Etiologiulkus peptikum adalah rusaknya mukosa traktus gastrointestinal, umumnya lambung dan duodenum proksimal. Kerusakan ini dipengaruhi beberapa faktor risiko, seperti infeksi Helicobacter pylori, konsumsi nonsteroidal antiinflammatory drugs atau NSAID, stres, kebiasaan merokok, dan konsumsi alkohol kronis.[3,7]
Faktor risiko munculnya ulkus peptikum adalah infeksi H. pylori, penggunaan NSAID, pertambahan usia, alkoholisme kronis, dan kebiasaan merokok. Selain itu, beberapa penyakit komorbid juga menjadi faktor risiko ulkus peptikum, seperti gangguan cemas menyeluruh, schizophrenia, dan penyakit paru obstruktif kronis.[8]
Faktor risiko rekurensi ulkus peptikum pada pasien yang sudah diobati adalah usia tua, berlanjutnya infeksi H. pylori, dan berlanjutnya penggunaan obat seperti NSAID, aspirin, antikoagulan, dan kortikosteroid. Kelas Forrest I (ulkus peptikum dengan perdarahan aktif) dan II (ulkus peptikum dengan riwayat perdarahan dalam waktu dekat) juga dilaporkan sebagai faktor risiko rekurensi. Ukuran ulkus >1 cm dan sindrom Zollinger-Ellison juga merupakan faktor risiko rekurensi.[8]
Faktor risiko yang berkaitan dengan mortalitas ulkus peptikum adalah usia tua, adanya komorbiditas, penggunaan kortikosteroid, dan keadaan klinis yang buruk, misalnya syok, kadar hemoglobin amat rendah saat masuk rumah sakit, dan hipotensi. Pasien yang telah mengalami komplikasi berulang juga lebih berisiko mengalami kematian.[8]
Ulkus peptikum adalah cedera asam peptik pada mukosa traktus gastrointestinal, yang dapat menyebabkan kerusakan hingga lapisan submukosa. Ulkus peptikum umumnya mengenai lambung dan/atau duodenum proksimal.[1,2]
Etiologi tersering ulkus peptikum adalah infeksi Helicobacter pylori. Etiologi lain adalah konsumsi nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAID) dan keadaan yang memicu hipersekretori asam lambung, seperti konsumsi makanan tertentu dan stres.[2]
Pasien ulkus peptikum umumnya datang dengan keluhan nyeri ulu hati, kembung, dan mual muntah. Pada keadaan lebih berat di mana sudah terjadi perforasi, pasien dapat mengeluhkan muntah darah, buang air besar berwarna hitam, dan gejala peritonitis. Diagnosis ulkus peptikum bisa dikonfirmasi dengan melakukan endoskopi.[3]
Penatalaksanaan utama dari ulkus peptikum adalah modifikasi gaya hidup dan terapi farmakologi yang bertujuan untuk menurunkan asam lambung serta mengobati infeksi H. pylori bila ada. Untuk kasus H. pylori, regimen yang direkomendasikan adalah triple therapy menggunakan proton pump inhibitor (PPI) dan dua antibiotik, misalnya regimen omeprazole, amoxicillin, dan clarithromycin.[3-5]
Ulkus peptikum adalah kerusakan pada lapisan mukosa, submukosa sampai lapisan otot
saluran cerna yang disebabkan oleh aktivitas pepsin dan asam lambung yang berlebihan.
Ulkus peptikum dapat bersifat primer (akut dan kronis) atau sekunder akibat adanya
penyakit lain. Tujuan utama pengobatan ulkus peptikum adalah untuk mengurangi rasa
sakit, mempercepat penyembuhan ulkus dan mencegah terjadinya residif ataupun
komplikasi. Antagonis reseptor H2 berperan dalam mengurangi sekresi asam lambung
dengan menghambat pengikatan histamin secara selektif pada reseptor H2 dan
menurunkan kadar cyclic-AMP dalam darah. Antagonis reseptor H2 yang paling banyak
digunakan pada kelompok anak sebagai pengobatan standar terhadap ulkus peptikum
adalah simetidin dan ranitidin. Simetidin dan ranitidin efektif untuk menghilangkan
gejala nyeri pada episode akut dan mempercepat penyembuhan ulkus dengan toksisitas
relatif ringan. Pada kasus ulkus peptikum kronik yang disertai infeksi oleh Helicobacter
pylori, diperlukan pemberian antibiotik amoksisilin dan atau metronidazol.
Pendahuluan: Gastritis merupakan inflamasi pada mukosa dan submukosa gaster dikarenakan oleh banyak etiologi. Gastritis pada geriatri berlansung secara kronik hingga dapat terjadi ulkus. Data epidemiologi menyatakan bahwa kasus gastritis erosiva hingga ulkus peptikum merupakan penyakit dominan pada geriatri riwayat konsumsi NSAID terutama aspirin mencapai 70% dan beresiko tinggi terinfeksi H.pylori akibat melemahnya faktor defensif. Manajemen khusus pada pasien geriatri sebagai diagnosis dini dan edukasi akan menurunkan angka insiden infeksi H.pylori yang berpotensi malignancy.
Ilustrasi kasus: seorang wanita lanjut usia 68 tahun dengan keluhan utama hematemesis 2 kali dan keluhan tambahan BAB melena 1 minggu, mual-muntah, lemas-lesu serta nafsu makan menurun dan dengan riwayat penggunaan NSAID terutama Asam Mefenamat 3 tahun dan Aspirin 2 tahun.
Pemeriksaan Fisik: Bagian wajah terdapat bercak hitam. Bagian abdomen nyeri tekan di area epigastrium tanpa organomegali dan perut tampak cembung. Bagian ekstremitas inferior didapatkan pasien edema pretibial.
Pemeriksaan Penunjang: Pemeriksaan hematologi rutin didapatkan hasil, Hemoglobin: 7,2 gr/dL, Leukosit: 18.000 μL/dL, Eritrosit : 2,8 juta/μL, Hematokrit: 30%, Trombosit: 210.000 μL/dL, Neutrofil Segmen: 82 %, Limfosit: 20%, LED: 45 mm/jam. Pemeriksaan Endoskopi tampak mukosa edema hiperemis berat dan tampak erosi di area antrum-fundus. Pemeriksaan histopatologi sel infiltrate limfosit dengan metaplasia ringan.
Penatalaksanaan: Tatalaksana non-farmakologi dan tataksana farmakologi.
Diskusi: Gastritis dapat ditegakkan diagnosis dengan gold standart pemeriksaan endoskopi dan pemeriksaan histopatologi. Hasil anamnesis terutama riwayat pasien dan pemeriksaan fisik memberikan gambaran awal. Mengenali tanda alarm sign sebagai awal tatalaksana. Gastritis di Indonesia mencapai 40,8% oleh karena itu diperlukan edukasi dan motivasi pada pasien. Kriteria diagnosis gastritis menggunakan kriteria sistem Sidney visual revisi dengan OLGA.
Dengan total 110 publikasi jurnal terindeks Scopus dan H-Index: 19, berhasil mengantarkan Wakil Rektor Bidang Internasionalisasi, Digitalisasi dan Informasi UNAIR tersebut sebagai Guru Besar Fakultas Kedokteran UNAIR ke-122. Dalam sesi orasi ilmiahnya, Prof Miftah mengangkat topik upaya diagnosis, eradikasi Helicobacter pylori dan skrining kanker lambung menggunakan pendekatan epidemiologi molekuler.
Perlu diketahui, epidemiologi molekuler merupakan cabang epidemiologi yang mempelajari kontribusi faktor risiko genetik dan lingkungan pada level molekuler dan biokimia, terhadap etiologi, distribusi, dan pengendalian penyakit dalam populasi.
Dalam pemaparannya, pria kelahiran Sidoarjo, 29 September 1979 tersebut mengungkapkan bahwa Helicobacter pylori merupakan agen penyebab penyakit gastritis, ulkus peptikum, limfoma lambung dan kanker lambung. Ia pun mengungkapkan bahwa meski prevalensi H. pylori di Indonesia termasuk rendah (
Hal itu, sambungnya, tak lepas dari adanya migrasi antar suku di seluruh dunia. Prof Miftah mengungkapkan bahwa Suku Batak merupakan migrasi dari Etnik Afrika Timur 20.000 tahun lalu. Sementara Suku Bugis adalah migrasi dari Etnik Maori dari Taiwan 10.000 tahun lalu dan Etnik Papua merupakan migrasi dari Suku Sahul.
Prof Miftah menyampaikan bahwa, dengan terbatasnya ahli endoskopi di Indonesia, menyebabkan pemeriksaan secara invasif sulit dilakukan. Sehingga, Prof Miftah menyebut bahwa salah satu alternatifnya adalah melalui pemeriksaan non invasif.
Untuk itu, Prof Miftah mendorong agar pengembangan studi epidemiologi molekuler dan pendirian pusat endoskopi dan riset pencegahan kanker khususnya di daerah beresiko tinggi harus segera dilakukan. Mengingat, imbuhnya, fakta menunjukkan bahwa meski prevalensinya rendah H. pylori yang beredar di Indonesia saat ini merupakan H. pylori yang ganas dan seringkali menimbulkan dispepsia pada lambung.
Ulkus peptikum adalah kerusakan mukosa lambung dan duodenum akibat asam lambung. Terdapat 4 jenis ulkus gaster berdasarkan lokasi. Faktor risiko termasuk infeksi H. pylori, NSAIDs, merokok, dan alkohol. Diagnosis didasarkan pada gejala dan hasil endoskopi. Pengobatan meliputi diet, obat netralisir asam dan proteksi mukosa, serta operasi untuk komplikasi atau gagal pengobatan.Read less
Dispepsia merupakan ketidaknyamanan dari daerah perutbagian atas. Hal tersebut menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia. Etiologidispepsia bervariasi dan kompleks, terasuk infeksi Helicobacter pylori. Infeksi H.pylori ditemukan hampir setengahdari populasi dunia. Infeksi ini juga cukup tinggi di Asia, prevalensi mulaidari 40,6-90%. Di sisi lain, prevalensi infeksi H. pylori di Indonesia sekitar 22,1%. Sementara di Surabaya hanya sekitar11,5%. Infeksi H. pylori menyebabkan berbagai penyakit pencernaan sepertidispepsia fungsional, peptikum ulkus, limfoma jaringan terkait mukosa, atrofilambung, hingga karsinoma lambung. Infeksi H. pylori menyebabkangangguan sekresi asam lambung yang diduga berperan dalam timbulnya gejaladispepsia. Sekresi asam lambung diatur oleh beberapa faktor termasuk sistemsaraf otonom dan hormon pencernaan.
Salah satu hormon pencernaan yang paling ampuh dalam memicusekresi asam lambung yaitu gastrin yang juga memiliki efek trofik pada mukosalambung sebagai faktor karsinogenik yang diduga terlibat dalam mekanismeterjadinya gangguan. Beberapa penelitian telah menunjukkan peningkatan kadargastrin serum yang signifikan pada pasien yang terinfeksi H. pylori.Namun, pada beberapa penelitian lainnya belum menunjukkan peningkatan kadargastrin serum yang signifikan. Oleh sebab itu, peran H. pylori dalam meningkatkan kadar gastrin serum masih tetap kontroversial.Pemeriksaan, diagnosis, dan manajeman penyakit yang berhubungan dengan infeksi H. pylori merupakan pertimbangan dalam masalah ekonomi. Kualitas dampak hiduppasien dispepsia yang terinfeksi H.pylori juga memiliki skor lebihrendah daripada yang tidak terinfeksi.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti dari Departemen penyakitdalam, Fakultas Kedokteran, RSUD Dr. Soetomo, Universitas Airlangga merasaperlu melakukan penelitian dengan metode yang lebih tepat dan berhasilmempublikasikan hasil penelitiannya di salah satu jurnal Internasionalterkemuka, yaitu New ArmenianMedical Journal..Infeksi H. pylori dalam penelitian ini didasarkan pada hasil pemeriksaan histopatologioleh 2 ahli patalogi anatomi RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Kepadatan H. pylori merupakan jumlah kolonisasi H.pylori yang dikategorikan menjaditidak ada, ringan, sedang, dan parah menurut Updated Sydney System. Kepadatan H. pylori jikakolonisasi H. pylori hanya ditemukan di satu tempat atau sedikit diseluruh bidang visi. Kepadatan H.pylori sedang jika kolonisasi H. pylori ditemukan secara luas tersebar di area terpisah. Sedangkan kepadatan H. pylori parah jika kolonisasi H.pylori hampir menutupi permukaanlambung.
3a8082e126