Salam kompak.
Artikel dibawah, sungguh menyayat hati, bagi yang peduli.
Saya mencoba memberikan pandangan dari sudu pandang yang berbeda.
===============================================
Cerita Esemka sudah mulai surut, kabarnya mau mass prod th 2012,
namun sampai sekarang, toh belum ada tanda tanda.
Issue Uji emisi, entah ide siapa ini ? gagal ? berhasil ? nggak penting banget.
Jauh sebelum masalah Uji emisi, harusnya adalah uji "kemampuan produksi"
Bagi saya, Esemka adalah ibarat Gua Hantu, apa yang ada di dalam tidak jelas.
Namun yang keluar dari Gua tersebut, kadang malah tambah sakti, spt Jokowi.
Bagaimana bukan gua hantu, karena tidak satupun yang bisa menjawab pertanyaan
saya
ketika saya berkunjung ke Workshop di Solo "dari mana asalnya mesin?"
Pihak sekolah mengatakan, disupply dari Bandung, Pihak kepala workshop
mengatakan, dikerjakan di UKM sekeliling Solo.
Ada 15 an mesin mesin 1500 an cc terjajar, di gudang, sementara untuk bodynya
ada 1 set per model, yang dibongkat pasang oleh siswa2
SMK.
Cerita tucuxi Dahlan Iskhan, lebih mengenaskan lagi,
Habis nabrak tebing, tak pernah terdengar lagi desas desusnya.
Belum juga berhasil, buat mobil bensin, nekat melompat bikin mobil listrik.
Tak ada laporan resmi, kenapa rem blong sampai saat ini.
Kesalahan dari semua diatas adalah, masy kita masih menganggap bahwa
membuat mobil itu boleh menggunakan part yang dijual dipasar.
Ini salah besar. Karena part yang ada di pasar tidak bisa dijamin kontinuitasnya.
Mungkin para perakit itu beranggapan, ya awalnya makai part pasaran,
kalau udah jalan nanti bikin pabrik spare partnya.
Nah inilah, pola pikir kedua yang salah. Ceritanya panjang, saya singkat saja.
Dalam kondisi sperti ini, cara 'tricky' pemerintah adalah dengan
menggalakkan produksi otomotive.
Dengan menambah kapasitas produksi 30 persen saja, maka lokalisasi
sparepart akan meningkat tajam.
Disinilah diharapkan teknology dasar akan tumbuh seperti :
- pengolahan baja, material, sub material lain.
- Stamping, molding, Casting, Forging, metal treatment dll
- Precission machine, Test equipment
- Logistic, Automation, Training, Certification ...
dll, yang saat ini di Indonesia masih sangat tertinggal.
Kebijakan LCGC, memang menuai banyak opini,
saya sendiri beranggapan bahwa ini langkah salah !!
Dan saya siap untuk pindah tempat tinggal kalau jakarta
tambah macet.
(masih banyak tempat cari nafkah)
Namun, di sisi lain, saya sebagai orang Indonesia yang ingin agar Industri
Otomotive lokal segera bangkit, saya setuju kebikajan LGCC dengan
beberapa catatan :
- Perbaiki undang2 ketenaga kerjaan, jaminan investasi, dan infrastructure Industri.
- Kebijakan local content diperbaiki, dan diterapkan dengan baik.
termasuk sistem insentive bagi Perush asing yang mengembangkan R&D di Ind.
- Dominasi maker Jepang harus dibatasi, dan diberikan kesempatan yang
lebih luas pada pabrikan asing lain spt India, Korea, Eropa dan Amerika.
Sekian celetukan pagi.
Edi P
MUMPUNG gairah mobil murah masih hangat, mari
intip yang terjadi di
Thailand. Negara ini punya program serupa, yaitu memberikan fasilitas
keringanan pajak pada industri otomotif.
Kebijakan ini diambil
pemerintah Thailand setelah bencana banjir pada 2011 yang membuat
industri otomotif mengkerut. Dari sini, keluarlah kebijakan: pembeli
mobil pertama diperkenankan memiliki mobil murah itu.
Serta-merta
warga Negeri Gajah Putih memesannya. Menurut catatan IHS Global
Automotive, perusahaan riset ekonomi global asal Amerika Serikat, ada
sekitar 1,2 juta konsumen yang membeli dengan cara kredit.
Dalam
hitungan Bank Dunia, seperti dikutip kantor berita Reuters, potensi
pendapatan pajak negara yang hilang mencapai $2,5 miliar. Tersedot oleh
mobil murah karena mendapat pembebasan pajak.
Ternyata, kebijakan
tersebut memicu munculnya masalah baru. Sekitar 10 persen konsumen
mobil murah sudah tak mampu membayar cicilan bulanan.
Selanjutnya
mudah ditebak. Penyaluran kredit konsumsi, khususnya untuk belanja
mobil murah, mulai ketat. Hal ini memicu penurunan tingkat permintaan
terhadap kendaraan roda empat. Harga ikut terseret, tak terkecuali pasar
mobil bekas.
Pabrikan otomotif asal Jepang yang menguasai 80
persen pasar domestik Thailand, mengalami penurunan penjualan 30 persen
pada kuartal kedua tahun ini. Penurunan harga berlanjut hingga mencapai
20 persen.
Hal serupa juga pernah terjadi di Amerika Serikat pada
2009. Kebijakan insentif pajak terhadap industri otomotif yang
diberikan pemerintah telah menyebabkan terjadinya distorsi alias
ketidaksempurnaan pasar. Tingkat permintaan tampak menjadi semu, bukan
sebagaimana mestinya.
Dalam kondisi seperti ini, jika tidak
memukul perusahaan yang tidak ikut program mobil murah, paling minim
menekan produk lain. Misalnya pasar mobil bekas.
Mulanya memang
kebijakan fasilitas pajak pada industri otomotif langsung menciptakan
tingkat permintaan yang sangat tinggi. Tapi kemudian, balon itu pecah
menyisakan kredit macet. Di Amerika, seperti yang saat ini terjadi,
pemerintahnya bergegas mencabut kebijakan keringanan pajak.
Kebijakan
ini tentu tidak sekadar menciptakan pasar yang semu, tapi juga
mengakibatkan pendapatan negara ikut tergerus. Dalam konteks kebijakan
itu memang tidak ada uang negara yang keluar, tapi ada potensi pemasukan
yang hilang, yaitu dari pajak otomotif. Jadi, pada dasarnya ya, sama
saja.
Padahal, pajak merupakan pendapatan negara paling penting
sebagai penyeimbang pengeluaran. Dengan asumsi pengeluaran tetap,
sementara pendapatan dari pajak turun, defisit anggaran bakal makin
lebar. Untuk mengecilkan defisit, cari utang jadi solusi. Atau, belanja
negara seperti pembangunan infrastruktur bisa diciutkan.
Kembali
ke mobil murah yang sedang bergairah di sini, seperti di Thailand dan
Amerika beberapa tahun silam. Di Indonesia, produknya disebut Low Cost
Green Car (LCGC) dan mendapat fasilitas pajak barang mewah.
Saking
semangatnya, bahkan Wakil Presiden Boediono pun sampai angkat bicara,
khusus melakukan pembelaan atas kebijakan mobil murah yang banyak
diperdebatkan. Dia berjanji, segala daya upaya pemerintah bakal
dikerahkan untuk mendorong pertumbuhan industri otomotif.
Jadi persis dengan yang dilakukan oleh Thailand. Mengerahkan segala upaya, terutama fasilitas pajak.
Pesan
yang terkandung dalam kebijakan itu, tentu saja menciptakan tingkat
permintaan yang sebesar-besarnya terhadap produk otomotif. Dengan
begitu, pabrikan bisa meningkatkan produksi dan selanjutnya, mengeruk
untung. Tak peduli jalan sesak, polusi makin parah, atau pendapatan
negara yang dikorbankan.
Kini, Thailand sudah terkena imbas dari
mobil murah. Kebijakan yang mendorong warga belanja mobil, walau
sebenarnya lebih bermanfaat subsidi kebutuhan pokok, berbuntut bencana
kredit macet.
Mudah-mudahan pemerintah Indonesia lebih arif.
Apalagi, kalau melihat data Bank Indonesia, tingkat konsumsi masyarakat
yang ditunjukkan lewat indeks keyakinan konsumen sepanjang
Januari-Agustus 2013, sudah turun 7,2 persen.
Kini, apa pemerintah mau menggenjotnya lewat dorongan belanja mobil murah, walau dengan segala pengorbanan?