Hiltrud Cordes, Penyambung Indonesia di Eropa
Kompas, Sabtu, 12 Januari 2012
http://cetak.kompas.com/read/2012/01/14/02105227/penyambung.indonesia.di.eropa
Hiltrud memulai hubungannya dengan Indonesia dari Minangkabau. Setelah meneliti ”silek” (pencak silat) Minangkabau dan menulis buku rujukan pertama dari sisi antropologi, Hiltrud tak terbendung lagi.
Mendirikan perguruan pencak silat di Jerman dan Serikat Pencak Silat Jerman (PSUD). Ia lalu menjadi presiden pertama Federasi Pencak Silat Eropa (EPSF).
Hiltrud juga mendirikan lembaga amal Kultur Kontakt yang berfokus pada kerja sama lembaga dan pembangunan kebudayaan Indonesia- Jerman. Hal itu di antaranya mengumpulkan dana bagi kelompok-kelompok kesenian dari Indonesia untuk berpentas di Eropa.
Dia juga mendirikan Yayasan Penyu yang berpusat di Swiss dan Jerman serta mengelola program konservasi penyu di Berau, Kalimantan Timur. Ia juga menjadi manajer produksi beragam program dokumenter soal Indonesia yang digarap stasiun televisi Bayerischer Rundfunk di Muenchen, Jerman.
Dua tahun terakhir, Hiltrud menjadi salah seorang kurator Sawahlunto International Music Festival (SIMFes). Sebuah festival musik di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, yang baru saja merangkak dengan seniman dari berbagai benua.
”Jangan panggil saya doktor, panggil saja Hilli,” katanya.
Hilli lalu menerawang jauh ke tahun 1980-an, seusai menamatkan kuliah S-2 tahun 1983, saat ia melancong ke Indonesia untuk pertama kali. ”Saat itu Indonesia adalah tujuan yang cukup populer. Banyak anak muda Eropa jalan-jalan ke Indonesia,” kenangnya.
Hilli bukan sekadar jalan-jalan. Ia mencari daerah penelitian untuk program S-3. Ia langsung betah dan menetapkan fokus. Apalagi ketika ia menemukan pencak silat di dataran Sunda. ”Saya cerita kepada pembimbing saya, Prof Kurt Tauchmann, bagaimana jika saya meneliti pencak silat,” ujarnya.
Terpesona silat
Gayung bersambut karena saat itu belum ada penelitian di dunia akademis soal pencak silat dari sudut pandang antropologi. Ia kembali ke Eropa dan tahun 1986 ia terpesona penampilan dua perempuan Bukittinggi yang menampilkan silek dalam Kejuaraan Dunia Pencak Silat di Vienna, Austria.
Ia mengingat silek untuk pertama kali sebagai perpaduan yang sangat harmonis. Sederhana, tak banyak gerak, tetapi penuh ledakan energi.
Dia pun bertemu dengan mahasiswa Indonesia dari Nagari Magek, Kabupaten Agam—dekat Bukittinggi—yang tengah melanjutkan kuliah di Hamburg. Mahasiswa itu, Aryadie Adnan, kini dosen Jurusan Kepelatihan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Padang.
”Saya bertemu Hilli dalam pertandingan sepak takraw di Hamburg. Saat itu dia datang dari Cologne dan mengutarakan keinginannya meneliti silek. Saya langsung persilakan datang dan tinggal bersama orangtua saya,” kata Aryadie.
Beberapa waktu kemudian, Hilli berkirim surat kepada Aryadie yang sudah kembali ke Indonesia. ”Kami lalu bertemu di Padang. Dia antar saya ke Magek. Saya dititipkan kepada ibunya untuk menumpang tinggal selama sepuluh bulan. Mereka adalah keluarga angkat saya sekarang,” kenang Hilli.
Hilli belajar kepada sejumlah guru silek, termasuk kepada Sutan Malenggang, guru dua perempuan pesilat dari Bukittinggi yang pernah ditontonnya di Vienna. Ia merasa perlu belajar langsung silek Minangkabau. ”Supaya saya paham, saya harus praktik sendiri,” kata Hilli.
Persiapan merantau
Penelitiannya lalu berfokus pada fungsi silek dalam sistem sosial Minangkabau. Filosofi silek Minangkabau sebagai persiapan bagi anak-anak muda Minang sebelum merantau menjadi dasar pemahamannya kemudian.
Ia mengatakan tidak ada aliran dalam silek Minangkabau. Pengajaran dilakukan antara kelompok murid dan guru. Ini menjadi mata pelajaran untuk penguasaan soft skill sebelum memasuki jenjang pendidikan formal. ”Dengan surau sebagai pusatnya,” ujarnya.
Hilli melanjutkan, sekalipun belum ada data sahih, kuat diduga maksimal hanya 95 persen ilmu dari guru silek yang diturunkan kepada muridnya. ”Ada rahasia yang tidak diturunkan. Barulah biasanya ketika menjelang ajal, itu diturunkan,” kata anak kedua dari lima bersaudara itu.
Pesan untuk mengembangkan pencak silat di Eropa datang dari Sutan Malenggang di ujung masa penelitiannya. Sebagai murid yang baik, Hilli patuh.
Di sudut Museum Goedang Ransoem, Kota Sawahlunto, yang basah karena hujan malam itu, perbincangan kami sempat terhenti. Hilli mesti mengurusi pembukaan SIMFes yang padat. Namun, seusai pergelaran, ia kemudian kembali dan melanjutkan ceritanya sembari mengisap sebatang rokok mentol.
Di Jerman, dia mendirikan Perguruan Silek Tuo. Tahun 1988, dia mendirikan PSUD di Jerman dengan total lima perguruan pencak silat.
Selain itu, dia juga menjalankan amanah Sutan Malenggang dengan mengembangkan organisasi pencak silat di Eropa dengan mendirikan EPSF. ”Ini sebagai balas budi saya karena saya mendapatkan gelar S-3 juga karena orang-orang lain yang membantu,” katanya.
Sekalipun lama tak bermain silek, Hilli mengatakan dirinya masih ingat beberapa jurus. ”Itu mirip dengan keterampilan bersepeda. Tinggal diasah saja lagi sekalipun lama tidak melakukannya,” ujarnya.
Tahun 1991 ia membantu seorang sutradara membuat film dokumenter soal konservasi. Tidak kurang dari 23 film dokumenter tentang kehidupan alam liar yang mencakup orangutan, burung, dan penyu.
Dari sinilah, ia berkenalan dengan fakta menyedihkan soal kehidupan penyu sebagai penjamin tingkat nutrisi di perairan dan fosil hidup. Ia menjalankan program konservasi di Berau. Bukan hanya menyelamatkan penyu, tetapi juga memikirkan mata pencarian alternatif bagi penangkap penyu.
Hilli masih memendam keinginan untuk membuat program konservasi penyu di beberapa daerah lain di Indonesia. Namun, dana yang tersedia terbatas.
Suaminya, Prof Dr Otto Jockel, yang juga Rektor Sekolah Ekonomi Internasional Neuss di Jerman mendukungnya. Bagaimana pendapatnya mengenai negeri, terutama yang berkaitan dengan konservasi alam? ”Saya lihat dari undang-undang bagus. Saya kasih jempol. Cuma pelaksanaannya kurang,” kata Hilli
Angku Aslim Nurhasan St Sati sarato Sanak Sa Palanta Nan Ambo hormati
Alhamdulillah jika artikel Kompas mengenai Dr Hiltrud Cordes, Peneliti dan Pengapresiasi "Silek", yang berhulu kepada kebudayaan Minangkabau, nan ambo copas ka Palanta dirasakan bermanfaat.
Akan tetapi lebih daripada itu, melalui artikel tanggal 14 Januari 2012di harian Kompas yang tentunya memiliki cukup banyak pembaca di Sumatra Barat diharapkan dapat lebih mendorong generasi muda Minang untuk lebih bergairah mempelajari seni bela diri yang bersumber dari akar budayanya sendiri, bukan dari budaya China, Jepang atau Korea.
Kita juga perlu memberikan apresiasi para peneliti seperti Dr Cordes yang memperkenalkan Indonesia di Jerman melalui Minangkabau, bahwa Indonesia tidak hanya Jawa dan Bali.
Apresiasi juga patut kita berikan kepada peneliti- peneliti seperti peneliti songket asal Swiss Bernhard Bart, (Kompas 1 Agustus 2010), yang menyebutkan, dari hasil penelitiannya selama 10 tahun di sejumlah negara dan kota-kota penghasil songket di Indonesia, songket Minang merupakan yang terhalus dan sangat kaya dengan motif-motif bermakna simbolik dan filosofis.
”Kalau kita cermati produk-produk budaya Minangkabau yang dihasilkan sekitar 100 tahun lalu, seperti hasil kerajinan songket, memang memperlihatkan Minangkabau memiliki kualitas yang patut dibanggakan. Minangkabau pernah mencapai suatu fase perkembangan yang mampu menciptakan karya budaya yang kualitasnya melewati zaman penciptaannya,” lanjut Bernhard Bart.
Ada kalanya kita perlu melihat wajah kita dari kaca mata orang lain, karena rumput tetangga selalu tampak lebih hijau, pada hal rumput di kebun sendiri tidak kalah bagusnya: benihnya pilihan, tanahnya subur tinggal kita rawat dan kita lestarikan.
Tetapi kenapa harus Cordes, kenapa harus Bernhard Bart, kenapa harus peneliti asing? Tentu bukan karena mereka manusia-manusia super, tetapi orang-orang itu kalau melakukan penelitian mereka lakukan dengan sungguh-sungguh, mereka punya otoritas keilmuan.
Berbeda dengan sebagian peneliti kita yang lebih suka berasyik maksyuk bersilogisme ria di atas menara gading tanpa mau menaruh kuping di tanah, melakukan validasi atas kesimpulan atau gagasan-gagasan yang dilontarkan; melalui pengamatan terhadap fakta-fakta empris, sehingga sering terjebak kepada “Kekeliruan Aristotles”
Seperti diketahui, berdasarkan deduksi yang dilakukannya, Aristotles bersikeras bahwa jumlah gigi perempuan dua buah lebih sedikit daripada jumlah gigi laki, tanpa pernah mencoba untuk menguji pendapatnya dengan mengamati mulut isterinya.
Wallahualam bissawab
Wassalam, HDB St Bandaro Kayo (L, 68+), asal Padangpanjang, tinggal di Depok
Alam Takambang Jadi Guru