PERUBAHAN STRUKTUR KELUARGA ETNIS MINANGKABAU DI LUAR DAERAH ASAL:
(Studi Kasus Pedagang Asal Minangkabau di Pasar Kebayoran Lama Jakarta Selatan)
Oleh
Witrianto
Sumber :
http://www.bpsnt-padang.info/index.php?option=com_content&task=view&id=149&Itemid=60
I. Pendahuluan
Pasar
Kebayoran Lama merupakan salah satu pasar tradisional yang cukup ramai
di bagian selatan Kota Jakarta. Perdagangan yang berlangsung di pasar
ini secara umum didominasi oleh etnis Cina dan Minangkabau. Etnis Cina
mengusai perdagangan menengah ke atas, sementara etnis Minangkabau
menguasai lapisan menengah ke bawah. Hanya sedikit pedagang Minangkabau
yang memiliki toko-toko besar di tempat strategis, toko-toko yang
mereka miliki umumnya terletak di bagian tengah atau belakang pasar.
Etnis lain yang berdagang di pasar ini adalah orang Jawa yang umumnya
berdagang sayur, dan orang Sunda yang umumnya berdagang buah-buahan.
Pedagang
Minangkabau yang ada di Pasar Kebayoran Lama ini secara umum dapat di
bagi dalam tiga kategori: Pertama, orang Minangkabau yang baru merantau
ke Jakarta, terutama sejak tahun 1990-an sampai sekarang. Umumnya
mereka berdagang kaki-lima, sebagian besar di antaranya berasal dari
Solok, Selayo dan nagari-nagari lainnya di Sumatera Barat. Kedua, orang
Minangkabau yang sudah lebih lama merantau ke Jakarta, yaitu sejak
tahun 1970-an hingga 1990-an. Mereka umumnya sudah memiliki toko besar
atau kecil, sebagian besar berasal dari Silungkang dan Selayo. Ketiga,
orang Minangkabau yang sudah menetap di Jakarta dalam waktu yang lama,
bahkan sebagian besar di antaranya lahir di Jakarta. Sebagian besar di
antaranya berasal dari Silungkang dan dari berbagai nagari di
Minangkabau, terutama dari Luhak Agam dan Tanah Datar. Kelompok pertama
dan kedua dalam berkomunikasi sehari-hari di antara sesama mereka masih
menggunakan bahasa Minangkabau, sedangkan kelompok ketiga sebagian
besar menggunakan bahasa Indonesia, tetapi jika berhubungan dengan
orang Minangkabau kelompok pertama dan kedua mereka menggunakan bahasa
Minangkabau yang kadang-kadang bercampur dengan bahasa Indonesia logat
Jakarta.
Tulisan ini membahas persoalan yang berhubungan dengan
perubahan struktur keluarga etnis Minangkabau sebagai akibat dari
merantau. Fokus bahasannya terutama adalah pada aspek-aspek sistem
kekerabatan, struktur kekuasaan, struktur tanggung jawab, dan sistem
waris.
Yang menarik dari kajian mengenai perubahan struktur
keluarga migran asal Minangkabau ini adalah mengenai perubahan yang
terjadi pada aspek-aspek sistem kekerabatan, sruktur kekuasaan,
struktur tanggung jawab, dan sistem waris. Di rantau, ciri-ciri
kekerabatan matrilineal yang sebelumnya dianut orang Minangkabau di
daerah asal cenderung berubah ke arah bilineal. Di rantau mengenai
pandangan seorang anak terhadap keluarga asal ayahnya dan keluarga asal
ibunya relatif sama, sementara di Minangkabau seorang anak jauh lebih
dekat dengan keluarga asal ibunya daripada keluarga asal ayahnya yang
kadang-kadang bahkan tidak terlalu dikenalnya. Jika di Minangkabau yang
paling berkuasa dan bertanggung jawab dalam keluarga adalah mamak
(saudara laki-laki ibu), maka di rantau yang paling berkuasa dan
bertanggung jawab adalah ayah. Di rantau, anak laki-laki mendapat
bagian warisan yang setara dengan anak perempuan, sedangkan di daerah
asal hanya anak perempuan yang mendapat warisan.
