Kamang Mudiak

149 views
Skip to first unread message

Irwan Setiawan

unread,
Mar 19, 2009, 1:49:24 PM3/19/09
to Rant...@googlegroups.com
BERWISATA KE “NAGARI PAHLAWAN”
Oleh :Irwan Setiawan

Perubahan cara kepemimpinan yang bersifat sentralistik ke sistem otonomi di Indonesia membawa dan melibatkan daerah-daerah untuk mampu memenuhi dan mencukupi keuangan masing-masing. Otonomi daerah juga memunculkan berbagai ide untuk pengembangan dan usaha memajukan daerah. Bagi daerah-daerah penghasil tambang, dan potensi kekayaan bumi lainnya akan lebih mudah mengatisipasi perubahan ini, karena mereka umumnya mampu memenuhi keuangan daerah sendiri. Tapi masalah akan terasa bagi daerah-daerah yang dasarnya memerlukan dana dari pemerintah pusat karena keterbatasan potensi kekayaan alam.
Agam adalah salah satu Kabupaten di Sumatera Barat yang tak memiliki potensi tambang untuk skala besar. Tapi pada sebenarnya Agam mempunyai berbagai potensi wisata yang seharusnya bisa dikembangkan dan di promosikan untuk skala lokal, nasional bahkan internasional. Hal ini dapat dijadikan sebagai koreksi atas perkembangan dunia wisata Agam yang tertinggal dibanding Bukittinggi sebagai tetangga terdekatnya. Selama ini potensi wisata Agam lebih diarahkan ke daerah Maninjau dan sekitarnya dengan panorama danau dan keindahan alam di Puncak Lawang.
Salah satu daerah wisata di Agam yang jarang disinggung dan masih kurang di promosikan adalah objek wisata di Nagari Kamang Mudiak. Sebagai sebuah nagari bersejarah, daerah ini sebenarnya adalah daerah yang menjanjikan untuk dunia wisata Kabupaten Agam. Dengan jarak sekitar 12 km dari Bukittinggi atau hanya memerlukan waktu perjalanan 20 menit dari Bukittinggi kita dapat langsung sampai di nagari yang unik ini.
Dalam tinjauan historis Sumatera Barat tentu semua orang tahu tentang peristiwa Perang Paderi yang bergejolak tahun 1820-an sampai tahun 1830-an dan salah satu tokoh pentingnya adalah Tuanku Nan Renceh yang berdomisili di Jorong Bansa, Kamang Mudiak yang makamnya sampai sekarang masih terawat dengan baik. Peristiwa penting lain yang pernah terjadi adalah Perang Kamang yang meletus tahun 1908 dengan tokoh-tokoh pahlawan dari Kamang Mudiak dan Kamang Hilir. Perang Kamang sebagai sebuah usaha menentang tindak pemerasan oleh Kolonial Belanda yang terjadi dengan pemungutan pajak (blasting) yang memberatkan bagi masyarakat, perjuangan ini dipimpin oleh H. Abdul Manan yang berasal dari dusun Kampuang Budi, Pakan Sinayan. Untuk mengenangnya kita dapat melihat dan berziarah ke makam-makam para pahlawan tersebut di Jorong Pakan Sinayan, Kamang Mudiak.
Selain menyajikan objek wisata sejarah, daerah Kamang Mudiak juga memberi pesona wisata alam yang semua objeknya dapat dilewati dalam satu rute perjalanan. Apabila kita datang ke Kamang Mudiak melewati jalur Bukittinggi, Pakan Kamis ,dan sampai di Pakan Sinayan, maka kita akan disambut oleh Tugu Perang Kamang 1908 di daerah Pakan Sinayan kemudian perjalanan dapat di lanjutkan ke Ngalau Tarang Batu Biaro di jorong yang sama. Ngalau Tarang adalah sebuah sebuah panorama goa yang terdapat di kaki bukit dengan pesona yang mengagumkan dengan stalagtit dan stalagmit yang terdapat di dalam gua. Masyarakat sekitar memahami tempat ini sebagai sebuah legenda yang dahulunya berasal dari sebuah kapal, kemudian dikutuk hingga menjadi batu. Tiap sudut gua disebut-sebut memiliki spesifikasi dan penamaan-penamaan batu tersendiri. Ada batu kaki menggantung, batu kepala raja, batu singa, batu gajah, batu buaya, batu kain bersusun, batu ibu menyesui. dan berbagai penamaan lainnya. Dibagian depan Ngalau Tarang Batu Biaro terdapat sebuah batu besar dan di lewati oleh sebuah bandar (sungai kecil).
Setelah dari Jorong Pakan Sinayan, kita akan memasuki Jorong Bansa, disini kita dapat singgah ke makam Tuanku Nan Renceh sebagai pahlawan Perang Paderi. Kemudian perjalanan wisata akan memasuki Jorong Babukit dan Halalang. Disini kita bisa menikmati keidahan alam, yaitu terdapatnya sebuah danau mini yang disebut masyarakata dengan Tarusan. Tarusan dikelilingi oleh Bukit Barisan yang menambah pesona daerah yang asri. Bagi pecandu pancing ikan dapat langsung membawa pancingan atau kailnya. Kita bisa memancing dengan leluasa karena penduduk setempat menyediakan rakit yang dapat dipinjam untuk memancing dan kita tak perlu membayar retribusi untuk memancing. Berbagai jenis ikan air tawar terdapat di danau mini ini. Tapi ikan spesifik yang jarang ditemukan di daerah lain yaitu Pantau. Pantau merupakan ikan dengan ukuran tubuh yang kecil, tapi kalau dari rasa dan enaknya tak kan tertinggal dari rasa enak, gurih ikan-ikan air tawar lainnya.
Keunikan dari Tarusan adalah airnya yang sering pasang-surut dalam waktu yang tak dapat diperhitungkan. Terkadang air Tarusan penuh dan terisi dengan ikan yang tak diketahui asalnya secara pasti. Dan dimasa berikutnya air Tarusan akan surut dan habis, hingga ikan-ikan biasanya tertinggal di taman-taman (kolam-kolam) yang dibuat penduduk sebagai penampung ikan disaat air surut. Kemudian di dalam Tarusan tersebut masyarakat sekitar akan bersawah hingga airnya terisi lagi.
Melanjutkan perjalanan dari Jorong Halalang kita menelusuri kaki Bukit Barisan, sesampainya di daerah Jorong Kapecong dan Padang Kunyik kita juga dapat berhenti melepas lelah di bawah pohon-pohon di tepi jalan. Kita dapat melihat pemandangan yang indah di Panorama Lengkok. Lukisan alam yang dapat kita saksikan adalah aggun dan kokohnya Gunung Merapi dan Singgalang yang berdampingan dengan lantang dan jelas, serta dibagian bawah lereng bukit kita dapat menyaksikan padi nan menguning. Sebuah pemandangan yang mengagumkan.
Dari Jorong Padang Kinyik wisatawan dapat melanjutkan perjalanan ke Jorong Durian yang menyediakan sebuah objek wisata Ngalau Kamang. Ngalau ini adalah sebuah goa yang curam, bila ditelusuri kita akan terbawa masuk kedalam perut Bukit Durian dengan panjang rute lebih kurang 1 km. Untuk masuk kedalam gua ini kita harus menggunakan penerangan yang lengkap karena gelapnya suasana di dalam ngalau. Bagi yang tidak membawa penerangan sendiri bisa meminjam lampu petromaks dari penduduk setempat dengan biaya ganti minyak Rp 10.000,-. Sesampai di dalam gua kita akan disuguhkan dengan bebatuan yang meneteskan air-air yang jernih. Disana sini kita bisa melihat stalagmit dan stalagtit beserta sebuah sungai kecil yang mengalir didalamnya yang menambah keindahan pesona Ngalau Kamang. Menurut tuturan sejarah masyarakat sekitar, goa ini pernah dijadikan tempat persembunyian para pejuang, bahkan dalam sebuah buku yang pernah penulis baca bahwa di Ngalau Kamang pernah ditemukan alat serpih yang merupakan peninggalan masyarakat Pra Sejarah Indonesia. Semua objek yang kita kunjungi tadi dapat didatangi tampa harus membayar retribusi.
Begitulah sepintas perjalanan wisata yang bisa kita nikmati di Kamang Mudiak. Namun ada tips yang dapat penulis beri bila akan berwisata ke “Nagari Pahlawan” itu. Sebaiknya anda menggunakan transportasi pribadi baik motor maupun mobil karena bila menggunakan kendaraan pribadi anda akan mudah mencapai tempat-tempat menarik tadi dalam satu rute perjalanan. Dan objek-objek wisata tadi jaraknya pun tak jauh dari jalan-jalan kabupaten sehingga ketika anda meninggalkan kendaraan pribadi pasti akan tetap aman. Tips ini diberikan juga dikarenakan belum adanya mobil umum yang langsung mengitari Nagari kamang Mudiak, sehingga akan butuh waktu untuk melihat objek-objek tadi. Bagi yang pergi ke Kamang Mudiak dengan kendaraan umum dapat menaiki mobil K-01 yang ngetem di sekitar Pasar Bawah atau di Aur Kuning, Bukittinggi. Dan untuk mempermudah perjalanan di Kamang Mudiak kita juga bisa menggunakan jasa ojek yang mangkal di Pakan Sinayan, atau di jorong Durian. Dan jangan lupa membawa kamera karena kalau sampai terlupakan kita tak bisa mengabadikan perjalanan menarik ini.
Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi seperti makan, makanan ringan dan minuman anda tak perlu cemas karena di daerah ini anda dapat menukan warung-wurung yang bisa memenuhi kebutuhan tersebut. Kedatangan anda di Kamang Mudiak akan makin menarik bila kita berkunjung di hari Senin atau Jumat, karena di hari itu akan ada pasar (hari balai). Dengan menu makanan di pasar seperti katupek (ketupat), cindua (cendol), dan makanan tradisional lainnya.
Setelah kita melewatkan hari di Kamang Mudiak, anda dapat membawa oleh-oleh berupa karupuak kamang (Kerupuk Kamang) yang dibuat masyarakat setempat. Kerupuk ini dapat dibeli langsung ke rumah-rumah pembuatnya atau di beli di sekitar Pakan Sinayan. Saat membelinya kerupuk ini masih dalam keadaan mentah, sehingga sesampainya dirumah kita dapat langsung menggoreng dan menyantapnya bersama keluarga. Kriuk,,,kriuk dan gurihnya akan terus lengket dilidah. Hal ini menjadikan perjalanan wisata kita akan makin berkesan.
BUKIT BARISAN
Rute wisata Kamang Mudiak 6
ket:
1. Tugu Perang kamang 7 5
2. Ngalau Tarang 2
3. Makam pahlawan perang kamang 4 2
4. Makam Tuanku Nan renceh 3 11
5. Tarusan. 1
6. Panorama Lengkok
7. Ngalau kamang.


--- Pada Kam, 19/3/09, Andrinof A Chaniago <andr...@gmail.com> menulis:

Dari: Andrinof A Chaniago <andr...@gmail.com>
Topik: [R@ntau-Net] Re: Demokrasi Minang : SELAMAT UNTUK ISRAR
Kepada: Rant...@googlegroups.com
Tanggal: Kamis, 19 Maret, 2009, 7:24 PM

Besok, Jum'at, Israr ke Yogya untuk menerima penghargaan sebagai pemenang ketiga penulisan esei Melayuonline. Israr menulis ttg "Perempuan dan Mitos Demokrasi Minang". Selamat, Is. Maju taruih.
 
Andrinof A.Chaniago


 
2009/3/18 Arnoldison <arn...@spij.co.id>


 Demokrasi Minang : Upaya Menggeser Mitos Menjadi Realitas

Oleh: Israr Iskandar
Pendahuluan

Dalam  pengetahuan antropologis, Minangkabau termasuk suku bangsa yang
serumpun  dengan suku-suku bangsa Melayu lainnya di Nusantara. Hal itu
bisa  dilihat  dari segi adanya beberapa kesamaan dalam rumpun bahasa,
budaya,  ras,  dan  agama.  [1]  Namun dalam segi-segi tertentu, orang
Minangkabau  memandang dirinya memiliki kekhususan atau berbeda dengan
masyarakat suku bangsa lainnya. Salah satunya adalah dari aspek budaya
politik yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Minang.

Sejak  lama,  Minangkabau  dikenal  sebagai  suku bangsa yang memiliki
khazanah   budaya   yang   ekuivalen   dengan  nilai-nilai  demokrasi.
Cendekiawan  non-Minang,  seperti  Nurcholish  Madjid  dan Abdurrahman
Wahid,  pernah mengafirmasi adanya  demokrasi Minang . Faktor penyebab
munculnya  persepsi  itu  adalah  realitas kondisi sosiologis-kultural
Minangkabau,  model proses politik lokal yang berlangsung, serta peran
tokoh-tokoh   asal   Minang  dalam  proses  pembentukan  negara-bangsa
Indonesia di masa lalu.

Jamak  diketahui,  demokrasi  adalah  konsep berasal dari Yunani kuno.
Namun  sejak  Revolusi  Prancis  (1789),  demokrasi berkembang menjadi
sebuah  konsep  modern dan kompleks. Sekalipun sebagai suatu perangkat
yang   kompleks,  logika  yang  diekspresikan  oleh  demokrasi  modern
mengandung  prinsip-prinsip  mendasar,  yaitu  adanya unsur kedaulatan
rakyat,  pemerintahan  mayoritas,  perlindungan minoritas, kemerdekaan
yang dijamin Undang-undang (UU), partisipasi warga, persamaan hak, dan
sebagainya. [2] (Minogue dalam Kuper dan Kuper, 2000: 215).

Walaupun  dikaitkan dengan penyelenggaraan pemerintahan yang baik atau
sistem  politik  yang  ideal dan bahkan nyaris  sempurna , akan tetapi
demokrasi  sebenarnya  juga  terkait  dengan  gaya  hidup  serta  tata
masyarakat  tertentu  yang  mengandung  unsur-unsur moral. Oleh karena
itu,  demokrasi  juga  mengandung  nilai-nilai  (values) tertentu yang
dianggap  baik  oleh  masyarakat.  Menurut  Henry  B  Mayo,  demokrasi
mencakup  beberapa  norma atau nilai, yaitu: penyelesaian perselisihan
secara  damai  dan  melembaga; terjadinya perubahan secara damai dalam
suatu  masyarakat  yang sedang berubah; pergantian kepemimpinan secara
teratur  (reguler);  pembatasan  pemakaian  kekerasan (paksaan) secara
minimum; pengakuan dan penghormatan atas keanekaragaman; serta jaminan
penegakan keadilan. [3]

Demokrasi dalam Khazanah Budaya Lokal
Jika  merujuk pada pengertian demokrasi modern di atas, sebagai bagian
dari kebudayaan Melayu, budaya Minangkabau nampaknya memiliki sejumlah
nilai-nilai  yang  cocok  dan  sebanding dengan nilai-nilai demokrasi.
Secara   kultural,  hal  itu  antara  lain  dapat  ditelusuri  melalui
akar-akarnya  dalam  kearifan  tradisional  yang  berupa  ungkapan dan
pepatah-petitih  lama,  baik  yang  terdapat  dalam tambo (kisah-kisah
sejarah etnik Minangkabau) maupun masyarakat.

Nilai-nilai  keterbukaan  dan  kesamaan  (egaliterianisme), umpamanya,
tercermin  dalam  pepatah  duduak samo randah tagak samo tinggi (duduk
sama  rendah  berdiri  sama  tinggi).  Walaupun  secara  formal  punya
kedudukan  lebih  tinggi,  tapi posisi pemimpin tidak terlalu berjarak
dengan  masyarakat. Dalam filosofi budaya Minangkabau (etnik mayoritas
di Sumatra Barat) [4] , pemimpin itu tak dapat memainkan peran sebagai
raja,  sultan,  atau kaisar. Ia hanya diberikan kedudukan sedikit saja
lebih  tinggi  dari  rakyat  biasa,  seperti  tercermin dalam ungkapan
tradisional  ditinggikan  sarantiang didaulukan selangkah (ditinggikan
seranting   didahulukan   selangkah).  Konsekuensi  politisnya,  kalau
pemimpin  berlaku  sewenang-wenang  atau  tidak aspiratif, maka rakyat
atau lembaga perwakilan rakyat boleh membantah dan bahkan menggantinya
dengan pemimpin yang dianggap lebih baik. [5]

Pada  aras  sosial,  nilai-nilai  egaliterianisme  itu  terlihat  dari
kehidupan  sosial  Minangkabau.  Walaupun  pernah  dipengaruhi  budaya
Hindu,  tidak  ada   kelas  sosial   dalam  masyarakat Minang. Seperti
dikatakan  Loeb,   Tidak  seperti orang Batak, orang Minangkabau tidak
begitu mementingkan klasifikasi sosial. Sesungguhnya, sebelum pengaruh
Hindu,  tampaknya  tidak ada perbedaan antarindividu, kecuali mengenai
umur.   [6]  Sampai  sekarang  pun  di Minangkabau tidak ada perbedaan
kepemilikan  tanah,  seperti di Jawa. Masyarakat Minangkabau pun tidak
mengenal   golongan  bangsawan  yang  berpengaruh  luas  pada  tingkat
supra-nagari, seperti halnya Bali. [7]

Nilai-nilai  kesamaan  dalam  budaya Minangkabau tidak didasarkan pada
filsafat  liberalisme  yang  ekstrem.  Budaya  lokal menjunjung tinggi
etika  dalam  hubungan sosial. Penghormatan pada (hak) sesama, sebagai
bagian  dari  nilai demokrasi, juga tercermin dalam ungkapan nan ketek
dilindungi,  nan  tuo dihormati, nan samo gadang dipatenggangkan (yang
kecil   dilindungi,  yang  lebih  besar  dihormati,  yang  sama  besar
dihormati).  Budayawan  A.A.  Navis  menyebut  masyarakat Minangkabau,
selain  rasional  dan  kosmopolit,  juga  komunal.  Semua karakter itu
agaknya  lebih  dipengaruhi  oleh  Islam  yang  ajarannya  yang memang
bernilai kosmopolit, egaliter, dan rasional. [8]

Sebagai  wujud  egaliterianisme,  budaya  Minang tidak alergi terhadap
perbedaan  pendapat,  karena  hal  itu  bagian  dari  dinamika sosial.
Perbedaan  pendapat,  kalau  dikelola dengan baik, justru dapat memicu
kemajuan.  Nilai  semacam  itu  tercermin dalam ungkapan basilang kayu
dalam  tungku mako api ka hiduik (bersilang kayu dalam tungku maka api
akan  hidup).  Namun  demikian, solusi atas perbedaan pendapat sedapat
mungkin  dilakukan  melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, seperti
disebut dalam ungkapan bulek aia dek pambuluah bulek kato dek mufakaik
(bulat  air  karena  pembuluh,  bulat  kata  karena  mufakat). Tradisi
musyawarah  mufakat  ini  jelas  mengandung  nilai-nilai demokrasi dan
telah  berlangsung  sejak berabad-abad. Di tingkat masyarakat, tradisi
itu terlembaga misalnya dalam wujud kerapatan nagari. [9]

Dalam  budaya  sosial  Minang, sekilas terlihat adanya hierarki, namun
tidak  sama  dengan  hierarkisme  masyarakat  feodal pada umumnya. Ada
ungkapan anak barajo ka mamak, mamak barajo ke panghulu, panghulu baja
ka Nan Bana, Nan Bana berdiri dengan Sendirinyo (anak beraja ke mamak,
mamak  beraja  ke  penghulu, penghulu beraja ke Yang Benar, Yang Benar
berdiri  dengan  Sendirinya).  Ungkapan  ini jelas perumpamaan belaka.
Walaupun   anak  harus  patuh  ke  mamak,  bukan  berarti  mamak  bisa
sewenang-wenang.  Etika  serupa  juga  mesti  berlaku  bagi  penghulu,
sebagai  pemimpin  tradisional.  Tidak  ada  orang  kebal  kritik  dan
kontrol:  Raja alim raja disembah raja lalim raja disanggah (raja alim
raja  disembah, raja lalim raja disanggah). Ini menunjukkan, kebenaran
manusia  relatif.  Kebenaran mutlak hanyalah milik Sang Maha Pencipta,
yakni Allah SWT.

Budaya  Minangkabau juga sangat adaptif dengan kemajuan. Ada ungkapan,
sekalie  aie  gadang, sakali tapian beraliah (sekali air besar, sekali
tepian beralih). Tak heran, budaya Minangkabau sangat adaptif terhadap
nilai-nilai  baru,  asal  nilai-nilai  baru  itu membawa kemajuan bagi
masyarakat. Kapan perlu nilai-nilai baru yang baik itu dicari ke luar,
melalui  proses  menuntut  ilmu  pengetahuan. Oleh karena itu, tradisi
merantau  orang  Minang  tidak  hanya  dilatarbelakangi motif ekonomi,
tetapi  juga  ilmu  pengetahuan.  Ini  tercermin  dalam  ungkapan yang
bergaya pantun, karatau madang dahulu, babuah babungo balun, ka rantau
bujang  dahulu,  di rumah paguno balun (karatau madang dahulu, berbuah
berbunga belum, ke rantau bujang dahulu, di rumah berguna belum).

Tidak  hanya  dalam  ungkapan  tradisional,  nilai-nilai demokrasi dan
kemajuan  juga  tercermin dalam struktur politik maupun proses politik
lokal.  Secara  historis-politis,  Minangkabau  sendiri  adalah sebuah
konsep  tentang   kerajaan  yang barangkali tidak sama dengan kerajaan
di  tempat-tempat  lain.  Di  suku  bangsa ini, unit politik tertinggi
justru  ada  di  nagari.  Orang Minangkabau pada masa dahulu mempunyai
kesetiaan  pada  nagari-nya  sendiri.  Raja di Pagaruyung selain tidak
punya  wilayah  kekuasaan  yang  jelas dan tegas, juga tidak berdaulat
atas  nagari-nagari,  sebagai  unit  pemerintahan  sekaligus  kesatuan
masyarakat hukum adat. Dalam khazanah sejarah Minangkabau, posisi raja
di  Pagaruyung hanyalah simbolik belaka. [10] Di samping itu, dia juga
tidak  memiliki  tanah  luas.  Tak heran, seorang peneliti asing, G.D.
Willick  mengatakan  bahwa  raja  Minangkabau adalah  raja yang paling
miskin yang dikenal di dunia . [11]

Dalam  perkembangannya,  secara  administratif, nagari berada di bawah
 yurisdiksi  pemerintahan formal, baik yang berlaku pada masa kolonial
maupun  negara  Republik Indonesia. Nagari merupakan unit pemerintahan
terendah dari suatu hierarki struktur pemerintahan nasional di Sumatra
Barat.  Sementara  secara  kultural,  nagari-nagari  punya  kedaulatan
sendiri-sendiri  dan  oleh karena itu mereka tidak harus  tunduk  pada
raja  Pagaruyung,  yang  merupakan  penguasa   alam  Minangkabau . Tak
pelak,  kesatuan  nagari-nagari  di  Minangkabau seolah-olah membentuk
sebuah    konfederasi .   Ada  juga  yang  menyebut  nagari-nagari  di
Minangkabau seperti  republik-republik kecil . [12]

Proses  politik  di nagari, juga cukup demokratis. Wali nagari dipilih
langsung  oleh  rakyat, jauh sebelum pemilihan kepala daerah (pilkada)
secara  langsung  dewasa ini. Model pemilihan langsung wali nagari ini
tentu,  dalam  beberapa  segi,  telah  sesuai  kaidah-kaidah demokrasi
modern  seperti lazimnya di negara-negara demokrasi maju. Kontrol atas
jalannya  pemerintahan  (eksekutif)  di  nagari tidak hanya diperankan
oleh  legislatif  dan  yudikatif  nagari,  tetapi  juga  langsung oleh
rakyat, sebagai wujud partisipasi politik.

Konstruksi  historis  politis  bangsa  Indonesia ikut memperkuat mitos
demokrasi  Minang. Di masa lalu, puak Minang melahirkan sejumlah tokoh
yang  ikut  meletakkan  dasar-dasar  konseptual  bagi negara Indonesia
modern   dan  demokratis.  Nama-nama  seperti  Mohammad  Hatta,  Sutan
Sjahrir,  Mohammad  Natsir,  Tan  Malaka, dan beberapa lainnya dikenal
sebagai  tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan RI yang gandrung pada ide-ide
demokrasi.   Mungkin   pemikiran-pemikiran   demokrasi   yang   mereka
perjuangkan  adalah  hasil  adopsi  pemikiran dari Barat, tetapi sulit
dibantah  bahwa  kebudayaan  tempat  mereka berasal, Minangkabau, ikut
mengonstruksi dasar-dasar pemikiran mereka.

Realitas Sosial Politik dan Sosial Budaya
Konstruksi  ideal  masyarakat  politik Minangkabau tersebut tak selalu
berjalan dalam realitas yang sesungguhnya. Tidak terimplementasikannya
nilai-nilai  demokrasi,  termasuk  di  tingkat  nagari dan masyarakat,
disebabkan  karena  banyak faktor, tetapi dua yang utama adalah sistem
kekuasaan   nasional   dan   kenyataan   ambivalensi  sosial  kultural
Minangkabau  sendiri.  Sekalipun  kaum  cerdik pandainya berkontribusi
besar  bagi  pembentukan  negara  bangsa  modern,  tetapi dinamika dan
sistem  politik  nasional  yang berkembang, khususnya sejak masa rezim
Orde  Baru,  ikut  menggerus  nilai-nilai  budaya  demokrasi lokal  di
Minangkabau, khususnya di nagari.

Pada  masa Orde Baru, seluruh organ suprastruktur politik lokal diatur
secara  terpusat  dan  seragam tanpa mengindahkan heterogenitas sistem
politik  lokal  yang  telah  eksis  jauh  sebelum  terbentuknya konsep
kebangsaan Indonesia. Nagari yang tadinya berdaulat dan bergerak dalam
sistem yang demokratis dan otonom, [13] dihapus lalu digantikan dengan
sistem pemerintahan desa, suatu konsep pemerintahan yang diadopsi dari
Jawa.  Terbitnya  Undang  Undang  No 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan
Desa   menjadi  salah  satu  tanda  bahwa  sistem  sentralistik  makin
menggejala  di  bawah rezim Soeharto. Penyeragaman sistem pemerintahan
di  tingkat  paling  bawah  membuat nagari-nagari mengalami pemecahan.
Sistem  terpusat  ini  telah  menghancurkan  institusi  tradisional di
tingkat lokal yang sudah ada beratus tahun lamanya. [14]

Politik  sentralisasi  Orde  Baru  bahkan berdampak lebih jauh. Sistem
terpusat  tak  hanya  mengubah sistem dan bentuk pemerintahan lokal di
level  paling  bawah,  tapi  juga  sangat  mempengaruhi corak perilaku
masyarakat  Sumbar,  khususnya di lapangan politik, daripada masa-masa
sebelumnya.   Hasil   pelaksanaan  pemilu-pemilu  di  masa  Orde  Baru
menunjukkan  adanya  perubahan  tingkah laku politik masyarakat lokal.
Jika  pada pemilu 1955 preferensi politik masyarakat Sumbar terbagi ke
berbagai  partai  politik,  khususnya  partai-partai  Islam, maka pada
pemilu-pemilu  Orde  Baru,  mayoritas pemilih lokal berbondong-bondong
memilih  Golkar,  partai pemerintah. Di Sumbar, perolehan suara Golkar
dalam  beberapa kali pemilu Orde Baru hampir selalu melebihi rata-rata
perolehan suara Golkar secara nasional. [15] Di samping itu, perubahan
tingkah laku politik juga tercermin dari eksistensi, fungsi, dan peran
lembaga-lembaga  lokal  yang  ada  serta  karakter elite yang memimpin
pemerintahan dan masyarakat daerah. [16]

Di  bawah  negara  Orde Baru, filosofi egaliterianisme yang selama ini
dianggap   sebagai    dasar    kebudayaan   Minangkabau   tidak   bisa
diimplementasikan  secara  utuh. Meskipun di lapangan sosial, misalnya
dalam   pemilihan   kepala   kaum   (datuak/penghulu),   masih  muncul
nilai-nilai  kesamaan  dan  keterbukaan,  tapi  secara  umum pola-pola
semacam  itu  meredup  di seluruh ranah Minangkabau. Merasuknya sistem
birokrasi  yang  kaku  dan hierarkis dan kemudian bersentuhan langsung
dengan tatanan sosial Minangkabau, ditambah pula trauma sosial politik
pasca-PRRI,    membuat    feodalisme    tumbuh   subur.   Salah   satu
konsekuensinya,  suara-suara  kritis dari masyarakat Minangkabau mulai
meredup di bawah kendali otoriterianisme negara. Secara institusional,
elemen-elemen  sub-ordinasi  negara  muncul  sebagai  fenomena  sosial
politik.  Lembaga-lembaga yang muncul, formal maupun informal, umumnya
tidak  lebih  sebagai  representasi  negara. Akibatnya, corak pemimpin
yang  muncul pun tidak hanya  feodalistis  tapi juga cenderung elitis.
Kalaupun ada kritisisme dari masyarakat lokal, secara umum hal itu tak
mampu  lagi  mengubah  tatanan sosial politik yang sedang mapan. Dalam
berhadapan  dengan  masyarakat,  elite  formal  tadi mengklaim sebagai
wakil negara. [17]

Elemen  elite  lokal  yang  berperan  dan  berpengaruh di Sumbar dalam
beberapa  dekade  terakhir  adalah  elite  yang sebenarnya lahir dalam
kondisi  sosial  budaya  dan sosial politik semacam itu. Mereka tumbuh
dalam  kultur  semifeodal,  patrimonial,  dan  otoriter.  Mereka kerap
disebut  sebagai  elite  yang berurat ke atas, bukan elite yang tumbuh
dari   bawah.  Mereka  bukan  tipe  pemimpin  yang  dilahirkan  secara
 alamiah .  Karakter  mereka  cenderung  konservatif  dalam menghadapi
perubahan.  Implikasinya  sangat jauh. Di bidang intelektual, tepatnya
sejak   Orde  Baru,  orang  Minangkabau  dianggap  mengalami  kebekuan
pemikiran  di  level  nasional.  Uniknya, keadaan itu sepertinya terus
 dinikmati   oleh  segelintir  elitenya.  Dengan  cukup  baik,  Taufik
Abdullah  mengambarkan:   Daerah  ini  hanyalah  pengikut  setia  dari
berbagai  keharusan  yang  ditentukan oleh pusat, tetapi juga terhadap
wacana  yang  dipelihara  oleh  sang  pemegang kekuasaan .[18] Standar
untuk  pejabat  daerah  mencapai keberhasilan terletak pada siapa yang
dapat menafsirkan ketentuan pemerintah pusat.[19]

Di  tengah  situasi  semacam itu, muncullah beberapa organisasi sosial
yang  menjadi  wadah  artikulasi  budaya  politik  rezim  Orde Baru di
tingkat masyarakat. Salah satu contohnya adalah Lembaga Kerapatan Adat
Alam  Minangkabau  (LKAAM). Pada mulanya LKAAM dibentuk KODAM (Komando
Daerah   Militer)   17  Agustus  (Sumbar-Riau)  yang  ditujukan  untuk
rehabilitasi sosial kultural masyarakat Minang, terutama dari golongan
adat  pasca-Gerakan  30  September/Partai  Komunis Indonesia. Walaupun
dalam  kemasannya  bertujuan  untuk  melestarikan  adat,  tradisi, dan
budaya Minangkabau sebagai salah satu etnik penting di Nusantara, tapi
dalam praktiknya, tentu saja mereka cenderung  berakar ke atas . LKAAM
mengklaim  sebagai  wakil masyarakat Sumbar atau Minangkabau, walaupun
lembaga  ini  dibentuk  oleh rezim berkuasa. Selama 32 tahun pada masa
rezim Orde Baru, LKAAM menjadi  bemper  politik Golkar.[20]

Sejumlah  kelompok  sosial  lain  yang juga hidup dalam konteks kultur
politik  Orde  Baru,  antara  lain  organisasi perempuan, cendekiawan,
pegawai  negeri, pemuda, wartawan, organisasi perantau, bahkan preman.
Sebagian adalah bentukan rezim, bukan lahir dari bawah. Misalnya Bundo
Kanduang,   organisasi  perempuan.  Pelembagaan  Bundo  Kanduang  yang
dimulai di masa Orde Baru, bukan sekedar untuk tujuan-tujuan kultural,
tetapi  juga  bertujuan  politis: menyokong legitimasi rezim berkuasa.
Bundo   Kanduang  seolah  adalah  representasi  keseluruhan  perempuan
Minangkabau. Afiliasi politiknya jelas ke Golkar.[21]

Beberapa  ormas  lokal  pada dasarnya juga mempunyai watak yang kurang
lebih  sama.  Mereka  cenderung  dekat dengan penguasa. Kelompok Islam
tradisional,  Perti  (Persatuan  Tarbiyah  Islamiyah), yang sebelumnya
cenderung berafiliasi dengan partai Islam, akhirnya terpecah dua. Satu
faksi  mendukung  atau  berafiliasi  dengan Golkar dan satu faksi lagi
masih  tetap  menjadi  salah satu unsur PPP. Begitu juga Muhammadiyah,
ormas  Islam terbesar di Sumbar, banyak kadernya yang menjadi pengurus
Golkar.  Intinya,  banyak  kalangan ulama dan aktivis Islam di tingkat
lokal  di  masa  Orde  Baru,  khususnya  pada  setiap  pemilihan umum,
menyatakan  dukungan  dan  bahkan   kebulatan  tekad  mendukung partai
pemerintah.

Dalam  kaitan  ini,  eksistensi dan kesinambungan organisasi preman di
Sumbar  juga menarik untuk disoroti. Demokratisasi yang bersumber dari
nilai-nilai  lokal  berjalan  paralel  dengan  premanisme.  Di Sumbar,
organisasi  pemuda  yang  paling  menonjol dan memiliki banyak anggota
dari  kalangan  preman  adalah  Pemuda  Pancasila. Ormas ini memainkan
peran  sebagai  operator politik selama Orde Baru, melaksanakan fungsi
intimidasi  yang  tidak  resmi  untuk  rezim  dan para pejabatnya yang
dilakukan secara bersama-sama dengan pejabat keamanan terkait.

Organisasi  perantau  Minang  juga  mempunyai tipikal khas elite lama.
Organisasi  perantau  terbesar,  termasyhur, dan dianggap representasi
semua  elemen  perantau  Minang  adalah  Gerakan  Seribu  Minang (Gebu
Minang).  Organisasi  ini  didirikan pada masa Orde Baru (1990). Konon
inspirasi  pendiriannya  justru  datang dari Presiden Soeharto, supaya
setiap  perantau asal Sumbar di mana pun dapat menyisihkan Rp 1.000,00
per  bulan  untuk  pembangunan  kampung  halaman.  Dengan  dasar-dasar
pembentukan  seperti  itu, Gebu Minang pun terkesan sebagai organisasi
yang   berurat  ke  atas   atau  sebagai  subordinasi  negara. Apalagi
sebagian  besar  pengurus  Gebu  Minang adalah orang-orang Golkar atau
setidaknya berafiliasi dengan Golkar.

Pada  masa  awal reformasi, elite-elite lokal itu belum hilang. Mereka
tetap  eksis  bersama organisasi-organisasinya. Memang ada sebagian di
antara  mereka yang berperan itu tergolong elit lokal yang baru tampil
ke  publik, tapi jika ditelusuri ke belakang, mereka pernah dilahirkan
dan   dibesarkan  di  masa  Orde  Baru.  Di  masa  Orde  Baru,  secara
organisasi,   mereka   menjadi   anggota   atau   pimpinan  organisasi
kepemudaan,  seperti  KNPI,  AMPI, FKPPI, PPM (Pemuda Panca Marga), PP
(Pemuda  Pancasila),  serta  organisasi  kepemudaan  onderbouw  partai
maupun ormas-ormas keagamaan. Tak heran, saat tampil di era reformasi,
karakter  dan  tipikalnya  belum  banyak  berubah dengan tipikal elite
politik masa lalu.[22]

Perkembangan  politik  lokal  di atas juga bisa dipahami dalam konteks
transisi (politik). Secara sederhana, transisi dapat diartikan sebagai
kondisi  di  mana  nilai-nilai  lama belum sepenuhnya hilang sedangkan
nilai-nilai  baru belum sepenuhnya dipahami dengan baik. Suasana chaos
(kekacauan)   kerap   mengancam.  Nilai-nilai  lama  bertarung  dengan
nilai-nilai  kebaruan.  Yang  bertarung  adalah nilai-nilai, sementara
pemenangnya  tak  banyak berubah. Elite lama masih bercokol kuat. Pada
Pemilu  1999,  Golkar  menang di Sumbar, walaupun sudah ditempel ketat
oleh  PAN  (Partai Amanat Nasional) sebagai partai pendatang baru yang
notabene lahir dari  rahim  reformasi.

Dengan  kemenangan  Golkar  tersebut,  secara umum tidak ada perubahan
fundamental   dalam   susunan   elite   lokal.   Desentralisasi   yang
diintroduksi   sejak  era  reformasi  belum  mengubah  keadaan  secara
mendasar  di  tingkat  lokal. Elite lama masih dominan. Demokrasi yang
muncul  justru  adalah  kembalinya  kekuatan-kekuatan lama dengan baju
baru  atau baju lama, baik di bidang politik maupun ekonomi.[23] Salah
satu  karakter  kelompok  ini suka menggunakan terminologi-terminologi
demokrasi  untuk  melindungi kepentingan mereka, walaupun tingkah laku
politik mereka belum berubah. [24]

Kelompok-kelompok  kritis  mempertanyakan,  bagaimana  mungkin  agenda
pembaruan  yang  fundamental  bisa  dikerjakan  di  tingkat lokal jika
aktor-aktornya  masih  belum bergeser secara berarti? Para politisi di
parlemen  dan  pemerintahan,  maupun  elite  ormas-ormas  pada umumnya
merupakan  aktor-aktor  yang  pernah  aktif  dalam pola-pola permainan
kekuasaan  di  masa  Orde  Baru.  Dalam konteks inilah, dapat dipahami
mengapa   dalam   berbagai   pemilihan  kepala  daerah  sepanjang  era
reformasi, kandidat Golkar selalu mendominasi. Kursi-kursi DPRD Sumbar
periode  1999-2004  masih banyak diisi oleh mantan pejabat di era Orde
Baru.  Belum  lagi  lima  kursi DPRD yang sudah disediakan oleh Undang
undang  adalah  diperuntukkan  bagi  kalangan tentara dan polisi, yang
tentu  saja  ikut  memperkuat barisan  status quo  di panggung politik
lokal.

Masalah  pokok  lain,  corak  politik  lokal  di  era  transisi  masih
mengandung ambivalensi. Ada segi positif yang membawa kemajuan, tetapi
di  sisi  lain  juga masih banyak kelemahan yang mesti diperbaiki bagi
kemajuan  di  masa  mendatang,  khususnya  bagi revitalisasi demokrasi
lokal.  Secara  politik,  pragmatisme  politik warisan Orde Baru tidak
banyak  membawa  kemajuan  bagi  tranformasi  politik  lokal.  Kondisi
demikian  membawa  implikasi  politik  signifikan  di daerah pada awal
reformasi, seperti tercermin dari hasil pemilihan kepala daerah. Dalam
sebuah  pemilihan  yang  seru  pada  awal  tahun  2000,  tokoh  Golkar
sekaligus  birokrat  senior,  Zainal  Bakar, terpilih sebagai Gubernur
Sumbar  untuk  periode  2000-2005. Tokoh yang malang melintang di masa
Orde  Baru  tampil sebagai kepala daerah di era reformasi dalam sebuah
pemilihan  di DPRD. Ia berpasangan dengan seorang intelektual dan juga
bekas  Rektor  Universitas  Andalas Prof Dr Ir Fachri Ahmad. Pada saat
itu,  Zainal mengalahkan Saleh Khalid, tokoh PPP, yang didukung kaukus
(koalisi) partai-partai Islam, Forum Ukhuwah.

