Sabalun pak Syaf membahas tentang nan beliau infokan Rabu 15 Okt lalu perihal Bedah Buku Christine Dobbin, dan juo Judul yang samo yang di laporkan kompas pado postingan pak syaf tersebut, berikut ambo tambahkan saketek artikel nan agak panjang dari Blog Opung Basyral HH itu.
Salam......
----------
PERANG PADERI BUKAN PERANG AGAMA
OLEH BASYRAL HAMIDY HARAHAP
Apa dan Siapa Christine Dobbin
Buku Christine Dobbin (1941-), Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra 1784-1847 pertama kali diterbitkan oleh Curzon Press bekerjasama dengan Scandinavian Institute of Asian Studies, sebagai Monograph Series No. 47 pada tahun 1983. Lembaga ini kemudian berubah nama menjadi Nordic Institute of Asian Studies, disingkat menjadi NIAS. Edisi bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Indonesia Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) tahun 1992, di bawah judul Kebangkita Islam Dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatra Tengah 1784-1847. Enam belas tahun kemudian, 2008, Penerbit Komunitas Bambu di Depok menerbitkan lagi edisi bahasa Indonesia buku ini di bawah judul Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847.
Judul karya Christine Dobbin tersebut, menegaskan bahwa Christine Dobbin adalah sarjana sejarah yang mengenal dan benar-benar memahami Islam. Saya telah membaca seluruh halaman buku Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847 termasuk kickers. Kalimat panjang 56 kata Prof.Dr. Taufik Abdullah pada halaman kulit IV itu, adalah kutipan dari kumpulan esai Prof.Dr. Taufik Abdullah Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia yang diterbitkan oleh LP3ES 1987.
Setelah membaca dengan tekun buku Christine Dobbin itu, saya berkesimpulan bahwa Perang Paderi sangat sarat dengan perilaku dagang semasa kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol. Itu sebabnya judul resensi buku Christine Dobbin tersebut yang dimuat KOMPAS, 27 Juli 2008, menjadi Perang Dagang di Sumatera Barat.
Disertasi Christine Dobbin sendiri adalah tentang kepemimpinan di Kota Bombay, India Barat di bawah judul Urban Leadership in Western India: Politics and Community in Bombay City 1840-1885, diterbitkan di London oleh Oxford University Press, 1972. Sebelumnya, Christine Dobbin sudah menulis sejumlah buku, di antaranya Basic Documents in the Development of India and Pakistan di terbitkan di London oleh Van Nostrand, 1970. Asian Entrepreneurial Minorities: Conjoint Communities in the Making of the World Economy, 1570-1940 diterbitkan di London oleh Richmond, Surrey (Curzon Press Ltd.) yang juga diterbitkan dalam terbitan berseri Scandinavian Monograph Series No. 71, 1996.
Pada tahun-tahun terakhir, Christine Dobbin melakukan riset tentang sejarah gagasan-gagasan (history of ideas) di dunia Timur dan dunia Barat, dan juga tentang hubungan agama dan pembangunan ekonomi. Kini Christine Dobbin adalah salah seorang peneliti di Australian National University di Canberra dan menjadi penasihat Departemen Luar Negeri Australia dalam berbagai masalah yang berkaitan dengan pembangunan di Indonesia.
Sejumlah artikelnya yang lain adalah: Economic Change in Minangkabau as a Factor in the Rise of the Padri Movement 1784-1830 diterbitkan dalam majalah terkemuka tentang studi Indonesia, Indonesia (Cornell University), vol. xxiii (1970). The Exercise of Authority in Minangkabau in the late 18th Century yang dimuat dalam buku suntingan Anthony Reid dan Lance Castles, Pre-Colonial State Systems in Southeast Asia diterbitkan di Kuala Lumpur, 1975. Islamic Revivalism in Minangkabau at the Turn of the Nineteenth Century yang dimuat dalam Modern Asian Studies, vol. viii (1974) di London. Kemudian artikel Tuanku Imam Bonjol (1772-1864) yang dimuat dalam majalah Indonesia (Cornel University) vol. xiii (1972).
Bedah Buku di Unimed
Buku Christine Dobbin Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847 ini dibedah di Unimed pada 14 Oktober 2008. Ikut berbicara dalam seminar itu sebagai pemakalah pertama Prof. Usman Pelly, dan Prof. Nur Ahmad Fadhil Lubis sebagai pemakalah kedua. Sedangkan Prof. Antonius Bungaran Simanjuntak bertindak sebagai pembahas.
Harian KOMPAS Edisi Sumbagut, 15 Oktober 2008 memberitakan, bahwa Prof. Nur Ahmad Fadhil Lubis menyimpulkan bahwa Christine Dobbin kurang memahami Islam. Saya mendapat kesan, bahwa Prof. Nur Ahmad Fadhil Lubis belum membaca buku itu secara tuntas. Karena kesimpulan itu tidak akan muncul dari orang yang sungguh-sungguh membaca buku itu. Pasalnya, kata kunci Islam yang dimunculkan pada judul dan pembahasannya di dalam buku, adalah tentang sejarah masuknya Islam dan keberagamaan orang Minangkabau. Hal itu cukup membuktikan bahwa Christine Dobbin memahami Islam dengan baik.
Apakah dalam setiap pembicaraan tentang pergerakan Islam itu harus disertai keharusan menuliskannya dalam kisah-kisah heroik yang gegap gempita, dan jika tidak, penulisnya jadi kurang memahami Islam?
Sosiolog Prof. Usman Pelly lebih memandang gerakan radikal Padri sebagai suatu yang positif. Katanya, gerakan radikal Paderi tidak hanya mampu mengisi dan mendinamisasi perubahan sosial, tetapi juga memberikan perlindungan dan pengayoman kehidupan ekonomi baru yang mulai berkembang pada saat itu. Dan bahwa, kaum Padri merasa mendapat tugas sejarah untuk memulai sebuah perubahan radikal dari bawah.
Kesimpulan Prof. Usman Pelly ini bukan saja keliru tetapi juga sangat gegabah. Karena ia telah menafikan tragedi kemanusiaan yang luar biasa yang dilakukan oleh kaum Padri, bukan saja di wilayah budaya Minangkabau, tetapi juga di Tapanuli. Perang Padri adalah perang paling lama (1803-1838) dan paling kejam dalam sejarah Indonesia abad XIX. Mereka bukan saja berupaya menguasai sumber daya ekonomi di luar Minangkabau, tetapi juga menghancurkan memori kolektif dan karya sastra serta perbendaharaan kearifan lokal dengan membakarnya dan membunuh orang-orang arif dan terhormat.
Kalau begini cara berpikirnya, apakah kita harus memuji Daendels, penguasa yang telah membangun jalan ekonomi dari ujung ke ujung Pulau Jawa dari Anyer ke Panarukan, sementara proses pembangunannya sendiri menimbulkan tragedi kemanusiaan yang luar biasa?
Penghancuran Tamadun Batak
Asisten Residen Mandailing Angkola (1848-1857), Alexander Philippus Godon, memperlihatkan kepada Dr. Herman Neubronner van der Tuuk ―ketika berkunjung ke Panyabungan bulan Maret 1852―, dua buku besar naskah Mandailing. Buku itu berhasil diselamatkan orang Mandailing dari kebringasan kaum Paderi yang membakari buku-buku di wilayah Tabagsel. Padahal, buku-buku itu berisi berbagai ilmu tentang pertanian, hukum, tradisi, pengobatan dll.
Apa motivasi pemusnahan itu belum jelas, bisa saja disebabkan kebodohan kaum Paderi yang tidak mampu membaca aksara Mandailing, sehingga mereka ingin memusnahkannya. Ini merupakan bagian dari tragedi dan upaya penghapusan tamadun Mandailing. Maklumlah, sampai kini kita belum pernah membaca buku yang beraksara Minangkabau, karena mungkin mereka tak memiliki aksara sendiri.
Menarik penuturan Dr. Herman Neubronner van der Tuuk dalam Een Vorst Onder de Taalgeleerden: Herman Neubronner van der Tuuk Taalafgevaardigde voor Indië van het Nederlandsch Bijbelgenootschap 1847-1873: Een bronnenpublicatie bezorgd door Kees Groeneboer. . - Leiden: KITLV, 2002. - p. 123, bahwa dalam perjalanannya ke Panyabungan pertengahan Maret 1852 itu, ia beristirahat di warung kopi di Aek Sijorni di tepi Batang Angkola di dekat simpang ke kampung Bulu Gading. Van der Tuuk melihat seseorang membaca bagian dari satu buku beraksara Mandailing dalam bahasa Melayu berjudul Hikajat Toeankoe Orang Moeda. Halaman judul buku itu ditulis dengan aksara Arab gundul sedangkan isinya dengan aksara Mandailing berbahasa Melayu.
Beruntung, kecerdasan lokal ini tidak punah secara total, karena masih ada buku beraksara Mandailing yang selamat dari kezaliman kaum Paderi. Sehingga tradisi menulis buku dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan dan humaniora pada orang Mandailing masih berlanjut.
Perang Dagang
Saya sependapat dengan antropolog Prof. Bungaran Antonius Simanjuntak yang mengatakan, bahwa Perang Paderi bukanlah perang agama. Menurut penelitiannya, serbuan kaum Paderi ke Tapanuli Selatan adalah karena habisnya logistik di Sumatera Barat.
Kuatnya semangat dagang orang Minangkabau dan kaum Padri digambarkan oleh Christine Dobbin secara gamblang. Beberapa penjelasan tentang semangat dagang kaum Paderi antara lain ditulis oleh Christine Dobbin pada halaman 260, 261, 280, 281 sbb.:
Pada kira-kira tahun 1812, Bonjol mulai menarik penduduk dari tempat-tempat lain di Minangkabau. Mereka datang untuk mengkaji ajaran Padri maupun untuk ikut serta dalam perdagangan desa yang sedang berkembang. Sama seperti pemimpin utama Padri lainnya, Imam Bonjol ingin membuat kampung halamannya menjadi pusat dagang yang penting. Dalam memoarnya disebutkan bahwa segera setelah ia mendirikan tempat pemukiman itu, ia menanam padi dan pohon buah-buahan dan mendirikan tempat peternakan sapi dan kuda. Selanjutnya, ia berkata bahwa kira-kira pada tahun 1812, Bonjol “begitu makmur berkat meningkatnya industri dan perdagangan sehingga banyak orang datang ke situ karena tertarik pada murahnya harga bahan makanan sebab beras, ternak, dan kuda tersedia berlimpah”. Tambahan lagi, setelah benteng desa lebih disempurnakan dan penduduknya dipersenjatai dengan layak, “mereka memusatkan diri sepenuhnya pada perdagangan. Dengan menikmati keadaan damai dan bersatu, kemakmuran nagari Bonjol makin lama makin bertambah dan pedagang-pedagang dari tempat lain banyak yang datang ke sini” (hal. 260).
Walaupun sulit dibedakan antara yang suci dan yang duniawi, keadaan menjadi lebih mudah oleh kenyataan bahwa Imam Bonjol dengan cepat menjadi pemimpin perang dan perhatiannya tertuju pada hal lain. Kepada murid-muridnya yang berbondong-bondong datang ke Bonjol, ia memberikan latihan silat. Kemudian, ia membentuk pasukan khusus setelah kedudukannya di lembah cukup kuat untuk menyatakan jihad kepada daerah sekitarnya. Ia lalu mengembangkan pola serbuan tahunan ke daerah-daerah sekitarnya dan pasukan Bonjol selalu kembali dengan hasil rampasan yang cukup banyak. Setelah menang perang, mereka beristirahat untuk bercocok tanam selama satu tahun sebelum melakukan serbuan lain. Serbuan-serbuan ini biasanya dilakukan atas permintaan salah seorang pemimpin Padri. Pada diri mereka bercampur erat semangat agama dan keserakahan manusiawi. Diberitakan pada suatu penyerbuan di Agam, orang Bonjol tidak saja kembali dengan membawa ternak rampasan, melainkan juga piring, cangkir, kuali, dan alat keperluan rumah tangga lainnya (hal. 261).
Kebanyakan perdagangan produk Batak pun berada di tangan orang-orang Minangkabau. Oleh sebab itu, serbuan pasukan Padri ke Mandailing dan hulu Barumun hanya merupakan satu tahap lain dalam pembebasan yang terus menerus dari dunia Minangkabau ke dunia Batak yang telah berlangsung berabad-abad (hal. 280).
Tidak mengherankan jika Imam Bonjol memalingkan matanya ke utara, ke arah tetangganya yang kaya, setelah ia menetapkan kekuasaannya di Lembah Alahan Panjang. Lembah yang panjang dan sempit di sebelah lembahnya menampakkan kemakmuran yang cukup besar. Para pemimpin masyarakat Padri di Alahan Panjang menyadari bahwa kepemilikan atas tambang emas Rao pasti akan memberikan dimensi ekstra pada jaringan dagang yang hendak mereka ciptakan. Selain itu, tenaga kerja dari lembah itu juga merupakan tambahan yang sangat diharapkan. Imam Bonjol memulai serbuannya ke Rao dengan mengawasi pembuatan jalan yang baik ke Lubuk Sikaping, desa utama di ujung selatan lembah (hal. 281).
Tuanku Imam Bonjol Ingin Bebas
Dua kalimat terakhir Christine Dobbin dalam buku ini pada halaman 379 edisi bahasa Indonesia dan halaman 244 teks aslinya, sbb.: “Lebih dari segalanya, sejarahnya telah mencerminkan keinginannya. Hal itu telah diungkapkan oleh Imam Bonjol sebelum ia ditangkap, yakni menjadi “seorang Melayu yang bebas” (hal. 379). [More than anything his history has reflected his wish, expressed by Imam Bonjol before his capture, to be “a free Malay”].
Wallahualam bis sawwab (DanAllah Maha Tahu sesungguhnya).
(Basyral Hamidy Harahap, pemerhati sosial budaya Mandailing dan penulis buku Greget Tuanku Rao, 2007)
=====
PERANG DAGANG DI SUMATERA BARAT
KOMPAS, Minggu 27 Juli 2008
BASYRAL HAMIDY HARAHAP
Artikel Rosihan Anwar, ”Perang Padri yang Tak Anda Ketahui”, yang dimuat oleh ”Kompas”, 6 Februari 2006, menyoroti sisi gelap Perang Paderi. Tulisan Rosihan itu bersumber pada buku yang disusun oleh sejarawan militer Belanda, G Teitler, berjudul ”Het Einde van de Paderieoorlog: Het beleg en de vermeestering van Bonjol, 1834-1837: Een bronnenpublicatie.”
Rosihan, dalam artikelnya itu, bercerita tentang kebiasaan kaum Paderi menculik kaum perempuan dalam serangan, kemudian mengangkut mereka untuk dijual sebagai budak (slaves).
Ada satu buku lagi yang mengupas dinamika perubahan yang luar biasa dalam kehidupan ekonomi dan gerakan purifikasi ajaran Islam di Minangkabau. Dalam proses perubahan itu timbul banyak konflik yang mengakibatkan terjadi tragedi kemanusiaan. Buku itu ditulis sejarawan Christine Dobbin, berjudul asli Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy, Central Sumatra 1784-1847 (Curzon Press, 1983).
Dobbin mengawali paparannya secara detail tentang ekologi sosial dan topografi Minangkabau, tentang tantangan dan anugerah alam dalam gerakan perdagangan masyarakat Minangkabau. Kita terkesima membaca buku ini. Ternyata masih banyak yang tidak kita ketahui tentang perubahan sosial yang spektakuler dan tentang gerakan Paderi di Minangkabau dan Tapanuli.
Kurang lebih 75 persen dari buku bercerita tentang dinamika perubahan orang Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pantai barat dengan segala masalah yang ditimbulkannya, pertambangan emas dan besi, industri rumah, perbengkelan alat pertanian, senjata tajam dan bedil, pertukangan, pertenunan, perkebunan komoditi ekspor, persaingan dan perang dagang dengan Belanda. Hal itu terjadi sejak berabad sebelum timbul gerakan Paderi.
Menarik untuk disimak bahwa berabad sebelum lahirnya gerakan Paderi, agama Islam sudah lama berkembang di Natal, pantai barat Mandailing, Tapanuli Bagian Selatan. Hal ini terbukti dengan kehadiran Tuanku Lintau, seorang kaya, penduduk asli Lintau di Lembah Sinamar, yang datang ke Natal untuk belajar agama Islam. Kemudian Tuanku Lintau meneruskan pendidikannya ke Pasaman yang juga didiami orang Mandailing yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal.
Usai menuntut ilmu agama Islam itu, kira-kira 1813, Tuanku Lintau kembali ke desanya membawa keyakinan bahwa sebagai penduduk Tanah Datar, ia mempunyai misi untuk memperbaiki tingkah laku dan moral penduduk lembah itu. Tuanku Lintau terkesan pada gerakan Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh di Agam. Ia pun bergabung dengan kaum Paderi.
Secara khusus Tuanku Lintau merasa wajib menyadarkan keluarga raja yang bergaya hidup tidak sesuai dengan ajaran Islam agar kembali ke jalan yang benar. Semula, Tuanku Lintau mendapat perlindungan dari Raja Muning, ialah Raja Alam Minangkabau yang bertakhta di Pagaruyung. Tetapi dalam perkembangan berikutnya, Tuanku Lintau justru melancarkan revolusi sosial karena ia yakin bahwa sistem kerajaan yang korup adalah hambatan bagi keberhasilan cita-citanya.
Tuanku Lintau dan pengikutnya menyerang Raja Alam. Banyak yang terbunuh, termasuk dua putra Raja Alam. Raja Alam dan cucunya berhasil menyelamatkan diri ke Lubuk Jambi di Inderagiri. Cucu Raja Alam ini kelak terkenal sebagai Sultan Alam Bagagar Syah, Raja Minangkabau terakhir.
Bahwa Natal di pantai barat Mandailing sebagai tempat pertama Tuanku Lintau menimba ilmu agama Islam membuktikan, ternyata Perang Paderi bukanlah gerakan Islamisasi di Mandailing. Karena berabad sebelum timbulnya gerakan Paderi, ulama-ulama sufi telah mengajarkan agama Islam kepada orang Mandailing Natal. Tokoh utama penyebar agama Islam di kawasan pantai barat sampai ke pedalaman Mandailing adalah ulama besar sufi Syekh Abdul Fattah (1765-1855). Ulama besar ini wafat dan dimakamkan di Pagaran Sigatal, Panyabungan. Murid-murid para sufi itulah yang secara damai membawa Islam ke pedalaman Mandailing.
Baik Paderi maupun Belanda saling khawatir terhadap ancaman penghancuran hegemoni dagang masing-masing di kawasan Minangkabau dan pantai barat itu. Itu sebabnya Belanda mengunci wilayah Padang sampai ke selatan agar tidak dijamah oleh kaum Paderi. Inilah yang mendorong pendudukan wilayah utara, dalam hal ini Rao dan Mandailing yang kaya emas berkualitas tinggi dan komoditi ekspor lainnya. Kita jadi mengerti mengapa gerakan perdagangan ini menjadi mengeras dalam era gerakan Paderi.
Gerakan Paderi di Mandailing mendapat perlawanan dari Sutan Kumala yang Dipertuan Hutasiantar, raja ulama sekaligus primus inter pares raja-raja Mandailing. Ia dijuluki oleh Belanda sebagai Primaat Mandailing.
Dobbin memaparkan bahwa perdagangan budak sangat penting bagi sistem Paderi. Pasalnya, budak-budak bukan saja sebagai dagangan, tetapi juga sebagai pengangkut barang dan tentara cadangan. Itu yang menyebabkan kaum Paderi dapat bertahan begitu lama dalam melancarkan peperangan.
Mungkin tidak enak untuk mengatakan bahwa Perang Paderi yang begitu lama (1803-1838), yang selama ini begitu disakralkan, disebut oleh Dobbin sebagai perang dagang. Fakta menunjukkan cara-cara kaum Paderi menggerakkan perang yang penuh kekerasan dan kebrutalan, jauh dari nilai-nilai Islam. Inilah yang mendorong kita sadar atau tidak sadar, lebih percaya kepada Dobbin.
Selain itu, Paderi mampu menggeser para pedagang yang beroperasi di permukiman orang Eropa yang berdekatan. Salah satu ciri gerakan Paderi yang menonjol adalah usaha membina perdagangan Minangkabau sekaligus melawan upaya-upaya dari luar yang hendak memonopoli perdagangan di kawasan ini.
Dobbin memaparkan bahwa gerakan Paderi, khususnya di utara Minangkabau, lebih pada gerakan perdagangan daripada gerakan penyebaran agama Islam. Pantaslah, tak satu pun bekas jejak kaum Paderi dalam bidang agama di kawasan itu.
Jadi, sesuai dengan sinyalemen saya di dalam buku Greget Tuanku Rao bahwa Islam dibawa oleh orang Mandailing sendiri dari Pasaman dan pantai barat Mandailing. Proses Islamisasi itu berlangsung secara damai dalam suasana kekeluargaan. Mereka telah mengenal Islam berabad sebelum keberadaan kaum Paderi. Reputasi Natal sebagai pusat perguruan Islam di pantai barat Mandailing telah dibuktikan oleh Tuanku Lintau, tokoh legendaris Paderi yang belajar agama Islam di Natal, sebelum ia menceburkan diri dalam gerakan Paderi.
Gerakan reformasi ajaran Islam dan perdagangan pra-Paderi, pada saat Paderi, dan pasca-Paderi pada hakikatnya adalah revolusi sosial yang dahsyat di Sumatera Barat. Tetapi, saya mendapat kesan bahwa Dobbin tidak mengenal secara langsung kawasan Mandailing dan pelabuhan-pelabuhannya di pantai barat. Padahal, kawasan itu sangat penting dalam kancah perdagangan kaum Paderi.
Selain itu, ada nama-nama tempat yang tidak dikenal di daerah itu, seperti Sungai Taru yang seharusnya Batangtoru, Achin seharusnya Aceh, Gunung Bualbuali seharusnya Sibualbuali. Seyogianya dalam penerjemahan dapat dilakukan penyelarasan nama-nama itu. Tetapi ternyata justru penerjemah buku ini menambah kekeliruan dengan memakai istilah-istilah Jawa yang tidak kena-mengena dengan tradisi di alam Minangkabau, seperti kraton dan ningrat yang seharusnya istana dan bangsawan.
Buku ini sangat layak dibaca oleh mereka yang ingin mengetahui kiat-kiat sukses orang Minangkabau dalam berniaga, sekaligus tentang taktik dan strategi gerakan Paderi, serta perubahan sosial yang luar biasa pada orang Minangkabau yang disebabkan oleh gerakan Paderi.
BASYRAL HAMIDY HARAHAP Penulis buku Greget Tuanku Rao, pemerhati masalah sosial budaya Mandailing
Berikut 2 Tulisan BASYRAL HAMIDY HARAHAP nan alun mbo baco di Blog baliau perihal Perang Paderi, ciek nan dibawah dimuek di Kompas 27 Juli lalu.
di kopas dari http://basyral-hamidy-harahap.com/blog/
Sabalun pak Syaf membahas tentang nan beliau infokan Rabu 15 Okt lalu perihal Bedah Buku Christine Dobbin, dan juo Judul yang samo yang di laporkan kompas pado postingan pak syaf tersebut, berikut ambo tambahkan saketek artikel nan agak panjang dari Blog Opung Basyral HH itu.
Salam......
__________________________________________________
Apakah Anda Yahoo!?
Lelah menerima
spam? Surat Yahoo! memiliki perlindungan terbaik terhadap spam
http://id.mail.yahoo.com
http://basyral-hamidy-harahap.com/blog/POLEMIK GREGET TUANKU RAO
Pengantar
Saya membacakan makalah berjudul Holong Mangalap Holong pada Seminar Holong Mangalap Holong: Prinsip Dakwah Masyarakat Mandailing, Program Pasca Sarjana IAIN Sumatera Utara, Medan, 17 November 2007. Seminar ini juga merupakan bedah buku saya Greget Tuanku Rao.
Makalah saya telah mendapat tanggapan dari H. Kosky Zakaria, dosen pasca sarjana IAIN-SU, bidang studi komunikasi Islam, yang hadir pada seminar itu. H. Kosky Zakaria mengundang saya untuk berpolemik di Harian Waspada seperti tersurat dan tersirat di dalam artikelnya yang dimuat Harian Waspada 27 November 2007. Artikel tersebut telah saya tanggapi di harian yang sama pada tanggal 8 Desember 2007. Sebagai bahan pencerahan, kedua tulisan itu saya muat di dalam Blog ini.
Sekiranya ada lagi artikel lain yang masuk ke gelanggang polemik ini, saya dengan senang hati menanggapinya dan akan saya muat lagi di dalam Blog ini. Salah seorang yang sudah menyatakan akan memasuki kancah polemik ini adalah Suryadi. Walaupun ia memakai nama Jawa, tak diragukan bahwa ia adalah orang Minang asli. Suryadi seorang filolog, ahli syair, kaba dan tambo Minang, dosen di Universitas Leiden. Skripsi S1 di Unand 1991 berjudul Dendang Pauah dan tesis S2 di Universitas Leiden 2002 berjudul Syair Sunur. Suryadi memberitahukan kepada saya bahwa ia telah mengirimkan artikelnya kepada redaktur Harian Waspada. Tetapi saat artikel H. Kosky Zakaria dan artikel saya diluncurkan di Blog ini, artikel tersebut belum dimuat oleh Harian Waspada. Saya yakin, bahwa polemik ini besar manfaatnya untuk merentang benang merah kebenaran.
Basyral Hamidy Harahap
********************************************************************************
Selasa, 27 November 2007 00:38 WIB
Kepahlawanan Imam Bonjol Dan Tambusai Digugat
WASPADA Online
Oleh H. Kosky Zakaria
Demikian tercermin dalam paparan seorang ahli sejarah Mandailing, Basyral Hadi Harahap dalam seminar dengan tema Holong Mangalap Holong, Prinsip Dakwah Masyarakat Mandailing, di kampus Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan pada hari Kamis tanggal 17 November 2007. Saya terperangah mendengarkan pernyataan ahli sejarah Mandailing ini, pengangkatan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional dipertanyakan. Bagi orang Minang para pahlawan Perang Paderi adalah tokoh Minang jua yang perlu dihormati dan disanjung sebagai orang-orang yang telah berjuang melawan penjajahan Belanda.
Bermula, seorang pemuka masyarakat Mandailing, Pandapotan Nasution, SH sebagai narasumber pada seminar itu di atas menanggapi paparan Basyral Hadi yang bersumber dari bukunya, Greget Tuanko Rao. Bagi saya, sebagai salah seorang peserta seminar, yang menarik ialah apa yang dikemukakan Basyral Hadi dalam bukunya itu di atas, khususnya menyangkut Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional, tulisan mana ditanggapi oleh Pandapotan Nasution.
Jiwa Kepahlawanan
Basyral menulis dalam bukunya, sebagaimana dapat dibaca pada halaman 106 di bawah judul: 'Kita Bertanya'. Basyral menulis: Kita juga bertanyatanya tentang apakah ada patriotisme pada diri Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai? Pertanyaan ini timbul dari kenyataan, dua petinggi Paderi itu telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat Republik Indonesia sebagai Pahlawan Nasional. Kita bertanya di manakah jiwa kepahlawanan seorang yang telah banyak membunuh, menculik kaum perempuan untuk dijual sebagai budak atau dijadikan gundik di kalangan bangsa sendiri? Kita bertanya, apakah seseorang yang menginjak-injak harkat dan martabat bangsa sendiri pantas menjadi pahlawan? Pandapotan Nasution berpendapat, tidaklah dapat diyakini Paderi melakukan tindakan teror karena mereka adalah penganut agama Islam. Islam adalah agama yang membawa kedamaian, mungkinkah mereka melakukan perbuatan sekeji itu? Bisa jadi, menurut Pandapotan, bahwa tuduhan itu dibenarkan oleh Basyral karena leluhurnya adalah korban kekejaman Tuanku Tambusai.
Demikian pula halnya dengan Tuanku Imam Bonjol, sebagaimana pernah diketahui oleh Pandapotan dan juga disebutkan dalam buku-buku sejarah, Imam Bonjol bukan menyerah tetapi ditipu oleh Belanda dengan dalih diajak berunding, lalu kemudian ditangkap. Lebih lanjut Pandapotan mengemukakan, Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai haruslah ditinjau menurut perspektif zamannya. Waktu itu belum ada nasionalisme. Belum ada bangsa Indonesia, yang ada waktu itu, adalah bangsa Minangkabau, bangsa Mandailing, bangsa Jawa, bangsa Aceh, dan sebagainya. Kita pun bukan warganegara, tapi Bumi Putera (Inlander). Penduduk jajahan Belanda ini terbagi atas tiga golongan, yaitu Eropa, Timur Asing, dan Inlander atau Bumi Putera. Bangsa di sini dalam pengertian etnis, bukan nation. Karena itu, kata Pandapotan, 'kita tidak perlu mempertanyakan kepahlawanan Imam Bonjol dan Tambusai. Mereka sudah diakui sebagai Pahlawan Nasional. Sebagai salah seorang yang berasal dari Minang, saya terusik juga apa yang dikemukakan Basyral Hadi dalam bukunya, Greget Tuanku Rao. Saya mengemukakan, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Tambusai, dan para pahlawan Perang Paderi lainnya, adalah pahlawan Minangkabau sebagaimana dapat dibaca dalam buku-buku pelajaran sejarah semenjak saya bersekolah di Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar). Dalam bukunya, Basyral Hadi bertanya apakah ada patriotisme pada diri Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai?
Buktikan
Walaupun saya hadir di seminar itu dan tidak memiliki buku Greget Tuanku Rao dan waktu yang tersedia sedikit saja, saya ingin mendalami lebih lanjut sekitar Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai, sebagaimana diulas Pandapotan Nasution (lihat kutipan tulisan miring). Perlu ditanyakan Basyral Hadi apakah ada patriotisme pada diri Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai. Saya ungkapkan di sini (mudah-mudahan dibaca oleh Basyral), sikap patriotisme Imam Bonjol dan Tambusai, jangan dilihat sebagai akibat dari gelar Pahlawan Nasional dari Pemeritah. Lihatlah patriotisme ini sebagai landasan berpijak Imam Bonjol dan Tambusai serta para pejuang Perang Paderi yang memperlihatkan sikap kecintaan membela tanah air mereka (kebetulan mereka berada di wilayah Minangkabau dan sebagian wilayah Mandailing) berdasarkan sikap seorang Islam sejati. Para pejuang Paderi tidak ingin Belanda memperbudak kaum 'inlander' terutama di Minangkabau dan di Mandailing.
Seandainya Basyral mempertanyakan 'patriotisme' Imam Bonjol dan Tambusai, saya bertanya pula, 'mengapa sekarang, kenapa tidak dulu-dulu sewaktu penulis buku ini menemukan bukti-bukti sahih tentang kepatriotismean Imam Bonjol dan Tambusai?' Kenapa pertanyaan 'patriotisme' tidak ditujukan kepada panitia pemberian gelar-gelar kepahlawanan, kepada Pemerintah RI? Buktikan alasannya. Kalau respons Pemerintah RI tidak ada, mengapa Bung Basyral tidak membeberkan melalui media massa, agar semua orang tahu bahwa mungkin saja menurut pendapat Bung Basyral, Imam Bonjol dan Tambusai 'tidak pantas' diberi gelar Pahlawan Nasional. Kalau ingin meluruskan sejarah, sekaranglah saatnya Bung Basyral tampil ke depan, siapa tahu Bung Basyral akan diangkat pula sebagai 'Pahlawan Pelurusan Sejarah Bangsa Indonesia'.
Akhirnya, sebagaimana disampaikan oleh Basyral Hadi Harahap di seminar di atas, Tuanku Imam Bonjol bukan ditipu kemudian ditangkap Belanda, tetapi direkayasa seolah-olah Imam Bonjol ditangkap kemudian diasingkan atau dibuang ke Manado, Sulawesi Utara. Imam Bonjol telah melakukan pembicaraan rahasia dengan Belanda melalui penghubung. Kalau memang demikian halnya sebagaimana digambarkan dalam buku Basyral, sudah terjadi rekayasa bahwa Imam Bonjol 'ditangkap' Belanda, seyogyanyalah bukti-bukti otentik yang dimiliki oleh Basyral dibuka agar terdapat suatu pelurusan sejarah. Sebagai salah seorang suku Minang, Imam Bonjol di mata orang Minang adalah pahlawan besar, idola masyarakat, mencontoh Imam Bonjol bagaimana ia berjuang bersama pasukan Paderi mengusir penjajah Belanda dan sekaligus juga berjuang di jalan yang diridhoi oleh Allah SWT. Janganlah hendaknya harkat dan martabat orang Minang runtuh karena ungkapan Basyral yang tidak mengandung kebenaran. Buktikanlah, Basyral bicara benar.
Para ahli sejarah kiranya perlu menggali kebenaran yang diungkapkan oleh Basyral Hadi Harahap dalam bukunya itu. Bagi Basyral sendiri, ia harus berani mensosialisasikan temuan-temuannya yang dituliskannya dalam bukunya, khususnya yang menyangkut Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Tambusai, bahkan secara umum para pejuang Paderi. Beranilah bicara di depan media massa agar bangsa ini tidak terjerumus pada ketidakpastian mengenai kepahlawanan seseorang. Pemerintah perlu mendalami sejarah
Perang Paderi karena para petingginya telah dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional. Sejarah perlu diluruskan. Saya bukan ahli sejarah, tetapi merasa terpanggil untuk ikut mengkomunikasikan sejarah bangsa ini.
Penulis adalah pengajar pada Program Pascasarjana IAIN-SU Bidang Studi Komunikasi Islam dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi 'Pembangunan' Medan.
Sabtu, 8 Desember 2007
Kepahlawanan Imam Bonjol dan Tambusai Digugat:
(Menanggapi H. Kosky Zakaria)
WASPADA Online
Oleh Basyral Hamidy Harahap
H. Kosky Zakaria adalah salah seorang penanya, setelah saya membacakan makalah pada seminar bertema Holong Mangalap Holong: Prinsip Dakwah Masyarakat Mandailing yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana IAIN-SU di Medan pada tanggal 17 November 2007. Saya menjelaskan pada seminar itu, bahwa lafal langgam bicara orang Mandailing kaya sekali dengan huruf sengau, semua huruf diucapkan secara sempurna seperti bahasa Al Qur’an yang memberi hak suara kepada setiap huruf, sehingga menimbulkan efek relaksasi. Langgam bicara seperti itu besar pengaruhnya dalam berdakwah, karena menimbulkan rasa damai dan saling sayang menyayangi (holong mangalap holong).
Menanggapi penjelasan saya itu, H. Kosky Zakaria mengatakan bahwa, langgam bicara orang Minang seperti orang yang tercekik. Saya kaget, karena baru pertama kali saya mendengar hal itu, apalagi diucapkan oleh seorang cendekiawan Minang sendiri, seorang ahli komunikasi, dosen Program Pasca Sarjana, IAIN-SU Bidang Studi Komunikasi Islam. H. Kosky Zakaria juga menyebutkan pada kesempatan seminar itu, bahwa orang Minang banyak akal. Selanjutnya H. Kosky Zakaria meminta klarifikasi tentang rekayasa penyerahan diri Tuanku Imam Bonjol seperti yang saya ungkapkan di dalam buku Greget Tuanku Rao.
Berangkat dari kesan-kesannya dari seminar tersebut, H. Kosky Zakaria menulis artikel dalam rubrik opini Harian Waspada edisi 27 November 2007 di bawah judul Kepahlawanan Imam Bonjol dan Tambusai Digugat.. Beberapa hal yang dikemukakan oleh H. Kosky Zakaria di dalam artikel tersebut ingin saya tanggapi, agar masalahnya menjadi jernih.
Maklumlah, karena waktu yang terbatas tidak semua pertanyaan dapat dijawab seluas-luasnya dalam acara tanya jawab pada seminar tersebut. Saya jelaskan, bahwa informasi tentang rekayasa penyerahan diri Tuanku Imam Bonjol bersumber pada Naskah Tuanku Imam Bonjol. Bahan primer ini berbahasa Minangkabau dan Melayu yang dialihaksarakan oleh Drs. H. Sjafnir Aboe Nain dari aksara Jawi (Arab Gundul) ke dalam aksara Latin. Tuanku Imam Bonjol sendiri menulis catatan harian itu setebal 191 halaman, kemudian dilanjutkan oleh puteranya, Sutan Chaniago, dari halaman 192 s.d. 318.
Terungkap di dalam buku tersebut sejauh mana Tuanku Imam Bonjol ikut merekayasa penyerahan dirinya kepada kompeni. Buku yang memuat kata Sambutan Gubernur Sumatera Barat, Zainal Bakar, ini diterbitkan pada tahun 2004 oleh Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM), Jl. Veteran No. 93, Padang, Telepon/Fax 31356-7877344.
Sulit sekali mendapatkan buku sumber dari tangan pertama pemimpin Paderi ini, apalagi ternyata PPIM sudah bubar. Saya melacak keberadaan publikasi sumber ini ke berbagai lembaga, toko buku dan tokoh-tokoh di Padang, Medan dan Jakarta. Saya gagal. Akhirnya melalui bantuan teman saya Ammar Haryono di Bandung, saya berhasil memperolehnya dari Bapak Armahedi Mahzar, dosen ITB, seorang kelahiran Malang berdarah Kota Gadang, Bukittinggi, yang keluarga isterinya diincar-incar kaum Paderi. Buku inilah yang membeberkan berbagai peristiwa yang dialami oleh Tuanku Imam Bonjol, termasuk pernyataanya mengundurkan diri dari gerakan Paderi, karena menyadari kekeliruannya melakukan peperangan.
Pada suatu hari Jum’at Tuanku Imam Bonjol memerintahkan kepada pengikutnya untuk mengembalikan barang-barang rampasan pasukan Paderi. Para pengikut Tuanku Imam Bonjol menolak pengunduran dirinya dari gerakan Paderi. Tetapi pendirian Tuanku Imam Bonjol tetap teguh, kemudian menyatakan, jika ada masalah adat supaya diselesaikan oleh para petinggi adat, sedangkan masalah agama diselesaikan oleh malin nan barampek. Sejak itulah pertama kali didengar istilah adat basandi syarak. Ini semua ada di dalam Naskah Tuanku Imam Bonjol.
Saya sudah memberikan fotokopi dari Naskah Tuanku Imam Bonjol tersebut kepada Dr. Ichwan Azhari, Direktur Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial (PUSSIS) UNIMED,
sekaligus pemilik Pustaka Humaniora yang beralamat di Jln. Tuasan 69, Medan. Saya persilahkan kepada H. Kosky Zakaria membuat fotokopi naskah itu. Seterusnya, saya mengharapkan kesediaan H. Kosky Zakaria membaca buku Greget Tuanku Rao dengan sabar dan tekun. Pada kesempatan ini saya meminta kesediaan H. Kosky Zakaria untuk mencatat dua kesalahan ketik yang mengganggu, ialah pada halaman 87 tercetak Leonardo da Vinci, seharusnya Dante Alighieri, dan pada baris terakhir halaman 202 tercetak 1969 seharusnya 1869.
H. Pandapotan Nasution, S.H. tanpa dia sadari sudah terjebak di dalam lingkaran subyektivitas dalam bentuk "asal menyatakan tidak" terhadap apa-apa yang saya kemukakan di dalam buku Greget Tuanku Rao dan makalah saya pada seminar Holong Mangalap Holong: Prinsip Dakwah Masyarakat Mandailing tersebut. H. Pandapotan Nasution, S.H. antara lain menyatakan, bahwa buku Greget Tuanku Rao subyektif. Alasannya, karena saya menceritakan pengalaman leluhur saya yang menjadi korban kaum Paderi. Saya bertanya, "Apakah kalau kita menulis tentang fakta yang dialami leluhur kita tidak bisa obyektif?" H. Pandapotan Nasution, S.H. juga menyatakan dengan tegas bahwa sumber-sumber Belanda yang saya pakai, dia ragukan kebenarannya. Pasalnya, bahan-bahan itu sukar didapat oleh orang lain untuk membuktikan kebenaran tulisan saya. Bukankah pernyataan itu justru subyektif? Bertolak belakang dengan pernyataan itu, pada bagian lain H. Pandapotan Nasution, S.H. menyatakan, bahwa selaku sarjana hukum dia mengakui, bahwa penerbitan Belanda Adatrechtbundel adalah bacaan wajib dalam studi hukum.
Agaknya H. Pandapotan Nasution, S.H. tidak melihat dengan saksama, bahwa ada sumber saya yang diambil dari Adatrechtbundel. Serial Adatrechtbundel itu diterbitkan oleh Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV). KITLV adalah lembaga ilmiah yang didirikan tahun 1851, memiliki reputasi internasional dan menyimpan koleksi yang sangat kaya tentang Indonesia. Sebagai orang yang bekerja selama 26 tahun di KITLV (1969-1995), saya terheran-heran mendengar penilaian orang sekaliber H. Pandapotan Nasution, S.H. yang memasang ukuran keabsahan literatur pada sukarnya orang lain memperoleh bahan yang saya gunakan. Maka, saya anjurkan kepada H. Pandapotan Nasution, S.H. supaya pergi ke pusat-pusat arsip, dokumentasi dan perpustakaan di Negeri Belanda seperti yang saya lakukan berkali-kali sejak tahun 1975. Seorang kawan saya, Ammar Haryono, telah mensponsori perjalanan saya ke Negeri Belanda pada bulan Juli-Agustus 2006, hanya untuk membaca dan mencari bahan penelitian di KITLV, Leiden. Insya Allah, sponsor yang sama akan memberangkatkan saya lagi ke Leiden pada bulan Juni-Agustus 2008. H. Pandapotan Nasution, S.H. perlu mengetahui, bahwa KITLV dan semua lembaga arsip dan dokumentasi di Negeri Belanda terbuka untuk kepentingan riset.
Saya setuju sekali anjuran H. Kosky Zakaria agar para ahli sejarah menggali kebenaran tentang apa yang saya kemukakan di dalam buku Greget Tuanku Rao. Buku yang ditulis dan diterbitkan secara komersial yang beredar di dalam masyarakat itu sendiri, adalah sosialisasi temuan-temuan. Perlu saya sebutkan, bahwa saya sudah berbicara di forum terbuka dalam acara bedah buku Greget Tuanku Rao yang dihadiri banyak pihak termasuk wartawan, antara lain tanggal 8 November 2007 yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya UI, Studi Klub Sejarah, dan Komunitas Bambu di Pusat Studi Jepang UI. Kemudian 10 November 2007 di UNIMED yang diselenggarakan oleh PUSSIS UNIMED, dilanjutkan 17 November 2007 di IAIN-SU, yang dihadiri oleh H. Kosky Zakaria sendiri. Menurut rencana, acara yang sama akan digelar di Jakarta pada bulan Desember 2007. Ini bukti kesediaan saya berbicara di muka forum terhormat, seperti di beberapa perguruan tinggi bergengsi tersebut.
Tak terbersit seberapa pun kecilnya niat di dalam hati saya untuk meruntuhkan harkat dan martabat orang Minang melalui buku Greget Tuanku Rao, seperti yang dituduhkan oleh H. Kosky Zakaria di dalam artikelnya. Prasangka seperti itu harus dibuang jauh-jauh dari pikiran siapa pun. Lagipula, manalah mungkin harkat dan martabat orang Minang runtuh hanya karena buku ini. Lebih tak terbersit lagi apa yang diejekkan oleh H. Kosky Zakaria, bahwa "Siapa tahu Bung Basyral akan diangkat pula sebagai "Pahlawan Pelurusan Sejarah Bangsa Indonesia". Jan baitu angku.
Sebagai penutup baiklah saya kutip di sini alinea terakhir makalah saya pada seminar Holong Mangalap Holong di Pasca Sarjana IAIN-SU tanggal 17 November itu, untuk direnungkan dalam-dalam, sbb.:
"Pergaulan orang Mandailing dengan orang Minangkabau sangatlah eratnya, barangkali paling erat dibandingkan dengan pergaulan orang Minangkabau dengan etnis lain. Jika orang Mandailing memperkenalkan dirinya sebagai orang Mandailing apalagi dilafalkan dengan logat Minangkabau, Urang Mandailiang, niscaya terasa ada getaran gaib yang mengeratkan hubungan batin keduanya. Saya mempunyai banyak pengalaman seperti itu".
Terakhir, mohon angku H. Kosky Zakaria menulis nama saya yang sebenarnya, Basyral Hamidy Harahap, bukan Basyral Hadi Harahap. Nama saya diambil dari ayat di dalam Al Qur’an, basyr al hamid yang artinya pasti angku H. Kosky Zakaria ketahui.
Penulis adalah pemerhati masalah-masalah sosial budaya masyarakat Tabagsel.
===============
GREGET TUANKU RAO
PROLOG
Bercengkerama dengan Mangaraja Onggang Parlindungan (MOP) adalah pengalaman yang mengesankan. Saya pernah bertemu dengan MOP pada awal tahun 1970-an dalam perbualan di rumah abang saya Amir Husin Siregar di bilangan Tulodong Bawah, Jakarta Selatan. Hadir dalam perbualan itu Amir Husin Siregar, MOP dan Ir. Amru Baghwie.
Ir. Amru Baghwie lahir dan besar dalam kalangan intelektual Sipirok. Ayahnya, Dr. Abdul Rasyid dan pamannya Abdul Firman gelar Mangaraja Soangkupon, adalah anggota Volksraad (Dewan Rakyat) di Batavia. Soangkupon, seorang yang terkenal di zaman pergerakan sebagai anggota Dewan Rakyat mewakili Sumatera Timur (Noer, 1996:180-181). Soangkupon, adalah anggota Perhimpoenan Indonesia di Negeri Belanda (Poeze:1986:75, 78, 80, 88, 281, 303), dan teman seperjuangan anak Betawi, Muhammad Husni Thamrin, yang sangat gigih membela nasib kuli kontrak di Tanah Deli.
Saya pernah membawa Lance Castles ke alamat ini untuk bertemu dengan Ir. Amru Baghwie, 1970, salah seorang nara sumber Lance Castles ketika menyiapkan disertasinya The Political Life of a Sumatran Residency: Tapanuli 1915-1940.
Kelak Dr. Lance Castles meminta saya menulis Pengantar Edisi Indonesia disertasi yang dipertahankannya di Yale University pada tahun 1972 tersebut. Kepustakaan Populer Gramedia, menerbitkan Edisi Indonesia tahun 2001 di bawah judul Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli 1915-1940.
Hamka menggambarkan sosok MOP sebagai seorang yang suka berkopiah sampir (rasam) buatan Gorontalo, berpipa cangklong, bersarung dan bertongkat kecil (Hamka, 1974:18-19). Penampilan itu yang sering saya saksikan ketika bertemu beberapa kali dengan MOP.
MOP pernah dengan wajah agak gusar, mengarahkan tongkatnya yang berkepala gading ke arah dahi saya. Saya kaget, mengelak dan malu bukan kepalang. Pasalnya, saya ingin mengetahui perihal polemiknya dengan Hamka di Harian Haluan tentang buku Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833.
Mungkin MOP menilai saya tidak pantas ikut berbicara pada perbualan itu. Itulah kenangan saya terhadap MOP pada awal 1970-an. Sejak itu saya semakin tertarik kepada MOP, tertarik dalam arti tidak ingin mengenalnya lebih dekat.
Antara tahun 1974-1976 saya beberapa kali bertemu dengan Hamka di kediamannya. Dalam satu kesempatan, Hamka memperlihatkan surat MOP. Isinya tentang pernyataan MOP menarik diri dari polemik dengan Hamka. Alasannya, karena kurang sehat, lagi pula harus bekerja keras mencari uang untuk membiayai anak-anaknya. Sehingga MOP tidak mempunyai waktu untuk meladeni polemik dengan Hamka. Ketika itu buku Antara Fakta dan Khayal "Tuanku Rao": Bantahan terhadap tulisan-tulisan Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan dalam bukunya "Tuanku Rao" baru saja terbit.
Pada tahun 1976, 12 tahun setelah buku Tuanku Rao terbit, saya bertanya kepada Muhammad Radjab Lubis gelar Sutan Ranggasoli, salah seorang anggota Petisi 50, yang saya kenal gemar membaca bahan-bahan sejarah dan politik, apakah ia sudah membaca buku Tuanku Rao. "Itu kan cuma turi-turian. Buat apa saya membuang waktu membaca buku seperti itu" katanya singkat.
Saya berpendapat, kendati buku Tuanku Rao hanyalah turi-turian perlu juga dibaca, siapa tahu ada butir-butir berharga dari kisah MOP itu.
Komunitas Bambu meminta saya mengulas buku tersebut, sehingga mengharuskan saya membacanya lebih serius. Kesan saya terhadap buku Tuanku Rao, adalah bahwa buku ini bagaikan umbul, mata air, yang dapat dipakai sesuai keperluan. Umbul dapat dipakai sebagai air minum, air wuduk, mandi, mencuci pakaian, mencuci beras, mencuci sayur mayur, mencuci buah, menyiram tanaman, dan lain-lain. Pokoknya terserah kepada yang ingin memanfaatkannya. Begitu juga, buku Tuanku Rao yang dapat menjadi sumber inspirasi untuk menulis buku dari berbagai sudut pandang.
Pastilah sulit untuk membahas buku Tuanku Rao dari segala segi di dalam satu buku. Pasalnya, sangat melelahkan, juga memerlukan kerja keras untuk mencari segala rujukan tentang benar tidaknya dan patut tidaknya paparan MOP. Sulitnya lagi, MOP telah membakar semua bahan-bahan yang dijadikannya sebagai sumber penulisan buku Tuanku Rao.
Oleh karena itu, buku ini bolehlah dikatakan sebagai turi-turian seperti yang dikatakan oleh Muhammad Rajab Lubis Sutan Ranggasoli itu. Turi-turian dalam khasanah sastra lisan Mandailing dan Angkola, Sipirok, Padang Lawas (ASPAL) bisa bersumber pada peristiwa yang benar-benar terjadi pada kurun dan tempat tertentu. Tetapi bisa juga hanya fantasi, ialah kisah yang hanya terjadi di negeri antah berantah pada kurun tingki di na itom na robi, pada zaman kegelapan. Sehingga tidak dapat dipakai sebagai rujukan peristiwa sejarah.
Tuanku Rao adalah turi-turian yang dikisahkan oleh seorang Bayo Parturi, Juru Kisah atau Story teller yang mahir, yang akan memukau pembacanya dari segala lapisan masyarakat tanpa pandang jenjang pendidikan. Pokoknya siapa saja yang membaca buku ini, mulai dari berpendidikan Sekolah Dasar, S1, S2, S3, maha guru, ulama besar, atau hakim, niscaya akan terbius dengan penuturan MOP di dalam buku ini.
Saya menulis buku Greget Tuanku Rao ini dari sudut pandang seperti di bawah ini:
1.Mengoreksi yang salah.
2.Menulis tentang hal-hal yang luput dari perhatian MOP.
3.Menulis tentang hal-hal yang tidak diketahui oleh MOP.
Hal itu semua perlu diketahui oleh khalayak ramai. Oleh karena itu, tidak semua bab di dalam buku Greget Tuanku Rao ini membicarakan buku Tuanku Rao.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada tiga bentuk kata greget, ialah: gereget, gregat dan greget yang artinya mengandung makna nafsu, semangat, kemauan untuk berbuat sesuatu, geram, kesal dan jengkel.
Saya memilih greget, karena gereget terasa terlalu lembut, dan gregat tidak biasa dilafaskan dalam bahasa percakapan sehar-hari. Kata greget lebih memiliki ruh yang apabila diucapkan akan berpengaruh pada gerak bibir orang yang mengucapkannya bahkan membuat gigi beradu. Hal itu terjadi spontan sebagai tampilan makna dan emosi yang dikandung kata greget itu.
Sebagai penulis, ada debar-debum jantung saya ketika menulis bab Datu Bange di dalam buku ini. Bukan hanya karena bab ini bercerita tentang ketidakberperikemanusiaanan, genocide, dan dendam yang membara. Tetapi karena ia juga bercerita tentang leluhur saya yang terus menerus melakukan perlawanan, sekalipun mereka sudah dalam posisi yang tidak menguntungkan. Sementara itu pasukan berbaju Putih yang mendengung-dengungkan agama, sambil menebas kepala manusia, membakari kampung, memperkosa, dan melakukan segala macam kebiadaban, terus mengejar musuhnya. Inilah yang membuat pihak Belanda jadi meleleh, dan terusik rasa kemanusiannya. Datu Bange dan rombongannya terus melakukan perlawanan. Secara spontan pasukan Belanda kemudian melindungi rombongan Datu Bange. Karena jika tidak demikian, sebuah tragedi kemanusiaan yang jauh lebih kejam pasti terjadi, yang bagaimanapun tidak akan bisa diterima manusia beradab !!!
Datu Bange dan pengikutnya yang tidak lain adalah leluhur saya, pada akhirnya berhasil memasuki daerah baru setelah menempuh medan yang berat, berliku-liku naik gunung dan turun lembah serta hutan belantara dengan jarak lebih dari 65 kilometer, dan kemudian mereka menetap di daerah Angkola dan Mandailing Godang. Walaupun untuk itu Datu Bange harus menebusnya dengan nyawanya sendiri.
Melalui tulisan ini saya mencoba memperkaya informasi tentang hal-hal yang kiranya luput dari perhatian MOP, seperti misalnya tentang Willem Iskander yang oleh Pramudya Ananta Toer disebut sebagai keajaiban Indonesia abad XIX, duet Godon dengan Yang Dipertuan yang telah melakukan terobosan peradaban spektakuler antara lain menghapuskan perbudakan di wilayah Asisten Residensi Mandailing Angkola justru pada saat yang bersamaan dengan terbitnya buku Uncle Tom’s Cabin, emansipasi kaum perempuan, pembangunan jalan ekonomi dari Panyabungan ke Natal sepanjang 90 kilometer yang dikerjakan rakyat secara suka rela tanpa sedikitpun menelan korban. Juga tentang peranan Sutan Casayangan Soripada sebagai peletak dasar kesadaran kebangsaan Indonesia dan penentu orientasi kesatuan Indonesia, serta peranan ulama-ulama Sufi Mandailing yang menyebarkan agama Islam di daerah itu berabad sebelum Paderi datang.
Sebagai penutup, saya ingin meminta perhatian kita terhadap kehadiran para peneliti asing yang melakukan penelitian terhadap berbagai aspek kehidupan suku-suku bangsa Indonesia. Bangsa kita seringkali terperangah dan terkagum-kagum melihat kehadiran peneliti asing. Ada benarnya sikap seperti itu. Tetapi harus ada pengenalan lebih mendalam terhadap tokoh-tokoh peneliti suku-suku bangsa Indonesia itu.
Pasalnya, barangkali tidak sedikit peneliti asing yang tidak fasih berbahasa daerah suku bangsa yang ditelitinya. Sehingga dapat diduga, hasil penelitiannya mungkin hanya sebatas kulit-kulitnya saja. Tidak jarang responden menyembunyikan, atau hanya menyatakan dengan isyarat-isyarat hal-hal yang penting. Sehingga peneliti hanya mendapat informasi yang dangkal.
Selain itu, ada hal-hal yang bersifat tabu walaupun tidak kuat, tetapi jika diucapkan di muka orang-orang yang diikat oleh nilai-nilai kepatutan, maka mereka akan merasa malu atau tidak nyaman. Misalnya, jika seorang peneliti bertanya kepada anak gadis yang memakai jilbab di muka ayah dan ibunya, atau seorang ibu muda di depan suami dan mertuanya pertanyaan seperti ini "Kenapa anda memakai jilbab? Kenapa anda menyembunyikan kecantikan anda? Padahal jika anda membuka jilbab, anda pasti tampak lebih cantik lagi. Sehingga banyak pemuda yang akan cinta kepada anda."
Kata-kata peneliti seperti ini membuat responden merasa malu dan tidak nyaman. Mungkin responden hanya tampak tersipu-sipu.
Saya kagum kepada beberapa orang peneliti yang fasih berbahasa daerah suku bangsa yang mereka teliti sekaligus mengenal dengan baik nilai-nilai kesopansantunan suku bangsa yang mereka teliti. Sekedar menyebut beberapa nama:
1.Lance Castles berbahasa Batak ketika mewawancarai respondennya di Pematang Siantar dan Tapanuli.
2.Susan Rodgers fasih berbahasa Batak dialek Angkola Sipirok, memiliki pengetahuan yang luar biasa tentang segala segi kehidupan orang Sipirok, sehingga masyarakat adat di Sipirok menabalkan marga Siregar kepadanya sebagai penghargaan yang tinggi. Susan Rodgers menghargai tinggi pemberian marga itu. Tidak sedikit karya ilmiahnya memakai nama Susan Rodgers Siregar.
3.Rita Smith Kipp seorang antropolog yang fasih berbahasa Karo.
4.Suami isteri Herman Slaats dan M.K. Portier yang fasih berbahasa Karo dan ahli dalam seluk beluk tradisi dan hukum adat Karo.
5.Sandra Niessen yang fasih berbahasa Batak Toba dan menguasai seluk beluk filosofi hidup orang Batak Toba.
6.R. Griffin Coleman yang fasih berbahasa Pakpak dan menguasai segala seluk beluk tradisi kebudayaan Pakpak.
7.Moriyama yang fasih berbahasa Sunda dan menguasai seluk beluk kehidupan orang Sunda.
8.J.J. Ras dan Willem van der Molen dari Universitas Leiden yang ahli bahasa dan sastra Jawa yang sangat menguasai alam pikiran, tradisi dan perilaku orang Jawa.
Itulah beberapa peneliti asing yang saya kenal. Tentu saja masih banyak sekali nama-nama peneliti yang fasih berbahasa dan menguasai segala segi kehidupan lahir batin suku-suku bangsa yang mereka teliti. Catatan ini hanya sekedar mengingatkan para peneliti, apakah ia orang asing atau orang Indonesia, agar ia sewajarnya menguasai bahasa dan nilai-nilai luhur masyarakat yang ditelitinya.
Biarlah ini semua menjadi sumbangan saya kepada MOP dan kepada para pencari kebenaran.
Rawamangun, 18 Agustus 2007
Blog of Basyral Hamidy Harahap
http://basyral-hamidy-harahap.com=========
GREGET TUANKU RAO DILARANG ?
LAPORAN DARI SEMINAR SEJARAH PERANG PADERI
GAGASAN
Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Dr. Joko Utomo, dalam pidato pembukaan Seminar Sejarah Perang Paderi 1803-1838 di Gedung ANRI pada tanggal 22 Januari 2008, mengungkapkan bahwa Dr. Saafroedin Bahar adalah penggagas penyelenggaraan seminar ini. Gagasan itu dikemukakan oleh Dr. Saafroedin Bahar dalam pertemuannya dengan Dra. Mona Lohanda dan Dr. Joko Utomo sendiri. Pihak ANRI menerima baik gagasan ini, karena ANRI adalah lembaga yang menyimpan memori kolektif bangsa, penyimpan sumber-sumber sejarah yang otentik dan kredibel serta memberikan akses seluas-luasnya kepada peneliti, masyarakat untuk kepentingan pemerintahan, pembangunan, penelitian, ilmu pengetahuan, kemasyarakatan demi kemaslahatan bangsa.
Di bagian lain sambutannya, Dr. Joko Utomo mengemukakan bahwa sudah sejak lama ada perdebatan tentang Tuanku Rao. Pada bulan Juli 1969 diselenggarakan seminar di Padang yang menampilkan dua pembicara utama yang berdebat seru, ialah Hamka dan Mangaraja Onggang Parlindungan (MOP) berkaitan dengan buku yang ditulis oleh MOP berjudul Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali Di Tanah Batak 1816-1833 yang diterbitkan oleh Penerbit Tandjung Pengharapan di Jakarta tahun 1964.
Sepuluh tahun kemudian Hamka menerbitkan buku sanggahannya terhadap buku yang ditulis oleh MOP itu berjudul Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao: Bantahan terhadap tulisan-tulisan Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan dalam bukunya Tuanku Rao, yang diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang di Jakarta pada tahun 1974.
Dr. Joko Utomo juga mengemukakan bahwa, G. Teitler menyusun buku Het Einde van de Padrie-oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bonjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie yang diterbitkan oleh De Bataafsche Leeuw di Amsterdam pada tahun 2004.
Menurut Dr. Joko Utomo, hal itu mencuat kembali setelah buku Tuanku Rao karya MOP diterbitkan oleh LKIS Bantul pada bulan Juni 2007, dan terbitnya karangan Basyral Hamidy Harahap berjudul Greget Tuanku Rao yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu di Depok pada bulan September 2007.
Redaksi Majalah TEMPO menganggap masalah ini sangat serius, maka Majalah TEMPO nomor 34, 15-21 Oktober 2007 memuat tulisan berjudul "Kontroversi Kebrutalan Kaum Paderi".
PARA PEMAKALAH
Seminar ini dihadiri oleh 200 peserta terutama dari kalangan masyarakat Minangkabau dan Melayu Riau yang datang dari Sumatera Barat, Riau dan Jakarta. Ada sepuluh pemakalah dalam dua diskusi panel. Prof. Dr. Taufik Abdullah menyampaikan "Pengantar Umum tentang Perang Paderi 1803-1838" kemudian dilanjutkan Diskusi Panel I yang dipimpin oleh moderator Dr. Magdalia Alfian dengan pemaparan lima pemakalah. Prof. Dr. Asmaniar Z. Idris menyampaikan makalah "Melihat Kembali Peristiwa Perang Paderi", H. Ilhamdi Taufik, S.H., M.A. menulis makalah "Kearah Kompilasi ABS-SBK di Minangkabau", Prof. H. Bismar Siregar, S.H. menyampaikan makalah "Aku Bangga Disebut Batak Mandailing", Batara Hutagalung menulis makalah "Beberapa Catatan mengenai Tuanku Rao dan Perang Paderi", Prof. Drs. Suwardi, M.S. menyampaikan makalah "Pandangan Masyarakat Melayu Riau Terhadap Kontroversi Buku Tuanku Rao Karya M.O. Parlindungan dan buku Greget Tuanku Rao karya Basyral Hamidy Harahap tentang Kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol & Tuanku Tambusai".
Pada Diskusi Panel II, Dr. Saafroedin Bahar selaku moderator menyampaikan makalah "Beberapa Catatan Singkat Tentang Cara Merumuskan Kompilasi Hukum ABS-SBK", dilanjutkan dengan paparan makalah oleh Prof. Dr. Taufik Abdullah berjudul "Dinamika Konflik dan Konsensus Antara Adat dan Agama Islam di Minangkabau", Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. menulis makalah "Adat Basandi Syarak
– Syarak Basandi Kitabullah: Dinamika relasional adat dan Islam di Minangkabau", Prof. Dr. Amir Syarifuddin menulis makalah "Sekilas Tentang Mazhab Hambali dan Kaum Wahabi", Drs. H. Sjafnir Aboe Nain Dt. Kando Marajo menulis makalah "Posisi Sumpah Sakti Bukit Marapalam Sebagai Kesepakatan Paska Padri", dan Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J. menulis makalah "Perang 30 Tahun Eropa dan Munculnya Masyarakat Sekuler".Selain itu, panitia seminar membagikan tujuh tulisan yang tidak dipresentasikan ialah: "Tuanku Imam Bonjol, Paderi, Wahabi dan Adat Basandi Syarak Sebagai Jati Diri Masyarakat Minangkabau" oleh Bachtiar Abna, S.H., M.H. Dt. Rajo Suleman, "Sumpah Setie Bukik Marapalam: Adaek Basandi Syarak
– Syarak Basandi Kitabullah" oleh Syekh Suleiman Ar-Rasuly, "Menggugat Imam Bonjol: Ataukah Pemahaman yang Tergelincir??" oleh Anthoniyswan, "Panglima Perang Paderi yang Luput dari Sejarah" oleh Fuad S. Bakri, "Bangga" oleh Lembang Alam, "Perang Paderi Bukanlah Perang Hitam Putih" oleh Azmi Dt. Bagindo, dan "Siapa yang bertanggung jawab atas pelestarian jati diri urang Minang dengan adat budayanya yang ABSSBK" oleh H. Ch. N. Latief, S.H., MSi, Dt. Bandaro.Seminar ini berjalan lancar. Semua peserta sangat antusias mengikuti acara seminar. Hadir tokoh-tokoh masyarakat Minang antara lain Ketua Umum Gebu Minang, Mayjen. TNI (Purn.) Asril H. Tanjung, SIP, Dr. Awaludin Djamin, Buya Mas’oed Abidin dari MUI Sumatera Barat.
Menarik kehadiran artis Rae Sahetapy dalam seminar itu. Kehadirannya sudah barang tentu untuk menambah wawasannya tentang Perang Paderi berkaitan dengan perannya di dalam film "Tuanku Imam Bonjol". Harian Duta Masyarakat edisi 22 Oktober 2007 memberitakan pembuatan film yang diproduksi oleh Reza Zulkifli dari PT Salsa Cemerlang Abadi Film dengan sutradara Abuan Romli, seorang spesilais pembuat film kolosal. Reza Zulkifli menyebutkan, bahwa selain menggandeng sejarawan Taufik Abdullah juga akan menggali informasi dari tokoh-tokoh adat Minangkabau di Sumatera Barat untuk mendetailkan ceritanya.
Dalam film ini, Reza menunjuk Rizal Djibran sebagai sosok Tuanku Imam Bonjol dewasa. Sedangkan tokoh Tuanku Rao diperankan oleh ustadz Jeffry Al Buchori sebagai pelanjut perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Harian Republika edisi 23 Oktober 2007 juga memberitakan informasi yang berbeda tentang pembuatan film "Tuanku Imam Bonjol", di antaranya pemeran tokoh Tuanku Rao adalah Rae Sahetapy. Kisah film dimulai dengan pengadeganan Imam Bonjol kecil, sekitar lima menit, semasa remaja (10 menit), kemudian berguru pada Tuanku Rao (Ray Sahetapi) hingga Tuanku Imam Bonjol menjadi panglima kaum Paderi.
Film kolosal ini merupakan film termahal dengan biaya 19 miliar rupiah (Harian Republika 23/10/2007) atau 20 miliar lebih (Duta Masyarakat 22/10/2007) mendapat dukungan dari pemerintah di antaranya Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, dan dari Departemen Pendidikan
Pada saat istirahat seminar, saya bertanya kepada Rae Sahetapy tentang perannya sebagai Tuanku Rao yang menjadi guru bagi Tuanku Imam Bonjol kecil dan remaja sehingga menjadi Panglima Kaum Paderi. Adakah data sejarah tentang Tuanku Imam Bonjol yang menjadi murid Tuanku Rao? Rae Sahetapy tampak bingung sambil menjawab, bahwa perannya memang menjadi salah seorang guru bagi Tuanku Imam Bonjol. Harian Duta Masyarakat juga memberitakan bahwa, menurut Reza, rencana pembuatan film juga sudah didiskusikan dalam satu sarasehan yang menghadirkan sejumlah orang ternama, antara lain penyair Taufiq Ismail dan Agum Gumelar selaku penasehat produksi. Hal ini saya singgung di dalam laporan ini, karena film "Tuanku Imam Bonjol" itu bisa jadi kelak akan mengundang kontroversi pula.
TANGGAPAN
Judul makalah yang dipaparkan oleh para pemakalah dan tulisan yang tidak dipresentasikan telah menggambarkan apa yang dibicarakan di dalam makalah dan tulisan lainnya itu. Tanggapan peserta terhadap paparan pemakalah sangat bernas.
Makalah yang paling menarik bagi saya adalah makalah Prof. Drs. Suwardi, M.S., yang menjadi perwakilan Masyarakat Melayu Riau dalam seminar ini. Mahaguru ini adalah Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Riau (MSI) sejak berdiri sampai sekarang. Jadi reputasinya sebagai sejarawan seharusnya tidak diragukan. Makalahnya berjudul panjang "Pandangan Masyarakat Melayu Riau Terhadap Kontroversi Buku ‘Tuanku Rao’ Karya M.O. Parlindungan dan buku ‘Greget Tuanku Rao’ karya Basyral Hamidy Harahap tentang Kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol & Tuanku Tambusai". Menurut mahaguru ini, makalah tersebut adalah hasil kerja tim selama dua hari. Selengkapnya saya salin sesuai aslinya termasuk salah ketik dan cetak tebal (bold) di dalam makalah tersebut di bawah ini sebagai berikut:
PANDANGAN MASYARAKAT MELAYU RIAU TERHADAP KONTROVERSI BUKU TUANKU RAO KARYA M.O. PARLINDUNGAN DAN BUKU GREGET TUANKU RAO KARYA BASYRAL HAMIDY HARAHAP TENTANG KEPAHLAWANAN TUANKU IMAM BONJOL & TUANKU TAMBUSAI
1. LATAR BELAKANG
Pembahasan topik ini pada seminar yang diadakan oleh Arsip Nasional RI kerjasama dengan Gebu Minang dan Seknas MHA tentu didorong oleh berbagai issu yang bersumber dari tersebarnya berita di media cetak tentang terbit ulang (reprint) Buku Tuanku Rao oleh Mangaraja Onggang Parlindungan tahun 2007. Penerbit LKiS menghadirkan kembali buku ini setelah 43 tahun menjadi kontroversi sejak terbit perdana tahun 1964 dan ditarik sendiri oleh penulisnya setelah mendapat kritikan dimana-mana akibat data yang diragukan keakuratannya (khayalan belaka). Terutama fakta yang berkaitan dengan kebrutalan kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol seakan-akan mengarah kepada tindakan yang tidak bersifat manusiawi dan keluar dari nilai-nilai agama Islam. Bahkan Prof. Hamka membuat buku khusus untuk meng-counter buku di atas dengan menerbitkan buku berjudul Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao (Bulan Bintang, 1974).
Namun, akhir-akhir ini kontroversi buku tersebut kembali marak dengan terbitnya tulisan khusus yang dimuat Majalah Tempo edisi 15-21 Oktober 2007 berjudul "Kontroversi Kebrutalan Kaum Padri" pada rubrik selingan "Iqra". Sebelum tulisan Tempo dipublikasikan sebenarnya telah pula keluar buku yang isinya juga menyorot kisah brutal Kaum Padri di daerah Mandailing (Padang Lawas, Dolok, dan Barumun) di bawah pimpinan Tuanku Tambusai. Buku yang dimaksud berjudul Greget Tuanku Rao karangan Basyral Hamidy Harahap yang intinya menggugat kepahlawanan Tuanku Tambusai yang dianggapnya telah melakukan perbuatan tidak manusiawi dengan membunuh kaum penentangnya secara sadis. Bahkan baru-baru ini oleh seorang yang tidak jelas latar belakang dan apa tujuannya, Ir. Mudy Situmorang (seorang warga masyarakat Batak kelahiran Pulau Samosir) mempersoalkan gelar Pahlawan Nasional kepada Tuanku Imam Bonjol yang berarti juga mempersoalkan kepahlawanan Tuanku Tambusai dengan menyebarkan mailing list yang berbau fitnah dan sadis.
Berdasarkan kontroversi di atas kami dari masyarakat Melayu Riau merasa terpanggil untuk ikut meluruskan sejarah yang coba dibengkokkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Pandangan ini kami susun setelah melalui diskusi selama dua hari berturut-turut dengan melibatkan ahli sejarah, budayawan, akademisi, tokoh masyarakat/adat serta pers yang bertempat di Sekretariat Lembaga Adat Melayu Riau. Pembahasan materi ini lebih kami fokuskan kepada kontroversi Tuanku Tambusai yang telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional RI dari Propinsi Riau.
2. TUJUAN
Tujuan dari pembahasan ini ialah:
a. Memberi masukan untuk pemecahan kontroversi Buku Tuanku Rao karya MO. Parlindungan dan Greget Tuanku Rao karangan Basyral Hamidy Harahap terutama yang berkenaan dengan Tuanku Tambusai.
b. Pemecahan itu akan memberi kejelasan tentang nilai-nilai Kepahlawanan Tuanku Tambusai.
c. Memberikan pernyataan sikap atas kelanjutan penerbitan dan reprint dari kedua buku tersebut.
3. PERMASALAHAN
Seberapa jauh kebenaran informasi dalam Buku Tuanku Rao karangan MO. Parlindungan dan Greget Tuanku Rao karangan Basyral Hamidy Harahap? Jika kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan maka buku tersebut harus diapakan? Apa maksud penerbitan dan reprint kedua buku tersebut? Adakah skenario untuk memecah belah persatuan kesatuan bangsa dan mencederai kerukunan umat beragama di Indonesia?
4. CAKUPAN BAHASAN
1. Kutipan kontroversi Buku "Tuanku Rao" dan "Greget Tuanku Rao" yang berkenaan dengan Tuanku Tambusai.
2. Klarifikasi dan Pelurusan Fakta.
3. Kesimpulan
4. Rekomendasi
II. MATERI POKOK KONTROVERSI BUKU TUANKU RAO & BUKU GREGET TUANKU RAO YANG BERHUBUNGAN DENGAN TUANKU TAMBUSAI
1. Buku Tuanku Rao memang hanya sedikit menyinggung tentang Tuanku Tambusai. Paling tidak pada buku ini terdapat beberapa halaman yang fokus menceritakan gerak gerik Tuanku Tambusai. Walaupun hanya sedikit, namun tingkat keakuratan datanya sangat perlu dipertanyakan!!! Apalagi ketika berbicara tentang kekejaman kaum Padri di wilayah Minangkabau, tentunya tidak terlepas dari kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Tambusai yang katanya telah melakukan ekspansi sampai ke wilayah Mandailing dengan melakukan pembunuhan massal yang sadis.
Dalam buku ini disebutkan bahwa Tuanku Tambusai merupakan gelar dari nama Hamonangan Harahap, "……….Syarif Anwar Harahap, cucu dari Tinodungan Harahap, yang adalah Saudara Kandung dari Hamonangan Harahap gelar Tuanku Tambusai" (hlm. 352). Pada halaman yang sama disebutkan bahwa makam Tuanku Tambusai tidak pernah diketahui entah dimana. "Tidakpun diketahui, entah kapan, dimana, dan bagaimana Tuanku Tambusai Wafat……. Orang2 Padanglawas percaya, bahwa: Tuanku Tambusai tidak mati!! How?? Katanya: Tuanku Tambusai dengan kudanya "Si Ganding Bara," masuk kedalam gua didalam tanah. Disitu hidup terus hingga hari ini masih.
Pada bagian akhir bab pembahasan tentang Tuanku Tambusai, penulis dengan terang-terangan menyebut bahwa Tuanku Tambusai adalah gelar dari Hamonangan Harahap. Ditulis bahwa, "Hormat kepada Hamonangan Harahap gelar Tuanku Tambusai Maha Putra Padang Lawas." Mungkin masih banyak pada halaman lain kontroversi dari Tuanku Tambusai pada buku ini, namun dari yang sedikit data di atas saja tingkat kesalahannya sudah fatal.
2. Buku Greget Tuanku Rao secara nyata dan jelas banyak menuding pribadi Tuanku Tambusai. Penulisnya nampak secara emosional dan membabi buta memfitnah Tuanku Tambusai dengan pandangannya sendiri serta mengutip murni (percaya 100%) sumber dari penjajah Belanda. Namun, sebelum dikutip lebih lanjut kebenciannya terhadap Tuanku Tambusai, perlu diketahui bahwa Basyral merupakan keturunan Raja Datuk Bange yang disebut-sebut sebagai lawan berat Tuanku Tambusai sewaktu menyerang ke Padang Lawas.
Sebagaimana dikutip Tempo dari penuturan Basyral bahwa ketika berhasil dipukul mundur di Padang Lawas, Tuanku Tambusai balik ke Mandailing. "Dan dalam perjalanannya, pasukannya membabi buta menangkapi anak gadis dan perempuan dewasa di lembah timur Bukit Barisan. Para perempuan itu ditukar dengan mesiu". Setahun setelah peristiwa ini Tuanku Tambusai menyerang Datuk Bange lagi. Pada penyergapan kali ini Datuk Bange dapat dikepung, namun ia berhasil lolos dengan keadaan terluka. Disebutkan Basyral bahwa Datuk Bange mau menyerah, tapi dengan syarat Tuanku Tambusai membiarkan pengikut Datuk Bange selamat. "Kenyataannya pasukan Tambusai kemudian memutilasi ratusan penduduk Padang Lawas".
Inti dari pemikiran Basyral ini adalah ia mempertanyakan kepahlawanan Tuanku Tambusai yang telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional RI tahun 1995 sebagaimana juga disangkatnya. Tuanku Imam Bonjol sebagai Pahlawan Nasional RI dari Sumatera Barat tahun 1973. Basyral mengatakan, "Mengapa ia (Tuanku Tambusai) dianggap pahlawan?"
Basyral membenarkan semua kisah tentang pembantaian yang dilakukan Tuanku Tambusai berdasarkan catatan J.B. Neuman, Jughuhn, Ypes, Schnitger dan T.J. Willer. Ia salah satunya mengutip catatan Willer, "….. Padri yang dipimpin oleh Tambusai membakar kampung demi kampung…. Mereka memaksakan ajaran Islam (Wahabi) dimana-mana. Jika penduduk tidak serta merta mau masuk Islam akan segera dibunuh…….."
Demikianlah kutipan-kutipan kontroversial tentang kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Tambusai yang perlu diluruskan berdasarkan kejian ilmiah dan sumber-sumber terpercaya. Selanjutnya akan dipaparkan kebenaran sejarah berdasarkan hasil kajian dari para pakar sejarah dan tokoh masyarakat di Riau yang telah dimuat pada buku Pengusulan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional yang diterbitkan tahun 1995. Di dalam buku ini telah ditetapkan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional RI berdasarkan Kepres No. 071/TK/tahun 1995 tanggal 7 Agustus 1995, dengan sendirinya telah mempunyai kepastian hukum.
III. KLARIFIKASI DAN PELURUSAN SEJARAH
1. Klarifikasi dimaksudkan untuk mengkritisi atas kontroversi Buku Tuanku Rao karangan MO. Parlindungan dan Greget Tuanku Rao. Hasil penelitian dari tim pengusulan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional melalui kajian mendalam dari berbagai pakar ditemukan fakta bahwa pada intinya Tuanku Tambusai merupakan ulama Islam melawan kolonial Belanda yang menganut agama Kristen/Nasrani (kafir). Perjuangannya bersama kaum Padri adalah jihad. Yang pasti dalam setiap perang tentunya terjadi korban dari kedua belah pihak. Tapi fitnah yang dilontarkan terhadap Tuanku Tambusai dan juga Tuanku Imam Bonjol melalui kedua buku di atas sangat berlebihan. Apakah mungkin seorang penganut Islam yang taat hasil dari didikan kota suci Mekkah tega membunuh orang tak berdosa? Dimana-mana Islam selalu disebarkan dengan damai, bukan dengan pedang sebagaimana dituduhkan pihak lawan. Beda tentunya dengan kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara dengan membawa misi dengan menghalalkan segala cara.
2. Pendapat M.O. Parlindungan tentang Tuanku Tambusai merupakan gelar dari Hamonangan Harahap tidaklah benar. Berdasarkan penelusuran data yang tidak diragukan lagi keakuratannya, bahwa Tuanku Tambusai semula lebih dikenal dengan nama Muhammad Saleh. Ia dfilahirkan di Tambusai (sebuah kecamatan di Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau) tanggal 5 Oktober 1784 dari pasangan Ibrahim dengan Munah. Ayahnya adalah seorang ulama besar di Kerajaan Tambusai waktu itu. Ia sejak kecil sudah diajari pelajaran agama dengan ketat, beladiri, termasuk ketangkasan mengendari kuda. Guna memperdalam ilmu agama Muhammad Saleh kecil pergi menunut ilmu di Bonjol kemudian pindah ke Rao (Sumatera Barat sekarang).
Mengenai akhir hayatnya, disebutkan setelah mengalami kekalahan akibat Benteng pertahananannya (terkenal Benteng Tujuh Lapis) berhasil diduduki Belanda dengan bantuan kaum pribumi yang pro penjajah di Dalu-dalu, Tuanku Tambusai berhasil meloloskan diri dengan menaiki sampan melalui Sungai Batang Sosah. Sampannya sempat ditembak oleh Serdadu Belanda, tapi ia berhasil menyelamatkan diri dengan menyelusuri hilir sungai. Selanjutnya setelah aman dari kejaran serdadu Belanda Tuanku Tambusai dengan beberapa pengikutnya beliau menyeberang ke Semenanjung Melaka (Malaysia) melalui Sungai Rokan.
Pada tanggal 28 Desember 1838 sampan kecilnya serta juga beberapa buku yang dibawanya ditemukan di Sungai Rokan. Sejak itu ia tidak pernah ditemukan lagi di wilayah Rokan karena sudah pergi ke Malaysia. Di sini pengikut-pengikutnya berpencar pada beberapa tempat, sedangkan ia menetap di sebuah kampung kecil sembilan batu dari Serasah, Seremban, Ibukota Negeri Sembilan Malaysia.
Beliau menghabiskan sisa hidupnya di negeri itu, setelah berjuang membela Negara, bangsa dan agamanya. Akhirnya beliau berpulang kerahmatullah dan dimakamkan di sana. Makam beliau hingga sekarang sering mendapat kunjungan dari orang-orang Riau yang pergi ke Malaysia. Bahkan oleh Pemerintah Provinsi Riau sudah dilakukan pemugaran dan jalan menuju makam yang terletak di atas bukit itu telah diaspal dan disamping makam dibangun tempat menyimpan buku-buku yang dibawa Tuanku Tambusai serta mushalla tahun 2004. Di sekitar makam beliau, tepatnya di bawah bukit terdapat pemukiman keturunan beliau. Hal tersebut membuktikan kebenaran bahwa Tuanku Tambusai tersebut merupakan pejuang dan pahlawan nasional yang berasal dari Riau.
Perjuangan Tuanku Tambusai telah pula didokumentasikan melalui sinetron tahun 1989 sebelum beliau diangkat menjadi Pahlawan Nasional, sinetron ini dibintangi oleh artis nasional di antaranya Cok Simbara dan Renni Jayusman dkk serta disutradarai oleh Irwinsyah (alm). Sinetron ini berhasil memenangi Festival Sinetron Indonesia.
Jadi tidak benar beliau bernama Hamonangan Harahap dan akhir hayat beliaupun jelas bukti-bukti kesahihannya.
3. Tuduhan-tuduhan dari Basyral sebenarnya juga tidak masuk akal. Untuk mengklarifikasi kebenarannya berikut dipaparkan sejarah perjuangan Tuanku Tambusai yang sesungguhnya: Kemasyuran ulama besar seperti Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piobang, dan Tuanku Nan renceh di Minangkabau sampai juga ke Tambusai. Hanya saja di Tambusai tidak ada pertentangan antara kaum adat dengan kaum Padri. Dengan ketekunannya belajar, Muhammad Saleh menjadi seorang Padri dengan gelar fakih. Ia ditugaskan guru-gurunya berdakwah di daerah yang paling rawan waktu itu, yaitu Toba (Sumatera Utara sekarang) yang sebagian besar penduduknya masih menganut kepercayaan pelebegu. Di daerah itu ia merasa nyawanya terancam akibat fitnah bahwa ia ingin merombak adat nenek moyang orang Batak. Ia kembali ke Rao (Sumatera Barat sekarang). Bersama Tuanku Rao, ia menyiarkan agama Islam ke berbagai pelosok seperti Airbangis dan Padanglawas kemudian mendirikan pesantren di kampungnya, Dalu-dalu. Karena tingkat keilmuan agamanya tinggi ia memperoleh gelar tuanku. Tuanku Tambusai. Dengan gelar itu, ia ditugasi sebagai Panglima Paderi di Rao. Di samping sebagai panglima, ia menjadi salah seorang dari empat orang paderi yang berangkat ke Mekkah pada akhir tahun 1820-an untuk mempelajari perkembangan pemikiran Islam di Tanah Suci.
Begitu juga ketika Letkol Elout mengajaknya berdamai di Padang Matinggo, Rao, tahun 1832. Tuanku Tambusai meminta kepada Elout jangan mencampuri urusan negeri orang lain. Elout membalas permintaan itu dengan mengatakan bahwa di mana ada Belanda masuk, di situlah ia membuat kuburan. Secara spontan Tuanku Tambusai menjawab "Jika begitu sediakan bedil!"
Dari paparan di atas dapatlah disimpulkan bahwa Tuanku Tambusai telah menunaikan kewajibannya sebagai ulama besar. Di manapun ia singgah masyarakat menghargai dan membantunya. Ia pejuang pembela tanah air yang gigih dan pantang menyerah. Jadi, tidak mungkin seorang ulama besar memimpin pembunuhan massal. Apalagi sebagaimana yang disampaikan Basyral sendiri bahwa masyarakat Padang Lawas ketika itu sudah memeluk agama Islam. Kita tahu bahwa Tuanku Tambusai berjuang untuk mengislamkan orang yang belum masuk Islam, mungkinkah orang yang sudah Islam sendiri dibantainya tanpa alasan yang jelas?
IV. KESIMPULAN
Dari paparan singkat di atas jelas bahwa kedua buku tersebut lebih banyak khayal belaka. Sebagaimana dikatakan Prof. Hamka bahwa isi buku Tuanku Rao 80% bohong, sedangkan sisanya diragukan kebenarannya, buku Greget Tuanku Rao juga tidak jauh beda kenyataannya. Merujuk ungkapan bahwa setiap kali beliau menanyakan data dan fakta dari buku tersebut, MO. Parlindungan selalu menjawab "SUDAH DIBAKAR".
Jadi, dengan ucapan tersebut sudah jelas, ia mengakui bahwa kebenaran bukunya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Karena itulah penerbitan kembali buku Tuanku Rao tidak sesuai dengan nilai-nilai ilmiah yang penuh kejujuran dan bertanggungjawab. Begitupun buku Greget Tuanku Rao yang banyak memutarbalikkan fakta yang sebenarnya.
Oleh sebab itulah, reprint Buku Tuanku Rao dan Greget Tuanku Rao menyalahi ketentuan yang berlaku. Apalagi kebenaran kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sudah tertuang dalam buku yang kebenarannya tidak diragukan karena sudah melalui penelitian dan telah mendapat penilaian mendalam dari tim ahli dalam penetapan Pahlawan Nasional RI.
Kami berpandangan terbitnya Buku Tuanku Rao dan Greget Tuanku Rao semata-mata melecehkan dunia ilmiah karena tidak sesuai dengan kebenarannya. Kehadiran buku tersebut merupakan upaya pembohongan publik dan merusak marwah masyarakat Minang dan masyarakat Melayu Riau serta dapat menimbulkan konflik SARA (Suku, Agama, Ras, dan antar Golongan)
V. REKOMENDASI
1. Masyarakat Melayu Riau menentang peredaran Buku Tuanku Rao dan Greget Tuanku Rao karena tidak sesuai dengan fakta sejarah.
•
Mendesak Pemerintah RI (Kejaksaan Agung) supaya kedua buku tersebut dilarang terbit dan buku yang masih beredar ditarik kembali.•
Karena dinilai adanya unsur pembohongan publik, maka kepada aparat penegak hukum untuk mengusut dan menindak yang terlibat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
VI. BAHAN RUJUKAN
Tor Seminar Sejarah Perang Paderi 1803-1838….,
Majalah Tempo edisi, 15-21 Oktober 2007;
M.O. Parlindungan Tuanku Rao, LKiS, 2007;
Soedarmanta, J.B. Jejak-jejak Pahlawan, Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia, Jakarta, 1992;
Arief Gunarso S.TP (penyunting), Ensiklopedia Pahlawan Nasional, Penerbit Tanda Baca,Jakarta,2007.
--------------------
Itulah makalah yang disampaikan Prof. Drs. Suwardi, M.S. Setiap pembaca, dapat menilai kualitas makalah ini.
Batara Hutagalung dalam makalahnya Beberapa Catatan Mengenai Tuanku Rao dan Perang Paderi antara lain berbicara tentang buku Greget Tuanku Rao. Batara Hutagalung antara lain menyebutkan bahwa Basyral Hamidy Harahap menulis di dalam buku Greget Tuanku Rao membantah beberapa hal yang ditulis oleh Mangaraja Onggang Patlindungan, namun dia membenarkan terjadinya tindak kekerasan seperti perkosaan yand dilakukan oleh tentara Paderi. Di bagian lain makalahnya, Batara Hutagalung mengutip buku Greget Tuanku Rao yang menyebutkan bahwa, Datu Bange telah beragama Islam, namun tidak mau menerima aliran Islam yang dibawa oleh Tuanku Tambusai. Lama sebelum gerakan Paderi, mereka sudah memeluk Islam. Selanjutnya Batara Hutagalung menyebutkan bahwa Basyral Hamidy Harahap menyatakan bahwa Datu Bange bukan perampok, melainkan Kepala Luat Dolok, raja paling kharismatik di Padang Lawas Raya yang dicintai oleh rakyatnya. Bahwa, ulama-ulama sufi sangat besar peranannya di Mandailing yang menyebarkan agama Islam di daerah itu berabad sebelum Paderi datang (Greget Tuanku Rao, halaman 68).
H. Bismar Siregar, S.H. menyebutkan pada beberapa butir dalam makalahnya sebagai berikut:
Butir 5a: Adanya perbedaan akhir-akhir ini dengan adanya buku Tuanku Rao karya Mangaraja Onggang Parlindungan dilengkapi buku karya Basyral Hamidy Harahap Greget Tuanku Rao tentang peran tokoh Batak-Mandailing dalam perang Padri, mengundang keraguan pemberian tanda jasa sekaligus helar Kepahlawanan kepada Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai mengingat jasanya mengobarkan perang Padri tidakkah layak juga gelar itu diberikan kepada pahlawan-pahlawan dari suku Batak-Mandailing seperti Tuanku Rao, Tuanku Lelo dan lainnya memerlukan penelitian yang objektif.
Butir 5b: Tentu untuk itu memerlukan penelitian sejarah dan telah ada ahlinya Sdr. Basyral Hamidy Harahap yang telah menulis hasil telitiannya dalam buku Greget Tuanku Rao. Sungguh berharga bila buku tersebut dijadikan pelengkap buku karya Magaraja Onggang Parlindungan Siregar berjudul Tuanku Rao. Memang patut diakui banyak kekurangan, memang benar buku ditulis bukan untuk studi ilmiyah. Sekedar pesan warisan bagi anaknya Dear Sonny.
Butir 5c: Dua buku setepatnya dijadikan awal bacaan mengingat-ingat sejauh manalah kebenaran pahlawan-pahlawan Batak-Mandailing ini ikut berperan dalam perang Padri sampai ada di antara mereka yang meninggal di medan laga Airbangis sedangkan Tuanku Imam Bonjol siap menyerah untuk ditetapkan hidup di pembuangan di luar kampung halaman yang dicintai di Manado.
Butir 5d: Ada hasrat dan keinginan sementara fihak agar diadakan kajian kembali terhadap pejuang-pejuang Islam itu untuk dipertimbangkan layak atau bukan diberikan gelar Pahlawan Nasional.
Ketika Batara Hutagalung mendapat kesempatan menjawab pertanyaan peserta, ia berkata: "Kalau diizinkan oleh moderator dan ibu-ibu dan bapak-bapak sekalian, saya ingin memberikan hak jawab saya kepada Bapak Basyral Hamidy Harahap. Karena saya pikir, beliau mempunyai hak mebela diri, karena di sini ada sebuah paper yang mengacu pada buku Greget Tuanku Rao," kata Batara Hutagalung.
Saya berterima kasih kepada Batara Hutagalung yang masih kental mengamalkan salah satu nilai luhur budaya Batak, ialah menjunjung tinggi jambar hata, ialah hak dan kewajiban berbicara yang harus diberikan kepada orang yang berhak dan wajib berbicara.
Saya merekam seluruh acara itu agar lebih bermanfaat bagi pemahaman tentang apa saja yang dipikirkan oleh pemakalah dan penanggap tentang Perang Paderi dan sejauh mana Islam dan adat mendasari perilaku orang Minangkabau dalam kehidupan sehari-hari. Saya juga merekam kata-kata saya untuk menanggapi makalah Prof. Drs. Suwardi, M.S. Seorang peserta yang ternyata adalah tetangga saya dan kami adalah jamaah satu masjid yang sama, mengatakan bahwa saya pernah menceritakan keberadaan buku Greget Tuanku Rao dalam salah satu ceramah saya di masjid kami. Ia berkesimpulan bahwa buku Greget Tuanku Rao adalah turi-turian sehingga anak-anaknya tak perlu meluangkan waktu untuk membacanya. Ia adalah ketua alumni suatu SMA Negeri di Riau yang berdomisili di Jakarta. Inilah transkripsi tanggapan saya:
Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuh,
Terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesempatan ini dan terima kasih juga kepada Profesor Suwardi, dari yang memimpin Tim Riau, dan terima kasih sekali lagi karena sudah mengangkat nama saya di sana (sambil saya tunjuk tulisan yang ditayangkan power point). Dan hanya saya kecewa, di dalam rujukan yang bapak tulis ini, bapak tidak membaca buku Greget Tuanku Rao (Profesor Suwardi menyahut dari kursi panelis "Ya saya belum membaca"). Bapak hanya membaca TEMPO, tahulah bagaimana surat kabar berbicara. Oleh karena itu, saya anjurkan kepada Bapak, semua Tim dari Riau ini, semua kita ini, bacalah buku Greget Tuanku Rao dengan lapang dada dan sabar.
Saya hanya sedikit sekali bicara tentang Paderi di situ. Tentang pertanyaan saya itu, kemudian menjadi membludak begitu rupa. Saya banyak bercerita tentang bagaimana pembangunan di Mandailing, bagaimana mega proyek pembuatan jalan 90 kilometer dari Panyabungan sampai ke Natal yang hebat sekali mengangkat nama Mandailing sampai sekarang ini. Itu tidak pernah dilihat orang. Bagaimana peranan Willem Iskander dalam bidang pendidikan dll.
Hanya karena pertanyaan itu, kemudian semua orang menjadi mabuk. Dan tanpa membaca buku ini, berani membuat makalah semacam ini. Ya, hanya membaca TEMPO yang begitu. Tahulah bahasa TEMPO, ya. Itu, berita TEMPO itu, tiga jam kami berdiskusi mengenai soal itu. Kemudian dia tampilkan begitu. Dan belum tentu seluruhnya saya setuju dengan yang disampaikan oleh TEMPO.
Jadi, tadi ada yang menanyakan, "Apa maksudnya?" Maksudnya tidak ada apa-apa. Supaya tahu, dari awal saya tadinya diminta oleh suatu penerbit untuk membuat pengantar buku Tuanku Rao karya Mangaraja Onggang. Tetapi, Saudara Dorpi mengatakan "Saya tidak mau buku ini dirobah, dan tidak boleh ada pengantar yang lain."
Oleh karena itu Komunitas Bambu mengatakan "Coba bang, tulis buku aja." Dan saya tulis selama tiga bulan, siang malam. Siang malam, kadang-kadang dua hari tidak tidur. Sehingga ada kesalahan ketik antara lain pada halaman 87 yang seharusnya Dante Alighieri tetapi saya tulis orang lain.
Nah, jadi tidak ada maksud lain-lain, hanya menceritakan sejarah. Bahwa itu juga turi-turian, terserah kepada tetangga saya yang di sana. Mungkin jamaah masjid saya juga, waktu saya cerita bahwa buku ini akan terbit. Apa itu turi-turian, apa itu buku sejarah, mungkin tidak ada gunanya, terserah. Ini barangkali tujuan saya adalah mendorong orang, cobalah menulis yang lebih baik, cobalah dari Riau itu menulis sebanyak-banyaknya lagi. Buktikan, semakin banyak kita menulis, semakin baik. Bukan malah melarang seperti pak Batara katakan.
Demikian, dan saya sendiri sebagai latar belakang, saya 26 tahun bekerja di Perwakilan Indonesia Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde. Setiap orang bilang, kalau belajar tentang Indonesia pergilah ke Belanda. Itulah kantor saya. Saya mondar mandir ke [Leiden] sana. Setiap kali saya ke sana, saya kumpulkan bahan-bahan.
Dan tidak mesti kita benci kepada bahan-bahan yang ada di Negeri Belanda. Jadi, para ahli yang mungkin ada di sini barangkali mengakui Adatrechtbundel yang diterbitkan oleh kantor saya itu, itulah buku suci bagi ahli hukum, dan [mereka] membaca Adatrechtbundel ketika hendak menjadi ahli hukum Indonesia.
Itu saja dari saya, dan mohon maaf kalau ini terlalu tegas. Tetapi tidak ada maksud apa pun juga, hanya karena mendorong orang supaya menulis lagi (tepuk tangan hadirin). Seperti saya didorong oleh Mangaraja Onggang supaya saya menulis. Apakah [buku] ini turi-turian atau tidak, terserah kepada bapak tetangga saya ini. Terserah. Enak dibaca, tidak enak dibaca, bohong, silahkan.
Cari bukti-bukti, kakek moyang saya itu perampok menurut panitia yang tadi bapak kutip itu, panitia yang dari Medan, silahkan. Tetapi saya buktikan, tidak! Jadi, silahkanlah menulis. Siapa saja pun juga, dari Riau, dari mana-mana pun juga. Silahkan menulis. Terima kasih (tepuk tangan hadirin).
GREGET TUANKU RAO
Bagi yang belum membaca buku saya Greget Tuanku Rao, saya sajikan di sini daftar isinya sbb.:
Prolog
Perkenalan saya dengan MOP. Alasan menulis buku Greget Tuanku Rao: 1) Mengoreksi kesalahan buku Tuanku Rao, 2) Menulis tentang hal-hal yang luput dari perhatian MOP, 3) Menulis tentang hal-hal yang tidak diketahui oleh MOP. Nama delapan orang peneliti asing yang saya kenal fasih berbahasa daerah masyarakat yang mereka teliti.
Bab I: Bayo Parturi
Fungsionaris Pemerintah Tradisional ada 25 jabatan, termasuk Martua Raja sebagai Panglima Perang (7), Panto Raja sebagai Ahli Sejarah dan Sastra, Juru Kisah (Parturi). Biodata Sutan Martua Raja ayah MOP dan foto MOP ketika berusia 6 tahun berdiri di samping ayahnya. Uraian tentang Bayo Parturi.
Bab II: Marga Babiat
Silsilah Marga Babiat, dilengkapi silsilah sampai dengan Datu Bange generasi XII. Raja Hurlang, adik Datu Bange, mempunyai anak bernama Bandaro yang menetap di Sihepeng, Mandailing Godang. Pergaulan manusia dan harimau.
Bab III: Datu Bange
Datu Bange, Raja Simanabun, yang melawan Tuanku Tambusai di Luat Dolok. Gerakan Tuanku Tambusai. Semangat juang Datu Bange mempertahankan tanah air, harkat dan martabat kaumnya mirip dengan semangat pejuang Indian Geronimo dan tokoh fiktif Indian, Winnetou, karya Karl May.
Bab IV: Kontroversi
Kutipan beberapa bagian dari buku Tuanku Rao yang kontroversal.
Bab V: Tuanku Imam Bonjol
Naskah Tuanku Imam Bonjol yang ditulisnya sendiri halaman 1-191 dan yang ditulis oleh anaknya sendiri Sultan Caniago dari halaman 192
– 318. Wasiat Tuanku Imam Bonjol. Tuanku Imam Bonjol menyerah. Kita bertanya tentang kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai.Bab VI: Perantau Mandailing
Keberadaan perantau Mandailing di Pasaman sudah ada berabad sebelum lahirnya gerakan kaum Paderi. Mereka tampil sebagai petani, pedagang, guru mengaji, pengurus masjid, zakat, dan wakaf. Merekalah yang menyebarkan Islam ke Mandailing berabad sebelum perang Paderi.
Bab VII: Para Pengagum
Ada tiga orang pengagum MOP, ialah Prof.Dr. Slametmulyana, Hamka dan Bismar Siregar.
Bab VIII: Eduard Douwes Dekker (Multatuli)
Pengalaman Eduard Douwes Dekker (Multatuli) ketika menjabat Kontrolir Natal 1842-1843. Sajak Multatuli tentang kehidupan nelayan Natal.
Bab IX: Duet Godon Dengan Yang Dipertuan
Asisten Residen Mandailing Angkola, Alexander Philippus Godon (1816-1899) selama sembilan tahun (1848-1857) bekerjasama dengan Yang Dipertuan Hutasiantar, membangun masyarakat, antara lain: mega proyek pembangunan jalan ekonomi 90 kilometer dari Panyabungan ke Natal, pembangunan sekolah-sekolah, menghapuskan perbudakan, penataan ekonomi, perbaikan kampung, kesehatan masyarakat, komoditi ekspor kopi dan lem elastik, penanaman kelapa dan pencetakan sawah.
Bab X: Willem Iskander
Sati Nasution gelar Sutan Iskandar yang kelak terkenal dengan nama Willem Iskander (1840-1876) pelopor pendidikan guru bumiputera dengan mendirikan Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers di Tanobato 1862, dan pengarang antara lain karyanya Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk pertama kali diterbitkan di Batavia 1872. Bab ini berisi cuplikan hasil penelitian saya sejak 1975 sampai dengan 2006 tentang Willem Iskander dan karyanya, termasuk daftar karya Willem Iskander, daftar murid yang menjadi guru dan pengarang. Beberapa sajak Willem Iskander. Cuplikan naskah buku Balada Willem Iskander, ialah jejak langkah Willem Iskander dan penelusuran saya mencari jejak Willem Iskander.
Bab XI: Pionir Yang Terlupakan
Rajiun Harahap gelar Sutan Casayangan Soripada (1874-1927) pendiri Indische Vereeniging, di Leiden tanggal 25 Oktober 1908, yang menjadi cikal bakal Perhimpoenan Indonesia. Ja Endar Muda Harahap raja surat kabar Sumatera yang mendirikan surat kabar di Padang, Sibolga, Medan dan Aceh. Pengaruh Willem Iskander.
Bab XII: Hilang Tak Berbekas
Peranan para ulama sufi mengembangkan agama Islam di Mandailing Natal sebelum ada gerakan Paderi. Paderi tak meninggalkan kesan di tengah masyarakat yang sudah terlebih dahulu memeluk Islam.
Epilog
Harapan agar penulis lain menulis lebih banyak lagi.
Bacaan Rujukan
Delapan halaman terdiri dari 70 entri.
Biodata
Itulah ringkasan buku Greget Tuanku Rao. Uraian saya tentang Tuanku Imam Bonjol dan pengikutnya yang bersumber pada manuskrip Tuanku Imam Bonjol sendiri, uraian tentang serangan-serangan pasukan Tuanku Tambusai di Padang Lawas dan Barumun, dan pertanyaan saya tentang kepahlawanan dua Pahlawan Nasional itu, telah membuat gusar masyarakat Minangkabau dan Melayu Riau. Sehingga keberadaan buku Greget Tuanku Rao ikut menjadi alasan penyelenggaraan Panel Diskusi Sejarah Perang Paderi di gedung Arsip Nasional R.I. tanggal 22 Januari 2008. Uraian dan pertanyaan itu pula yang mendorong masyarakat Melayu Riau mengusulkan agar Kejaksaan Agung R.I. melarang buku Greget Tuanku Rao, seperti disebutkan di dalam makalah masyarakat Melayu Riau yang dibacakan oleh Prof.Drs. Suwardi, M.S.
SIAPA TUANKU TAMBUSAI ?
Siapa Tuanku Tambusai? Uraian di bawah ini membantah pernyataan Prof.Drs. Suwardi, M.S. di dalam makalahnya yang tidak mengakui bahwa Tuanku Tambusai adalah Hamonangan Harahap. Kita dapat membaca ranji silsilahnya dalam buku Pahlawan Nasional Tuanku Tambusai (Hamonangan Harahap/Muhammad Saleh): Sejarah Ringkas Kehidupan dan Perjuangannya pada halaman 22 dan 23 yang diterbitkan oleh Tim Pengumpulan, Penyusunan dan Penulisan Sejarah Perjuangan Tuanku Tambusai di Propinsi Sumatera Utara.
Hamonangan Harahap senior mendapat gelar Malim Kaha kemudian bergelar Haji Ibrahim Sutan Malenggang menikah dengan Kosum. Pasangan ini melahirkan Maulana Kadhi. Maulana Kadhi menikah dengan Munah yang melahirkan Muhammad Saleh yang kemudian dikenal dengan nama Tuanku Tambusai. Leluhur Tuanku Tambusai dari pihak ibunya adalah: Munah (ibu Tuanku Tambusai) adalah anak perempuan dari pasangan Judah dan Paduko Lelo. Judah adalah anak perempuan dari pasangan Datuk Ulak dan Podi (lihat juga Greget Tuanku Rao halaman 56 dan 57).
Silsilah ini disyahkan oleh Lembaga Kerapatan Adat Melayu Datuk-Datuk Pucuk Suku Dalu-dalu Tambusai dalam rapat di rumah Tengku Darwis, di Dalu-dalu, pada tanggal 6 November 1994 bersamaan dengan 2 hari bulan Jumadil Akhir antara pukul 20.00 s.d. 22.30. Silsilah ini ditanda tangani oleh 17 para Ketua Lembaga Adat, Cerdik Pandai termasuk B. Ar. Pulungan, S.H. Ketua Himpunan Keluarga Tapanuli Selatan dan Ketua Tim Pengumpulan, Penyusunan dan Penulisan Sejarah Perjuangan Tuanku Tambusai Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara.
Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar, dalam surat Rekomendasi Pengusulan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional kepada Menteri Sosial, nomor 464.1/5161 tanggal 8 Maret 1995, menyebutkan antara lain "… catatan sejarah yang kami himpun, diketahui bahwa leluhur Tuanku Tambusai bernama Hamonangan Harahap/Malim Kaha berasal dari Tapanuli Selatan dan daerah perjuangan Tuanku Tambusai meliputi wilayah Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Riau…"
Gubernur Riau, Soeripto, dalam suratnya kepada Direktur Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial R.I. nomor 464.1/BINSOS/1113 tanggal 17 April 1995, perihal Kebenaran nama, ahli waris dan asal usul calon Pahlawan Nasional Tuanku Tambusai dengan merujuk surat Gubernur Sumatera Utara nomor 464.1/5161 tanggal 8 Maret 1995 itu menyebutkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pemerintah Daerah yang mewakili dalam upacara penyerahan gelar Pahlawan Nasional terhadap Tuanku Tambusai adalah Pemerintah Daerah Tingkat I Riau dengan disaksikan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat.
2. Ahli waris yang akan mewakili almarhum Tuanku Tambusai adalah Saleh Djasit, S.H., Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kampar.
3. Mengenai nama, riwayat hidup, dan riwayat perjuangan Tuanku Tambusai adalah sebagaimana tercantum dalam Riwayat Hidup dan Perjuangan Tuanku Tambusai terlampir, dan telah mendapat persetujuan dari Tim Pengumpulan, Penyusunan dan Penulisan Sejarah Perjuangan Tuanku Tambusai di Propinsi Sumatera Utara.
RENUNGAN
Orang yang keberatan atas pertanyaan saya, terpaku pada apa yang tertulis. Mereka tak melihat apa yang tersirat dalam pertanyaan itu. Yang tersirat adalah: Sudah saatnya kriteria Pahlawan Nasional dirumuskan dan dibakukan sehingga berlaku pada semua Pahlawan Nasional. Kriteria itu harus disosialisasikan sedemikian rupa, seperti Pancasila, kepada murid dan pelajar sejak duduk di bangku Sekolah Dasar sampai Sekolah Lanjutan. Sehingga kelak setiap warganegara mengetahui dengan jelas apa syarat-syarat penetapan seseorang sebagai Pahlawan Nasional.
Seseorang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional tidak hanya karena pernah mengangkat senjata berperang melawan kolonial Belanda atau diperangi oleh kolonial Belanda, tetapi juga termasuk orang yang berprestasi luar biasa menegakkan keadilan dan kebenaran dalam mengangkat harkat dan martabat bangsa.
Sebagai contoh, Adam Malik yang ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional pada tanggal 9 November 1998. Saya sebagai seorang sahabat dan murid Adam Malik, dan sebagai salah seorang pendiri dan pengurus Yayasan Adam Malik, mengambil prakarsa mengajukan Adam Malik sebagai Pahlawan Nasional sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Sebagai penutup, perlu ada perenungan untuk mendesakralisasi para Pahlawan Nasional dengan mendudukkan mereka sebagai manusia biasa, yang memiliki banyak keunggulan dan tidak sedikit juga kelemahannya. Hal ini diperlukan, agar kita bisa lebih dekat dengan mereka, sehingga kita lebih dapat memahami makna perjuangan mereka.
=========
IHWAL KELAHIRAN GREGET TUANKU RAO
KARYA BASYRAL HAMIDY HARAHAP TERBITAN KOMUNITAS BAMBU
(Catatan Kecil untuk Ahli Waris MOP)
Berangkat dari berita diskusi Perang Paderi di Arsip Nasional 22 Januari 2008, ahli waris MOP menanyakan soal pengakuan Basyral Hamidy Harahap penulis buku Greget Tuanku Rao, komunitas Bambu, 2007, di forum diskusi itu ihwal asbabul nuzul bukunya. Basyral Hamidy Harahap mengatakan bahwa bukunya berasal dari kata pengantar buku Tuanku Rao karya MOP yang tidak jadi dipakai. Pasalnya, ahli waris menolak buku papinya diterbitkan ulang dengan pengantar. Maka pengantar itu pun kemudian diminta diluaskan oleh penerbit hingga menjadi buku.
Sebab itu disini, saya JJ Rizal, mewakili Komunitas Bambu, mencoba mendudukan persoalan itu agar menjadi lebih jembar dan tidak menimbulkan salah paham.
Pada 16 November 2006, dalam sebuah acara Pekan Sejarah I di FIB UI yang diselenggarakan Komunitas Bambu, Onghokham Institut dan FIB UI, seorang pembicara Adji Damais menyarankan kepada saya sebagai orang Komunitas Bambu untuk menerbitkan buku Tuanku Rao karya MOP. Di depan peserta seminar ia katakan, "Itu buku cerita yang menarik juga kontroversi. Penerbitan ulang di jaman ilmu sejarah telah berkembang tentu akan memberikan nuansa lain", katanya. Tetapi ia menggaris bawahi usulnya itu, supaya dalam penerbitan baru itu sebaiknya buku cerita itu diberi pengantar oleh seorang ahli mengenai Islam di daerah Batak.
Saat itu juga, saya langsung berdiri dan menyatakan: "Sudah disiapkan Pak, tinggal mencari ahli warisnya". Kemudian Pak Adji menyatakan akan membantu juga mencarikan jalan untuk menemukan ahli waris MOP. Sayang ia tak berhasil membantu menemukan sang ahli waris MOP.
Meski demikian saya sangat setuju dengan saran Pak Adji. Kalau hendak menerbitkan ulang buku itu memang sebaiknya diberi pengantar oleh seorang ahli tentang Islam dan Batak. Saya sadar betul bahwa bagaimanapun harus pandai-pandai memainkan sisi idealis dan komersial. Dari segi komersial, tentu saja buku itu dengan kontroversi dan mitos pelarangannya, sudah mempunyai nilai jual yang tinggi kelak ketika masuk pasar. Bahkan, ia telah mempunya pasar yang telah berjaga dengan "mulut menganga siap mencaplok" begitu turun cetak.
Tetapi bagaimanapun saya dan penerbit Komunitas Bambu mempunyai tanggung jawab moral (kalau tidak bisa disebut tanggungjawab intelektual) untuk tidak membiarkan begitu saja apa adanya buku itu nyelonong memasuki pasar di jaman penerbitan barunya. Bagaimanapun buku itu memang mempunyai banyak sisi yang mesti diberi catatan. Sebuah pengantar dari seorang ahli tentu bukan saja akan menjadi catatan, tetapi juga "rem" agar orang jangan menganggap buku itu sebagai suatu accepted history (kebenaran sejarah), seperti yang dulu-dulu telah terjadi bahkan makan korban yang dari kelas awam sampai sekaliber pakar sekalipun. Tetapi lebih pada suatu "wacana penggoda", "obat perangsang nalar" yang dapat menyuburkan diskusi menyangkut praktek Islam garis keras dan pemaksaannya sebagai sebuah aturan bermasyarakat, dan peranan diskusi ulang untuk menilai tokoh-tokoh di sekitar peristiwa di Sumatra Barat, Tanah Batak juga Riau pada abad 19.
Bukankah hal ini belakangan sedang menjadi trend dalam bentuk penerapan UU Syariat Islam di beberapa daerah di Indonesia? Itulah pemikiran saya dan teman-teman di Komunitas Bambu. Selain itu, ada gelombang ujian kepahlawanan beberapa tokoh dan perkaitannya dengan peristiwa sejarah, misalnya buku Leonard Andaya, soal Aru Palaka. Juga terutama akhinya adalah "pratek kotor" makelar pahlawan yang semakin bersimaharajalela.
Dengan kerangka pemikiran itulah kami bergerak mencari ahli waris MOP sampai kemudian saya dengar berita, kalau penerbit LKiS juga sedang mencari ahli waris MOP. Saya memang sudah menduga, setelah penerbitan Slametmulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, maka LKiS tentu akan mencari babonnya, yang dirujuk Slametmulyana, yaitu buku MOP. Apalagi di pasar juga buku Slametmulyana itu tidak sekadar "goyang ike nurjanah" tetapi sudah sampai taraf "goyang inul", ngebor dan mengocorkan banyak pundi-pundi. Tentu buku MOP akan lebih dari sekadar "goyang ngebor" bahkan mungkin akan juga membangkitkan sebuah polemik serta kontroversi baru.
Maka secara diam-diam dua penerbit pun bersaing memburu ahli waris MOP. Saling berlomba menyiapkan materi sehingga begitu dapat persetujuan bisa langsung di "goreng". Dalam konteks itulah saya segera kasih perintah supaya juru tik menyalin ulang buku MOP. Juga membuat sejumlah list nama yang dianggap paling pantas menuliskan pengantar untuk mendudukan buku MOP dalam konteks sejarah dan kebudayaan Batak, Islam dan akhirnya hikmah yang dapat diambil dari penerbitan baru buku itu.
Akhirnya setelah mengayak sejumlah nama, Komunitas Bambu memutuskan Basyral Hamidy Harahap yang paling pantas. Bukankah ia telah menjadi semacam "ensiklopedi berjalan sejarah dan kebudayaan Batak". Apalagi ia berasal dari Mandailing pula, satu daerah yang diinterpretasikan sebagai tanah asal Tuanku Rao juga Tuanku Tambusai, tokoh sentral dan panglima perang Paderi. Lebih jauh ia pun seorang Islam dengan pengetahuan hukum dan kaidah Islam yang dalam. Berpengalaman pula dalam riset ilmiah yang kuat, menguasai banyak bahasa dan sumber. Ia melebihi kriteria yang kami punya.
Kebetulan pula pemilik kantor Komunitas Bambu yang kami tempati sekarang adalah kerabat dekat dari Basyral Hamidy Harahap. Dalam waktu yang singkat, mudah saja kami menjalin kontak dengan Basyral Hamidy Harahap. Ia pun antusias menyambut permintaan kami dan setuju dengan konsep penerbitan ulang yang kami rancangkan untuk buku MOP. Ia memberi catatan supaya jangan kaget kalau nanti ide penerbitan ulang buku MOP yang digagas Komunitas Bambu mentok di hadapan ahli waris MOP. Sebab bukan tak mungkin mereka menghadapi buku itu sebagai barang pusaka. Tetapi bagaimanapun Basyral Hamidy Harahap akan tetap mengerjakan pesanan pengantar untuk buku MOP. Bahkan ia bersedia mengupayakan untuk mencarikan kontak dengan ahli waris MOP, dengan menggunakan jaringan Batak yang dipunyai, apalagi kebetulan dulu ia sempat beberapa kali bertemu dengan MOP.
Sementara itu, LKiS dan Komunitas Bambu yang sama-sama berkantor di Depok, dan juga saya sendiri, sering segalang segulung alias kesana kemari dengan Sholeh Isre yang menjadi penguasa teritorial LKiS Jakarta. Maka saya pun di sela-sela obrolan, sering membicarakan usaha kami memburu ahli waris MOP. Sholeh pun sering berkelakar dengan saya bahwa kedudukan nanti bisa 2 : 0. Maksudnya, sebelumnya saya sudah kalah dalam pertarungan memburu ahli waris Slametmulyana. Dan kali ini Sholeh betul, ternyata LKiS lebih dulu berhasil mendapatkan kontak dengan anak MOP. Lebih jauh lagi saya dengar pula bahwa mereka sudah saling OK ihwal penerbitan baru buku karya MOP. Tetapi seingat saya, kata Sholeh ahli waris menyetujui dengan catatan:
1.Buku tidak boleh dirobah sedikit pun juga, bahkan termasuk salah ketiknya. Buku harus tampil seperti tampilan aslinya luar dan dalam.
2.Tidak perlu pengantar.
Saya tidak tahu bagaimana LKiS menyikapi catatan ahli waris MOP itu. Tetapi saat mendengar soal catatan itu, saya langsung merasa, bahwa benar apa yang telah disinyalir Basyral Hamidy Harahap. Bahwa, buku itu bisa jadi dianggap barang keramat oleh keluarga MOP. Kalau pun seandainya saya berhasil menang dan menjalin kontak lebih dulu dengan ahli waris MOP, tentu tetap saja akan sulit untuk menemukan titik temu dengan pemikirannya yang demikian.
Saya segera mengontak Basyral Hamidy Harahap. Saya mengungkapkan, bahwa Komunitas Bambu tidak jadi menerbitkan buku MOP. Saya juga mengungkapkan kepada Basyral Hamidy Harahap, perihal permintaan ahli waris MOP yang saya dengar dari Sholeh tersebut. Ia menanggapi dengan sekali lagi mengulangi pembicaraan "barang pusaka, keramat". Kamudian Basyral Hamidy Harahap pun menanyakan kepada saya:
"Bagaimana dengan pengatar yang sedang saya kerjakan?"
"Teruskan saja Pak, kita bikin menjadi buku kecil (pocket book), sekitar 150-200 halaman. Bagaimanapun, jika kelak buku Tuanku Rao itu terbit, setidaknya ada buku pembandingnya," begitu jawab saya.
Demikianlah, saya rasa begitulan asal-muasal perkataan Basyral Hamidy Harahap ihwal pengantar untuk buku MOP yang kemudian menjadi buku Basyral Hamidy Harahap sendiri seperti yang ditanyakan oleh ahli waris MOP. Ya, dari sebuah pengantar kemudian berkembang ditulis oleh Basyral Hamidy Harahap menjadi sebuah buku kecil. Kemudian berkembang dan jumlah halamannya terus bertambah mengikuti bahan-bahan bacaan Basyral Hamidy Harahap yang dirujuk. Naskah buku itu pun meluas, bukan saja memberikan catatan atas ketidakakuratan bahkan kesalahan yang ada di buku MOP, lebih jauh lagi membahas yang luput dari perhatian MOP.
September 2007, Greget Tuanku Rao karya Basyral Hamidy Harahap mulai masuk pasar. Sedangkan terbitan ulang buku Tuanku Rao karya MOP sudah masuk pasar buku kurang lebih tiga bulan sebelumnya. Keduanya bersanding, didiskusikan di mana pun sebagai sejoli dengan kekhasan masing-masing. Buku karya Basyral Hamidy Harahap sebagai buku baru, dan buku MOP dengan tetap seperti apa adanya tak geser barang sepotong selain teknik cetaknya saja. Kedua buku itu telah hadir bersama dengan keunikannya sendiri-sendiri dan saling dukung. Sehingga saya dan teman-teman merasa, bahwa setidaknya apa yang kami harapkan semula sudah terwujud, yaitu agar menggulirkan diskusi dan peninjauan ulang terhadap beberapa hal menyangkut kepahlawanan. Tinggal yang belum, adalah perihal yang menyangkut praktek bersyariat Islam yang dipaksakan sebagai sistem sosial dan demi tujuan-tujuan politis-ekonomis sepihak yang picik. Mudah-mudahan saja kedua buku itu, dengan kekuatannya masing-masing, akan mampu menggulirkan diskusi hingga sampai kesana.
Tabe serta hormat,
JJ Rizal
Direktur Penerbit Komunitas Bambu