PELAJARAN KORUPSI
Saat ini sedang rame-ramenya KPK dan beberapa perguruan tinggi wacanakan pendidikan anti korupsi, saya jadi bertanya-tanya efektifkah pendidikan anti korupsi mengingat pengalaman pribadi sejak masih bersekolah. Ketika masih sekolah dulu, walaupun saat itu tidak ada pelajaran mengenai korupsi ataupun anti korupsi, rasanya dalam pendidikan etika kita sebagai murid sangat ditekankan untuk bersikap dan bertindak jujur, dan kita mengetahui bahwa korupsi adalah
perbuatan yang tidak baik dan tidak bermoral. Pungli (Pungutan Liar) yang pada saat itu sangat populer juga merupakan perbuatan yang tidak baik dan tidak benar, kita juga sadar untuk tidak memberikan pungli.
Pengalaman Pertama
Saat ketika tamat sekolah tingkat SMP, dimana sekolah mewajibkan semua murid memfotocopy ijasah dan harus dilegalisir sampai ke tingkat Kantor wilayah depdikbud waktu itu. Legalisir ijazah bisa titip di sekolah dan harus membayar sekian rupiah setiap lembarnya. Hitung-hitung cukup mahal juga biaya fotocopy dan legalisasi tersebut, maklum sebagai anak dari seorang pedagang kakilima uang sangat menjadi kendala. Jika legalisir lewat sekolah harus membayar cukup besar bagi kami. Kami tanyakan apakah bisa legalisir sendiri? Pihak sekolah memperbolehkan dan katanya tidak ada biaya. Maka kamipun mulai berhitung dengan ongkos foto
copy dan ongkos naik bus yang waktu itu tarif untuk pelajar sebesar Rp 50 sekali naik bus, dimana kami harus pindah 2 kali naik bus, masih cukup murah dan terjangkau dari uang jajan kami. Maka kamipun (saya dan saudara sepupu saya) memutuskan untuk membawa sendiri foto copy ijazah untuk di legalisasi.
Berbekal modal nekat dan mau irit, kami pun berangkat dengan susah payah walau tempat tujuan yang belum pernah kami datangi. Kami berpesan kepada kondektur bus, apabila sudah sampai tujuan kami yaitu kantor wilayah depdikbud mohon kasi tau kami. Singkat cerita sampailah kami dilokasi tujuan setelah dikasi tau oleh kondektur bus, maka kamipun turun bus dan berjalan menuju komplek gedung dimaksud.
Sedang bingung mencari gedung mana yang harus kami masuki di dalam komplek tersebut, kami dihampir salah seorang petugas yang menanyakan maksud dan tujuan kedatangan
kami. Setelah mengetahui maksud kami, petugas tersebut mengatakan bahwa beliau bisa membantu kami, dan meminta kami menyerahkan semua fotocopy ijazah untuk di legalisir. Tentunya kami sangat senang ada yang berbaik hati membantu kami.
Kami berdua asyik ngobrol sambil menunggu di halaman komplek, tidak lama kemudian petugas tersbut keluar dengan membawa ijazah yang sudah dilegalisir. Petugas tersebut belum mau menyerahkan fotocopy kami sebelum kami memberikan sejumlah uang untuk jasanya. Saat itupun kami berpikir, kenapa justru sebagai pejabat yang bertugas “sebagai pendidik” malah mendidik hal yang benar kepada kami anak sekolah? Sebagai prinsip kami bahwa “pungli” adalah perbuatan yang tidak benar dan memang dana kami sudah pas-pas buat ongkos pulang, maka kami tidak ingin memberikan. Maka kamipun berpikir keras bagaimana kami bisa mendapatkan fotocopy kami tanpa harus membayar. Akhirnya kami
dapat akal, coba kami lihat sudah ditandatangan belum, maka kamipun mengambil dan mengecek setiap lembar yang memang sudah ditandatangani oleh pejabat saat itu bernama ‘Koldenhoff’ ,kalo ga salah, (sampai saat inipun nama ini terus terngiang di benak kami).
Setelah ditangan kami, sengaja kami berlama-lama ngeceknya. Sampai satu kesempatan ketika petugas tersebut dipanggil oleh temannya dan dia menoleh kepada temannya, maka kamipun spontan berbalik dan berjalan cepat sambil berteriak : “Terima kasih pa........” kami kabur dan segera naik bus. Pengalaman pertama kami menghadapi dunia nyata, bahwa di dalam dunia pendidikan yang kami pelajari selama ini, pungli ataupun korupsi adalah perbuatan yg tidak baik, tapi dalam dunia nyata justru di pusat pendidik, kami diajarkan harus memberikan pungli.........????
Pengalaman Kedua
Sebagai remaja yang baru punya KTP, maka gaya pertama adalah membawa dompet yang ditaruh di saku belakang celana, celana panjang tentunya. Walau dengan uang saku yang masih pas pasan, mengikuti tren saat itu setelah pulang sekolah ganti kemeja seragam putih dengan kaos yang sdh dibawa dari rumah, maka kami pun ikutan jalan-jalan di pertokoan. Sedang enak-enak jalan tiba-tiba saya memegang dompet saya koq sudah hilang, saat itu baru tau kalo saya kecopetan. Tiba-tiba memori langsung keluar, “kalo ada kehilangan atau kecopetan maka segeralah lapor ke polisi terdekat” (mungkin waktu itu sering banyak iklan kampanye pelayanan masyarakat). Maka langkah pertama mencari kantor polisi terdekat, setelah bertanya-tanya akhir sampailah di kantor polisi. Setelah sampai diterima seorang petugas polisi langsung ditanya, ada apa? Saya menjelaskan bahwa saya baru kecopetan. Dalam benak saya seperti film-film polisi yang dapat laporan langsung
bergerak mengejar pelaku. Eh polisi malah bolak-balik baru ambil mesin ketik, mulailah polisi itu mengetik sambil bertanya-tanya nama, alamat, apa yang hilang. Setelah selesai maka saya diberikan satu lembar kertas keterangan laporan kehilangan. Lah saya baru mengerti kalo kehilangan barang, harus lapor polisi dan hanya diberi selembar kertas. Masih bingung, tiba-tiba polisi tersebut malah meminta saya berikan uang untuk ongkos ketik. Langsung saya berargumen, “pak bukannya saya sudah laporkan bahwa dompet saya dicopet KTP dan uang saya hilang, saya sudah tidak ada ongkos pulang malah diminta lagi. Dan kembali lagi teringat himbauan dalam iklan layanan dari polisi untuk tidak memberikan pungli, tapi dalam praktek malah diminta. Akhirrnya polisi malah mengusir saya, dalam benak saya, mengira peran polisi akan menguber dan menangkap pencopet, malah saya sudah kecopetan cuma dimintaain uang lagi.
Kembali
dalam praktek kehidupan sekarang ini, dalam beberapa kasus korupsi yang diberitakan, kita dipertontonkan bagaimana hebatnya orang-orang yang tersangka korupsi, tampil bak artis/selebritis disorot kamera, berpakaian mewah, dan berpenampilan saleh dg busana agamis, wawancara dengan senyum-senyum dan tertawa-tawa. Bagaimana seorang yg korupsi malah bisa dgn tenang liburan keluar negeri dengan membayar petugas atau pejabat untuk ijin keluar. Petugas atau pejabat ybs malah tidak ada berita ditangkap. Berita koruptor malah dapat remisi dan pengampunan. Korupsi sekian milyar hanya dihukum sekian tahun, dikasi remisi dan pengampunan akhirnya hanya beberapa bulan dipenjara. Dipenjarapun asal bisa bayar, maka kamarnyapun bisa sekelas hotel bintang 5. Malah terkesan kalo korupsi besar malah dilindungi karena bisa diperas lagi.
Yang lebih ironis, koran beberapa hari lalu, seorang anak remaja mati
dikeroyok massa hanya karena mencuri uang Rp 45.000. Berita sebelumnya pencuri sandal jepit dihukum dengan tegas. Dan masih banyak berita mengenai pencurian nilai kecil dan melibatkan orang kecil hukum malah bertindak tegas dan hukum jelas. Yang bersalah dihukum. Namun bila korupsi besar, anda akan aman jalan-jalan. Dokterpun bersedia memberikan surat keterangan sakit untuk berobat keluar negeri, walau anda tidak sakit (ini masih sesuai kode etik dokter), cuma alasan untuk keluar negeri. Seperti cerita sinetron, begitu koruptor sdh diluar negeri baru keluar surat cekal. Kemudian negara keluar uang untuk pencarian keluar negeri dengan mengirim pejabat keluar negeri (ga tau mau jalan-jalan atau bener-benar tugas negara).
Menurut pendapat pribadi, pendidikan untuk anti korupsi malah akan membebankan kurikulum dan biaya yang akhirnya akan menjadi dilema atau paradog, kalo hukuman dalam praktek
tidak ditegakan secara tegas. Kapan ada koruptor yang diadili oleh massa seperti maling yang ketangkap????