Birokrasi  yang belum banyak berubah juga dapat menjelaskan prakondisi
distorsi  politik  lokal  pasca-Orde  Baru. Birokrasi sepenuhnya masih
merupakan  warisan rezim masa lalu. Memang intervensi politik terhadap
birokrasi  seperti  di era Orde Baru sudah berkurang di era reformasi,
tapi   kultur   lama   masih  dianggap  kental  dalam  penyelenggaraan
pemerintahan  daerah.[25]  Tentu sulit mengharapkan reformasi di level
lokal  ketika  birokrasi  berjalan business as usual dalam konotasinya
yang buruk.

Di  samping  karena  pengaruh  yang  serius  dari corak sistem politik
nasional,  tidak terimplementasikannya nilai-nilai budaya lokal secara
penuh dalam kehidupan sosial dan politik adalah juga dikarenakan bahwa
dalam   beberapa   hal   Minangkabau   itu   mengandung   ambivalensi.
Pepatah-petitih  luhur  di  atas  barulah  sebatas ungkapan belaka. Ia
tidak  sepenuhnya  mengejawantah  dalam  realitas.  Dari  segi konsep,
sekalipun  dikenal  memiliki  nilai adat dan budaya demokratis, tetapi
hal   itu   tidak   menyeluruh  ada  di  Minangkabau.  Sebagian  kecil
nilai-nilai  demokrasi  itu  hanya  terefleksi  dalam sistem adat Bodi
Chaniago.    Filosofi   duduak   samo   randah   tagak   samo   tinggi
(egaliterianisme)  hanya  ada  dalam  sistem ini. Kekuasaan raja tidak
akui.  Dalam rapat-rapat adat, posisi duduk semua penghulu (perwakilan
kaum) sederajat dan keputusan diambil secara demokratis.

Sedangkan  sistem  Koto  Piliang lebih mencerminkan otokratisme. Model
kepemimpinan   hierarkis,   seperti   juga  tercermin  dalam  ungkapan
bajanjang naik batanggo turun (berjenjang naik bertangga turun). Balai
adat  (panggung)  tempat  berlangsungnya  rapat-rapat  penghulu dengan
lantai  bertingkat-tingkat  untuk menunjukkan hierarki penghulu. Kalau
rapat   tidak  mencapai  kata  sepakat,  keputusan  diserahkan  kepada
Penghulu   Pucuak   sebagai   pemegang  keputusan  tertinggi,  seperti
tercermin  dalam  ungkapan  biang  nan manabuek, gantieng nan mamutuih
(menembus yang hampir tembus, memutus yang hampir putus).

Sering  dikatakan,  basis  demokrasi  Minangkabau  ada di nagari. Pada
kenyataannya,  proses  politik  di nagari lebih mencerminkan oligarki.
Rapat  adat hanya dilakukan oleh segelintir penghulu, tidak melibatkan
generasi muda dan kaum perempuan. Padahal, Minangkabau terkenal karena
menganut  sistem  matrilineal  yang mengagungkan posisi kaum perempuan
dalam pola kekerabatan.

Anehnya,  oleh  karena  adanya  model  pemilihan  wali  nagari  secara
langsung,  seakan  dianggap  bahwa  sistem pemerintahan dan masyarakat
nagari  dipercaya  sudah  demokratis  dari  dulu.  Padahal,  pemilihan
langsung wali nagari baru mulai tahun 1950-an. Sebelumnya, wali nagari
ditetapkan  berdasarkan  pada  hasil  pilihan sekumpulan pemangku adat
yang  berpengaruh  di nagari. Pada tahun 1970-an, nagari malah diganti
dengan desa, dengan sistem pemilihan pemimpin yang tidak demokratis.

Kenyataan  itu  seakan  bertolak belakang dengan anggapan bahwa proses
politik   nagari   berbasis   pada  demokrasi  Minangkabau  yang  pada
gilirannya  dianggap  ikut  menginspirasi  ide-ide demokrasi modern di
Indonesia.  Dalam  pandangan  sebagian  ilmuwan,  demokrasi Indonesia
seolah  merupakan  sintesis   demokrasi Minang  dan  demokrasi Barat .
Padahal,  masyarakat  di  desa-desa  di  Jawa dan beberapa daerah lain
sudah  sejak  ratusan  tahun  mempraktikkan  demokrasi  langsung dalam
pemilihan kepala desa.[26]

Di  Minangkabau,  eksistensi penghulu sebagai elite tradisional hingga
kini  juga  patut  digugat. Mereka kerap dituding menggerogoti kaumnya
dengan  kecenderungannya  pada tindakan menjual tanah pusaka dan tanah
ulayat  tanpa  memperhitungkan  implikasi buruknya bagi kehidupan anak
kemenakannya sendiri. Peranan perempuan, yang dalam sistem matrilineal
menjadi  penjaga  harta  pusaka,  dipinggirkan  (Lihat  Beckman, 2000;
Bahar,  2004)).  Kuatnya motif ekonomi politik di balik eksistensi dan
peranan  pemangku  adat  ikut  mendistorsi  nilai-nilai  demokrasi  di
Minangkabau  tanpa  ada  mekanisme yang bisa mengkritisi para pemimpin
tradisional ini.

Dalam   konteks  pembangunan  karakter  bangsa,  ada  kritik  mendasar
terhadap  puak  Minang,  sejak Orde Baru sampai era reformasi. Di masa
ini,  orang Minangkabau manut pada kemauan rezim otokratis di Jakarta.
Tidak   ada  lagi  kritisisme  Minang,  sebagaimana  ditunjukkan  pada
masa-masa   sebelumnya.  Golkar  menang  besar  di  daerah  ini,  jauh
melampaui  angka kemenangan partai itu di tingkat nasional. Feodalisme
baru  juga  muncul,  tidak  hanya di Istana Pagaruyung, tetapi juga di
birokrasi  dan  kampus.  Fenomena  ini  terus  berlangsung  hingga era
reformasi, seperti tercermin dari maraknya pemberian gelar adat kepada
tokoh-tokoh   nasional   non-Minang.   Pragmatisme   Minang  menggeser
idealisme yang inherent dalam budaya demokratis.

Penutup
Pada  akhirnya,  di  masa  reformasi  ini,  Minangkabau terkesan tidak
mengalami banyak kemajuan dalam praktik berdemokrasi. Karakter politik
 masa transisi  masih kuat. Nilai-nilai lama yang kontraproduktif bagi
kemajuan demokrasi belum sepenuhnya hilang, sementara nilai-nilai baru
yang  mendorong  demokratisasi  belum sepenuhnya pula bisa dihadirkan.
Tidak  ada  keunggulan  spesifik dalam pelaksanaan demokrasi di Sumbar
bila   dibandingkan  dengan  daerah  lain.  Dari  pelaksanaan  pilkada
langsung  terlihat  bahwa  masih  banyak   pekerjaan rumah  yang harus
dibenahi  melalui  budaya  politik  ke  arah yang lebih demokratis dan
beradab. Dalam kerangka lebih besar, otonomi daerah sebagai distribusi
kewenangan  pemerintah  pusat  ke  daerah  juga  masih kerap mengalami
distorsi,  seperti  adanya korupsi pejabat lokal, birokrasi yang belum
berubah,  anarki, serta politik uang. Belum ditemukan kesejajaran yang
meyakinkan  antara  nilai-nilai  demokrasi modern dengan praktiknya di
ranah   Minang,   merupakan  pekerjaan  rumah  seluruh  pelaku  budaya
Minangkabau sendiri.

Namun,  optimisme tetap perlu dinyalakan. Sekalipun secara konseptual,
nilai-nilai   peradaban  demokrasi  tak  sepenuhnya  terkandung  dalam
khazanah  budaya  lokal,  tetapi  dinamika dan dialektika yang terjadi
menunjukkan bahwa Minangkabau memiliki modal sosial dan modal kultural
yang  besar  untuk  melangkah lebih maju. Tak ada pilihan, nilai-nilai
budaya  Minangkabau,  sebagai  bagian  dari khazanah kebudayaan Melayu
Nusantara,  tetap  harus  diaktualisasikan  dan direvitalisasi sebagai
bagian  upaya  membangun masyarakat demokratis dan berkeadaban di masa
depan.

__________

Makalah  ini  merupakan Juara Harapan 1 dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah
Tingkat Nasional "Pandangan Politik Orang Melayu" yang diselenggarakan
oleh  Balai  Kajian  dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) pada tahun
2007.


Israr  Iskandar  adalah  pengajar  di  Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
Universitas Andalas Padang.

--------------------------------------------------------------------------------
[1]  Ahmad  Jauhari  Moein,   Hubungan  Melayu-Minangkabau  dari Sudut
Sejarah,  Bahasa, Sastra, Budaya, dan Masyarakat  dalam Sastri Yunizar
Bakry  dkk (ed.), Menelusuri Jejak Melayu-Minangkabau (Padang: Yayasan
Citra Budaya Indonesia, 2002), hlm. 20-21.

[2]  Kennet  Minoque,   Democracy  dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper,
Ensiklopedi  Ilmu-ilmu  Sosial  (Jakarta:  Rajawali Press, 2000), hlm.
215.

[3]  Henry  B.  Mayo,  An Introduction to Democratic Theory (New York:
Oxford University, 1960), hlm 218-243.

[4]  Dari 4, 24 juta penduduk Sumbar pada tahun 2003, 3,75 juta adalah
Suku  Minangkabau; 0,18 juta Suku Jawa; 0,13 Suku Mandahiling/Angkola;
dan  0,6  Suku Batak/Tapanuli, serta suku-suku lain dalam jumlah lebih
kecil. Lihat, Badan Pusat Statistik Tahun 2003, hlm.75.

[5] Emeraldy Chatra, Adat Selingkar Desa (Padang: Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik & Pusat Studi Pembangunan dan Perubahan Sosial Budaya
Universitas Andalas, 1999), hlm. 29.

[6] Edwin M. Loeb, sebagaimana dikutip Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau
dan  Merantau dalam Perspektif Sejarah (Jakarta: Balai Pustaka, 2007),
hlm. 50.

[7] Ibid.

[8]  Ali Akbar Navis, Yang Berjalan Sepanjang Jalan: Kumpulan Karangan
Pilihan (Jakarta: Grasindo, 1999), hlm. 27.

[9]  Lihat  Mattulada,   Demokrasi dalam Tradisi Masyarakat Indonesia"
dalam   M.  Amien  Rais  (Pengantar),  Demokrasi  dan  Proses  Politik
(Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 3-15.

[10]  Umar  Junus,   Kebudayaan  Minangkabau   dalam Koentjaraningrat,
Manusia  dan  Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2004), hlm.
249. Lihat juga Gusti Asnan,  Rantau Minangkabau Abad 15 dan 18  dalam
Jurnal Genta Budaya, Nomor 2, Tahun 1/1996, hlm. 65.

[11] Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau, hlm. 23.

[12]  Suryanef  dan Al Rafni,  Kembali ke Nagari: Kembali ke Identitas
dan  Demokrasi  Lokal?  dalam Jamil Gunawan dkk (ed.), Desentralisasi,
Globalisasi dan Demokrasi Lokal (Jakarta: LP3ES, 2005), hlm. 353-354.

[13]  Gusti  Asnan,  Penguasa Militer dan Pemerintahan Daerah: Sumatra
Barat  Akhir  1950-an  dan  awal  1960-an   dalam Analisis CSIS, Tahun
XXXII/2003, No.4, hlm. 529.

[14]  Mestika  Zed,  Edy  Utama,  Hasril  Chaniago,  Sumatra  Barat di
Panggung Sejarah 1945-1995 (Jakarta: Sinar Harapan, 1996), hlm. 294.

[15] Ibid.

[16]   Taufik   Abdullah,    Pengantar    dalam   Audrey  Kahin,  Dari
Pemberontakan  ke  Integrasi:  Sumatra  Barat  dan  Politik  Indonesia
1926-1998 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. xvii.

[17] Ibid.

[18] Ibid.

[19]  Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan
Politik  Indonesia  1926-1998 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005),
hlm. 438

[20]    Sejarah   Ringkas   Berdirinya  Lembaga  Kerapatan  Adat  Alam
Minangkabau  (LKAAM) Sumatra Barat serta Perjuangannya Menegakkan Orde
Baru   Bersama  ABRI  dan  Rakyat  di  Sumatra  Barat ,  makalah  yang
diterbitkan oleh Sekretariat LKAAM Sumatra Barat, tanpa tahun, hlm. 6.

[21] Ibid.

[22] Ibid.

[23]  Vedi R Hadiz,  Menimbang Gagasan Transisi di Indonesia  dalam AE
Priyono, Stanley Adi Prasetyo, Olle Tornquist (ed.), Gerakan Demokrasi
di Indonesia Pasca-Soeharto (Jakarta: Demos, 2003), hlm. 58-59

[24]   Andrinof  A  Chaniago,   Rintangan-rintangan  Demokratisasi  di
Indonesia   dalam Maruto MD dan Anwari MK (ed..), Reformasi Politik dan
Kekuatan  Masyarakat:  Kendala  dan Peluang Menuju Demokrasi (Jakarta:
LP3ES, 2002), hlm. 29.

[25]  Eko  Prasojo, Demokrasi di Negeri Mimpi: Catatan Kritis terhadap
Pemilu  2004  dan Good Governance (Depok: Departemen Ilmu Administrasi
FISIP UI, 2005), hlm. 118.

[26]  Parwantri  Wahjono,  Ungkapan-ungkapan dan Ajaran Jawa: Kearifan
dalam  Berdemokrasi   dalam  Mulyana,  Demokrasi  dalam  Budaya  Lokal
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005).





Menambah banyak teman sangatlah mudah dan cepat.
Undang teman dari Hotmail, Gmail ke Yahoo! Messenger sekarang!

hambociek

unread,
Mar 19, 2009, 5:12:30 PM3/19/09
to Rant...@googlegroups.com
Jan lupo jo Durian Kamang. Indak tahu ambo bilo musim durian. Namun bagi kami wakatu ketek-ketek, pai ka kamang ko cuma nan takana pai ka Ngalau KamAng dan pai mancari Dirian. Bukan sajo Durian nan banyak sian tapi juo Manggih nan manih-manih.

Sabanta ko dibukak pintu, tabaun durian, baru takana durian Thailand lah dibali 3 hari nan lalu, frozen, dilatakkan sajo di lua. Durian nan frozen indak babaun doh, tapi kalau lah diparanginkan agak duo hari ondeh maak baunnyo semerbaak. Dibbukak saruangan, ondeh gadang-gadang tigo isinyo, taba dagiangnyo, ketek-ketek inceknyo, digigik ciek tabanam sampai gigi sampai ka ureknyo ... lapeh lo taragak. Sudah tu simpan baliak salabiahno untuak bilo takana.

Rancak pulo manyimpanno. Durian Thailand ko dijua frozen, lah dikaruangkon jo jenjengan plastik babantuak tangguak. Mudah dijenjeng. Tangguak plastik ko dililikan baliak ka durian nan dirangkahi cako sahinggo rangkahannyo tatutuik karano tangguak-tangguak tu tasangkuik didurino, tatutuik, isi nan masih di dalam tapaliharo indak baranginlai. Indak tahu MakNgah kalau di Kampuang Awak lah ado jenjengan durian tangguak plastikko. Kok di Kampuang, jenjengan plastik ko pasti disimpan, digunokan untuak tangguak panangkok ikan... di banda-banda sawah, di tabek, batang aia, atau kalau di Kamang Mudiak tu di Tarusan...

Panorama Langkok? Itu iyo alun panah MakNgah mandanga. Rancak tudipromosikan, rancak dipeloki jalan ka sinan, sahnggo itu barangjali nan indak buliah lupo. Kalau pai ka Kamang, rancak itu di dahulukan mancaliaknyo sahinggo awak atau para pangunjuang dapek mangadokan survey area dan pemandangan geografis Kamang dan Agam Tuo sekitarnyo.

Kamang, yah Kamang, adolah sacaro historis marupokan historicak site, nan barulang dalam sedjarah. Nan tacatat dalamsejarah antarolain-lain, Parang Paderi, Parang Kamang 1908, Parang Kemerdekaan 1948-49, dan terakhir Parang PRRI, 1958-61.

Patang ko, akhia 2003, MakANgah sangajo pai ka Bangsa, rindu, maulang jajak; pai mancaliak Surau Bangsa nan dalam ingatan MakNgah sangat hisoris. Takana Pak Dahlan Djambek, Juni 1958 sasudah kami di Bukittinggi April 1958. Sayang Surau Bangsa nan dahulunyo balenggek duo, agak tasuruak di tapi bukik tu, indak ado lai. Sayang, sasudah tahun 1961, sasudah parang pun usai, namun Pak DD indak sato pulang, hilang indak tantu kubuanyo. Riwayat tragis mengenai kehilangan baliau masih tatap diselimuti kabuik kalam dalam lintasan Sejarah ...

Salam,
--MakNgah
Sjamsir Sjarif
--- In Rant...@yahoogroups.com, Irwan Setiawan <irwan_setiawan81@...> wrote:
>
> BERWISATA KE “NAGARI PAHLAWANâ€

