Alam: Parewa dari Nagari Sago, oleh ET Hadi Saputra Bab 1: Keras Hati di Tepi Sawah

5 views
Skip to first unread message

ET Hadi Saputra

unread,
Oct 4, 2025, 8:41:11 AM (6 days ago) Oct 4
to RantauNet
Parewa bab 1.png
Langit di atas Nagari Sago membentang biru tanpa cela, sebuah kanvas sempurna yang menipu mata. Di bawahnya, kedamaian terasa palsu, seperti tenangnya permukaan danau sesaat sebelum badai mengamuk. Di pematang sawah yang menghijau zamrud, Alam menyandarkan cangkulnya yang berat. Keringat membasahi pelipisnya yang legam, namun bukan lelah yang membuat rahangnya mengeras hingga giginya bergemeletuk. Setiap ayunan cangkul terasa seperti hantaman pada batu kepasrahan yang ingin ia pecahkan, sebuah kemarahan yang membakar panas di ulu hatinya.
Dari kejauhan, ia bisa melihat para Ninik Mamak—tetua adat yang menjadi tiang penyangga nagari—berkumpul di balairung. Siluet mereka yang duduk bersila tampak kecil dan rapuh di bawah atap gonjong yang megah, wajah mereka keruh seperti air sungai setelah hujan deras di hulu. Sejak beberapa minggu terakhir, kabar angin tentang keinginan Kompeni untuk menaikkan pajak tanah dan meminta bagian lebih besar dari hasil panen telah menjadi bisik-bisik yang meresahkan. Kabar itu merayap dari lapau kopi tempat para lelaki melepas penat, hingga ke pancuran umum di mana para perempuan berbagi cerita sambil mencuci kain. Bagi kebanyakan orang, itu adalah takdir yang harus diterima dengan pasrah, sebuah nasib yang tak bisa ditolak, seperti datangnya musim kemarau atau musim hujan. Namun bagi Alam, kepasrahan adalah kata lain dari kekalahan.
Teman-temannya, Hasan yang selalu waspada dan Arip yang periang, menghampirinya, merasakan aura gelap yang menguar dari sahabat mereka. Langkah mereka sengaja diperlambat, seolah enggan mendekati gunung api yang siap meletus.
“Sudahlah, Lam. Wajahmu itu bisa membuat kerbau takut dan batal membajak sawah,” kelakar Arip, mencoba mencairkan suasana yang terasa berat dengan candaan khasnya. Ia mencomot sepotong ubi bakar dari bungkusan yang dibawanya, menawarkannya pada Alam.
Alam hanya menggeleng, matanya tak beranjak dari balairung.
Hasan yang lebih pendiam hanya menepuk bahu Alam, sebuah gestur kecil yang penuh pengertian. “Para tetua pasti akan menemukan jalan keluar,” katanya, meskipun suaranya sendiri terdengar ragu, lebih seperti harapan daripada keyakinan. “Mereka lebih bijaksana, lebih tahu cara berunding dengan orang-orang Belanda itu.”
“Jalan keluar?” desis Alam, nadanya sinis namun terselip keputusasaan. Ia menoleh, tatapannya menyala. “Jalan keluar mereka adalah menunduk lebih dalam, San. Berdoa agar badai berlalu. Tapi badai ini bukan untuk ditunggu, ini untuk dihadapi. Jika kita terus menunduk, mereka tidak akan berhenti sampai kepala kita menyentuh tanah dan tak bisa bangkit lagi.” Watak keras hatinya, yang membuatnya sering dijuluki “Alam Parewa” oleh mereka yang tak suka dengan sikapnya yang blak-blakan dan menentang arus, kini terasa membara. Ia adalah pemuda yang lebih percaya pada tajamnya ladiang di pinggangnya daripada pada janji-janji kosong atau kesabaran yang tak berujung.
Tiba-tiba, dari ujung jalan tanah yang menghubungkan nagari dengan jalan utama yang lebih besar, tampak seorang penunggang kuda mendekat dengan cepat. Debu cokelat mengepul di belakangnya, menandakan kecepatan yang tak biasa. Bukan pedagang yang membawa barang dagangan, bukan pula perantau yang pulang kampung dengan rindu di dada. Pakaiannya adalah seragam gelap para pembantu Demang yang bekerja untuk pemerintah kolonial, dan kuda yang dipacunya adalah milik Kompeni, tegap dan terawat baik dengan pelana kulit yang mengkilap, sangat kontras dengan kerbau-kerbau kurus milik warga yang berkubang di lumpur.
Seketika, semua aktivitas di sekitar mereka terhenti. Para perempuan yang sedang menanam bibit padi di petak-petak sawah menegakkan punggung mereka, tangan mereka yang berlumur lumpur berhenti bergerak. Para lelaki yang sedang mencangkul menghentikan ayunan tangan, membiarkan cangkul mereka tertancap di tanah. Bisik-bisik cemas yang tadi terdengar di antara mereka kini lenyap, digantikan oleh kesunyian yang mencekam. Semua mata tertuju pada penunggang kuda yang semakin mendekat.
Penunggang kuda itu tidak berhenti di pasar atau di lapau; ia langsung memacu kudanya menuju balairung, tempat para Ninik Mamak berkumpul, seolah membawa pesan yang tak bisa ditunda. Ia melompat turun dari kudanya dengan angkuh, menyerahkan tali kekang kepada seorang pemuda yang tergopoh-gopoh menghampirinya, lalu melangkah masuk ke dalam balairung tanpa mengucap salam.
Alam menegakkan tubuhnya, matanya menyipit, tangannya tanpa sadar mencengkeram gagang cangkulnya lebih erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia tahu, kabar buruk yang selama ini hanya menjadi angin yang berhembus di antara daun-daun bambu, kini telah tiba dalam wujud nyata, membawa surat resmi dengan stempel yang akan menentukan nasib mereka semua.

Glosarium Bab 1:
Nagari: Kesatuan wilayah adat setingkat desa atau kelurahan dalam hukum adat Minangkabau.
Ninik Mamak: Para tetua adat atau pemimpin kaum laki-laki dalam suatu kaum (saudara satu suku, satu nagari) di Minangkabau, yang memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan.
Balairung: Bangunan tradisional tempat para Ninik Mamak bermusyawarah untuk urusan adat dan kepentingan bersama.
Kompeni: Sebutan umum masyarakat pada masa itu untuk pemerintah atau tentara kolonial Belanda (berasal dari nama kongsi dagang VOC).
Parewa: Sebutan untuk orang yang cenderung membangkang, berani, tidak terlalu terikat pada aturan formal, terkadang berkonotasi preman, namun dalam konteks ini lebih sebagai pemberontak terhadap ketidakadilan.
Ladiang: Senjata tajam sejenis golok khas Minangkabau, yang juga sering digunakan sebagai alat kerja.
Lapau: Kedai atau warung kecil tempat orang-orang laki-laki dewasa berkumpul, minum kopi, dan bercengkrama.
Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages