Yang ambo muliakan Mamaak Saaf, adik-adik/kemenakan serta sanak saparatian yang ambo hormati. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakhatuh. Menarik juga topik mengenani suku yang kemudian, berkembang menjadi gelar panggilan pada pria minang yang sudah menikah, dimana akhirnya kita harapkan akan menemukan suatu resume dalam pembentukan ABS-SBK. Sekedar berbagi informasi diantara kito badusanak, maka ingin pulo saya ikut serta bergabung memperbincangkan masalah yang satu ini, melalui pengalaman pribadi saya. I. Memang betul bahwa tidak semua pepatah 'ketek banamo gadang bagala' balaku umum secara umum di Ranah kito , seperti di Luhak nan bungsu (Payokumbuah) dan juga luhak tanah datar. Di keluarga kami ada ipar yang berasal dari Batusangkar yang tidak mempunyai gelar panggilan sebagai seorang menantu - sehingga kami sering agak kagok (tagigik lidah . ...???) bila menyebut namanya saja. Akhirnya untuk berakrab-akrab terpaksalah kami memanggil mereka Oom.. A II. Tinjauan matrilinial dan patrilinial : a. Ibu Mertua saya - adalah seorang Puti disalah satu wilayah kota Padang. Entah adat atau luhak mana yang dipakai - atas status sosial ini - semua anak keturunan puti - puti akan bergelar Puti dan Sutan, bagi anak perempuan dan laki-laki sejak ia lahir.. - Dalam tinjauan matrilinial, maka Puti puti ini bila menikah dengan siapun, baik minang atau non minang, maka anak-anaknya tetap akan bergelar Puti dan Sutan sejak lahir. Akan tetapi bila, si Sutan menikah dengan wanita minang atau non minang, maka anak laki-lakinya akan bergelar " Marah" didepan namanya dan Siti bagi perempuan. Gelar ini diperolehnya juga sejak anak itu lahir. b. Bapak Mertua saya - adalah seorang Sutan yang berasal dari " Pasia" - Pariaman. Menurut adat di Pariaman, maka ia mewariskan kepada anak laki-lakinya gelar Sutan, seperti halnya bagindo atau Sidi. Inilah yang akan menjadi nama panggilan bagi anaknya bila kelak sudah menikah. Dalam penerapan panggilan demikian, kita menyimpulkan bahwa telah berlaku sistem patrilinial di Pariaman itu. Alhasil suami saya saat ini bergelar - Sutan Kwadrat ( begitu ambo secara bergurau menyebutkan kepadanya... ), karena gelar yang diperoleh dari Ibu dan dari ayahnya itu.. Pada saat sang suami menjadi raja sehari, kening keluarga saya pun berkerut karena heran... karena ternyata pada saat itu - ia dilewakan lagi gelar kaum kepadanya oleh Mamak-mamaknya dengan nama " Sutan Perhimpunan". Nah Lho..... c. Seandainya anak laki-laki saya menikah, pastilah ia dipanggil "Marah" karena gelar keturunan yang diperoleh dari Ayahnya - sebagai Sutan di kota Padang. Namun Ia anak yang lahir dan besar di rantau, pastilah aneh jika ia dipanggil Marah. Seandainya ia dipanggil Sutan pun - sah sah aja, karena gelar itu juga diperoleh dari papanya yang ayahnya orang pariaman (menganut sistem patrilinial). Akan tetapi saya rikuh jika anak saya ini dipanggie " Sutan ". d. Jika sistem matrilinial yang ingin diterapkan kepada anak-anak saya ini, maka tentuia akan memperoleh gelar panggilan dari Mamak-mamaknya (saudara laki-laki) saya, semisal Marah Sutan, Marah Marajo, Sutan Kulipah, Sutan Makhudum dan Rajo Kaciek. Ini adalah gelar-gelar turunan yang ada dikeluarga kami yang masih menjunjung sistem Matrilinial. Karena kami bersuku Tanjung - berarti ia dapat pula menambahkan nama Tanjung dibelakang namanya. Dengan uraian yang ambo sebutkan pada butir II ini, maka ambo ingin manumpang batanyo saketek.... Baa bana sabananyo ketentuan gala..iko di ranah kita. Benarkah ada luhak atau nagari tidak menganut sistem gelar panggilan sebagaimana pepatah "ketek banamo gadang bagala". ? Barangkali kita di rantau ini perlu diberi panduan oleh para pemangku adat sehingga kami bisa pula meneruskan kepada generasi muda minang tentang khazanah budaya - mengenai panggilan dan sebutan pria.. III. Ada pertanyaan saya, mengapa ada pemangku adat yang melewakan gala gadang kepada para pejabat negara kita. Bagaimana acuan ? dan siapakah yang memberi ? Apakah sama halnya seperti pemberian gelar di keraton-keraton di tanah jawa ? jika ada nilai kontribusi seseorang pada sebuah keraton di Jawa. Sebelum dan sesudahnya saya mohon maaf, karena saya terpaksa mengambil kasus yang terjadi pada keluarga saya. Terima kasih kepada sanak yang bersedia merespon pertanyaan saya pada butir III. Demikian dan terima kasih, Wassalam,
|
Waalaikumsalam w.w. Rangkayo Hifni dan para sanak sa palanta,
Gala saya sendiri -- Soetan Madjolelo -- warisan dari mamak saya suku Tanjuang, jarang sekali saya pakai. Juga jarang sekali orang memanggil saya dengan gala itu, kecuali almarhumah ibu mertua saya, yang kemudian menggantinya dengan memanggil saya 'haji' setelah saya naik haji tahun 1994, yang juga jarang saya pakai.
Entah bagaimana, sekarang orang sering memanggil saya 'Prof'', mungkin karena gelar akademik saya 'doktor' serta rambut saya yang sudah putih. Nyaman juga mendengarnya, karena saya memang dosen S1 dan S2 di beberapa perguruan tinggi, walau tidak ada SK jadi profesor. Namakanlah 'profesor praktek'. [ Ada juga yang memanggil saya 'jenderal'. Lumayan]. Tentang penjelasan dan jawaban terhadap masalah 'gala' ini dari segi adat, saya teruskan kepada yang lebih ahli, yaitu pak Bachtiar Abna S.H., M.H., Dt Rajo Penghulu, Angku Azmi Dt Bagindo, atau Angku Dt Endang Pahlawan. |
Wassalam,
Saafroedin Bahar (L, masuk 72 th, Jakarta)
Alternate e-mail address: saaf...@gmail.com;
|
--- On Wed, 9/24/08, HIFNI HFD <hy...@yahoo.com> wrote: |
Mamanda St. Madjolelo (Pak Saf Tanjung) : Tapaso bakarajo kareh Mamanda gomah, dengan SUKU jo GALA ko.!! Kamanakan, Yumetra Tanjung Dt. Bagindo Rajo, 48 th + 2 bln. Jakarta --- Pada Rab, 24/9/08, Dr.Saafroedin BAHAR <saaf...@yahoo.com> menulis: |
Dari Jantung Feodalisme
Adalah Feodalisme sebagai satu-satunya hantu yang masih berdiri kokoh tanpa melalui otokritik atau revisi gagasan dengan menambahkan atribut neo- di depan namanya. Kita tahu bahwa Liberalisme berubah menjadi Neoliberalisme, Kapitalisme menjadi Neokapitalisme, Marxisme menjadi Neomarxisme, hingga Kolonialisme menjadi Neokolonialisme. Yang terakhir ini selalu diklaim sebagai bentuk penindasan yang paling kejam dan mengerikan, tanpa kemudian menyadari bahwa Feodalisme adalah gagasan sekaligus struktur kekuasaan penindas sejati yang telah mengangkangi ibu pertiwi lebih lama daripada Kolonialisme. Yang lebih buruk adalah kita, sebagai orang Minang maupun suku bangsa non-Jawa lainnya, selalu gagal di dalam mendefinisikan siapa musuh sebenarnya. Sudah saatnya sentimen Jawa versus non-Jawa dihapus dari peta kesadaran setiap orang termasuk orang Jawa sendiri, karena hal tersebut hanya melanggengkan Feodalisme, sehingga ia tidak pernah mengalami kebangkrutan politik maupun budaya. Entitas Jawa harus selalu dipandang dalam kerangka fragmentasi yang mendalam, karena berkait erat dengan bagaimana Feodalisme berlindung di balik dikotomi Jawa versus non-Jawa. Soliditas Jawa adalah tameng terbaik bagi Feodalisme yang telah teruji selama ratusan tahun. Fragmentasi tersebut eksis dan selalu menjadi problematis di internal suku bangsa Jawa, akan tetapi menjadi lenyap ditelan udara ketika dan hanya ketika berhadapan dengan sentimen anti-Jawa. Kita tahu bagaimana orang Solo ketika diminta pendapatnya mengenai orang Yogya dan begitu pula sebaliknya bagaimana orang Yogya memandang orang Solo, lengkap dengan kedua kerajaan yang memiliki sejarah konflik yang cukup panjang. Kita juga tahu bagaimana orang Solo maupun orang Yogya memandang orang Jawa Timur. Inilah fragmentasi yang harus dicermati oleh siapa pun yang berada di luar suku bangsa Jawa. Sentimen tersebut merupakan taktik politik dan budaya yang diselenggarakan oleh agen Feodalisme, sehingga konsentrasi kawula terpecah di dalam mencermati problem sosial di sekelilingnya. Tuyul misalnya, dijadikan senjata sosial yang ampuh guna menekan mobilitas vertikal kawula secara ekonomi. Sehingga kawula menjadi takut dicap memelihara tuyul jika dan hanya jika mengalami peningkatan kemampuan secara ekonomi. Padahal, sejatinya hal tersebut adalah taktik budaya guna melanggengkan status quo para agen Feodalisme. Nrimo dijadikan komoditas "filosofis" kejawaan oleh para agen Feodalisme. Namun, Feodalisme bukan tanpa kelemahan. Persoalan kepemimpinan adalah bentuk pengandaian yang sangat menentukan akseptibilitas publik (tidak hanya kawula). Tingkat akseptibilitas publik terhadap Feodalisme akan meninggi ketika struktur politik, sosial, serta kebudayaan dicekal oleh figur yang populis. Populis tentu tidak sama dengan populer. HB X adalah sosok yang populer karena ia menjadi sultan, akan tetapi ia bukan seorang yang populis terutama jika dipandang dari kebijakan dan/atau titahnya mengenai Sultan Ground, Ambarukmo, hingga proyek penambangan pasir di Kulonprogo. Akan tetapi hal tersebut belum cukup untuk membangkrutkan Feodalisme. Revolusi Prancis tidak akan pernah terjadi di jantung Feodalisme. Tepat di sini, adagium bahwa "bahasa menunjukkan bangsa" menunjukkan kebenaran tesisnya. Aksara Jawa menggunakan "pangku" sebagai tanda untuk mematikan kalimat. Hal tersebut merupakan simbolisasi atas bagaimana seharusnya orang Jawa untuk tidak bersikap. Aksara Jawa mati "dipangku", orang Jawa mati juga "dipangku". "Pangku" di sini merupakan proses meninggikan di dalam pengertian aksara atau melambungkan di dalam pemahaman kemanusiaan. Hal yang terakhir ini dibuktikan secara terbalik dengan kebiasaan orang Jawa untuk semakin tabah, kuat, mbatin, serta nrimo ketika direndahkan. Feodalisme turut melatih pribadi kawula secara sistematis untuk merendah dan direndahkan. Sehingga menjadi sia-sia ketika orang non-Jawa kerapkali merendahkan orang Jawa dan Feodalisme. Strategi terbaik adalah dengan "meninggikan" atau "melambungkan" asa orang Jawa. Orang Jawa seringkali meninggikan orang lain baik sesama orang Jawa maupun pada orang non-Jawa, karena hal tersebut dipersepsikan sebagai taktik di dalam pergaulan agar lawan bicara menjadi lengah. Hal tersebut juga dibuktikan secara terbalik dengan penolakan secara massif dari para agen Feodalisme terhadap ambisi politis HB X untuk tidak menjadi gubernur kembali agar dapat maju di dalam Pemilu 2009 sebagai calon presiden. Kawula sadar bahwa akselerasi politik secara vertikal tersebut merupakan manifestasi dari proses "melambungkan" HB X yang dilambungkan oleh partai politik serta kekuatan lainnya, sehingga berakibat fatal pada struktur dan kebudayaan feodal di jantungnya sendiri. Dalam konteks ini, siapa pun yang jengah dengan Feodalisme dapat mengambil beberapa langkah berikut; 1. Mendukung setiap langkah ambisius HB X sebatas hanya pada fase pencalonan diri sebagai capres dan penolakan untuk menjadi gubernur kembali; akan tetapi keduanya dilakukan dengan kesadaran untuk "melambungkan" pucuk pimpinan tertinggi Feodalisme hingga kemudian mencapai proses "pemangkuan". HB X bukan HB IX yang populis dan insaf dengan hal tersebut, sehingga tidak muncul penolakan yang signifikan ketika menjadi wakil presiden beberapa puluh tahun yang lalu. Pencalonan tersebut merupakan tahap akhir dari proses pemangkuan karena yang bersangkutan tidak akan pernah terpilih menjadi presiden. 2. Memasok kesadaran progresif suku bangsa non-Jawa yang secara geo-politik berada di front, yaitu suku bangsa Sunda. Suku bangsa Sunda mengalami pelemahan secara sistemik sejak beberapa abad yang lalu. Dalam batas ini, taktik politik-simbolik yang paling mungkin untuk dilakukan adalah mengampanyekan perubahan nama Propinsi Jawa Barat karena tidak sesuai dengan identitas mereka. Alternatif pilihan nama baru dapat berupa Propinsi Sunda atau Propinsi Parahyangan yang lebih sesuai dengan identitas kesukuan. 3. Meniadakan dikotomi Jawa versus non-Jawa karena hal tersebut tidak memadai jika dikaitkan dengan fragmentasi di internal suku bangsa Jawa seperti yang telah ditunjukkan sebelumnya. Peniadaan tersebut harus diiringi dengan mengarahkan pisau analisis pada Feodalisme sebagai ide serta struktur kebudayaan yang opresif yang menjadi musuh bersama baik bagi orang non-Jawa maupun orang Jawa sendiri. Demikian ulasan singkat ini dibuat, semoga tidak dipahami sebagai bentuk provokasi, akan tetapi lebih sebagai upaya awal untuk mengundang diskusi slebih lanjut yang hangat dan konstruktif dalam kerangka menggerus Feodalisme yang selalu menjerat upaya perbaikan bangsa. ======================================= Dikutip dari artikel seorang teman yang sangat mencintai minang... ======================================= ttd Anggun Gunawan (23M-Jogja) |
Assalamu'alaikum. Bapak, Ibu, Uda, Uni, dunsanak di palanta nan ambo hormati. Menonton siaran TV di bulan ramadhan ini agaknya hanya satu sinetron ramadhan yang berkualitas, yakni Para Pencari Tuhan... Tentu sekuel PPT agak berat jika dijadikan tontonan bagi anak. beberapa waktu yang lalu saya mendapatkan video film kartun untuk anak yang cukup bagus dan lucu yang diproduksi oleh orang Malaysia. judulnya Ipin dan Upin. selain lucu, pesan moralnya juga sampai. bahasanya juga menggelikan, karena pake logat melayu malaysia. bagi uda dan uni yang ingin menonton film kartun lucu ini bisa menghubungi saya lewat Japri. makasi atas perhatiannya. bentar lagi dah idul fitri. mohon maaf lahir batin.. |
====================== ttd Anggun Gunawan (23M-Jogja) |
Indak, ah, Nakan. Ambo indak fanatik bana soal gala ko doh. Diimbau jo gala oke, indak diimbau jo gala juo oke. Namo sajo juo oke.
Cuma karano salamo ko kito mandanga pepatah 'ketek banamo gadang bagala', ambo tampuang sajo untuak 'namo ABS SBK', khususnyo untuak para sanak kito nan dari nagari-nagari nan mamakai gala ko.
Kito tunggulah kasapakatan baa |
Wassalam,
Saafroedin Bahar (L, masuk 72 th, Jakarta)
Alternate e-mail address: saaf...@gmail.com;
|
--- On Wed, 9/24/08, yumetra fidel amir <yumetr...@yahoo.co.id> wrote: |
Indak, ah, Nakan. Ambo indak fanatik bana soal gala ko doh. Diimbau jo gala oke, indak diimbau jo gala juo oke. Namo sajo juo oke.
Cuma karano salamo ko kito mandanga pepatah 'ketek banamo gadang bagala', ambo tampuang sajo untuak 'namo ABS SBK', khususnyo untuak para sanak kito nan dari nagari-nagari nan mamakai gala ko.
Kito tunggulah kasapakatan
|
Wassalam,
Saafroedin Bahar (L, masuk 72 th, Jakarta)
Alternate e-mail address: saaf...@gmail.com;
|
--- On Wed, 9/24/08, yumetra fidel amir <yumetr...@yahoo.co.id> wrote: |
From: yumetra fidel amir <yumetr...@yahoo.co.id> |
Subject: [R@ntau-Net] --> Gelar panggilan |
|
|
|
|
Indak, ah, Nakan. Ambo indak fanatik bana soal gala ko doh. Diimbau jo gala oke, indak diimbau jo gala juo oke. Namo sajo juo oke.
Cuma karano salamo ko kito mandanga pepatah 'ketek banamo gadang bagala', ambo tampuang sajo untuak 'namo ABS SBK', khususnyo untuak para sanak kito nan dari nagari-nagari nan mamakai gala ko.
|
Kito tunggulah kasapakatan baa nan |
Wassalam,
Saafroedin Bahar (L, masuk 72 th, Jakarta)
Alternate e-mail address: saaf...@gmail.com;
|
--- On Wed, 9/24/08, yumetra fidel amir <yumetr...@yahoo.co.id> wrote: |
From: yumetra fidel amir <yumetr...@yahoo.co.id> |
Indak, ah, Nakan. Ambo indak fanatik bana soal gala ko doh. Diimbau jo gala oke, indak diimbau jo gala juo oke. Namo sajo juo oke.
Cuma karano salamo ko kito mandanga pepatah 'ketek banamo gadang bagala', ambo tampuang sajo untuak 'namo ABS SBK', khususnyo untuak para sanak kito nan dari nagari-nagari nan mamakai gala ko.
Kito
|
Wassalam,
Saafroedin Bahar (L, masuk 72 th, Jakarta)
Alternate e-mail address: saaf...@gmail.com;
|
--- On Wed, 9/24/08, yumetra fidel amir <yumetr...@yahoo.co.id> wrote: |
From: yumetra fidel amir <yumetr...@yahoo.co.id> |
|
Indak, ah, Nakan. Ambo indak fanatik bana soal gala ko doh. Diimbau jo gala oke, indak diimbau jo gala juo oke. Namo sajo juo oke.
Cuma karano salamo ko kito mandanga pepatah 'ketek banamo gadang bagala', ambo tampuang sajo untuak 'namo ABS SBK', khususnyo untuak para sanak kito nan dari nagari-nagari nan mamakai gala ko.
|
Kito tunggulah |
Wassalam,
Saafroedin Bahar (L, masuk 72 th, Jakarta)
Alternate e-mail address: saaf...@gmail.com;
|
--- On Wed, 9/24/08, yumetra fidel amir <yumetr...@yahoo.co.id> wrote: |
From: yumetra fidel amir <yumetr...@yahoo.co.id> |
|
Pak Saaf dan dunsanak yth.
Membicarakan masalah gelar ini kalau dikembangkan dapat seluas alam dan kalau dilipat dapat selebar kuku. Untuk yang terakhir ini kita sudah kenal dengan pituah "ketek banamo gadang bagala".
Pemberian gelar adat adalah tradisi dari masing-masing negeri, yang dianugerahkan oleh mamak kepada kemenakannya yang telah berumah tangga. Tujuan salah satunya adalah mengukuhkan ybs sebagai salah seorang mamak kaum yang dapat diminta dan didengar pandangannya dalam permufakatan kaum, dan sudah dapat duduk sama rendah dan tegak sama tinggi bersama dengan yang lain. Karena dalam suatu permufakatan biasanya yang dihimbau adalah gelar adat. Memang hal ini mengesankan bahwa lelaki Minang yang telah diberi gelar maka telah dewasa berprilaku sebagai anggota masyarakat adat, dan seharusnya telah cukup lengkap memenuhi ketentuan adat sebagaimana mestinya, adat diisi limbago dituang.
Bila perhelatan kawin dilaksanakan di kampung, biasanya langsung dilakukan pengisian adat menurut tatacara masing-masing negeri. Namun bila perhelatan kawin dilaksanakan di rantau, maka pengisian adat harus dilaksanakan kemudiannya di kampung. Terkadang acara pengisian adat ini sering tertunda karena kesempatan dll, sehingga ybs belum sempat dilekatkan dengan suatu gelaran adat. Dengan demikian ybs belum berhak untuk diundang maupun didengar pandangannya dalam suatu permufakatan kaum.
Saya punya pengalaman pribadi dengan salah seorang kemenakan, seorang profesional sukses dan telah belasan tahun menikah dan hidup di rantau. Beberapa tahun yang lalu beliau sudah merasakan hal ini dan menyampaikan keinginan untuk dilakukan acara pengisian adat. Sehingga sebenarnya hal ini menyangkut kesadaran saja, dan tidak juga menjadi paksaan.
Gelar adat hanya diberikan dari mamak kepada kemenakan, jadi tidak bersifat pewarisan dari ayah.
Gelar adat biasanya terdiri dari 2 atau 3 kata. Kata pertama biasanya menunjukkan semacam jabatan sosial ybs di dalam kaum, seperti : Sutan, Rajo, dll (posisi ksatria/ hulubalang); kemudian Malin, Pokiah, Tuanku, dll (posisi alim ulama); Pado, Rangkayo, dll (posisi profesional); dst. Kata kedua dst biasanya nama yang tipikal di dalam kaum saparuik. Sehingga bisa saja di dalam kaum tersebut terdapat gelar seperti Sutan Marajo, Malin Marajo, dst. Bila kemenakan tersebut terdapat beberapa orang bersaudara, dapat dikembangkan kata nama lain atau menambahkan kata ketiga, seperti Malin Pono, Malin Marajo Sati, Malin Marajo Lelo, dst.
Namun tentunya lain padang lain belalangnya.
Satu orang hanya memiliki satu gelar adat. Sehingga misalnya seseorang bergelar Sutan Marajo kemudian diangkat sebagai penghulu adat, maka gelar sebelumnya menjadi hapus, berganti dengan gelar yang baru.
Masalah penghormatan dan penghargaan terhadap seseorang yang berjasa atau dimuliakan, di dalam pituah adat disebutkan:
"nan kuriak kundi nan merah sago
nan baiak budi nan endah baso".
Yang maksudnya, orang Minang sangat pandai menghargai budi baik seseorang, sehingga sepatutnya dibalas dengan budi bahasa. Tidak ada ketentuan adat yang lebih dari itu.
"pulau pandan jauah di tangah, di baliak pulau si angso duo
hancua badan dikanduang tanah, namun budi baiak takana juo".
Demikian sedikit keterangan yang dapat saya sampaikan, mudah-mudahan dapat ditambahkan dari pemangku adat yang lain. Terlebih terkurang mohon dimaafkan.
Wassalam,
-datuk endang |
Terima kasih, Datuk. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. Jadi 'pepakem' - atau aturan dasarnya -- sama, hanya penerapannya berbeda-beda antara satu nagari dengan nagari yang lain, atau antara satu luhak dengan luhak yang lain.
Mungkin ada tambahan dari Angku Azmi Dt Bagindo dan pak Bachtiar Abna S.H. M.H Dt Rajo Penghulu? |
Wassalam,
Saafroedin Bahar (L, masuk 72 th, Jakarta)
Alternate e-mail address: saaf...@gmail.com;
|
--- On Thu, 9/25/08, Datuk Endang <datuk_...@yahoo.com> wrote: |
Assalamualaikum.. Mamak dan adik-adik/kemanakan, Ondeh mandeh.... tersanjung ambo dilewakan dengan sebutan Rangkayo Hifni oleh Mamak Saaf. Jadi batambah lagi keinginan ambo mengetahui soal panggil memanggil dalam tata krama budaya minangkabau ini. Walau katonyo ndak zaman lagi orang meninggi-ninggikan status sosial, saat ini istilah Rangkayo - panggilan kepada ~padusi~ minang hampir tidak pernah lagi kita dengar baik dikampuang kito dan lebih-lebih dirantau. Memang.. ketika masih kecil dulu ( > 40 tahun silam) .. pernah Ibunda ambo dipanggil Rangkayo diseputar masyarakat kami tinggal... tapi itu dulu dan dulu... Sekarang disaat usia ambo sudah "sweet go cap", sudah pantaskah diri ini di panggil Rangkayo ? Padahal ambo belum berbuat banyak untuk anak negeri kita, seperti halnya Hj. Rangkayo Rasuna Said yang kita kenal. Dalam khazanah budaya minang soal gelar panggilan bagi padusi, ambo dapat menyimpulkan, bahwa : - ~ padusi ~ minang umumnya dipanggil Bundo, Amai, Biyai dalam kedudukan sebagai seorang ibu, atau nama - nama lain yang kita kenal . - khusus panggilan " Rangkayo " - nampaknya lebih mengarah kepada kedudukan fungsional dalam masyarakat. Jika ambo didudukkan secara fungsional, khususnya di Rantau net ini, maka ambo ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang mendalam atas penghargaan ini. Semoga dapat membuka mata dan telinga untuk memberi kemaslahatan bagi pembangunan adat dan budaya minang kita. |
Wassalam, |
--- On Wed, 9/24/08, Dr.Saafroedin BAHAR <saaf...@yahoo.com> wrote: |
From: Dr.Saafroedin BAHAR <saaf...@yahoo.com> Subject: [R@ntau-Net] Re: --> Gelar panggilan To: Rant...@googlegroups.com Date: Wednesday, September 24, 2008, 12:20 PM |
Rangkayo Hifni jo para sanak sa palanta,
Ambo raso rancak kito pakai baliak panggilan 'rangkayo' untuk kaum ibu kito, sabagai imbangan panggilan 'angku' untuak apak-apak. Panggilan tu khas Minang, dan manganduang penghormatan nan khas pulo.
Tantu panggilan 'bundo', 'amai', jo biyai' masih bisa kito gunokan.[Misalnyo Bundo Hayatun N. Rumzy]. Baa nan tapek untuak tiok-tiok ibu, kito pabincangkan malah: misalnyo 'bundo, amai, biyai' untuk nan 'sweet sixty' ka teh, sadangkan 'rangkayo' untuak 'sweet forty to fifty nine'. Untuak nan di bawah 'forty' kito cari pulo nan lamak tadanga.
Kalau panggilan 'ibu' -- dan 'bapak' -- rasonyo talalu umum, walau juo manganduang penghormatan nan samo. |
Wassalam,
Saafroedin Bahar (L, masuk 72 th, Jakarta)
Alternate e-mail address: saaf...@gmail.com;
|
--- On Thu, 9/25/08, HIFNI HFD <hy...@yahoo.com> wrote: |
Assalamu’alai .w.w
Angku Saafroedin Bahar St.Majo Lelo sarato dunsanak sapalanta nan ambo hormati.
