Pamit sebagai Akademisi, Pulang sebagai Politisi

38 views
Skip to first unread message

Indra Jaya Piliang

unread,
Aug 6, 2008, 6:14:54 AM8/6/08
to Rant...@googlegroups.com

Bisa diakses di www.indrapiliang.com

 

Pamit sebagai Akademisi, Pulang sebagai Politisi[1]

Oleh

Indra Jaya Piliang, SS, MSi[2]

 

Assalamu’alaikum Wr Wb

Selamat Pagi dan Salam Sejahtera

Untuk memulai pidato ini, saya mengutip MOHAMMAD HATTA yang pada tanggal 11 Juni 1957 menegaskan:

"Revolusi kita menang dalam menegakkan negara baru, dalam menghidupkan kepribadian bangsa. Tetapi revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya.... Krisis ini dapat diatasi dengan memberikan kepada negara pimpinan yang dipercayai rakyat! Oleh karena krisis ini merupakan krisis demokrasi, maka perlulah hidup politik diperbaiki, partai-partai mengindahkan dasar-dasar moral dalam segala tindakannya. Korupsi harus diberantas sampai pada akar-akarnya, dengan tidak memandang bulu. Jika tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan. Demoralisasi yang mulai menjadi penyakit masyarakat diusahakan hilangnya berangsur-angsur dengan tindakan yang positif, yang memberikan harapan kepada perbaikan nasib."[3]

Keadaan yang kita hadapi sekarang kurang-lebih sama dengan yang dikatakan oleh Hatta, lebih dari 50 tahun yang lalu itu. Perbedaannya, demokrasi kini merupakan salah satu keajaiban yang dialami oleh rakyat Indonesia. Sepuluh tahun lalu, kita tidak pernah membayangkan bahwa demokrasi akan hadir sederas sekarang. Sementara hidup masyarakat semakin susah, sekalipun kesempatan juga terbuka luas untuk mewujudkan mimpi apapun, selama ada ikhtiar dan kerja keras.

Dalam kesempatan yang berbahagia ini, izinkanlah saya menyampaikan pokok-pokok pikiran kenapa saya berubah haluan, dari seorang pengamat politik menjadi pelaku politik atau politisi. Sekaligus, ijinkanlah saya pamit sebagai analis politik dan perubahan sosial, termasuk juga dalam mengamati persoalan-persoalan otonomi daerah, resolusi konflik, juga perkembangan masyarakat sipil. Ini adalah pidato pertama dan terakhir saya sebagai pengamat politik yang sedang melakukan transformasi di bidang politik.

Demokrasi yang berbasiskan partai politik hampir berusia sepuluh tahun. Banyak pihak yang secara sinis menyebut sebagai keadaan yang jauh lebih buruk daripada zaman sebelumnya. Kehidupan tanpa partai politik yang bergemuruh barangkali memberikan kenyamanan struktural kelompok penguasa formal, juga kesenangan kultural penguasa tradisional. Partai politik dianggap sebagai benalu bagi kehidupan, serta bahkan penghambat bagi pencapaian keadilan dan kesejahteraan sosial. Pola pikir semacam itu adalah sisa dari zaman lalu yang ikut terseret ke zaman sekarang, sehingga selalu terdapat para penentang demokrasi, bahkan di kalangan kelompok intelektual sekalipun.[4]

Masyarakat belum sepenuhnya percaya kepada demokrasi. Orang-orang cerdas berpendidikan tinggi tinggal menunjukkan data-data statistik tentang perilaku buruk orang-orang yang ada dalam partai politik, tetapi tidak membedakan bahwa perilaku buruk itu dipupuk oleh ketidak-pahaman tentang demokrasi secara mendalam. Sebagai suku bangsa yang terlalu  lama mengalami kolonialisme, ditambah dengan praktek kekuasaan yang rakus dan korup, masyarakat Indonesia seakan terus memelihara pemikiran tentang keberadaan raja yang baik. Padahal, kenyataannya tidaklah semudah dan sesederhana itu.

Karena itulah saya menggeluti bidang pekerjaan yang tidak terbayangkan sebelumnya, yakni mengamati peristiwa, perilaku, aktor, sistem sampai gejala-gejala politik yang ada di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara. Dunia politik praktis bukanlah sesuatu yang asing bagi saya. Sekalipun tidak langsung terlibat sebagai politikus, fase-fase kehidupan saya sudah melewati dunia politik, baik teoritis, empiris, maupun praktis. Fase pertama kehidupan politik yang saya tempuh adalah menjadi fungsionaris Partai Amanat Nasional (PAN) selama hampir dua tahun, yakni sejak tahun 1998 sampai tanggal 21 Januari 2001. Setelah itu, saya konsentrasi sebagai penulis, analis, narasumber atau pembicara dalam banyak seminar.

Saya juga aktif dalam beragam aktivitas kelompok masyarakat sipil dan apa yang dikenal sebagai kelompok pro-demokrasi. Saya memiliki banyak sekali kawan, termasuk dari beragam partai politik, kelompok nasionalis, kelompok separatis, sampai aktivis garis keras dan pragmatis. Saya sudah berjalan ke hampir semua titik penting di republik ini, juga berbicara, menulis dan menganalisa. Saya juga berada pada pusat-pusat peristiwa perubahan politik penting. Bisa dikatakan keseharian saya adalah politik. Peristiwa-peristiwa politik besar dan kecil ditanyakan dengan rajin oleh para jurnalis. Tentu, ada kelelahan dan kebosanan, terutama akibat apa yang kita tulis atau katakan tidak sesuai dengan realitas yang diinginkan. Namun saya tetap setia menggeluti profesi ini.

Untuk menghindari kesalahpahaman orang atas gelar kesarjanaan saya, maka mulai tahun 2006 saya memutuskan untuk kuliah Magister atau Pasca Sarjana Bidang Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia yang saya tamatkan dalam dua tahun. Sebelumnya, saya menamatkan kuliah di jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra UI pada tahun 1997. Ada ribuan buku yang sudah saya baca, tetapi tidak semuanya terekam dengan baik dalam pikiran. Kegiatan perkuliahan juga tidak menghentikan rutinitas kehidupan sebagai aktivis, analis politik dan perubahan sosial. Saya tetap menyempatkan diri menulis, terutama pada media massa yang rajin menelepon saya untuk menganalisis peristiwa, regulasi, hasil survei, ataupun tokoh-tokoh politik tertentu. Saya juga berbicara pada media televisi dan radio. Tidak kurang dari 60 lebih mailing-list yang saya ikuti di internet.

Tetapi, dari hari-ke-hari, beragam jajak pendapat dan hasil pemilihan langsung kepala daerah menunjukkan antipati masyarakat terhadap partai politik dan politisi. Bagi saya, keadaan ini mencemaskan, bahkan menakutkan. Demokrasi yang diraih hari ini adalah buah perjuangan banyak pihak, terutama mahasiswa, dengan mengorbankan nyawa sekalipun. Sebagai aktivis mahasiswa 1990-an, termasuk terlibat dan berada di Gedung MPR-DPR pada malam tanggal 19-20 Mei 1998, saya merasakan bagaimana sulitnya mengungkapkan pendapat pada masa lalu itu. (Saya ingat bagaimana kami harus lari dari Samarinda ke Balikpapan pada Desember 1996, setelah hasil Pertemuan SMPT se-Indonesia di Universitas Mulawarman meminta agar Soeharto tidak dipilih lagi). Minimnya kepercayaan publik terhadap partai politik dan politisi memberikan sinyal bahaya bahwa suatu hari masyarakat kembali merindukan masa-masa kelam otoritarianisme.

 

Mengapa?

Memasuki tahun 2008, saya menyatakan tidak lagi ingin bicara di atas mimbar dengan duduk, melainkan berdiri dan memberikan orasi. Saya lebih memilih gaya orasi, ketimbang diskusi santai, untuk memberikan tekanan kepada kalimat-kalimat yang saya rangkai dan ucapkan, disertai dengan bahasa tubuh. Saya juga mengubah tampilan blog saya di friendster. Yang lebih penting lagi, saya membuka penyebutan nama dalam tulisan-tulisan di media massa, tidak lagi menyebut INDRA J PILIANG, melainkan INDRA JAYA PILIANG. Indra Jaya adalah kepanjangan dari Indonesia Raya Jaya. Perubahan cara menulis nama ini mempunyai arti besar, tidak hanya sekadar menghindari kesalahan penulisan. Tetapi lagi-lagi itu saja tidak cukup. Masyarakat terus memberikan pernyataan betapa buruknya wajah partai politik dan politisi kita lewat beragam survei, serta minimnya keikutsertaan dalam pilkada..

Saya berpikir, apakah akan meneruskan apa yang sudah saya kerjakan selama hampir sewindu terakhir ini sebagai analis politik? Saya sudah sangat akrab dengan siaran malam di radio dan televisi, ataupun pagi-pagi buta. Berangkat sebelum azan subuh, atau sampai di bandara menjelang tengah malam, juga bagian dari pekerjaan ini.  Pekerjaan ini sudah menjadi rutinitas. Ataukah saya harus menyelesaikan studi doktoral, bukan di dalam negeri, melainkan di luar negeri, yakni ke India, mengikuti jejak puluhan orang teman-teman terdekat saya? Barangkali tersedia juga peluang untuk mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang konsultansi dan komunikasi politik, lalu mendapatkan kemelimpahan finansial, sebagaimana dilakukan oleh kawan-kawan saya yang lain? Sebagai analis saya sudah terlalu nyaman, bahkan mapan, tetapi gejolak hati saya tidak bisa reda hanya dengan pekerjaan ini.

Rupa-rupanya, pilihan yang lebih menantang segera datang. Ketika saya pulang kampung sebelum ujian tesis, saya bertemu dengan kedua orang-tua saya, memintakan doa restu agar nilai saya bagus dalam ujian tesis. Persis ketika berada di teras rumah di tengah-tengah sawah itu beragam telepon datang. Tawaran itu jelas, menjadi calon anggota legislatif. Sebelumnya, saya juga sudah ditawarin oleh satu partai besar. Saya langsung bertanya kepada ayah saya, saudara, teman-teman, serta para tokoh yang saya hormati dengan menelepon dari tengah sawah, dalam aura dan energi yang terhisap dari kampung saya. Pilihan menjadi politisi adalah pilihan yang sulit. Pro dan kontra terjadi, tetapi sebagian besar memberikan dukungan.

Karena desakan itu tidak berhenti setelah saya dinyatakan lulus ujian, saya langsung memutuskan: inilah saatnya. To be or not to be. Partai politik menurut saya benar-benar sedang membutuhkan pikiran-pikiran saya, sekecil atau setidak-berarti apapun, terutama bagi kepentingan masyarakat. Hanya dengan menjadi pengamat tidak akan bisa mengubah keadaan, sekalipun penuh dengan idealisme yang meluap. Pengamat hanya berada pada posisi pressure groups, tetapi bukan pengambil kebijakan. Sejak konstitusi diubah, partai politik telah menempati posisi sentral, sehingga harus benar-benar diisi oleh politikus yang berkarakter.

Secara tidak langsung, dorongan menjadi politisi juga berjalan seiring dengan perubahan sikap masyarakat sipil atas dunia politik. Suasananya tidak lagi saling berhadap-hadapan, diametral, tetapi membangun kerjasama yang sinergis. Karena wacana kepemimpinan muda sedang berlangsung secara hangat, pilihan politik seseorang menjadi penting. Apalagi pada tanggal 21 April 2008, harian terbesar dan disegani, Kompas, memuat nama saya pada urutan keenam sebagai calon Presiden Republik Indonesia versi Lembaga Swadaya Masyarakat. Itu adalah sebuah kehormatan, sekaligus “pengusiran” bahwa saya sebaiknya tidak lagi berkiprah di dunia LSM, melainkan melompat ke dunia politik murni. Langkah pensiun sebagai aktivis LSM dan pengamat sedang saya siapkan.

Dengan mengucapkan Bismillah, saya melangkahkah kaki ke dunia politik praktis. Saya sudah mengurangi dengan keras memberikan analisa-analisa politik, sekalipun terkadang melanggarnya karena khawatir dianggap aneh oleh para jurnalis yang bertanya. Kerja-kerja politikpun dilakukan, yakni dengan mengecek kebenaran tentang pencarian politisi baru di dalam tubuh parrai politik itu. Karena memiliki banyak kenalan di jajaran petinggi partai, saya mengetahui bahwa partai tidak main-main alias serius.

Di tengah semakin banyak undangan untuk menulis, berbicara, dan menjadi konsultan paro waktu, mengingat kalender pemilu sudah berjalan, saya menyusun kembali Daftar Riwayat Hidup. Dalam riwayat itu terlihat sekali bahwa saya memang hidup dalam dunia politik. Daftar itu lebih dari 50 halaman, sekalipun tidak berhasil dicatat seluruhnya. Selama ini, saya tidak begitu peduli dengan daftar itu. Saya toh menggunakan motto: MENGALIR BERSAMA OMBAK. Kehidupan yang saya jalani tidak saya rencanakan dengan matang. Yang perlu hanyalah insting saya yang selalu mewaspadai akibat-akibat buruk atas diri saya, keluarga dan orang lain, kalau saya memasuki suatu kehidupan yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat luas. Tetapi, bukan berarti saya mudah larut, sebagaimana air, karena motto hidup saya bukan MENGALIR BERSAMA AIR. Ombak adalah buah dari badai, angin, topan, atau tsunami, sehingga saya harus betul-betul mampu bertahan, sekuat apapun ombak itu.

Belakangan, motto itu saya ganti menjadi MENGALIR MENITI OMBAK. Sebagai anak yang dilahirkan di Kampung Balacan, Kota Pariaman, saya adalah anak pesisir. Sekalipun begitu, karena ayah saya berasal dari Air Angat, Kecamatan X Koto Kabupaten Tanah Datar, saya juga melewati sekolah dasar sampai SMP di sana, tepatnya SD 1 dan SDN 2 Air Angat dan SMP Koto Lawas. Air Angat terletak di kaki Gunung Merapi. Hantu si Bunian, mitos Harimau jejadian dan letusan gunung adalah bagian yang akrab dalam keseharian. Karena itu, saya adalah anak yang hidup di pesisir dan pegunungan, sehingga udara hangat yang membakar dan dingin yang menusuk tulang selalu datang bergantian. Saya terbiasa dengan perubahan iklim, tetapi saya merasa tidak mudah diubah oleh iklim itu.

Bermodalkan itu, saya merasa inilah saat yang tepat untuk menjadi politikus. Saya tidak berubah dan tidak berharap untuk berubah. Yang saya lakukan hanyalah perpindahan tempat, dari analis, pengamat atau peneliti, menjadi praktisi, pelaku atau politisi. Perbedaannya adalah ketika saya menjadi analis atau peneliti, saya bekerja untuk masyarakat, termasuk ilmu pengetahuan, secara individual. Paling banter saya bekerja dalam tim kecil, seperti Pokja Papua atau Tim Depdagri untuk Revisi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sekarang, saya tetap bekerja untuk masyarakat atau lebih tepat rakyat, terutama di daerah pemilihan saya, tetapi lewat jalur kolektif, yakni partai politik.

Karena dilahirkan di Pariaman, dibesarkan di Kepulauan Mentawai, Tanah Datar, Padang Pariaman, Pariaman, dan Sawah Lunto Sijunjung, saya merasa akan sangat durhaka apabila tidak memperhatikan kepentingan masyarakat di sana. Saya bukan Malin Kundang yang harus dikutuk menjadi batu. Saya jelas tidak punya bakat menjadi seorang saudagar, sekalipun ketika pertama kali ke Jakarta saya berjualan Sate Padang – sampai kini – bersama dengan saudara-saudara saya. Selama 19 tahun saya tidak pernah meninggalkan Sumatera Barat. Bahkan, saya tidak pernah ke Jakarta ataupun ke Pekanbaru. Saya diwajibkan sekolah oleh kakak-kakak saya yang mengirimkan uang lewat wesel pos. Ketika di Jakarta, saya juga tidak boleh mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kakak-kakak saya, seperti menjadi kernet bis kota atau jualan sate. Saya hanya membantu, tetapi tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan pokok. Tugas saya jelas, kuliah,kuliah dan kuliah.

Atas dasar itu juga saya memilih untuk dicalonkan di Daerah Pemilihan Sumatera Barat II yang meliputi Kota Pariaman, Kota Payakumbuh, Kota Bukittinggi, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten 50 Kota, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat. Ada tiga gunung yang menjadi wilayah geografis-politik saya, yakni Merapi, Singgalang dan Tandikat, serta ada Danau Maninjau yang indah. Juga ada Pantai Gondoriyah dan Pantai Arta yang menawarkan kesejukan hati.

Barangkali, saya juga akan dicalonkan di Sumbar I yang meliputi Kota Padang, Kota Padang Panjang, Kota Solok, Kota Sawah Lunto, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Solok, Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Sijunjung dan Kabupaten Tanah Datar. Toh saya pernah hidup di Kabupaten Tanah Datar, daerah asal ayah saya, serta tempat saya menamatkan Sekolah Dasar sampai SMP kelas I semester I di Koto Lawas. Ada Danau Singkarak, Danau Di Atas, Danau Di Bawah, Gunung Talang, serta perkebunan teh di Kayu Aro di daerah ini. Saya juga pernah belajar mengukir di Pandai Sikat. Tapi, kalau disuruh memilih, maka saya lebih memilih kampung ibu, bukan kampung ayah, karena saya merasa lebih mampu untuk membina hubungan dengan banyak kalangan, baik dalam lingkungan keluarga besar saya sendiri, teman-teman sekolah, sampai para ninik-mamak, cerdik-pandai, alim-ulama, bundo kanduang dan seluruh pemangku agama Islam dan adat di Ranah Minang.

 

Menjadi Politisi

 

Lalu, datanglah hari ini. Saya menyatakan sebagai politikus Partai Golkar. Sebagai langkah awal, saya memilih daerah pemilihan Sumatera Barat 2, ketimbang Sumbar I itu. Bisa saja Partai Golkar menempatkan saya di DKI Jakarta, Banten atau Jawa Barat, terutama karena saya pernah tinggal di Banten dan berdomisili di DKI Jakarta, selama 17 Tahun, atau karena saya beristrikan Faridhah Thulhotimah yang memiliki kampung di daerah dingin Kabupaten Bogor. Tetapi, saya merasa harus memulai di tempat yang tepat, yakni kampung halaman sendiri.

Dulu, saya diberangkatkan ke rantau sebagai akademisi, kini saya pulang ke ranah sebagai politisi. Rantau dan ranah harus terus disambung dengan menggunakan hati. Inilah perbedaan yang saya buat dengan Agus Salim yang kini berubah menjadi nama stadion sepak bola, Muhammad Hatta yang berubah menjadi universitas dan perpustakaan, Tan Malaka yang hinggap dalam grafiti anak-anak muda Minang, atau HAMKA dan Natsir yang ada dalam buku-buku pelajaran agama dan etika. Kalau mereka menjadi politisi di rantau, saya tidak mengulangi itu lagi dengan cara menjadi politisi di ranah.

Saya bukanlah anak muda pelajang bukit yang harus berurusan dengan zaman saisuak. Tidak perlu saya ikut menangisi kenapa di pentas nasional tidak banyak lagi politisi Minang yang berkarakter dan menonjol. Pentas nasional hanyalah pentas, sementara kebutuhan yang paling real ada di desa-desa, dusun-dusun, nagari, parak, atau di tengah sawah, yakni manusia yang tersebar di banyak titik hidup. Manusia yang hidup dalam penderitaan zaman ini. Biarlah saya mencoba menganyam filosofi manusia Minang:

Panakiak pisau sirauik,

Ambiak galah batang lintabuang,

Salodang ambiak ka nyiru

Satitiak Jadikan Lauik (Setitik Jadikan Laut)

Sakapa jadikan gunuang (Sekepal jadikan gunung)

Alam terkembang jadikan guru.

