BERWISATA KE “NAGARI PAHLAWAN” Oleh :Irwan Setiawan
Perubahan cara kepemimpinan yang bersifat sentralistik ke sistem otonomi di Indonesia membawa dan melibatkan daerah-daerah untuk mampu memenuhi dan mencukupi keuangan masing-masing. Otonomi daerah juga memunculkan berbagai ide untuk pengembangan dan usaha memajukan daerah. Bagi daerah-daerah penghasil tambang, dan potensi kekayaan bumi lainnya akan lebih mudah mengatisipasi perubahan ini, karena mereka umumnya mampu memenuhi keuangan daerah sendiri. Tapi masalah akan terasa bagi daerah-daerah yang dasarnya memerlukan dana dari pemerintah pusat karena keterbatasan potensi kekayaan alam. Agam adalah salah satu Kabupaten di Sumatera Barat yang tak memiliki potensi tambang untuk skala besar. Tapi pada sebenarnya Agam mempunyai berbagai potensi wisata yang seharusnya bisa dikembangkan dan di
promosikan untuk skala lokal, nasional bahkan internasional. Hal ini dapat dijadikan sebagai koreksi atas perkembangan dunia wisata Agam yang tertinggal dibanding Bukittinggi sebagai tetangga terdekatnya. Selama ini potensi wisata Agam lebih diarahkan ke daerah Maninjau dan sekitarnya dengan panorama danau dan keindahan alam di Puncak Lawang. Salah satu daerah wisata di Agam yang jarang disinggung dan masih kurang di promosikan adalah objek wisata di Nagari Kamang Mudiak. Sebagai sebuah nagari bersejarah, daerah ini sebenarnya adalah daerah yang menjanjikan untuk dunia wisata Kabupaten Agam. Dengan jarak sekitar 12 km dari Bukittinggi atau hanya memerlukan waktu perjalanan 20 menit dari Bukittinggi kita dapat langsung sampai di nagari yang unik ini. Dalam tinjauan historis Sumatera Barat tentu semua orang tahu tentang peristiwa Perang Paderi yang bergejolak tahun 1820-an sampai tahun 1830-an dan salah satu tokoh pentingnya adalah Tuanku Nan Renceh
yang berdomisili di Jorong Bansa, Kamang Mudiak yang makamnya sampai sekarang masih terawat dengan baik. Peristiwa penting lain yang pernah terjadi adalah Perang Kamang yang meletus tahun 1908 dengan tokoh-tokoh pahlawan dari Kamang Mudiak dan Kamang Hilir. Perang Kamang sebagai sebuah usaha menentang tindak pemerasan oleh Kolonial Belanda yang terjadi dengan pemungutan pajak (blasting) yang memberatkan bagi masyarakat, perjuangan ini dipimpin oleh H. Abdul Manan yang berasal dari dusun Kampuang Budi, Pakan Sinayan. Untuk mengenangnya kita dapat melihat dan berziarah ke makam-makam para pahlawan tersebut di Jorong Pakan Sinayan, Kamang Mudiak. Selain menyajikan objek wisata sejarah, daerah Kamang Mudiak juga memberi pesona wisata alam yang semua objeknya dapat dilewati dalam satu rute perjalanan. Apabila kita datang ke Kamang Mudiak melewati jalur Bukittinggi, Pakan Kamis ,dan sampai di Pakan Sinayan, maka kita akan disambut oleh Tugu Perang Kamang
1908 di daerah Pakan Sinayan kemudian perjalanan dapat di lanjutkan ke Ngalau Tarang Batu Biaro di jorong yang sama. Ngalau Tarang adalah sebuah sebuah panorama goa yang terdapat di kaki bukit dengan pesona yang mengagumkan dengan stalagtit dan stalagmit yang terdapat di dalam gua. Masyarakat sekitar memahami tempat ini sebagai sebuah legenda yang dahulunya berasal dari sebuah kapal, kemudian dikutuk hingga menjadi batu. Tiap sudut gua disebut-sebut memiliki spesifikasi dan penamaan-penamaan batu tersendiri. Ada batu kaki menggantung, batu kepala raja, batu singa, batu gajah, batu buaya, batu kain bersusun, batu ibu menyesui. dan berbagai penamaan lainnya. Dibagian depan Ngalau Tarang Batu Biaro terdapat sebuah batu besar dan di lewati oleh sebuah bandar (sungai kecil). Setelah dari Jorong Pakan Sinayan, kita akan memasuki Jorong Bansa, disini kita dapat singgah ke makam Tuanku Nan Renceh sebagai pahlawan Perang Paderi. Kemudian perjalanan wisata
akan memasuki Jorong Babukit dan Halalang. Disini kita bisa menikmati keidahan alam, yaitu terdapatnya sebuah danau mini yang disebut masyarakata dengan Tarusan. Tarusan dikelilingi oleh Bukit Barisan yang menambah pesona daerah yang asri. Bagi pecandu pancing ikan dapat langsung membawa pancingan atau kailnya. Kita bisa memancing dengan leluasa karena penduduk setempat menyediakan rakit yang dapat dipinjam untuk memancing dan kita tak perlu membayar retribusi untuk memancing. Berbagai jenis ikan air tawar terdapat di danau mini ini. Tapi ikan spesifik yang jarang ditemukan di daerah lain yaitu Pantau. Pantau merupakan ikan dengan ukuran tubuh yang kecil, tapi kalau dari rasa dan enaknya tak kan tertinggal dari rasa enak, gurih ikan-ikan air tawar lainnya. Keunikan dari Tarusan adalah airnya yang sering pasang-surut dalam waktu yang tak dapat diperhitungkan. Terkadang air Tarusan penuh dan terisi dengan ikan yang tak diketahui asalnya secara pasti.
Dan dimasa berikutnya air Tarusan akan surut dan habis, hingga ikan-ikan biasanya tertinggal di taman-taman (kolam-kolam) yang dibuat penduduk sebagai penampung ikan disaat air surut. Kemudian di dalam Tarusan tersebut masyarakat sekitar akan bersawah hingga airnya terisi lagi. Melanjutkan perjalanan dari Jorong Halalang kita menelusuri kaki Bukit Barisan, sesampainya di daerah Jorong Kapecong dan Padang Kunyik kita juga dapat berhenti melepas lelah di bawah pohon-pohon di tepi jalan. Kita dapat melihat pemandangan yang indah di Panorama Lengkok. Lukisan alam yang dapat kita saksikan adalah aggun dan kokohnya Gunung Merapi dan Singgalang yang berdampingan dengan lantang dan jelas, serta dibagian bawah lereng bukit kita dapat menyaksikan padi nan menguning. Sebuah pemandangan yang mengagumkan. Dari Jorong Padang Kinyik wisatawan dapat melanjutkan perjalanan ke Jorong Durian yang menyediakan sebuah objek wisata Ngalau Kamang. Ngalau ini adalah
sebuah goa yang curam, bila ditelusuri kita akan terbawa masuk kedalam perut Bukit Durian dengan panjang rute lebih kurang 1 km. Untuk masuk kedalam gua ini kita harus menggunakan penerangan yang lengkap karena gelapnya suasana di dalam ngalau. Bagi yang tidak membawa penerangan sendiri bisa meminjam lampu petromaks dari penduduk setempat dengan biaya ganti minyak Rp 10.000,-. Sesampai di dalam gua kita akan disuguhkan dengan bebatuan yang meneteskan air-air yang jernih. Disana sini kita bisa melihat stalagmit dan stalagtit beserta sebuah sungai kecil yang mengalir didalamnya yang menambah keindahan pesona Ngalau Kamang. Menurut tuturan sejarah masyarakat sekitar, goa ini pernah dijadikan tempat persembunyian para pejuang, bahkan dalam sebuah buku yang pernah penulis baca bahwa di Ngalau Kamang pernah ditemukan alat serpih yang merupakan peninggalan masyarakat Pra Sejarah Indonesia. Semua objek yang kita kunjungi tadi dapat didatangi tampa harus
membayar retribusi. Begitulah sepintas perjalanan wisata yang bisa kita nikmati di Kamang Mudiak. Namun ada tips yang dapat penulis beri bila akan berwisata ke “Nagari Pahlawan” itu. Sebaiknya anda menggunakan transportasi pribadi baik motor maupun mobil karena bila menggunakan kendaraan pribadi anda akan mudah mencapai tempat-tempat menarik tadi dalam satu rute perjalanan. Dan objek-objek wisata tadi jaraknya pun tak jauh dari jalan-jalan kabupaten sehingga ketika anda meninggalkan kendaraan pribadi pasti akan tetap aman. Tips ini diberikan juga dikarenakan belum adanya mobil umum yang langsung mengitari Nagari kamang Mudiak, sehingga akan butuh waktu untuk melihat objek-objek tadi. Bagi yang pergi ke Kamang Mudiak dengan kendaraan umum dapat menaiki mobil K-01 yang ngetem di sekitar Pasar Bawah atau di Aur Kuning, Bukittinggi. Dan untuk mempermudah perjalanan di Kamang Mudiak kita juga bisa menggunakan jasa ojek yang mangkal di Pakan Sinayan,
atau di jorong Durian. Dan jangan lupa membawa kamera karena kalau sampai terlupakan kita tak bisa mengabadikan perjalanan menarik ini. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi seperti makan, makanan ringan dan minuman anda tak perlu cemas karena di daerah ini anda dapat menukan warung-wurung yang bisa memenuhi kebutuhan tersebut. Kedatangan anda di Kamang Mudiak akan makin menarik bila kita berkunjung di hari Senin atau Jumat, karena di hari itu akan ada pasar (hari balai). Dengan menu makanan di pasar seperti katupek (ketupat), cindua (cendol), dan makanan tradisional lainnya. Setelah kita melewatkan hari di Kamang Mudiak, anda dapat membawa oleh-oleh berupa karupuak kamang (Kerupuk Kamang) yang dibuat masyarakat setempat. Kerupuk ini dapat dibeli langsung ke rumah-rumah pembuatnya atau di beli di sekitar Pakan Sinayan. Saat membelinya kerupuk ini masih dalam keadaan mentah, sehingga sesampainya dirumah kita dapat langsung menggoreng dan menyantapnya
bersama keluarga. Kriuk,,,kriuk dan gurihnya akan terus lengket dilidah. Hal ini menjadikan perjalanan wisata kita akan makin berkesan. BUKIT BARISAN Rute wisata Kamang Mudiak 6 ket: 1. Tugu Perang kamang 7 5 2. Ngalau Tarang 2 3. Makam pahlawan perang kamang 4 2 4. Makam Tuanku Nan renceh 3 11 5. Tarusan. 1 6. Panorama Lengkok 7. Ngalau kamang.
--- Pada Kam, 19/3/09, Andrinof A Chaniago <andr...@gmail.com> menulis:
Dari: Andrinof A Chaniago <andr...@gmail.com> Topik: [R@ntau-Net] Re: Demokrasi Minang : SELAMAT UNTUK ISRAR Kepada: Rant...@googlegroups.com Tanggal: Kamis, 19 Maret, 2009, 7:24 PM
Besok, Jum'at, Israr ke Yogya untuk menerima penghargaan sebagai pemenang ketiga penulisan esei Melayuonline. Israr menulis ttg "Perempuan dan Mitos Demokrasi Minang". Selamat, Is. Maju taruih.
Andrinof A.Chaniago
2009/3/18 Arnoldison <arn...@spij.co.id>
Demokrasi Minang : Upaya Menggeser Mitos Menjadi Realitas
Oleh: Israr Iskandar Pendahuluan
Dalam pengetahuan antropologis, Minangkabau termasuk suku bangsa yang serumpun dengan suku-suku bangsa Melayu lainnya di Nusantara. Hal itu bisa dilihat dari segi adanya beberapa kesamaan dalam rumpun bahasa, budaya, ras, dan agama. [1] Namun dalam segi-segi tertentu, orang Minangkabau memandang dirinya memiliki kekhususan atau berbeda dengan masyarakat suku bangsa lainnya. Salah satunya adalah dari aspek budaya politik yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Minang.
Sejak lama, Minangkabau dikenal sebagai suku bangsa yang memiliki khazanah budaya yang ekuivalen dengan
nilai-nilai demokrasi. Cendekiawan non-Minang, seperti Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, pernah mengafirmasi adanya demokrasi Minang . Faktor penyebab munculnya persepsi itu adalah realitas kondisi sosiologis-kultural Minangkabau, model proses politik lokal yang berlangsung, serta peran tokoh-tokoh asal Minang dalam proses pembentukan negara-bangsa Indonesia di masa lalu.
Jamak diketahui, demokrasi adalah konsep berasal dari Yunani kuno. Namun sejak Revolusi Prancis (1789), demokrasi berkembang menjadi sebuah konsep modern dan kompleks. Sekalipun sebagai suatu perangkat yang kompleks, logika yang diekspresikan oleh demokrasi modern mengandung prinsip-prinsip mendasar,
yaitu adanya unsur kedaulatan rakyat, pemerintahan mayoritas, perlindungan minoritas, kemerdekaan yang dijamin Undang-undang (UU), partisipasi warga, persamaan hak, dan sebagainya. [2] (Minogue dalam Kuper dan Kuper, 2000: 215).
Walaupun dikaitkan dengan penyelenggaraan pemerintahan yang baik atau sistem politik yang ideal dan bahkan nyaris sempurna , akan tetapi demokrasi sebenarnya juga terkait dengan gaya hidup serta tata masyarakat tertentu yang mengandung unsur-unsur moral. Oleh karena itu, demokrasi juga mengandung nilai-nilai (values) tertentu yang dianggap baik oleh masyarakat. Menurut Henry B Mayo, demokrasi mencakup beberapa norma atau nilai, yaitu: penyelesaian perselisihan secara
damai dan melembaga; terjadinya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah; pergantian kepemimpinan secara teratur (reguler); pembatasan pemakaian kekerasan (paksaan) secara minimum; pengakuan dan penghormatan atas keanekaragaman; serta jaminan penegakan keadilan. [3]
Demokrasi dalam Khazanah Budaya Lokal Jika merujuk pada pengertian demokrasi modern di atas, sebagai bagian dari kebudayaan Melayu, budaya Minangkabau nampaknya memiliki sejumlah nilai-nilai yang cocok dan sebanding dengan nilai-nilai demokrasi. Secara kultural, hal itu antara lain dapat ditelusuri melalui akar-akarnya dalam kearifan tradisional yang berupa ungkapan dan pepatah-petitih lama, baik yang terdapat dalam tambo
(kisah-kisah sejarah etnik Minangkabau) maupun masyarakat.
Nilai-nilai keterbukaan dan kesamaan (egaliterianisme), umpamanya, tercermin dalam pepatah duduak samo randah tagak samo tinggi (duduk sama rendah berdiri sama tinggi). Walaupun secara formal punya kedudukan lebih tinggi, tapi posisi pemimpin tidak terlalu berjarak dengan masyarakat. Dalam filosofi budaya Minangkabau (etnik mayoritas di Sumatra Barat) [4] , pemimpin itu tak dapat memainkan peran sebagai raja, sultan, atau kaisar. Ia hanya diberikan kedudukan sedikit saja lebih tinggi dari rakyat biasa, seperti tercermin dalam ungkapan tradisional ditinggikan sarantiang didaulukan selangkah (ditinggikan seranting didahulukan selangkah). Konsekuensi politisnya,
kalau pemimpin berlaku sewenang-wenang atau tidak aspiratif, maka rakyat atau lembaga perwakilan rakyat boleh membantah dan bahkan menggantinya dengan pemimpin yang dianggap lebih baik. [5]
Pada aras sosial, nilai-nilai egaliterianisme itu terlihat dari kehidupan sosial Minangkabau. Walaupun pernah dipengaruhi budaya Hindu, tidak ada kelas sosial dalam masyarakat Minang. Seperti dikatakan Loeb, Tidak seperti orang Batak, orang Minangkabau tidak begitu mementingkan klasifikasi sosial. Sesungguhnya, sebelum pengaruh Hindu, tampaknya tidak ada perbedaan antarindividu, kecuali mengenai umur. [6] Sampai sekarang pun di Minangkabau tidak ada perbedaan kepemilikan tanah, seperti di Jawa. Masyarakat
Minangkabau pun tidak mengenal golongan bangsawan yang berpengaruh luas pada tingkat supra-nagari, seperti halnya Bali. [7]
Nilai-nilai kesamaan dalam budaya Minangkabau tidak didasarkan pada filsafat liberalisme yang ekstrem. Budaya lokal menjunjung tinggi etika dalam hubungan sosial. Penghormatan pada (hak) sesama, sebagai bagian dari nilai demokrasi, juga tercermin dalam ungkapan nan ketek dilindungi, nan tuo dihormati, nan samo gadang dipatenggangkan (yang kecil dilindungi, yang lebih besar dihormati, yang sama besar dihormati). Budayawan A.A. Navis menyebut masyarakat Minangkabau, selain rasional dan kosmopolit, juga komunal. Semua karakter itu agaknya lebih
dipengaruhi oleh Islam yang ajarannya yang memang bernilai kosmopolit, egaliter, dan rasional. [8]
Sebagai wujud egaliterianisme, budaya Minang tidak alergi terhadap perbedaan pendapat, karena hal itu bagian dari dinamika sosial. Perbedaan pendapat, kalau dikelola dengan baik, justru dapat memicu kemajuan. Nilai semacam itu tercermin dalam ungkapan basilang kayu dalam tungku mako api ka hiduik (bersilang kayu dalam tungku maka api akan hidup). Namun demikian, solusi atas perbedaan pendapat sedapat mungkin dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, seperti disebut dalam ungkapan bulek aia dek pambuluah bulek kato dek mufakaik (bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat).
Tradisi musyawarah mufakat ini jelas mengandung nilai-nilai demokrasi dan telah berlangsung sejak berabad-abad. Di tingkat masyarakat, tradisi itu terlembaga misalnya dalam wujud kerapatan nagari. [9]
Dalam budaya sosial Minang, sekilas terlihat adanya hierarki, namun tidak sama dengan hierarkisme masyarakat feodal pada umumnya. Ada ungkapan anak barajo ka mamak, mamak barajo ke panghulu, panghulu baja ka Nan Bana, Nan Bana berdiri dengan Sendirinyo (anak beraja ke mamak, mamak beraja ke penghulu, penghulu beraja ke Yang Benar, Yang Benar berdiri dengan Sendirinya). Ungkapan ini jelas perumpamaan belaka. Walaupun anak harus patuh ke mamak, bukan berarti mamak bisa sewenang-wenang. Etika serupa juga mesti
berlaku bagi penghulu, sebagai pemimpin tradisional. Tidak ada orang kebal kritik dan kontrol: Raja alim raja disembah raja lalim raja disanggah (raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah). Ini menunjukkan, kebenaran manusia relatif. Kebenaran mutlak hanyalah milik Sang Maha Pencipta, yakni Allah SWT.
Budaya Minangkabau juga sangat adaptif dengan kemajuan. Ada ungkapan, sekalie aie gadang, sakali tapian beraliah (sekali air besar, sekali tepian beralih). Tak heran, budaya Minangkabau sangat adaptif terhadap nilai-nilai baru, asal nilai-nilai baru itu membawa kemajuan bagi masyarakat. Kapan perlu nilai-nilai baru yang baik itu dicari ke luar, melalui proses menuntut ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tradisi merantau orang Minang
tidak hanya dilatarbelakangi motif ekonomi, tetapi juga ilmu pengetahuan. Ini tercermin dalam ungkapan yang bergaya pantun, karatau madang dahulu, babuah babungo balun, ka rantau bujang dahulu, di rumah paguno balun (karatau madang dahulu, berbuah berbunga belum, ke rantau bujang dahulu, di rumah berguna belum).
Tidak hanya dalam ungkapan tradisional, nilai-nilai demokrasi dan kemajuan juga tercermin dalam struktur politik maupun proses politik lokal. Secara historis-politis, Minangkabau sendiri adalah sebuah konsep tentang kerajaan yang barangkali tidak sama dengan kerajaan di tempat-tempat lain. Di suku bangsa ini, unit politik tertinggi justru ada di nagari. Orang Minangkabau pada masa dahulu
mempunyai kesetiaan pada nagari-nya sendiri. Raja di Pagaruyung selain tidak punya wilayah kekuasaan yang jelas dan tegas, juga tidak berdaulat atas nagari-nagari, sebagai unit pemerintahan sekaligus kesatuan masyarakat hukum adat. Dalam khazanah sejarah Minangkabau, posisi raja di Pagaruyung hanyalah simbolik belaka. [10] Di samping itu, dia juga tidak memiliki tanah luas. Tak heran, seorang peneliti asing, G.D. Willick mengatakan bahwa raja Minangkabau adalah raja yang paling miskin yang dikenal di dunia . [11]
Dalam perkembangannya, secara administratif, nagari berada di bawah yurisdiksi pemerintahan formal, baik yang berlaku pada masa kolonial maupun negara Republik Indonesia. Nagari merupakan unit pemerintahan terendah dari
suatu hierarki struktur pemerintahan nasional di Sumatra Barat. Sementara secara kultural, nagari-nagari punya kedaulatan sendiri-sendiri dan oleh karena itu mereka tidak harus tunduk pada raja Pagaruyung, yang merupakan penguasa alam Minangkabau . Tak pelak, kesatuan nagari-nagari di Minangkabau seolah-olah membentuk sebuah konfederasi . Ada juga yang menyebut nagari-nagari di Minangkabau seperti republik-republik kecil . [12]
Proses politik di nagari, juga cukup demokratis. Wali nagari dipilih langsung oleh rakyat, jauh sebelum pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung dewasa ini. Model pemilihan langsung wali nagari ini tentu, dalam beberapa segi, telah sesuai
kaidah-kaidah demokrasi modern seperti lazimnya di negara-negara demokrasi maju. Kontrol atas jalannya pemerintahan (eksekutif) di nagari tidak hanya diperankan oleh legislatif dan yudikatif nagari, tetapi juga langsung oleh rakyat, sebagai wujud partisipasi politik.
Konstruksi historis politis bangsa Indonesia ikut memperkuat mitos demokrasi Minang. Di masa lalu, puak Minang melahirkan sejumlah tokoh yang ikut meletakkan dasar-dasar konseptual bagi negara Indonesia modern dan demokratis. Nama-nama seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, Tan Malaka, dan beberapa lainnya dikenal sebagai tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan RI yang gandrung pada ide-ide demokrasi. Mungkin
pemikiran-pemikiran demokrasi yang mereka perjuangkan adalah hasil adopsi pemikiran dari Barat, tetapi sulit dibantah bahwa kebudayaan tempat mereka berasal, Minangkabau, ikut mengonstruksi dasar-dasar pemikiran mereka.
Realitas Sosial Politik dan Sosial Budaya Konstruksi ideal masyarakat politik Minangkabau tersebut tak selalu berjalan dalam realitas yang sesungguhnya. Tidak terimplementasikannya nilai-nilai demokrasi, termasuk di tingkat nagari dan masyarakat, disebabkan karena banyak faktor, tetapi dua yang utama adalah sistem kekuasaan nasional dan kenyataan ambivalensi sosial kultural Minangkabau sendiri. Sekalipun kaum cerdik pandainya berkontribusi besar bagi pembentukan negara bangsa
modern, tetapi dinamika dan sistem politik nasional yang berkembang, khususnya sejak masa rezim Orde Baru, ikut menggerus nilai-nilai budaya demokrasi lokal di Minangkabau, khususnya di nagari.
Pada masa Orde Baru, seluruh organ suprastruktur politik lokal diatur secara terpusat dan seragam tanpa mengindahkan heterogenitas sistem politik lokal yang telah eksis jauh sebelum terbentuknya konsep kebangsaan Indonesia. Nagari yang tadinya berdaulat dan bergerak dalam sistem yang demokratis dan otonom, [13] dihapus lalu digantikan dengan sistem pemerintahan desa, suatu konsep pemerintahan yang diadopsi dari Jawa. Terbitnya Undang Undang No 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Desa menjadi salah satu tanda bahwa sistem
sentralistik makin menggejala di bawah rezim Soeharto. Penyeragaman sistem pemerintahan di tingkat paling bawah membuat nagari-nagari mengalami pemecahan. Sistem terpusat ini telah menghancurkan institusi tradisional di tingkat lokal yang sudah ada beratus tahun lamanya. [14]
Politik sentralisasi Orde Baru bahkan berdampak lebih jauh. Sistem terpusat tak hanya mengubah sistem dan bentuk pemerintahan lokal di level paling bawah, tapi juga sangat mempengaruhi corak perilaku masyarakat Sumbar, khususnya di lapangan politik, daripada masa-masa sebelumnya. Hasil pelaksanaan pemilu-pemilu di masa Orde Baru menunjukkan adanya perubahan tingkah laku politik masyarakat lokal. Jika pada
pemilu 1955 preferensi politik masyarakat Sumbar terbagi ke berbagai partai politik, khususnya partai-partai Islam, maka pada pemilu-pemilu Orde Baru, mayoritas pemilih lokal berbondong-bondong memilih Golkar, partai pemerintah. Di Sumbar, perolehan suara Golkar dalam beberapa kali pemilu Orde Baru hampir selalu melebihi rata-rata perolehan suara Golkar secara nasional. [15] Di samping itu, perubahan tingkah laku politik juga tercermin dari eksistensi, fungsi, dan peran lembaga-lembaga lokal yang ada serta karakter elite yang memimpin pemerintahan dan masyarakat daerah. [16]
Di bawah negara Orde Baru, filosofi egaliterianisme yang selama ini dianggap sebagai dasar kebudayaan Minangkabau tidak bisa diimplementasikan secara utuh. Meskipun di
lapangan sosial, misalnya dalam pemilihan kepala kaum (datuak/penghulu), masih muncul nilai-nilai kesamaan dan keterbukaan, tapi secara umum pola-pola semacam itu meredup di seluruh ranah Minangkabau. Merasuknya sistem birokrasi yang kaku dan hierarkis dan kemudian bersentuhan langsung dengan tatanan sosial Minangkabau, ditambah pula trauma sosial politik pasca-PRRI, membuat feodalisme tumbuh subur. Salah satu konsekuensinya, suara-suara kritis dari masyarakat Minangkabau mulai meredup di bawah kendali otoriterianisme negara. Secara institusional, elemen-elemen sub-ordinasi negara muncul sebagai fenomena sosial politik. Lembaga-lembaga yang muncul, formal maupun informal, umumnya tidak lebih
sebagai representasi negara. Akibatnya, corak pemimpin yang muncul pun tidak hanya feodalistis tapi juga cenderung elitis. Kalaupun ada kritisisme dari masyarakat lokal, secara umum hal itu tak mampu lagi mengubah tatanan sosial politik yang sedang mapan. Dalam berhadapan dengan masyarakat, elite formal tadi mengklaim sebagai wakil negara. [17]
Elemen elite lokal yang berperan dan berpengaruh di Sumbar dalam beberapa dekade terakhir adalah elite yang sebenarnya lahir dalam kondisi sosial budaya dan sosial politik semacam itu. Mereka tumbuh dalam kultur semifeodal, patrimonial, dan otoriter. Mereka kerap disebut sebagai elite yang berurat ke atas, bukan elite yang tumbuh dari bawah.
Mereka bukan tipe pemimpin yang dilahirkan secara alamiah . Karakter mereka cenderung konservatif dalam menghadapi perubahan. Implikasinya sangat jauh. Di bidang intelektual, tepatnya sejak Orde Baru, orang Minangkabau dianggap mengalami kebekuan pemikiran di level nasional. Uniknya, keadaan itu sepertinya terus dinikmati oleh segelintir elitenya. Dengan cukup baik, Taufik Abdullah mengambarkan: Daerah ini hanyalah pengikut setia dari berbagai keharusan yang ditentukan oleh pusat, tetapi juga terhadap wacana yang dipelihara oleh sang pemegang kekuasaan .[18] Standar untuk pejabat daerah mencapai keberhasilan terletak
pada siapa yang dapat menafsirkan ketentuan pemerintah pusat.[19]
Di tengah situasi semacam itu, muncullah beberapa organisasi sosial yang menjadi wadah artikulasi budaya politik rezim Orde Baru di tingkat masyarakat. Salah satu contohnya adalah Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM). Pada mulanya LKAAM dibentuk KODAM (Komando Daerah Militer) 17 Agustus (Sumbar-Riau) yang ditujukan untuk rehabilitasi sosial kultural masyarakat Minang, terutama dari golongan adat pasca-Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia. Walaupun dalam kemasannya bertujuan untuk melestarikan adat, tradisi, dan budaya Minangkabau sebagai salah satu etnik penting di Nusantara, tapi dalam praktiknya, tentu saja mereka cenderung berakar ke atas .
LKAAM mengklaim sebagai wakil masyarakat Sumbar atau Minangkabau, walaupun lembaga ini dibentuk oleh rezim berkuasa. Selama 32 tahun pada masa rezim Orde Baru, LKAAM menjadi bemper politik Golkar.[20]
Sejumlah kelompok sosial lain yang juga hidup dalam konteks kultur politik Orde Baru, antara lain organisasi perempuan, cendekiawan, pegawai negeri, pemuda, wartawan, organisasi perantau, bahkan preman. Sebagian adalah bentukan rezim, bukan lahir dari bawah. Misalnya Bundo Kanduang, organisasi perempuan. Pelembagaan Bundo Kanduang yang dimulai di masa Orde Baru, bukan sekedar untuk tujuan-tujuan kultural, tetapi juga bertujuan politis: menyokong legitimasi rezim berkuasa. Bundo Kanduang seolah adalah representasi keseluruhan
perempuan Minangkabau. Afiliasi politiknya jelas ke Golkar.[21]
Beberapa ormas lokal pada dasarnya juga mempunyai watak yang kurang lebih sama. Mereka cenderung dekat dengan penguasa. Kelompok Islam tradisional, Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), yang sebelumnya cenderung berafiliasi dengan partai Islam, akhirnya terpecah dua. Satu faksi mendukung atau berafiliasi dengan Golkar dan satu faksi lagi masih tetap menjadi salah satu unsur PPP. Begitu juga Muhammadiyah, ormas Islam terbesar di Sumbar, banyak kadernya yang menjadi pengurus Golkar. Intinya, banyak kalangan ulama dan aktivis Islam di tingkat lokal di masa Orde Baru, khususnya pada setiap pemilihan umum, menyatakan dukungan dan bahkan kebulatan
tekad mendukung partai pemerintah.
Dalam kaitan ini, eksistensi dan kesinambungan organisasi preman di Sumbar juga menarik untuk disoroti. Demokratisasi yang bersumber dari nilai-nilai lokal berjalan paralel dengan premanisme. Di Sumbar, organisasi pemuda yang paling menonjol dan memiliki banyak anggota dari kalangan preman adalah Pemuda Pancasila. Ormas ini memainkan peran sebagai operator politik selama Orde Baru, melaksanakan fungsi intimidasi yang tidak resmi untuk rezim dan para pejabatnya yang dilakukan secara bersama-sama dengan pejabat keamanan terkait.
Organisasi perantau Minang juga mempunyai tipikal khas elite lama. Organisasi perantau terbesar, termasyhur, dan dianggap
representasi semua elemen perantau Minang adalah Gerakan Seribu Minang (Gebu Minang). Organisasi ini didirikan pada masa Orde Baru (1990). Konon inspirasi pendiriannya justru datang dari Presiden Soeharto, supaya setiap perantau asal Sumbar di mana pun dapat menyisihkan Rp 1.000,00 per bulan untuk pembangunan kampung halaman. Dengan dasar-dasar pembentukan seperti itu, Gebu Minang pun terkesan sebagai organisasi yang berurat ke atas atau sebagai subordinasi negara. Apalagi sebagian besar pengurus Gebu Minang adalah orang-orang Golkar atau setidaknya berafiliasi dengan Golkar.
Pada masa awal reformasi, elite-elite lokal itu belum hilang. Mereka tetap eksis bersama organisasi-organisasinya.
Memang ada sebagian di antara mereka yang berperan itu tergolong elit lokal yang baru tampil ke publik, tapi jika ditelusuri ke belakang, mereka pernah dilahirkan dan dibesarkan di masa Orde Baru. Di masa Orde Baru, secara organisasi, mereka menjadi anggota atau pimpinan organisasi kepemudaan, seperti KNPI, AMPI, FKPPI, PPM (Pemuda Panca Marga), PP (Pemuda Pancasila), serta organisasi kepemudaan onderbouw partai maupun ormas-ormas keagamaan. Tak heran, saat tampil di era reformasi, karakter dan tipikalnya belum banyak berubah dengan tipikal elite politik masa lalu.[22]
Perkembangan politik lokal di atas juga bisa dipahami dalam konteks transisi (politik). Secara sederhana, transisi dapat diartikan
sebagai kondisi di mana nilai-nilai lama belum sepenuhnya hilang sedangkan nilai-nilai baru belum sepenuhnya dipahami dengan baik. Suasana chaos (kekacauan) kerap mengancam. Nilai-nilai lama bertarung dengan nilai-nilai kebaruan. Yang bertarung adalah nilai-nilai, sementara pemenangnya tak banyak berubah. Elite lama masih bercokol kuat. Pada Pemilu 1999, Golkar menang di Sumbar, walaupun sudah ditempel ketat oleh PAN (Partai Amanat Nasional) sebagai partai pendatang baru yang notabene lahir dari rahim reformasi.
Dengan kemenangan Golkar tersebut, secara umum tidak ada perubahan fundamental dalam susunan elite lokal. Desentralisasi yang diintroduksi sejak era reformasi belum
mengubah keadaan secara mendasar di tingkat lokal. Elite lama masih dominan. Demokrasi yang muncul justru adalah kembalinya kekuatan-kekuatan lama dengan baju baru atau baju lama, baik di bidang politik maupun ekonomi.[23] Salah satu karakter kelompok ini suka menggunakan terminologi-terminologi demokrasi untuk melindungi kepentingan mereka, walaupun tingkah laku politik mereka belum berubah. [24]
Kelompok-kelompok kritis mempertanyakan, bagaimana mungkin agenda pembaruan yang fundamental bisa dikerjakan di tingkat lokal jika aktor-aktornya masih belum bergeser secara berarti? Para politisi di parlemen dan pemerintahan, maupun elite ormas-ormas pada umumnya merupakan aktor-aktor yang pernah
aktif dalam pola-pola permainan kekuasaan di masa Orde Baru. Dalam konteks inilah, dapat dipahami mengapa dalam berbagai pemilihan kepala daerah sepanjang era reformasi, kandidat Golkar selalu mendominasi. Kursi-kursi DPRD Sumbar periode 1999-2004 masih banyak diisi oleh mantan pejabat di era Orde Baru. Belum lagi lima kursi DPRD yang sudah disediakan oleh Undang undang adalah diperuntukkan bagi kalangan tentara dan polisi, yang tentu saja ikut memperkuat barisan status quo di panggung politik lokal.
Masalah pokok lain, corak politik lokal di era transisi masih mengandung ambivalensi. Ada segi positif yang membawa kemajuan, tetapi di sisi lain juga masih banyak kelemahan
yang mesti diperbaiki bagi kemajuan di masa mendatang, khususnya bagi revitalisasi demokrasi lokal. Secara politik, pragmatisme politik warisan Orde Baru tidak banyak membawa kemajuan bagi tranformasi politik lokal. Kondisi demikian membawa implikasi politik signifikan di daerah pada awal reformasi, seperti tercermin dari hasil pemilihan kepala daerah. Dalam sebuah pemilihan yang seru pada awal tahun 2000, tokoh Golkar sekaligus birokrat senior, Zainal Bakar, terpilih sebagai Gubernur Sumbar untuk periode 2000-2005. Tokoh yang malang melintang di masa Orde Baru tampil sebagai kepala daerah di era reformasi dalam sebuah pemilihan di DPRD. Ia berpasangan dengan seorang intelektual dan
juga bekas Rektor Universitas Andalas Prof Dr Ir Fachri Ahmad. Pada saat itu, Zainal mengalahkan Saleh Khalid, tokoh PPP, yang didukung kaukus (koalisi) partai-partai Islam, Forum Ukhuwah.
Birokrasi yang belum banyak berubah juga dapat menjelaskan prakondisi distorsi politik lokal pasca-Orde Baru. Birokrasi sepenuhnya masih merupakan warisan rezim masa lalu. Memang intervensi politik terhadap birokrasi seperti di era Orde Baru sudah berkurang di era reformasi, tapi kultur lama masih dianggap kental dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.[25] Tentu sulit mengharapkan reformasi di level lokal ketika birokrasi berjalan business as usual dalam konotasinya yang buruk.
Di samping karena pengaruh yang serius dari corak sistem
politik nasional, tidak terimplementasikannya nilai-nilai budaya lokal secara penuh dalam kehidupan sosial dan politik adalah juga dikarenakan bahwa dalam beberapa hal Minangkabau itu mengandung ambivalensi. Pepatah-petitih luhur di atas barulah sebatas ungkapan belaka. Ia tidak sepenuhnya mengejawantah dalam realitas. Dari segi konsep, sekalipun dikenal memiliki nilai adat dan budaya demokratis, tetapi hal itu tidak menyeluruh ada di Minangkabau. Sebagian kecil nilai-nilai demokrasi itu hanya terefleksi dalam sistem adat Bodi Chaniago. Filosofi duduak samo randah tagak samo tinggi (egaliterianisme) hanya ada dalam sistem ini. Kekuasaan
raja tidak akui. Dalam rapat-rapat adat, posisi duduk semua penghulu (perwakilan kaum) sederajat dan keputusan diambil secara demokratis.
Sedangkan sistem Koto Piliang lebih mencerminkan otokratisme. Model kepemimpinan hierarkis, seperti juga tercermin dalam ungkapan bajanjang naik batanggo turun (berjenjang naik bertangga turun). Balai adat (panggung) tempat berlangsungnya rapat-rapat penghulu dengan lantai bertingkat-tingkat untuk menunjukkan hierarki penghulu. Kalau rapat tidak mencapai kata sepakat, keputusan diserahkan kepada Penghulu Pucuak sebagai pemegang keputusan tertinggi, seperti tercermin dalam ungkapan biang nan manabuek, gantieng nan mamutuih (menembus yang hampir tembus, memutus yang hampir
putus).
Sering dikatakan, basis demokrasi Minangkabau ada di nagari. Pada kenyataannya, proses politik di nagari lebih mencerminkan oligarki. Rapat adat hanya dilakukan oleh segelintir penghulu, tidak melibatkan generasi muda dan kaum perempuan. Padahal, Minangkabau terkenal karena menganut sistem matrilineal yang mengagungkan posisi kaum perempuan dalam pola kekerabatan.
Anehnya, oleh karena adanya model pemilihan wali nagari secara langsung, seakan dianggap bahwa sistem pemerintahan dan masyarakat nagari dipercaya sudah demokratis dari dulu. Padahal, pemilihan langsung wali nagari baru mulai tahun 1950-an. Sebelumnya, wali nagari ditetapkan berdasarkan pada hasil pilihan sekumpulan pemangku adat yang
berpengaruh di nagari. Pada tahun 1970-an, nagari malah diganti dengan desa, dengan sistem pemilihan pemimpin yang tidak demokratis.
Kenyataan itu seakan bertolak belakang dengan anggapan bahwa proses politik nagari berbasis pada demokrasi Minangkabau yang pada gilirannya dianggap ikut menginspirasi ide-ide demokrasi modern di Indonesia. Dalam pandangan sebagian ilmuwan, demokrasi Indonesia seolah merupakan sintesis demokrasi Minang dan demokrasi Barat . Padahal, masyarakat di desa-desa di Jawa dan beberapa daerah lain sudah sejak ratusan tahun mempraktikkan demokrasi langsung dalam pemilihan kepala desa.[26]
Di Minangkabau, eksistensi penghulu sebagai elite tradisional
hingga kini juga patut digugat. Mereka kerap dituding menggerogoti kaumnya dengan kecenderungannya pada tindakan menjual tanah pusaka dan tanah ulayat tanpa memperhitungkan implikasi buruknya bagi kehidupan anak kemenakannya sendiri. Peranan perempuan, yang dalam sistem matrilineal menjadi penjaga harta pusaka, dipinggirkan (Lihat Beckman, 2000; Bahar, 2004)). Kuatnya motif ekonomi politik di balik eksistensi dan peranan pemangku adat ikut mendistorsi nilai-nilai demokrasi di Minangkabau tanpa ada mekanisme yang bisa mengkritisi para pemimpin tradisional ini.
Dalam konteks pembangunan karakter bangsa, ada kritik mendasar terhadap puak Minang, sejak Orde Baru sampai era reformasi. Di masa ini,
orang Minangkabau manut pada kemauan rezim otokratis di Jakarta. Tidak ada lagi kritisisme Minang, sebagaimana ditunjukkan pada masa-masa sebelumnya. Golkar menang besar di daerah ini, jauh melampaui angka kemenangan partai itu di tingkat nasional. Feodalisme baru juga muncul, tidak hanya di Istana Pagaruyung, tetapi juga di birokrasi dan kampus. Fenomena ini terus berlangsung hingga era reformasi, seperti tercermin dari maraknya pemberian gelar adat kepada tokoh-tokoh nasional non-Minang. Pragmatisme Minang menggeser idealisme yang inherent dalam budaya demokratis.
Penutup Pada akhirnya, di masa reformasi ini, Minangkabau terkesan tidak mengalami banyak kemajuan dalam praktik
berdemokrasi. Karakter politik masa transisi masih kuat. Nilai-nilai lama yang kontraproduktif bagi kemajuan demokrasi belum sepenuhnya hilang, sementara nilai-nilai baru yang mendorong demokratisasi belum sepenuhnya pula bisa dihadirkan. Tidak ada keunggulan spesifik dalam pelaksanaan demokrasi di Sumbar bila dibandingkan dengan daerah lain. Dari pelaksanaan pilkada langsung terlihat bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi melalui budaya politik ke arah yang lebih demokratis dan beradab. Dalam kerangka lebih besar, otonomi daerah sebagai distribusi kewenangan pemerintah pusat ke daerah juga masih kerap mengalami distorsi, seperti adanya korupsi pejabat lokal, birokrasi yang belum berubah, anarki,
serta politik uang. Belum ditemukan kesejajaran yang meyakinkan antara nilai-nilai demokrasi modern dengan praktiknya di ranah Minang, merupakan pekerjaan rumah seluruh pelaku budaya Minangkabau sendiri.
Namun, optimisme tetap perlu dinyalakan. Sekalipun secara konseptual, nilai-nilai peradaban demokrasi tak sepenuhnya terkandung dalam khazanah budaya lokal, tetapi dinamika dan dialektika yang terjadi menunjukkan bahwa Minangkabau memiliki modal sosial dan modal kultural yang besar untuk melangkah lebih maju. Tak ada pilihan, nilai-nilai budaya Minangkabau, sebagai bagian dari khazanah kebudayaan Melayu Nusantara, tetap harus diaktualisasikan dan direvitalisasi sebagai bagian upaya membangun masyarakat demokratis
dan berkeadaban di masa depan.
__________
Makalah ini merupakan Juara Harapan 1 dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Nasional "Pandangan Politik Orang Melayu" yang diselenggarakan oleh Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) pada tahun 2007.
Israr Iskandar adalah pengajar di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang.
-------------------------------------------------------------------------------- [1] Ahmad Jauhari Moein, Hubungan Melayu-Minangkabau dari Sudut Sejarah, Bahasa, Sastra, Budaya, dan Masyarakat dalam Sastri Yunizar Bakry dkk (ed.), Menelusuri Jejak Melayu-Minangkabau (Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia, 2002), hlm. 20-21.
[2] Kennet Minoque, Democracy dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi
Ilmu-ilmu Sosial (Jakarta: Rajawali Press, 2000), hlm. 215.
[3] Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory (New York: Oxford University, 1960), hlm 218-243.
[4] Dari 4, 24 juta penduduk Sumbar pada tahun 2003, 3,75 juta adalah Suku Minangkabau; 0,18 juta Suku Jawa; 0,13 Suku Mandahiling/Angkola; dan 0,6 Suku Batak/Tapanuli, serta suku-suku lain dalam jumlah lebih kecil. Lihat, Badan Pusat Statistik Tahun 2003, hlm.75.
[5] Emeraldy Chatra, Adat Selingkar Desa (Padang: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik & Pusat Studi Pembangunan dan Perubahan Sosial Budaya Universitas Andalas, 1999), hlm. 29.
[6] Edwin M. Loeb, sebagaimana dikutip Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 50.
[7] Ibid.
[8] Ali Akbar Navis, Yang Berjalan
Sepanjang Jalan: Kumpulan Karangan Pilihan (Jakarta: Grasindo, 1999), hlm. 27.
[9] Lihat Mattulada, Demokrasi dalam Tradisi Masyarakat Indonesia" dalam M. Amien Rais (Pengantar), Demokrasi dan Proses Politik (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 3-15.
[10] Umar Junus, Kebudayaan Minangkabau dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2004), hlm. 249. Lihat juga Gusti Asnan, Rantau Minangkabau Abad 15 dan 18 dalam Jurnal Genta Budaya, Nomor 2, Tahun 1/1996, hlm. 65.
[11] Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau, hlm. 23.
[12] Suryanef dan Al Rafni, Kembali ke Nagari: Kembali ke Identitas dan Demokrasi Lokal? dalam Jamil Gunawan dkk (ed.), Desentralisasi, Globalisasi dan Demokrasi Lokal (Jakarta: LP3ES, 2005), hlm.
353-354.
[13] Gusti Asnan, Penguasa Militer dan Pemerintahan Daerah: Sumatra Barat Akhir 1950-an dan awal 1960-an dalam Analisis CSIS, Tahun XXXII/2003, No.4, hlm. 529.
[14] Mestika Zed, Edy Utama, Hasril Chaniago, Sumatra Barat di Panggung Sejarah 1945-1995 (Jakarta: Sinar Harapan, 1996), hlm. 294.
[15] Ibid.
[16] Taufik Abdullah, Pengantar dalam Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. xvii.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm.
438
[20] Sejarah Ringkas Berdirinya Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatra Barat serta Perjuangannya Menegakkan Orde Baru Bersama ABRI dan Rakyat di Sumatra Barat , makalah yang diterbitkan oleh Sekretariat LKAAM Sumatra Barat, tanpa tahun, hlm. 6.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Vedi R Hadiz, Menimbang Gagasan Transisi di Indonesia dalam AE Priyono, Stanley Adi Prasetyo, Olle Tornquist (ed.), Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca-Soeharto (Jakarta: Demos, 2003), hlm. 58-59
[24] Andrinof A Chaniago, Rintangan-rintangan Demokratisasi di Indonesia dalam Maruto MD dan Anwari MK (ed..), Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat: Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi (Jakarta: LP3ES, 2002), hlm.
29.
[25] Eko Prasojo, Demokrasi di Negeri Mimpi: Catatan Kritis terhadap Pemilu 2004 dan Good Governance (Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, 2005), hlm. 118.
[26] Parwantri Wahjono, Ungkapan-ungkapan dan Ajaran Jawa: Kearifan dalam Berdemokrasi dalam Mulyana, Demokrasi dalam Budaya Lokal (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005).
Menambah banyak teman sangatlah mudah dan cepat. Undang teman dari Hotmail, Gmail ke Yahoo! Messenger sekarang!
|