> Oleh :Irwan Setiawan
>
> Perubahan cara kepemimpinan yang bersifat sentralistik ke sistem otonomi di Indonesia membawa dan melibatkan daerah-daerah untuk mampu memenuhi dan mencukupi keuangan masing-masing. Otonomi daerah juga memunculkan berbagai ide untuk pengembangan dan usaha memajukan daerah. Bagi daerah-daerah penghasil tambang, dan potensi kekayaan bumi lainnya akan lebih mudah mengatisipasi perubahan ini, karena mereka umumnya mampu memenuhi keuangan daerah sendiri. Tapi masalah akan terasa bagi daerah-daerah yang dasarnya memerlukan dana dari pemerintah pusat karena keterbatasan potensi kekayaan alam.
> Agam adalah salah satu Kabupaten di Sumatera Barat yang tak memiliki potensi tambang untuk skala besar. Tapi pada sebenarnya Agam mempunyai berbagai potensi wisata yang seharusnya bisa dikembangkan dan di promosikan untuk skala lokal, nasional bahkan internasional. Hal ini dapat dijadikan sebagai koreksi atas perkembangan dunia wisata Agam yang tertinggal dibanding Bukittinggi sebagai tetangga terdekatnya. Selama ini potensi wisata Agam lebih diarahkan ke daerah Maninjau dan sekitarnya dengan panorama danau dan keindahan alam di Puncak Lawang.
> Salah satu daerah wisata di Agam yang jarang disinggung dan masih kurang di promosikan adalah objek wisata di Nagari Kamang Mudiak. Sebagai sebuah nagari bersejarah, daerah ini sebenarnya adalah daerah yang menjanjikan untuk dunia wisata Kabupaten Agam. Dengan jarak sekitar 12 km dari Bukittinggi atau hanya memerlukan waktu perjalanan 20 menit dari Bukittinggi kita dapat langsung sampai di nagari yang unik ini.
> Dalam tinjauan historis Sumatera Barat tentu semua orang tahu tentang peristiwa Perang Paderi yang bergejolak tahun 1820-an sampai tahun 1830-an dan salah satu tokoh pentingnya adalah Tuanku Nan Renceh yang berdomisili di Jorong Bansa, Kamang Mudiak yang makamnya sampai sekarang masih terawat dengan baik. Peristiwa penting lain yang pernah terjadi adalah Perang Kamang yang meletus tahun 1908 dengan tokoh-tokoh pahlawan dari Kamang Mudiak dan Kamang Hilir. Perang Kamang sebagai sebuah usaha menentang tindak pemerasan oleh Kolonial Belanda yang terjadi dengan pemungutan pajak (blasting) yang memberatkan bagi masyarakat, perjuangan ini dipimpin oleh H. Abdul Manan yang berasal dari dusun Kampuang Budi, Pakan Sinayan. Untuk mengenangnya kita dapat melihat dan berziarah ke makam-makam para pahlawan tersebut di Jorong Pakan Sinayan, Kamang Mudiak.
> Selain menyajikan objek wisata sejarah, daerah Kamang Mudiak juga memberi pesona wisata alam yang semua objeknya dapat dilewati dalam satu rute perjalanan. Apabila kita datang ke Kamang Mudiak melewati jalur Bukittinggi, Pakan Kamis ,dan sampai di Pakan Sinayan, maka kita akan disambut oleh Tugu Perang Kamang 1908 di daerah Pakan Sinayan kemudian perjalanan dapat di lanjutkan ke Ngalau Tarang Batu Biaro di jorong yang sama. Ngalau Tarang adalah sebuah sebuah panorama goa yang terdapat di kaki bukit dengan pesona yang mengagumkan dengan stalagtit dan stalagmit yang terdapat di dalam gua. Masyarakat sekitar memahami tempat ini sebagai sebuah legenda yang dahulunya berasal dari sebuah kapal, kemudian dikutuk hingga menjadi batu. Tiap sudut gua disebut-sebut memiliki spesifikasi dan penamaan-penamaan batu tersendiri. Ada batu kaki menggantung, batu kepala raja, batu singa, batu gajah, batu buaya, batu kain bersusun, batu ibu menyesui. dan berbagai penamaan
> lainnya. Dibagian depan Ngalau Tarang Batu Biaro terdapat sebuah batu besar dan di lewati oleh sebuah bandar (sungai kecil).
> Setelah dari Jorong Pakan Sinayan, kita akan memasuki Jorong Bansa, disini kita dapat singgah ke makam Tuanku Nan Renceh sebagai pahlawan Perang Paderi. Kemudian perjalanan wisata akan memasuki Jorong Babukit dan Halalang. Disini kita bisa menikmati keidahan alam, yaitu terdapatnya sebuah danau mini yang disebut masyarakata dengan Tarusan. Tarusan dikelilingi oleh Bukit Barisan yang menambah pesona daerah yang asri. Bagi pecandu pancing ikan dapat langsung membawa pancingan atau kailnya. Kita bisa memancing dengan leluasa karena penduduk setempat menyediakan rakit yang dapat dipinjam untuk memancing dan kita tak perlu membayar retribusi untuk memancing. Berbagai jenis ikan air tawar terdapat di danau mini ini. Tapi ikan spesifik yang jarang ditemukan di daerah lain yaitu Pantau. Pantau merupakan ikan dengan ukuran tubuh yang kecil, tapi kalau dari rasa dan enaknya tak kan tertinggal dari rasa enak, gurih ikan-ikan air tawar lainnya.
> Keunikan dari Tarusan adalah airnya yang sering pasang-surut dalam waktu yang tak dapat diperhitungkan. Terkadang air Tarusan penuh dan terisi dengan ikan yang tak diketahui asalnya secara pasti. Dan dimasa berikutnya air Tarusan akan surut dan habis, hingga ikan-ikan biasanya tertinggal di taman-taman (kolam-kolam) yang dibuat penduduk sebagai penampung ikan disaat air surut. Kemudian di dalam Tarusan tersebut masyarakat sekitar akan bersawah hingga airnya terisi lagi.
> Melanjutkan perjalanan dari Jorong Halalang kita menelusuri kaki Bukit Barisan, sesampainya di daerah Jorong Kapecong dan Padang Kunyik kita juga dapat berhenti melepas lelah di bawah pohon-pohon di tepi jalan. Kita dapat melihat pemandangan yang indah di Panorama Lengkok. Lukisan alam yang dapat kita saksikan adalah aggun dan kokohnya Gunung Merapi dan Singgalang yang berdampingan dengan lantang dan jelas, serta dibagian bawah lereng bukit kita dapat menyaksikan padi nan menguning. Sebuah pemandangan yang mengagumkan.
> Dari Jorong Padang Kinyik wisatawan dapat melanjutkan perjalanan ke Jorong Durian yang menyediakan sebuah objek wisata Ngalau Kamang. Ngalau ini adalah sebuah goa yang curam, bila ditelusuri kita akan terbawa masuk kedalam perut Bukit Durian dengan panjang rute lebih kurang 1 km. Untuk masuk kedalam gua ini kita harus menggunakan penerangan yang lengkap karena gelapnya suasana di dalam ngalau. Bagi yang tidak membawa penerangan sendiri bisa meminjam lampu petromaks dari penduduk setempat dengan biaya ganti minyak Rp 10.000,-. Sesampai di dalam gua kita akan disuguhkan dengan bebatuan yang meneteskan air-air yang jernih. Disana sini kita bisa melihat stalagmit dan stalagtit beserta sebuah sungai kecil yang mengalir didalamnya yang menambah keindahan pesona Ngalau Kamang. Menurut tuturan sejarah masyarakat sekitar, goa ini pernah dijadikan tempat persembunyian para pejuang, bahkan dalam sebuah buku yang pernah penulis baca bahwa di Ngalau Kamang pernah
> ditemukan alat serpih yang merupakan peninggalan masyarakat Pra Sejarah Indonesia. Semua objek yang kita kunjungi tadi dapat didatangi tampa harus membayar retribusi.

> Begitulah sepintas perjalanan wisata yang bisa kita nikmati di Kamang Mudiak. Namun ada tips yang dapat penulis beri bila akan berwisata ke “Nagari Pahlawan†itu. Sebaiknya anda menggunakan transportasi pribadi baik motor maupun mobil karena bila menggunakan kendaraan pribadi anda akan mudah mencapai tempat-tempat menarik tadi dalam satu rute perjalanan. Dan objek-objek wisata tadi jaraknya pun tak jauh dari jalan-jalan kabupaten sehingga ketika anda meninggalkan kendaraan pribadi pasti akan tetap aman. Tips ini diberikan juga dikarenakan belum adanya mobil umum yang langsung mengitari Nagari kamang Mudiak, sehingga akan butuh waktu untuk melihat objek-objek tadi. Bagi yang pergi ke Kamang Mudiak dengan kendaraan umum dapat menaiki mobil K-01 yang ngetem di sekitar Pasar Bawah atau di Aur Kuning, Bukittinggi. Dan untuk mempermudah perjalanan di Kamang Mudiak kita juga bisa menggunakan jasa ojek yang mangkal di Pakan Sinayan, atau di jorong Durian.

IRWAN

unread,
Mar 22, 2009, 11:07:26 AM3/22/09
to RantauNet
Salam di udaro lah ciek dulu mak dang...
Assalamualaikum warahmatullahiwabaratu.
Kalau mandanga balasan makdang... takana wak jo abak. (ayah) di
kampung. baliau dari jorong Bansa (bukan bangsa) sato jo PRRI manjago
buya dahlan jambek yang mainda dari tentara pusat ka Bansa.
Banyak carito abak yang takana di wak jadi nyo.
Dulu pak dahlan jambek tu maandokan oto jeep di rumah enek (kalau kami
di keluarga mamanggia uci) wak mah makdang. tah kok tau makdang jo
abak wak (mahyuddin).
carito baliau wakatu PRRI tu dari kamang bajalan ka tapi bukik baputa
taruih ka gumarang-maninjau. Yooo lah seso...
kalau kalua rumahgai bahati-hati, biaso bajalan malam. kok indak di
tangkokk.
Tapi kalau bacarito tentang sejarah Kamang tu yo panjang juo yo
makdang... kalau wak selikki yo lah baurek baaka saja dari Parang
Kamang 1908. Juni tahun patang ado perayaan 100 tahun perang kamang.
Raun-raun lah makdang ka Kamang... jalan lah rancak.. dak mode tahun
60-an dulu lai doh.
Irwan Kamang- Manna: bengkulu selatan
On Mar 20, 4:12 am, "hambociek" <hamboc...@yahoo.com> wrote:
> Jan lupo jo Durian Kamang. Indak tahu ambo bilo musim durian. Namun bagi kami wakatu ketek-ketek, pai ka kamang ko cuma nan takana pai ka Ngalau KamAng dan pai mancari Dirian. Bukan sajo Durian nan banyak sian tapi juo Manggih nan manih-manih.
>
> Sabanta ko dibukak pintu, tabaun durian, baru takana durian Thailand lah dibali 3 hari nan lalu, frozen, dilatakkan sajo di lua. Durian nan frozen indak babaun doh, tapi kalau lah diparanginkan agak duo hari ondeh maak baunnyo semerbaak. Dibbukak saruangan, ondeh gadang-gadang tigo isinyo, taba dagiangnyo, ketek-ketek inceknyo, digigik ciek tabanam sampai gigi sampai ka ureknyo ... lapeh lo taragak. Sudah tu simpan baliak salabiahno untuak bilo takana.
>
> Rancak pulo manyimpanno. Durian Thailand ko dijua frozen, lah dikaruangkon jo jenjengan plastik babantuak tangguak. Mudah dijenjeng. Tangguak plastik ko dililikan baliak ka durian nan dirangkahi cako sahinggo rangkahannyo tatutuik karano tangguak-tangguak tu tasangkuik didurino, tatutuik, isi nan  masih di dalam tapaliharo indak baranginlai. Indak tahu MakNgah kalau di Kampuang Awak lah ado jenjengan durian tangguak plastikko. Kok di Kampuang, jenjengan plastik ko pasti disimpan, digunokan untuak tangguak panangkok ikan... di banda-banda sawah, di tabek, batang aia, atau kalau di Kamang Mudiak tu di Tarusan...
>
> Panorama Langkok? Itu iyo alun panah MakNgah mandanga. Rancak tudipromosikan, rancak dipeloki jalan ka sinan, sahnggo itu barangjali nan indak buliah lupo. Kalau pai ka Kamang, rancak itu di dahulukan mancaliaknyo sahinggo awak atau para pangunjuang dapek mangadokan survey area dan pemandangan geografis Kamang dan Agam Tuo sekitarnyo.
>
> Kamang, yah Kamang, adolah sacaro historis marupokan historicak site, nan barulang dalam sedjarah. Nan tacatat dalamsejarah antarolain-lain, Parang Paderi, Parang Kamang 1908, Parang Kemerdekaan 1948-49, dan terakhir Parang PRRI, 1958-61.
>
> Patang ko, akhia 2003, MakANgah sangajo pai ka Bangsa, rindu,  maulang jajak; pai mancaliak Surau Bangsa nan dalam ingatan MakNgah sangat hisoris. Takana Pak Dahlan Djambek, Juni 1958 sasudah kami di Bukittinggi April 1958. Sayang Surau Bangsa nan dahulunyo balenggek duo, agak tasuruak di tapi bukik tu, indak ado lai. Sayang, sasudah tahun 1961, sasudah parang pun usai, namun Pak DD indak sato pulang, hilang indak tantu kubuanyo. Riwayat tragis mengenai kehilangan baliau masih tatap diselimuti kabuik kalam dalam lintasan Sejarah ...
>
> Salam,
> --MakNgah
> Sjamsir Sjarif
> --- In Rantau...@yahoogroups.com, Irwan Setiawan <irwan_setiawan81@...> wrote:
>
>
>
>
>
> > BERWISATA KE “NAGARI PAHLAWAN”
> > Oleh :Irwan Setiawan
>
> > Perubahan cara kepemimpinan yang bersifat sentralistik ke sistem otonomi di Indonesia membawa dan melibatkan daerah-daerah untuk mampu memenuhi dan mencukupi keuangan masing-masing. Otonomi daerah juga memunculkan berbagai ide untuk pengembangan dan usaha memajukan daerah. Bagi daerah-daerah penghasil tambang, dan potensi kekayaan bumi lainnya akan lebih mudah mengatisipasi perubahan ini, karena mereka umumnya mampu memenuhi keuangan daerah sendiri. Tapi masalah akan terasa bagi daerah-daerah yang dasarnya memerlukan dana dari pemerintah pusat karena keterbatasan potensi kekayaan alam.
> > Agam adalah salah satu Kabupaten di Sumatera Barat yang tak memiliki potensi tambang untuk skala besar. Tapi pada sebenarnya Agam mempunyai berbagai potensi wisata yang seharusnya bisa dikembangkan dan di promosikan untuk skala lokal, nasional bahkan internasional. Hal ini dapat dijadikan sebagai koreksi atas perkembangan dunia wisata Agam yang tertinggal dibanding Bukittinggi sebagai tetangga terdekatnya. Selama ini potensi wisata Agam lebih diarahkan ke daerah Maninjau dan sekitarnya dengan panorama danau dan keindahan alam di Puncak Lawang.
> > Salah satu daerah wisata di Agam yang jarang disinggung dan masih kurang di promosikan adalah objek wisata di Nagari Kamang Mudiak. Sebagai sebuah nagari bersejarah, daerah ini sebenarnya adalah daerah yang menjanjikan untuk dunia wisata Kabupaten Agam. Dengan jarak sekitar 12 km dari Bukittinggi atau hanya memerlukan waktu perjalanan 20 menit dari Bukittinggi kita dapat langsung sampai di nagari yang unik ini.
> > Dalam tinjauan historis Sumatera Barat tentu semua orang tahu tentang peristiwa Perang Paderi yang bergejolak tahun 1820-an sampai tahun 1830-an dan salah satu tokoh pentingnya adalah Tuanku Nan Renceh yang berdomisili di Jorong Bansa, Kamang Mudiak yang makamnya sampai sekarang masih terawat dengan baik. Peristiwa penting lain yang pernah terjadi adalah Perang Kamang yang meletus tahun 1908 dengan tokoh-tokoh pahlawan dari Kamang Mudiak dan Kamang Hilir. Perang Kamang sebagai sebuah usaha menentang tindak pemerasan oleh Kolonial Belanda yang terjadi dengan pemungutan pajak (blasting) yang memberatkan bagi masyarakat, perjuangan ini dipimpin oleh H. Abdul Manan yang berasal dari dusun Kampuang Budi, Pakan Sinayan. Untuk mengenangnya kita dapat melihat dan berziarah ke makam-makam para pahlawan tersebut di Jorong Pakan Sinayan, Kamang Mudiak.
> > Selain menyajikan objek wisata sejarah, daerah Kamang Mudiak juga memberi pesona wisata alam yang semua objeknya dapat dilewati dalam satu rute perjalanan. Apabila kita datang ke Kamang Mudiak melewati jalur Bukittinggi, Pakan Kamis ,dan sampai di Pakan Sinayan, maka kita akan disambut oleh Tugu Perang Kamang 1908 di daerah Pakan Sinayan kemudian perjalanan dapat di lanjutkan ke Ngalau Tarang Batu Biaro di jorong yang sama. Ngalau Tarang adalah sebuah sebuah panorama goa yang terdapat di kaki bukit dengan pesona yang mengagumkan dengan stalagtit dan stalagmit yang terdapat di dalam gua. Masyarakat sekitar memahami tempat ini sebagai sebuah legenda yang dahulunya berasal dari sebuah kapal, kemudian dikutuk hingga menjadi batu. Tiap sudut gua disebut-sebut memiliki spesifikasi dan penamaan-penamaan batu tersendiri. Ada batu kaki menggantung, batu kepala raja, batu singa, batu gajah, batu buaya, batu kain bersusun, batu ibu menyesui. dan berbagai penamaan
> >  lainnya. Dibagian depan Ngalau Tarang Batu Biaro terdapat sebuah batu besar dan di lewati oleh sebuah bandar (sungai kecil).
> > Setelah dari Jorong Pakan Sinayan, kita akan memasuki Jorong Bansa, disini kita dapat singgah ke makam Tuanku Nan Renceh sebagai pahlawan Perang Paderi. Kemudian perjalanan wisata akan memasuki Jorong Babukit dan Halalang. Disini kita bisa menikmati keidahan alam, yaitu terdapatnya sebuah danau mini yang disebut masyarakata dengan Tarusan. Tarusan dikelilingi oleh Bukit Barisan yang menambah pesona daerah yang asri. Bagi pecandu pancing ikan dapat langsung membawa pancingan atau kailnya. Kita bisa memancing dengan leluasa karena penduduk setempat menyediakan rakit yang dapat dipinjam untuk memancing dan kita tak perlu membayar retribusi untuk memancing. Berbagai jenis ikan air tawar terdapat di danau mini ini. Tapi ikan spesifik yang jarang ditemukan di daerah lain yaitu Pantau. Pantau merupakan ikan dengan ukuran tubuh yang kecil, tapi kalau dari rasa dan enaknya tak kan tertinggal dari rasa enak, gurih ikan-ikan air tawar lainnya.
> > Keunikan dari Tarusan adalah airnya yang sering pasang-surut dalam waktu yang tak dapat diperhitungkan. Terkadang air Tarusan penuh dan terisi dengan ikan yang tak diketahui asalnya secara pasti. Dan dimasa berikutnya air Tarusan akan surut dan habis, hingga ikan-ikan biasanya tertinggal di taman-taman (kolam-kolam) yang dibuat penduduk sebagai penampung ikan disaat air surut. Kemudian di dalam Tarusan tersebut masyarakat sekitar akan bersawah hingga airnya terisi lagi.
> > Melanjutkan perjalanan dari Jorong Halalang kita menelusuri kaki Bukit Barisan, sesampainya di daerah Jorong Kapecong dan Padang Kunyik kita juga dapat berhenti melepas lelah di bawah pohon-pohon di tepi jalan. Kita dapat melihat pemandangan yang indah di Panorama Lengkok. Lukisan alam yang dapat kita saksikan adalah aggun dan kokohnya Gunung Merapi dan Singgalang yang berdampingan dengan lantang dan jelas, serta dibagian bawah lereng bukit kita dapat menyaksikan padi nan menguning. Sebuah pemandangan yang mengagumkan.
> > Dari Jorong Padang Kinyik wisatawan dapat melanjutkan perjalanan ke Jorong Durian yang menyediakan sebuah objek wisata Ngalau Kamang. Ngalau ini adalah sebuah goa yang curam, bila ditelusuri kita akan terbawa masuk kedalam perut Bukit Durian dengan panjang rute lebih kurang 1 km. Untuk masuk kedalam gua ini kita harus menggunakan penerangan yang lengkap karena gelapnya suasana di dalam ngalau. Bagi yang tidak membawa penerangan sendiri bisa meminjam lampu petromaks dari penduduk setempat dengan biaya ganti minyak Rp 10.000,-. Sesampai di dalam gua kita akan disuguhkan dengan bebatuan yang meneteskan air-air yang jernih. Disana sini kita bisa melihat stalagmit dan stalagtit beserta sebuah sungai kecil yang mengalir didalamnya yang menambah keindahan pesona Ngalau Kamang. Menurut tuturan sejarah masyarakat sekitar, goa ini pernah dijadikan tempat persembunyian para pejuang, bahkan dalam sebuah buku yang pernah penulis baca bahwa di Ngalau Kamang pernah
> >  ditemukan alat serpih yang merupakan peninggalan masyarakat Pra Sejarah Indonesia. Semua objek yang kita kunjungi tadi dapat didatangi tampa harus membayar retribusi.
> > Begitulah sepintas perjalanan wisata yang bisa kita nikmati di Kamang Mudiak. Namun ada tips yang dapat penulis beri bila akan berwisata ke “Nagari Pahlawan” itu. Sebaiknya anda menggunakan transportasi pribadi baik motor maupun mobil karena bila menggunakan kendaraan pribadi anda akan mudah mencapai tempat-tempat menarik tadi dalam satu rute perjalanan. Dan objek-objek wisata tadi jaraknya pun tak jauh dari jalan-jalan kabupaten sehingga ketika anda meninggalkan kendaraan pribadi pasti akan tetap aman. Tips ini diberikan juga dikarenakan belum adanya mobil umum yang langsung mengitari Nagari kamang Mudiak, sehingga akan butuh waktu untuk melihat objek-objek tadi. Bagi yang pergi ke Kamang Mudiak dengan kendaraan umum dapat menaiki mobil K-01 yang ngetem di
>
> ...
>
> read more »- Hide quoted text -
>
> - Show quoted text -
Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages