Assalamu'alaikum Warahmatullahi wa barakatuh,
Ananda Rahima rahim...@yahoo.com, yang diberkati Allah.Bismillahir Rahmanir Rahim,Buya coba membalas pertanyaan, dan tanggapan
ananda, berkenaan dengan Harta Pusaka Tinggi (HPT), menurut keterangan buya yang lalu itu.Maafkan, bila buya juga mencoba menyelipkan jawabnya dari kalimat pertanyaan ananda itu.
>> Juga disini nanda ingin bertanya pada Buya. Apakah
yang Buya maksudkan dengan kalimat "harta pusaka
tinggi dibagi hasilnya atau dinikmati hasilnya secara
bersama"?>> Harta pusaka tinggi (HPT), atau harta kaum itu dapat dinikmati hasilnya bersama, apakah oleh anak2 perempuan maupun anak laki2 dari kaum itu.Bagi anak2 dari pihak lelaki (dalam istilah kekerabatan kita di Minangkabau disebut anak pisang menerima bagian dari ayahnya).
Akan tetapi, dalam kenyataannya, jarang lah pula pihak lelaki yang mau mengambil bagiannya itu, bukan karena tidak boleh, tetapi sering terjadi karena rasa baragiah yang dipunyai kaum lelaki Minangkabau kepada saudara perempuannya.Apakah sikap ini tumbuh karena suburnya rasa melindungi terhadap saudara perempuan, yang juga adalah dianjurkan oleh sunnah? Wallahu a'lam.Menurut hemat buya, maka yang dimaksud bersama disini, ialah meliputi saudara laki-laki dan saudara dari garis pihak padusi (perempuan), mereka dapat sama-sama menikmati hasilnya, dengan pengertian airnya dapat diminum, buahnya dapat dimakan, semata-mata hasilnya saja, atau kabau tagak kubangan tingga. Disini kita rasakan bahwa BPT itu sebagai harta syarikat, atau harta kaum.Mungkin sudah masanya buya mengganti kata matrilineal itu, kini sesuai dengan kenyataannya, bahwa kekerabatan di Minangkabau adalah, anak (laki-laki atau perempuan) bernasab ke ayah, ber-suku ke ibu, dan bersako ke mamak.
Buya menilai, bahwa harta pusaka rendah bisa
dijadikan harta pusaka tinggi, dengan syarat kerelaan
pewaris menyerahkan bagian warisannya untuk menjadi
milik kaum, atau haarta syarikat.Pertanyaan ananda, Apakah kaum itu hanya garis keturunan
pihak padusi saja, atau pihak bapaknya juga?Harta Pusaka Rendah (HPR), pada hakikatnya adalah harta yang didapat karena hubungan pernikahan, karena hasil pencarian dalam atau selama perkawinan, dan ini mestinya dibagi menurut hukum faraidh.
Setelah pembagian itu, semua pihak yang mendapat waris, dapat menguasai sepenuhnya hak warisnya, boleh di pakai sendiri, boleh dia bawa kemana saja, boleh dia angkut kerumah istri dan anak-anaknya, bila dia sudah beranak pinak).Tidak ada larangan dan halangan, bila dia berkehendak untuk memberikan hak warisnya itu kepada siapa yang diinginkannya, apakah kepada yang bertali darah, bertali sako, atau bertali budi, yang qariib atau ba'iid.Maka dalam hal seperti ini, mungkin saja, anak turunan yang telah menerima waris menurut syari'at Islam, mawaarits, atau secara faraidh itu, tidak terlarang bila meninggalkan atau memberikan sebagian atau seluruhnya sebagai hibah kepada saudara perempuannya, dalam istilah kita yang tinggal di rumah gadang).Yang seperti inilah kelak, yang lambat laun, tentu akan menjadi harta bersama dari kaum kecil, yang semula terdiri dari satu nasab ayah tadi.Berpuluh tahun kemudian, harta yang berasal dari pemberian saudaranya ini, baik lelaki atau peremuan, akan dijaga menjadi kaum (harta syarikat) daripada keluarga satu nasab itu.Perlu di ingat, bahwa HPT itu lebih dahulu mesti dibagi menurut hukum faraidh dalam Islam.Jadi tidak ada kemestian, setelah dibagi menurut faraidh, maka bagian-bagian itu ditinggalkan kembali pada saudara perempuan untuk di jaga bersama sebagai kekayaan kaum yang kecil itu, artinya bagiam mamak untuk kemenakannya. Tetapi boleh dan tidak ditolak adanyaPada sebagian daerah, memang hal tersebut terjadi, dan yang di tinggal itu tidak lebih dari sepertiga bagian dari waris yang diterimanya menurut hukum faraidh dalam Islam itu.Kebiasaan (yang ditakutkan akan menjadi urf), rasanya tidak mungkin terjadi.Proses yang ditempuh oleh HPT itu tetap melalui pembagian harta warisan menurut hukum warisan faraidh dalam Islam juga.Penyerahan bagian warisannya, sama sekali tidak boleh ada keterpaksaan.Semua dengan keikhlasan.Jarang terjadi, pihak saudara perempuan meminta bagian saudara laki-lakinya, yang telah mendapatkan hak bagian dari waris yang diterimanya.Akan tetapi, tidak jarang terjadi, pihak istri dan anak-anak dari saudara laki-laki, yang menerima harta warisan dari ayah bundanya, dan telah dibagi secara hukum faraidh itu, malah menolak menerima, karena berbagai alasan, mungkin karena mereka dalam keadaan bercukupan, dan sebagainya.Apakah harta warisan yang diterima oleh seorang lelaki atau perempuan, yang telah dibagi menurut hukum faraidh itu, tidak boleh diberikan pada saudaranya yang perempuan, dan kemudioan menjadi harta syarikat??? Apakah ada larangan di dalam syari'at?? Wallahu a'lamu bis-shawaab.
Demikianlah pandangan buya kini, moga Allah SWT membuka ilmu dan hikmah yang lebih luas di masa datang.Menjadi tugas ananda barangkali, dan juga anak-anak buya para mujahid serta mujahidah penuntut ilmu agama, mendalaminya dari sumber sunnah Rasulullah SAW, yang kelak akan disumbangkan sebagai ilmu perpegangan amal orang sekampung di ranah kita.Memang "innaz-zamaan qad istadara".Ananda, secara kebetulan buya terbangun, dan Insyaallah akan tahajjud. Tapi, buya coba-coba membuka e-mail, hendak berselancar sejenak.Ketika itu, ternyata muncul email ananda.Maafkan buya yang tdk sempat menjawab lebih sempurna.Ketidak sempurnaan buya ini, mohonlah ananda maafkan.Dan beri pula buya pandangan ananda.Basilang kayu dalam tungku, di sanan api mangko ka iduik.Wassalam. Buya HMAAllahumma inna nasaluka ridhaka wal jannah,wa na'udzu bika min sakhatika wannaar.http://tc.deals.yahoo.com/tc/blockbuster/text5.comDate: Fri, 28 Mar 2008 02:19:29 -0700 (PDT)
From: Rahima <rahim...@yahoo.com>
Subject: [R@ntau-Net] Re: Mungkinkah Harta Pusaka Tinggi didudukkan sebagai
harta waqaf .....????
To: Rant...@googlegroups.com
CC: rah ima <rahim...@yahoo.com>
Mas'oed Abidin wrote:
>
>
> Ananda Ahmad Ridha bin Zainal Arifin bin Muhammad
> Hamim, yang di
> berkati Allah, semoga Ananda sehat selalu, Amin.
>
> Assalamu'alaikum Warahmatullahi wa barakatuh,
: Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakaatuh Buya,
Ma'af Buya, jawaban ambo salekkan.
>
Pendapat buya, tidaklah dapat di serupakan harta
> pusaka tinggi itu
> yang di dalam adat kita di Minangkabau, sebagai
> muthlak harta waqaf,
> yang diamanahkan kepada perempuan sebagai nadzirnya.
Terimakasih Buya atas jawaban Buya, nan bagi nanda
cukuik jaleh dan sajuak.
Nanda sependapat dengan Buya, kalau selama ini, harta
pusaka tinggi, tidak bisa diserupakan dengan harta
waqaf. Dari diskusi masalah harta pusaka tinggi milik
kaum ini, saya dah pernah diskusi dengan kanda datuk
Endang.
Untuk lebih jelasnya saya bagikan aja menjadi dua
sesuai pembagian Buya juga.
1.Harta pusaka tinggi berasal dari harta kaum(ulayat)
2.Harta pusaka tinggi berasal dari harta pusaka
rendah, dan dijadikan menjadi harta pusaka tinggi
pula.
Saya dah sampaikan bahwa soal pengolahannya di atur
oleh siapapun, kaum padusi atau lelaki, tidak pernah
menjadi masalah, hanya ketika pembagiannya, hendaklah
dibagi sesuai dengan Islam.
Mungkin nan ditanyakan oleh kanda Azhari dan dik Ahmad
Ridha, adalah "Mungkinkah harta pusaka tinggi bisa
dijadikan harta waqaf?".
Sekarang, jelas, kalau harta pusaka tinggi itu
kedudukannya sebagai harta organisasi.
(namun sebenarnya bukan harta pusaka tinggi bentuk ini
yang saya permasalahkan di RN ini Buya, yang saya
permasalahkan adalah bentuk harta pusaka tinggi yang
kedua, yang mana Buya pada keterangan terdahulu
menyebutkan, bahwa memang ada masalah pada harta
pusaka tinggi, yakni asalnya dari harta pusaka
rendah.....dst..sampai akhirnya jatuh kepada pusaka
tinggi pula, Inilah yang hakiki nan nanda
permasalahkan juga selama ini, mohon penjelasan Buya,
bagaimana dengan posisi harta pusaka tinggi semacam
ini didalam Islam.
Mohon maaf Buya, nanda memang melihatnya salah dalam
Islam, atau boleh dikatakan bertentangan dengan
Islam.(pada bentuk pusaka tinggi yang kedua diatas)
Sebab setahu saya, harta itu secara otomatis aja
diturunkan ke kaum padusi, padahal itu jaleh milik
nenek atau kaum kerabat terdahulu.
Menurut pengetahuan nanda yang juga masih kurang ini,
harta pusaka tinggi semacam ini, jelas bertentangan
dalam Islam Buya, kenapa?
Bukankah disana ada haknya garis keturunan kaum
lelaki. Bukankah sang nenek memiliki saudara lelaki
juga(kalau pas ada saudara), atau ada suami/ayah
dllnya.
Sementara di Minang, saya melihat, harta semacam ini,
ikut pula dibagikan sebagaimana harta pusaka tinggi
yang pertama tadi, hanya di turunkan pada garis padusi
saja(harta organisasi menurut Buya).
Boleh saja dengan kerelaan, seorang lelaki merelakan
harta pusaka tingginya tadi kepada adiknya perempuan,
namun harus dibagi dulu sesuai dengan hukum faraidh.
Kalau tidak dibagi sesuai dengan hukum faraidh dulu,
itu namanya kita melalaikan perintah Allah Ta'ala dan
membuat hukum diluar hukum Allah ta'ala, dan kalau
sekiranya kondisi ini berkelanjutan begitu saja, tanpa
kejelasan, ini namanya kita telah membakar hukum
warisan dalam Islam, akibat kebiasaan tadi, direlakan
saja, tanpa ada pendahuluan pembagian secara hukum
Faraidh.
Kemudian, bila telah direlakan oleh kaum lelaki pada
kaum padusi, maka harus jelas pula dulu andaikan saja
dalam satu keluarga itu memiliki beberapa orang anak
perempuan atau lelaki. Kalau perempuannya banyak, maka
harus jelas pula mana-mana saja hak mereka secara
hukum faraidh dalam Islam. Sehingga kelak, pas
penurunannya pula jelas. Andaikan anak perempuan tadi
memiliki anak lelaki dan anak perempuan juga,
dijelaskan pulalah.
Sebab bias jadi, suatu saat tiba di anak perempuannya
tadi memiliki dua anak pr satu lelaki, sementara yang
anak lelaki hidupnya miskin, dan dua anak perempuan
memiliki suami yang kaya, maka tentu saja kecondongan
seorang Ibu semua anaknya tak ada yang miskin, dan
dibagilah harta tersebut kepada anak lelaki tadi,
bahkan anak pr dua orang tadipun bisa saja
menghibahkan harta mereka ke saudara lelaki yang
miskin tadi. Ini bisa, karena telah jelas pembagiannya
dari awal menurut Islam.
Sementara kita lihat, tidak semacam ini yang terjadi
pada harta pusaka tinggi yang kedua tadi, secara
otomatis saja harta itu jatuh kepada garis keturunan
padusi, tanpa ada pendahuluan hukum faraidh, bukankah
ini salah dalam Islam Buya? Bagaimana menurut
pandangan Buya dalam hal ini?
> Buya malah berpendapat, harta pusaka tinggi itu
> sebagai harta kaum
> semata. Sebagai, kalau di contohkan sekarang harta
> organisasi, bila
> kaum itu dapat diserupakan dengan organisasi yang
> bernama kaum itu.
Untuk sementara ini, nanda sependapat dengan Buya.
Namun perlu pula kita carikan solusinya bagaimana
kedudukan harta pusaka tinggi ini dalam Islam.
Kalau menurut nanda Buya.
Boleh saja kepengurusannya diserahkan pada kaum
padusi, asal ketika pembagian hasilnya dibagi sesuai
dengan Islam juga.
Islam juga mengenal harta syarikat. Atau harta
organisasi.Mudah-mudahan dik Ridha atau sanak Azhari,
atau nan lainnya bias mencarikan artikel masalah harta
oraganisasi ini. Saya ada, tetapi harus saya
terjemahkan dan salin ulang pula lagi, kalau ada yang
Indonesiakan bisa mengurangi pekerjaan saya
menterjemahkannya.
> Harta pusaka tinggi itu lebih kuat kedudukannya pada
> kesepakatan
> kaum.
>
> sesungguhnya secara Menjual dan menggadai harta
pusaka tinggi ini,
> hakiki terlarang.
Ma'af Buya, saya setuju kalau segala macam harta
apapun, kalau sudah sepakat semuanya, sah-sah saja.
Hanya tetaplah kita mendahulukan ketentuan dari Allah
Ta'ala, agar kita selalu berada dalam garis ketentuan
yang telah ditetapkan oleh Allah Ta'ala..
Setau nanda, apapun harta bisa saja dijual, baik harta
itu milik kaum, atau pemerintah, sah-sah saja dalam
Islam. Yang ngak boleh dijual itu sebenarnya harta
waqaf dalam kondisi apapun, kecuali terjualnya untuk
pembelian waqaf juga.
Hanya saja, kalau harta kaum mau dijual atau digadai
boleh dalam Islam, dengan syarat hanya untuk
kepentingan kaum atau negara atau masayarakat, atau
pemerintah itu juga. Ngak boleh untuk pribadi sama
sekali, karena itu harta kaum, negara, milik bersama,
maka kepentingannyapun dibolehkan pula untuk
kepentingan kaum atau masyarakat itu juga.
Hanya saja, andaikan dalam Minang harta kaum itu
disepakati ngak boleh digadaikan atau dijual, itu
terserah saja, karena kesepakatan. Islam juga
menghargai kesepakatan. Cuman, kalau ditanya dalam
hukum Islam, boleh ngak harta bersama/umum yang bukan
harta wakaf dijual, bila semuanya sepakat menjualnya.
Boleh, sah-sah saja. Asalkan sepakat. Yang pasti harta
waqaf saja yang ngak boleh dijual dalam Islam.(CMIIW)
.
> Jadi lelaki dalam kaum menjadi pengawas harta waqaf,
> kaum perempuan
> mengelola hasilnya, kedua-duanya tidak berhak
> mengalihkan dan
> menjualnya, .
Ma'af Buya, nanda kurang mengerti akan kalimat diatas.
> Sehubungan dengan itu, barangkali ananda yang
> menuntut ilmu di
> sumber datangnya Islam, perlu mendalami penelitian
> berguna untuk
> orang kampung kita, bahwa sebenarnya amat bijaksana
> ketentuan hukum
> adat di Minangkabau, yang memberi batasan bahwa
> harta pusaka tinggi
> tidak boleh dijual, dan tetap berada dalam
> pengawasan kaum
> perempuan, jadi bukanah semua harta di wariskan
> kepada perempuan.
InsyaAllah Buya.Akan saya tanyakan langsung bila perlu
pada majelis fatwa yang ada di Mesir, namun untuk
sementara ini, pendapat nanda sebagaimana diatas tadi.
> Banyak pula dari harta pusaka tinggi itu yang sudah
> tidak diketahui
> lagi asal dan usulnya, karena kaumnya telah menerima
> sebagai warisan
> turun temurun, dari ninik turun ka ninik, turun lagi
> ke ibu, dan
> kini ada di tangan cucu dan cicit. Bagaimana
> membaginya, sebab itu
> harta pusaka tinggi itu wajib kita jaga.
Inilah saya pertanyakan Buya. Menjaga harta itu wajib
hukumnya. Bahkan kalau kita menemukan sebidang tanah
yang terletak begitu saja, wajib ditanami. Bagi yang
menemukannya, bila sudah bertahun ngak ada juga yang
mengakui memilikinya, maka hak penemulah yang
menjadikan tanah itu miliknya. Ini yang pernah nanda
sampaikan pada kanda datuk Endang.
Tapi apabila suatu saat sipemilik datang mengambil,
maka sipenemu tadi berkewajiban memberikannya. Kalau
bertahun ngak juga, menjadi haknya dan kelak bila dia
meninggal secara otomatis itu hak dari ahli warisnya
sesuai dengan islam pula.(kalau yang menemukan satu
orang gampang)
Yang sulitnya kalau menemukan itu ramai-ramai, ada dua
tiga suku, atau dua tiga orang dalam tempat yang sama,
ini yang sangat rumit bila sampai tujuh keturunan ngak
jelas-jelas, yah jadi harta kaum penemu itulah
selamanya, sulit dijual, kecuali kesemua kaumnya
sepakat pula menjualnya.
> Bila di tilik dari sini, maka penjagaan harta pusaka
> tinggi mungkin
> dapat serupa dengan penjagaan kepada barang waqaf,
> walaupun harta
> pusaka tinggi itu tidak bisa diqimat menjadi harta
> waqaf.
Penjagaan, mungkin bisa semacam itu, namun menurut
yang saya ketahui tetap memiliki perbedaan Buya. Waqaf
ngak boleh sama sekali dijual, kecuali untuk pembeli
waqaf juga, sementara kalau harta kaum/Negara/umum,
masih bisa dijual dan hanya boleh untuk kepentingan
banyak /kaum/umum pula, ngak boleh kepentingan secara
pribadi.
Tapi ada kalanya harta pusaka tinggi, pada satu kaum
> yang sudah
> punah, atas kesepakatan karek balahan, di wakafkan
> kepada pihak
> lain, bukan kaumnya yang menjaga lagi. Sebagai
> misalan, waqaf tanah
> sawah yang menjadi pusaka tinggi suatu kaum di
> wakafkan ke nagari,
> untu di atasnya dibangun masjid untuk orang
> sekampung.
>
Kalau begini posisinya harta pusaka tinggi kaum, sudah
jatuh kepada harta waqaf untuk suatu kaum, maka bila
telah terjadi waqaf, dan ada lafaz, kesepakatan, jelas
sama sekali ngak boleh dijual dengan alasan apapun,
dan tidak boleh kembali lagi kepada kedudukan harta
pusaka tinggi(organisasi).
> Buya juga masih mempertanyakan pendapat Inyiak
> Canduang kito,Allah
> yarham Syeikh Sulaiman Ar Rasuly, yang mengatakan
> bahwa harta pusaka
> tinggi, digolongkan kepada harta musabalah.
>
> Buya masih berpendapat, paling tinggi hanya harta
> kaum, yang wajib
> kaum itu menjaganya. Buahnya bisa dimakan, hasilnya
> bisa dinikmati
> bersama, tapi pohonnya, dan tanahnya tidak bisa
> dialihkan (dijual). > Menggadai sebenarnya tidak
sama dengan menjual.
> Sebab ujung dari
> gadai ditebusi. Ujung dari jual lepas tangkai.
Buya, saya sependapat, bahwa harta kaum itu haruslah
dijaga dan hasilnya haruslah dinikmati bersama, baik
pihak garis keturunan Ibu ataupun Bapak. Namun
pengelolaannya terserah siapa saja yang memegang,
kalau kaum sepakat dikelola oleh kaum padusi sah-sah
saja, namun hasil tetaplah kedua belah pihak garis
keturunan, karena ini harta kaum, didapat secara
beramai-ramai. Dalam hal inipun, bagi sang penggarap,
dalam ketentuan Islampun ada menjelaskan hal ini.
> Ananda Ahmad Ridha, mohon juga buya dibantu,
> barangkali ada
> pandangan lain yang lebih baik dan utama.
> Pendapat kita sesungguhnya belum final dan tidak
> limited.
>
> Selamat dan doa buya selalu untuk ananda,
> Moga satu ketika kita bertemu, dan satu masa kelak
> ananda akan
> berada di tengah masyarakat kita di Minangkabau,
> memelihara adat dan
> budayanya, sesuai dengan syari'at mengata, adat yang
> memakaikan.
Semua kita berdo'a untuk Buya, dan mengharapkan yang
terbaik untuk masalah ini yang mana kita
mensesuaikannya dengan ketentuan syara'.
Nanda masih mengharapkan penjelasan Buya, masalah
harta pusaka tinggi jenis kedua tadi. Kalau nan
pertama, nandapun telah menyampaikan pandangan nanda
sesuai dengan ilmu yang nanda ketahui pula.
Terimakasih Buya, dan mohon maaf bila ada tersalah.
Wassalamu'alaikum. Rahima Sarmadi Yusuf(39 thn)
> Terimakasih, dan maaf jika ada yang tersalah.
> Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,
>
> Buya H.Mas'oed Adidin bin Zainal Abidin bin Abdul
> Jabbar
You rock. That's why Blockbuster's offering you one month of Blockbuster Total Access, No Cost.
Tarimokasih banyak kapado Engku Datuk Endang ateh kiriman amar putusan
KAN Nagari Sulik Ayie th 2006 ko... Iko contoh penyelesaian nan sagat
rancak.. ambo mintak izin ka Mak Datuk mamprint nyo ciek, taragak ambo
macaliakkannyo ka ketua KAN di kampuang ambo..
Kok dapek iyo baitulah andaknyo di tiok-tiok nagari, kasus kasus
sengketa adat tu jan lapeh ka pengadilan negri tapi disalasaikan di
balairung dek niniak mamak kito sendiri, sasuai jo pepatah, "elok nagari dek
pangulu"
Mancampak sampai ka hulu
Kanailah udang di subarang
Apo nan cupak di pangulu
Mampamainkan undang-undang
Tentang salah satu keistimewaan putusan ko, ambo caliak dibandiangkan jo
nan biaso tadanga dikampuang ambo, adolah putusan no.4 nan
ma-instruksikan kapado "Niniak Mamak" atau Panghulu Andiko Rumah Duo Puluah
(Datuk Tan Maruhun)+untuak malaksanakan acaro adat "maisih Pangka Tuo",
bagi anak kamanakan-nyo yaitu Siti dan Tuti, sasuai jo pituah adat
"ganggam bauntuak, hiduik bapangadok".
Dalam esekusi putusan di awak zaman kini lah agak sulik, mungkin karano awak indak pakai 'Satpol PP', mako dengan maisi adat ko kan jadi nyato pelaksanaan putusan tu, jadi de facto.. ndak tau pulo ambo istilahnyo do..
Kalau dikampuang ambo 'ganggam bauntuak' itu mungkin ado tapi
disampaikan lisan sajo dek Pangulu tanpa acara apo2.
Sakitu sajo dulu dari ambo Mak Datuk, mohon maaf kalo ado kato nan
salah,
wassalamualaikum w.w.
St. Rumah Panjang
Mohon pada Admin, postingan saya ini di postingkan di
RN. Beberapa hari yang lalu baik di surau ataupun di
RN, tulisan saya tidak bisa masuk-masuk, meski katanya
sudah di sent, saya tidak tahu kenapa.
Begitupun tulisan saya masalah harta dapatan dan
'harta 'Al Umriy, tolong dipostingkan. Makasih. Kalau
tidak bisa muncul di RN, nanda mohon maaf
sebesar-besarnya pada Buya, minta tolong pada Buya
menolongkan mempostingkannya ke RN, nanda tidak tahu
ada masalah apa di ID nanda.
>>Pusako randah, alah jaleh harus di bagi dahulu
menurut faraidh.
Tapi nan manarimonyo, dapek ma hibahkan manjadi pusako
tinggi,
Kalau alah manjadi pusako tinggi milik kaum atau
keluarga, tentu nan
manjagonyo basamo, atau urang nan di agieh amanah tu.
Makanya hukum faraidh, adalah salah satu penyelamat
manusia dari persengketaan mengenai harta itu. Walau
pernah diingatkan oleh para ulama salaf,
bahwa ilmu yang akan pertama hilang, adalah ilmu
fraidh ini.
Mungkin tersebab, dikarenakan dalam
mengimpklementasikan hukum itu, kepentingan dan
dorongan hawa nafsu telah mampu mengalahkan hukum itu.
Moga Allah Subhanahu Wa Ta'ala, senantiasa memberi
kita kearifan hikmah daripada agama NYA.
Amin.
Salam maaf untuak nan basamo,
Wassalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
BuyaHMA
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.
Buya Mas'oed yang nanda hormati.
Terkagum dan cukup salut nanda akan jawaban-jawaban
Buya.
Apa-apa yang Buya paparkan diatas benar adanya.
Dapat nanda tarik kesimpulan:
I) Bahwa harta Pusaka Tinggi itu di bagi hasilnya
secara bersama-sama, meskipun soal siapapun yang
mengelolanya siapa saja, silahkan saja. Yang penting
adalah hasilnya dinikmati bersama-sama, oleh kaum
tersebut.
Ada catatan dari nanda, kemaren Buya mengatakan bahwa
harta pusaka tinggi tadi, bisa di analogikan kepada
harta organisasi/syarikat. Kalau memang seperti itu,
harus dibagi secara bersama.Namun, ada syarat- syarat
dari harta bersama/organisasi/syarikat ini diantaranya
adalah masing-masing dari harta yang dijadikan harta
bersama itu adalah hak milik masing-masing. Kalau
tidak hak milik masing-masing, maka jatuhnya kepada
harta dapatan/temuan/Luqthah, dan hukum harta dapatan
ini bisa :
1. Menjadi harta milik pribadinya, jika setelah 1 thn
di cari2 ngak ada yang mengakui empunyanya, maka
menjadi hak sipenemu, dan konsekwensinya kalau sudah
menjadi hak milik, maka sepeninggalnya, menjadi hak
ahli warisnya.
2. Ataupun ia menyerahkannya kepada pemerintah, pihak
yang berwenang, untuk dimanfaatakan bagi kepentingan
umum, kaum/Negara.
3. Pembagian dari hasil harta organisasi adalah,
sesuai dengan kapasitas dari kadar banyaknya sipemilik
saham tersebut.
4. Kalau harta pusaka tinggi ini berasal dari harta
peninggalan orang tua terdahulu, maka ini dinamakan
juga harta alwadi'ah(peninggalan), hukumnyapun sama,
harus dibagi juga hasilnya secara bersama-sama,
ataupun kepada si pemegang amanah harta peninggalan
tersebut, namun, inipun, harus dikembalikan pula, bila
meninggal orang yang diamanahkan menjaganya,
mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya pertama
sekali.
Kalau sang pemilik sudah meningal dunia, maka harus
dikembalikan kepada ahli warisnya. Kalau tidak
diketahui lagi siapa pemilik pertamanya, maka posisi
harta ini jatuh kepada milik bersama(umum), dan
pemakaiannyapun harus untuk kepentingan umum juga,
soal siapa yang mengelola, sekali lagi, tidak menjadi
masalah, yang penting adalah hasilnya.
Kalau sipemilik hasil tadi, misalkan si A hak dari
hasil merelakan hasilnya diserahkan ke orang yang
dikehendakinya, ini tak menjadi masalah, asalkan yang
terpenting adalah pembagian dulu menurut syara'.
Karena bisa jadi, sikap si A, tidak sama dengan sikap
anaknya si A, katakanlah anaknya berinisial B, C, D
(katakanlah anaknya ada saat ini, tiga orang).
Karena setahu nanda Buya, harta apa sajapun dalam
Islam ada ketentuan-ketentuannya.Begitulah Islam
menjaga benar permasalahan harta ini, agar tidak
rancu, dan agar semuanya jelas, maka yang jadi darah
dagingpun jelas, bukan harta syubhat, apalagi harta
haram..
Yang jelasnya, apabila harta itu tidak jelas siapa
pemiliknya, maka ada tiga kemungkinan bila harta itu
ingin disesuaikan dengan harta menurut hukum harta
Islam.
A) Harta ini dikatakan harta dapatan(hukumnya ada
dalam artikel nanda masalah harta dapatan)
Bila jelas siapa pemiliknya harta ini ditinggalkan,
maka harta semacam ini dikategorikan kepada harta :
B) Al Wadi'ah atau harta Al 'Aariyah(peninggalan dan
pinjaman), dan ini harus dikembalikan pada
sipemiliknya, kalau sipemilik meninggal dunia, maka
harta diserahkan pada ahli warisnya yang masih hidup,
baik pihak lelaki ataupun perempuan sesuai dengan
hukum faraidh..
C), Kalau harta ini diserahkan
pemanfaatan/penjagaannya seumur hidup pada sipenerima
amanah, maka harta ini jatuh pada kategori hukum harta
Al 'Umri, atau Arruqubiy(bisa dilihat tulisan nanda
tentang harta seumur hidup atau harta
penjagaan/pemanfaatan seumur hidup).
Maka hukum harta ini dilarang dalam Islam, kecuali
apabila harta itu kelaknya di jadikan menjadi harta
hak ahli waris sipenjaga/sipemanfaat harta tersebut,
karena ini sesuai dengan pesan dari hadits rasulullah
shallallhu'alaihi wasallam.
D) Andaikan harta pusaka tinggi/kaum yang tidak jelas
lagi siapa pemiliknya tadi, ingin diberikan pembagian
hasilnya hanya kepada garis keturunan kaum padusi
saja, maka tidak ada jalan lain, kecuali menjadi harta
waqaf. Karena satu-satunya hanya harta waqaflah yang
bisa dijadikan seumur hidup untuk golongan atau kaum
tertentu.Namun, kalau sudah menjadi harta waqaf,
syarat-syarat ngak ada lagi dibuat oleh kaum, kecuali
syarat itu berkonotasi pada kepentingan secara umum
dari kaum itu saja, tidak boleh jatuh pada kepentingan
pribadi.Dan saat pelafaz an maka diniatkan pada
pemilik pendahulunya, karena ngak ada jalan lain, mo
dilafazkan milik si A, padahal dibukan pemilik
aslinya.
>> Maka dalam hal seperti ini, mungkin saja, anak
turunan yang telah menerima waris menurut syari'at
Islam, mawaarits, atau secara faraidh itu, tidak
terlarang bila meninggalkan atau memberikan sebagian
atau seluruhnya sebagai hibah kepada saudara
perempuannya, dalam istilah kita yang tinggal di rumah
gadang).
Yang seperti inilah kelak, yang lambat laun, tentu
akan menjadi harta bersama dari kaum kecil, yang
semula terdiri dari satu nasab ayah tadi.
Berpuluh tahun kemudian, harta yang berasal dari
pemberian saudaranya ini, baik lelaki atau peremuan,
akan dijaga menjadi kaum (harta syarikat) daripada
keluarga satu nasab itu.
Perlu di ingat, bahwa HPT itu lebih dahulu mesti
dibagi menurut hukum faraidh dalam Islam.
>>Jadi tidak ada kemestian, setelah dibagi menurut
faraidh, maka bagian-bagian itu ditinggalkan kembali
pada saudara perempuan untuk di jaga bersama sebagai
kekayaan kaum yang kecil itu, artinya bagiam mamak
untuk kemenakannya. Tetapi boleh dan tidak ditolak
adanya
Buya benar, tidak ada masalah apabila harta pusaka
rendah menjadi harta pusaka tinggi, apabila telah
terjadi pembagian menurut syara'(faraidh) dari senasab
tadi.Ini yang terpaling penting, jadi kita
melaksanakan dulu hak Allah baru hak manusia. Hukum
Allah lebih diutamakan.
Namun, disini ada catatan dari ananda.Sepertinya ada
perbedaan antara jenis harta pusaka tinggi yang
pertama dengan jenis harta pusaka tinggi berasal dari
pusaka rendah.
1. Nanda tidak tahu, apakah dahulu harta pusaka tinggi
jenis pertama yang dimiliki oleh nenek keturunan garis
keturunan pihak padusi(baik itu harta dimiliki oleh
satu, atau beberapa orang), mereka telah membagi
dahulu sesuai dengan hukum faraidh? Allahu'alam. Hal
ini sering nanda tanyakan, mohon maaf, karena
mengetahui asal usul sesuatu bagi ananda cukuplah
penting.
Kalau jawabannya antara sudah/belum, atau kita tidak
tahu. Maka hukumnya seperti yang nanda sebutkan, tidak
jelas, kalau sudah tidak jelas, maka tidak ada jalan
lain, harta tersebut jatuh pada milik kaum itu semua,
dinikmati hasilnya oleh pihak lelaki dan perempuan.
Hanya saja, nanda melihat, apakah ini hanya sekedar
pengetahuan nanda saja, tetapi ada juga hal ini
dipertanyakan beberapa orang netters(maaf nanda
lupa).Apabila sang ibu tadi menerima harta pusaka
tinggi tersebut dimasanya, di nikmati oleh anak lelaki
dan perempuannya. Its, Ok.
Kemudian, apabila terjadi di Minangkabau(maaf kalau
nanda salah, tolong dibetulin Buya), sang ibu tadi
hanya memiliki keturunannya hanya anak lelaki saja,
dia tidak memiliki anak perempuan. Maka harta pusaka
tinggi tadi masih boleh dipegang/dikendalikan,
hasilnya dinikmati oleh anaknya lelaki tadi,maupun
cucu-cucunya. Namun, bila sang anak tadipun, hanya
memiliki anak lelaki pula, dengan arti kata dia ngak
punya anak perempuan, maka tatkala ia meninggal, harta
itu tidak bisa dialihkan kepada anaknya yang lelaki
tersebut (berarti cucu lelaki ibu tadi), tetapi
diserahkan kepada kaumnya.
Perbedaannya dengan harta pusaka rendah tadi, sang
cucu lelaki berhak mengelola, ataupun menikmati
hasilnya. Nanda tidak tahu, sementara jenis pusaka
tinggi pertama tadi, cucu lelaki tidak bisa
mengelolanya/menikmati hasilnya lagi?
Disini boleh nanda bertanya Buya? Kenapa bisa terjadi
semacam itu, kenapa bisa dibedakan antara cucu lelaki
dan cucu perempuan? Dan apakah setelah si ayahnya
meninggal, untuk menikmati hasilnyapun sang cucu ngak
boleh pula?
2. Catatan kedua, mohon maaf Buya, setahu nanda dalam
islam ada hukum, yang apabila suatu harta itu telah
dikelola seumur hidupnya, maka harta tersebut jatuh
menjadi miliknya, dan harta itu menjadi milik ahli
warisnya sepeninggalnya kelak. Ini dengan bersandarkan
pada hadits Rasulullah:"Janganlah kamu melakukan
pemberian harta seumur hidup, juga jangan kamu
melakukan penjagaan pemanfaatan harta seumur hidup,
maka barang siapa yang melakukan hal tersebut boleh
saja dengan catatan harta tersebut jatuh menjadi hak
milik orang yang diberi amanah mengelolakannya dan
kelak jatuh pula kepada ahli warisnya)(silahkan
dilihat postingan nanda masalah harta Hibah/Al 'Umry,
dan Arruqubiy).
3. Maaf sekali lagi Buya, menurut yang nanda pelajari
masalah harta syarikat, dari harta
warisan/dapatan/temuan, harta ini termasuk bagian dari
syarikat Mufawadhah, yang jenis ini terbagi dua. Yang
dibolehkan dan yang tidak dibolehkan. Maka harta
warisan/dapatan, termasuk bagian harta syarikat yang
tidak diperbolehkan.
Nah, kalau kita ingin menjadikannya sebagai harta
syarikat, seperti kata Buya diatas, haruslah dibagi
dulu menurut hukum faraidh, jadi jelas siapa pemilik
dari harta syarikat tersebut, sehingga kelak, apabila
dalam harta tersebut ada arribhu(keuntungan, atau
harta yang produktif), maka bisa dibagi keuntungannya
sesuai dengan raksul maal(pemilik modal masing-masing
berapa percentasenya).Ini baru jelas.
Kalau seandainya harta pusaka rendah tadi, katakanlah
hanya satu rumah saja, yang selama ini mereka tempati
bersama-sama, ingin dijadikan harta keluarga, maka
tetap harus dibagi dulu menurut syari'at(hukum
faraidh), kalau sang saudara lelaki menyerahkan haknya
setelah dibagi tadi untuk saudaranya yang perempuan,
silahkan saja, berarti tidak ada lagi haknya disana.
Namun, masih ada juga disana haknya ayah/ibu sang
mayat tadi, harus juga dibagi bagian mereka. Kalau
mereka sang ayah/ibu(nenek/kakek) tadi menyerahkan
pula bagiannya pada cucu perempuan mereka, silahkan
saja, maka harta tersebut murni menjadi hak milik dari
anak-anak perempuan mereka.
Kalau sang anak perempuan misalkanlah dua orang tadi,
masing-masing memiliki anak pr, dan anak lelaki,
tatkala mereka meninggalpun harus pula dibagi
masing-masingnya sesuai dengan hukum faraidh,
begitulah seterusnya.
Yang jadi permasalahan adalah :
1. Andaikan saudara lelaki, tidak mengatakan
perelaannya, namun hanya membiarkan saja saudara
perempuannya menempati rumah itu, begitupun sang
nenek/kakek mereka, hanya membiarkan saja, tidak pula
merelakan, tidak pula tidak merelakan, dengan arti
kata mendiamkan saja, berjalan begitu apa adanya,
tidak dibagi dulu menurut hukum faraidh, tetapi dia
berjalan apa adanya saja, rumah tetap begitu saja.Dan
ini berlanjut terus menerus bertahun-tahun, maka
disana jelaslah masih ada hak-hak dari garis keturunan
pihak ibu ataupun garis keturunan pihak ayah. Tidak
boleh di klaim itu sebagai harta pusaka tinggi jenis
awal tadi, hanya di nikmati oleh garis keturunan pihak
ibu saja.
Kalau di klaim itu hanya milik garis keturunan pihak
perempuan saja, jelas salah dalam Islam, apalagi kalau
harta tersebut hanya dinikmati hasilnya oleh mereka
saja. Karena dari awal tadi, tidak ada kejelasan
sesuai hukum faraidh.
2. Bagaimana pula kondisinya, harta pusaka rendah yang
ingin dijadikan harta pusaka tinggi, yang tanpa dibagi
dulu, tetapi dibiarkan berjalan begitu saja, apa
adanya, kalau sang mayat tidak memiliki anak lelaki,
hanya ada anak PR, dan kita ketahui, maka saudara
perempuan dan saudara lelaki dari mayat(ayah) yang
meninggal tadipun memiliki hak warisan tersebut pula.
Kalau saudara lelaki dan Pr itu meninggal pula, maka
tetap ada hak dari anak-anak lelaki dan perempuan
mereka dari harta(rumah tersebut), jadi tetap ada hak
dari garis keturunan pihak sang ayah menerima dari
harta pusaka tersebut.
3. Yang repotnya, kalau saja harta warisan tersebut
bukan berupa rumah, tetapi berupa harta yang
produktif, katakanlah ladang yang luas, bisa memiliki
hasil yang besar, atau toko yang produktif. Kalau
tidak lebih dahulu dibagi sesuai dengan syara'
pembagian secara nominal,kita tidak tahu apakah akan
menimbulkan persengketaan kelak dikemudian hari sampai
ke cucu-cicit.
Kalaulah dijalankan hukum faraidh dulu, nanda kira,
telah jelas berapa percent bagian masing sulit timbul
persengketaan, harta masih utuh meskipun berapa tahun
kemudian, semua jelas berapa bagian masing-masing
sesuai dengan percentase modal tadi, dan bagi
pengelolanyapun tentu memiliki hak lebih, karena ia
yang mengelolanya.dan kalau sudah tahu keuntungan,
bila ingin diserahkan pada siapapun yang diinginkan,
tidak menjadi masalah. Hal-hal kejelasan semacam
inilah gunanya ilmu faraidh. Menjauhkan persengketaan
dan menumbuhkan rasa persaudaraan saling tolong
menolong yang jelas, hukum Islampun terlaksana, harta
tidak terjual, bahkan semakin berkembang, apabila yang
mengelolanya jujur dan pintar, atau lihai.
Jangan sampai ada dugaan, bahwa hukum faraidh bila
dilaksanakan seolah-oleh kelak harta keluarga semakin
habis. Kalau diantara bersaudara itu membutuhkan
biaya, dan ia ingin mengeluarkan haknya dari harta
tersebut, boleh-boleh saja, diganti dengan harga
nominal oleh saudara yang lain, maka haknya tadi jatuh
pada yang menggantikan harga nominal tadi.
Kalau yang semula haknya hanya 1/4, bisa menjadi 1/2.
Jadi harta tetap tidak terjual kesiapapun, perusahaan
maju, hukum Allah dilaksanakan, sesama saudara bisa
saling tolong menolong. Kuncinya hanya ada
dilaksanakan dulu pembagian sesuai dengan hukum
Allah/hukum faraidh tersebut. Hati tenang, jiwa aman
dunia akhirat, dan persengketaanpun sulit terjadi,
kecuali bagi mereka yang tamak.
Kalau saja harta pusaka rendah tadi, tidak dijelaskan
setiap priode sesuai dnegan hukum faraidh, maka harta
ini kelak akan rancu lagi semacam pusaka tinggi jenis
pertama, ngak jelas siapa pemiliknya lagi. Jadi,
setiap priode harus diperbaharui terus(maksudnya
diperbaharui adalah apabila meninggal salah seorang
diantara ahli waris pusaka rendah tadi, begitu
seterusnya). Ini mengajarkan kita juga pada kejujuran,
kejelasan hak milik, keikhlasan, dan rasa persaudaraan
diatas naungan illahi, naungan hukum-hukum yang
ditegakkan oleh Allah Subhanahu wata'ala.
Demikian Buya, mohon maaf kalau ada tersalah. Kalau
nanda salah, mohon dibetulkan.Kalau ada dalil-dalil
yang lebih kuat dari syar'i, bila dalil tersebut lebih
kuat, maka nanda mengikuti yang terkuat(rajih). Nanda
berusaha semaksimal mungkin dalam pemaparan nanda
dengan melihat dalil-dalil baik dari AlQuran atupun
hadits, sesuai dengan pembahasan yang sedang
dibicarakan. Sehingga hal tersebut bukan semata
pendapat nanda saja, tetapi berasal dari Rasulullah
dan para ulama terdahulu.Kalau ada tersalah, berarti
itu dari nanda, bila benar, berarti itu datangnya dari
Allah dan rasulNya, serta salafussahlih minal ummah
terdahulu.
Allahu ta'ala 'Alam
Wassalamu'alaikum.Cairo, 6 April 2008 Rahima.Sarmadi
Yusuf(39thn)
Nb: Makasih Buya telah memberikan tanggapan dan
jawaban nanda. Untuk info bagi Buya, jama'ah Umrah
plus berziarah ke kota bersejarah Mesir sudah tiba
sejak tanggal 3 April kemaren, dan nanda ada mengikuti
perjalanan bersama mereka, ada yang tidak, tetapi
mereka telah diuruskan dengan sebaik-baiknya oleh
anggota Minangkabau(organisasi KMM ) di Kairo. Dari
kemaren mereka ke mendaki bukit Sinai, nanda tidak
bisa ikut, karena anak nanda masih kecil, sulit untuk
ditinggal, dan nanda sendiri rasanya ngak kuat lagi
mendaki bukit terjal setinggi itu.
Kalau ada jamaah dari Sumbar yang ingin Umrah plus
Ziarah, silahkan dihubungi KMM Mesir, Via RN ini juga
bisa sebab di RN ini ada beberapa mahasiswa anggota
KMM, namun, mereka anggota pasif saja.
Referensi bacaan yang nanda paparkan diatas, bisa
dilihat dari kitab :
1) Takmilatul Al Majmu' oleh Imam Annawawi
disempurnakan oleh beberapa Imam lainnya, juz 15-17,
Kitab Mu'amalah, harta syarikat
2) fathul Baari ala syarhil Bukhari oleh Imam Ibnu
Hajar
3) Fiqh atas madzhab yang empat oleh Imam Abd rahman
Al jaziri Juz 3-4, Kitab Al Buyu' Bab Al Hibah/Al
Umriy, Arruqubiy
4) Tamamul Minnah Oleh Imam Adil Bin Yusuf Kitab
Mu'amalat Bab Syarikat, Al Hibah, Al Wadi'ah, Al
'Aariyah, Alluqthah, Al waqf,
____________________________________________________________________________________
You rock. That's why Blockbuster's offering you one month of Blockbuster Total Access, No Cost.
Ruponyo di Sulik Ayie adat tu masih rancak jalannyo, labiah dari di
nagari-nagari lain.. Ambo pernah baco bahwa nagari Sulie Ayie tu
sabagai Cumati Koto Piliang? Apo aratinyo to mak Datuak?
Tarimokasih labiah daulu..
wassalam
-adyan
Ambo kiro bukan di Minangkabau peradilan adat yang hilang seabad. Bukankah adat salingka nagari? Di kampuang ambo, sistem peradilan adat masih ado. Memang indak bantuak sistem pengadilan kito atau amerika sinan. Cuma manuruik ambo, prinsipnyo dasarnyo tapanuhi. Ado dakwaan, persidangan, pembelaan, dan putusan. Ambo pernah terlibat soal perebutan sebidang tanah antaro suku ambo jo suku ayah ambo (lengkapnyo...). Karano namonyo adaik (custom, kecek sinane), memang kesepakatan nan paralu. Untuang sado pihak bisa manarimo. Walaupun sabananyo bisa se pihan nan indak pueh, dan mencoba mambao ka hukum positif RI di pengadilan negeri.
Manyangkuik perkara pidana juo pernah ado, misalnyo ado anak kamanakan nan tatangkok mambongka gudang padi urang. Proses hukum positif tetap berjalan, nan urang tu dibao ka kantua polisi. Disidang pengadilan, kanai bara bulan di kantang situmbin. Proses paradilan adaik juo tatap berlangsung, dimano mereka langkok jo laki-laki saparuik manjadi kalompok nan tautang. Mereka batangguang jawab maurusi kapalo banda aia lurah sawah si korban salamo ciek musim tanam.
Manuruik ambo, hukum adaik tataplah sabuah kesepakatan non formal dari masyarakatnyo. Indak usah dibao manjadi sebuah aturan hukum positif sagalo macam. Kalau katuju, sepakati dan diamalkan. Kalau indak, juo indak baa. Paliang dikecekan urang sakampuang. Cuekin sajo. Kalau tasingguang dek urang kampuang nan manggunjiangkan kito, laporan ka polisi dengan dakwaan Perilaku tidak menyenangkan. Manang dapek pitih. Kalah tambah mariangik.
Wassalam
----- Original Message ----
From: "Dewis...@prima.co.id" <Dewis...@prima.co.id>
To: Rant...@googlegroups.com
Sent: Monday, April 7, 2008 12:51:33 PM
Subject: [R@ntau-Net] Re: peradilan adat
Assalammualaikum Wr Wb.
Mak datuak Endang yang ambo muliakan, dari catatan nan mamak kamukokan ado nan menarik di ambo masalah peradilan adat, (Ambo bold catatan tambahan mak Datuak)
" Setelah sekurangnya seabad peradilan adat ini hilang dari bumi Minangkabau"
Apo kiro2 nan manyebabkan peradilan adat hilang sampai sa abad di bumi minangkabau ?
Sakalian minta ijin ka mak datuak, untuak ma upload contoh penyelesaian pakaro adaik di www.cimbuak.net, mudah2an bisa jadi referensi bagi nagari nagari lain.
Salam
Is St Marajo 39+
www.cimbuak.net
Kampuang nan jauah dimato dakek dijari