara serius. Dalam hal ini penulis sangat menyesalkan bahwa pihak Museum Adityawarman di Padang sempat mengangkat aksara yang kurang jelas asal-usulnya itu menjadi bagian pamerannya.12
Di samping “aksara Minangkabau” yang tadi, Museum Adityawarman malahan memamerkan lagi satu lagi “aksara Minangkabau” yang konon ditemui dalam Tambo Rueh. Bagi seorang ahli paleografi sangat jelas bahwa “aksara” itu direkayasa. Tokoh yang menciptakannya ternyata tidak memiliki pengetahuan tentang aksara Sumatra sehingga hasil rekayasanya malahan mencerminkan asas-asas abjad Latin! Karena “aksara Tambo Rueh” begitu jelas memperlihatkan ciri-ciri kerekayasaan maka penulis merasa tidak perlu menanggapinya secara lanjut.
Aksara Minangkabau yang mirip dengan aksara ulu kemungkinan besar memang pernah ada. Akan tetapi daerah Minangkabau berbeda dengan daerah di sebelah utara (Batak) dan selatan (Kerinci, Rejang, Bengkulu) karena lebih duluan agama Islam masuk ke daerah Minangkabau. Aksara yang ada sebelumnya seperti aksara Malayu zaman Adityawarman dan aksara Minangkabau yang mirip dengan aksara ulu, menjadi punah karena masuknya huruf jawi. Lama kelamaan naskah pra-jawi pun hilang. Kemungkinan bahwa di abad ke-19 naskah pra-jawi sudah sangat berkurang. Kalaupun masih ada naskah yang tersisa pada abad ke-19, dapat dipastikan sudah menjadi korban kaum paderi.
Daerah Batak (Mandailing) baru diislamkan di abad ke-19. Van der Tuuk yang berkunjung ke Mandailing yang berbatasan dengan Minangkabau mencatat bahwa pustaha (naskah beraksara Batak) sudah menjadi barang sangat langka sesudah daerah ini diserang dan diislamkan oleh kaum paderi di awal abad ke-19. Kalau di Mandailing saja, yang pada awal abad ke-19 masih memiliki tradisi menulis yang sangat aktif, naskah sudah menjadi barang langka, dapat dipastikan bahwa di Minangkabau naskah pra-jawi sudah lama sebelumnya punah.
Sumber :
Tulisan Pak Uli Kozok
Semoga bermanfaat