Bahasa yang digunakan dalam Gelar Pertunjukan Sastra kali ini adalah bahasa Jawa. Semua anak-anak yang tampil serta pemandu acara menggunakan bahasa Jawa. Hal ini merupakan bentuk pembinaan kepada anak-anak agar lebih menjiwai bahasa Jawa terutama teks sastra. Selain itu juga turut melestarikan Bahasa Jawa yang semakin jarang digunakan. Di rumah- rumah orang Jawa, termasuk di Yogyakarta saat ini, sudah mulai menggunakan Bahasa Indonesia. Anak-anak sudah berbicara menggunakan Bahasa Indonesia sejak dini dengan keluarganya di rumah. Jika anak-anak tersebut menjadi orang tua dikemudian hari, besar kemungkinan juga akan melakukan hal yang sama. Menggunakan Bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari dan semakin meninggalkan Bahasa Jawa.
Dengan pertunjukan, anak-anak dapat belajar lebih banyak tentang nilai-nilai kehidupan Jawa, seperti kearifan lokal, kesopanan, dan toleransi, serta memperkaya pemahaman mereka tentang budaya dan identitas mereka sendiri. Pertunjukan dapat mementaskan karya-karya sastra yang memiliki nilai edukasi pada anak. Bentuknya bermacam-macam seperti baca gurit, baca cerkak, mendongeng jawa, langen carita, Sarana untuk melestarikan budaya jawa: menjadi ruang belajar anak-anak untuk memahami kekayaan budaya dan identitas Jawa, Mengajarkan nilai-nilai budaya jawa: menjadi ruang belajar anak-anak untuk memahami kearifan lokal, kesopanan, toleransi, dan nilai-nilai lainnya yang terkandung dalam sastra yang dipertunjukkan, Meningkatkan kecintaan terhadap sastra dan budaya: menjadi ruang belajar anak-anak melalui penyampaian yang interaktif, mengasah keterampilan, dan menyenangka, Menghadirkan karya sastra yang berkualitas: memberikan edukasi tentang budaya Jawa dan mengembangkan keterampilan bahasa Jawa anak-anak, Menyediakan ruang edukatif: memberi wadah anak untuk terlibar pentas dan menikmati pertunjukan sastra.
Adanya pementasan sastra anak menggunakan Bahasa Jawa yang mudah dipahami menjadi media pembelajaran bahasa Jawa. Tidak harus di kelas-kelas dan dibimbing oleh guru. Dengan menggelar pementasan dan memberikan panggung kepada anak, membuat mereka bisa lebih mengenal dan mencintai bahasa Jawa. Termasyuk para penonton yang hadir, dapat memahami bahwa bahasa Jawa bukan bahasa yang kuno dan terkesan ketinggalan zaman. Bahasa Jawa merupakan pintu gerbang untuk dapat mempelajari dan memahami budaya Jawab yang kaya dan penuh dengan ajaran-ajaran kehidupan.
Sejarah Desa Karangsari dimulai pada masa kerajaan mataram dimana salah satu satria agung dari kerajaan mataram yang bernama Ki ageng Singo Yudho merupakan pendiri sekaligus menjadi cikal bakal brdirinya Desa Karangsari. Ki Ageng singo Yudo atau yang lebih dikenal oleh masyarakat Desa Karangsari dengan sebutan Mbah Gedor inilah yang pertama kali Babad Alas dan didaerah yang sekarang menjadi Karangsari. Beliau pertama kali singgah di sebuah Dusun bernama Dusun Lerep. Masyarakat memberi nama Dusun ini dengan nama Lerep berawal ketika setiap kali beliau datang ke Dusun ini yang terlihat hanya bayangan yang sangat cepat atau dalam bahasa jawa ( tlerep-tlerep) yang berarti secepat Kilat. Sehingga akhirnya masyarakat menamai wilayah ini menjadi Dusun Lerep. Hal ini ditandai dengan adanya Situs sejarah yang sampai saat ini masih menjadi tempat yang dianggap paling Keramat di Desa Karangsari bahkan sering dikunjungi oleh peziarah baik dari dalam maupun luar Desa Karangsari. Bahkan untuk mengenang jasa Beliau ( Ki Ageng Singo Yudho / Mbah Gedor ) sampai saat ini rutin setiap tahun diadakan Upacara Adat yang diberi Nama Palakiyah setiap hari kamis wage di bulan Ngasyuro yang mengundang Pejabat Pemerintah baikan Muspika maupun Pemerintah Desa Karangsari dan Lembaga Desa yang ada dan juga tokoh masyarakat dan juga masyarakat Desa pada Umumya, sebagai wahana pelestarian adat dan mengenang sejarah cikal bakal Desa Karangsari dan Dusun Lerep Khususnya. Upacara diadakan dengan memotong kambing sebagai simbol pengorbanan yang dibagikan kepada masyarakat sekitanya dan Kemudian diadakan Doa Bersama ditempat Situs Sejarah Ki Ageng singo Yudho / Mbah Gedor tersebut untuk memohon berkah kepada Allah S.W.T agar desa Karangsari menjadi desa Yang Makmur Sejahtera.
Karya sastra Jawa abad pertengahan yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dengan menggunakan aksara Kawi turut berkembang. Sastra-sastra itu disebut layang kawi atau kakawin. Mulai abad ke-18, karya sastra yang terinspirasi dari bahasa Jawa Kuno ditulis dengan menggunakan bahasa dan syair Jawa modern.
Percakapan harian diterapkan dalam bahasa jawa yang baik. Seperti pada instansi dan lembaga-lembaga pemerintah pembiasaan berbahasa Jawa digunakan secara rutin setiap hari sabtu dan setiap kamis pahing.
Dalam kegiatan resmi seperti rapat , seminar, musyawarah, dan acara resmi lainnya pembawa acara menggunakan bahasa Jawa. Selain itu juga dilakukan peatihan mocopat, dan pelatihan MC dengan menggunakan bahasa Jawa untuk generasi muda mudi di Desa Dlingo yang sudah terjadwal.
Tetapi seringkali kita menyaksikan ada keganjilan dalam setiap peringatan bulan itu. Banyak kepercayaan bersifat dongeng, mitos dan irrasional. Pada malam 1 suro misalnya orang beramai-ramai mengunjungi tempat-tempat yang dianggap sakral dan keramat. Ada yang datang ke makam lalu membakar kemenyan, minta kekayaan, minta banyak rizqi, minta laris dagangannya, minta cepat naik kariernya, minta segera mendapatkan jodoh. Ada yang datang ke laut dengan melemparkan makanan atau kepala kurban (kerbau) yang dianggap sebagai sedekah laut. Demikian juga di Seduda (nama tempat rekreasi di daerah Nganjuk) misalnya, setiap tanggal 15 Muharam banyak kalangan muda dan mudi yang berdatangan di tempat itu. Mereka berkeyakinan bahwa siapa yang mandi pada tanggal itu bisa awet muda, panjang umur. Selain itu tradisi mencuci keris banyak juga dilakukan pada bulan itu. Bahkan di gunung Kemukus di Sragen, jawa Tengah ada semacam legenda, barangsiapa yang menginginkan jodoh maka mereka harus berbuat mesum di tempat itu.
Penggunaan model pembelajaran daring menyebabkan beberapa siswa mengalami penurunan nilai khususnya pada pembelajaran bahasa Jawa materi memahami teks cerita legenda berbahasa Jawa. Peristiwa penurunan nilai siswa tersebut dapat disebabkan karena siswa mengalami kesulitan belajar. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan kesulitan belajar siswa, (2) mendeskripsikan faktor penyebab kesulitan belajar siswa, dan (3) mendeskripsikan upaya untuk mengatasi permasalahan kesulitan belajar yang dialami oleh siswa kelas VIII E SMP Negeri 2 Tulung pada materi memahami teks cerita legenda melalui model pembelajaran daring.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Penggunaan teknik ini karena peneliti tidak membatasi jumlah informan, namun didasarkan pada kualitas pemahamannya pada masalah yang diteliti. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara kepada guru dan siswa kelas VIII E SMP Negeri 2 Tulung, observasi pada grup whatsapp bahasa Jawa kelas VIII E SMP Negeri 2 Tulung, dan analisis dokumen. Teknik analisis data yang digunakan adalah model analisis interaktif dengan tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Adapun uji validitas data yang digunakan yaitu triangulasi sumber data dan triangulasi teknik.
Simpulan dari penelitian ini adalah siswa mengalami kesulitan memahami materi, memahami kosakata bahasa Jawa, menganalisis unsur intrinsik, kesulitan mengakses materi dan tugas, serta kesulitan untuk berkomunikasi dengan guru. Faktor-faktor yang menjadi penyebabnya berasal dari diri siswa (internal) dan luar siswa (eksternal). Faktor internalnya adalah siswa malas dan tidak berminat untuk belajar, mudah menyerah saat tidak paham dengan materinya, lelah dengan tugas yang banyak, dan tidak percaya diri untuk bertanya kepada guru. Sedangkan faktor eksternalnya yaitu mengikuti teman-temannya, jaringan tidak stabil, kurang perhatian dari orang tua, dan kondisi ekonomi keluarga. Adapun upaya yang dilakukan adalah materi yang diberikan menjadi ringkas dan menarik, pemberian tugas yang sedikit, membuka sesi tanya jawab kepada siswa, dan sekolah memberikan fasilitas home visit bagi siswa yang kurang mampu.
2. Waruamba, diberi nama waruamba karena hasil bubah kawah yang dilakukan oleh Syekh Singapada terjadi beberapa titik atau lubang tanah yang lebar lebar, atau dalam bahasa jawa lebar disebut amba, sehingga daerah tersebut dikenal dengan nama Waruamba.
4. Karangmalang, diberi nama Karangmalang karena dulunya ada pohon besar yang melintang atau dalam bahasa jawa disebut malang-malang,dan menghalangi perjuangan bubah kawah Syekh Singamenggala daerah tersebut dikenal dengan nama Karangmalang
Seperti yang sudah kita bahas di atas, kali ini pintarnesia akan memaparkan beberapa koleksi cerita rakyat berbahasa jawa, kamu bisa melihat cerita tersebut dengan cara klik tombol disini. Berikut ini adalah beberapa contoh cerita rakyat berbahasa jawa, di antaranya adalah:
0aad45d008