Struktur
keluarga, yang merupakan kajian utama dalam tulisan ini, merupakan
struktur sosial dengan ruang lingkup keluarga. Struktur keluarga
merupakan salah satu aspek dari struktur sosial masyarakat. Namun,
struktur keluarga dapat pula dipandang dan dianalisis sebagai struktur
sosial tersendiri. Menurut Ihromi (1984), struktur kekerabatan,
struktur kekuasaan, dan struktur tanggung jawab merupakan bagian dari
struktur keluarga. Dijk (1982), menyatakan bahwa sistem waris sangat
terkait dengan sistem kekerabatan. Dengan demikian dapat pula dikatakan
bahwa sistem waris merupakan bagian dari struktur keluarga.
Untuk
lebih memahami perubahan-perubahan yang terjadi di kalangan migran asal
Minangkabau ini, perlu kiranya untuk lebih memahami struktur keluarga
yang berlaku di Minangkabau yang mencakup (1) sistem kekerabatan, (2)
struktur kekuasaan, (3) struktur tanggung jawab, dan (4) sistem waris.
Fokus utama permasalahan yang hendak diangkat adalah, “Bagaimana
perubahan struktur keluarga etnis Minangkabau sebagai akibat dari
merantau dan mengapa perubahan itu terjadi?”
II. Pola Umum yang Berlaku dalam Masyarakat Minangkabau Secara Tradisional
A. Sistem Kekerabatan Matrilineal
Untuk
melihat latar belakang munculnya sistem kekerabatan matrilineal, dapat
digunakan Teori Evolusi Keluarga. Teori evolusi yang berkaitan dengan
keluarga, pertama kali dikemukakan oleh J.J. Bachofen dalam bukunya Das
Mutterecht (1861), yang berarti hukum ibu dengan bahan bukti yang tidak
hanya diambilnya dari masyarakat Romawi Klasik dan Yunani Kuno, tetapi
juga bahan etnografi dari masyarakat bangsa-bangsa di asia, Afrika, dan
suku-suku bangsa Indian di Amerika (Koentjaraningrat: 1987, 38).
Menurut
Bachofen, di seluruh dunia keluarga manusia berkembang melalui empat
tingkat evolusi. Dalam zaman yang telah jauh dalam kehidupan masyarakat
manusia ada keadaan promiskuitas, manusia hidup serupa sekawan binatang
berkelompok, dan laki-laki serta wanita berhubungan dengan bebas dan
melahirkan keturunannya tanpa ikatan. Kelompok keluarga inti sebagai
inti masyarakat belum ada pada waktu itu. Keadaan ini dianggap
merupakan tingkat pertama dalam proses perkembangan masyarakat manusia.
Lambat
laun manusia sadar akan hubungan antara si ibu dengan anak-anaknya
sebagai suatu kelompok keluarga inti dalam masyarakat karena anak-anak
hanya mengenal ibunya, dan tidak mengenal ayahnya. Dalam
kelompok-kelompok keluarga inti serupa itu, ibulah yang menjadi kepala
keluarga. Perkawinan antara ibu dengan anak laki-laki dihindari dan
dengan demikian timbullah adat eksogami. Kelompok-kelompok keluarga ibu
tadi menjadi luas karena garis keturunannya untuk selanjutnya
diperhitungkan menurut garis ibu, maka timbul suatu keadaan masyarakat
yang oleh para sarjana waktu itu disebut matriarchate. Ini adalah
tingkat kedua dalam proses perkembangan masyarakat manusia.
Tingkat
selanjutnya terjadi karena para pria tak puas dengan keadaan ini, lalu
mengambil calon-calon istri mereka dari kelompok-kelompok lain dan
membawa gadis-gadis itu ke kelompok-kelompok mereka sendiri. Dengan
demikian keturunan yang dilahirkan juga tetap dalam keturunan pria.
Kejadian ini menyebabkan timbulnya secara lambat-laun kelompok-kelompok
keluarga dengan ayah sebagai kepalanya dan dengan meluasnya
kelompok-kelompok serupa itu timbullah keadaan patriarchate. Ini adalah
tingkat ketiga dalam proses perkembangan masyarakat manusia.
Tingkat
terakhir terjadi waktu perkawinan di luar kelompok, yaitu eksogami,
berubah menjadi endogami karena berbagai sebab. Endogami atau
perkawinan di dalam batas-batas kelompok menyebabkan anak-anak sekarang
senantiasa berhubungan langsung dengan anggota keluarga ayah maupun
ibu. Dengan demikian patriarchate lambat laun hilang, dan berubah
menjadi suatu susunan kekerabatan yang oleh Bachofen disebut susunan
parental.
Sistem kekerabatan yang berlaku di Minangkabau, jika
mengacu pada teori di atas berada pada tingkat kedua dalam evolusi
keluarga. Sistem tersebut termasuk dalam sistem kekerabatan yang
bersifat ”unilineal” atau “unilateral” yaitu suatu sistem yang dalam
menghitung garis keturunan hanya mengakui satu pihak orang tua saja
sebagai penghubung keturunan. Dalam hal ini di Minangkabau hanya
memakai ibu, karena itu disebut dengan sistem “matrilineal” atau garis
keturunan ibu, atau sako-indu.
Dalam sistem kekerabatan matrilineal
terdapat tiga unsur yang paling dominan, yaitu; (i) garis keturunan
menurut garis ibu, (ii) perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar
kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah “eksogami
matrilineal”, dan (iii) ibu memegang peranan yang sentral dalam
pendidikan, pengamanan kekayaan, dan kesejahteraan keluarga.
Penelusuran
nenek moyang serta ketentuan hubungan keluarga dalam sistem matrilineal
(atau unilineal) agak mudah dan penempatan keluarga inti dalam struktur
hubungan kekerabatan yang lebih luas menjadi lebih sederhana. Menurut
T.O. Ihromi dalam buku Pokok-pokok Antropologi Budaya (1984),
hubungan-hubungan yang terjadi dalam sistem kekerabatan matrilineal ini
adalah:
1. Yang termasuk dalam keluarga seseorang adalah; ibu,
saudara kandung, saudara seibu, anak dari saudara perempuan ibu,
saudara kandung ibu, saudara seibu dengan ibu, ibu dari ibu beserta
saudara-saudaranya dan anak dari saudaranya yang perempuan, anak-anak
dari saudara perempuannya, dan anak dari saudara sepupu atau saudara
seneneknya yang perempuan.
2. Ia sama sekali tidak punya
hubungan kekerabatan dengan anak saudara laki-lakinya, anak dari
saudara laki-laki ibunya, saudaranya yang seayah, bahkan juga dengan
ayah kandungnya sendiri.
Menurut adat Minangkabau yang menganut
sistem matrilineal ini, seorang istri tidak meninggalkan rumah kaum
kerabatnya sesudah menikah. Sebaliknya sang suami pun tetap tinggal di
rumah keluarganya sendiri, kecuali jika ia tidak mempunyai kerabat di
kampung itu, atau jika istrinya diizinkan dan mau meninggalkan rumah
kerabatnya untuk bertempat tinggal bersama-sama suaminya di tempat
lain. Dalam hal seorang asing (bukan orang dari nagari yang
bersangkutan) yang menikah dengan seorang perempuan, kaum kerabat istri
dapat menerima suami sebagai anggota kelompok mereka dan mengizinkannya
untuk tinggal bersama-sama dengan istrinya. Dalam keadaan yang biasa,
seorang suami tinggal bersama kelompok kerabatnya sendiri, bersama ibu
dan saudara-saudara perempuannya. Ia hanya berjumpa dengan istrinya
jika ia mengunjunginya pada malam hari atau jika istrinya
mengunjunginya di ladang atau di sawah pada waktu siang hari untuk
membawakan makan siangnya. Sang suami diharapkan untuk bekerja pada
sebidang tanah yang dibagikan kepada istrinya oleh kelompok keluarga
istrinya. Pola kehidupan perkawinan seperti ini dalam ilmu antropologi
dan sosiologi disebut pola “duolokal” atau “bilokal” (Bachtiar, 1984:
230).
Anak-anak dari saudara perempuan seorang laki-laki disebut
kemenakan, sedangkan ia sendiri dan saudara-saudara laki-lakinya yang
lain disebut mamak oleh kemenakannya, suatu kedudukan yang terhormat.
Tentu ada kemungkinan, bahwa bisa saja ia tidak mempunyai saudara
perempuan, atau tidak seorang pun dari saudara-saudara perempuannya
yang memiliki anak. Dalam hal yang demikian ia tidak mempunyai
kemenakan dan karena itu ia bukanlah seorang mamak. Tidak mempunyai
saudara perempuan, ataupun mempunyai saudara perempuan yang tidak
mempunyai anak-anak perempuan merupakan sebab dari suatu kesedihan
seorang laki-laki, karena itu berarti pertanda akan berakhirnya suatu
kelompok kaum. Kelompok kaum yang demikian disebut punah yang berati
musnah, dan seluruh harta pusaka yang mereka miliki kemudian menjadi
hak kaum lain yang memiliki hubungan kerabat terdekat dengannya. Dalam
hal ini kelahiran seorang anak perempuan sangat diharapkan dan dianggap
lebih berharga daripada anak laki-laki, meskipun kelahiran anak
laki-laki pun diperlukan untuk melindungi dan menjaga harta pusaka
milik kaum. Di samping itu, kelahiran anak laki-laki juga diharapkan
sebagai pelindung bagi saudara-saudaranya yang perempuan.
B. Struktur Kekuasaan Tradisional
Kepemimpinan
dalam suatu keluarga sangat ditentukan oleh sistem kekerabatan yang
dianut oleh keluarga yang bersangkutan. Menurut Amir (1997: 16), dalam
sistem kekerabatan matrilineal yang dianut di Minangkabau, mamaklah
yang memegang kedudukan sebagai Kepala Kaum. Salah seorang dari mamak
diangkat sebagai “penghulu” atau pemimpin suku, pelindung bagi semua
anggota kaumnya dan sebagai hakim yang akan memutuskan segala silang
sengketa di antara semua kemenakannya.
Dalam kepemimpinan keluarga,
kemenakan tunduk kepada mamak, mamak tunduk kepada tungganai (pemimpin
keluarga luas), tungganai tunduk kepada penghulu (pemimpin suku yang
bergelar datuk). Gelar datuk diwariskan dari mamak kepada kemenakan
setelah penyandang gelar meninggal dunia. Orang yang akan mewarisi
gelar datuk dipilih di antara kemenakan yang dianggap berpandangan
luas, bisa diajak bermusyawarah, dan tunduk kepada kebenaran.
Secara
tradisional, seorang mamak berkuasa menentukan jodoh kemenakannya,
sedangkan ayah dari anak yang akan dijodohkan hanya diberi tahu sekedar
basa-basi. Ibu dari anak yang dijodohkan juga tidak berkuasa untuk
menolak keputusan mamak, apalagi anak yang akan dijodohkan, sama sekali
tidak kuasa untuk menolak.
Dalam hal pemberian sanksi terhadap anak
atau kemenakan yang melakukan pelanggaran terhadap norma yang berlaku
dalam masyarakat, mamak, ibu, dan ayah dapat memberikan sanksi. Akan
tetapi, dilihat dari intensitas kekuasaannya, maka mamak paling
berkuasa memberikan sanksi dibanding ibu atau ayah. Bila seorang anak
atau kemenakan melakukan pelanggaran norma, masyarakat umumnya
cenderung menyalahkan mamaknya yang dianggap tidak mampu mendidik
kemenakan, jarang sekali orang menyalahkan ayahnya.
Dalam mendirikan
rumah baru, kekuasaan mengambil keputusan tergantung pada status tanah
yang digunakan. Jika rumah akan didirikan di atas tanah pusaka,
walaupun biaya pendirian rumah semuanya ditanggung ayah, pengambilan
keputusan tetap tergantung kepada mamak. Kalau terjadi perceraian,
rumah tersebut dikuasai oleh anak-anaknya. Ayah tidak berhak atas rumah
tersebut, meskipun rumah tersebut dibangun dengan uangnya sendiri.
C. Struktur Tanggung Jawab Tradisional
Secara
tradisional, seorang laki-laki di Minangkabau berperan sebagai pemimpin
dalam keluarga asalnya (keluarga ibunya). Dia mempunyai tanggungjawab
untuk menjaga dan melindungi semua saudara perempuannya dan anak dari
saudara-saudara perempuannya, baik anak laki-laki maupun anak
perempuan. Seorang mamak menurut adat lebih dipatuhi oleh seseorang
daripada ayahnya sendiri. Dahulu orang biasanya lebih bangga menjadi
kemenakan seorang tokoh terkenal daripada menjadi anak tokoh tersebut.
Sebagai
seorang mamak, laki-laki di Minangkabau berkewajiban memenuhi kebutuhan
materi saudara-saudara perempuannya beserta anak-anak mereka. Seorang
mamak akan melarang keras saudara perempuan atau kemenakan perempuannya
meminta uang belanja kepada suami mereka (kecuali jika diberi tanpa
diminta), karena hal ini akan membuat kehormatan mamak jatuh di mata
kerabat urang sumando-nya (suami saudara perempuannya). Bahkan tidak
jarang seorang mamak akan mengisi saku baju urang sumando-nya dengan
tujuan agar urang sumando tersebut tetap datang mengunjungi istrinya
yang juga merupakan saudara perempuan atau kemenakan perempuan mamak
tersebut.
Tugas laki-laki yang terutama terhadap kemenakan
perempuannya adalah mencarikan jodoh yang baik baginya. Sebagai mamak,
dia akan merasa malu apabila ada di antara kemenakan perempuannya yang
sudah cukup umur belum juga menikah. Dia akan dikatakan orang sebagai
mamak yang tidak becus mengurus kemenakannya. Oleh karena itu, tugas
laki-lakilah untuk mencarikan kemenakan perempuannya jodoh yang baik
dan sepadan dengan kemenakannya. Mamaklah yang berkewajiban untuk
mendatangi laki-laki yang dianggap pantas sebagai jodoh kemenakannya
untuk menanyakan kesediaannya menikah dengan kemenakan perempuan mamak
tersebut.
Setelah terjadi perkawinan antara kemenakan perempuan
dengan laki-laki dari kaum lain, tanggungjawab mamak kepada kemenakan
tersebut tidak beralih kepada suaminya. Mamak tetap berkewajiban
menjaga kemenakannya yang telah menikah tersebut dan mencukupi
kebutuhan materinya. Tugas untuk mengatur pengeluaran rumahtangga
berada pada tangan kaum perempuan dalam keluarga itu, karena itu ia
dikenal dengan istilah “umban puruak” (pemegang pundi-pundi).
D. Sistem Waris pada Masyarakat Minangkabau
Secara garis besar sistem waris di Minangkabau terbagi dua, yaitu
waris berupa gelar pusaka dan waris berupa harta. Waris yang berupa
harta dapat pula digolongkan menjadi dua, yaitu harta pusaka tinggi
(harta yang didapatkan secara turun temurun) dan harta pusaka rendah
(harta pencaharian). Harta pusaka rendah yang sudah diwariskan kepada
dua generasi akan menjadi harta pusaka tinggi.
Waris berupa gelar
pusaka harus diwariskan dari mamak kepada kemenakan, baik kemenakan
kandung maupun yang tidak kandung. Yang penting bahwa gelar pusaka
tersebut harus diwariskan dari mamak kepada kemenakan dalam satu kaum.
Jika tidak ada kemenakan yang dianggap pantas menerima suatu gelar
pusaka, maka gelar pusaka tersebut dapat disimpan sementara sampai ada
yang pantas mewarisi gelar tersebut.
Waris berupa harta, yaitu harta
pusaka tinggi, diwariskan dari nenek kepada ibu, dari ibu kepada anak
perempuan, dan seterusnya. Seorang laki-laki yang tidak mempunyai
pekerjaan lain selain bertani dapat pula menguasai sebidang tanah
berupa sawah, ladang, atau kolam ikan untuk kebutuhan sehari-hari. Akan
tetapi, tanah yang dikuasainya tersebut tidak dapat diwariskan kepada
anaknya, melainkan kepada kemenakannya. Harta pusaka rendah atau harta
pencaharian seorang laki-laki, dapat diwariskan kepada istri, anak
laki-laki dan anak perempuan, saudara laki-laki dan saudara perempuan,
dan bisa juga kemenakan laki-laki dan kemenakan perempuan.
III. Bentuk-bentuk Perubahan Struktur Keluarga yang Terjadi di Rantau
Orang
Minangkabau yang melakukan migrasi (merantau) ke daerah lain, menurut
Yarmaidi (1999), cenderung akan mengalami perubahan struktur keluarga,
baik dalam hal sistem kekerabatan, struktur kekuasaan, struktur
tanggung jawab, maupun sistem waris. Penyebab perubahan-perubahan yang
terjadi ini, di antaranya adalah karena terbentuknya keluarga inti di
rantau yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak di daerah rantau.
Dalam pola keluarga seperti ini, ayah akan menjadi sangat dekat dengan
anak-anaknya daripada dengan kemenakannya. Akibat lebih lanjutnya
adalah, ayah menjadi orang yang paling berkuasa dan bertanggung jawab
terhadap anak-anaknya. Mamak praktis tidak memiliki kekuasaan dan
tanggung jawab di dalam pola keluarga inti, karena dia sudah disibukkan
dengan keluarganya sendiri dan juga karena tempat tinggal yang saling
berjauhan.
Migrasi yang dilakukan oleh orang Minangkabau telah
menyebabkan terjadinya perubahan sistem kekerabatan di tempat yang
baru. Di Minangkabau sistem kekerabatan yang berlaku adalah sistem
kekerabatan matrilineal, yaitu menarik garis keturunan dari pihak ibu.
Pandangan seorang anak terhadap keluarga ibunya berbeda dengan keluarga
asal ayahnya. Di rantau, meskipun keturunan masih diperhitungkan
menurut garis ibu, karena mereka menganggap hubungan mereka tidak
pernah putus dengan keluarga di kampung, tetapi pandangan seorang anak
terhadap keluarga asal ibunya setara dengan keluarga asal ayahnya.
Hal
ini menunjukkan bahwa ciri-ciri sistem kekerabatan bilateral mulai
tampak pada keluarga migran tersebut. Di rantau, seorang migran tidak
lagi membedakan antara anak dari saudara perempuan dengan anak dari
saudara laki-laki. Ciri-ciri bilateral juga tampak pada terbentuknya
keluarga inti di rantau. Menurut Dijk (1982), biasanya dalam susunan
pertalian bilateral, keluarga intilah yang merupakan kesatuan sosial
terpenting.
Dalam hal struktur kekuasaan, juga terjadi perubahan
pada keluarga migran. Di Minangkabau, mamak berkuasa atas sebagian
besar aspek kehidupan berkeluarga, sedangkan di rantau ayah berkuasa
atas sebagian besar aspek kehidupan berkeluarga. Akan tetapi, perubahan
tersebut bukanlah perubahan yang bersifat dikotomi (hitam jadi putih),
melainkan dilihat dari gradasi dominasi kekuasaannya.
Oleh karena
keluarga telah meninggalkan teritorial hukum adat, maka cengkeraman
adat-istiadat menjadi melemah terhadap keluarga etnis Minangkabau di
rantau. Dengan meninggalkan teritorial hukum adat berarti pula keluarga
meninggalkan tanah pusaka. Walaupun selama di kampung halaman ibu
menguasai harta pusaka, tetapi ibu tidak dapat menjualnya untuk
kepentingan modal di rantau. Harta itu hanya dapat dijadikannya
cadangan seandainya ia pulang ke kampung halaman. Jadi, harta yang ada
di rantau adalah hasil pencaharian ayah yang dibantu dengan pencaharian
ibu.
Struktur tanggung jawab juga mengalami perubahan dalam keluarga
Minangkabau di rantau. Sewaktu berada di kampung halaman, tanggung
jawab sebagian besar terletak di pundak mamak dan ibu; sedangkan
setelah keluarga berada di rantau, tanggung jawab sebagian besar
terletak di pundak ayah dan diikuti oleh ibu. Jenis-jenis tanggung
jawab yang beralih dari mamak kepada ayah tersebut, di antaranya ialah
dalam urusan adat, sosialisasi norma-norma yang berlaku, biaya
pendidikan, kebutuhan ekonomi keluarga, dan pemeliharaan anak.
Sementara itu dalam hal mengurus ayah yang sedang sakit, jika di
kampung halaman merupakan tugas keluarga asal ayah, di rantau menjadi
tugas istri dan anak-anaknya.
Perubahan dalam sistem waris dalam
keluarga perantau asal Minangkabau terutama adalah yang bersangkutan
dengan pencaharian, karena harta pusaka tinggi, berdasarkan pengamatan
belum ditemukan di kalangan pedagang asal Minangkabau di Pasar
Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Jika di kampung halaman harta warisan
dapat diwariskan kepada anak dan kemenakan, di rantau harta pencaharian
hanya diwariskan kepada anak, kemenakan hanya dibantu sekedarnya selama
mamak masih hidup. Harta yang dimiliki di rantau bukan berasal dari
harta pusaka tinggi, melainkan harta pencahariann atau harta gono-gini.
Sistem waris harta pencaharian tidak terikat oleh ketentuan adat.
Sementara
itu, sistem waris yang berkenaan dengan gelar pusaka tidak mengalami
perubahan. Meskipun keluarga berada di rantau, gelar pusaka tetap
diwariskan dari mamak kepada kemenakan. Perubahan tidak terjadi karena
gelar pusaka tidak terikat oleh teritorial seperti harta pusaka. Dalam
prakteknya, gelar pusaka jarang diwariskan kepada kemenakan yang ada di
rantau, karena kesempatan untuk pulang ke kampung halaman sudah agak
terbatas, lagi pula di rantau gelar tersebut tidak lagi berfungsi
sebagaimana mestinya.
IV. Penutup
Orang yang merantau adalah
orang yang meninggalkan teritorial asal dan menempati teritorial yang
baru. Hal ini juga dapat diartikan meninggalkan tanah pusaka berupa
ulayat kaum yang sebelumnya digunakan sebagai sumber utama perekonomian
keluarga. Di rantau, perekonomian keluarga tergantung dari hasil
pencaharian. Orang yang merantau juga berarti pindah dari lingkungan
sosial yang lama ke lingkungan sosial yang baru. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya perubahan struktur keluarga perantau di daerah
baru dengan struktur keluarga yang ada di daerah asal mereka. Di
samping itu, hidup berdampingan dengan etnis lain, juga memberi peluang
terjadinya akulturasi budaya.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam
struktur keluarga etnis Minangkabau di rantau, di antaranya adalah
dalam hal sistem kekerabatan dari matrilineal menjadi cenderung
bilateral, struktur kekuasaan dari mamak kepada ayah, struktur tanggung
jawab dari mamak kepada ayah, dan sistem waris dari hanya anak
perempuan menjadi anak laki-laki dan anak perempuan. Semakin lama suatu
keluarga tinggal di rantau, semakin jauh mereka tercabut dari akar
budaya aslinya, khususnya yang berkaitan dengan sistem kekerabatan
matrilineal.
Meskipun terjadi banyak perubahan, yang perlu dicatat
ialah bahwa perubahan-perubahan pada tiap aspek tersebut tidak bersifat
dikotomi, tetapi dalam gradasi. Nilai-nilai dan norma-norma yang
terdapat di daerah asal masih terus mempengaruhi perantau Minangkabau,
sementara kondisi kehidupan di kampung halaman sendiri pun terus
mengalami perubahan.
DAFTAR PUSTAKA
Amir M.S. 1997. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Mutiara Sumber Widya. Jakarta.
Bachtiar,
Harsja W. “Negeri Taram: Masyarakat Desa Minangkabau”, dalam
Koentjaraningrat (ed.). 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Chandra, Ade, et al. 2000. Minangkabau dalam Perubahan. Yasmin Akbar. Padang.
Evers,
Hans-Dieter & Rudiger Korff. 2002. Urbanisme di Asia Tenggara Makna
dan Kekuasaan dalam Ruang-ruang Sosial. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Ihromi, T.O. (ed.). 1984. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Gramedia. Jakarta.
Junus,
Umar. 2002. “Kebudayaan Minangkabau”, dalam Koentjaraningrat (ed.).
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. Jakarta.
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. UI-Press, Jakarta.
Latief, H.Ch.N, Dt. Bandaro. 2002. Etnis dan Adat Minangkabau Permasalahan dan Masa Depannya. Angkasa. Bandung.
Naim, Mochtar. 1984. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Nye, Ivan & Felix dan Berardo. 1967. Emerging Conceptual Frame Work of Family Analisis, The Macmillan Company, New York.
Pelly, Usman. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. LP3ES. Jakarta.
Sairin, Sjafri. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia Perspektif Antropologi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Yarmaidi.
1999. “Perubahan Struktur Keluarga Suku Minangkabau (Studi Kasus
Perantau Asal Nagari di Bandar Lampung”. Tesis. Program Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor.