DI bagian lain, tekad warga pengungsi korban erupsi Merapi untuk kembali ke desa asal mereka tidak tergoyahkan. Mereka tetap sepakat menolak kebijakan relokasi dari pemerintah. Bahkan iming-iming uang pengganti tanah warga yang ditawarkan tidak menarik minat warga terdampak untuk mengiyakan rencana relokasi. Kadus I Balerante Jainu yang tempat tinggalnya masuk dalam wilayah KRB 3, yaitu Dukuh Gondangrejo, Desa Balerante mengatakan, dia bisa memahami kekhawatiran warga dengan kebijakan pemerintah kali ini. “Warga bisa dikatakan hanya bisa bertahan hidup dengan bertani, berkebun, beternak dan menambang pasir. Dengan tanah relokasi seluas 150 meter persegi apa yang bisa mereka lakukan di sana nantinya,” papar Jainu balik bertanya sesaat setelah pertemuan dengan warga. Penolakan relokasi dengan konsekuensi harus siap dengan segala risiko saat hidup di desa asal mereka yang disebut-sebut sebagai Kawasan Rawan Bencana. “Warga lebih suka turun setiap kali ada kemungkinan terjadi erupsi, daripada kebingungan bagaimana harus menyambung hidup jika harus hidup di tempat relokasi,” terang Jainu yang juga menolak relokasi. Jainu menegaskan bahwa pilihan warga untuk bertahan di desa asal mereka dan hidup di tanah mereka, tidak bisa disamakan dengan siap mati. “Kami menolak relokasi dan siap hidup di tempat bencana, bukan berarti kami siap mati, tetapi justru kami ingin hidup karena di sanalah tempat kami hidup,” ujarnya. Jainu meyakini, kesepakatan warga untuk menolak relokasi berapapun uang ganti rugi yang ditawarkan adalah karena mereka memikirkan hidup untuk jangka waktu yang lebih panjang. “Jika pemerintah bersikeras untuk memindahkan warga dari tempatnya sekarang, pemerintah juga harus memikirkan kesempatan kerja untuk warga yang pendidikannya rata-rata tidak lulus SMP ini,” ujar Jainu. Surono (40) yang juga warga Dukuh Gondangrejo, Desa Balerante, Kecamatan Kemalang mengatakan kalau dirinya kini lebih memilih untuk tinggal di desa asalnya dengan rumah seadanya. “Saya sudah hampir satu bulan di atas, dan belum pulang ke shelter lagi,” terang Surono. Surono menambahkan, bahwa saat ini hampir semua tetangganya sudah kembali ke atas, dan warga yang masih tetap bertahan di shelter hanya beberapa orang saja karena mereka tidak punya rumah lagi di atas, dan belum memiliki modal untuk membangun kembali rumah mereka. Sementara itu, di saat rencana pembangunan rumah dari pemkab untuk warga terdampak Merapi di Desa Balerante tidak terdengar kelanjutannya dan terkesan masih dilematis, beberapa pihak dari pihak non pemerintah telah memberikan sokongan berupa material bangunan, di antaranya semen. Bantuan semen tersebut, di antaranya datang dari Puan Maharani yang memberikan 500 sak semen. Kemudian BI Solo memberikan sokongan 800 sak semen. Bantuan material yang diperuntukkan bagi warga terdampak Merapi di wilayah Balerante ini pemanfaatannya diserahkan sepenuhnya kepada warga. Semen diperbolehkan untuk digunakan sebagai bahan baku bangunan rumah mereka kembali, maupun dipergunakan sebagai bahan pembuat batako untuk kemudian dijual lagi. Melihat semangat hidup warga yang ingin tetap kembali ke atnah kelahirannya itu, Jainu berharap agar pemerintah pusat melakukan peninjauan langsung ke lokasi dan berkomunikasi langsung dengan warga terdampak Merapi. Sehingga mereka akan tahu kebijakan seperti apa yang harus diambil karena mereka menyaksikan sendiri kondisi masyarakat dan kondisi lingkungan yang ditinggali oleh warga. “Jangan hanya mengetahui dari media saja, atau dari laporan-laporan,” ujar Jainu. (yas) http://www.radarjogja.co.id/berita/metropolis/17568-tolak-relokasi-bukan-berarti-siap-mati.html |