The main emphasis of education in Indonesia is still more on the cognitive process, and less on the morals and character of students. Thus, there are still many students who have bad morals in their lives. This study aims to analyse moral education extracted from the Book of Tazkiyatun Nafsi by Ibn Taymiyyah. The method used in this research is qualitative with a literature study approach and primary data sourced from the book Tazkiyatun Nafsi by Ibn Taymiyyah. The results of the study revealed that Ibn Taimiyah's concept of moral education was born as a form of response to the state of faith and morals of the local community at that time, where the community at that time was increasingly damaged and destroyed. The scope of moral education in the book of Tazkiyatun Nafsi Ibn Taimiyah includes the material of sincerity, piety, amar makruf nahi mungkar, shame, noble and generous, repentance, praise and gratitude, honesty, patience, iffah, jealousy, prayer, khosyah, at-tadzkir, husnudzon (being kind), tawaddhu (humble), tawakkal, obedience, and ridha.
Titik berat pendidikan di Indonesia masih lebih banyak menekankan pada proses kognitif, dan kurang memperhitungkan akhlak dan budi pekerti siswa. Sehingga, masih banyak siswa yang memiliki akhlak yang tidak baik dalam kehidupannya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pendidikan akhlak yang digali dari Kitab Tazkiyatun Nafsi Karya Ibnu Taimiyah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan studi pustaka dan data primer yang bersumber dari kitab Tazkiyatun Nafsi karangan Ibnu Taimiyah. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa konsep pendidikan akhlak Ibnu Taimiyah lahir sebagai bentuk respons keadaan akidah dan akhlak masyarakat setempat pada waktu itu, di mana masyarakat pada saat itu akhlaknya yang semakin rusak dan hancur. Ruang lingkup pendidikan akhlak dalam kitab Tazkiyatun Nafsi Ibnu Taimiyah mencakup materi ikhlas, takwa, amar makruf nahi mungkar, malu, mulia dan dermawan, taubat, pujian dan syukur, jujur, sabar, iffah, rasa cemburu, doa, khosyah, at-tadzkir, husnudzon (berbaik sangka), tawaddhu (rendah hati), tawakkal, taat, dan ridha.
Dewi, I. W. K. (2008). Konsep pendidikan Islam Ibnu Taimiyah dalam membina akhlak remaja dan implikasinya terhadap pembelajaran pendidikan agama Islam (Undergraduate, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim). Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Retrieved from -malang.ac.id/4567/
Editorial Board
Peer Reviewers
Online Submission
Author Guidelines
Author Fees
Publication Ethics
Screening for Plagiarism
Reviewer Guidelines
Open Access Policy
Visitor Statistics
This journal is published by the Master of Islamic Education Study Programme, Postgraduate School, Ibn Khaldun University, Bogor.
Gedung Sekolah Pascasarjana K.H. Sholeh Iskandar Lt. 2, Kampus Universitas Ibn Khaldun. Jl. K.H. Sholeh Iskandar Km. 2, Kec. Tanah Sereal, Kota Bogor, Jawa Barat 16164
_Tazkiyatun nafs_ atau penyucian jiwa merupakan salah satu tema terpenting dalam ajaran Islam. Sehingga kaum muslimin sejak dahulu telah mengkaji kitab-kitab yang membahas tentangnya. Salah satu kitab tazkiyatun nafs yang terkenal adalah kitab _Minhajul Qashidin_ karya Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi.
Karena itu kami hadirkan spesial untuk putra-putri Anda kitab _Minhajul Qashidin_ versi anak. Tidak semua materi dalam kitab aslinya kami masukkan dalam buku ini. Kami pilih tema-tema yang sesuai dengan kebutuhan dan pemahaman anak.
Ihya Ulumuddin atau Al-Ihya merupakan kitab yang membahas tentang kaidah dan prinsip dalam menyucikan jiwa (Tazkiyatun Nafs) yang membahas perihal penyakit hati, pengobatannya, dan mendidik hati. Kitab ini merupakan karya yang paling terkenal dari Imam Al-Ghazali. Hanya saja kitab ini memiliki kritikan, yaitu meskipun Imam Ghazali merupakan seorang ulama namun dia bukanlah seorang yang pakar dalam bidang hadits, sehingga ikut tercantumlah hadits-hadits tidak ditemukan sanadnya, berderajat lemah maupun maudhu. Hal ini menyebabkan banyak ulama dan para ahli hadits yang kemudian berupaya meneliti, memilah dan menyusun ulang terhadap takhrij hadits yang termuat di dalam Ihya Ulumuddin. Di antaraulama ahli hadits yang menyusun ulang kitab hadits berdasarkan Ihya Ulumuddin ini adalah Imam Ibnul Jauzi dan Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi yang menulis kitab Minhajul Qashidin dan ikhtisarnya (Mukhtasar).[1]
Kitab Ihya Ulumudin (احياء علوم الدين ) memiliki tema utama tentang kaidah dan prinsip dalam penyucian jiwa yakni menyeru kepada kebersihan jiwa dalam beragama, sifat takwa, konsep zuhud, rasa cinta yang hakiki, merawat hati serta jiwa dan sentiasa menanamkan sifat ikhlas di dalam beragama. Kandungan lain dari kitab ini berkenaan tentang wajibnya menuntut ilmu, keutamaan ilmu, bahaya tanpa ilmu, persoalan-persoalan dasar dalam ibadah seperti penjagaan thaharah dan salat, adab-adab terhadap al-Qur'an, dzikir dan doa, penerapan adab akhlak seorang muslim di dalam pelbagai aspek kehidupan, hakikat persaudaraan (ukhuwah), bimbingan memperbaiki akhlak, bagaimana mengendalikan syahwat, bahaya lisan, mencegah sifat dengki dan emosi, zuhud, mendidik rasa bersyukur dan sabar, menjauhi sifat sombong, ajakkan sentiasa bertaubat, pentingnya kedudukan tauhid, pentingnya niat dan kejujuran, konsep mendekatkan diri kepada Allah (muraqabah), tafakur, mengingati mati dan rahmat Allah, dan mencintai Rasulullah ﷺ.
Kitab Ihya Ulumuddin kemudian di teliti dan dikerjakan ulang oleh Imam Ibnul Jauzi (597 H) lalu hasil pengerjaannya tersebut diberi nama Minhajul Qashidin wa Mufidush Shadiqin. Usaha Ibnul Jauzi dalam melakukan pengerjaan ulang kitab terhadap Ihya Ulumuddin ini dianggap begitu penting dan kompeten. Karena selain Ibnul Jauzi memiliki kesamaan dengan Imam Al-Ghazali di dalam hal disiplin keilmuan yang dikuasai. Imam Ibnul Jauzi memiliki kelebihan penguasaan yang ahli terhadap ilmu hadits, baik dari sisi riwayah maupun dirayah; sanad maupun matannya. Pengerjaan ulang oleh Ibnul Jauzi berfokus kepada penelitian ulang derajat hadits-hadits yang ada, kemudian melakukan eliminasi terhadap hadits-hadits yang maudhu, dhaif dan mauquf dan kemudian dia gantikan dengan dalil yang shahih dan hasan, sehingga didapatkan sebuah kitab yang kokoh sebagai pegangan.
Berkata Ibnul Jauzi tentang latar belakang dan metode penyusunan kitabnya: "Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali memiliki beberapa kekurangan yang hanya pakar/ahli ilmu (hadits) yang menyadarinya (mengenalinya), seperti pada riwayat yang disandarkan kepada Nabi ﷺ namun ternyata maudhu atau tidak shahih. Oleh karena itu, aku menyusun sebuah buku yang terbebas dari masalah tersebut tadi, dengan tetap mempertahankan keutamaan (kebaikan) dari kitab aslinya (Al-Ihya). Dalam kitabku ini, aku bersandar hanya pada riwayat yang asli dan terkenal, dan aku hilangkan atau tambahkan dari kitab aslinya (Al-Ihya) apa yang dirasa perlu."[2]
Kitab Minhajul Qashidin merupakan sebuah kitab yang cukup tebal, sehingga mungkin tidak setiap kalangan mau dan mampu memanfaatkannya dengan baik. Kemudian kitab tersebut dibuat ringkasannya oleh Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi.
Bila dahulu Imam Ibnul Jauzi fokus kepada penelitian hadits-haditsnya, kitab mukhtasar ini sesuai dengan namanya, bertujuan kepada peringkasan dan membuat intisari dari kitab sebelumnya agar lebih ringkas, teratur, dan mudah dipahami. Juga ditambahkan penjelasan serta tambahan faedah yang diperlukan. Sehingga menjadi sebuah kitab yang mudah bagi para pelajar maupun masyarakat awam untuk memanfaatkannya.[3]
Ibnu Qudamah berkata tentang latar belakang dan metode penyusunan kitabnya: "Ketika aku membaca kitab Minhajul Qashidin karya Ibnul Jauzi, aku merasa bahwa kitab ini sangat bermanfaat bagi masyarakat. Jadi aku memutuskan untuk membacanya sekali lagi dengan tujuan untuk menyerap makna yang lebih dalam. Setelah membacanya untuk kedua kalinya, kekagumanku atas buku ini semakin bertambah. Aku mendapatinya begitu terstruktur dan aku ingin untuk memfokuskan pada poin-poinnya yang penting dan obyektif. Demi menempuh hal itu, aku tinggalkan beberapa topik, yang sudah banyak terdapat dalam kitab-kitab yang terkenal. Juga aku tidak menyusunnya sesuai urutan kitab aslinya, lalu aku tambahkan pula catatan tambahan yang diperlukan seperti hadits dan komentar".[2]
The background of this research was that one of the Islamic education figures who made a major contribution to education was Al-Ghazali. The educational thought put forward by Al-Ghazali has a religious-ethical pattern. This pattern is influenced by his mastery in the field of Sufism and his thinking which places more emphasis on ethical and spiritual aspects. The purpose of education is to get closer to Allah and get happiness in this world and the hereafter. Al-Ghazali's thoughts in the field of education give their own style in Islamic education. Al-Ghazali's thoughts on Tazkiyatil Anfus are a treasure of Islamic scholarship that should be inherited and studied by the younger generation of Muslims, especially among Muslim students. The objectives of this research are: To find out the Implications of the Tazkiyatun Al-Nafs Concept for Islamic Education. This study uses document library research design for data collection using documentation with work studies. The result of this research is that education according to Al-Ghazali is part of tazkiyatun nafs, and knowledge is seen as a tool to illuminate the heart and guide the mind to glory. According to Al-Ghazali, the morals of students can basically be trained, directed, changed, and formed through education. Al-Ghazali put forward ten concepts of tazkiyatun nafs in the context of education education, namely: prioritizing the purity of the soul over despicable morals from disgraceful traits, reducing contact with the busy world, willing to stay away from family and homeland to study knowledge, not arrogant because of knowledge and not opposing the teacher, keeping oneself from listening to different human opinions, not abandoning commendable sciences, acquiring knowledge gradually, knowing the reasons that can lead to knowing the glory of knowledge, and knowing the relationship of science to its goals.
4a15465005