Oleh: LENI MARLINA
Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
BAHASA menunjukan bangsa. Dengan bahasa yang dipakainya, seseorang akan diketahui dari mana ia berasal. Hal ini terjadi karena bahasa itu adalah identitas bagi bangsa manapun di belahan bumi ini. Minangkabau merupakan masyarakat yang menggunakan bahasa Minangkabau untuk berkomunikasi dalam keseharian. Bahasa Minangkabau adalah salah satu anak cabang dari bahasa Austronesia dengan penutur aslinya adalah suku Minangkabau. Bahasa Minangkabau dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah berfungsi sebagai lambing kebanggaan daerah Sumatera Barat, dan sebagai alat penghubung masyarakat Minangkabau saat berkomunikasi sesama mereka. Tapi seiring zaman telah terjadi perubahanperubahan dalam penggunaan bahasa Minangkabau tersebut.
Dahulu orang Minang adalah masyarakat yang menyapa dengan menggunakan kata ganti sapaan yang mereka dapat dari nenek moyang mereka sendiri. Misalnya saya dalam bahasa Minang disebut dengan ambo atau awak, dia disebut inyo, sedangkan sapaan untuk memanggil orang yang dihormati atau yang lebih tua digunakan sidi, sutan, mamak, anduang, uwai, inyiak, etek, mande dan yang lainnya. Anduang dan uwai adalah sapaan untuk orang yang sudah tua atau nenek dari kita , inyiak untuk kakek, mande untuk saudara perempuan ibu, sidi atau sutan untuk menyapa urang sumando (Para suami di Minangkabau), sedangkan kata sapaan mamak digunakan untuk menyapa saudara laki-laki dari ibu. Dengan memakai semuan sapaan ini, kita bisa membedakan di mana posisi orang yang kita ajak bicara, dan seperti apa kita harus menghormati orang tersebut. Oleh sebab itu, di Minangkabau dikenal istilah kato mandaki untuk orang yang lebih tua, kato malereang untuk orang yang dihormati atau disegani, kato manurun untuk yang lebih muda dan kato mandata untuk mereka yang seumuran.
Tapi akhir-akhir ini, seiring perkembangan zaman, sapaan seperti yang disebutkan di atas sudah jarang sekali kita dengar. Para remaja Minang seakan–akan tidak tahu atau malah tidak mau tahu dengan hal-hal seperti itu. Anak muda sekarang semakin hari seperti semakin kehilangan bahasa nenek moyang mereka. Bahasa yang menjadi identitas ini perlahan-lahan hilang diterjang arus modernisasi. Zaman benar-benar telah mengubah mereka sehingga hampir benar-benar meninggalkan bahasa ibu tersebut. Dalam keseharian, mereka lebih senang mengganti sapaan yang sudah ada dengan sapaansapaan baru yang bukan berasal dari bahasa Minangkabau.
Dahulu orang Minangkabau menggunakan sapaan, aden, denai, waden, atau ambo untuk kata ganti diri dan untuk orang lain mereka menggunakan sapaan kau atau waang. Sekarang kata ganti diri itu sudah jarang digunakan. Jika namanya Arif, saat berbicara dengan orang lain dia lebih senang menggunakan nama sendiri dari pada memakai kata ganti awak atau ambo, misal “ Arif dak mau dow” katanya. Lebih mirisnya lagi, ada di antara mereka yang menggunakan kata sapaan tidak sesuai dengan kata sapaan yang ada di Minangkabau, contohnya banyak remaja perempuan yang memanggil waang pada teman sejenis atau sahabat perempuannya atau sebaliknya remaja laki-laki menyebut wakau pada teman laki-lakinya, padahal dalam bahasa Minang kau harusnya dipakai untuk perempuan dan waang untuk kaum laki-laki.
Semua kesalahan pemakaian bahasa oleh remaja yang telah disebutkan di atas terjadi karena lemahnya penguasaan bahasa daerah yang mereka punya. Selain itu, realita ini juga disebabkan karena peraturan tegas untuk wajib menggunakan bahasa daerah atau bahasa Minangkabau sepertinya tidak pernah diterapkan dengan baik. Memang ada pelajaran budaya alam Minangkabau (BAM) di sekolah-sekolah, tetapi dalam proses belajar mengajarnya, guru dan siswa terkadang masih menggunakan bahasa Indonesia, dan mata pelajaran tersebut hanya digunakan sebagai pelengkap. Rendahpun kemampuan dalam berbahasa Minangkabau tidak akan menjadi penghalang untuk tidak lulus atau naik kelas.
Saat ini, mereka yang berdiam di kampungkampung sudah banyak terpengaruh oleh budaya luar yang di dalamnya mencakup pengaruh bahasa. Notabenenya ini mengakibatkan kesalahan dan perubahan dalam pemakaian bahasa daerah. Apalagi bagi mereka yang lahir atau tinggal di rantau, walaupun merantau hanya dengan jarak Pariaman-Padang atau Solok- Padang saja, itu sudah cukup membuat bahasa yang mereka pakai mengalami perubahan. Perubahan terlihat ketika pulang kampung dihari libur atau lebaran. Dengan bangga, mereka menyebut dirinya dengan sebutan “gw” atau “aku”, sedangkan kepada orang lain mereka memanggil “kamu” atau “loe”. Bukan sapaan untuk diri sendiri atau pada teman sebaya saja yang telah berubah dalam diri remaja tersebut, tetapi juga panggilan untuk orang yang lebih tua. Misalnya, mamak atau saudara laki-laki ibunya disapa dengan sebutan Om.
Di Minangkabau, sapaan mamak bukan hanya sekadar panggilan biasa, makna mamak di sini memilki makna yang dalam. Jika seseorang sudah mendapat gelar mamak, ia harus bisa menjalankan fungsi dalam keluarga inti dan komunalnya dengan baik. Seorang mamak tidak bisa melimpahkan kewajiban untuk mengayomi anak dan kemenakannya pada orang lain. Peranan dan fungsi mamak tersebut merupakan kearifan dari struktur dan budaya masyarakat Minangkabau. Keberadaannya sangat sangat menentukan eksistensi masyarakat Minangkabau.
Berbeda dengan Om yang hanya punya kewajiban dan hak atas anak dan istrinya saja, Om tidak punya tanggunga jawab moral dalam mengayomi kaumnya. Jadi sangat disayangkan sekali jika panggilan mamak ini tiba-tiba dirubah menjadi Om, karena mamak di sini memiliki fungsi yang tidak akan pernah bisa disamakan sedikitpun dengan Om. Sampai kapanpun mamak tetaplah mamak, dan Om akan tetap akan menjadi Om.
Menurut Syamsuri (1985:16), bahasa-bahasa yang tidak lagi dipakai dalam kehidupan seharihari biarpun masih ada secara tertulis ataupun dalam keadaan tertentu, bahasa-bahasa semacam ini disebut bahasa yang mati. Berpijak dari pandangan ini, jika kita masih terus mengabaikan kesalahankesalahan yang terjadi dalam penggunaan bahasa sepertinya kita hanya menungggu saat bahasa daerah yang kita punya ini menuju ambang kematian.
Epaper, Harian Haluan MINGGU, 8 JANUARI 2012
--
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
1. E-mail besar dari 200KB;
2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi;
3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/
Nah, "Kanti" manuruik ambo labiah akrab dan dakek lai rasonyo. Ambo manggunokan "Nti" jo kawan dakek ambo Sjamsir Djohary (alm, dari Situjuah). Sasudah sapangalaman dan saparasaian maso bagolak, 1058-61, kami sempat satahun tingga sakamar di Bukittinggi manyalasaikan Kuliah di B-I Sejarah Bukittinggi 1961-62. Sabalun bagolak, 1956-58, kami satingkatan kuliah juo di B-I Sejarah tu. Antaro kami, kami taruih pakai panggilan "Nti" ko. Baitu intimnyo "kanti" ko, awak dapek mautarakan parasian surang-surang nan rumik-rumik manyadiahkan, dari hati ka hati, diakhiri jo Ungkapan "Iyo lah ontahnyo Nti!"
Salam,
--MakNgah
Sjamsir Sjarif
Di Tapi Riak nan Badabua Jan 8, 2012
--- In Rant...@yahoogroups.com, "R. Y. Perry Burhan" <pburhan@...> wrote:
>
> Ajo Sur,
> Kato "kanti" (=kawan, konco) dipagunokan untuak maimbau kawan sasamo gadang
> (jalan mandata) nan alah akrab.
>
> salam
> imam sati / 52 - sby
>
> 2012/1/8 Lies Suryadi <niadilova@...>
>
> > Kalau ndak salah di Pikumbueh dan sekitarnyo ado kata sapaan KANTI. Apokoh
> > ado dunsanak di lapau nan bisa manjeleh'an bilo kato sapaan KANTI ko
> > dipakaikan?
> >
> > Wassalam,
> > Suryadi
> >
> > *Dari:* Nofend St. Mudo <nofend@...>
> > *Kepada:* Rant...@googlegroups.com
> > *Dikirim:* Minggu, 8 Januari 2012 5:09
> > *Judul:* [R@ntau-Net] Kesalahan Penggunaan Kata Sapaan dalam Masyarakat
> > Minangkabau
> >
> > Oleh: *LENI MARLINA*
> > Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
> > * *
> > *BAHASA *menunjukan bangsa. Dengan bahasa yang dipakainya, seseorang akan
--MakNgah
Permisi...permisi..... Soto Ambo ciek.
Induk Bareh (istri) dikampuang kami (Tanjuang Barulak, Batusangka) disabuik pulo "Urang Rumah ", disingkek Rang Rumah.
Rep, bilo ang tibo ?. Potang Mak.
Lai babawok Rang Rumah waang ?. Lai Mak.
Rang Rumah waang Urang ma ?. Urang Jawa Mak.
Onde..... Iyo la lamak tempe dari pada Randang dek waang. Kecek Mamak he he he.
Kanti, samo Jo Konco. Tapi, Kanti Lebih akrab dibanding Konco, atau Kanti samo Jo Konco Palangkin.
Mandan, lai samo Jo di kampuang kami. Mandan pasangan main Domino.
Baa waang main ko !. Balak Mandan dibunuah he he he.
Kalau Ambo pikia-pikia, panggilan di Kampuang awak Iyo sabana informatip.
Urang non Minang/Jawa nan Ambo tau, Etek (adiak Mande) Dan Dunsanak Bapak nan Padusi, mereka imbau Bu De, Bu Lek. Awak indak tau apakah Bu De Dunsanak Mande atau Dunsanak Bapak.
Begitu juo Jo panggilan terhadap Dunsanak Ibu nan laki-laki (Mamak) Dan Dunsanak Bapak nan Laki-laki (Pak Dang, Pak Ngah, Pak Etek)
Urang non Minang/Jawa, mereka maimbau Pak DE atau Pak Lek.
Jadi, memang sangat paralu panggilan di kampuang Awak dilestarikan.
PAMBOYAN.
Istilah Pamboyan dikampuang kami adalah hubungan antara duo rang laki-laki nan istrinyo baradiak kakak.
A da B padusi adiak kakak. A kawin Jo C Dan B kawin Jo D.
C Dan D disabuik Pamboyan.
Dalam bahasa Indonesia atau bahasa Daerah lainnyo hubungan antara C Dan D disebut IPAR.
Baa di kampuang, Bapak2, Mamak2 Dan Dunsanak Palanta. Lai ado istilah PAMBOYAN ko?.
Wassalam.
Reflus/L.54 th.
Assalamu’alaikum wr.wb., Baa mangko rancak juo nan di urang pado nan punyo awak??!! Kapatang-kapatangko awak alah mampaotakan pakaro namo urang awak. Banyak namo-namo nan dipagunoan urang awak nan ka-barat-barat-an, atau iyo bana namo urang barat, walaupun nampak bana pulo di awak nan bahaso namoko indak bapangaruah bagai ka kayakinan urang awak doh. Kini awak aliah saketek kaji, yoitu pakaro imbau-an atau panggilan. Di generasi awak kini, nan baumua 40 taunan plus mungkin indak ado nan indak panah diimbau ‘oom’ kalau nan laki-laki, atau ‘tante’ kalau nan padusi. ‘Oom’ jo ‘tante’ ko nan barasa dari bahaso Bulando jauah labiah tapakai dari pado bahaso awak nan sabanano jauah labiah langkok. Panggilan untuak urang nan biaso diimbau caro kini jo ‘oom’ atau ‘tante’ ko banyak bana variasino di bahaso awak dan manunjuakan pulo posisi urang tu masiang-masiang. Cubo awak caliak. Dunsanak apak awak nan laki-laki biasono diimbau pulo jo panggilan ‘pak’ (apak). Nan labiah tuo dari apak awak bana diimbau ‘pak tuo’. Kalau nan ketek pado apak awak diimbau ‘pak etek’. Kalau apak awak banyak badunsanak laki-laki, misalno limo urang laki-laki, apak awak nan nomor tigo atau nan paliang tangah, mako panggilan tadi biasono manjadi ‘pak tuo’ untuak dunsanak baliau nan paliang tuo, sudah itu ‘pak tangah’, sudah itu ‘pak etek’ untuak adiak nan dibawah baliau bana, sarato ‘pak uncu’ untuak adiak baliau nan paliang ketek. Untuak dunsanak amak awak nan laki-laki ampia sarupo itu pulo, hanyo diimbau jo mamak atau ‘mak’. Biasono mamak awak nan paliang tuo (dunsanak laki-laki amak awak nan paliang tuo) indak di imbau ‘mak tuo’ tapi ‘mak gadang’. Sudah itu baru ado pulo ‘mak tangah’ , ‘mak etek’ sarato ‘mak uncu’. Untuak dunsanak padusi dari apak atau amak awak biasono dipakai imbauan nan sarupo sajo, ‘mak tuo’ kalau nan labiah tuo dari amak atau apak awak, mak tangah (mak ngah), sudah itu ‘etek’ untuak nan labiah mudo, dan tarakhir ‘uncu’ untuak adiak baliau nan paliang ketek. Binyi mamak biasono diimbau ‘mintuo’. Suami ‘mak tuo’ di imbau ‘pak tuo’, suami ‘etek’ diimbau ‘pak etek’. Disiko biasono ukuran umua indak salalu tapakai sabagai pambandiang. Walaupun nan diimbautu labiah mudo dari amak awak, tapi dek baliau binyi ‘pak tuo’ awak mako awak imbau juo ‘mak tuo’. Panggilan atau imbauan nan banyak macam no di nagari awakko labiah kayo dari pado di urang Jawa. Di sinan baiak dunsanak dari apak ataupun dari amak samo-samo diimbau sajo ‘pak de’ kalau nan labiah tuo dari apak atau amak awak, atau ‘pak lik’ kalau nan labiah mudo. Tapi itulah, panggilan nan sarupo itu alah samakin ditinggaan urang pulo. Kini ka ateh - ka bawah, ka suok - ka kida alah baimbau ‘oom jo tante’ sain lai. Wassalamu’alaikum wr.wb., Lembang Alam
Tampaknyo istilah "mantialau" ko lah dicopy pulo dek Angku TR dan Bundo Nismah, tatanyo pulo, apokoh baitu poulo tadanganyo di Angku TR di Phnomphen (Panamuang) dan Bundo Nismah di Mekhong(Mungka)? Ataukoh tapangaruah jo ejaan JuSur di ateh?
Tambahan. Salain Anak Rumah, Nak Umah, Nak Rumah, pun ado juo ayah ambo manyabuik saisuak "Urang Rumah".
Satantangan "Pak De, Pak Le", "Buk De, Buk Le" di Jawa tu barangkali samo jo "Pak Dang", "Pak Etek" dan "Adang" jo "Etek" di awak. Jadi De nan Gadang (nan tuo), Le nan Ketek, nan mudo.
Kini, pagi ko manunggu subuah di RAntau, baru ambo takana, ado saurang tamu dulu tahun 1978, Padusi dari Jawa mancari ambo di Santa Cruz. Inyo kawqan dari kamanakan ambo di Jakarta, labiah mudo dari ambo. Ambo takajuik karano inyo maimbauan ambo "De" dan tadanganyo di ambo "Dek" atau "Dik" nan ambo tarjumahkan "Adiak". Tapi wakaut itu indak ambo anggap asih, indak paduli, mungkin urang padusi ko agak "dedeh" saketek pangananyo. Tapi kini, dengan analisa "De" dan "Le" ko, kamungkinnan inyo innocent, tidak bersalah sabananyo maimbauan ambo "De" nan mungkin mukasuiknya "Nan Gadang", nan labiah tuo darinyo, mamanggiakan ambo kakak, saroman "Da" atau "Uda" di awak. Kalau baitu, kini lah baru dapek ambo maafkan imbauannyo "De" (atau "adiak" tu ka ambo nan manganggap ambo ketek drinyo, sabananyo inyo mamakai tu untuak manghormati ambo mangganggap ambo labiah tuo darinyo. Ruponyo baginyo mungkin panggilan "De", "Dek" tuka ambo, bukan "dik" atau "adiak" tapi "Da" atau "Uda"...
Mudah-mudahan takok-takok ambo pagi ko batua. Ado nan ahli bahaso Jawa?
Salam,
--MakNgah
Sjamsir Sjarif
Santra Cruz, Ca,Jan 9, 2011
--- In Rant...@yahoogroups.com, Lies Suryadi <niadilova@...> wrote:
>
> Di Piaman ado nan labiah keren untuak istilah 'induak bareh' ko, Pak Taufiq: 'mantialau'. Tapi biasonyo kato ko berkonotasi ka urang rumah nan masih mudo matah, alun gaek baranak 9 doh, kalau didandani cap ampu juo lai. 'Mantialau'adalah sejenis burung yg bulunya berwarna kuning dg suara merdu. Agak jarang tampak buruang ko kini dek alam lah banyak nan rusak. Jadi, buruang ko rancak bana, suko awak maliek dan mandanga suaronyo kalau sadang bakicau. Itu sababnyo buruang ko diambiak ka kiasan urang rumah seseorang nan masih mudo matah dan rancak.
>
> "Tadi ambo basobok jo mantialau Ajo Badek di Pasa Kuraitaji. Iyo badagok mantialau Ajo kito tu. Gabaya senteng e malepai tanah".
>
> Salam,
> Suryadi
>
> ________________________________
> Dari: "taufiqrasjid@..." <taufiqrasjid@...>
> Kepada: rant...@googlegroups.com
> Dikirim: Senin, 9 Januari 2012 8:51
> Judul: Re: [R@ntau-Net] Kesalahan Penggunaan Kata Sapaan dalam Masyarakat Minangkabau
>
>
> He..he..batua MakNgah, nenek ambo acok manyabuik itu dulu
>
> Tapi agak lengkap : "NakRumah"
>
> --TR
> Sent from my BlackBerry®
> powered by Sinyal Kuat INDOSAT
>
> -----Original Message-----
> From: "sjamsir_sjarif" <hambociek@...>
> Sender: rant...@googlegroups.com
> Date: Mon, 09 Jan 2012 07:34:58
> To: <rant...@googlegroups.com>
> Reply-To: rant...@googlegroups.com
> Subject: Re: [R@ntau-Net] Kesalahan Penggunaan Kata Sapaan dalam Masyarakat Minangkabau
>
> Salain "Induak Bareh", Ado ciek lai istulah isteri di Kampuang Awak angku TR: "Anak Umah", "Nak Umah" sabagai kapendekan sebutan dari "Anak Rumah".
>
> --MakNgah
Almarhum Buya Hamka makakai ejaan kato "mentilau" tu juo dalam Syairnyo "Di Atas Runtuhan Kota Melaka"
Awan berarak mentilau bernyanyi
Murai berkicau bayu merayu
Kenang melayang ke alam sunyi
Teringat zaman yang lama lalu
http://blog.farulazri.com/?p=1146
Salam,
--MakAngah
Sjamsir Sjarif
--- In Rant...@yahoogroups.com, taufiqrasjid@... wrote:
>
>
> --- In Rant...@yahoogroups.com, Lies Suryadi <niadilova@> wrote:
> >
> > Di Piaman ado nan labiah keren untuak istilah 'induak bareh' ko, Pak Taufiq: 'mantialau'. Tapi biasonyo kato ko berkonotasi ka urang rumah nan masih mudo matah, alun gaek baranak 9 doh, kalau didandani cap ampu juo lai. 'Mantialau'adalah sejenis burung yg bulunya berwarna kuning dg suara merdu. Agak jarang tampak buruang ko kini dek alam lah banyak nan rusak. Jadi, buruang ko rancak bana, suko awak maliek dan mandanga suaronyo kalau sadang bakicau. Itu sababnyo buruang ko diambiak ka kiasan urang rumah seseorang nan masih mudo matah dan rancak.
> >
> > "Tadi ambo basobok jo mantialau Ajo Badek di Pasa Kuraitaji. Iyo badagok mantialau Ajo kito tu. Gabaya senteng e malepai tanah".
> >
> > Salam,
> > Suryadi
> >
> > ________________________________
> > Dari: "taufiqrasjid@" <taufiqrasjid@>
Ado pulo tandanga dek awak :
Cik Uniang ( apo samo jo uni??? )
Udo ( samo jo uda ??? )
bitu sen nyeh....
irfanbdg33