---

Harusnya
seperti Brazil yang memindahkan ibukotanya begitu jauh dari Rio
de Janeiro ke Brasilia, atau Amerika Serikat dari New York ke
Washington DC, Jepang dari Kyoto ke Tokyo, Australia dari Sidney
ke Canberra, Jerman dari Bonn ke Berlin.
Karena jauh
akhirnya pada pindah rumah. Kalau dekat, misalnya di Jonggol
atau Sentul, niscaya orang Tangerang, Bogor, Jakarta, Bekasi,
Depok tetap tinggal di rumahnya dan berkantor di ibukota baru.
Jalan jauh dan kemacetan pun terus
berlangsung.
Pemindahan Ibukota Negara Indonesia dari
Jakarta
Pertama-tama kita harus sadar bahwa pemindahan
ibukota dari satu kota ke kota lain adalah hal yang biasa dan
pernah dilakukan. Sebagai contoh, Amerika Serikat pernah
memindahkan ibukota mereka dari New York ke Washington DC,
Jepang dari Kyoto ke Tokyo, Australia dari Sidney ke Canberra,
Jerman dari Bonn ke Berlin, sementara Brazil memindahkan
ibukotanya dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Indonesia sendiri
pernah memindahkan ibukotanya dari Jakarta ke
Yogyakarta.
Over Populasi (Jumlah penduduk melebihi daya
tampung) merupakan penyebab utama kenapa banyak negara
memindahkan ibukotanya. Sebagai contoh saat ini Jepang dan Korea
Selatan tengah merencanakan pemindahan ibukota negara mereka.
Jepang ingin memindahkan ibukotanya karena wilayah Tokyo
Megapolitan jumlah penduduknya sudah terlampau besar yaitu: 33
juta jiwa. Korsel pun begitu karena wilayah kota Seoul dan
sekitarnya jumlah penduduknya sudah mencapai 22 juta. Bekas
ibukota AS, New York dan sekitarnya total penduduknya mencapai
22 juta jiwa. Jakarta sendiri menurut mantan Gubernur DKI, Ali
Sadikin, dirancang Belanda untuk menampung 800.000 penduduk.
Namun ternyata di saat Ali menjabat Gubernur jumlahnya
membengkak jadi 3,5 juta dan sekarang membengkak lagi hingga
daerah Metropolitan Jakarta yang meliputi Jabodetabek mencapai
total 23 juta jiwa.

Jadi
pemindahan ibukota bukanlah hal yang tabu dan sulit. Soeharto
sendiri sebelum lengser sempat merencanakan pemindahan ibukota
Jakarta ke Jonggol.
Kenapa kita harus memindahkan ibukota
dari Jakarta? Apa tidak repot? Apa biayanya tidak terlalu besar?
Jawaban dari pertanyaan ini harus benar-benar tepat dan
beralasan. Jika tidak, hanya buang-buang waktu, tenaga, dan
biaya.
Pertama kita harus sadar bahwa ibukota Jakarta di
mana lebih dari 80% uang yang ada di Indonesia beredar di sini
merupakan magnet yang menarik penduduk seluruh dari Indonesia
untuk mencari uang di Jakarta. Arus urbanisasi dari daerah ke
Jakarta begitu tinggi. Akibatnya jika penduduk Jakarta pada
zaman Ali Sadikin tahun 1975-an hanya sekitar 3,5 juta jiwa,
saat ini jumlahnya sekitar 10 juta jiwa. Pada hari kerja dengan
pekerja dari wilayah Jabotabek, penduduk Jakarta menjadi 12 juta
jiwa.
Jumlah penduduk Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
dan Bekasi diperkirakan sekitar 23 juta jiwa. Padahal tahun 1986
jumlahnya hanya sekitar 14,6 juta jiwa (MS Encarta). Jika
Jakarta terus dibiarkan jadi ibukota, maka jumlah ini akan terus
membengkak dan membengkak. Akibatnya kemacetan semakin
merajalela. Jumlah kendaraan bertambah. Asap kendaraan dan
polusi meningkat sehingga udara Jakarta sudah tidak layak hirup
lagi. Pohon-pohon, lapangan rumput, dan tanah serapan akan
semakin berkurang diganti oleh aspal dan lantai beton perumahan,
gedung perkantoran dan pabrik. Sebagai contoh berbagai hutan
kota atau tanah lapang di kawasan Senayan, Kelapa Gading,
Pulomas, dan sebagainya saat ini sudah menghilang diganti dengan
Mall, gedung perkantoran dan perumahan.
Hal-hal di
atas akan mengakibatkan:
- Jakarta akan jadi kota yang sangat
macet
- Dengan banyaknya orang bekerja di
Jakarta padahal rumah mereka ada di pinggiran Jabotabek, akan
mengakibatkan pemborosan BBM. Paling tidak ada sekitar 6,5
milyar liter BBM dengan nilai sekitar Rp 30 trilyun yang
dihabiskan oleh 2 juta pelaju ke Jakarta setiap tahun.
- Dengan kemacetan dan jauhnya jarak
perjalanan, orang menghabiskan waktu 3 hingga 5 jam per hari
hanya untuk perjalanan kerja.
- Stress meningkat akibat kemacetan di
jalan.
- Penyakit ISPA (Infeksi Saluran
Pernafasan Atas) juga meningkat karena orang berada lama di
jalan dan menghisap asap knalpot kendaraan
- Banjir dan kekeringan akan semakin
meningkat karena daerah resapan air terus berkurang.
- Jumlah penduduk Indonesia akan
terpusat di wilayah Jabodetabek. Saat ini saja sekitar 30 juta
dari 200 juta penduduk Indonesia menempati area 1500 km2 di
Jabodetabek. Atau 15% penduduk menempati kurang dari 1%
wilayah Indonesia.
- Pembangunan akan semakin tidak merata
karena kegiatan pemerintahan, bisnis, seni, budaya, industri
semua terpusat di Jakarta dan sekitarnya.
- Tingkat Kejahatan/Kriminali tas akan
meningkat karena luas wilayah tidak mampu menampung penduduk
yang terlampau padat.
- Timbul bahaya kelaparan karena over
populasi dan sawah berubah jadi rumah, kantor, dan pabrik.
Saat ini pulau Jawa yang merupakan pulau terpadat di dunia 7 x
lipat lebih padat daripada RRC. Kepadatan penduduk di Jawa
1.007 orang/km2 sementara di RRC hanya 138 orang/km2. Tak
heran di pulau Jawa banyak orang yang kelaparan dan makan nasi
aking.
Untuk itu
diperlukan penyebaran pusat kegiatan di berbagai kota di
Indonesia. Sebagai contoh, di AS pusat pemerintahan ada di
Washington DC yang jumlah penduduknya hanya 563 ribu jiwa.
Sementara pusat bisnis ada di New York dengan populasi 8,1 juta.
Pusat kebudayaan ada di Los Angeles dengan populasi 3,9 juta.
Pusat Industri otomotif ada di Detroit dengan jumlah penduduk
911.000 jiwa.
Di AS kegiatan tersebar di beberapa kota.
Tidak tertumpuk di satu kota. Sehingga pembangunan bisa lebih
merata.
Indonesia juga harus begitu. Semua kegiatan
jangan terpusat di Jakarta. Jika tidak, maka jumlah penduduk
kota Jakarta akan terus membengkak. Dalam 10-20 tahun, Jakarta
akan jadi kota yang mati/semrawut karena jumlah penduduk yang
terlampau banyak (saat ini saja kemacetan sudah luar
biasa).
Biarlah Jakarta cukup menjadi pusat bisnis. Untuk
pusat pemerintahan, sebaiknya dipindahkan ke Kalimantan
Tengah.
Kenapa Kalimantan Tengah? Kenapa tidak di Jawa,
Sulawesi, atau Sumatra?

Pertama Jawa
adalah pulau kecil yang sudah terlampau padat penduduknya. Luas
pulau Jawa hanya 134.000 km2 sementara jumlah penduduknya
sekitar 135 juta jiwa. Kepadatannya sudah mencapai lebih dari
1.000 jiwa per km2. Apalagi pulau Jawa yang subur dengan
persawahan yang sudah mapan seharusnya dipertahankan tetap jadi
lahan pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan di Indonesia.
Kalau dipaksakan di Jawa, maka luas sawah akan berkurang
sebanyak 50.000 hektar! Produksi beras/pangan lain akan
berkurang sekitar 200 ribu ton per tahun! Indonesia akan semakin
kekurangan pangan karenanya. Selama ibukota tetap di Jawa, pulau
Jawa akan semakin padat dan pembangunan tidak tersebar ke
seluruh Indonesia. Jawa sudah kebanyakan penduduk/over-
crowded!
Ada pun pulau Sumatera letaknya relatif agak di
Barat. Dengan jumlah penduduk lebih dari 42 juta, pembangunan di
Sumatera sudah cukup lumayan.
Sulawesi dengan luas
189.000 km2 dan jumlah penduduk sekitar 15 juta jiwa masih
terlalu kecil wilayahnya. Sumatera dan Sulawesi adalah pulau
yang subur dan cocok untuk pertanian. Jadi sayang jika
pertumbuhan jumlah penduduk dipusatkan di situ. Belum lagi kedua
wilayah ini rawan dengan gempa bumi dan tsunami.
Ada pun
Kalimantan luasnya 540.000 km2 dengan jumlah penduduk hanya 12
juta jiwa. Pulau Kalimantan jauh lebih luas dibanding pulau
Jawa, Sumatera, dan Sulawesi dan jumlah penduduknya justru
paling sedikit.

Di pulau
Kalimantan juga tidak ada gunung berapi dan merupakan pulau yang
teraman dari gempa. Sementara di pesisir Kalimantan Tengah yang
berbatasan dengan Laut Jawa juga ombak relatif tenang dan aman
dari Tsunami. Ini cocok untuk jadi tempat ibukota Indonesia yang
baru.
Sebaliknya Jakarta begitu dekat dengan gunung
Krakatau yang ledakkannya 30 ribu x bom atom Hiroshima dengan
tsunami setinggi 40 meter. Efek ledakan Krakatau terasa sampai
Afrika dan Australia. Sekarang gunung Krakatau yang dulu rata
dengan laut telah “tumbuh” setinggi 800 meter lebih dengan
kecepatan “tumbuh” sekitar 7 meter/tahun. Sebagian ahli ge ologi
memperkirakan letusan kembali terulang antara 2015-2083. Jadi
Jakarta tinggal “menunggu waktu” saja…
|
|