Sabalunnyo ambo maucapkan tarimo kasih kapado Angku Saafroedin Bahar St.Majo Lelo yang mano ateh perhatian beliau kepado ambo, agar ambo ikut memberikan pandapek tentang istialh “Ketek Banamo Gadang Bagala” dalam tatan adat di Minangkabau, mako bersamo iko depek ambo sampaiakn sebegai berikut :
Nan paratamu, istilah “Gadang Bagala” yang diberikan terhadap para Penghulu Pemangku Adat nan bagala Datuak, beliau digadangkan oleh kaumnya, digadangkan di payung nan sakaki, di tombak nan sabatang, yaitu dalam sebuah suku atau payung disuatu nagari. Gadangnyo karano diambak tingginyo karano dianjung dan beliau di sebut juga sebagai “ Nan Gadang Basa Batuah”. Dan sebelumnyo beliau di Gadangkan, bisa sajo beliau lah pernah bagala yang bukan gala pemangku adat, atau bisa sajo alun pernah bagala samo sakali. Mako itulah mangko dalam malewakan Panghulu pemangku Adat, disebut juo “Batagah Gadang”. Nan kaduo, istilah “Gadang Bagala” yang diberikan terhadap sesorang nanlah barumah tangga atau akan berumah tango, dengan memberikan gelar pusako dalam kaumnya, yang bukan gelar pemangku adat.
Ampek angkek jalan kapanta Babelok jalan ka Mininjau Ketek banamo gadang bagala Baitu adapt di Minangkabau
Pulai maningkek naik maninggakan rueh dengan buku, manusia maningkek turun maninggakan adat jo pusako, sewaktu ketek diagiah Bapak namo, lah gadang diagiak mamak gala, mako diberikanlah gala sesuai dengan gala nan ado didalam kaum masing-masing, seperti Sutan….. Bagindo….. dll
Sakitu sajolah nan dapek ambo sampaikan, sebagai calak-calak kaganti asah mananti tukang alun tibo, mungkin ado panjang kabakarek, singkek ka bauleh, atau lamah kaba bilai dari, angku Dt.Endang dan Angku Abna Dt.Rajo Suleman atau dari angku2 atau dunsanak nan lain.
Ambo nan bukan cadiak pandai Ilemu di Tuhan tasimpanyo Kok lamah tolonglah di bilai Tando panghulu sa andiko
Wssalam,
Azmi Dt.Bagindo
--- |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Batanyo juo lah ambo ciek ka Pak Syaaf atau sanak sapalanta
Soal panggia mamanggia dari ketek ka nan gadang, samo gadang atau ka nan tuo
Misalnyo ambo ka Ibu Hifni (iko formal)
Dek umua ambo salisiah 7 tahun..ambo panggia Uni Evy atau Uni Hifni (sehari-hari dalam berkomunikasi)
Nah kalau lah pakai Rangkayo apo indak paralu pakai Uni lai Pak…(Rangkayo Uni Hifni atau Rangkayo Hifni sajo)
Jiko Pak Syaaf dapek dimaklumi kalau mamanggia Rangkayo sajo karano usianyo tapauik jauh bedanyo
Apo ambo dalam posisi lebih muda dari Uni Evy..bisa mamanggia inyo Rangkayo Hifni
Lalu ado ciek lai (lah umum urang awak batanyo..awalnyo ciek tapi nan ditanyo banyak he..he)
Ambo kamari cangguang juo jo mamanggia kawan nan alah bagala datuak
Kok tuo diateh ambo apokah pakai Pak datua atau Mak Datuak atau cukuik Datuak sajo alah sopan
Baitu juo nan dibawah umua ambo…baa nan rancak..apo digeneralisasi sajo tuo mudo dari awak panggia Datuak A, B dst sudah cukup sopan dan hormat
Lalu masalah “Angku” kadang2 dipergaulan samo gadang/saumua iko panggilan bia agak haluih dan sopan saketek dari pado ba “Waang”
Nah ado juo Angku ko..dipanggia untuak Kakek awak atau urang lah tuo dari awak (Bapak2)..baa kiro2 nan tapek manggunokan panggilan Angku ko
Itu sajo tanyo ambo, terimo kasih sabalunnyo
Wass-Jepe (43)
From: Rant...@googlegroups.com [mailto:Rant...@googlegroups.com] On Behalf Of Dr.Saafroedin BAHAR
Sent: Thursday, September 25, 2008
12:28 PM
To: Rant...@googlegroups.com
Subject: [R@ntau-Net] Re: --> Gelar
panggilan
Rangkayo Hifni jo para sanak sa palanta, |
Ambo raso rancak kito pakai baliak panggilan 'rangkayo' untuk kaum ibu kito, sabagai imbangan panggilan 'angku' untuak apak-apak. Panggilan tu khas Minang, dan manganduang penghormatan nan khas pulo. Tantu panggilan 'bundo', 'amai', jo biyai' masih bisa kito gunokan.[Misalnyo Bundo Hayatun N. Rumzy]. Baa nan tapek untuak tiok-tiok ibu, kito pabincangkan malah: misalnyo 'bundo, amai, biyai' untuk nan 'sweet sixty' ka teh, sadangkan 'rangkayo' untuak 'sweet forty to fifty nine'. Untuak nan di bawah 'forty' kito cari pulo nan lamak tadanga. Kalau panggilan 'ibu' -- dan 'bapak' -- rasonyo talalu umum, walau juo manganduang penghormatan nan samo. |
Wassalam, |
(L, masuk 72 th, Jakarta) Alternate e-mail address: saaf...@gmail.com; |
|
From: HIFNI HFD <hy...@yahoo.com> |
Date: Thursday, September 25, 2008, 11:25 AM |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Sanak Jupardi jo sanak sa palanta,
Karano katantuan nan alah baku tantang panggilan ko nampaknyo alun ado, rancak dipakai raso jo pareso sajo. Nan penting kito manghormati urang.
Tantang 'datuak' biasonyo diimbau 'angku datuak' atau 'datuak' sajo. Kalau dalam suasana formal -- misalnyo dalam pasambahan wakatu baralek-- disabuik langkok. Agak jarang ambo mandanga 'uda datuak' atau 'sanak datuak'.
Untuak nan agak tuo saketek dari kito nampaknyo iyo mamakai 'uda' atau 'uni'. Biasonyo dipakai kalau hubungan dakek. 'Rangkayo' agak taraso formal. Rasonyo indak lazim sasudah 'uni' pakai 'rangkayo' pulo.
Sasamo gadang iyo agak jangga manyabuik 'waang' atau 'akau'. Kasa bana.. Ambo sandiri ka konco arek ambo sabuik 'angku', sabagai panghormatan. [Sanak kito nan dari Medan, herannya tanang sajo mayabuik konconyo jo 'kau'. Lieklah film 'Naga Bonar']. 'Angku' ado juo dipakai untuak manyabuik baliau dan sausia jo kakek kito. Itu nan dapek dek ambo. Kito danga pulo dari para sanak nan lain. |
Wassalam,
Saafroedin Bahar (L, masuk 72 th, Jakarta)
Alternate e-mail address: saaf...@gmail.com;
|
--- On Thu, 9/25/08, Jupardi <jup...@ANUGRAH-MGT.BIZ> wrote: |
From: Jupardi <jup...@ANUGRAH-MGT.BIZ> |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Waalaikumsalam w.w. Angku Azmi Dt Bagindo dan para sanak sapalanta,
Tarimo kasih banyak. Alah batambah juo pangatahuan kito tantang gala ko dari penjelasan Angku Datuak. Mudah-mudahan bamanfaat handaknyo. |
Wassalam,
Saafroedin Bahar (L, masuk 72 th, Jakarta)
Alternate e-mail address: saaf...@gmail.com;
|
--- On Thu, 9/25/08, azmi abu kasim azmi abu kasim <azmi_libr...@yahoo.co.id> wrote: |
From: azmi abu kasim azmi abu kasim <azmi_libr...@yahoo.co.id> |
|
|
|
|
|
Yth para dunsanak dimano sajo barado, iko sakilas info sajo, samoga rang rantau nan masih susah mandapek an informasi masiang-masiang daerahnyo, selanjutnyo jikok koran ko jadi tabiknyo, mako tantulah labiah langkok dari pado koran nan alah ado kini. Sabab, koran nan katabik kini, Informasinyo salingka Daerah sajo.Mohon dukuangan kito basamo. Buek rang dapua, mohon maaf dahulu dan Tarimo kasih banyak |
Yth para dunsanak dimano sajo barado, iko sakilas info sajo, samoga
rang rantau nan masih susah mandapek an informasi masiang-masiang
daerahnyo, selanjutnyo jikok koran ko jadi tabiknyo, mako tantulah
labiah langkok dari pado koran nan alah ado kini. Sabab, koran nan
katabik kini, Informasinyo salingka Daerah sajo.Mohon dukuangan kito
basamo. Buek rang dapua, mohon maaf dahulu dan Tarimo kasih banyak |