Hampir 100 Tahun Dikelola Secara Turun Temurun |
Jumat, 14 Maret 2008 | |
Untuk mengiringi tari pasambahan, kita
tahu talempong sering digunakan. Kita pun tahu talempong acapkali
diperdengarkan untuk menyambut tamu istimewa yang datang ke Sumbar serta
ditampilkan pada berbagai iven kesenian. Tapi tahukah kita, jumlah
pengrajin alat musik khas Minangkabau ini hampir habis? Sisa hujan semalam
masih nampak bergelayut di ujung daun. Sungaipuar, sebuah nagari di kaki
Gunung Marapi masih nampak basah di setiap sudutnya. Tetapi Sahar St Kayo
(54), pengrajin talempong dari Nagari Sungaipuar Kabupaten Agam, sudah
keluar dengan skuter bututnya. Sebuah topi pet yang melindungi kepala dari
sapuan angin pagi menemani Sahar menuju tempat usahanya.
Hampir dua kilometer jarak rumah Sahar dengan tempat usahanya. Kira-kira 500 meternya, merupakan jalan setapak yang hanya bisa dilewati kendaraan roda dua. Setelah melewati jalan sempit yang licin karena hujan, akhirnya sampai juga di pabrik telempong milik Sahar. Sekilas tidak ada yang istimewa dari ruangan seluas 8 x 15 meter itu. Atapnya terbuat dari rumbia yang sudah agak menghitam. Sedangkan dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang sudah tua. Beberapa pekerja pun nampak asik dengan pekerjaannya masing-masing. Namun siapa sangka, di tempat yang sederhana itulah Sahar memproduksi ribuan talempong miliknya. Talempong buatan Sahar selain merambah seluruh daerah Sumatera Barat, juga telah memasuki pasar Riau, Medan, Bahkan Negara Malaysia, Singapura dan Australia. Menurut pengakuan Sahar, ia tidak pernah memasarkan talempong buatannya. Tetapi orang-orang lah yang mencarinya, apabila mereka membutuhkan. ”Paling saya taruh di toko milik adik di Pasar Bukittinggi. Selebihnya saya jual di rumah saja,” kata Sahar. Dalam sebulan, Sahar bisa memproduksi talempong sebanyak 100 buah. Harga sebuah talempong dipatoknya Rp100 ribu. Artinya, kalau terjual semua, sebulan Sahar mengantongi uang sekitar Rp10 juta. Untuk pengaturan bunyi, Ayah empat orang anak ini mengupah seorang dosen ASKI Padangpanjang. “Selain menstem telampong, dosen ASKI itu juga turut serta memasarkan langsung ke Malaysia. Ia sering mengajar di negeri itu,” jelas Sahar. Kerajinan talempong ini, kata Sahar merupakan usaha keluarga yang sudah turun-temurun ia tekuni. Hampir 100 tahun lamanya sejak kerajinan ini dirintis pendahulunya, sampai sekarang. “Yang bekerja pun saya, saudara dan anak-anak. Tidak ada orang lain. Kerajinan ini sudah sejiwa dengan kami, jadi sulit diwariskan ke orang lain.” Proses pembuatan talempong milik Sahar pun cukup sederhana. Tidak banyak terlihat sentuhan-sentuhan teknologi pada proses pengerjaanya. Pekerjaan pertama adalah masukkan lilin cair ke dalam cetakan talempong yang sudah ada. Lalu lilin yang telah berwujud talempong itu dilapisi tanah sebanyak tujuh kali. Lapisan pertama menggunakan campuran tanah terpilih atau disebut paliliea elok. Kedua dilapisi tanah pilih kedua, palilea japan. Sedangkan lapisan ketiga menggunakan tanah pemalut. Baru pada lapisan keempat sampai tujuh memakai tanah biasa. Setelah pelapisan sebanyak tujuh kali, pengerjaan dilanjutkan dengan pemanasan dengan matahari selama 25 hari. ”Jadi proses pengerjaan talempong ini butuh waktu satu bulan. Kalau cuaca mendung atau sering hujan, pengerjaannya lebih lama lagi.” Setelah kering, kerangka talempong dari tanah dan lilin yang sudah mengering itu, dibakar dengan tungku pembakaran selama tiga setengah jam. Sembari menunggu, kuningan yang akan digunakan sebagai bahan pembuat talempong dimasukkan ke dalam periuk cor, dan dibakar pada tungku yang berbahan bakar batu bara itu sampai mencair. ”Lilin dalam rangka talempong akan mencair sehingga membentuk rongga. Rongga inilah nanti yang akan diisi dengan kuningan cair tadi. Tidak berapa lama cairan kuningan mengering, selanjutnya siram sedikit dengan air. Ketok kerangka tanah berisi kuningan tadi dengan palu, maka talempong baru pun tercipta,” jelas Sahar. Saat ini diakuinya, pengrajin talempong sudah semakin sedikit. Untuk daerah Sungaipuar saja, katanya tinggal dua orang yang masih berjibaku dalam bisnis pembuatan alat musik tradisional Minangkabau ini. Butuh perhatian dari pemerintah untuk pemasaran pasokan bahan baku. “Dalam sebulan saya menghabiskan kuningan sebanyak 100 Kg, batu bara 6 karung, lilin 17.500 kg. Dari itu semua, kuningan lah yang sulit didapatkan. Karena saya harus mencari ke tempat penampungan barang-barang bekas,” pungkas suami Mistati (36) ini. (***) |