Kini, saya sedang mempersiapkan kembali ke kampung halaman, tidak hanya datang dan pergi, sebagaimana selama ini, kadang hanya semalam. Tagline dalam website saya selama ini (www.indrapiliang.com) dan nada tunggu pada handphone saya berbunyi: “Kembalikan, Kampung Halamanku”. Untuk persiapan ini, saya menulis artikel “Rezim Developmentalisme Demokratis” yang saya kirim ke harian Padang Ekspres.[5] Kampung saya membutuhkan pembangunan yang humanis, selain tentu demokrasi yang sudah mengakar dan mendarah-daging. Bukan hanya kampung saya, barangkali, yang membutuhkan pembangunan, tetapi juga kampung orang lain. Biarlah puluhan ribu politisi dari 34 partai politik ikut mengubah kampung halaman masing-masing untuk tugas berat ini.

Tentu saya tidak tiba-tiba datang dan masuk Partai Golkar, sekalipun prosesnya berlangsung mendadak dan tiba-tiba. Orang Minang tidak bisa melakukan serangan cepat, akan selalu mengulur waktu, tetapi juga membutuhkan perdebatan keras dalam kancah musyawarah di rumah gadang. Orang Minang selain sinis dan skeptis kepada orang lain, juga lebih sinis dan skeptis kepada diri sendiri. Sudah sejak pemilu 2004 saya mulai mengenali para petinggi Partai Golkar, ketika mengamati dari dekat Konvensi Nasional Partai Golkar.

Saya juga terus berkomunikasi dengan Prof Dr Djohermansyah Djohan, Deputi Bidang Politik Sekretariat Kantor Wakil Presiden RI, untuk mengetahui pikiran-pikiran Pak Jusuf Kalla. Prof Djo adalah Ketua Dewan Pendiri Yayasan Harkat Bangsa Indonesia yang menempatkan saya sebagai Ketua Dewan Pengurus. Belakangan saya juga tahu, Prof Dr Azzumardi Azra juga melobi kalangan Partai Golkar untuk menerima saya, barangkali setelah membaca di internet tentang keputusan saya untuk menjadi politikus. Sebagai warga Muhammadiyah dan buyut dari keluarga Masyumi, saya juga perlu sebutkan dukungan Prof Dr Din Syamsuddin yang dari Los Angeles, Amerika Serikat, dengan mengirimkan sms kepada Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla. Pak Syahrul Ujud, staf khusus Wakil Presiden, juga memberikan dorongan dan dukungan kuat.

Selain itu tentu ada Priyo Budi Santoso, Pompida Hidayatullah, Agung Laksono, Yudhy Chrisnandi, Yamin Tawari, Iskandar Mandji, Rully Chaerul Azwar, Aulia Rahman, Burhanuddin Napitupulu, Yan Hiksas, Agus Gumiwang Kartasasmita, Harry Azhar Azis, Happy Bone Zulkarnaen, Ali Wongso, Yorris Raweyai, serta para petinggi Partai Golkar lainnya yang menyambut saya dengan hangat. Rumah Partai Golkar ternyata lebih nyaman, jauh dari bayangan saya. Tidak perlu lagi saya merasa sungkan menyebut bagaimana bersahayanya teguran dan sapaan yang diberikan. Orang-orang itulah yang membukakan pintu Partai Golkar untuk saya masuki dengan hati yang lebih damai. Kegigihan Jeffrie Geovanie dalam memberikan informasi juga perlu saya sebutkan. Tentu, ada yang terganggu dengan kehadiran saya, tetapi itulah politik yang penuh dengan dinamika.

Dalam komunikasi dan advokasi penyusunan undang-undang, saya banyak bergaul dengan politisi Partai Golkar, seperti Agun Gunandjar, Idrus Marham dan Ferry Mursidan Baldan. Saya juga perlu sebutkan Nurul Arifin, salah satu donatur kegiatan ini, sebagai tokoh yang gigih yang bekerja sebagai aktivis Anti-HIV dan terus-menerus belajar sebagai politikus yang tidak kehilangan integritas dirinya. Nurul bagi saya adalah seorang senior sebagai politikus, karena ia tidak lantas kecewa atas kegagalan menjadi anggota DPR RI tahun 2004 lalu, sekalipun mendapatkan suara terbanyak di daerah pemilihannya. Nurul tentu berbeda dengan artis lain yang menyeberang ke ranah politik praktis yang juga sebagian adalah teman-teman saya.

Dalam banyak perdebatan yang saya ikuti dan sorongkan ke publik, Partai Golkar termasuk yang paling akomodatif atas ide-ide yang saya tulis, selain PAN. Tanpa Partai Golkar, ide-ide otonomi daerah akan mengalami kemacetan dan kemandegan. Liberalisasi di bidang politik diusung penuh oleh Partai Golkar, sekalipun juga tampak kesulitan dalam mengendalikan dan mendisiplinkannya. Pemekaran wilayah juga bagian dari cara Partai Golkar untuk mendekatkan pemerintahan kepada publik, sekalipun daerah-daerah pemekaran itu kini direbut sebagian oleh PDIP. Proses perdamaian di Aceh dimana saya terkadang menitikkan air mata ketika menulis kolom, didukung dengan baik oleh Partai Golkar. Peranan aktif dari Jusuf Kalla dalam perdamaian itu memberikan semangat bagi saya untuk menyerang kelompok-kelompok ultra-nasionalis dalam perdebatan di ruang publik.

Dulu, rezim Orde Baru adalah rezim developmentalisme represif dengan keberadaan birokrasi dan militernya. Dibandingkan dengan partai politik yang lain, kini Partai Golkar dihuni oleh kaum demokrat, terutama dari kalangan sipil. Tentu, ada terlalu banyak pengusaha di dalamnya, tetapi bukankah demokrasi lahir dari kelompok borjuasi yang tidak memiliki tanah dan kekuasaan dalam sistem feodal dan monarki awal? Pilihan untuk bergabung ke dalam Partai Golkar juga semakin dikuatkan oleh keluarnya sejumlah petinggi yang berlatar-belakang militer, seperti Wiranto dan Prabowo Subianto. Saya tidak tahu alasan-alasan dari para tokoh itu keluar dari Partai Golkar dan mendirikan partai baru, tetapi saya merasa lebih nyaman melihat “pertarungan” sesama elite sipil dalam tubuh Partai Golkar dalam perebutan pimpinan nantinya. Kompetisi di Partai Golkar berlangsung secara baik. Seseorang yang dikalahkan akan tidak memiliki kekuasaan turunan, dibandingkan dengan ketika ia menjabat. Seseorang yang baru aktif akan diberikan tempat baik, apabila memiliki prestasi.

Tentu pertanyaan penting yang bakal diajukan adalah perilaku korupsi, baik yang sudah terbukti atau yang baru dugaan, yang menimpa politisi Partai Golkar. Kalangan pers atau Indonesian Corruption Watch (ICW) yang membeberkan data-data korupsi itu menunjukkan keterlibatan semua partai politik, baik di tingkat nasional, maupun lokal. Ada yang belum sama sekali disentuh, karena membutuhkan kinerja aparat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang lebih baik dengan bukti-bukti yang kuat. Korupsi di Republik Indonesia lebih merupakan persoalan mentalitas individual, ketimbang melihat itu sebagai perilaku organisasi, agama atau ideologi seseorang. Korupsi sudah berakar sejak empat abad silam, ketika VOC-pun bangkrut karenanya. Selain lembaga-lembaga negara dan partai politik, masyarakatlah yang selayaknya memiliki peranan aktif untuk menolak meminta sumbangan kepada politisi.  

Saya akan bekerja dengan serius. Keluarga juga secepatnya menetap di Sumatera Barat. Sebagai bentuk pertanggungjawaban sebagai politisi, saya akan bekerja mendapatkan suara, berapapun nomor urut yang diberikan oleh Partai Golkar. Saya akan berbicara dalam bahasa ibu, bahasa Minang, kepada setiap orang yang bertemu di Sumbar dengan modal sebatang rokok, setampuk pinang, serta secangkir kopi yang ditemani penganan khas Minang lain.

(Perlu saya sampaikan juga bahwa sejak saya mengumumkan menjadi politikus, sejumlah orang tua, niniak mamak, cerdik pandai, dalam mailing list Rantau.Net sudah dan akan menyumbangkan biaya kampanye kapada saya, mulai dari Rp. 25.000,-, Rp. 50.000,-, dan seterusnya. Saya sungguh terharu dan tidak bisa tidur atas sumbangan materi itu).

Kalau sebelum ini saya bekerja secara individual untuk mengejar karier akademis dan intelektual, maka sekarang membutuhkan dan melibatkan kerja orang banyak, rakyat banyak, untuk menuju Senayan. Karena itu saya akan datang dalam ota di lapau (obrolan warung) dan kaji di surau, sebagai bentuk tradisional dari politikus Minang: bergelanggang mata orang banyak, bersuluh matahari. Pergi tampak punggung, pulang tampak muka. Transparansi dalam bahasa moderen. Karena anggota parlemen adalah wakil rakyat, maka rakyat jualah yang mengantarkan ke Senayan. Tanpa dukungan rakyat, politisi bukanlah apa-apa dan siapa-siapa.

Seandainya masuk parlemen atas dukungan rakyat di Ranah Minang, maka saya akan mengerjakan komitmen sebagai berikut:

Pertama, konsentrasi kepada daerah pemilihan saya. Konsentrasi itu berupa perhatian yang lebih atas masalah-masalah utama di bidang kemasyarakatan dan pemerintahan yang berkenaan dengan daerah pemilihan saya. Saya akan menaruh di dalam ruangan kerja saya PETA DAERAH PEMILIHAN saya, lengkap dengan perkembangan data-data statistiknya.

Kedua, mencoba mendorong lahirnya Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Provinsi Minangkabau yang berbasiskan konsep ADAT BASANDI SYARA, SYARA BASANDI KITABULLAH. Sekalipun ide ini masih menuai kontroversi, saya merasa sistem pemerintahan ala UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku di ranah Minang sekarang belum begitu cocok dengan kultur masyarakat Minang. Bersama teman-teman seide, sebuah lembaga think tank lokal diperlukan guna mendorong konsep ini.

Ketiga, bertempat tinggal di daerah pemilihan saya, sekalipun tetap berkedudukan di Ibu Kota Negara sebagaimana kewajiban undang-undang. Kalaupun saya harus ke Jakarta selama masa kampanye ini, atau ke daerah lain, itu berupa penugasan Partai Golkar atau kegiatan lain, misalnya memenuhi undangan kalangan jurnalis atau lembaga-lembaga lain. Saya tentu tidak akan berhenti memberikan seminar, pelatihan, menulis dan lain-lain, tetapi dengan label yang berbeda.

Keempat, menerbitkan jurnal atau laporan berkala, bisa harian, mingguan atau bulanan. Website www.indrapiliang.com akan tetap saya pertahankan.  Baik penugasan oleh partai, komisi, fraksi atau kegiatan lainnya sebagai anggota parlemen, akan saya sampaikan kepada publik sebagai bentuk pertanggung-jawaban saya.

Kelima, bertugas sampai akhir masa jabatan di parlemen. Saya tidak akan tergoda menjadi calon gubernur, bupati, walikota, duta besar atau menteri dan bahkan presiden dan wakil presiden sekalipun. Bagi saya, pilihan menjadi anggota parlemen adalah pilihan terhormat. Saya harus hormati pilihan rakyat dan tidak akan mengubah pilihan itu sampai akhir masa jabatan. Seorang Barrack Obama, dalam konteks kini, atau singa-singa podium semacam Agus Salim, Natsir, Muhammad Yamin, HAMKA dan Syahrir dalam konteks dulu, tidak akan lahir tanpa diasah lewat perdebatan sengit di parlemen.

Di tingkat Partai Golkar, saya menyediakan diri untuk membentuk semacam lembaga think tank internal, sebut saja The Golkar Institute. Memang selama ini sudah ada Badan Penelitian dan Pengembangan, tetapi jauh lebih baik sebuah partai politik melahirkan lembaga think-tanknya sendiri. Pembentukan sejumlah Center dan Institute yang bersifat personal selama ini menurut saya belum bisa melakukan implementasi atas rekomendasi yang dihasilkan, hanya sebatas gagasan. Sudah lama ide ini saya dorong dilakukan oleh partai politik, tetapi sampai sekarang belum banyak yang menerapkannya. Partai politik moderen selayaknya memiliki institusi-institusi pengkaderan dan pengetahuan yang baik, kalau perlu mengembangkan semacam kampus-kampus kecil, guna memajukan pemikiran dan ideologi politiknya.

Tentu, saya masih memiliki sejumlah agenda lain. Tetapi kurang elok kalau disampaikan semua dalam kesempatan ini. Loyalitas, konsistensi, komitmen dan integritas menurut saya jauh lebih penting, ketimbang hanya sekadar kekuasaan. Menjadi presiden sekalipun tetap tidak akan terhormat, kalau rakyat ditinggalkan dalam keadaan papa dan menderita.

 

Terima Kasih

Tentu, saya berterima kasih kepada teman-teman partai politik lain yang juga mengundang saya bergabung, terutama PAN, PDIP dan PMB. Saya tidak merasa malu untuk mengatakan permohonan maaf saya. Kehadiran teman-teman partai lain dalam forum ini menunjukkan bahwa saya tidak sedang mencari musuh, melainkan mencari teman sebanyak-banyaknya, dalam lapangan politik praktis.

Saya juga berterima kasih atas sambutan yang hangat dari teman-teman, adik, kakak, abang, saudara, saudari, serta orang-orang tua di Partai Golkar. Sungguh saya merasa terkejut ketika menyadari bahwa Partai Golkar tidak menaruh dendam atas kehidupan profesional saya selama ini. Bahwa saya berbeda pendapat dengan Partai Golkar, misalnya dalam soal pemenang Pilkada Maluku Utara atau Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak atau Sistem Proporsional Terbuka Tanpa Nomor Urut, sehingga merugikan citra Partai Golkar, adalah bagian dari kehidupan profesional saya selama ini. Bahwa sekarang ini saya akan bekerja membesarkan partai ini adalah kehidupan profesional berikutnya di bidang politik. Saya ingin profesional di dunia politik, seprofesional saya sebagai analis, peneliti, pembicara dan kolomnis.

Kepada institusi tempat saya menyepi dan menyendiri dalam kamar yang dipenuhi debu dan buku, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), saya mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan sejak 1 Desember 2000. Saya sungguh banyak belajar atas konsep Nalar Ajar Terusan Budi, sikap ketelanjangan dalam membaca dan menerima ilmu pengetahuan. Ada banyak tangan yang telah membentuk dan menyentuh saya dalam lembaga ini: Pak Daoed Joesoef, Pak Jusuf Wanandi, Pak Harry Tjan Silalahi, Pak Djisman Simanjuntak, Mas J Kristiadi, Pak Hadi Soesastro, Mbak Clara Juwono, Bu Mari Pangestu, Bang Rizal Sukma, Bang Kusnanto Anggoro, Mas Tommi Legowo, Bu Asnani Usman, Bang Pande Radja Silalahi, Mas Edy Prasetyono, Mbak Medelina K Hendytyo, Mas Raymond, Mas Haryo, Mas Faustinus Andrea, Mas Bantarto Bandoro, Nico Haryanto, Ari A. Perdana, Arya Gaduh, Yose Rizal Damuri, Kurnia Roesad, Philips Jusario Vermonte, Christine Susanne Tjin, Puspa Delima Amri, Lina Alexandra, Alexandra Retno Wulan, Syafiah Fifi Muhibat, Imelda Maidir, Uni Titik Anas, Mas Djadiono, Mas Made, Mas Dibyo, Mas Anton Djawamaku, Mas Ismanto, Bang Udin Silalahi, Begi, Sunny, Donny, Teguh, Landry, dan semua nama lain yang tidak bisa saya sebutkan satu demi satu. Saya tidak tahu bagaimana nasib saya di CSIS setelah pidato ini, karena memang saya tidak meminta izin khusus.

Kepada kalangan jurnalis, saya mengucapkan terima kasih. Kalian adalah teman sejati yang paling setia, tidak lelah menelepon atau bertanya kepada saya. Saya tidak pamitan, karena sebagai politikus saya tentu membutuhkan kerjasama berikutnya.

Kepada teman-teman, sahabat-sahabat, serta kolega saya yang bahu-membahu menjadi pengamat sosial, politik, hukum, agama, dan lain-lainnya, serta kalangan aktivis masyarakat sipil, saya meminta ijin untuk dijadikan sebagai kelinci percobaan nanti dalam analisa kalian. Jangan kampanye positif untuk saya, kalau apa yang saya lakukan memang tidak berbuah kepada kebaikan buat orang banyak. Kritiklah saya setajam mungkin, kalau perlu dengan mencari sembilu pada pohon bambu di kampung saya nanti. Buat mata saya perih, hati saya tersayat, serta harga-diri saya luka, ketika kalian menulis tentang program yang saya tawarkan yang tidak sesuai dengan pikiran hati kalian.

Kalau di politik terkenal adagium tiada musuh yang abadi, justru saya minta agar dijadikan sebagai musuh abadi Anda, maka saya tetap menawarkan persahabatan sejati kepada Anda. Dan jangan lupa untuk menyumbang ke rekening khusus yang saya buka, sebagai dana kampanye nanti. Jelas saya tidak punya uang yang cukup dari honor menulis, berbicara atau menjadi konsultan, sebagai modal masuk ke dunia politik. Saya tidak memiliki modal material, tetapi saya punya modal sosial dan modal ilmu pengetahuan.

Apatisme hanya membuat kita kehilangan waktu yang terlalu banyak untuk menangisi keadaan. Adagium yang sering dikatakan oleh Syahrir menyebut: Janganlah Mengutuk Kegelapan, Mulailah Menyalakan Lilin. Barangkali, pilihan saya bergabung dengan Partai Golkar hanyalah nyala sebatang lilin pada kegelapan malam. Satu tiupan angin lembutpun bisa memadamkannya..

 

Padi Menguning di Rengas Dengklok.

Kapas Mengelupas Jatuh ke Perigi.

Pusaka Dibawa Para Saudagar.

Jaketku Kuning di Kampus Depok.

Samalah Nian dengan di Slipi.

Padi dan kapas akan berkibar.

 

Wabillahi Taufik Walhidayah

Wassalamu’alaikum Wr Wb.

Jakarta, 06 Agustus 2008

 



[1] Naskah pidato dalam ”Transformasi Indra Jaya Piliang: Dari Analis Politik ke Politisi”, bertempat di Aula Universitas Paramadina, Jalan Gatot Subroto Jakarta, tanggal 06 Agustus 2008, pukul 09.00-12.00.

[2] Calon Anggota Legislatif Partai Golkar pada Daerah Pemilihan.

[3] Deliar Noer, Mohammad Hatta: Biografi Politik, LPE3S, Jakarta, 1990, halaman 504-505. Bandingkan, Mohammad Hatta, Bung Hatta Berpidato Bung Hatta Menulis, Penerbit Mutiara, Jakarta, 1979, halaman 73-93.

[4] Indra J. Piliang, ”Kalau Bukan Demokrasi, Apa?”, Koran Tempo, 26 Desember 2007.

[5] Indra J Piliang, “Rezim Developmentalisme Demokratis”, Padang Ekspres, 25 Juli 2008.

Indra Jaya Piliang

unread,
Aug 6, 2008, 6:55:27 AM8/6/08
to Rant...@googlegroups.com

Indra Jaya Piliang

unread,
Aug 6, 2008, 6:57:21 AM8/6/08
to Indra Jaya Piliang, Rant...@googlegroups.com

 

 


From: Indra Jaya Piliang [mailto:indrap...@csis.or.id]
Sent: 06 Agustus 2008 17:55
To: 'Rant...@googlegroups.com'
Subject: RE: Pamit sebagai Akademisi, Pulang sebagai Politisi

 

 

 


From: Indra Jaya Piliang [mailto:indrap...@csis.or.id]

Sent: 06 Agustus 2008 17:15
To: Rant...@googlegroups.com

Dedy Yusmen

unread,
Aug 6, 2008, 9:25:17 PM8/6/08
to Rant...@googlegroups.com

Sanak Indra Jaya Piliang

 

Secara Pribadi saya menaruh hormat atas Pidato Politik Sanak, tegas, lugas, lembut sekaligus menusuk, menyayat tapi tidak memutus.

 

Kerja Luar BiasaKerja yang bagi kebanyakan orang baru merupakan cita-cita dan mimpi saja, Sanak melakukannya…..Mungkin Sanak ingat ada salah satu tokoh di Partai lain yang kebetulan Urang awak juga, Beliau menelpon sanak,  Sanak menjawabSaya mengikuti apa yang Abang saran dan lakukan saja’, pernyataan khas Minang, menyerang sekaligus memeluk.

 

Selamat Sanak, Apolai kalau sanak pakai kopiah atau Saruang mencerminkan khas Minang (kalau iko anyo basigarah sajo Sanak)

 

Minimal Awak nan urang pinggiran ini, kalau ditanya urang siapa itu Indra Jaya Piliang, Itu orang hebat tumah pernah makan samo-samo dulu di Kubang Shardjo (Kalau iko khas gaya urang awak juo ko mah), taingek Ambo kalau makan di Rumah Makan Piaman salalu adi Photo  Inyiakapotu namonyo jo Photo Tentara, hehe

 

Wassalam

Dedi Yusmen

Dr.Saafroedin BAHAR

unread,
Aug 7, 2008, 12:48:20 AM8/7/08
to Rant...@googlegroups.com
Bung Indra, saya sudah membaca 'manifesto politik' Anda. Dengan pengalaman yang demikian banyak, dan dengan persiapan yang demikian matang, saya yakin Anda bukan hanya sudah benar- benar siap untuk terjun langsung ke dunia politik, tetapi juga mempunyai peluang untuk berhasil.
Saya mendukung Anda dan ikut berdoa semoga terpilih.
Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, 71 th, Jakarta)
Alternate e-mail address: saaf...@gmail.com



--- On Wed, 8/6/08, Indra Jaya Piliang <indrap...@csis.or.id> wrote:

 

Bisa diakses di www.indrapiliang.com

 

Oleh

 

Assalamu’alaikum Wr Wb

 

Mengapa?

Bermodalkan itu, saya merasa inilah saat yang tepat untuk menjadi politikus. Saya tidak berubah dan tidak berharap untuk berubah. Yang saya lakukan hanyalah perpindahan tempat, dari analis, pengamat atau peneliti, menjadi praktisi, pelaku atau politisi.. Perbedaannya adalah ketika saya menjadi analis atau peneliti, saya bekerja untuk masyarakat, termasuk ilmu pengetahuan, secara individual. Paling banter saya bekerja dalam tim kecil, seperti Pokja Papua atau Tim Depdagri untuk Revisi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sekarang, saya tetap bekerja untuk masyarakat atau lebih tepat rakyat, terutama di daerah pemilihan saya, tetapi lewat jalur kolektif, yakni partai politik.

Karena dilahirkan di Pariaman, dibesarkan di Kepulauan Mentawai, Tanah Datar, Padang Pariaman, Pariaman, dan Sawah Lunto Sijunjung, saya merasa akan sangat durhaka apabila tidak memperhatikan kepentingan masyarakat di sana. Saya bukan Malin Kundang yang harus dikutuk menjadi batu. Saya jelas tidak punya bakat menjadi seorang saudagar, sekalipun ketika pertama kali ke Jakarta saya berjualan Sate Padang – sampai kini – bersama dengan saudara-saudara saya. Selama 19 tahun saya tidak pernah meninggalkan Sumatera Barat. Bahkan, saya tidak pernah ke Jakarta ataupun ke Pekanbaru. Saya diwajibkan sekolah oleh kakak-kakak saya yang mengirimkan uang lewat wesel pos. Ketika di Jakarta, saya juga tidak boleh mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kakak-kakak saya, seperti menjadi kernet bis kota atau jualan sate. Saya hanya membantu, tetapi tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan pokok. Tugas saya jelas, kuliah,kuliah dan kuliah.

Atas dasar itu juga saya memilih untuk dicalonkan di Daerah Pemilihan Sumatera Barat II yang meliputi Kota Pariaman, Kota Payakumbuh, Kota Bukittinggi, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten 50 Kota, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat. Ada tiga gunung yang menjadi wilayah geografis-politik saya, yakni Merapi, Singgalang dan Tandikat, serta ada Danau Maninjau yang indah. Juga ada Pantai Gondoriyah dan Pantai Arta yang menawarkan kesejukan hati.

Barangkali, saya juga akan dicalonkan di Sumbar I yang meliputi Kota Padang, Kota Padang Panjang, Kota Solok, Kota Sawah Lunto, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Solok, Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Sijunjung dan Kabupaten Tanah Datar. Toh saya pernah hidup di Kabupaten Tanah Datar, daerah asal ayah saya, serta tempat saya menamatkan Sekolah Dasar sampai SMP kelas I semester I di Koto Lawas. Ada Danau Singkarak, Danau Di Atas, Danau Di Bawah, Gunung Talang, serta perkebunan teh di Kayu Aro di daerah ini. Saya juga pernah belajar mengukir di Pandai Sikat. Tapi, kalau disuruh memilih, maka saya lebih memilih kampung ibu, bukan kampung ayah, karena saya merasa lebih mampu untuk membina hubungan dengan banyak kalangan, baik dalam lingkungan keluarga besar saya sendiri, teman-teman sekolah, sampai para ninik-mamak, cerdik-pandai, alim-ulama, bundo kanduang dan seluruh pemangku agama Islam dan adat di Ranah Minang.

 

Menjadi Politisi

 

Lalu, datanglah hari ini. Saya menyatakan sebagai politikus Partai Golkar. Sebagai langkah awal, saya memilih daerah pemilihan Sumatera Barat 2, ketimbang Sumbar I itu. Bisa saja Partai Golkar menempatkan saya di DKI Jakarta, Banten atau Jawa Barat, terutama karena saya pernah tinggal di Banten dan berdomisili di DKI Jakarta, selama 17 Tahun, atau karena saya beristrikan Faridhah Thulhotimah yang memiliki kampung di daerah dingin Kabupaten Bogor. Tetapi, saya merasa harus memulai di tempat yang tepat, yakni kampung halaman sendiri.

Dulu, saya diberangkatkan ke rantau sebagai akademisi, kini saya pulang ke ranah sebagai politisi. Rantau dan ranah harus terus disambung dengan menggunakan hati. Inilah perbedaan yang saya buat dengan Agus Salim yang kini berubah menjadi nama stadion sepak bola, Muhammad Hatta yang berubah menjadi universitas dan perpustakaan, Tan Malaka yang hinggap dalam grafiti anak-anak muda Minang, atau HAMKA dan Natsir yang ada dalam buku-buku pelajaran agama dan etika. Kalau mereka menjadi politisi di rantau, saya tidak mengulangi itu lagi dengan cara menjadi politisi di ranah.

Saya bukanlah anak muda pelajang bukit yang harus berurusan dengan zaman saisuak. Tidak perlu saya ikut menangisi kenapa di pentas nasional tidak banyak lagi politisi Minang yang berkarakter dan menonjol. Pentas nasional hanyalah pentas, sementara kebutuhan yang paling real ada di desa-desa, dusun-dusun, nagari, parak, atau di tengah sawah, yakni manusia yang tersebar di banyak titik hidup. Manusia yang hidup dalam penderitaan zaman ini. Biarlah saya mencoba menganyam filosofi manusia Minang:

Panakiak pisau sirauik,

Ambiak galah batang lintabuang,

Salodang ambiak ka nyiru

Satitiak Jadikan Lauik (Setitik Jadikan Laut)

Sakapa jadikan gunuang (Sekepal jadikan gunung)

Alam terkembang jadikan guru.

Kini, saya sedang mempersiapkan kembali ke kampung halaman, tidak hanya datang dan pergi, sebagaimana selama ini, kadang hanya semalam. Tagline dalam website saya selama ini (www.indrapiliang.com) dan nada tunggu pada handphone saya berbunyi: “Kembalikan, Kampung Halamanku”. Untuk persiapan ini, saya menulis artikel “Rezim Developmentalisme Demokratis” yang saya kirim ke harian Padang Ekspres.[5] Kampung saya membutuhkan pembangunan yang humanis, selain tentu demokrasi yang sudah mengakar dan mendarah-daging. Bukan hanya kampung saya, barangkali, yang membutuhkan pembangunan, tetapi juga kampung orang lain. Biarlah puluhan ribu politisi dari 34 partai politik ikut mengubah kampung halaman masing-masing untuk tugas berat ini.

Tentu saya tidak tiba-tiba datang dan masuk Partai Golkar, sekalipun prosesnya berlangsung mendadak dan tiba-tiba. Orang Minang tidak bisa melakukan serangan cepat, akan selalu mengulur waktu, tetapi juga membutuhkan perdebatan keras dalam kancah musyawarah di rumah gadang. Orang Minang selain sinis dan skeptis kepada orang lain, juga lebih sinis dan skeptis kepada diri sendiri. Sudah sejak pemilu 2004 saya mulai mengenali para petinggi Partai Golkar, ketika mengamati dari dekat Konvensi Nasional Partai Golkar.

Saya juga terus berkomunikasi dengan Prof Dr Djohermansyah Djohan, Deputi Bidang Politik Sekretariat Kantor Wakil Presiden RI, untuk mengetahui pikiran-pikiran Pak Jusuf Kalla. Prof Djo adalah Ketua Dewan Pendiri Yayasan Harkat Bangsa Indonesia yang menempatkan saya sebagai Ketua Dewan Pengurus. Belakangan saya juga tahu, Prof Dr Azzumardi Azra juga melobi kalangan Partai Golkar untuk menerima saya, barangkali setelah membaca di internet tentang keputusan saya untuk menjadi politikus. Sebagai warga Muhammadiyah dan buyut dari keluarga Masyumi, saya juga perlu sebutkan dukungan Prof Dr Din Syamsuddin yang dari Los Angeles, Amerika Serikat, dengan mengirimkan sms kepada Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla. Pak Syahrul Ujud, staf khusus Wakil Presiden, juga memberikan dorongan dan dukungan kuat.

Selain itu tentu ada Priyo Budi Santoso, Pompida Hidayatullah, Agung Laksono, Yudhy Chrisnandi, Yamin Tawari, Iskandar Mandji, Rully Chaerul Azwar, Aulia Rahman, Burhanuddin Napitupulu, Yan Hiksas, Agus Gumiwang Kartasasmita, Harry Azhar Azis, Happy Bone Zulkarnaen, Ali Wongso, Yorris Raweyai, serta para petinggi Partai Golkar lainnya yang menyambut saya dengan hangat. Rumah Partai Golkar ternyata lebih nyaman, jauh dari bayangan saya. Tidak perlu lagi saya merasa sungkan menyebut bagaimana bersahayanya teguran dan sapaan yang diberikan. Orang-orang itulah yang membukakan pintu Partai Golkar untuk saya masuki dengan hati yang lebih damai. Kegigihan Jeffrie Geovanie dalam memberikan informasi juga perlu saya sebutkan. Tentu, ada yang terganggu dengan kehadiran saya, tetapi itulah politik yang penuh dengan dinamika.

Dalam komunikasi dan advokasi penyusunan undang-undang, saya banyak bergaul dengan politisi Partai Golkar, seperti Agun Gunandjar, Idrus Marham dan Ferry Mursidan Baldan. Saya juga perlu sebutkan Nurul Arifin, salah satu donatur kegiatan ini, sebagai tokoh yang gigih yang bekerja sebagai aktivis Anti-HIV dan terus-menerus belajar sebagai politikus yang tidak kehilangan integritas dirinya. Nurul bagi saya adalah seorang senior sebagai politikus, karena ia tidak lantas kecewa atas kegagalan menjadi anggota DPR RI tahun 2004 lalu, sekalipun mendapatkan suara terbanyak di daerah pemilihannya. Nurul tentu berbeda dengan artis lain yang menyeberang ke ranah politik praktis yang juga sebagian adalah teman-teman saya.

Dalam banyak perdebatan yang saya ikuti dan sorongkan ke publik, Partai Golkar termasuk yang paling akomodatif atas ide-ide yang saya tulis, selain PAN. Tanpa Partai Golkar, ide-ide otonomi daerah akan mengalami kemacetan dan kemandegan. Liberalisasi di bidang politik diusung penuh oleh Partai Golkar, sekalipun juga tampak kesulitan dalam mengendalikan dan mendisiplinkannya. Pemekaran wilayah juga bagian dari cara Partai Golkar untuk mendekatkan pemerintahan kepada publik, sekalipun daerah-daerah pemekaran itu kini direbut sebagian oleh PDIP. Proses perdamaian di Aceh dimana saya terkadang menitikkan air mata ketika menulis kolom, didukung dengan baik oleh Partai Golkar. Peranan aktif dari Jusuf Kalla dalam perdamaian itu memberikan semangat bagi saya untuk menyerang kelompok-kelompok ultra-nasionalis dalam perdebatan di ruang publik.

Dulu, rezim Orde Baru adalah rezim developmentalisme represif dengan keberadaan birokrasi dan militernya. Dibandingkan dengan partai politik yang lain, kini Partai Golkar dihuni oleh kaum demokrat, terutama dari kalangan sipil. Tentu, ada terlalu banyak pengusaha di dalamnya, tetapi bukankah demokrasi lahir dari kelompok borjuasi yang tidak memiliki tanah dan kekuasaan dalam sistem feodal dan monarki awal? Pilihan untuk bergabung ke dalam Partai Golkar juga semakin dikuatkan oleh keluarnya sejumlah petinggi yang berlatar-belakang militer, seperti Wiranto dan Prabowo Subianto. Saya tidak tahu alasan-alasan dari para tokoh itu keluar dari Partai Golkar dan mendirikan partai baru, tetapi saya merasa lebih nyaman melihat “pertarungan” sesama elite sipil dalam tubuh Partai Golkar dalam perebutan pimpinan nantinya. Kompetisi di Partai Golkar berlangsung secara baik. Seseorang yang dikalahkan akan tidak memiliki kekuasaan turunan, dibandingkan dengan ketika ia menjabat. Seseorang yang baru aktif akan diberikan tempat baik, apabila memiliki prestasi.

Tentu pertanyaan penting yang bakal diajukan adalah perilaku korupsi, baik yang sudah terbukti atau yang baru dugaan, yang menimpa politisi Partai Golkar. Kalangan pers atau Indonesian Corruption Watch (ICW) yang membeberkan data-data korupsi itu menunjukkan keterlibatan semua partai politik, baik di tingkat nasional, maupun lokal. Ada yang belum sama sekali disentuh, karena membutuhkan kinerja aparat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang lebih baik dengan bukti-bukti yang kuat. Korupsi di Republik Indonesia lebih merupakan persoalan mentalitas individual, ketimbang melihat itu sebagai perilaku organisasi, agama atau ideologi seseorang. Korupsi sudah berakar sejak empat abad silam, ketika VOC-pun bangkrut karenanya. Selain lembaga-lembaga negara dan partai politik, masyarakatlah yang selayaknya memiliki peranan aktif untuk menolak meminta sumbangan kepada politisi.  

Saya akan bekerja dengan serius. Keluarga juga secepatnya menetap di Sumatera Barat. Sebagai bentuk pertanggungjawaban sebagai politisi, saya akan bekerja mendapatkan suara, berapapun nomor urut yang diberikan oleh Partai Golkar. Saya akan berbicara dalam bahasa ibu, bahasa Minang, kepada setiap orang yang bertemu di Sumbar dengan modal sebatang rokok, setampuk pinang, serta secangkir kopi yang ditemani penganan khas Minang lain.

(Perlu saya sampaikan juga bahwa sejak saya mengumumkan menjadi politikus, sejumlah orang tua, niniak mamak, cerdik pandai, dalam mailing list Rantau.Net sudah dan akan menyumbangkan biaya kampanye kapada saya, mulai dari Rp. 25.000,-, Rp. 50.000,-, dan seterusnya. Saya sungguh terharu dan tidak bisa tidur atas sumbangan materi itu).

Kalau sebelum ini saya bekerja secara individual untuk mengejar karier akademis dan intelektual, maka sekarang membutuhkan dan melibatkan kerja orang banyak, rakyat banyak, untuk menuju Senayan. Karena itu saya akan datang dalam ota di lapau (obrolan warung) dan kaji di surau, sebagai bentuk tradisional dari politikus Minang: bergelanggang mata orang banyak, bersuluh matahari.. Pergi tampak punggung, pulang tampak muka. Transparansi dalam bahasa moderen. Karena anggota parlemen adalah wakil rakyat, maka rakyat jualah yang mengantarkan ke Senayan. Tanpa dukungan rakyat, politisi bukanlah apa-apa dan siapa-siapa.

Seandainya masuk parlemen atas dukungan rakyat di Ranah Minang, maka saya akan mengerjakan komitmen sebagai berikut:

Pertama, konsentrasi kepada daerah pemilihan saya. Konsentrasi itu berupa perhatian yang lebih atas masalah-masalah utama di bidang kemasyarakatan dan pemerintahan yang berkenaan dengan daerah pemilihan saya. Saya akan menaruh di dalam ruangan kerja saya PETA DAERAH PEMILIHAN saya, lengkap dengan perkembangan data-data statistiknya.

Kedua, mencoba mendorong lahirnya Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Provinsi Minangkabau yang berbasiskan konsep ADAT BASANDI SYARA, SYARA BASANDI KITABULLAH. Sekalipun ide ini masih menuai kontroversi, saya merasa sistem pemerintahan ala UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku di ranah Minang sekarang belum begitu cocok dengan kultur masyarakat Minang. Bersama teman-teman seide, sebuah lembaga think tank lokal diperlukan guna mendorong konsep ini.

Ketiga, bertempat tinggal di daerah pemilihan saya, sekalipun tetap berkedudukan di Ibu Kota Negara sebagaimana kewajiban undang-undang. Kalaupun saya harus ke Jakarta selama masa kampanye ini, atau ke daerah lain, itu berupa penugasan Partai Golkar atau kegiatan lain, misalnya memenuhi undangan kalangan jurnalis atau lembaga-lembaga lain. Saya tentu tidak akan berhenti memberikan seminar, pelatihan, menulis dan lain-lain, tetapi dengan label yang berbeda.

Keempat, menerbitkan jurnal atau laporan berkala, bisa harian, mingguan atau bulanan. Website www.indrapiliang.com akan tetap saya pertahankan.  Baik penugasan oleh partai, komisi, fraksi atau kegiatan lainnya sebagai anggota parlemen, akan saya sampaikan kepada publik sebagai bentuk pertanggung-jawaban saya.

Kelima, bertugas sampai akhir masa jabatan di parlemen. Saya tidak akan tergoda menjadi calon gubernur, bupati, walikota, duta besar atau menteri dan bahkan presiden dan wakil presiden sekalipun. Bagi saya, pilihan menjadi anggota parlemen adalah pilihan terhormat. Saya harus hormati pilihan rakyat dan tidak akan mengubah pilihan itu sampai akhir masa jabatan. Seorang Barrack Obama, dalam konteks kini, atau singa-singa podium semacam Agus Salim, Natsir, Muhammad Yamin, HAMKA dan Syahrir dalam konteks dulu, tidak akan lahir tanpa diasah lewat perdebatan sengit di parlemen.

Di tingkat Partai Golkar, saya menyediakan diri untuk membentuk semacam lembaga think tank internal, sebut saja The Golkar Institute. Memang selama ini sudah ada Badan Penelitian dan Pengembangan, tetapi jauh lebih baik sebuah partai politik melahirkan lembaga think-tanknya sendiri. Pembentukan sejumlah Center dan Institute yang bersifat personal selama ini menurut saya belum bisa melakukan implementasi atas rekomendasi yang dihasilkan, hanya sebatas gagasan. Sudah lama ide ini saya dorong dilakukan oleh partai politik, tetapi sampai sekarang belum banyak yang menerapkannya. Partai politik moderen selayaknya memiliki institusi-institusi pengkaderan dan pengetahuan yang baik, kalau perlu mengembangkan semacam kampus-kampus kecil, guna memajukan pemikiran dan ideologi politiknya.

Tentu, saya masih memiliki sejumlah agenda lain. Tetapi kurang elok kalau disampaikan semua dalam kesempatan ini. Loyalitas, konsistensi, komitmen dan integritas menurut saya jauh lebih penting, ketimbang hanya sekadar kekuasaan. Menjadi presiden sekalipun tetap tidak akan terhormat, kalau rakyat ditinggalkan dalam keadaan papa dan menderita.

 

Terima Kasih

Tentu, saya berterima kasih kepada teman-teman partai politik lain yang juga mengundang saya bergabung, terutama PAN, PDIP dan PMB. Saya tidak merasa malu untuk mengatakan permohonan maaf saya. Kehadiran teman-teman partai lain dalam forum ini menunjukkan bahwa saya tidak sedang mencari musuh, melainkan mencari teman sebanyak-banyaknya, dalam lapangan politik praktis.

Saya juga berterima kasih atas sambutan yang hangat dari teman-teman, adik, kakak, abang, saudara, saudari, serta orang-orang tua di Partai Golkar. Sungguh saya merasa terkejut ketika menyadari bahwa Partai Golkar tidak menaruh dendam atas kehidupan profesional saya selama ini. Bahwa saya berbeda pendapat dengan Partai Golkar, misalnya dalam soal pemenang Pilkada Maluku Utara atau Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak atau Sistem Proporsional Terbuka Tanpa Nomor Urut, sehingga merugikan citra Partai Golkar, adalah bagian dari kehidupan profesional saya selama ini. Bahwa sekarang ini saya akan bekerja membesarkan partai ini adalah kehidupan profesional berikutnya di bidang politik. Saya ingin profesional di dunia politik, seprofesional saya sebagai analis, peneliti, pembicara dan kolomnis.

Kepada institusi tempat saya menyepi dan menyendiri dalam kamar yang dipenuhi debu dan buku, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), saya mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan sejak 1 Desember 2000. Saya sungguh banyak belajar atas konsep Nalar Ajar Terusan Budi, sikap ketelanjangan dalam membaca dan menerima ilmu pengetahuan. Ada banyak tangan yang telah membentuk dan menyentuh saya dalam lembaga ini: Pak Daoed Joesoef, Pak Jusuf Wanandi, Pak Harry Tjan Silalahi, Pak Djisman Simanjuntak, Mas J Kristiadi, Pak Hadi Soesastro, Mbak Clara Juwono, Bu Mari Pangestu, Bang Rizal Sukma, Bang Kusnanto Anggoro, Mas Tommi Legowo, Bu Asnani Usman, Bang Pande Radja Silalahi, Mas Edy Prasetyono, Mbak Medelina K Hendytyo, Mas Raymond, Mas Haryo, Mas Faustinus Andrea, Mas Bantarto Bandoro, Nico Haryanto, Ari A. Perdana, Arya Gaduh, Yose Rizal Damuri, Kurnia Roesad, Philips Jusario Vermonte, Christine Susanne Tjin, Puspa Delima Amri, Lina Alexandra, Alexandra Retno Wulan, Syafiah Fifi Muhibat, Imelda Maidir, Uni Titik Anas, Mas Djadiono, Mas Made, Mas Dibyo, Mas Anton Djawamaku, Mas Ismanto, Bang Udin Silalahi, Begi, Sunny, Donny, Teguh, Landry, dan semua nama lain yang tidak bisa saya sebutkan satu demi satu. Saya tidak tahu bagaimana nasib saya di CSIS setelah pidato ini, karena memang saya tidak meminta izin khusus.

Kepada kalangan jurnalis, saya mengucapkan terima kasih. Kalian adalah teman sejati yang paling setia, tidak lelah menelepon atau bertanya kepada saya. Saya tidak pamitan, karena sebagai politikus saya tentu membutuhkan kerjasama berikutnya.

Kepada teman-teman, sahabat-sahabat, serta kolega saya yang bahu-membahu menjadi pengamat sosial, politik, hukum, agama, dan lain-lainnya, serta kalangan aktivis masyarakat sipil, saya meminta ijin untuk dijadikan sebagai kelinci percobaan nanti dalam analisa kalian. Jangan kampanye positif untuk saya, kalau apa yang saya lakukan memang tidak berbuah kepada kebaikan buat orang banyak. Kritiklah saya setajam mungkin, kalau perlu dengan mencari sembilu pada pohon bambu di kampung saya nanti. Buat mata saya perih, hati saya tersayat, serta harga-diri saya luka, ketika kalian menulis tentang program yang saya tawarkan yang tidak sesuai dengan pikiran hati kalian.

Kalau di politik terkenal adagium tiada musuh yang abadi, justru saya minta agar dijadikan sebagai musuh abadi Anda, maka saya tetap menawarkan persahabatan sejati kepada Anda. Dan jangan lupa untuk menyumbang ke rekening khusus yang saya buka, sebagai dana kampanye nanti. Jelas saya tidak punya uang yang cukup dari honor menulis, berbicara atau menjadi konsultan, sebagai modal masuk ke dunia politik. Saya tidak memiliki modal material, tetapi saya punya modal sosial dan modal ilmu pengetahuan.

Apatisme hanya membuat kita kehilangan waktu yang terlalu banyak untuk menangisi keadaan. Adagium yang sering dikatakan oleh Syahrir menyebut: Janganlah Mengutuk Kegelapan, Mulailah Menyalakan Lilin. Barangkali, pilihan saya bergabung dengan Partai Golkar hanyalah nyala sebatang lilin pada kegelapan malam. Satu tiupan angin lembutpun bisa memadamkannya...

Elthaf (elthaf)

unread,
Aug 7, 2008, 9:16:22 PM8/7/08
to Rant...@googlegroups.com
Assalaamualaikum wr.wb.,
Rabu, 06 Agustus 2008, politisi kito, Bung Indra Jaya Piliang diekspos di Seputar Indonesia RCTI pukua 17:41 sehubungan dengan acara baliau nan "Pamit sebagai Akademisi, Pulang sebagai Politisi" di Universitas Paramadina Jakarta, langsuang ambo kodak dari TV tu, silahkan dicigok di lampiran PPT ko.
Kok buliah saketek pandapek ambo, jaan lah bung Inda pamit sebagai akademisi, sayang sekali, pemikiran bung Indra masih diharapkan di kampus, walaupun itu di PTS sekalipun, mengajar tidak harus dibatasi oleh waktu dan profesi, dengan sebagai akademisi Bung Indra bisa mencapai guru besar, kalau politisi bisanya sampai S3, tantu sanak Indra labiah tahu tantangan iko yooo, mungkin IJP pamit sebagai pengamat.
Selamat Bung Indra, semoga tercapai cita-cita ke Senayan dan tetap istiqamah sarato konsisten dengan cita-cita awal yang luhur, amiin.
Wassalam,
Elthaf
 

 

From: Rant...@googlegroups.com [mailto:Rant...@googlegroups.com] On Behalf Of Indra Jaya Piliang
Sent: Wednesday, August 06, 2008 5:57 PM
To: 'Indra Jaya Piliang'; Rant...@googlegroups.com
Subject: [R@ntau-Net] RE: Pamit sebagai Akademisi, Pulang sebagai Politisi

IJP on RCTI.ppt

Rasyid, Taufiq (taufiqr)

unread,
Aug 7, 2008, 10:46:44 PM8/7/08
to Rant...@googlegroups.com
Sesuai jo themanyo kito cocok sajo jo acara itu, cuma hendaknyo selain itu  baliau sabana  focus ka market  baliau. Walau lah dikecekkan lah ka hijrah ka tanah kelahirannyo.
Ambo takana jo kawan ambo nan  alah basihabih mangaja kursi salah satu bupati di Sumbar ( ukatu itu suaro anggota DPRD masih badanga untuak manggolkan proyek iko, jadi beda jo kini yang mengharuskan awak mandakek ka kostituen, indak paralu bana jo DPRD tu sasudah dapek parahu mereka he....he...).
 
Kawan itu sebagai perantau yang sukses talalu asyik bersafari dari kampuang ka kampuang menyampaikan visi-misi jo acara  sinterklas nyo, dan tampaknyo agak lupo/takurang manyiram apak-apak di  Dewan tu.
Dihari H...... selain ado perhatian nan agak labiah..... sarato ado pulo  serangan fajar dek lawan politiknyo ka apak-apak di Dewan.
Akibatnyo taduduaklah kawan itu....tapaso baranti  bausaho  dek karano lah balego manutuik utang maso jadi sinterklas dulu.
Untuang indak gilo macam Calon Bupati Ponorogo nan indak tapiliah tu... cuma... agak marotong sajo sangenek macam ayam kanai sakik di-akuak.....he...he..
 
Maaf .....ambo indak ma aja doh karano mungkin baliau jo tim suksesnyo labiah tahu dan sudah mensurvey medannyo.
Walau baliau tenar di Depok dan acok muncul diberbagai saluran tipi atau media cetak, apo baliau yakin lai ka ditarimo dek mamak kito nan sadang mambuek gulo di Lawang, nan sadang basawah di Kamang atau nan bakabun sawit di Pasaman sarato pedalaman lainnyo. Apolai urang panggaleh di Balai tamasuak di amai amai nan basorak di Aua Kuniang nan banyak kurenahnyo. ( eh ambo ragu apo iko tamasuak DAPIL baliau)
 
Yakinkan dunsanak kito tu bahaso sanak akan mambao perubahan, menuju perbaikan nasib mereka. Jan sampai janji tinggal janji.... sudah duduk lupa berdiri...kanai sumpah rang banyak sansaro kito......
 
Karano suaro merekalah nanti yang akan menentukan apakah anda bisa melenggang ke Senayan atau tidak. Bukan rato-rato rang palanta iko.... karano mereka umumnya lah tapasah karantau indak terdaftar dikampuang lai. Kecuali ado pulo acara pindah mancoblos ka kampuang beko...
 
Selamat berjuang....beko disambuang pulo
 
Wass
St. Rajo Ameh 53 +

 

ET Hadi Saputra

unread,
Aug 8, 2008, 5:00:49 AM8/8/08
to Rant...@googlegroups.com, SMA...@yahoogroups.com, Sambila...@yahoogroups.com

Assalaamualaikum Wr Wb

Apak Ibuk jo Dunsanak kasadonyo. Ambo nio mintak saran untuk ma-agiah namo usao.

Nan ka dia agiah namo iko adalah ‘mobil toko’ alias moko. Berupa light-truck dengan box barang dari poly-fiber.

Ringkasnya = lapau bajalan. Nan anyo jua nasi Padang dan minuman.  Mobil ini parkir/berdagang pada waktu tertentu dan lokasi tertentu di Jabotabek.

Jumlahnya pada tahap awal sekitar 400 unit. Warna kendaraan putih dengan ornamen oranye, hitam dan kuning

Namo nan di arok-an bisa menampilkan citra Minangkabau yang egaliter. Juga tidak menghilangkan image urang awak nan lamak masakannyo dan santiang manggaleh.

Adapun namo yang yang sudah dipertimbangkan, sbb:

LAPAU BABEGA – Labega,

SAGALO ANTA – Saganta,

GALEH KITO - Galeto

GALEH AWAK - Galawa/Galak

INDAK KARUGI - Inkaru,

 

Jadi kok ado usulan namo baru, persetujuan terhadap namo nan alah ado, atau komentar lainnyo dari apak-ibuk sadonyo, ambo tarimo jo sanang hati.

Wassalam dan Maaf,

ETHS Katik Sati 35-8        

Di kompleks KOMPAS Ciputat

 

Nofiardi

unread,
Aug 8, 2008, 5:33:11 AM8/8/08
to Rant...@googlegroups.com

Tambahan dari ambo, ma tau kok lai syur:

SALERO BASAMO – Saleba, Salemo??

SALERO KITO – Sato

PUSEK SALERO – Puro

Salam

Nofiardi 41

  

 


Z Chaniago

unread,
Aug 8, 2008, 10:46:49 AM8/8/08
to Rant...@googlegroups.com
ambo usul
 
Kurenah .. dengan nama keren Curena : Culinary dari Ranah....
atau Curami ... kalau ado manjua Mie : Cullinary dari Ranah Minang
 
Z Palai Rinuak

--
Z Chaniago - Palai Rinuak

Sukseskan Peringatan Enam Dasawarsa SMPN 1 Maninjau Ikut Membangun Pendidikan di Indonesia (1948 - 2008), 3- 5 Oktober 2008
" Pertama SMPN di Kecamatan di Indonesia "

Hayatun Nismah Rumzy

unread,
Aug 8, 2008, 11:12:30 AM8/8/08
to Rant...@googlegroups.com
Sato ciek bundo mangusul : KA(dai) BA (jalan) atau KABA MINANG
Gambarnyo yo gambar Rumah Gadang
Bilo mulainyo? Taragak mancubo ciek
Titiak salero bundo
Hayatun Nismah Rumzy (69++)

--- On Fri, 8/8/08, Z Chaniago <z.cha...@gmail.com> wrote:

Hayatun Nismah Rumzy

unread,
Aug 8, 2008, 11:37:09 AM8/8/08
to Rant...@googlegroups.com
Manokoh nyo Caleg Padusi dari Sumbar ..............bundo  tunggu2 juo Wak caliak2, wak bandiang2kan apo kiro2 visi jo misinyo.  Mungkin sabalum Bundo Kanduang ko muncul awak minta dulu kiro2 apo kiro2 nan kan dibenahi dek ananda IJP. Juga di Komisi berapa targetnya. Siapa yang lain yang akan menyusul.? Nampaknya target perempuan di DPR tak kan tercapai. Daerah IJP ko nampaknyo kampuang bundo. Cubo nanti datang ka kampuang bundo nan minus dan banyak penduduk miskinnya.
Salam
Hayatun Nismah Rumzy (69+++)
 

Rasyid, Taufiq (taufiqr)

unread,
Aug 8, 2008, 6:56:34 PM8/8/08
to Rant...@googlegroups.com
Maaf lah babarapo kali ambo tuncik untuak mangirim ka :  sanak 'yusra...@yamaha-motor.co.id' jo  sanak ET Hadi Saputra [ha...@serba.info]
Tapi indak berhasil.
Ado alternatif adress emailnyo ?
 
Mokasih.-

Nofiardi

unread,
Aug 8, 2008, 9:07:36 PM8/8/08
to Rant...@googlegroups.com

Engkaukah, Calegku?

 

Sabtu, 09 Agustus 2008

Oleh : Damsar, Guru besar Unand padang

Lima tahun lampau, engkau dan beberapa orang lain seperti engkau, datang kepada kami menyatakan maksud dan merayu kami bahwa engkau lah yang paling layak dipilih di antara calon yang ada untuk menjadi wakil kami di lembaga legislatif. Engkau beberkan segala kelebihan diri atau pun komitmen partaimu.

Ketika masa kampanye, engkau ajak kami menghadirinya agar kami paham tentang apa yang engkau dan atau partaimu perjuangkan. Agar kami tertarik datang, engkau berikan kami baju kaus bertanda dirimu dan atau gambar partaimu. Supaya kami antusias hadir, engkau beri kami makan.

Tidak jarang di antara kami mendapatkan uang saku darimu sebagai uang lelah kami menghadiri kampanye. Meski orang bilang uang tersebut sebagai money politics, karena kami tidak paham istilah itu, ya kami terima. Sebab yang ada dalam benak kepala kami  adalah kami diberi rezeki dari pintu yang tidak terduga.

Dalam tradisi kami, tidak ada doa penolak rezeki. Sehari menjelang hari “H” pencoblosan, engkau ingatkan kami agar tidak lupa mencoblos tanda gambar dirimu atau partaimu di sisi nomor urutmu. Agar kami selalu ingat apa yang engkau inginkan, engkau beri kami uang. Sedangkan teman kami yang lain engkau berikan bingkisan.

Kami senang, engkau pun senang. Pada saat hari pencoblosan, kami mengikuti saranmu. Kami membayangkan, jika engkau terpilih jadi anggota dewan, maka derajat atau nasib kami akan terangkat pula, setinggi seperti yang engkau mimpikan.   

Kami sangat bahagia sekali, ketika berbagai media massa seperti surat kabar, radio dan televisi mengabarkan bahwa engkau terpilih menjadi anggota dewan, mewakili kepentingan kami di legislatif. Kami bangga ketika melihat gambarmu pada saat dilantik menjadi anggota dewan, gagah dan berwibawa. Bangga karena satu dari suara yang membuat engkau terpilih adalah suara dariku. Kami bangga, kami senang.

Pada seratus hari jabatanmu sebagai anggota dewan, kami berharap engkau datang kepada kami untuk berbagi kebahagiaan atas terpilihnya engkau sebagai anggota dewan dan bertanya tentang apa saja yang perlu diperjuangkan jika waktu kampanye dulu engkau lupa mencatatnya atau untuk mengecek ulang untaian janji yang pernah ditebarkan dulu.

Ternyata harapan itu berlalu tanpa ada kenyataan. Meskipun demikian, kami tetap berpikir positif, atau berpikir husnudzon kata pak ustadz, bahwa engkau lagi sibuk mengurus hal negara yang lain dianggap lebih penting.

Setahun telah berlalu, engkau tidak juga pernah menjenguk kami, untuk sekadar bertanya tentang kabar kami; Apakah kami sudah makan atau belum? Apakah kami sehat atau sakit? Apakah rumah kami masih di tempat dulu atau sudah digusur? Apakah hidup kami lebih baik selama engkau jadi anggota legislatif atau justru bertambah buruk? Jangankan menjenguk, menitip salam saja lewat salah seorang tim sukses engkau yang berasal dari kampung kami saja tidak pernah.

Kami tahu, melalui berbagai media massa, engkau beberapa kali datang mengunjungi daerah kami, tetapi tidak menemui kami, namun engkau berjumpa dengan berbagai pejabat daerah. Tidak jarang kami lihat, engkau naik mobil dengan iringan vor rejder di depannya.

Kami juga lihat di televisi bagaimana sibuknya engaku keliling luar negeri untuk mendapat masukan dan ide tentang suatu masalah yang diperlukan solusinya atau suatu peraturan agar lebih komprehensif, adil dan inklusif.

Tidak terasa lima tahun telah berlalu. Engkau kembali datang kepada kami menawarkan mimpi yang sama seperti lima tahun lampau. Kami bukan manusia pendendam mengingat kesalahan engkau terhadap kami di masa lalu. Namun kami juga bukan manusia tolol seperti yang engkau duga selama ini. Kami diajarkan oleh adat “alam takambang jadi guru” agar tidak terperosok ke dalam lobang yang sama untuk kedua kali.

Kami juga diajarkan oleh nenek moyang kami bahwa “manusia dipegang mulutnya, kerbau dipegang talinya”. Engkau telah menaburkan janji di masa lampau, namun kami tidak melihat kau tepati janjimu. Wahai calegku, apa yang kami harapkan darimu lagi? ***

 

© 2008 PADANG EKSPRES - Koran Nasional Dari Sumbar

 



Abraham Ilyas

unread,
Aug 11, 2008, 12:24:23 AM8/11/08
to Rant...@googlegroups.com
Ass.ww.
Dinda ET Hadi Saputra,
 
Biasanya warna marawa ketika alek di kampuang hitam, merah dan kuning.
kenapa oranye ?
 
Wassalam
 
Abraham Ilyas 
 
--- On Fri, 8/8/08, ET Hadi Saputra <ha...@serba.info> wrote:
From: ET Hadi Saputra <ha...@serba.info>
Subject: [R@ntau-Net] OOT: usua namo - Lapau Babega

Madahar (madahar)

unread,
Aug 11, 2008, 12:41:12 AM8/11/08
to Rant...@googlegroups.com
Wa'alaikum salam ww,
da Hadi, baa kalo iko NAsi RAmas iKO BAna. kalau salinteh urang mancaliak jadi paratian juo dan ingin pulo mancubo baa bana rasonyo nan ramas iko. sakiro nan awak tau salamoko kalo lah di JKT agak jarang juo urang manyabuik nasi Ramas ko.
 
sakitu bak sato baiyo sajo da.
 
wassalamu'alaikum ww,

"4 Rancak 5 Lamak Bana"

ET Hadi Saputra

unread,
Aug 13, 2008, 2:23:59 AM8/13/08
to Rant...@googlegroups.com

Uda Guru,

Marawa sebagai identitas Minang,

Oranye pesan sponsor dari the botol Sosro

Putiah – warna dasar oto, pesan sponsor dari Astra Credit Company

Jadi sado warna = sinergi

Alhamdulillah, Sinergi batea tea nan kami proklamirkan dulu lai mulai nampak garaknyo.

Mokasih da, sukses juo untuak Uda.

Wassalam,

ET Hadi Saputra Katik Sati

Jakarta

 

From: Rant...@googlegroups.com [mailto:Rant...@googlegroups.com] On Behalf Of Abraham Ilyas
Sent: 11 Agustus 2008 11:24
To: Rant...@googlegroups.com
Subject: [R@ntau-Net] Re: OOT: usua namo - Lapau Babega

 

Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages