Temanggung Dulu dan Kini

123 views
Skip to first unread message

Tri Agus Susanto

unread,
Feb 10, 2011, 10:16:14 PM2/10/11
to pik...@googlegroups.com, pikatan groups, Pikatan yahoogroup

Temanggung Dulu dan Kini

oleh Tri Agus Susanto Siswowiharjo pada 11 Februari 2011 jam 9:48

 Koran Jakarta, Jumat, 11 Februari 2011

 

Membeku hati dalam perjalanan// tinggalkan kampung halaman// Alam yang sejuk penuh kedamaian// kini harus kutinggalkan// Temanggung//Temanggung//Temanggung sayang.

 

Tahun lalu, di sebuah akun situs jaringan sosial Facebook yang dimiliki orang Temanggung, terjadi diskusi menarik. Diskusi dimulai sebuah pertanyaan: Apa yang terlintas saat pertama mendengar kata “Temanggung”? Jawaban tentu beragam tergantung siapa yang menjawab. Dari kota yang bersih, indah dan sejuk sampai kekhasan warganya.

 

Namun ada tiga jawaban dominan yaitu: tembakau, Titiek Puspa, dan teroris. Tembakau merupakan tanaman yang menghidupi kabupaten di lereng gunung Sumbing dan Sindoro tersebut. Titiek Puspa? Tak lain karena artis tiga zaman ini masa kecilnya di kota ini dan turut memopulerkan daerahnya. Namun ada pula yang tanpa ragu-ragu menjawab sarang teroris! Diskusi di Facebook tadi dilakukan usai Densus 88 berhasil menewaskan Ibrahim, sebelumnya diduga Noordin M Top, di Kedu, Temanggung. Jika kini pertanyaan sama diajukan tentu akan banyak yang menjawab: pembakaran dan perusakan gereja! Edan tenan, Temanggung menjadi sarang teroris dan warganya anti perbedaan.

 

Benarkah? Kalau dilihat secara geografis, Temanggung memang cocok untuk bersembunyi para teroris karena letaknya cukup terpencil dan terdapat banyak bukit-bukit di bawah lereng tiga gunung, Sumbing, Sindoro dan Prahu. Namun kalau diamati keberadaan masyarakat Temanggung, tampaknya hampir tak percaya, kok bisa-bisanya mereka bergaul dengan teroris. Temanggung sejak dulu penuh kedamaian. Tidak ada pertikaian antarpenduduk yang merisaukan. Tidak pernah ada huru-hara yang serius kecuali ada rembetan kerusuhan anti China di Solo awal 80-an.

 

Orang Temanggung terkenal santun. Tidak galak, apalagi terhadap pimpinannya. Mereka orang-orang yang guyub dan patuh. Keguyuban dan kepatuhan itu pernah terbukti dengan disabetnya predikat Temanggung sebagai kota terbersih di Indonesia ketika wilayah itu dipimpin Bupati Masjchun Sofwan dan H Jacob. Nama Masjchun Sofwan yang kemudian menjadi Gubernur Jambi, sangat melegenda bagi warga Temanggung. Masjchun Sofwan adalah salah satu contoh bagaimana seharusnya bupati memimpin rakyat.

 

Dia memerintah bukan dengan kalimat perintah, tapi dengan teladan. Di bawah bupati berikutnya yaitu H Jacob, Sri Soebagjo dan HM Sardjono, masyarakat Temanggung tetap santun dan guyub dan tetap me-nyengkuyung para pemimpinnya. Namun ketika bupati dijabat Totok Ary Prabowo, anak muda yang mencuri uang rakyat alias korupsi, maka watak asli orang Temanggung muncul. Warga Temanggung, termasuk di perantauan, bertekad bulat: Totok Harus Titik! Terjadilah demonstrasi dan pembangkangan sosial yang dilakukan para lurah, camat dan PNS dan tentu saja didukung warga untuk menekan Totok.

 

Demonstrasi besar menduduki kantor bupati berlangsung sekitar seminggu yang berakhir menendang Totok dari kantor bupati dan mengirimnya ke penjara. Dalam aksi yang masif itu tak ada perusakan fasilitas publik apalagi tempat ibadah. Demonstrasi besar kedua—saat bupati saat ini Hasyim Afandi—adalah soal tembakau. Masyarakat menentang RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan (RUU PDPTK). Aksi massa di alun-alun, depan rumah jabatan bupati Temangung mencapai 30.000 karena juga dihadiri petani dari kabupaten tetangga. Dari bupati, ulama, sampai petani bersatu padu menolak pembatasan produk tembakau.

 

Tak ada satu pun perusakan terhadap fasilitas umum. Temanggung memang sudah berubah. Tak seramah dulu. Tak seguyub dulu. Kini sekat-sekat yang memisahkan warga yang secara SARA makin kentara. Kini makin banyak warga karena alasan keyakinan berlaku eksklusif dan menganggap paling baik atau paling suci di antara sesama warga. Pendek kata, slogan Temanggung Bersenyum:: bersih, sehat, nyaman untuk masyarakat, sudah tak berarti lagi. Ketika simbol-simbol keyakinan mulai dipertontonkan secara vulgar pada awal 90-an dan makin banyak berdiri lembaga berlatar belakang keyakinan pascareformasi 1998, maka lengkaplah sudah fragmentasi warga dalam masyarakat kita.

 

Dari fasadnya kita bisa melihat seorang berkeyakinan seperti apa, bagaimana ia menjalankan keyakinannya dan sebagainya. Dengan penampilan luar tersebut muncullah jarak. Mereka yang berpenampilan khusus akan bersalam dan bersalaman dengan yang berpenampilan khusus pula. Mereka yang berpakaian khusus akan hangat berjabat, berpelukan hingga berciuman pipi hanya dengan yang berpenampilan khusus. Sebaliknya, terhadap mereka yang bukan in group, mereka mengambil jarak. Jangankan bersalaman, bersalam saja mereka enggan. Hubungan antargender yang sebelumnya hangat sesuai kultur Jawa, kini berjarak karena tak bersentuhan.

 

Sungguh kehangatan masa lalu yang nJawani sudah luntur bahkan makin punah. Masyarakat kian akrab dengan istilah impor dari Timur Tengah sementara produk budaya sendiri kian ditinggalkan. Tak heran jika saat ada hajatan di kampung-kampung, seperti pernikahan atau sunatan, kita dapat menyaksikan Temanggung tak ubahnya seperti di tanah Arab. Bisa saja penampilan luar hanya masalah fashion, tak menggambarkan ideologi di kepalanya. Namun kejadian penyerbuan Densus 88 dan penyerangan gereja (8/2) menunjukkan ini bukan sekadar fashion. Teroris akan nyaman berada di tengah masyarakat yang mendukung ideologi teroris tersebut atau pada masyarakat yang cuek terhadap keamanan negara.

 

Jika diibaratkan teroris itu ikan, maka masyarakatlah yang menjadi air atau blumbangnya. Tampaknya makin banyak blumbang di Temanggung. Secara perlahan namun pasti, Temanggung telah berubah. Temanggung kian tak ramah. Temanggung makin tak nJawani. Temanggung tak lagi ngangeni seperti dulu. Tak terdengar lagi tembang Temanggung Sayang, sebuah lagu tema Temanggung tempo dulu. Temanggung malah makin medeni!

 



ernawati aprilia

unread,
Feb 10, 2011, 11:14:20 PM2/10/11
to pik...@googlegroups.com
No..no...Warga Temanggung harus tetap optimis....kita bisa menjadi kota yang di idam2kan spt dulu...kita bisa menjadi kota yang tentram dan damai kembali....


--- Pada Kam, 10/2/11, Tri Agus Susanto <tass...@yahoo.com> menulis:

edy darmono

unread,
Feb 11, 2011, 4:46:02 PM2/11/11
to pik...@googlegroups.com
Benarkah Telah Berubah ?
Membaca tulisan TAS ( Tri Agus Susanto), saya terbelalak. Apa kah Temanggung sudah berubah menjadi seperti yang ditulis mas TAS itu ? Benarkah ?
Saya mencoba merenung... lalu saya menggelengkan kepala... tidak mungkin...namun...apakah benar ?
Saya mencoba mengingat masa lalu, pada tahun 60 hingga 70 an. Memang sudah lama sekali, lebih dari 30 tahun yang lalu. Cukup lama bagi umur seorang manusia, namun tidak bagi perjalanan sebuah budaya. Karena budaya dibangun tidak cukup seumur manusia.
Temanggung bagi saya termasuk kota yang sangat toleran bagi kehidupan warganya. Tidak ada konflik suku, ras, ataupun agama. Jika pun ada adu jotos antar warga (biasanya anak muda), terjadi karena persoalan lain. Mereka hidup berdampingan secara hangat. Pergaulan dan persahabatan antar warga tidak dibatasi oleh SARA. Ingatkah kita Toko ASIA dan SAERAH yg kebetulan dimiliki oleh warga keturunan arab dapat menjalankan perdagangan meubel dengan baik. Pemiliknya juga dapat bergaul dengan hangat, tanpa pernah ada konflik. Demikian pula Toko lain yang dimiliki oleh masyarakat keturunan China. Mereka menjalankan perdagangan tanpa ada masalah. Toko Pantes ( kain), Toko Saudara (kain),Toko Janoko (emas), Toko Sakti (kelontong) dan sejumlah toko lain dapat menjalankan usaha sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi. Joragan-joragan Tembako dengan rumah yg besar-besar ( warisan jaman VOC), tetap dapat bergaul dengan masyarakat sebagaimana layaknya manusia hidup. NU dan Muhammadiyah berjalan beriringan, Sholat Id di AR ran ( lapangan bola tempo dulu) dengan di Mesjid Temanggung bukan menjadi persoalan. Berangkat bareng, pulangnya juga bareng. Pondok Mujahidin di Tlasri berdekatan dengan SD,SMP Muhammadiyah tidak pernah ada masalah. Gereja Panthekosta dengan gereja Katholik serta Gereja Kristen lainnya tidak pernah terdengar konflik. Mereka mengutamakan hubungan sosial yang harmonis dan bisa menghormati keyakinan agamanya masing-masing. Tidak sedikit dalam satu keluarga berbeda-beda organisasi agama atau bahkan berbeda agama. Semua bisa berjalan biasa-biasa saja. Banyak anak seorang kyai yang belajar di sekolah kristen. Ini juga bukan hal yang dipersoalkan. Jika kita berenang di Mudal, Pikatan, tidak ada garis pembatas antara warga keturunan Arab, China, Jawa, Batak, Ambon, Kristen, Islam, Katolik, Hindu, Budha. Semua masuk dalam satu kolan dan setelah itu beli nasi pecil kenci dan makan bareng-bareng. Pada bulan puasa, tidak ada pelarangan tutup warung ataupun makan siang bagi yang tidak puasa. Bahkan banyak pemilik warung yang berpuasa tetapi tetap berjualan dan melayani orang yang tidak berpuasa.
Orang Temanggung mayoritas saling berhubungan darah dan bertalian saudara karena perkawinan silang antar keluarga besar. Setiap desa warganya saling bersaudara dengan desa yang lain, jaringan persaudaraan ini kemudian menjadikan hubungan antar desa menjadi hangat.Tidak sedikit pertalian darah ini terjadi pada runutan canggah, dan tersebar kemana-mana sehingga menjadi jaringan keluarga besar di Temanggung. Trah besar Tembarak, Trah Besar Kaloran, Trah Besar Maron, Trah Besar Kedu, trah Besar Kandangan, Trah Besar Parakan, trah Besar Ngadirejo, Trah Besar Tretep, Trah Besar Candiroto, Trah Besar Njumo, dan lain-lain saling berhubungan dengan perkawinan ataupun misan. Agama merekapun berbeda-beda, namun jika hari raya idul fitri mereka menyatu tanpa batas. berhubungan hangat dan saling bertandang silahturahim. Apakah benar.... setelah tiga puluh tahun kemudian berubah ?
Jika benar demikian, maka generasi kita yang salah. Generasi 45 ( orang tua/kake-nenek kita) ternyata lebih hebat. Mereka menghayati konstitusi negara kita bukan hanya dimulut tetapi juga dalam sikap dan perilaku. lalu...apakah ini bukan kemunduran bagi kita dalam bernegara? Artinya, kita sebagai penerus dan penikmat hasil perjuangan dan konstitusi para leluhur kita telah gagal menjaga kontitusi dan membangun negara ini.

Mari kita renungkan dengan penuh khitmat agar kita tidak semakin salah.


Dari: ernawati aprilia <ernawati...@yahoo.com>
Kepada: pik...@googlegroups.com
Terkirim: Jum, 11 Februari, 2011 11:14:20
Judul: Bls: [PIKATAN-Bergerak] Temanggung Dulu dan Kini

Prinz Dodo

unread,
Feb 13, 2011, 11:25:25 AM2/13/11
to PIKATAN
Ketenangan dan kedamaian Temanggung harus kita pertahankan. Salah satu
caranya ialah dengan waspada dan jangan terpancing oleh agitasi,
intimidasi, dan provokasi dari pihak-pihak tidak bertanggung jawab
yang mengatasnamakan Temanggung.

http://setiyowidodo.blogspot.com/2011/02/bara-api-di-tengah-dinginnya-temanggung.html
Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages