pawipa...@gmail.com
unread,Jun 18, 2008, 6:39:23 AM6/18/08Sign in to reply to author
Sign in to forward
You do not have permission to delete messages in this group
Either email addresses are anonymous for this group or you need the view member email addresses permission to view the original message
to masyarakat, keagamaan, dan spiritualitas
Dunia saat ini sudah memasuki era liberalisasi yang nyaris tidak
terbendung. Akibatnya, orang masyuk ke dalam perilaku individualistis
yang dalam jangka panjang bayangannya sangat mengerikan. Kalau ini
berlaku masal, saya khawatir kehidupan masyarakat tertarik oleh arus
yang kuat menuju homo homini lupus. Manusia bukan lagi makhluk
bermoral, tetapi semakin amoral.
Kalau kita cermati, akar permasalahannya sesungguhnya terletak pada
definisi keselamatan atau orang yang selamat. Sesungguhnya manusia
menginginkan berada pada kondisi selamat tanpa kekurangan suatu apapun
serta tanpa aral yang melintang sedikitpun. Orang yang selamat inilah
yang mencapai kebahagiaan.
Kita ingat bahwa Weber, dalam bukunya Protestant Ethic, menyatakan
bahwa kapitalisme saat ini bermula dari definisi tentang keselamatan
ini. Orang yang 'selamat' ini merupakan gambaran dari kekasih Tuhan.
Hanya saja, Weber tidak membahasnya lebih lanjut bahwa definisi
selamat ini justru mengakibatkan manusia terlalu berlebihan dalam
mengapresiasi materi. Bahkan kemudian, ukuran kebahagiaan menjadi
tereduksi dalam bentuk ukuran materi, yang tentunya bersifat
kuantitatif. Ketika semua dikuantifisir, maka hal-hal yang bersifat
kualitatif, normatif, abstrak, seperti keyakinan, kejujuran, keimanan,
semangat, kerjasama, dan sebagainya hilang, dan tereduksi dengan
ukuran maeri kembali.
Dampak ini sudah semakin jelas. Makanya, kerangka kerja ekonomi
berbasis koperasi misalnya, tidak lagi dapat menggambarkan konsep
kooperasi seperti yang dikemukakan oleh Hatta. Kenapa? karena semua
hal yang bersifat kualitatif, yang kecenderungannya resiprokal, timbal-
balik, telah mengkonversikan diri menjadi transaksional, terukur
dengan materi, market oriented, sehingga kooperasi musnah, tergantikan
dengan perilaku kompetitif, bersaingan.
Kalau kita lihat lebih jauh dan kita renungkan dalam-dalam, sebenarnya
ada spiritualitas yang hilang, setidaknya mendangkal, kurang kritis
dalam menafsirkan ajaran agama, apapun agamanya. Perilaku ini
sebenarnya yang menjadikan agama yang dangkal makna. Terhenti pada
simbol-simbol yang bersifat materialistik. Anehnya, sepertinya tanpa
kesadaran penuh, perilaku orang-orang seperti ini justru merasa
mengagungkan agama. Padahal yang terjadi adalah telah terseret pada
arus pereduksian makna agama. wallahu'alam bil showab.