Bertuhan Tanpa Agama

0 views
Skip to first unread message

Nina Zahra

unread,
Aug 3, 2024, 5:42:05 PM8/3/24
to orarraiber

Pada masa Renaissance (pencerahan) dan setelahnya, mulai banyak bermunculan pemikiran-pemikiran skeptis terhadap agama yang sebelumnya dirasakan sangat membelenggu kehidupan manusia. Bertrand Russell termasuk ke dalam kelompok pemikir bebas yang terus menulis masalah agama. Agama adalah salah satu pokok masalah dari tulisan-tulisan awal dalam buku rahasia harian yang mulai disimpan ketika ia berusia 17 tahun. Sepanjang hidupnya, Russell mendekati agama sebagai seorang filosof, sejarawan, kritikus sosial, dan individu. Russell mengemukakan penentangannya terhadap agama dalam debat publik dengan para tokoh agama terkemuka dan merasa senang membuat sindiran-sindiran anti-agama, seperti jawabannya, ketika ia dibawa ke hadapan Tahta Langit (Tuhan), ia akan menegur Penciptanya karena tidak menyediakan cukup bukti akan eksistensi-Nya.

Apakah agnostik berpikir bahwa sains dan agama tidak mungkin berdamai? Jawabannya tergantung pada apa yang dimaksud dengan agama. Jika agama berarti semata-mata sistem etika, ia bisa didamaikan dengan sains. Jika agama berarti sistem dogma, dianggap sebagai benar dan tidak bisa dipertanyakan, ia tidak kompatibel dengan semangat sains, yang tidak menerima fakta tanpa bukti, dan juga berpegang bahwa kepastian seratus persen hampir tidak pernah bisa dicapai.

Dikatakan bahwa agama mempunyai kegunaan lain, yaitu memajukan moralitas. Moralitas dapat meningkatkan kebahagiaan manusia. Apakah agama membantu meningkatkan kebahagiaan manusia? Russell berpikir bahwa tidak bisa diingkari bahwa agama memberi sumbangan besar bagi sejarah dan mungkin terus memberi sumbangan di masa mendatang. Semua agama, kecuali agama yang mempunyai kecenderungan revolusioner, cenderung mempertahankan status quo dengan mendorong pengendalian pribadi dan pengabdian untuk masyarakat. Jika agama mengajarkan kehancuran, maka ia akan tersingkir. Karena agama membantu mempertahankan tatanan sosial, memungkinkan orang menikmati hidup yang lebih bahagia. Sayangnya, harga yang harus dibayar dari manfaat ini terlalu mahal. Pertama, diperlukan banyak pengorbanan untuk membangun institusi yang kuat untuk menjamin tatanan sosial. Di zaman barbar, manusia dikorbankan untuk Tuhan dan juga benar sekarang ini banyak aspek kebahagiaan dikorbankan sia-sia. Kedua, karena agama bertujuan mempertahankan institusi sosial yang ada, ia mengajarkan sifat konservatif yang menolak setiap inovasi kelembagaan atau gagasan-gagasan baru. Jika tujuan agama adalah menjaga stabilitas sosial, maka ide-ide baru akan dikorbankan, dan karenanya kemajuan menjadi terhambat. Sehingga di masa mendatang sulit mengatakan bahwa kebahagiaan itu meningkat. Di bawah sistem keagamaan yang kaku, perkembangan individu pun terhambat. Agama yang bersifat menindas ini akan menjadikan mereka sulit berkembang dalam keahlian mereka secara bebas. Oleh karenanya, Russell menyatakan bahwa peradaban suatu bangsa jelas akan mundur di bawah penindasan agama.

Russell berpikiran bahwa agama tidak bermanfaat bagi moralitas. Pertama, karena kepercayaan pada agama tidak seluruhnya didasarkan pada fakta, sehingga palsu. Kedua, mereka yang mempunyai sikap religius tidak bersedia berpegang pada kepercayaan lain selain agamanya, atau mereka menjalani kebiasaan buruk berupa sikap tidak tulus dan tidak konsisten dengan berpegang pada kepercayaan yang mereka ketahui sebagai palsu.

Russell berpikiran bahwa kekurangan agama berasal dari sikap penentangannya yang konservatif atas pemikiran dan gagasan baru. Dan agama selalu membuat penilaian semata-mata menurut keinginan manusia, mengganti bukti obyektif dengan perasaan subyektif. Sebagai akibatnya, agama menciptakan dunia yang penuh dengan Tuhan-tuhan, semakin dalam orang percaya pada agama, semakin banyak Tuhan ada.

Tuhan, agama, dan spiritualitas tiga hal mendasar yang terlihat berakar sama dan sukar dipilah, tapi jelas berbeda dalam ranah teknisnya. Sebab konsep Tuhan lebih merujuk pada ke-mutlak-an, agama merujuk pada hal-hal teknis, sedang spiritualitas pada yang profan.

Di belahan bumi bagian barat, kekecewaan terhadap ajaran agama yang ribet, banyak aturan, selisih dan berebut benar di antara pemeluk agama yang sama melahirkan sikap skeptis dan mengantarkan mereka pada sikap spiritualitas tanpa syariat-agama. Sekaligus sinyal kuat bagi paham Salafi Wahabi yang kerap menjadi bahan olok kaum Kristiani karena kaku pada hal-hal teknis.

Report ini untuk mengukur negeri mana saja yang punya nilai tinggi dalam soal: GDP per capita, freedom to make life choices, life expectancy, generosity, perception of corruption, and social support (ada 6 yang diukur).

Warga di lima negeri Skandinavia ini kerap disurvei, karena penduduknya yang dikenal happy atau bahagia, salah satunya oleh Philip Joseph Zuckerman, seorang sosiologis, pada tahun 2008 tapi sayang dinyatakan kebanyakan warganya tidak peduli lagi (lupa) pada soal Tuhan meski sangat religius. Sebuah konsep baru religiositas tanpa Tuhan.

Di era postmo dewasa ini, masyarakat semakin anti terhadap kemapanan. Privatisasi agama, di mana agama menjadi urusan individu yang benar-benar individupun terjadi. Agama bukan lagi menjadi sebuah tata nilai bersama yang ditaati, tapi menjadi semacam alternatif saja, pilihan yang kadang-kadang terasa sangat dangkal. Tanpa pergumulan dan pergulatan yang mendalam, artinya tanpa pengalaman iman yang jujur, orang pindah-pindah agama seenaknya. Hanya karena jodoh misalnya, atau karena jabatan, karena indomie atau karena tekanan sosial orang menanggalkan agamanya. Lebih dari itu, kadang ya hanya demi pergaulan saja. Tulisan ini bukan untuk menghakimi, tapi lebih untuk melihat betapa agama dewasa ini menjadi sesuatu yang begitu dangkal. Tidak terlalu mendalam. Agama menjadi urusan pribadi, suka-suka dan sekedar menjadi bagian dari selera.

Dari situlah kemudian saya ingin masuk dalam sebuah refleksi, sebagaimana pernah ditulis oleh Bertrand Russel, Bertuhan tanpa Agama. Adalah sesuatu yang menarik, dapatkah demikian? sebaliknya, orang-orang yang beragamapun, terutama di Indonesia yang mengedepankan prinsip legalitas, seringkali sesungguhnya beragama hanya secara formal dan kehilangan makna ketuhanan yang sesungguhnya. Sementara dalam pandangan umum, lalu disamakan antara berketuhanan dengan beragama. Beragama sama dengan bertuhan dan bertuhan sama dengan beragama. Padahal kedua hal itu adalah 2 hal yang berbeda. Beragama belum tentu bertuhan, demikian sebaliknya. Tidak beragama, belum tentu juga Atheis.

permenungannya diawali dari sebuah pergulatan, faktanya agama memang menawarkan konsep ketuhanan yang berbeda-beda. Katakanlah, mungkin satu Tuhan itu benar untuk melihat kemutlakan Allah. Karena tidak mungkin realitas Allah yang mutlak sebagaimana Allah adalah maha segala-galanya adalah jamak. Namun, dalam konsep keberimanan ini harus juga diakui bahwa Allah mewahyukan diri dengan cara yang berbeda-beda. Tapi, benarkah itu adalah sebentuk pewahyuan? atau jangan-jangan itu hanya merupakan klaim personal saja yang kemudian dilegitimasi secara sosial. Banyak filosof aliran materialisme yang melihat bahwa Tuhan sesungguhnya ciptaan manusia saja dan bukan sebaliknya, mereka tidak mengakui bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan.

Untuk membuktikan yang pertama bahwa Tuhan ciptaan manusia adalah hal yang mudah, termasuk di antaranya adalah bahwa konsep tentang Tuhan (dan perangkat agama yang lain) itu berbeda-beda satu sama lain sangat beraneka ragam dan sangat tergantung dari kebudayaannya. Sementara membuktikan konsep kedua, bahwa bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan, itu sangat sulit. Kalaupun ada, sangat spekulatif. Konsekwensinya, banyak dan sering-sering jawaban yang diberikan agama lebih bersifat spekulatif.

Bertuhan tanpa agama, akhirnya masih pada taraf di mana seseorang mengakui adanya Tuhan, tapi bukan Tuhan yang ditawarkan oleh agama-agama. Hal ini bisa dimaklumi karena faktanya, agama adalah penafsiran dan agama sekedar menuntut keyakinan. Misalnya saja, dari kalangan Kristen mengatakan bahwa Yesus itu adalah Tuhan (bukan masalah bagaimana konsep dasarnya tapi bagaimana membuktikannya) itu bagi mereka terlalu doktriner. Atau di dalam Islam bahwa nabi Muhammad mendapatkan wahyu di gua Hira lalu berkesempatan untuk Miraj ke langir ke tujuh, ini juga tidak bisa dibuktikan. Kenyataannya agama hanya menciptakan kotak-kotak identitas yang seringkali memunculkan konflik satu dengan yang lain. Jangankan dengan mereka yang berbeda agama dengan yang satu agamapun konflik itu tetap terjadi.

Agama yang Haq, akhirnya hanya sebuah penafsiran dan kita tahu penafsiran itu sulit sekali objketif. Hanya masalahnya kalau Tuhan sedemikian relatif, personal dan sangat individual semacam ini, lalu pertanyaannya Tuhan macam apa yang akan menjadi acuan bersama. Benarkah Tuhan benar-benar mewahyukan diri sedemikian personal sehingga kemudian penafsiran, pengakuan, dan pengkonsepan akan Tuhan menjadi sangat berbeda-beda?

Sebaliknya, dan ini persis juga menjadi jantung argumentasi bahwa agama bukan jaminan moralitas agama juga bukan jaminan kebertuhanan itu adalah fakta bahwa tidak serta merta orang beragama menjadi baik, orang beragama lalu paham akan yang sebenarnya diimani dalam agama tersebut. Ada Islam ya Islam KTP, ada Kristen ya Kristen KTP, mungkin yang lainnya juga. Itu kalau negaranya mewajibkan penduduknya pakai kolom agama di KTP, lalu bagaimana yang tidak ada kewajiban semacam itu?

Seringkali, orang beragama bahkan taat beribadah namun itu hanya menjadi rutinitas saja, bukan muncul dari pergulatan batin yang mendasar. Agama tampil sebagai teroris yang menakut-nakuti dengan ancaman neraka atau mengimingimingi sorga yang indah. Bukan yang kedua ini yang kemudian diharapkan, motivasi terbesar orang beribadah adalah karena takut akan siksa neraka yang begitu mengerikan.

Maka kemudian seorang Sufi bertanya, seandainya sorga dan neraka itu tidak ada, masihkah kau tunduk kepada-Nya? nah ini yang mendasar. Orang dituntut untuk sampai pada pergumulan ini. Sayangnya, agama itu mengharamkan untuk banyak bertanya, banyak menuntut bukti dan macem-macem. Agama mengajarkan kita untuk tunduk dan taat. Kalau kita diberi nalar, gunanya untuk membuktikan kebenaran agama, bukan untuk mempertanyakan ajaran agama.

c80f0f1006
Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages